Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Kebijakan satu peta Indonesia dimulai pada 2010 untuk mewujudkan informasi geospasial yang akurat dan terpadu sebagai referensi utama.
2. UU No. 4/2011 menetapkan BIG sebagai pelaksana IGD dan instansi pemerintah sebagai pelaksana IGT. BIG telah menyelenggarakan rapat koordinasi nasional.
3. Dokumen tersebut membahas upaya mencari posisi peta partisipatif
1. 7
Agustus 2015
KABAR
JKPP
Menuju
Tegaknya
Kedaulatan
Rakyat
Atas
Ruang 19
Mencari Posisi Peta Partisipatif
Dalam JIGN Di Daerah
Cover Photo by Nicko Silfido
2. K A B A R J K P P 1 9
" KABAR JKPP 192
Yang
Dapat
Kami
KABARI
Mencari
Posisi
Peta
Par<sipa<f
Dalam
JIGN
Di
Daerah
-‐
Imam
Hanafi
……………………………
3
Mengail
Inspirasi,
Meminang
Permaisuri
-‐
Aku
Sulu
Samuel
Sau
Sabu
…………………………….
7
Peran
Pemetaan
Par<sipa<f
dalam
Menjaga
Wewengkon
-‐
Nia
Ramdhaniaty
…………….
11
Model
SLUP
Kecamatan
Rampi,
Menuju
Pembangunan
Yang
Par<sipa<f
Untuk
Kesejahteraan
Masyarakat
dan
Resolusi
Konflik
-‐
Hajaruddin
Anshar
………………………………
15
Krisis
Ekologi
dan
Sosial
di
Sulawesi
Tenggara
-‐
Kisran
Fadhil
MakaB
……………………….…….
20
Dari
Pemetaan
Par<sipa<f
Menuju
Inisiasi
Tata
Ruang
Kawasan
Perdesaan
-‐
S.
Diyantoro
.24
KABAR
SIMPUL
………………………………………
27
REDAKSI
KABAR
JKPP
Pemimpin
Umum:
Deny
Rahadian
Pemimpin
Redaksi:
Dewi
Puspitasari
Sutejo,
Redaktur:
Ade
Ikhzan
Redaktur
Pracetak:
Amier
Hamzah
Siregar
Reporter
&
Kontributor:
Imam
Hanafi,
Diarman,
Aku
Sulu
Samuel
Sausabu,
Hajaruddin,
Kisran,
Nia
Ramdhaniaty,
Dyantoro
Sirkulasi
&
Distribusi:
Diana
Sefiani,
Yowanda
Alamat
Redaksi
:
Jaringan
Kerja
Pemetaan
Par2sipa2f
Jl.
Cimanuk
Blok
B7
No
6,
Komp.
Bogor
Baru,
Bogor
16152
INDONESIA
Telp.
62
–
251
8379143
Fax.
62
–
251
8379143
Email:
kabar@jkpp.org
Website
:
www.jkpp.org
KABAR
REDAKSI
Salam
kedaulatan
rakyat
atas
ruang,
Para
pembaca
yang
budiman,
kali
ini
KABAR
JKPP
kembali
hadir
di
tangan
para
pembaca.
KABAR
JKPP
19
ini
menyajikan
tulisan
utama
tentang
“Mencari
Posisi
Peta
Par<sipa<f
Dalam
JIGN
di
Daerah”,
Imam
Hanafi
menyorot
tentang
Kebijakan
Satu
Peta
yang
sudah
diluncurkan
sejak
pemerintahan
SBY
hingga
saat
ini
implementasinya
masih
setengah
ha<.
Salah
satu
upaya
advokasi
yang
dilakukan
adalah
mengintegrasikan
Peta
Par<sipa<f
ke
dalam
Kebijakan
Satu
Peta
tersebut
melalui
dorongan
dari
<ngkat
daerah.
Perpres
no
27
tahun
2014
telah
mengatur
tentang
Jaringan
Informasi
Geospasial
Nasional
(JIGN),
dimana
Pemda
sebagai
salah
satu
Simpul
JIGN.
