Marasmus adalah bentuk malnutrisi energi protein yang disebabkan kekurangan kalori berat dalam jangka panjang. Gejalanya adalah retardasi pertumbuhan dan pengurangan lemak bawah kulit serta otot secara progresif. Marasmus terjadi akibat tubuh memakai cadangan makanan untuk menghasilkan energi karena kekurangan asupan kalori yang berlangsung lama.
3. 4 masalah gizi utama di Indonesia
KEP, gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI),
anemia defisiensi besi, dan defisiensi vitamin A
Indonesia 10 negara dengan jumlah dan prevalensi
gizi kurang dan gizi buruk pada balita terbanyak di
Dunia.
Data di Indonesia
(2005) 8,8 %
LATAR BELAKANG
Tahun Total Penduduk Total Balita Prevalensi Jumlah balita dengan
Gizi buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang Gizi Buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang
1989 177,614,965 21,313,796 6.3 31.2 37.5 1,342,769 6,643,510 7,986,279
1992 185,323,458 22,238,815 7.2 28.3 35.6 1,607,866 6,302,480 7,910,346
1995 195,860,899 21,544,699 11.6 20.0 31.6 2,490,567 4,313,249 6,803,816
1998 206,398,340 20,639,834 10.5 19.0 29.5 2,169,247 3,921,568 6,090,815
1999 209,910,821 19,941,528 8.1 18.3 26.4 1,617,258 3,639,329 5,256,587
2000 203,456,005 17,904,128 7.5 17.1 24.7 1,348,181 3,066,977 4,415,158
2001 206,070,543 18,134,208 6.3 19.8 26.1 1,142,455 3,590,573 4,733,028
2002 208,749,460 18,369,952 8.0 19.3 27.3 1,469,596 3,545,401 5,014,997
2003 211,463,203 18,608,762 8.3 19.2 27.5 1,544.527 3,572,882 5,117,409
4. KEP pada anak-anak berdampak
menghambat pertumbuhan fisik.
menurunnya daya tahan tubuh
berakibat rentan terhadap penyakit infeksi
menurunnya tingkat kecerdasan.
Pada orang dewasa, berdampak
menurunkan produktifitas kerja
menurunkan derajat kesehatan
rentan terhadap serangan penyakit.
Marasmus disebut juga KEP non-edematous
Sekuele klinis marasmus adalah adanya adapatasi yang muncul dari insufisiensi
asupan energi pada anak.
Ketidakseimbangan itu sendiri muncul sebagai akibat dari penurunan asupan
energi, peningkatan kehilangan energi dari makanan (misalnya karena muntah,
diare, dan luka bakar), peningkatan penggunaan energi atau kombinasi dari ketiga
faktor
SDM RENDAH
BEBAN NEGARA BERTAMBAH
5. Mengetahui tentang kurang energi protein
(KEP) pada umumnya, dan marasmus
khusunya secara menyeluruh yang meliputi
pemahaman yang lengkap mengenai definisi,
klasifikasi, etiologi, faktor resiko, patofisiologi,
kriteria diagnosis, komplikasi dan
penatalaksanaannya.
TUJUAN PENULISAN
MANFAAT PENULISAN
1. Menambah wawasan tentang marasmus,
mulai dari definisi hingga tatalaksana.
2. Sebagai referensi untuk dapat memberikan
informasi tentang kurang energi protein,
khususnya marasmus.
6.
7. KEP
Keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
MARASMUS
Bentuk malnutrisi energi protein yang terutama disebabkan
kekurangan kalori berat dalam jangka waktu lama
Ditandai dengan retardasi pertumbuhan dan pengurangan lemak
bawah kulit dan otot secara progresif
DEFINISI
8. Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP
Klasifikasi menurut Gomez
Gomez ( 1956 ) merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara pengelompokan
kasus KEP.
Berdasarkan atas berat badan individu dibandingkan dengan berat badan yang
diharapakan pada anak sehat yang seumur.
