1. KABAR
JKPP 1
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat atas ruang
Kabar
JKPP22
Kebijakan Satu Peta
Paska Launching Geoportal
One Map Policy
www.kabar.jkpp.org
2. KABAR
JKPP2
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
KABAR REDAKSI
Salam Kedaulatan Atas Ruang,
Para Pembaca Yang Budiman, kali ini KABAR JKPP kembali
hadir di tangan para pembaca.
KABAR JKPP 22, kali ini menyajikan tema “Kebijakan
Satu Peta Paska Launching Geoportal One Map Policy”.
Kali ini untuk menindaklanjuti topik sebelumnya tentang
Kebijakan satu Peta serta implementasi serta catatan kritis atas
pelaksanaanya dilapangan.
Geoportal Kebijakan Satu Peta telah launching pada
Desember 2018 lalu sekaligus menjawab keraguan tentang
bagaimana implementasinya dalam kurun waktu 7 tahun
berjalan sejak diluncurkan oleh Presiden Jokowi. Ragam catatan
kritis, harapan serta konsep yang digagas oleh penulis tentang
bagaimana implementasi Kebijakan Satu Peta dilaksanakan
untuk mendorong pengakuan dan perlindungan kedaulatan
masyarakat atas ruang kelola, ruang hidup dan penghidupannya.
Kasmita Widodo (Direktur BRWA) memberikan
catatan kritis pada implementasi Kebijakan Satu Peta dalam
penetapan wilayah adat yang dinilai sangat lambat dan terkesan
dipaksakan. Penetapan hutan adat hingga kini masih jauh dari
janjiNawacitaJokowi,sehinggamasihperlumelakukanadvokasi
dalam mendorong penetapan hutan adat di Indonesia. Usep
Setiawan (Kantor Staf Presiden) memberikan gambaran tentang
implementasi Reforma Agraria pada Rezim Jokowi-JK lebih
baik dari periode sebelumnya. Pemberian akses legal berupa
sertifikat tanah serta ijin bagi Perhutanan Sosial merupakan
bentuk Negara Hadir dalam upaya penyelesaian konflik
pertanahan. Namun, diakui pelaksanaan Reforma Agraria
masih belum menyentuh hal-hal yang lebih substasif. Dari sisi
jumlah serta luasan juga masih dibawah target yang dijanjikan.
Sementara dari sisi teknis, BPN masih membatasi pada sector
tanah-tanah yang sudah Clear and Clean saja, sehingga masih
belum mampu menyelesaikan konflik ruang kelola yang sangat
kompleks dan panjang. Mumu Muhajir (Auriga) menyoroti
peran serta masyarakat dalam implementasi Kebijakan satu peta
sebagai kunci penting baik dari perencanaan, proses hingga
hasil.
KabarJKPPEdisi22inijuga mengulaskegiatanlapangan
yang dilakukan oleh simpul Layanan Pemetaan Partisipatif
(SLPP),sepertipenggunaandanadesauntukkegiatanpartisipatif
di Desa Cikoneng, Kec. Cikoneng, Kab. Ciamis, Jawa Barat.
Pemetaan partisipatif di Zona pesisir dan Pulau-pulau Kecil di
Komunitas Adat Kade Liya, Sulawesi Tenggara. Upaya menata
ruang melalui perencanaan tata guna lahan dalam kawasan
gambut di Kecamatan Jabiren raya, Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah. Serta kegiatan pemetaan dan perencanaan desa di Desa
Warungbanten, Kec. Cibeber Kab. Lebak, Banten
Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan
terutama tulisan baik ide, analisis maupun pengalaman belajar
dari para pembaca untuk memperkaya media ini.
Selamat Membaca!
Yang dapat kami KABARI
No 22, Juni 2019
Peta Wilayah Adat Dalam
Kebijakan Satu Peta ......................3
Reforma Agraria Dalam Kebijkan
Satu Peta .........................................6
Transparasi Data Dalam Kebijakan
Satu Peta .......................................12
Partisipasi Masyarakat Dalam
Perlindungan Wilayah Kelola
MelaluiCounterData..................14
Peta Wilayah Adat Kadie Lya,
Nasibmu Kini ..............................17
Masyarakat Tanjung Pusaka,
Merawat Danau Bagantung ........20
Desa Cikoneng Gelar Pemetaan
Partisipatif Gunakan Dana Desa ...
.......................................................23
Konsolidasi Simpul Layanan
Pemetaan Partisipatif 2019.........25
DEWAN REDAKSI KABAR JKPP
Pimpinan Umum : Deny Rahadian, Pimpinan
Redaksi : Dewi Puspitasari Sutejo, Redaktur: Sahdi
Sutisna, Redaktur pracetak : Sahdi Sutisna, Reporter
& Kontributor : Kasmita Widodo, Usep Setiawan,
Mumu Muhajir, Imam Hanafi, Muhammad Husen,
Mutmainnah, Fathan Aryo dan Layout: Imam M
Alamat Redaksi :
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Jl.Cimanuk Blok B7 No.6, Komp. Bogor Baru,
Bogor 16152 INDONESIA
Telp& Fax. +62 – 251 8379143
Email: kabar@jkpp.org, www.jkpp.org
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
berdiri pada bulan mei 1996 di Bogor. Penggagas
berdirinya JKPP adalah berbagai NGO dan
masyarakat adat yang memanfaatkan dan
mengembangan pemetaan berbasis masyarakat
sebagai salah satu alat pencapaian tujuanya.
Kegiatan kegiatan yang dilaukan JKPP antara
lain menyelenggarakan pelatihan - pelatihan
dan magang pemetaan partisipatif, perluasan
dan penyebaran ide - ide pemetaan partisipatif,
meyelenggarakan dialog - dialog keruangan,
penerbitan dan melakukan aliansi dengan
berbagai pihak yang aktif dalam gerakan -
gerakan sumber daya alam kerakyatan
3. KABAR
JKPP 3
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
Sejak diluncurkannya Geoportal Kebijakan Satu Peta pada
akhir tahun 2018 lalu, ada beberapa hal yang menjadi perhatian
publik. Pertama, ada dua komponen peta Informasi Geospasial
Tematik (IGT) yang belum terkompilasi, yaitu peta batas desa dan
petatanahulayat(wilayahadat).Padahalduapetatematikinisangat
strategis terkait dengan ruang hidup masyarakat adat dan warga
desa. Dapat dikatakan dua peta tematik ini menjadi layer (lapisan)
paling bawah yang berhubungan langsung dengan keberadaan dan
relasi masyarakat dengan sumber-sumber agraria dengan berbagai
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat seperti berladang,
sawah, kebun campur (agroforestry), menangkap ikan, berburu,
memanfaatkan hasil hutan maupun hasil laut, danau dan sungai.
Peta desa dan peta wilayah adat menjadi basis informasi
spasial masyarakat untuk pengelolaan ruang hidupnya (territory
of life), dan kaum gerakan sering menyebutnya sebagai wilayah
kelola rakyat. Oleh karena itu kedudukan peta desa dan atau peta
wilayah adat dalam proses kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi
pada kebijakan satu peta perlu dilakukan sejak awal proses tersebut
dijalankan. Aspek pengelolaan wilayah (tata kelola) dan aspek
penguasaan wilayah (tata kuasa) masyarakat melekat dan dapat
ditelusuri kesejarahannya pada dua peta tematik tersebut.
Kedua, isu kewenangan akses untuk berbagi data informasi
geospasial melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN)
dalam percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta. Hal ini
diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 2018. Perpres
ini mengatur siapa saja yang dapat mengakses 85 peta tematik
yang termuat dalam geoportal satu peta dengan jenis akses yang
dapat dilakukan seperti mengunduh, melihat dan/atau tertutup.
Akses JIGN hanya diberikan kepada pejabat pemerintah dimulai
dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Bappenas. Kepala Badan Informasi Geospasial memiliki
kewenganan menguduh dan melihat, sedangkan Menteri atau
pimpinan lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota memiliki
kewenangan akses untuk mengunduh, melihat, dan/atau tertutup.
Kewenangan akses ini masih akan diatur dalam Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan
Kebijakan Satu Peta.
KABAR
UTAMA
PETA WILAYAH ADAT DALAM KEBIJAKAN SATU PETA
Oleh : KASMITA WIDODO
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat
Peta desa dan
peta wilayah adat
menjadi basis
informasi spasial
masyarakat untuk
pengelolaan ruang
hidupnya (territory
of life), dan kaum
gerakan sering
menyebutnya
sebagai wilayah
kelola rakyat.
Oleh karena itu
kedudukan peta
desa dan atau peta
wilayah adat dalam
proses kompilasi,
integrasi, dan
sinkronisasi pada
kebijakan satu peta
perlu dilakukan
sejak awal proses
tersebut dijalankan
“
”
4. KABAR
JKPP4
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Gambar : Peta Perencanaan Desa Warung Banten
Sumber JKPP
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan Keppres ini maka imaginasi Kebijakan
Satu Peta yang disajikan melalui Geoportal
yang dapat diakses oleh publik menjadi sirna.
Tertutupnya akses data tematik atau pembatasan
akses data spasial oleh publik tersebut merupakan
kemunduran luar biasa terhadap hak-hak
masyarakat. UU Keterbukaan Informasi Publik
Nomor 14 tahun 2018 diantaranya mengatur
tentang informasi yang wajib disediakan dan
diumumkan, diantaranya hasil keputusan Badan
Publikdanpertimbanganyadanseluruhkebijakan
yang ada berikut dokumen pendukungnya (Pasal
11, ayat (1) huruf b dan c. Dengan Keppres
pembatasan akses ini, maka informasi peta
kawasan hutan Kementerian Lingkungan Hidup
termasuk informasi yang dapat diunduh dan
dilihat oleh publik, menjadi informasi yang
tertutup begitu diintegrasikan dan dimuat di
dalam Geoportal Kebijakan Satu Peta. Aneh !
Peta Wilayah Adat
Dalam Perpres Kebijakan Satu Peta,
IGT Tanah Ulayat menjadi salah satu unsur
peta yang perlu dikompilasi, integrasi dan
sinkorinisasi. Peta ini merujuk pada peta yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Dalam
perkembangan pembentukan kebijakan daearah
saat ini sudah cukup banyak pemerintah daerah
kabupaten menerbitkan kebijakan daerah dalam
bentu Peraturan Daerah (Perda) dan Surat
Keputusan Kepala Daerah dalam pengakuan dan
perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Peta Wilayah Adat menjadi satu dokumen
lampiranPerdadan/ataukeputusankepaladaerah
yang tidak terpisahkan. Ini merupakan bentuk
pengakuan atas subyek (komunitas) sekaligus
pengakuan obyek (tanah ulayat atau wilayah adat),
termasukpengakuandatainformasigeospasialnya
dalam bentuk peta wilayah adat. Hal ini sesuai
dengan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota seperti yang diatur dalam
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, dimana dalam lampiran UU tersebut
yang mengatur kewenangan dituliskan bahwa
PemerintahDaerahProvinisidanKabupaten/Kota
memiliki kewenangan melakukan identifikasi dan
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat.