Selain
itu
kami
juga
menyajikan
beberapa
pengalaman
belajar
kawan-‐kawan
Simpul
Layanan
Pemetaan
Par<sipa<f
(SLPP)
dalam
penggunaan
peta
par<sipa<f
sebagai
alat
perencanaan,
dasar
bagi
pengakuan
wilayah
adat
dan
upaya
integrasi
peta
par<sipa<f
dalam
kebijakan
RTRW
di
daerah.
Juga
beberapa
informasi
terkini
tentang
SLPP.
Akhirnya,
kami
selalu
membuka
kri<k,
saran
dan
terutama
tulisan
baik
ide,
analisis
maupun
pengalaman
belajar
dari
para
pembaca
untuk
memperkaya
media
ini.
Selamat
Membaca!
Redaktur
Terbit atas dukungan :
3. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "3
Kebijakan
satu
peta
(onemap
policy)
Indonesia
mulai
dimunculkan
pada
akhir
tahun
2010
pada
masa
pemerintahan
SBY.
Tujuannya
adalah
untuk
mewujudkan
informasi
geospasial
Indonesia
yang
akurat,
terpadu,
sistema<k
dan
berkelanjutan.
Produk
kebijakan
satu
peta
ini
diharapkan
bisa
menjadi
referensi
informasi
geospasial
terintegrasi
yang
diacu
banyak
pihak
sebagai
landasan
dalam
pengaturan
dan
pengambilan
keputusan
penguasaan,
pengelolaan
dan
pemanfaatan
ruang.
Landasan
pelaksanaan
dan
keterlaksanaan
kebijakan
satu
peta,
termuat
dalam
Undang-‐
undang
No.4
Tahun
2011
tentang
Informasi
Geospasial
(IG).
Undang-‐undang
IG
ini
menetapkan
Badan
Informasi
Geospasial
(BIG)
sebagai
pelaksana
penyelenggaraan
Infomasi
Geospasial
Dasar
(IGD)
serta
instansi
pemerintah,
pemerintah
daerah,
dan/atau
se<ap
orang,
sebagai
pelaksana
Informasi
Geospasial
Tema<k
(IGT).
Secara
kelembagaan,
BIG
ditetapkan
berdasarkan
Perpres
Nomor
94
Tahun
2011
tentang
Badan
Informasi
Geospasial,
sebagai
penggan<
Badan
Koordinasi
Survey
dan
Pemetaan
Nasional
(Bakosurtanal)
dengan
tugas
yang
lebih
luas.
Mencari Posisi Peta Partisipatif
Dalam JIGN di Daerah
Amanat UU NO 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial termuat dalam
tujuan IG yaitu 1). Menjamin ketersediaan dan akses IG yang dapat
dipertanggung jawabkan 2). Mewujudkan kebergunaan dan
keberhasilgunaan IG melalui kerjasama, koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi 3).mendorong penggunaan IG dalam pemerintahan dan
kehidupan masyarakat 4). Referensi tunggal dalam padunya IG di Indonesia
Imam Hanafi
Kepala Divisi Advokasi
Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
4. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 194
BIG
sebagai
pelaksana
dan
penangungjawab
IG
sekaligus
merupakan
penanggung
jawab
pelaksanaan
kebijakan
satu
peta,
telah
menyelenggarakan
Rapat
Koordinasi
Nasional
Informasi
Geospasial
pada
28
Februari
2012
serta
Rakornas
Infrastruktur
Informasi
Geospasial
(IIG)
pada
Desember
2012
di
Jakarta
yang
melahirkan
Roadmap
Pembangunan
Infrastruktur
Informasi
Geospasial
(2013-‐2017).
Penyelenggaraan
IIG
disandarkan
pada
pilar-‐pilar
utama
IIG
yang
terdiri
dari
kebijakan
(perundang-‐
undangan),
kelembagaan
(governance,
insBtuBonal
arrangement),
data
utama
dan
metadata,
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
serta
sumberdaya
manusia.
Dalam
roadmap
IIG
ini
juga
memasukkan
pemetaan
par<sipa<f
sebagai
salah
satu
metodologi
pemetaan.