Sebagai baku patokan dipakai persentil 50 baku Harvard (Stuart dan Stevenson, 1945).
KLASIFIKASI
Derajat KEP Berat Badan %
dari baku*
0 = normal ≥ 90 %
1 = ringan 89-75 %
2 = sedang 74-60 %
3 = berat < 60 %
Tabel.1. Klasifikasi KEP menurut Gomez
9. Klasifikasi KEP menurut Bengoa
Bengoa pada tahun 1970 mengadakan modifikasi pada klasifikasi Gomez,
yang hanya didasarkan pada defisit berat badan saja.
Penderita KEP dengan edema, tanpa melihat defisit berat badannya
digolongkan oleh Bengoa dalam derajat III.
Penderita kwashiorkor, berat badannya jarang menurun hingga kurang dari
60% disebabkan oleh adanya edema, sedangkan lemak tubuh dan otot-
ototnya tidak mengurang sebanyak seperti pada keadaan marasmus. Padahal
kwarshiorkor merupakan penyakit yang serius dengan angka kematian tinggi.
Derajat KEP Berat badan/usia (%)
KEP I
KEP II
KEP III
90-76
75-61
Semua penderita edema
Tabel 2. Klasifikasi KEP menurut Bengoa
10. Klasifikasi KEP berdasarkan WHO-NCHS
KEP Ringan
(BB/U) 70-80 % dan/atau (BB/TB) 80-90% baku
median WHO-NCHS.
KEP Sedang
BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau
BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS.
KEP Berat
BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau
BB/TB <70% baku median WHO-NCHS
Klasifikasi KEP menurut Depkes RI th 2000
Departemen kesehatan RI (2000),
merekomendasikan baku WHO – NCHS untuk
digunakan sebagai baku antropometris di
Indonesia.
Tabel 3. Klasifikasi KEP menurut Depkes RI th 2
11. Menurut WHO-UNICEF Tahun 2009, kriteria malnutrisi
akut berat (MAB) yaitu
Terlihat sangat kurus
Edema nutrisional
BB/TB <-3 SD
Lingkar Lengan Atas (LILA) < 115 mm
12. Klasifikasi menurut tipe (Klasifikasi Kualitatif)
menggolongkan KEP menurut tipenya: gizi kurang,
marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor
Klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust
Cara Wellcome Trust dapat dipraktekan dengan mudah,
tidak ditemukan penentuan gejala klinis maupun
laboratories, dan dapat dilakukan oleh para tenaga
medis setelah diberi latihan seperlunya
Berat badan % dari baku* Edema
Tidak ada Ada
>60% Gizi kurang Kwarshiorkor
<60% Marasmus Marasmic-Kwarshiorkor
Tabel 4. Klasifikasi Kualitatif KEP menurut
Wellcome Trust
13. Klasifikasi Kualitatif menurut McLaren
McLaren mengklasifikasikan golongan KEP
berat dalam 3 kelompok menurut tipenya.
Gejala klinis edema, dermatosis, edema
disertai dermatosis, perubahan pada rambut,
dan pembesaran hati diberi angka bersama-
sama dengan menurunnya kadar albumin atau
total protein serum.
Cara seperti ini dikenal sebagai scoring system
McLaren
Penentuan tipe didasarkan atas jumlah
angka yang dapat dikumpulkan dari tiap
penderita:
SKOR 0 – 3 = marasmus
SKOR 4 – 8 angka = marasmic-
kwarshiorkor
SKOR 9 – 15 angka = kwarshirkor
Cara demikian dapat mengurangi
kesalahan jika dibandingkan dengan cara
Wellcome Trust, akan tetapi harus
dilakukan oleh seorang dokter dengan
Gejala klinis/laboratoris Angka
Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin serum atau protein total
serum/g %
< 1.00 < 3.25 7
1.00 – 1.49 3.25 – 3.99 6
1.50 – 1.99 4.00 – 4.75 5
2.00 – 2.49 4.75 – 5.49 4
2.50 – 2.99 5.50 – 6.24 3
3.00 – 3.49 6.25 – 6.99 2
3.50 – 3.99 7.00 – 7.74 1
>4.00 > 7.75 0
Tabel 5. Cara Pemberian Angka menurut M
14. Klasifikasi KEP menurut Waterlow 3
Waterlow (1973) membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun.