Hal ini juga diatur di dalam Permendagri No. 52
Tahun 2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat.
Pertanyaannya mengapa kompilasi peta
wilayah adat belum terjadi dalam Geoportal
Kabijakan Satu Peta? Dalam beberapa kesempatan
penulis ikuti diskusi dengan Sekretariat Pelaksana
Kebijakan Satu Peta (PKSP) dan Kantor Staf
Presiden sebelum dan sesudah peluncuran
Geoportal Kebijakan Satu Peta. Sekretariat
PKSP memasukkan peta tanah ulayat atau
wilayah adat melalui peta tematik hutan adat
(walidata Kementerian LHK) dan peta tanah
hak komunal (walidata ATR/BPN). Tafsir atas
IGT Tanah Ulayat dan langkah Sekretariat PKSP
tersebut menimbulkan pertanyaan, dimana akan
diintegrasikan peta wilayah adat yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah daerah? Jika peta
ini akan diintegrasikan dalam Jarigan Informasi
Geospasial Daerah (JIGD) di tingkat kabupaten,
maka perlu perhatian terkait infrastruktur
5. KABAR
JKPP 5
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
jaringan sistem informasi, komptensi dan
kapasitas pengelolaan dan anggaran.
Tantangan Integrasi Peta Wilayah Adat
Melihat skema kompilasi dan integrasi
peta wilayah adat seperti itu maka ada beberapa
tantangan yang perlu dicari jalan keluarnya;
1. Peta Tanah Hak Komunal melalu skema
Pengakuan Hak Komunal. Rujukan
kebijakannya adalah Peraturan Menteri ATR/
BPN No.10 tahun 2016 tentang Pengakuan
Hak Komunal. Sejak diterbitkan peraturan ini,
belum ada satu penetapan pun hak komunal yang
diterbitkan oleh Menteri ATR/BPN. Belum ada
petunjuk teknis dan program yang menjalankan
kegiatan-kegiatan identifikasi dan penetapan hak
komunal. Jadi masyarakat adat akan kesulitan
menggunakan skema ini jika tidak ada perubahan
dalam program nasional untuk melakukan
pengakuan hak komunal masyarakat adat.
2. Peta Hutan Adat melalui skema Pengakuan
Hutan Adat. Skema ini merujuk pada Peraturan
Menteri LHK No.32 tahun 2015 tentang Hutan
Hak. Sejak Putusan MK35 dibacakan tahun 2013
yang menegaskan bahwa Hutan Adat adalah
bukan Hutan Negara, proses implementasinya di
KLHK sangat lambat, sampai Maret 2019 baru
sekitar 28.286 hektar yang ditetapkan sebagai
Hutan Adat.
3. Pengembangan JIGD di kabupaten. Perlu
pembentukan dan pendampingan Badan
Informasi Geospasial untuk Pembangunan
Simpul Jaringan di tingkat kabupaten. Aspek
kompetensi dan kapasitas kelembagaan pengelola
JIGD serta anggaran pengelolaannya. Ini hal
yang tidak mudah bagi pemerintah daerah
dengan tambahan “beban” bagi postur anggaran
daerahnya.
4. Peran Kemendagri dalam Integrasi Peta
Wilayah Adat. Saat ini belum ada unit atau satuan
kerja di Kemendagri yang bekerja
untuk melakukan kompilasi peta-
peta wilayah adat yang sudah
ditetapkanolehPemerintahDaerah,
melakukan peran aktif sebagai
walidata atas peta-peta wilayah adat
yang akan diintegrasikan dalam
Sekretariat PKSP.
Dari sisi masyarakat, Badan
Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
telah mencatat sekitar 1,4 juta
peta wilayah adat telah memiliki
penetapan pengakuan melalui
kebijakan daerah (Perda dan/atau
SK Bupati), ada 2,4 juta hektar
berada pada kabupaten yang telah
menerbitkan Perda pengakuan
MHA dalam bentuk pengaturan
tata cara pengakuan, dan masih
ada 6,5 juta hektar menunggu proses penerbitan
kebijakan daerah untuk pengakuan MHA.
Dengan demikian perlu segera kejelasan proses
integrasi peta wilayah adat sebelum akhir tahun
2019 sebagai target capaian PKSP atau Kebijakan
Satu Peta ini memang bukan tempat untuk Peta
Wilayah Adat.
Gambar : Peran Perempuan Dalam Pemetaan Partisipatif
Sumber JKPP
--------------------------------------------------------------------------------------------
6. KABAR
JKPP6
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Pembuka
Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy telah menjadi
kepedulian utama dan kegiatan penting yang diprioritaskan
pemerintah sejak dicetuskan Jokowi dalam Nawacita (2014).
Untuk itu, telah diterbitkan Perpres No. 9/2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta 2016-2019 sebagai dasar hukum
bagi pelaksanaannya.
Kebijakan ini lahir dilatari masalah tumpang tindih
peta antar-sektor pembangunan. Hal ini, selain menimbukan
ketidakpastian dalam perencanaan dan pelaksanaan pembagunan,
juga menyebabkan konflik antar lembaga yang masing-masing
memiliki kewenangan dalam hal pemetaan. Untuk itu, presiden
menghendaki kebijakan satu peta yang dapat mengitegrasikan
sistem data, informasi dan peta untuk pembangunan yang sinergis
dan berkeadilan.
Selain kebijakan satu peta, presiden juga memprioritaskan
reforma agraria sebagai program prioritas untuk mengatasi
ketimpangan ekonomi berbasis pemerataan. Perpres No. 86/2018
tentang Reforma Agraria ditandatangani 24 September. Salah satu
syarat berhasil dari program reforma agraria adalah tersedianya
data dan informasi mengenai obyek secara lengkap dan akurat. Di
sinilah letak pentingnya dari peta mengenai obyek reforma agraria.
Bagaimana perkembangan kebijakan satu peta dikaitkan
dengan pelaksanaan program reforma agraria? Mungkinkah
reforma agraria diintegrasikan dalam kebijakan satu peta?
Perkembangan Kebijakan Satu Peta*
Dalam catatan Agung Hikmat (Tim Kebijakan Satu Peta
- Kantor Staf Presiden), sejak 2016 diketahui bahwa Kebijakan
Satu Peta telah berjalan dengan koordinasi di bawah Kementerian
Koordinator Bidang Ekonomi bersama Badan Informasi
Geospasial. Pada perkembangannya, sejak 2016 sampai akhir 2018,
Kebijakan Satu Peta telah berhasil melakukan konsolidasi terhadap
85 peta tematik yang dihasilkan oleh 19 Kementerian. Konsolidasi
yang dimaksud memastikan peta yang dihasilkan oleh kementerian
memiliki skala yang sama dan menggunakan basis peta dasar yang
sama. Tanpa proses tersebut, proses overlay di antara peta sektor
tidak menghasilkan informasi yang bermanfaat.
Perpres No.
86/2018 tentang
Reforma Agraria
ditandatangani 24
September. Salah
satu syarat berhasil
dari program
reforma agraria
adalah tersedianya
data dan informasi
mengenai obyek
secara lengkap dan
akurat. Di sinilah
letak pentingnya
dari peta mengenai
obyek reforma
agraria
”
“
Oleh : USEP SETIAWAN
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP)
KABAR
UTAMA
Reforma Agraria Dalam Kebijakan satu
Peta
7. KABAR
JKPP 7
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
Bupati Sigi Muhammad Irwan Lapata menyerahkan Peta TORA ke Dirjen Perhutanan Sosial KLHK Hadi Daryanto
Sumber https://republika.co.id
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selain kebijakan satu peta,
presiden juga memprioritaskan
reformaagrariasebagaiprogram
prioritas untuk mengatasi
ketimpangan ekonomi berbasis
pemerataan. Perpres No.
86/2018 tentang Reforma
Agraria ditandatangani 24
September. Salah satu syarat
berhasil dari program reforma
agraria adalah tersedianya data
dan informasi mengenai obyek
secara lengkap dan akurat. Di
sinilah letak pentingnya dari
peta mengenai obyek reforma
agraria.
Bagaimana perkembangan
kebijakan satu peta dikaitkan
dengan pelaksanaan program
reforma agraria? Mungkinkah
reforma agraria diintegrasikan
dalam kebijakan satu peta?
Perkembangan Kebijakan Satu
Peta
Dalam catatan Agung
Hikmat (Tim Kebijakan Satu
Peta-KantorStafPresiden),sejak
2016diketahuibahwaKebijakan
Satu Peta telah berjalan
dengan koordinasi di bawah
Kementerian Koordinator
Bidang Ekonomi bersama
Badan Informasi Geospasial.
Pada perkembangannya,
sejak 2016 sampai akhir
2018, Kebijakan Satu Peta
telah berhasil melakukan
konsolidasi terhadap 85 peta
tematik yang dihasilkan oleh
19 Kementerian. Konsolidasi
yang dimaksud memastikan
peta yang dihasilkan oleh
kementerian memiliki skala
yang sama dan menggunakan
basis peta dasar yang sama.
Tanpa proses tersebut, proses
overlay di antara peta sektor
tidak menghasilkan informasi
yang bermanfaat.
Pada tangal 11 Desember
2018 yang lalu, presiden
meresmikan Geoportal
Kebijakan Satu Peta sebagai
kanal berbagi pakai peta-
peta pemerintah yang akurat.
Untuk pertama kalinya sejak
Indonesia merdeka, publik dan
pemerintah mengetahui secara
presisi potret tumpang tindih
pemanfaatan lahan yang tengah
terjadi. Tercatat 7,7 hektar atau
19,8% wilayah Kalimantan
memiliki status pemanfaatan
lahan yang tumpang tindih.
Sementara di Sumatera
diketahui 13.3% lahan memiliki
status tumpang tindih.
Pada titik capaian
ini, masih banyak pekerjaan
rumah yang perlu diselesaikan,
antara lain penyelesaian
tumpang tindih yang telah
teridentifikasi pada Pulau
Kalimantan dan Sumatera
tersebut. Upaya penyelesaian
tersebut tidak mudah,
pemerintah perlu menentukan
metode yang jelas, memikirkan
bagaimana dampak kebijakan
atas perizinan yang tengah
berlangsung, serta memastikan
agar rekomendasi penyelesaian
tumpang tindih dipenuhi oleh
semua pihak yang terdampak.
Selain itu, pemerintah perlu
meneruskan proses integrasi
peta pada provinsi lainnya,
dan melakukan kompilasi atas
8. KABAR
JKPP8
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
peta tematik yang masih belum
secara lengkap terkumpul.
Diantara peta yang
masih perlu terus dilengkapi
adalah peta Batas Desa serta
Peta Tanah Ulayat. Peta tersebut
memiliki nilai strategis, yang
khususnya berdampak pada
Program Reforma Agraria.