Dan
produk
peta
yang
diakomodir
dalam
roadmap
IIG
sebagai
bagian
dalam
kebijakan
satu
peta.
Mekanisme
yang
dikembangkan
dalam
konteks
onemap
adalah
berbagi
pakai
data.
Data-‐data
diserap
dari
semua
kementerian
dan
lembaga;
dihimpun,
diverifikasi
dan
dipadukan
sesuai
standard
BIG,
disimpan
dalam
satu
data
base
yang
selanjutnya
akan
menjadi
satu
referensi
bagi
semua
pihak
yang
ditampilkan
melalui
geoportal
BIG
untuk
diserap
dan
dipakai
oleh
semua
pihak.
Standarisasi,
legalitas
dan
formalisasi
PP
Kenda<
dalam
UU
IG
no
4
tahun
2011
menyebutkan
beberapa
pihak
yang
boleh
membuat
peta
(Informasi
Geospasial),
namun
konsep
satu
data
dan
penyatuan
data
resmi
geospasial
harus
melalui
kementerian
dan
lembaga
pemerintah,
yang
selanjutnya
ber<ndak
sebagai
wali
data.
Sementara
sampai
saat
ini,
peta
par<sipa<f
yang
dibuat
oleh
masyarakat
dan
CSO
pendukungnya
masih
menjadi
data
“indika<f”
yang
mungkin
bisa
diadopsi
oleh
pemerintah
jika
memenuhi
kualifikasi
tema<k,
teknis
dan
metodologis.
Untuk
bisa
masuk
kedalam
kebijakan
satu
peta,
metodologi
pemetaan
par<sipa<f
memerlukan
beberapa
syarat
yang
harus
dipenuhi,
diantaranya
standarisasi
metode
pemetaan
par<sipa<f,
adanya
kebijakan
payung
sebagai
landasan
legal
metode
pemetaan
par<sipa<f,
serta
adanya
kejelasan
wali
data
bagi
data
pemetaan
par<sipa<f.
Peta
par<sipa<f
merupakan
data
primer
yang
diproduksi
oleh
masyarakat
menggunakan
metode
pemetaan
par<sipa<f
yang
selama
ini
belum
difasilitasi
atau
dibuat
oleh
instansi
pemerintah
maupun
pemerintah
daerah.
Peta partisipatif merupakan data primer yang diproduksi oleh masyarakat
menggunakan metode pemetaan partisipatif yang selama ini belum difasilitasi atau
dibuat oleh instansi pemerintah maupun pemerintah daerah.
Dalam roadmap IIG ini juga memasukkan
pemetaan partisipatif sebagai salah satu
metodologi pemetaan.
5. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "5
Sampai
saat
ini
metode
ini
hanya
berkembang
dan
banyak
digunakan
oleh
masyarakat
dan
CSO
pendukungnya.
Dalam
beberapa
hal,
penggunaan
metode
pemetaan
par<sipa<f
dalam
penyediaan
data,
pemuktahiran
data
dan
data
perencanaan
desa/wilayah
adat,
telah
dikomunikasikan
dan
dikerjasamakan
dengan
pemerintah
daerah.
Di
beberapa
tempat,
metode
pemetaan
par<sipa<f
telah
digunakan
dalam
pengajuan
akses
kelola
masyarakat
di
dalam
kawasan
hutan,
seper<
penentuan
ajuan
wilayah
Hutan
Kemasyarakatan
(HKm)
dan
Hutan
Desa
(HD)
serta
penyediaan
data
peta
sebagai
alat
buk<
pendukung
dalam
proses
pengadilan
sengketa
pertanahan.
Namun
demikian,
dalam
konteks
penegasan
hak
dan
pemantapan
status
kawasan,
penggunaan
metodologi
pemetaan
par<sipa<f
masih
banyak
keraguan
dan
pertanyaan
terkait
keabsahan,
kualitas,
standar
dan
pengakuan
terhadap
data
hasil
pemetaan
par<sipa<f
khususnya
oleh
pemerintah.
Sehingga
terkadang
ada
keraguan
dari
pemerintah
daerah
untuk
menggunakan
dan
mengadopsi
data
hasil
pemetaan
par<sipa<f
ini.