Beliau berpendapat, bahwa defisit berat badan terhadap tinggi badan
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting
(kurus-kering), sedangkan defisit tinggi badan menurut umur merupakan
akibat kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama.
Akibat tersebut dapat mengganggu laju pertumbuhan tinggi badan, sehingga
anak menjadi pendek (stunting) untuk umurnya.
Waterlow membagi keadaan wasting dan stunting dalam 3 kategori
Gangguan Derajat Stunting
(tinggi menurut umur)
Wasting
(berat terhadap tinggi)
0
1
2
3
> 95 %
95-90 %
89-85 %
< 85 %
> 90 %
90-80 %
80-70 %
< 70%
Tabel. 6. Klasifikasi KEP menurut Waterlow
15. Penyebab kurang gizi menurut kerangka konseptual UNICEF dapat dibedakan
menjadi penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan penyebab dasar.
ETIOLOGI
KURANG GIZI
Makan
Tidak Seimbang
Penyakit Infeksi
Tidak Cukup
Persediaan Pangan
Pola Asuh Anak
Tidak Memadai
Sanitasi dan Air
Bersih/Pelayanan
Kesehatan Dasar
Tidak Memadai
Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan
Kurang pemberdayaan wanita
dan keluarga, kurang pemanfaatan
sumberdaya masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan
Krisis Ekonomi, Politik,
dan Sosial
Dampak
Penyebab
langsung
Penyebab
Tidak langsung
Pokok Masalah
di Masyarakat
Akar Masalah
(nasional)
16. Penyebab Langsung
Diet
Tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang terutama dalam segi
protein dan karbohidratnya.
Pola makan yang salah seperti pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
usia.
penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan
yang kurang.
pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup.
Selain itu mitos atau kepercayaan di masyarakat atau keluarga dalam
pemberian makanan seperti berpantang makanan tertentu akan memberikan
andil terjadinya gizi buruk pada anak.
17. Peranan penyakit atau infeksi
Kaitan antara infeksi dan kurang gizi sangat sukar diputuskan,
karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Berikut ini adalah contoh-contoh penyakit dan infeksi yang
sering menyebabkan malnutrisi:
Infeksi yang berat dan lama, terutama infeksi enteral misalnya tuberculossis,
infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.
Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis
pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.
Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus.
Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
18. Penyebab tidak langsung
Ketersediaan pangan rumah tangga.
Kurangnya pendidikan, pengetahuan, keterampilan
Pola asuh anak tidak memadai.
Sanitasi dan air bersih, pemukiman yang tidak sehat.
Pelayanan kesehatan dasar tidak memadai.
Ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan.
Penyebab Dasar
Kondisi sosial, politik dan ekonomi negara.
19. MARASMUS
Compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi tubuh terhadap
kekurangan energi (kalori) dalam waktu yang lama
Keadaan kekurangan asupan kalori tubuh memakai cadangan makanan yang tersedia
untuk menghasilkan energi atau kalori.
Pemakaian cadangan makanan ini dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat,
bila karbohidrat habis, maka tubuh akan menggunakan cadangan lemak, jaringan lemak
akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Terakhir tubuh akan
menggunakan cadangan protein setelah cadangan lemak habis.
Pemecahan cadangan gula otot (glikogen) menjadi glukosa di hati, katabolisme protein
menghasilkan asam amino yang segera diubah menjadi glukosa di hepar dan di ginjal
Pada marasmus ketersediaan asam amino, yang merupakan hasil katabolisme
protein, biasanya jumlahnya masih dalam batas normal, sehingga hati masih dapat
untuk membentuk albumin
Sehingga, pada marasmus, kondisi klinisnya yg mencolok pertumbuhan yang kurang
atau terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit, namun tidak
disertai edema pitting
PATOGENESIS
20. Kwashiorkor
Pada kwashiorkor yang klasik, gangguan metabolisme dan perubahan
sel menyebabkan edema dan perlemakan hati.
Tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebihan.
Kekurangan protein dalam diet kekurangan berbagai asam amino
esensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin.
Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi
insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dari dalam serum
yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot.
Berkurangnya asam amino dalam serum kurangnya pembentukan
albumin oleh hati hipoalbuminemia sehingga edema.
Gangguan pembentukan lipoprotein beta transport lemak dari hati
ke depot lemak juga terganggu terjadi akumulasi lemak dalam hati
perlemakan hati hepatomegali
21. MARASMUS
Tampak sangat kurus, hanya tulang
berbungkus kulit.
Pertumbuhan terhenti.
Rambut mudah dicabut, kusam, kemerahan
namun tidak seberat kwashiorkor.
Wajah seperti orang tua (old man face).
Cengeng, rewel.
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat
sedikit sampai tidak ada, pada bagian bokong
“baggy pants”.
Perut cekung, iga gambang.
Sering disertai penyakit infeksi kronis berulang,
diare kronik, atau susah buang air besar.
Tidak ada oedem.
Gambaran Klinis
22. KWASHIORKOR
Billateral Pitting Edema, dimulai dari kaki dan tungkai
bawah, dapat menjadi edema seluruh tubuh ke tangan,
lengan, wajah.
Wajah bulat dan sembab (moon face).
Berkurangnya jaringan lemak dan otot yang tertutupi
oleh edema.
Kulit kering, hiperpigmentasi dan bersisik. Terdapat lesi
di kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan
terkelupas terutama pada bagian tubuh yang mendapat
tekanan (crazy pavement dermatosis), yang
mengakibatkan rentan terkena infeksi.
Perubahan pada warna rambut menjadi kemerahan
seperti warna rambut jagung, rambut menjadi tipis,
kering, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok.
Perubahan status mental menjadi apatis, letargi, iritabel.
Pembesaran hati.
Sering disertai penyakit infeksi, anemia, diare.
Defisiensi vitamin A:
Buta senja (hemeralopia)
Sklera kering
Kornea kering
Ulkus kornea
Bitot spot
Keratomalasia
Gambaran Klinis
23. MARASMIK-KWASHIORKOR
Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan energi untuk
pertumbuhan yang normal.
Memperlihatkan gejala dan tanda klinis campuran antara marasmus dan
kwarshiorkor.
Dengan BB/U < 60% / BB/TB < -3 SD baku median WHO-NCHS disertai
edema yang tidak mencolok, hanya pada kedua anggota gerak bawah,
biasanya pada punggung kaki dan tungkai bawah.
Gambaran Klinis
24. Tatalaksana Perawatan
Pada saat masuk rumah sakit :
Anak dipisahkan dari pasien infeksi
Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-300C, bebas dari angin)
Dipantau secara rutin
Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera
dikeringkan
Demi keberhasilan tata laksana diperlukan :
Fasilitas dan staf yang professional (Tim Asuhan Gizi)
Timbangan badan yang akurat
Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar
Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga
kemajuan selama perawatan dapat dievaluasi
Keterlibatan orang tua
Penatalaksanaan
25. Tata Laksana Umum
Menurut buku panduan tatalaksana anak gizi buruk yang diterbitkan
oleh kementrian kesehatan Tahun 2000, disusun berdasarkan buku
management of severe malnutrition WHO (1999), terdapat 10 langkah
penting tatalaksana rutin KEP berat/ gizi buruk, yaitu meliputi:
1. Atasi/cegah hipoglikemia.
2. Atasi/cegah hipotermia.
3. Atasi/cegah dehidrasi.
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Obati/cegah infeksi.