Pemetaan tersebut tidak mudah
mengingat skala peta yang akan
perlu lebih besar dibandingkan
dengan peta tematik lain pada
skala 1:50.000. Pemerintah dan
Masyarakat Sipil telah berupaya
untuk bersinergi dalam
menyelesaikan kompilasi peta
tersebut.
SaatiniBIGtelahmemetakan
lebihdari40ribudesadansegera
menyelesaikan keseluruhan
sisa peta desa yang berjumlah
tidak kurang dari 74 ribu
desa. Namun perlu dipahami
bahwa peta tersebut masih
bersifat indikatif dan Pemda
perlu melakukan pengesahan
bersama dengan tim yang
terdiri dari berbagai pemangku
kepentingan (Permendagri
45/2016). Selain pemerintah
pusat terus mendorong Pemda
untuk melakukan pengesahan,
dukungan masyarakat sipil juga
diperlukan untuk mendukung
Pemda.
Sementara itu, untuk
Peta Tanah Ulayat, saat ini
pemerintah membagi kompilasi
peta menjadi Peta Hak Hutan
Adat, Peta Hak Komunal,
serta Peta Wilayah Adat. Dua
peta pertama memerlukan
pengajuan kepada Menteri
LHK dan Menteri ATR/ BPN
sehingga wilayah adat yang
diajukan dapat memperoleh
hak sebagaimana diatur UU.
Sementara itu pemerintah juga
tengah mengupayakan agar peta
wilayah adat yang telah disusun
masyarakat sipil berdasarkan
Permendagri 52 tahun 2016,
menjadi bagian dari Geoportal
Kebijakan Satu Peta (sumber:
Agung Hikmat, Mei 2019).
Secara programatik
kelembagaan, BIG sebagai
lembagayangbertanggungjawab
untuk menjalankan Kebijakan
Satu Peta di bawah koordinasi
Kemenko Bidang Ekonomi,
telah berupaya untuk
mengintegrasikan peta-peta
dari berbagai kementerian/
lembaga sektoral. Kantor Staf
Presdien sebagai lembaga yang
mengakselerasi pelaksanaan
Kebijakan Satu Peta dan
juga Reforma Agraria serta
Perhutanan Sosial turut dalam
prosespersiapanpengembangan
sistem dan kelembagaan
pendukung kebijakan ini di
tingkat nasional dan daerah.
Misalnya dalam pembentukan
Jaringan Informasi Geospasial
Nasional (JIGN) maupun
Gugus Tugas Reforma Agraria
(GTRA) di sejumlah provinsi.
Selain itu, secara khusus
Kantor Staf Presiden juga
mendorong agar hasil dari
kegiatan integrasi peta ini dapat
secara efektif digunakan bagi
perbaikan perencanaan dan
pelaksanaan redistribusi dan
legalisasitanahsertaperhutanan
sosial dalam kerangka reforma
agraria.
Dinamika Pelaksanaan
reforma agraria
Sampai akhir tahun
2018, reforma agraria dalam
pengertian redistribusi tanah
telah dijalankan Kementerian
ATR/BPN dengan realisasi yang
masih terbilang rendah, yakni
545.425 bidang seluas 412.351
Ha. Ini kelemahan mendasar
yang patut jadi catatan bagi
Menteri ATR/Kepala BPN,
untuk mengimbangi prestasi
legalisasi yang mencapai lebih
12 juta bidang (2015-2019).
Sementara itu, reforma
agraria juga dijalankan dengan
memberikan akses pemanfaatan
hutan kepada rakyat melalui
lima skema perhutanan sosial.
Per September 2018, ada 4.880
Ijin/Hak telah terbit untuk
476.113 KK, luas total 2.007.557
Ha, termasuk di dalamnya
pengakuan 27.950 Ha hutan
adat milik masyarakat adat
(Kompas, 10 Mei 2019).
Terdapat tantangan besar
dalam kegiatan redistribusi
tanah, terutama kaitannya
dengan kehutanan. Pelaksanaan
reforma agraria dengan
pemanfaatan tanah di kawasan
hutan selama ini dijalankan
melalui dua skema, yakni:
(1) perubahan tata batas
kehutanan dan/atau pelepasan
kawasan hutan untuk menjadi
obyek redistribusi tanah obyek
reforma agraria (TORA), dan
(2) perhutanan sosial melalui
skema hutan adat dan skema
perhutanan sosial lainnya.
Padahal,reformaagrariasudah
menjadi kebijakan nasional
yang operasional sebagaimana
diatur dalam Perpres 86/2018
tentang Reforma Agraria,
dan penyediaan TORA dari
kawasan hutan diatur Perpres
88/2017 tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah di dalam
Kawasan Hutan. Namun
9. KABAR
JKPP 9
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
pada kenyataannya, kegiatan
redistribusi tanah dari bekas
kawasan hutan yang targetnya
4,1 juta hektar dalam lima tahun
(2015-2019) pencapaiannya
masih sangat minim. Demikian
halnya dengan pencapaian
penetapan hutan adat dan hutan
sosial di wilayah gambut sebagai
bagian dari skema perhutanan
sosial juga masih sangat lambat.
Di sisi lain, sengketa tanah atau
konflik agraria masih terus
terjadi. Sejak 2016-2018, KSP
telah menerima pengaduan
masyarakat sebanyak 555
kasus di sektor perkebunan,
kehutanan, infrastruktur,
pertambangan, transmigrasi,
dan sebagainya. Luas tanah
yang dipersengketakan tak
kurang dari 421.671,72 hektar,
dan 106.803 KK rakyat sebagai
korban.
Kegiatan redistribusi
tanah obyek reforma agraria
dari bekas kawasan hutan dan
kegiatan pengakuan hutan adat
sebagai bagian dari Perhutanan
Sosial selama ini masih sangat
minim dan lambat. Oleh karena
itu, kini diperlukan percepatan
proses pelepasan kawasan hutan
untuk jadi obyek redistribusi
TORA, pengakuan hutan adat,
dan penanganan/penyelesaian
konflik agraria di bidang
kehutanan.
Presiden menyadari
hal ini dan memberikan
arahan kepada para menteri
terkait untuk mempercepat
pelaksanaan reforma agraria
sertamenangani/menyelesaikan
konflik agraria melalui Rapat
Ternatas dan melalui Perpres
88/2017 tentang PPTKH, Inpres
8/2018 tentang moratorium ijin
perkebunan sawit, dan Perpres
86/2018 tentang Reforma
Agraria. Untuk mengakselerasi
percepatan pencapaian target
reforma agraria dan perhutanan
sosial serta penanganan dan
penyelesaian konflik agraria,
Presiden meminta para menteri
agar mempercepat pelaksanaan
redistribusi TORA dari kawasan
hutan, penetapan hutan adat,
dan penanganan/penyelesaian
kasus-kasus agraria di bidang
pertanahan dan kehutanan.
Secara terintegrasi, sekarang
ini diperlukan kerangka kerja
teknokratis percepatan dan
penanganannya di dalam
atau secara bersama lintas
kementerian dan lembaga di
bidang pertanahan atau agraria,
lingkungan dan kehutanan,
pertanian dan perkebunan,
BUMN, pertambangan atau
ESDM,keuangan,danKemenko
Perekonomian.
Dalam Rapat Terbatas
(26 Februari 2019) Presiden
telah meminta Kementerian
LHK untuk mempercepat
pelepasan kawasan hutan untuk
dijadikan obyek redistribusi
TORA dalam kerangka
pelaksanaan reforma agraria
sebagaimana diatur Perpres
86/2018 tentang Reforma
Agraria, khususnya tanah yang
sudah jadi pemukiman, sawah,
ladang, fasum, fasos, dan desa
yang ada dalam klaim kawasan
hutan (yang dikelola Perhutani
di Jawa dan perusahaan di luar
Jawa) untuk segera dikeluarkan/
dilepaskan dari kawasan hutan
untuk dimiliki masyarakat.
Bahkan dalam Rapat
Terbatas (3 Mei 2019)
Presiden kembali menegaskan
perlunya penyelesaian masalah
pertanahan ini. Presiden
menyatakan perlunya evaluasi
bahkan jika perlu mencabut
ijin konsesi-konsesi yang
menyingkirkan hak rakyat atas
tanah. Kementerian ATR/BPN
diminta segera memprores
redistribusi dan legalisasi bagi
tanah-tanah bekas kawasan
hutan yang sudah dilepaskan
Kementerian LHK, termasuk
yang sudah diusulkan
oleh masyarakat dan/atau
pemerintah daerah.
Kementerian LHK
diminta untuk mempercepat
penetapan hutan adat sebagai
bagian dari Perhutanan Sosial,
khususnya memastikan
pengakuan wilayah-wilayah
adat yang sudah ada pendataan
dan pemetaan lapangan, dan
sudah melalui proses legislasi di
daerah untuk segera dilakukan.
Para menteri dan jajarannya
Sejak 2016-2018,
KSP telah menerima
pengaduan masyarakat
sebanyak 555 kasus
di sektor perkebunan,
kehutanan,
infrastruktur,
pertambangan,
transmigrasi, dan
sebagainya. Luas tanah
yang dipersengketakan
tak kurang dari
421.671,72 hektar, dan
106.803 KK rakyat
sebagai korban
“
”
10. KABAR
JKPP10
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
sangat penting untuk menjadikan percepatan
redistribusi TORA, penetapan hutan adat, hutan
sosial di wilayah gambut, dan penanganan/
penyelesaian konflik agraria –khususnya di
bidang pertanahan dan kehutanan, sebagai bagian
dari pelaksanaan reforma agraria sebagaimana
diatur Perpres 86/2018.
Penting juga untuk mengembangkan tata
laksana penanganan dan penyelesaian konflik
agraria dengan pendekatan legal-formal, sosio-
historis,dansosio-kulturalsecaraterpadu.Menko
Perekonomian sebagai Ketua Tim Reforma
Agraria penting untuk mengkordinasikan
percepatan redistribusi TORA, penetapan hutan
adat, dan penanganan/penyelesaian kasus-kasus
konflik agraria yang ada di semua sektor yang
saling terkait.
Integrasi reforma agraria dalam kebijakan satu
peta?
Apa pentingnya kebijakan satu peta
dalam pelaksanaan reforma agraria? Bagaimana
meletakan agenda-agenda reforma agraria dalam
kebijakan satu peta? Penulis menyampaikan
gagasan ini sebagai ide awal untuk didiskusikan
lebih dalam dengan para pihak. Setidaknya
terdapat beberapa jenis peta yang dibutuhkan
untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria
dan perhutanan sosial. Peta yang dimaksud
penting untuk mengetahui kondisi penguasaan
dan pemilikan tanah yang aktual maupun untuk
mengetahui sebaran dari capaian kegiatan
redistribusi dan legalisasi tanah serta perhutanan
sosial yang aktual.