Untuk
menjawab
hal
tersebut,
metode
pemetaan
par<sipa<f
membutuhkan
jaminan
keabsahan
terhadap
hasil
dan
metode,
agar
bisa
digunakan
oleh
semua
pihak
tanpa
keraguan.
Beberapa
kendala
yang
menjadi
batu
sandungan
bagi
keabsahan
dan
legalitas
metode
pemetaan
par<sipa<f
bisa
dilihat
dari
sisi
kendala
metodologi,
kendala
teknis
penyelenggaraan
dan
kendala
birokra<s.
Tantangan
lain
diluar
ke<ga
kendala
diatas
bagi
peta
par<sipa<f
adalah,
belum
jelasnya
kebijakan,
mekanisme
dan
ins<tusi
yang
bertanggung
jawab
untuk
mengintegrasikan
data
dan
peta
dalam
kebijakan
satu
peta.
Mengingat,
proses
integrasi
data
dan
peta
bukan
hanya
sebatas
menghimpun
dan
mengumpulkan
banyak
gambar
peta
dari
banyak
ins<tusi
dan
diakses
melalui
satu
lembaga.
Melainkan
lebih
pen<ng
lagi
adalah
adanya
proses
iden<fikasi,
klarifikasi
dan
verifikasi
antar
satu
data
peta
dengan
data
peta
yang
lain
yang
saling
tumpang
<ndih.
Tantangan lain diluar ketiga kendala diatas
bagi peta partisipatif adalah, belum jelasnya
kebijakan, mekanisme dan institusi yang
bertanggung jawab untuk mengintegrasikan
data dan peta dalam kebijakan satu peta.
6. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 196
Khususnya
soal
menempatkan
data
masyarakat
sebagai
salah
satu
landasan
utama,
mengingat
konflik
ruang
yang
terjadi
dibanyak
sektor
hampir
semuanya
melibatkan
masyarakat.
Landasan
legal
dan
wali
data
bagi
metode
pemetaan
par2sipa2f
Perpres
no
27
tahun
2014
telah
mengatur
tentang
Jaringan
Informasi
Geospasial
Nasional
(JIGN)
yang
menggan<kan
peraturan
presiden
no
85
tahun
2007
tentang
Jaringan
Data
Spasial
Nasional
(JDSN).
JIGN
ada
suatu
sistem
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
Informasi
Geospasial
(IG)
secara
bersama,
ter<b,
terukur,
terintegrasi
dan
berkesinambungan
serta
berdayaguna.
Hal
ini
untuk
menghindari
adanya
kekeliruan,
kesalahan
dan
tumpang
<ndih
informasi
yang
berakibat
pada
ke<dakpas<an
hukum,
inefisiensi
anggaran
pembangunan,
dan
inefek<vitas
informasi
sebagai
salah
satu
upaya
untuk
meningkatkan
mutu
data
spasial
nasional.
Sejauh
ini,
upaya
membangun
kesepahaman
dan
pengakuan
terhadap
peta
dan
metodologi
pemetaan
par<sipa<f
telah
dilakukan
melalui
Inisia<f
membangun
ruang
dialogis
terhadap
pihak
Kementerian
Lingkugan
Hidup
dan
Kehutanan,
Kementerian
Agraria
Tata
Ruang
&
Kepala
BPN,
Kementerian
Dalam
Negeri,
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan,
Badan
Informasi
Geospasial,
serta
Badan
Perencanaan
Nasional.
Output
data
dan
penggunaan
peta
par<sipa<f
dalam
upaya
resolusi
konflik,
memperjelas
batas
desa,
wilayah
kelola
masyarakat
dan
perencanaan
tata
ruang
masyarakat,
mulai
mendapat
respon
posi<f.
Meskipun
butuh
waktu
panjang
dan
diskusi
intensif
dan
lebih
mendalam
untuk
menemukan
konteks
dan
strategi
adopsi
serta
proses
integrasinya.
Harapannya,
upaya
bersinergi
dengan
pemerintah
ini,
<dak
terjebak
pada
persoalan
formalitas
birokrasi
yang
cenderung
menghambat,
baik
teknis
maupun
substansi.