6. Koreksi defisiensi nutrient mikro.
7. Mulai pemberian makanan awal (Initial Refeeding).
8. Fasilitasi tumbuh kejar (“Catch-up Growth”).
9. Lakukan stimulasi sensorik dan emosional.
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut pasca perbaikan.
26. Terdapat 4 fase, yaitu fase stabilisasi (hari 1-2), fase transisi (hari 3-7),
fase rehabilitasi (minggu ke 2-6), fase tindak lanjut (minggu ke 7-26).
Digunakan pada semua penderita KEP berat/gizi buruk (marasmus,
kwashiorkor, marasmik-kwashiorkor).
27. Langkah 1. Atasi/ Cegah Hipoglikemia
Semua anak gizi buruk berisiko untuk terjadi hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/dl atau < 54 mg/dl), yang seringkali merupakan penyebab kematian pada 2
hari pertama perawatan.
Hipoglikemia dan hipotermia seringkali terjadi bersamaan dan biasanya merupakan
pertanda adanya infeksi.
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka
semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani
sesaui panduan.
Tatalaksana
Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya memungkinkan.
Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan
glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air) secara oral atau
melalui NGT.
Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2-3 jam, siang dan malam selama minimal dua hari.
Bila masih mendapat ASI, teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F-75.
Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena (bolus)
sebanyak 5 ml/kgBB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT.
Beri antibiotik spektrum luas.
28. Pemantauan
Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi
pengukuran kadar gula darah setelah 30 menit.
Jika kada gula darah di bawah 3 mmol/L (<54 mg/dl),
ulangi pemberian larutan glukosa atau gula 10%.
Jika suhu rektal < 35,50C atau bila kesadaran
memburuk, mungkin hipoglikemia disebabkan oleh
hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan
tangani sesuai keadaan (hipotermia dan
hipoglikemia).
Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai
sesegera mungkin, atau jika perlu lakukan rehidrasi
terlebih dahulu.
Pemberian makanan harus teratur setiap 2-3 jam,
29. Langkah 2. Atasi/ Cegah Hipotermia
Diagnosis: Jika suhu aksila < 35,0 0C, suhu rektal <35,50C.
Tatalaksana
Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi dulu)
Hangatkan anak.
Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pemantauan
Ukur suhu aksillar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,50C
atau lebih.
Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada
malam hari.
Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia.
Pencegahan
Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas
angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/ selimut.
Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap
kering.
Hindarkan anak dari suasana dingin (misal sewaktu dan setelah mandi, atau
selama pemeriksaan medis).
Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di
malam hari.
30. Langkah 3. Atasi/ Cegah Dehidrasi
Pada anak gizi buruk, keadaan dehidrasi walaupun ringan dapat
menimbulkan komplikasi lain (hipoglikemia, letargi) sehingga
memperberat kondisi klinis.
Diagnosis pasti adanya dehidrasi adalah dengan pengukuran berat
jenis urin (>1.030), selain tanda dan gejala klinis khas bila ada, antara
lain rasa haus dan mukosa mulut kering.
Tatalakasana
Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi
berat dengan syok.
Sulit untuk memperkirakan status rehidrasi dengan melihat klinis saja
pada anak malnutrisi berat. Maka asumsikan bahwa setiap anak
dengan diare cair dapat mengalami dehidrasi.
Beri ReSoMal (rehidration solution for malnutrition), secara oral atau
melalui NGT, lakukan lebih lambat dibandingkan jika melakukan
rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.
Setelah 2 jam, beri ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang seling dengan F-75
dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 Thn:
50-100 ml setiap buang air besar, usia ≥1 Tahun: 100-200 ml setiap
buang air besar.
31. Langkah 4. Koreksi Gangguan Keseimbangan
Elektrolit 8,9
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan
magnesium yang mungkin membutuhkan waktu 2 Minggu atau lebih
untuk memperbaikinya.
Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium
serum mungkin rendah.
Tatalaksana
Untuk mengatasi gangguan elektrolit, diberikan kalium dan
magnesium, yang sudah terkandung di dalam larutan mineral-mix yang
ditambahkan ke dalam F-75, F-100, atau ReSoMal.