Jenis peta yang pertama adalah peta dan
data yang terbuka mengenai status pemilikan dan
penguasaan tanah berdasarkan: (1) Hak Guna
Usaha dari perkebunan dan Hak Guna Bangunan
atas perusahaan swasta dan negara, baik yang
masih aktif maupun yang sudah berakhir untuk
melihat potensi tanah untuk redistribusi sebagai
obyek utama reforma agraria, (2) Bidang-bidang
tanah yang belum terdaftar dan/atau belum
memiliki sertipikat untuk mengetahui target dari
kegiatan legalisasi tanah bagi pemerintah, dan (3)
Potensi kepemilikan tanah komunal berdasarkan
hak kepemilikan bersama bagi masyarakat adat
untuk melengkapi peta indikatif hutan adat yang
disusun kementerian di bidang kehutanan.
Jenis peta dan data kedua mengenai:
(1) Tanah hasil redistribusi atas tanah obyek
reforma agraria yang sumbernya berasal dari
bekas kawasan hutan yang dilepaskan, bekas
HGU atau HGB dan tanah negara lainnya untuk
mengenai sebaran capaian dari redistribusi
tanah, (2) Sertipikat Hak Milik, termasuk dan
terutama yang sudah berhasil diterbitkan melalui
kegiatan pendaftaran tanah sistematis lengkap
Sumber: http://webgis.dephut.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/tora
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
11. KABAR
JKPP 11
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
(PTSL) untuk mengetahui sebaran capaian dari
kegiatan legalisasi tanah, dan (3) Tanah komunal
dengan hak kepemilikan bersama atau adat yang
sudah diberikan oleh pemerintah dalam rangka
pengakuan dan penguatan wilayah adat serta hak
masyarakat adat dalam reforma agraria.
Adapun jenis peta dan data ketiga terkait
potensi dan sebaran capaian dari kegiatan
perhutanan sosial: (1) Peta ijin atau konsesi
kehutanan, baik yang masih berlaku maupun
yang sudah berakhir untuk mengetahui potensi
kawasan hutan yang bisa dilepaskan dan/atau
ditata batas untuk menjadi TORA maupun
untuk areal perhutanan sosial, (2) Sebaran
capaian perhutanan sosial dalam skema Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat,
Kemitraan Kehutanan, Hutan Desa, dan Hutan
Adat, dan (3) Sebaran areal bekas kawasan hutan
yang sudah dilepaskan dan/atau ditata batasnya
untuk dijadikan TORA, sebagain bagian dari
upaya pengakuan negara atas wilayah adat dan
masyarakat adat.
Sedangkan jenis keempat adalah
mengenaiPetaBatasDesayangpentingdisiapkan,
disusun dan diintegrasikan dalam kebijakan satu
peta. Dengan kepastian peta batas desa ini maka
pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan
sosial akan bermakna meneguhkan kemandirian
desa dalam penguasaan dan pengusahaan atas
tanah, hutan dan wilayah desanya. Selain itu,
peta batas desa ini penting dikaitkan dengan
kepastian wilayah administratif desa yang
sangat menentukan dalam pelaksanaan berbagai
program dan kegiatan pemerintah di perdesaan.
Dalam hal ini, peran Kementerian Dalam Negeri
dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi
memegang peran kunci.
Keseluruhan dari empat jenis peta dan
data ini sangat penting untuk dijadikan prioritas
dan dikerjakan oleh kementerian/lembaga
terkait. Hal ini, dipentingkan untuk mengetahui
kondisi obyektif dari potensi dan capaian
kegiatan redistribusi dan legalisasi atas tanah
obyek reforma agraria, serta perhutanan sosial –
termasuk pengakuan wilayah adat dan penetapan
peta batas desa. Peta dan data yang disiapkan
kementerian terkait ini lalu diintegrasikan
dengan peta-peta lain yang dikoordinasiokan
oleh Kemenko Bidang Ekonomi dan BIG.
Penutup
Dengan disusun dan diintegrasikannya
peta-peta terkait pelaksanaan reforma agraria
dan perhutanan sosial dalam kebijakan satu peta
ini, selain keterbukaan informasi bagi publik yang
dengan sendirinya dapat dipenuhi pemerintah,
juga persiapan dan perencanaan pelaksanaan
reforma agraria dan perhutanan sosial dapat
dilakukan dengan lebih matang.
Terintegrasinya peta dan data ini
kemudian diolah menjadi bagian dari sistem
informasi utama mengenai potensi dan capaian
reforma agraria dan perhutanan sosial. Pada
gilirannya, informasi ini akan memudahkan
dalam mengurai benang kusut kebijakan dan
menata tumpang tindihnya praktek buruk di
lapangan agraria dan pengelolaan kekayaan alam.
Mengintegasikan reforma agraria dalam
kebijakan satu peta ini perlu kesungguhan
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
dengan bersinergi-kolaborasi bersama gerakan
masyarakat sipil untuk membuatnya menjadi
nyata dan berkualitas
Keterangan:
* Bagian ini disiapkan bersama Agung Hikmat (Tenaga Ahli
Madya Kantor Staf Presiden, sebagai penanggungjawab tim
kebijakan satu peta KSP).
12. KABAR
JKPP12
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Kebijakan Satu Peta (KSP) dilahirkan
dengan harapan terselesaikannya tumpang
tindih pengelolaan ruang dan lahan di Indonesia.
Berawal dari kenyataan masing-masing institusi
pemerintah memiliki peta atau referensi ruang
yang berbeda-beda. Dampaknya adalah kuatnya
ego sektoral dalam melihat dan memanfaatkan
ruang dan lahan (atau sebaliknya perbedaan peta
dihasilkan dari kuatnya ego sektoral) serta adanya
konflik pemanfaatan ruang dan lahan. Dampak
ikutan lainnya adalah kesulitan dalam membuat
perencanaan ruang dan konflik/tumpang tindih
pemanfaatan ruang. Tidak hanya masyarakat
yang kena dampaknya (ruang hidupnya tetiba
ditetapkan sebagai kawasan hutan atau lahan
HGU), tetapi juga menyulitkan negara dalam
melaksanakan kegiatan pembangunannya.
Ketika tata batas desa belum jelas, administrasi
pemerintahan akan terkendala, data
kependudukanya tidak jelas sehingga bantuan
kepada masyarakat tidak akan optimal.
Kebijakansatupetasudahberjalanhampir
satu dekade. Proses pengumpulan berbagai
macam peta atau informasi geospasial tematik
sudah dilakukan, tahapan integrasi-verifikasi
dan sinkronasi sedang berjalan untuk sampai
pada adanya satu acuan, referensi dan peta yang
sama. Kerja yang tidak mudah. Terkait lahan,
Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan
Nasional sudah menyerahkan petanya kepada
BRG untuk ditumpang-susunkan dengan Peta
Rupa Bumi untuk akhirnya disinkronkan
sehingga ada data yang sama terkait dengan
pemanfaatan lahan.
Tidak hanya pemerintah yang terlibat,
kelompok masyarakat sipil juga berpartisipasi
setidaknya dalam menyerahkan peta penguasaan
lahan oleh masyarakat/masyarakat adat kepada
pemerintah. Penyerahan ini dengan harapan
adanya data pembanding dan proses verifikasi
dan sinkronisasi dengan satu peta yang sedang
disusun oleh pemerintah.
Jika kita merujuk pada Perpres 9 tahun 2016,
maka Juni 2019 ini menjadi waktu akhir dari
proses perwujudan satu peta itu. Ditandai
dengan adanya proses sinkronisasi antar Data
IGT yang menjadi dasar dari adanya satu peta
yang berkelanjutan. Konon, dari kabar yang
beredar, satu peta itu sudah ada. Tapi apakah KSP
ini sudah berjalan sebagaimana tujuan awalnya?
Dan apakah kita, sebagai masyarakat sipil, bisa
mengaksesnya?
Pertanyaan apakah kita sebagai
masyarakat bisa melihatnya dan apalagi bisa
mengambil manfaat dari keberadaan peta itu
seharusnya menjadi basis dari kelahiran satu
peta. Namun nampaknya keterbukaan informasi/
data tetap menjadi persoalan menantang di
sini. Dalam Perpres 9 tahun 2016 itu bahkan
tidak ada pengaturan soal akses informasi bagi
publik. Menjadi terang benderang ketika pada
tahun 2018 akhir dan sampai pertengahan tahun
ini, lahir berbagai peraturan yang secara ketat
mengatur soal siapa yang bisa akses atas satu peta
itu.
Keppres No. 20 tahun 2018 jo Permenko
Perekonomian No. 6 tahun 2018 mengatur
mengenai status data dan siapa yang bisa
mengaksesnya. Akses atas data dan informasi
terkait satu peta dibagi dalam mengunduh,
melihat dan tertutup. Hanya presiden, Menko
Perekonomian, Menteri/Kepala Bappenas serta
Kepala BIG yang memiliki akses mengunduh dan
melihat. Dalam arti bisa mengakses keseluruhan
data dan informasi yang ada di dalam satu peta.
Kementerian lain dan Pemda yang terlibat di
dalam Kebijakan Satu Peta hanya memiliki akses
terbatas dan bahkan tertutup untuk beberapa
jenis data dan informasi. Misalnya untuk Peta
HGU, HGB dan HPL, Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota tidak bisa mengakses nomor
dan pemegang HGU/HGB/HPL, namun dapat
melihat durasi HGU/HGB/HPL. Sementara
untuk Peta Hak Ulayat, semua pihak yang disebut
Transparansi data dalam Kebijakan Satu Peta
Oleh MUMU MUHAJIR
AURIGA
KABAR
UTAMA
13. KABAR
JKPP 13
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
dalam Keppres 20/2018 dapat mengaksesnya
tanpa pembatasan.
Dan paling mengecewakan adalah
masyarakat sama sekali tidak punya akses pada
satu peta itu. Bagi masyarakat sipil, keterbukaan
data dan informasi menjadi prasyarat penting
dalam memberikan data pembanding pada
pemerintah dan khalayak luas serta menjadi
amunisi dalam mengadvokasi kebijakan
pembangunan pemerintah. Ketertutupan data
dan informasi hanya akan membuat pemerintah
berjalan tanpa pengawasan dan juga dalam
ranah yang lebih luas mengganggu demokrasi
Indonesia. Perlu diingat pula, beberapa informasi
dan data yang diharapkan dapat diakses oleh
masyarakat sipil sebenarnya data dan informasi
publik yang bebas akses dan/atau akses terbatas
dengan permohonan (seperti SK perizinan, HGU,
RKU/RKT dan lainnya).
Ketertutupan informasi itu juga
menghalangi masyarakat sipil untuk mengetahui
kondisi terakhir data/informasi yang diserahkan
kepada pemerintah. Apakah sudah ada proses
verifikasi dan sinkronisasi atas data-data
dimaksud dan bagaimana hasilnya? Ketiadaan
umpan balik itu membuat masyarakat sipil
mempertanyakan kesungguhan pemerintah
dalam menjalankan kebijakan satu peta.