Kedepan,
terkait
par<sipasi
masyarakat
dalam
penyediaan
data
Informasi
Geospasial
serta
peran
serta
masyarakat
dalam
perencanaan
tata
ruang,
diharapkan
pemerintah
dapat
lebih
”legowo”
untuk
membuka
ruang
seluas-‐
luasnya
dan
lebih
fleksibel
dalam
mendorong
par<sipasi
masyarakat
dalam
penegasan
hak
sampai
ke
<ngkat
daerah.
Hal
ini
dimungkinkan
jika
pemerintah,
dengan
kebijakannya
bisa
lebih
mendorong
dan
mengakomodir
peran
serta
masyarakat
sebagai
subyek
prioritas
dalam
arah
pembangunan
kedepan.
(IH)
Harapannya, upaya bersinergi dengan
pemerintah ini, tidak terjebak pada persoalan
formalitas birokrasi yang cenderung
menghambat, baik teknis maupun substansi.
7. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 19 "7
Pengalaman Mendorong HKm Sebagai Salah Satu Solusi Konflik dan Menjamin
Keberlanjutan Sumber Daya Hutan di Egon Ilin Medo dan Wukuh Leworo
Aku Sulu Samuel Sau Sabu
Koordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTT
Kebanyakan
suku-‐suku
di
Indonesia
menganut
sistem
perkawinan
patrilineal,
dimana
untuk
dapat
melangsungkan
suatu
perkawianan,
pihak
mempelai
laki-‐laki
wajib
memenuhi
syarat-‐syarat
perkawinan
berupa
mas
kawin
atau
di
komunitas
Nusa
Tenggara
Timur
pada
umumnya
dan
Kabupaten
Sikka
pada
khususnya
mengenalnya
dengan
nama
Belis.
Ketentuan
belis
sebagai
syarat
sebuah
perkawinan
berbeda-‐beda
antara
suatu
komunitas
dengan
komunitas
lainnya.
Ada
yang
dianggap
berat
ada
yang
dianggap
ringan.
Berat
dan
ringan
tergantung
nilai
belis,
di
Kabupaten
Sikka
misalnya
pokok
belis
terdiri
dari
sejumlah
uang,
emas,
gading,
dan
kuda.
Akumulasi
seluruhnya
bisa
ditaksirkan
dengan
uang
maka
jumlahnya
bisa
sampai
ratusan
juta.
Se<daknya
kami
menggunakan
terminologi
yang
sama
dengan
Belis
dalam
upaya
meminang
pemerintah
agar
bisa
mengakses
hutan
dalam
kerangka
HKm.
Walaupun
banyak
perdebatan
soal
terkait
hal
ini,
sama
halnya
dengan
kenyataan
mengapa
harus
mengontrak
ditanah
milik
sendiri.
Tetapi
lagi
–
lagi,
Simpul
NTT
membaca
ini
sebagai
strategi
yang
sedang
dimainkan
pihak
laki-‐laki
agar
bisa
mendapatkan
seorang
anak
perempuan
sebagai
calon
mepelai
yang
bakal
menjadi
permaisuri
bagi
anak
laki-‐laki
dan
ibu
bagi
generasi
atau
anak-‐anak
yang
akan
dilahirkan.
Inilah
yang
dimaksudkan
dengan
sebuah
perjuangan
dengan
menggunakan
berbagai
strategi
untuk
mencapai
kemenangan.
Mengail Inspirasi
Meminang Permaisuri
“Tana Amin Moret Amin – Tanah kami hidup kami, Tanah
adalah Ibu bagi kami, Ibu yang mengandung, melahirkan,
membesarkan serta memberikan kehidupan”.
8. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 198
Pada
tahun
1990,
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Sikka
menetapkan
tata
batas
kawasan
hutan
lindung
Egon
Ilin
Medo
RTK
107
seluas
19.456,80
Ha
dengan
sepihak
tanpa
ada
surat
keputusan
penetapan
secara
formal.
Hanya
kawasan
Wukoh
Lewoloro
RTK
126
dengan
luas
3.200
Ha
yang
memiliki
SK
penetapan
yaitu
SK.