Ekstra kalium 3-4 mmol/kg/hari
Ekstra magnesium 0,4 – 0,6 mmol/kg/hari
Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi.
Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).
32. Langkah 5. Obati/ Cegah Infeksi 8,9
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam,
seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering
terjadi.
Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi
saat mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik.
Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
Antibiotik spektrum luas
Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 Bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 Bulan dab sudah
pernah diberi vaksin sebelum berumur 9 Bulan. Tunda imunisasi
jika anak syok.
33. Pilihan antibiotik spektrum luas:
Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri
kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/ kgBB setiap 12
jam) selama 5 hari.
Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
Ampicillin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari),
dilanjutkan dengan amoksisillin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam
selama 5 hari) atau, jika tidak tersedia amoksisillin, beri ampisilin
per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama hari) sehingga total
selama 7 hari, ditambah gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari IM/IV)
setiap hari selama 7 hari.
Jika anak tidak membaik dalam 48 jam, tambahkan kloramfenikol
(25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.
Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan
obati dengan kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.
Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (pneumonia, tuberkulosis,
malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang
sesuai.
34. Langkah 6. Koreksi Defisiensi Mikronutrien
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun sering
ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu sampai anak
mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya
pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah
infeksi.
Tatalaksana
Suplemen multivitamin
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
Zinc 2 mg/kgBB/hari
Tembaga 0,3 mg/kgBB/hari
Ferosulfat 3 mg/kg/hari setelah berat badan naik (mulai pada fase rehabilitasi)
Vitamin A; diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan sebelum
dirujuk), dengan dosis:
< 6 Bulan 50.000 (1/2 kapsul biru)
6-12 Bulan 100.000 (1 kapsul biru)
1-5 Tahun 200.000 (1 kapsul merah).
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam tiga bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai usia umur, pada hari ke 1, 2, dan 15.
35. Langkah 7. Pemberian Makanan Awal (initial feeding)
Pada fase stabilisasi diperlukan pendekatan yang hati-hati karena kondisi
fisiologis anak yang rapuh dan berkurangnya kapasitas homeostasis.
Pemberian makan sebaiknya dimulai sesegera mungkin setelah pasien
masuk
Hal-hal penting dalam pemberian makan pada fase stabilisasi adalah
sebagai berikut:
Pemberian makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering, rendah
osmolaritas, rendah laktosa.
Berikan secara oral atau melalu NGT, hindari penggunaan parenteral
Energi : 100 kkal/kgBB/hari
Protein: 1-1,5 g/ kgBB/ hari
Cairan: 130 ml/ kgBB/ hari, bila edema berat 100 ml/kgBB/ hari.
Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa
jumlah F-75 yang ditentukan harus dipenuhi
36. Langkah 8. Mencapai Kejar-Tumbuh
Pada fase rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk pemberian makan
dalam pencapaian asupan yang tinggi dan kenaikan berat badan yang cepat
(>10 g/kg/hari).
Formula yang dianjurkan pada fase ini adalah F100 yang mengandung 100
kkal/100 ml dan 2,9 g protein/ 100 ml.
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah
kembalinya nafsu makan, edema minimal atau hilang (pada kwashiorkor).
Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula
tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi):
Ganti F-75 dengan F-100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75 selama
2 hari berurutan.
Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit.
Setelah transisi bertahap, beri anak:
Pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak).
Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
Protein: 4-6/ kgBB/ hari.
37. Langkah 9. Memberikan stimuli fisik, sensorik, dan dukungan emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenannya, berikan:
Ungkapan kasih sayang
Ciptakan lingkungan yang menyenangkan, ceria
Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
Rencanakan aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
Tingkatkan ketelibatan ibu (menghibur, memberi makan, memandikan,
bermain, dll)
38. Langkah 10. Pemulangan dan tindak lanjut
Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan > 80%) dapat dianggap anak
telah sembuh.
Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan
pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap
dilanjutkan di rumah.