Atau memang itulah tujuan pemerintah
atas kebijakan satu peta itu? Mengumpulkan
peta yang terserak, memverifikasi dan
mensinkronannya demi hanya kepentingan
pemerintah saja? Agar proses pembangunan
bisa lebih efektif dan efesien dan menghindari
adanya konflik di antara mereka sendiri dan
memfasilitasi pihak ketiga yang butuh lahan luas
secara rahasia?
Dari dugaan di atas kita bisa melihat perbedaan
melihat apa dan bagaimana kebijakan satu
peta ini dikerjakan antara
pemerintah dan masyarakat
sipil. Bagi masyarakat
sipil, kebijakan satu peta
merupakan satu langkah
awal terselesaikannya
konflik penguasaan
tanah. Bagi masyarakat
sipil, proses penguasaan
tanah yang didorong
oleh pemerintah lewat
perizinan melanggar banyak
prinsip-prinsip HAM,
keselamatan masyarakat dan
perlindungan lingkungan
hidup. Karena itu kejelasan
status dan penguasaan lahan
menjadi penting. Karena itu
ketika yang dikejar oleh pemerintah hanya ada
satu peta tanpa ada proses penyelesaian konflik
setelahnya maka kebijakan itu sia-sia belaka.
Karena itu, pemerintah perlu segera
mungkin membuka akses atas satu peta pada
masyarakat. Tentu saja akan ada pembatasan
akses itu yang disesuaikan dengan peraturan
yang berlaku tentang keterbukaan informasi
publik. Beberapa keputusan pengadilan terkait
dengan keterbukaan informasi data penguasaan
lahan seperti HGU selayaknya dihormati dan
kemudian diintegrasikan dalam mekanisme
akses data dalam kebijakan satu peta. Ajak juga
masyarakat sipil dalam proses verifikasi dan
sinkronisasipeta(utamanyaIGT)sebagailangkah
awal penyelesaian konflik penguasaan lahan.
Tanpa keterlibatan masyarakat dan transparansi
data dan informasi, kebijakan satu peta hanya
akan memperkuat posisi pemerintah dan mereka
yang punya kedekatan dan akses politik pada
pemerintah.
Ketertutupan data dan
informasi hanya akan
membuat pemerintah berjalan
tanpa pengawasan dan juga
dalam ranah yang lebih luas
mengganggu demokrasi
Indonesia
“
”
14. KABAR
JKPP14
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Bagi masyarakat kasepuhan, bumi diartikan sebagai ruang
hidup yang menyajikan sumber pangan, energi, pendidikan,
kesehatan, ruang sosial, dan fungsi penting lainya. Kearifian
tradisional masyarakat kasepuhan diterapkan dalam berbagi
pengelolaan sumber daya alam yang ada di desa yaitu pengelolaan
hutan, sawah, kebun/ladang, mata air dan tambang emas.
Desa Warungbanten, merupakan salah satu potret desa
yang mencerminkan kondisi kebanyakan desa di Indonesia.
Tumpang tindih pengelolaan sumber daya alam (status dan fungsi),
kerusakan lingkungan dan konflik batas terjadi di desa ini. Kondisi
ini diperparah dengan tidak tersedianya data spasial maupun
data sosial yang memadai sebagai basis data dalam melakukan
identifikasi, verifikasi dan penetapan status dan fungsi ruang di
tingkat desa. Ruang, batas wilayah dan klaim territori menjadi
politis. Penentuan status dan fungsi ruang sepihak sering memicu
konflik batas dan ruang yang melibatkan pemerintah, swasta dan
masyarakat. Disisi lain pemerintah sering kali tidak memiliki data
yang cukup memadai terkait gambaran existing kondisi status dan
fungsi ruang ditingkat tapak.
Pemetaan partisipatif, berusaha menjawab pentingnya
mendorong proses penyediaan data secara langsung oleh
masyarakat sebagai alat verifikasi terhadap data yang dikeluarkan
oleh pemerintah dan pihak lain (counter data). Melibatkan peran
serta semua kelompok sosial dan kelompok kepentingan ditingkat
desa.Halinidiharapkanakanmeningkatkanposisitawardanperan
serta masyarakat terhadap akses dan control masyarakat terhadap
sumber daya alam melalui pembuktian status dan fungsi ruang
sesuai kesejarahan dan kearifan masyarakat, secara partisipatif.
Metode Pemetaan partisipatif merupakan media belajar-
bersama yang efektif dalam mengorganisir pengetahuan dan
persepsi masyarakat atas ruang. Menelusuri kondisi masa lalu, apa
yang terjadi sekarang dan apa yang diharapkan pada masa yang
akan datang. Diskusi mendalam tentang ruang hidup dan sumber-
Partisipasi Masyarakat Dalam Perlindungan
Wilayah Kelola Rakyat Melalui Counter Data
Oleh : IMAM HANAFI
Kepala Divisi Advokasi
di Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Bogor. Indonesia
Pemetaan partisipatif
merupakan media
belajar bersama
yang efektif dalam
mengorganisir
pengetahuan dan
persepsi masyarakat
atas ruang, apa
yang terjadi saat ini
dan apa yang akan
direncanakan di masa
mendatang
“
”
KABAR
Simpul
15. KABAR
JKPP 15
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
sumber penghidupanya antar
masyarakat bisa menghasilkan
data spasial dan sosial yang
menggambarkan kondisi suatu
wilayah desa. Baik yang terkait
dengankonfliktenurial,kearifan
lokal dalam penatagunaan dan
perlindungan ruang hidup dan
sumber-sumber penghidupan.
Selain itu, pemetaan partisipatif
merupakan salah satu media
masyarakatdesadanpemerintah
serta pihak lain dalam membuat
usulan perencanaan desa dan
penyusunan peraturan desa.
Bupati Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya, SE, MM saat membuka Workshop Pemetaan Partisipatif di Kab. Lebak (30/1/2019)
Sumber JKPP
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Membuat data kewilayahan
dan data sosial desa sampai
saat ini masih dirasa sulit
oleh pihak pemerintah. Baik
pemerintah kabupaten maupun
pemerintah desa. Banyak
persepsi yang menganggap
metode dan teknologi
penyediaan data spasial masih
relative sulit dan mahal.
Berbanding lurus dengan
anggapan ketidakpercayaan
bahwa masyarakat mampu
membuat peta. Proyek ini salah
satu upaya menjawab kondisi
tersebut, selain dokumen
kesepakatan batas antar desa,
hasil-hasil proses pemetaan
partisipatif di Warung Banten
menghasilkan peta partisipatif
tematik, peta perencanaan
desa dan dokumen peraturan
desa tentang perlindungan
dan pengelolaan sumber daya
alam di desa Warung Banten,
mendapat apresiasi yang
baik dari pemerintah daerah
Kabupaten Lebak, Propinsi
Banten.
Seiring dengan itu, respon
positif tersebut kemudian
diwujudkan dalam dukungan
dan persetujuan pemerintah
daerah Kabupaten Lebak
untuk memperluas uji coba
penggunaan metode pemetaan
partisipatif ke 22 desa di
Kecamatan Cibeber, Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten.
Mekanisme pendanaannya
pun, tidak hanya dari
partisipasi masyarakat, namun
uga bisa melalui anggaran
pemggunaanDanaDesa,sesuai
dengan peraturan Menteri
Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia. Hal yang
paling krusial yang menjadi
kunci keberhasilan dalam
perjalanan panjang proses
pemetaan partisipatif di desa
Warung Banten adalah adanya
komitmen pemerintah daerah
untuk mengadopsi data hasil
pemetaan partisipatif yang
akan ditetapkan melalui
Peraturan Bupati.
Tantangandalampelaksanaan
kegiatan dilapangan cenderung
beragam dan variatif, baik
teknis maupun substantif.
Tantangan beratnya terletak
pada proses sosial. Baik dalam
membangun kepercayaan
masyarakat dan juga
16. KABAR
JKPP16
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
pemerintah terhadap metode yang ditawarkan,
membangun partisipasi keterwakilan kelompok
masyarakat untuk terlibat aktif, melakukan
koordinasi antar pihak dan memfasilitasi
proses penyelesaian konflik ruang. Termasuk
menemukan dan mengenali kelompok rentan.
JKPP melakukan riset terlebih dahulu diawal
untuk memastikan suara kelompok rentan salah
satunya perempuan menggunakan metode Her-
Secara umum, kehadiran metode
pemetaan partisipatif sudah mulai diterima
oleh masyarakat dan pemerintah. Namun sifat
peta yang cenderung politis dan bermuatan
kepentingan, tak terkecuali data pemetaan
partisipatif, membuat proses ini tetap
memerlukan proses asistensi dan advokasi yang
harus dikawal secara intensif. Sebagai tindak
lanjut pasca proses pemetaan di desa Warung
Banten, JKPP berkepentingan untuk melanjutkan
pendampingan proses pemetaan partisipatif di
22 desa di kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak,
Banten. Dengan harapan, hasil-hasil catatan
pembelajaran di Kecamatan Cibeber ini akan
menjadi bahan refleksi dan evaluasi bersama bagi
perluasan wilayah pemetaan bagi desa-desa di
Kabupaten Lebak.
Melakukan audiensi dan evaluasi
bersama yang melibatkan pemerintah daerah,
pemerintah desa, masyarakat dan pihak lain
terkait proses dan temuan hasil pemetaan di
Kecamatan Cibeber. Harapannya proses ini
akan mendorong pemerintah daerah Kabupaten
Lebak untuk membangun sistem data base peta
wilayah desa. Mendorong kejelasan kelembagaan
dan mekanisme teknis penetapan dan penegasan
batas wilayah desa, sesuai mandat permendagri
No 45/2016. Selain itu, mendorong dan mengawal
komitmen Pemerintah Daerah kabupaten Lebak
dalam rangka proses pengakuan dan penetapan
hasil peta partisipatif untuk menerbitkan
peraturan perundangan daerah (peraturan
bupati) bagi desa-desa yang sudah memiliki peta
desa.
Story. Tantangan berat lainya yaitu terletak pada
proses advokasi untuk mendapatkan pengakuan
dan legitimasi dari pemerintah. Karena sebaik
apapun data yang dihasilkan dan sebagus
apapun masyarakat membuat perencanaan
ruang dan membangun peraturan perlindungan
dan pengelolaan ruang, tanpa pengakuan dan
dukungan kongkrit dari pemerintah, niscaya
ketimpangan dan konflik kepentingan terkait
status dan fungsi ruang serta pemanfaatan
sumber daya alam tetap akan terjadi.