124/Kpts-‐II/1990
tanggal
23
Maret
1990.
Akibat
klaim
kawasan
hutan
lindung
ini,
sebagian
besar
wilayah
kelola
masyarakat
masuk
dalam
kawasan
hutan
lindung.
Paska
penunjukan
sepihak
dari
pemerintah
daerah,
masyarakat
<dak
lagi
bisa
mengakses
secara
leluasa
sumber
daya
hutan
seper<
sebelumnya.
Akibatnya,
agar
dapat
bertahan
hidup
masyarakat
memilih
menjadi
penambang
galian
C
disekitar
daerah
aliran
sungai,
menebang
dan
menjual
hasil
hutan
berupa
kayu
bangunan
dan
menjadi
buruh
bangunan
di
daerah
lain.
Daerah
aliran
sungai
pun
mengalami
kerusakan
karena
penambangan,
erosi
dan
longsor
tak
terelakan.
Efek
lain,
beberapa
masyarakat
yang
merasa
kecewa
dengan
pemerintah
daerah
tetap
melakukan
kegiatan
dalam
kawasan
hutan
dengan
terus
memperluas
wilayah
tanpa
batas
dan
kontrol,
beberapa
menyebabkan
kerusakan
hutan.
Beberapa
upaya
telah
dilakukan
dalam
mengatasi
masalah
ini,
diantaranya
program
studi
banding
dan
lokakarya
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
daerah,
tetapi
tetap
<dak
menemukan
solusi
yang
terbaik.
Masyarakat
menjalani
perjuangannya
sendiri
–
sendiri
sesuai
dengan
kemampuanya,
hingga
pada
tahun
2000
masyarakat
mulai
mengorganisir
perjuangannya.
Namun
perjuangan
panjang
yang
ditempuh
belum
juga
membuahkan
hasil.
Hingga
pada
akhirnya
SLPP
masuk
pada
bulan
Desember
2006
dan
menemani
perjuangan
masyarakat
melalui
pemetaan
par<sipa<f
dan
perencanaan
ruang
untuk
pengelolaan
sumber
daya
alam
hutan
berdasarkan
konsep
hutan
kemasyarakatan
(HKm).
Konsep
yang
ditawarkan
merupakan
strategi
penyelesaian
konflik
keruangan
antara
pemerintah
dan
masyarakat.
Hal
ini
sebagai
sebuah
tawaran
dari
melihat
sejarah
konflik
yang
cukup
panjang.
Melalui
pemetaan
par<sipa<f
semua
potensi
sumber
daya
alam
dapat
teriden<fikasi
dari
aspek
keselamatan
maupun
ancamannya.
Pemetaan
par<sipa<f
dapat
memberikan
informasi
de<l
tentang
situasi
dan
kondisi
sumber
daya
alam
sebenarnya
kepada
masyarakat
yang
berada
di
dalam
dan
sekitar
kawasan
hutan
dan
pihak
lain
yang
berkepen<ngan
dengan
pengelolaan
sumber
daya
alam.
Pada tahun 1990, Pemerintah Daerah
Kabupaten Sikka menetapkan tata batas
kawasan hutan lindung Egon Ilin Medo RTK
107 seluas 19.456,80 Ha dengan sepihak
tanpa ada surat keputusan penetapan secara
formal.
9. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "9
Pemetaan
par<sipa<f
telah
memberikan
gambaran
nyata
bagi
masyarakat
untuk
melihat
betapa
menurunnya
kualitas
sumber
daya
alam
hutan.
Pemetaan
par<sipa<f
di
kawasan
hutan
Egon
Ilin
Medo
dan
Wuko
Lewoloro
dilakukan
melalui
beberapa
tahap
yaitu;
dari
sosialisasi
ide
dan
gagasan
pemetaan
par<sipa<f
itu
sendiri,
menginisiasi
pela<han
pemetaan
par<sipa<f
bersama
masyarakat,
survei
inden<fikasi
potensi
sumber
daya
alam
oleh
masyarakat,
penggambaran
peta,
perencanaan
kampung
berbasis
peta.