Tunjukkan kepada orang tua atau pengasuh bagaimana:
Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi
pemberian makan yang sering.
Terapi bermain yang terstruktur.
Sarankan :
Membawa anak kontrol secara teratur.
Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan.
Mengikuti program pemberian vitamin A setiap 6 Bulan.
39. Gangguan Mental
Noma (stomatitis gangrenosa)
Xeroftalmia
Kematian
KOMPLIKASI
Gambar 5. Noma.
40. Malnutrisi yang berat mempunyai angka kematian sekitar 20-
30%.
Kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak
dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena
malnutrisi sendiri.
Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai
dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya
pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif, kematian tidak
dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang
irreversibel dari sel-sel tubuh akibat gizi buruk/KEP berat
Prognosis
41. Empat masalah utama gizi di Indonesia yaitu kekurangan energi protein (KEP),
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), anemia defisiensi besi, dan
defisiensi vitamin A.
Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang
disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.
Penyebab malnutrisi dapat dibedakan menjadi penyebab langsung, penyebab
tidak langsung dan penyebab dasar.
Klasifikasi KEP dibagi menjadi KEP ringan, sedang, berat.
KEP berat secara klinis terdapat tiga tipe, yaitu marasmus, kwashiorkor,
marasmik-kwashiorkor.
Tatalaksana gizi buruk secara umum, khusunya pada fase stabilisasi, tetap
mengikuti panduan Kementrian Kesehatan RI yang mengacu pada panduan
WHO, yaitu berupa sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk.
Komplikasi gizi buruk diantaranya adalah gangguan perkembangan mental,
noma, xeroftalmia, kematian.
Gizi buruk mempunyai angka kematian sekitar 20-30%, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian
karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri.
Ringkasan
42. 1. Depkes RI-Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Surveilans KLB-Gizi
Buruk. Gizi-Depkes RI; 2010. Available at
http://suyantitno.blog.undip.ac.id/files/2010/04/surveilans-KLB-
Gizi-Buruk.pdf. Diakses tanggal 7 Juli 2013.
2. Atmarita, Tatang S. Analisa Situasi Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Depkes RI-Direktorat Gizi Masyarakat; 2004.
Available at http://gizi.depkes.go.id/kep/download/makalah-
wnpg8.doc. Diakses tanggal 7 Juli 2013.
3. Pudjiadi S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu
Gizi Klinis. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia; 2000.
4. UNICEF. Acute Malnutrition. Tracking Progress on Child and
Maternal Nutrition. UNICEF: 2009. Available at
http://www.unicef.org/nutrition/training/2.3/contents.html.
Diakses tanggal 7 Juli 2013.
5. Evawany Aritonang. Kurang Energi Protein. Bagian Gizi
Kesehatan Masyarakat FK USU; 2004. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3741/1/fkmgizi-
evawany.pdf. Diakses tanggal 7 Juli 2013.
Daftar Pustaka
43. 6. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Kekurangan Energi
Protein Pada Anak di Rumah Sakit Kabupaten/ Kodya.
Jakarta: Depkes; 2000.
7. Israr YA., Putra CA., Julianti R., Tambunan R., Hasriani
A. Gizi Buruk (severe malnutriotion). 2009. Available at
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/08/giziburu
kseveremalnutriotion_files_of_drsmed.pdf. Diakses
tanggal 7 Juli 2013.
8. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Pedoman
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten; alihbahasa, Tim Adaptasi
Indonesia. Jakarta: WHO Indonesia; 2009. 193-218.
9. J.C. Susanto., Maria M., Sri S. Malnutrisi Akut Berat dan
Terapi Nutrisi Berbasis Komunitas. Dalam Buku Ajar
Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Editor:
Damayanti R., Endang DL., Maria M., Sri SN. Jakarta:
Balai Penerbit IDAI; 2011. 128-45.
10. Ricardo U., Eva Hertrampf. Nutritional Deficiency and
Imbalances. The Role of Food, Agriculture, Forestry and