Dari kiri ke kanan: Ketua DPRD Kab. Lebak (Junaidi Ibnu Jarta), Wakil Bupati Lebak ( H. Ade Sumardi), Imam Hanafi dari JKPP dan
Jaro Jaku (Kepala Desa Sindanglaya), saat mendiskusikan pemetaan wilayah adat di Kab. Lebak, (30/1/2019),
Sumber JKPP
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
17. KABAR
JKPP 17
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
Pada tahun 1950, awal bulan Februari, Ir. Soekarno
mengundang Kesultanan Buton untuk mengadakan pertemuan
raja-raja se-Sulawesi di Makassar. Ir. Soekarno menawarkan
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kepada
Sultan ke-38 Buton, La Ode Muhammad Walihi. Pada tahun 1951,
pemerintahan Kesultanan Buton dibubarkan. Kemudian, pada
tahun 1952, Kesultanan Buton bergabung dengan NKRI dalam
Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara sebagai Kabupaten Sulawesi
Tenggara yang berpusat di Baubau.
Kadie Liya merupakan salah satu wilayah adat di bawah
kekuasan Kesultanan Buton. Kadie merupakan wilayah kekuasaan
yang secara langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat
(Kesultanan Buton). Struktur pemerintahan Kadie Liya terdiri dari
120 orang yang dipimpin oleh seorang Meantu’u (La Kina) yang
disebut Sara dengan fungsi masing-masing. Wilayah kekuasaan
Kadie Liya meliputi ± 1/3 pulau Wangi-Wangi. Beberapa kawasan
seperti Kolo, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Simpora, dan
Lagiampa sejak dulu berada dalam penguasaan Kadie Liya.
Adapun pembagian kawasan adat dalam tata kelola
pemerintahan adat Kadie Liya meliputi; 1) Pemukiman, 2)
Motika (Hutan adat), 3) Padhangkuku (Padang Savana), 4) Kolo
u Sara (Teluk), 5) Laut. Kemudian Kadie Liya memiliki wilayah
perbatasan dengan tiga kadie yaitu; 1) Sebelah Selatan dengan
Bharata Kaledupa, 2) Sebelah Utara dengan Kadie Mandati, 3)
Sebelah Timur dengan Laut Banda, 4) Sebelah Barat dengan Kadie
Kapota.
Pada tahun 2003, Kabupaten Wakatobi mekar dari
Kabupaten Buton. Secara administrasi, wilayah kekuasaan Kadie
Liya terbagi menjadi lima desa yaitu, Desa Liya Togo, Liya Bahari
Indah, Liya Mawi, Liya Onemelangka, dan Wisata Kolo. Perubahan
peradaban dari zaman ke zaman mendorong nilai-nilai kearifan
lokalterkaithakkelolawilayahadatmulaibergeser.Sehingga,fungsi
dari tata kelola wilayah adat oleh pemerintah adat dikhawatirkan
mulai terkikis.
Peta Wilayah Adat Kadie Liya, Nasibmu Kini
Oleh Mutmainnah
TERAS
Pemetaan
Partisipatif wilayah
Adat Kadie Liya
dengan tujuan
untuk membantu
masyarakat adat
Kadie Liya dalam
mengidentifikasi
batas-batas wilayah
Adat Kadie Liya,
aset tanah kelola
adat Kadie Liya, dan
mengidentifikasi
wilayah kelola laut
Adat Kadie Liya
“
”
KABAR
Simpul
18. KABAR
JKPP18
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Bangkitnya kesadaran pemerintah dalam
mengembalikan identitas bangsa Indonesia
melalui keragaman adat budaya memberikan
harapan besar kepada masyarakat adat dan
komunitas lokal dalam menguatkan kembali
wilayah adat serta nilai luhur budaya mereka.
Melalui lahirnya Permendagri No. 52 Tahun 2014
dan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan
P.34 Tahun 2017 menjadi pegangan hukum dalam
perjuangan masyarakat adat dan komunitas lokal
yang masih menjaga pranata sosial dalam hukum
adatnya untuk dapat diakui dan dilindungi oleh
Negara.
Sejak dahulu sampai dengan sekarang,
kawasan Kadie Liya belum memiliki peta tematik.
Sehingga untuk mengetahui dimana saja tapal
batas, tanah kelola adat, dan kawasan perairan
laut. Selama ini, informasi terkait wilayah adat
Kadie Liya hanya berupa keterangan lisan. Oleh
karena itu, salah satu upaya mempertahankan
nilai-nilai hak tata kelola wilayah adat Kadie Liya
adalah dengan mengidentifikasi dan memetakan
kawasan Adat Kadie Liya berdasarkan informasi
pemangku adat dan masyarakat.
Pada bulan Januari tahun 2017 SLPP
Sulawesi Tenggara melalui dukungan JKPP
melakukan pemetaan partisipatif wilayah
Adat Kadie Liya dengan tujuan untuk
membantu masyarakat adat Kadie Liya dalam
mengidentifikasi batas-batas wilayah Adat Kadie
Liya, aset tanah kelola adat Kadie Liya, dan
mengidentifikasi wilayah kelola laut Adat Kadie
Liya. Oleh karena itu, rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan dalam proses pemetaan partisipatif
wilayah Adat Kadie Liya ini adalah beberapa
rangkaian diskusi antar desa dan Sara, pelatihan
pemetaan partisipatif, lalu diikuti dengan
pemetaan tematik; tapal batas Kadie Liya, Aset
tanah kelola adat, serta wilayah laut Kadie Liya.
Proses pemetaan partisipatif wilayah
adat Kadie Liya ini memakan waktu hinga satu
bulan. Dalam prosesnya, pelaksanaan pemetaan
partisipatif ini melibatkan anggota masyarakat
adat Kadie Liya diikutsertakan dalam proses ini
sebagai sumber informasi dan juga masyarakat
Liya yang mengetahui tentang tapal batas Kadie
Liya, dan juga beberapa pemuda yang etrmasuk
dalam masyarakat Liya juga diikutsertakan untuk
memenuhi transfer knowledge yang juga menjadi
salah satu unsur dalam pemetaan partisipatif.
Pemetaan ini diawali dengan FGD pertama yakni
sosialisasi terkait rencanaan pemetaan partisipatif
wilayah adat Kadie Liya dihadiri oleh jajaran
Pemetaan Partisipatif Wilayah Zona Pesisir dan Pulau Kecil di Komunitas Adat Liya
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
19. KABAR
JKPP 19
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
pemangku adat Kadie Liya beserta pemerintah
desa. Kemudian FGD kedua merupakan diskusi
kampung untuk melakukan tracking terkait siapa
saja orang-orang yang mengetahui dengan baik
tapal batas wilayah adat Kadie Liya, dan siapa saja
yang mengetahui sejarah wilayah adat Kadie Liya.
FGDketigamerupakanpelatihanpenggunaanalat
dan metode pemetaan partisipatif, serta diakhiri
dengan pembagian kelompok kerja menjadi
empat kelompok. Secara keseluruhan wilayah
adat Kadie Liya mencakup wilayah daratan
dan laut, sehingga pembagian kelompok dibagi
menjadi kelompok wilayah darat dan kelompok
wilayah laut. Pengambilan titik koordinat di darat
dilakukkan selama dua hari dan pengambilan
titik koordinat wilayah
laut dilakukan selama satu
hari.
Selama proses
pengambilan titik
koordinat, kelompok kerja
mengakuiadanyabeberapa
tantangan tersendiri
dalam pengambilan titik
koordinat di wilayah darat
seperti medan yang penuh
dengan bebatuan cadas
yang bercampur dengan
karang mati, kemudian
wilayah semak belukar
yang cukup rapat.
Pihak pemerintah desa terlihat sangat
antusias pada pemetaan partisipatif wilayah
adat Kadie Liya yang dilakukan ini dan berharap
bahwa pemetaan kali ini tidak seperti pemetaan-
pemetaan yang telah dilakukan sebelumnya.
Seperti yang diceritakan oleh Kepala Desa Liya
Onemelanka bahwa beberapa kegiatan pemetaan
sebelumnya tidak menghasilkan satupun peta
yang dapat dikonsumsi oleh pihak pemerintah
sehingga tidak ketahuan hasilnya.
Sedangkan pihak lembaga adat Kadie
Liya sangat mengharapkan pemetaan wilayah
adat Kadie Liya ini dapat menjadi salah satu jalan
dalam menyelesaikan konflik batas yang selama
ini terjadi antara masyarakat adat Kadie Liya
dengan masyarakat adat Kadie Mandati.
Setelah pengambilan titik koordinat
dan penggambaran peta wilayah adat Kadie
Liya selesai, proses selanjutnya pun dilakukan
yakni sosialisasi hasil peta kepada beberapa
wilayah adat Kadie yang berbatasan langsung
dengan wilayah adat Kadie Liya. Untuk wilayah
adat Kadie Kapota tidak terjadi permasalahan
tapal batas wilayah adat dan masyarakat adat
kadie Kapota menyepakati tapal batas tersebut.
Sedang untuk masyarakat adat Kadie Mandati
masih belum dapat menerima dan melakukan
kesapakatan tapal batas wilayah adat Kadie Liya
yang berbatasan dengan Kadie Mandati. Hingga
saat ini ketidaksepakatan antara masyarakat
adat Kadie Liya dan masyarakat adat Kadie
Mandati masih berlangsung. Beberapa gagasan
kemudian diusung untuk menyelesaikan
masalah ketidaksepakatan tapal batas wilayah
adat Kadie Liya dan Kadie Mandati seperti
rencana pelaksanaan sarasehan adat yang masih
belum dapat terlaksana. Namun sampai saat ini,
advokasi untuk penyepakatan tapal batas masih
terus dilanjutkan oleh lembaga lokal pemuda di
Liya, yakni Lembaga Tapak Jejak.
Pengambiilan Titik Pemetaan Partisipatif Wilayah Zona Pesisir dan Pulau Kecil di Komunitas
Adat Liya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
20. KABAR
JKPP20
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Kelestarian Danau Bagantung bukanlah
tanpa sebab, kesepakatan bersama yang dibuat
dan dipatuhi warga Tanjung Pusaka menjadi
kunci utama bagaimana masyarakat merawat
Danau Bagantung. Ada 4 (empat) kesepakatan
tidak tertulis di Danau Bagantung, pertama;
Dilarangmenggunakanalatsetrumdanracunsaat
melakukan penangkapan ikan, kedua; jika pihak
lain dari luar desa memasuki danau, harus seizin
dan ditemani oleh warga Tanjung Pusaka, ketiga;
saat musim kemarau panjang, diberlakukan jaga
malam di muara danau/pintu masuk danau dari
jam 6 malam hingga jam 6 pagi. dan terakhir ke-
empat; setiap kontribusi serta biaya masuk ke
danau dijadikan pemasukan kas Tanjung Pusaka,
yang digunakan saat ada kegiatan pembersihan
danau.