Hasil
pemetaan
par<sipa<f
kemudian
dipakai
sebagai
alat
perencanaan
tata
ruang
wilayah
atau
pengelolaan
ruang
serta
alat
perencanaan
pembangunan
pada
umumnya.
Proses
yang
terpen<ng
kemudian
adalah
negosiasi
dengan
pemerintah
dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten
Sikka.
Negosiasi
dengan
pemerintah
dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten
Sikka.
Peta
hasil
perencanaan
kampung
khususnya
tentang
pengelolaan
kawasan
disampaikan
melalui
tatap
muka
dengan
DPRD
Kabupaten
Sikka
untuk
mendapat
perha<an
dan
dukungan
kepada
masyarakat
agar
merancang
kebijakan
daerah
yang
memberikan
perlindungan
dan
kenyamanan
kelola
masyarakat
dalam
kawasan
hutan
lindung.
Selanjutnya
peta-‐peta
perencanaan
pengelolaan
dari
masing-‐masing
wilayah
dipresentasikan
di
depan
Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Sikka
dan
menyerahkannya
sebagai
dokumen
bersama
untuk
menjadi
acuan
pengelolaan
kawasan
hutan.
Dialog
dengan
dinas
kehutanan
tersebut
merupakan
momentum
rekonsiliasi
masyarakat
dengan
Dinas
Kehutanan
selaku
pihak
yang
paling
bertanggung
jawab
atas
kebijakan
kehutanan.
SLPP
NTT
bersama
kelompok
masyarakat
juga
telah
menyerahkan
dokumen
Usulan
IUPHKm
Kepada
Bupa<
melalui
Kepala
Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Sikka.
Melalui
kebijakan
HKm,
Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Sikka
dan
masyarakat
yang
<nggal
di
dalam
dan
di
sekitar
hutan
menyepaka<
untuk
membuka
akses
pengelolaan
hutan
lindung
melalui
pola
pengembangan
HKm
dengan
mensinergikan
kearifan
lokal
masyarakat.
Adapun
pengembangan
hutan
kemasyarakat
bertujuan
untuk
mensejahterakan
masyarakat
pemegang
ijin
usaha
pengelolaan
hutan
kemasyarakatan
serta
kelestarian
hutan
itu
sendiri.
Hal
ini
sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Republik
Indonesia
Nomor
:
P.
37/
Menhut-‐II/2007.
Peta-‐peta
yang
dihasilkan
melalui
pemetaan
par<sipa<f
telah
dipakai
sebagai
acuan
penetapan
wilayah-‐wilayah
sasaran
penyelenggaraan
hutan
kemasyarakatan
(HKm).
Pemetaan partisipatif telah memberikan
gambaran nyata bagi masyarakat untuk
melihat betapa menurunnya kualitas sumber
daya alam hutan.
10. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1910
Selanjutnya
peta
par<sipa<f
yang
difasilitasi
melalui
kerja
sama
SLPP-‐NTT
telah
disepaka<
untuk
dipakai
sebagai
salah
satu
syarat
dokumen
usulan
ke
Bupa<
Sikka
untuk
mendapatkan
Ijin
Usaha
Pengelolaan
Hutan
Kemasyarakatan
(IUPHKm).
Selain
itu,
peta
perencanaan
ruang
menjadi
media
dalam
menata
ulang
sistem
tenurial
masyarakat.
Karena
melalui
pemetaan
par<sipa<f
dapat
diketahui
bahwa
kesepakatan-‐
kesepakatan
adat
berhubungan
dengan
pengelolaan
sumber
daya
alam
hutan
sering
kali
terlupa
bahkan
<dak
lagi
ditegakkan.
Dalam
proses
pemetaan
seorang
tokoh
adat
di
Desa
Kloangpopot
menyatakan
bahwa
:
“kami
masuk
garap
dalam
kawasan
hutan
karena
kami
Bdak
tahu
resikonya,
hari
ini
melalui
pemetaan
parBsipaBf
baru
kami
tahu
bahwa
kami
telah
melakukan
kesalahan
dan
kami
merasa
berdosa
terhadap
alam
dan
leluhur
kami”
(Tokoh
Adat
Desa
Kloangpopot).