Di Danau Bagantung terdapat habitat
berbagai jenis ikan rawa lokal gambut seperti
Haruan (Gabus), Toman, Karandang, Baung,
Patung, Tabiring, Tapah, Papuyu (Betok), Belut,
Lais selain itu terdapat satwa lainnya seperti
Danau Bagantung, Tanjung Pusaka Desa Tanjung Taruna Kec Jabiren Raya ( Dok JKPP)
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Jagalah Danau
Bagantung, untuk
tetap ada dan
Lestari
Pesan Bapak Talib
(Orang pertama yang
menemukan
Danau Bagantung)
“
”
MASYARAKAT TANJUNG PUSAKA, MERAWAT DANAU
BAGANTUNG
buaya, bulus serta kura-kura. Ancaman terbesar
kelestarian Danau Bagantung ditimbulkan oleh
pengguanaanalatsetrumdanracunikan,menurut
salah satu warga Dusun Tajung Pusaka di RT 3,
habisnyaikandiSungaiTarunaRT4dan5Tanjung
Taruna disebabkan mereka menggunakan alat
setrum dan racun untuk menangkap ikan, di
Danau Bagantung ketersedian ikan tidak pernah
habis khususnya saat musim kemarau, banyak
ikan yang berkumpul di danau hingga musim
hujan sehingga saat musim kemarau sekitar bulan
juni hingga agustus, penjagaan diperketat. Tidak
diperbolehkanya penggunaan setrum serta racun
ikanjugaberlakubagipengunjungdiluarTanjung
Pusaka,dan untuk mencegah penggunaan alat
tangkap yang dilarang saat ada orang diluar
warga Tanjung Pusaka memasuki wilayah Danau
Bagantung, harus izin dan ditemani oleh warga
Tanjung Pusaka. Sedangkan alat tangkap yang
diperbolehkan hanya berupa alat tangkap ikan
tradisional seperti Rengge, Pancing (Banjur dan
Rawai), Bubu (Buwu) dan Jala (Lunta), Rempa,
Kalang, Tampirai, Sauk, Siap, dan Hantai.
Oleh MUHAMAD HUSEN
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
KABAR
Simpul
21. KABAR
JKPP 21
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
Luas Danau Bagantung
sekitar 100 Ha dari 18.520,40
Ha total luas wilayah Desa
Tajung Taruna. Letak Danau
Bagantung di RT 03 Dusun
Tanjung Pusaka Desa Tanjung
Taruna Kecamatan Jabiren
Raya, Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah. Desa
Tanjung Taruna berada di
wilayah Kawasan Hidrologis
Gambut (KHG) Kahayan –
Sebangau dan Kahayan Kapuas,
dan berdasarkan SK 529 tahun
2012 tentang penunjukan
kawasan hutan, wilayah
Tanjung Taruna berada pada
kawasan lindung dan APL
atau kawasan budidaya. Selain
penggunaan setrum listrik dan
racun ikan, ancaman terbesar
ekosistem Danau Bagantung
berikutnya adalah, masifnya
ekspansi perusahaan sawit
disekitran wilayah APL, tercatat
perusahaan sawit yang telah
mengantongi izin disekitar
wilayah danau diantaranya;
PT Sumber Rejeki, PT Pilang
SumberRejeki,PTAntangSawit
Perkasa, PT Handel Hambi, PT
Tata Tanjung Taruna.
Sejarah Danau Bagantung
Diperkirakan pada
tahun 1900-an Danau
Bagantung ditemukan, Pak
Talib (Alm) orang pertama
di Tanjung Pusaka yang
menemukan Danau Bagantung
(Bagantung artinya tidak
memiliki dasar atau sesuatu
yang bisa berpindah – pindah).
menurut Ibu Ilawatin cucu
bapak Talib, nama Danau
Bagantung konon ceritanya,
karena pulau - pulau yang ada
di danau berpindah - pindah
dari satu tempat ke tempat
lain atau tidak memiliki dasar
(Bagantung), berpindahnya
pulau tersebut, biasanya
ditandai dengan turunnya
‘Hujan Kuning’ yaitu hujan
yang terjadi di siang hari atau
saat terik matahari, namun pada
saat musim kemarau terkadang
pulau tersebut juga berpindah.
Danau Bagantung ditemukan
pak Talib saat menyusuri Sungai
Burung Buah Hai (Burung Bua
artinya burung pemakan buah
dan Hai itu artinya besar).
Saat memasuki aliran
Sungai Burung Bua Hai,
terdapat 5 (lima) danau, yang
setiap namanya juga memiliki
arti tersendiri, danau pertama
yang bisa dijumpai adalah
Danau Kanderek, pemberian
namanya karena di dekat danau
terdapat alur parit Kanderek,
Kedua, Danau Panjang karena
Peta Danau Bagantung Tanjung Pusaka Kec. Jabiren Raya Kab. Pulang Pisau Kalimantan Tengah, dibuat dengan metode Pemetaan
Partisipatif
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
22. KABAR
JKPP22
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
bentuk danau yang memanjang, ketiga, Danau
Belida, di danau ini awalnya terdapat banyak ikan
Belida walaupun sekarang sudah sulit ditemukan,
Ke-empat, Danau Bunter (Bunter artinya bulat),
dikarenakan bentuk danau membulat sehingga
diberinamaBunter,Kelimadanyangpalingujung
serta paling besar yaitu Danau Bagantung. Danau
Bagantung awalnya hanya boleh dimanfaatkan
oleh keluarga Bapak Talib, namun setelah
bertambahnya jumlah penduduk di Tanjung
Pusaka, sekitar tahun 1970an Danau Bagantung
dibuka untuk umum bagi warga Tanjung Pusaka.
Danau Bagantung, Tumpuan Warga Tanjung
Pusaka
Saat pagi hari, sekitar jam tujuh hingga
siang hari jam dua belas siang, warga Tanjung
Pusaka yang mayoritas Nelayan memulai
pekerjaanya menangkap ikan di Danau
Bagantung, namun ada juga yang kembali
menangkap ikan di sore hari, dari jam dua hingga
jam lima sore. Untuk menangkap ikan, warga
Tanjung Pusaka menggunakan alat tangkap
tradisional seperti bubu, tampirai, rambat, dan
rengge, sedangkan uang yang diperoleh dari
menangkap ikan paling sedikit Rp 50.000 dan
bisa mencapai Rp 100.000 perhari, Pendapatan
warga dari mencari ikan melimpah saat musim
kemarau, yang terjadi pada bulan Juli hingga
Agustus terkadang sampai September. Hasil
tangkapan ikan dijual langsung pada pembeli
yang datang ke Tanjung Pusaka, selain untuk
dijual hasil tangkapan juga dikonsumsi sendiri,
jenis ikan yang biasanya menjadi hasil tangkapan
warga di Danau Bagantung seperti biawan, lele,
kakap, toman, baung, balida, tapah, karandang,
serta udang, untuk jenis ikan balida sudah jarang
didapat.
Selain dari hasil tangkapan ikan,
pendapatan warga juga didapat dari
mengantarkan orang dari luar Tanjung Pusaka,
yang akan memancing di danau, pendapatan
diperoleh misalnya dari hasil sewa klotok, dalam
satu klotok biaya sewanya Rp 200.000 hingga Rp
300.000 tergantung dari jumlah penumpang dan
maksimal 3 orang. Sementara untuk setiap warga
Tanjung Pusaka yang menyewakan klotoknya
wajib membayar iuran ke Bendahara Tanjung
Pusaka sebesar 10% dari harga sewa klotok. Di
Danau Bagantung terdapat juga bibit anakan alam
pohon belangiran yang diambil warga Tanjung
Pusaka untuk dijual, dalam 1000 bibit dijual
dengan harga Rp 10.000 dan pembeli biasanya
datang sendiri ke Tanjung Pusaka, ukuran bibit
yang diambil tingginya kurang lebih 20 - 30 cm.
Kelestarian Danau Bagantung memikat
banyak pengunjung untuk sekedar menangkap
ikan atau menikmati keindahan panomara
danau, semenjak 2005, menurut Pak Rohman
(warga Tanjung Pusaka RT 3), pengunjung Danau
Bagantung mulai meningkat pesat, setelah televisi
swasta menayangkan program Mancing Mania di
Danau Bagantung. Saat ini masyarakat bersama
dengan Pokker SHK Kalimantan Tengah sedang
menyusun aturan pengelolaan dan perencanaan
pengelolaan danau bagantung untuk menjaga
kelestarianya dan terhindar dari perusakan oleh
piihak yang tidak bertanggung jawab. Pokker
SHK bekerja sama dengan UPT Laboratorium
Lahan Gambut (CIMTROP) Universitas
Palangkaraya juga melakukan riset terkait kajian
pengelolaan, potensi hasil hutan bukan kayu dan
ancaman terhadap wilayah kelola masyarakat.
Selanjutnya, proses tersebut dilanjutkan untuk
memasukan kawasan Danau Bagantung menjadi
calon kawasan ekosistem essensial di kabupaten
Pulang Pisau.
Alat Tangkap Ikan Tradisional, dari Kanan Bubu, Tempirai, Rengge (Dok JKPP)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
23. KABAR
JKPP 23
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
Desa Cikoneng Gelar Pemetaan Partisipatif
Gunakan Dana Desa
Pemetaan Partisipatif bertujuan untuk mengidentifikasi
kewenangan desa yang belum mendapatkan status hukum
melalui peraturan desa, memetakan batas wilayah desa,
menginventarisasi asset desa dan menemukan potensi desa
Pemerintah Desa Cikoneng, Kecamatan
Cikoneng, Kabupaten Ciamis menggelar
pemetaan partisipatif dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Desa tahun 2018. Pemetaan
dilakukan untuk menjawab kebutuhan desa akan
penegasan batas wilayah desa, inventarisasi asset
desa, serta identifikasi hak dan kewenangan
desa. Dana kegiatan bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
Cikoneng 2018.
“
” Kegiatan ini bermula dari keluhan
sebagian masyarakat Desa Cikoneng dalam
musyawarah desa (Musdes), di mana seiring
berjalannya waktu, banyak asset desa yang beralih
penguasaannya, berubah fungsi dari peruntukan
awal, dan batas desa dengan desa-desa berbatasan
yang tidak jelas. Hasil musyawarah desa,
merekomendasikan agar dilakukan identifikasi
dan inventarisasi asset desa, batas desa, hak dan
kewenangan desa.
Pasca penetapan hasil musyawarah desa
kemudian dibentuk tim pemetaan desa yang
bertugas untuk melakukan pemetaan desa yang
melibatkan pemuda-pemudi desa, kader PKK,
dan unsur-unsur lembaga kemasyarakatan desa
lainnya.
Sandaran regulasi kegiatan adalah
Undang-undang Desa No 6 tahun 2014, pasal
17 dan pasal 18 tentang pengaturan desa dan
kewenangan desa, Peraturan Menteri Desa
PDTT Nomor 19 tahun 2017 tentang penetapan
prioritas dana desa tahun 2018, pasal 8 huruf
C tentang pengembangan tata ruang dan
peta sosial desa Permendesa PDTT Nomor 1
tahun 2015, Permendagri Nomor 1 tahun 2016
tentang penetapan dan penegasan batas desa
dan Permendagri Nomor 1 tahun 2016 tentang
pengelolaan asset desa.
Pemetaan partisipatif bertujuan untuk
mengidentifikasi kewenangan desa yang
belum mendapatkan status hukum melalui
peraturan desa, memetakan batas wilayah desa,
menginventarisasi asset desa dan menemukan
potensi desa.
Kegiatan ini diawali dengan mengadakan
pertemuan kampung, pengumpulan data
sekunder, wawancara semi terstruktur kepada
sesepuh kampung, pertemuan dan sosialisasi
kegiatan dengan desa-desa yang berbatasan,
pelatihan singkat penggunaan alat GPS,
pengambilan titik koordinat, pengolahan data
lapangan, verifikasi data dan presentasi data
bersama warga serta warga desa-desa yang
berbatasan. Agar kegiatan ini memenuhi standar
ilmiah dan standard operational procedure
(SOP) sebagaimana yang diatur dalam Perka
BIG Nomor 3 2016 tentang spesifikasi teknis
penyajian peta desa, Pemerintah Desa Cikoneng
Oleh ARYONALDO
Pendamping Lokal Desa (PLD)
Kecamatan Cikoneng
KABAR
Ukur - Ukur
24. KABAR
JKPP24
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Proses Pemetaan Partisipatif Di Desa Margaluyu Kec Cikoneng, Kab Ciamis (Doc JKPP)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
bekerja sama dengan Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP) Bogor untuk mendampingi
pemetaan sejak dari pelatihan alat hingga
penyajian peta desa.
Menurut Permendagri Nomor 45
tahun 2016 tentang pedoman penetapan dan
penegasan batas desa, Penetapan dan penegasan
batas Desa bertujuan untuk menciptakan tertib
administrasi pemerintahan, memberikan
kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas
wilayah suatu Desa yang memenuhi aspek
teknis dan yuridis. Oleh karena itu hasil dari
pemetaan desa ini seyogyanya dapat diusulkan
pengesahannya kepada Pemerintah Kabupaten
Ciamis agar batas dan peta desa definitive dapat
tertuang dalam produk hukum berupa peraturan
bupati (Perbup). Namun disayangkan, hal ini
belum menjadi concern jajaran Pemkab Ciamis.
Urgensi Pemetaan Desa
Hinggasaatini,menurutBadanInformasi
Geospasial (BIG) baru ada 10 % desa dari 74.754
desa yang sudah memiliki batas wilayah secara
kartografi. Kondisi ini tentu jauh dari kata ideal.
Keadaan ini tentu menjadi salah satu factor
penghambat laju pembangunan desa. Seperti
contoh dalam pengaturan desa, Undang-Undang
Desa Pasal 17 mengamanatkan, bahwa Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan perubahan
status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan
menjadi Desa diundangkan setelah mendapat
nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa
dari Menteri disertai lampiran peta batas wilayah
desa. Begitu pula dalam rumus pembagian Dana
Desa, luas wilayah menjadi salah satu komponen
dalam pembagian besaran dana desa untuk
tiap-tiap desa. Bagaimana rumus pembagian itu
akurat dan adil apabila luas dan batas wilayah
desa belum definitive bahkan belum diketahui
pasti?
Memerhatikan hal tersebut di atas,
pemetaan desa, penegasan dan penetapan
batas desa menemukan signifikansinya dalam
mewujudkan semangat UU Desa dan tujuan
pembangunan desa yakni; meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup
manusiasertapenangulangankemiskinanmelalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan
potensi ekonomi local, serta pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Apatah lagi dengan dukungan Dana
Desa untuk menyelenggarakan kewenangan
desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
local skala desa, kendala pembiayaan kegiatan
pemetaan desa bisa di atasi. Oleh karena itu,
penetapan dan penegasan batas desa yang
menjadi kewajiban Pemerintah sebagaimana
yang diamanatkan oleh Permendagri No 45
tahun 2016 sedikit banyak menemukan model
pembiayaan yang sah. Tinggal bagaiman peluang
dan model pembiayaan ini bisa dioptimalisasi
oleh seluruh para pihak yang berkepentingan.
25. KABAR
JKPP 25
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Mendorong tegaknya kedaulatan rakyat
atas ruang
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
(JKPP) telah menyelenggarakan Konsolidasi
Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP)
Region Sumatera dan Jawa, Bali, Nusra,
Maluku dan Papua yang diselenggarakan pada
April - Mei 2019, sementara untuk dua region
lainnya, yakni Kalimantan dan Sulawesi akan
dilaksanakan pada periode berikutnya.
Kegiatan Konsolidasi SLPP ini
mengambil tema “Memastikan Langkah
& Strategi Dalam Mendorong Inisiatif
Perluasan, Penegasan Wilayah Kelola Rakyat
dan Percepatan Implementasi Kebijakan Satu
Peta” untuk memastikan langkah bersama
antara Sekretariat Nasional dan Simpul
Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP)
dalam mewujudkan Visi bersama yakni
Mendorong Kedaulatan Rakyat Atas Ruang.
Serta merumuskan strategi operasional
dalam advokasi bersama untuk memastikan
pengakuan, penegasan wilayah kelola rakyat
serta penyelesaian sengketa ruang dan lahan
masyarakat. Serta merumuskan strategi
intervensi dalam implementasi Kebijakan Satu
Peta (One Map Policy) dari tingkat daerah dan
nasional.
Divisi Layanan Pemetaan Partisipatif
JKPP, Diarman mengatakan bahwa Konsolidasi
SLPP ini diselenggarakan dalam rangka
refleksi dan evaluasi serta merumuskan
agenda perluasan wilayah kelola rakyat dalam
menjalankan agenda advokasi bersama baik di
tingkat nasional dan daerah kedepan diwilayah
masing-masing.
Kilas Balik
Kurang lebih dalam kurun 6 tahun
terakhir JKPP bekerja dan terlibat langsung
maupun tidak langsung untuk memastikan
perluasan wilayah kelola rakyat melalui berbagai
skema kebijakan yang hadir saat ini. Salah satunya
digaungi dengan putusan MK 35/PUU-X/2012
yang memutuskan bahwa hutan adat bukan lagi
hutan negara, janji Nawacita terkaitt 12.7 ha
perhutanan sosial, 9 juta ha TORA kemudian
yang ditegaskan kembali oleh Peraturan Reforma
Agraria Nomor 86 Tahun 2018. Termasuk
JKPP terus mengawal pelaksanaan Perpres
No 9 tahun 2016. Bagi JKPP, One Map Policy
merupakan salah satu peluang dalam pengakuan
(rekognisi) dan adopsi data spasial partisipatif.
Jika dilaksanakan sesuai dengan tahapanya,
one map policy dapat membantu pemerintah
secara partisipatif menyelesaikan konflik ruang
dan lahan, termasuk memastikan partisipasi
masyarakat dalam penataan ruang.
Hingga tahun 2018, JKPP bersama
anggota dan jaringan telah berhasil memetakan
area kelola rakyat sebanyak 12.3 juta ha dimana
10 juta merupakan masyarakat adat dan lebih
dari 50% tumpang tindih dengan perizinan.
Konsolidasi Simpul Layanan Pemetaan
Partisipatif 2019
Oleh : Aji Sahdi Sutisna
Jaringan Kerja Pemetaan Pertisipatif
KABAR
Seknas
Foto: Proses Konslidasi Simpul JKPP (Doc JKPP)
-------------------------------------------------------------------------------------
26. KABAR
JKPP26
KABAR JKPP NO. 22, 2019
Kebijakan Satu Peta Paska Launching
Geoportal One Map Policy
Pada awal tahun ini, tercatat bahwa
hingga saat ini baru 49 hutan adat telah diakui
sebagai hutan adat, 33 hutan adat mencapai
total 17,243.61 ha diberikan hingga tahun
2018, sementaranya sisanya baru pada februari
2019. Dari total luasan hutan adat yang telah
ditetapkan pada tahun 2018 yaitu 17.243 ha,
63 % nya berasal dari fungsi APL sementara
37 % merupakan hutan Negara. Hal ini berarti
Hutan Adat masih didominasi dari wilayah
Areal Penggunaan Lain (APL). Termasuk
implementasi untuk TORA, masih jauh
dari target yaitu 9 juta ha. Dengan demikian
hadirnya kebijakan terkait pengakuan wilayah
kelola rakyat tidak serta merta memudahkan
masyrakat untuk bisa mengakses dan mengelola
sumber daya. Masih banyak pekerjaan menanti
khususnya pasca Pilpres 2019.
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif yang
hampir berusia 26 tahun sejak dibentuk
pada tahun 1996, memiliki Visi “Mendorong
Kedaulatan Atas Ruang” dengan misi perluasan
wilayahkelolarakyatterusberupayamemastikan
visi dan misi tersebut terwujud. Pelayan
pemetaan partisipatif untuk berbagai skema
terus dilakukan dengan kolaborasi berbagai
pihak serta pemerintah daerah. Pengembangan
dan penyempurnaan metodologi pemetaan
partisipatif juga terus dilakukan dalam rangka
percepatan. Selain itu, JKPP mendorong serta
memfasilitasi pembentukan Simpul Layanan
Pemetaan Partisipasi atau yang biasa dikenal
dengan nama SLPP. SLPP sendiri merupakan
forum yang terdiri dari penggiat dan lembaga
lokal yang memiliki visi dan sama yaitu
perluasan wilayah kelola rakyat. Hingga saat ini
SLPP yang sudah ada mencapai 28 SLPP yang
tersebar di seluruh Indonesia. SLPP berfungsi
mempercepat layanan pemetaan partisipatif
kepada masyarakat sehingga prosesnya bisa
lebih murah dan cepat. SLPP merupakan
ujung tombak memastikan visi dan misi JKPP
terlaksana dengan berbagai dinamikanya.
Out put
1. Teridentifikasinya capaian dan kendala kerja
- kerja Sekretariat Nasional JKPP dan masing
-masing SLPP dalam perluasan pemetaan
partisipatif dan mengakuan wilayah kelola
ruang rakyat.
2. Adanya rumusan strategi operasional
dalam advokasi bersama untuk memastikan
pengakuan, penegasan wilayah kelola rakyat
serta penyelesaian sengketa ruang dan lahan
masyarakat.
3. Adanya rumusan strategi intervensi dalam
implementasi Kebijakan Satu Peta dari daerah
4. Tersusunnya agenda advokasi bersama dalam
mendorong pengakuan, penegasan wilayah
kelola rakyat serta penyelesaian sengketa ruang
dan lahan masyarakat ditingkat daerah hingga
nasional untuk 2 tahun kedepan
Tema Konsolidasi Region Jawa, Bali Nusra, Maluku dan Papua (Doc JKPP)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
www.jkpp.orgSeknas_Jkpp PetaKampung PetaKampung