Dan
ada
juga
Tokoh
masyarakat
Egon
yang
menyatakan
:
“Mulai
saat
ini
kami
harus
menanam
hutan
di
mata
air
kalau
perlu
buat
dengan
sumpah
adat
agar
yang
Bdak
tanam
hutan
dapat
sangsi
dari
leluhur
berupa
sakit,
penyakit
dan
kemaBan”
(Tokoh
masyarakat
Egon)
Hingga
sampai
dengan
tulisan
ini
dibuat
sudah
ada
18
desa
dari
30
desa
yang
telah
mendapatkan
IUPHKm
Bupa<
Sikka.
Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
hasil
pemetaan
par<sipa<f
telah
menjadi
media
penyelesaian
konflik
penetapan
tata
batas
hutan
lindung
serta
menjadi
alat
perencanaan
pengelolaan
hutan
berbasis
masyarakat
dengan
menggunakan
pola
HKm.
Selain
itu,
peta
par<sipa<f
menjadi
bagian
kesepakatan
dalam
negosiasi
belis
antara
pemerintah
daerah
dan
masyarakat.
Salam
Berdaulat
atas
Ruang.
(SSS)
11. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "11
Is<lah
wewengkon
dikenal
komunitas
Kasepuhan
Banten
Kidul
sebagai
bentuk
penegasan
batas
wilayah
adat
yang
menunjukkan
ruang
kelola
dan
ruang
hidup
masyarakat
Kasepuhan,
baik
dalam
fungsi
sosial,
ekonomi,
maupun
ekologi.
Penegasan
itu
diwujudkan
dalam
bentuk
tata
ruang
wewengkon,
yakni
Leuwueng
Kolot/
Tutupan,
Leuweung
TiBpan,
dan
Leuweung
Bukaan/Sampalan
yang
dilengkapi
dengan
aturan
adat
serta
kelembagaan
adat
yang
mengaturnya.
Namun
wewengkon
sebagai
<<pan
nenek
moyang
yang
dikelola
secara
turun
temurun
itu
pun
diakui
sebagai
kawasan
hutan
negara
dengan
fungsi
produksi
sejak
tahun
1978
(Perum
Perhutani)
dan
fungsi
konservasi
sejak
tahun
1992
serta
perluasan
wilayah
konservasi
di
tahun
2003.
Terjadi
klaim
antar
para
pihak,
yang
kemudian
membawa
dampak
pada
sengketa
batas
antara
masyarakat
Kasepuhan
dan
Kementrian
Kehutanan.
RMI
(2014)
mencatat
terdapat
34
konflik,
dan
90%
nya
berkonflik
dengan
kawasan
hutan
negara
dibawah
pengelolaan
Taman
Nasional
Gunung
Halimun
Salak
(TNGHS)
dan
Perum
Perhutani.
Sengketa
batas
serta
ke<dakpas<an
hak
atas
tanah
dan
sumberdaya
alam
ini
lah
yang
menghantarkan
masyarakat
Kasepuhan
berinsiasi
untuk
melakukan
pemetaan
par<sipa<f
dalam
upaya
mempertegas
batas
wewengkon
adat
Kasepuhan
serta
memperjuangkan
hak-‐hak
sebagai
masyarakat
hukum
adat.
Peran Pemetaan Partisipatif
Dalam Menjaga Wewengkon
Menuju Lahirnya PERDA Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Banten
Nia Ramdhaniaty
Direktur Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
12. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1912
Peta
sebagai
“amunisi”
penegasan
HAK
atas
Wilayah
Ke<dakjelasan
batas
menjadi
sumber
konflik
tenurial
di
Indonesia
dan
bahkan
di
negara
lainnya.
Peta
memberikan
buk<
data
konkrit
yang
dituangkan
secara
visual
terkait
HAK
atas
teritori
masyarakat
adat.
Seper<
yang
dijelaskan
di
dalam
UU
No.
41/1999
serta
Permenag
5/1999,
bahwa
wilayah
adat
menjadi
salah
satu
syarat
pembuk<an
sebagai
masyarakat
hukum
adat
yang
kemudian
diakui
keberadaannya
melalui
Peraturan
Daerah
(PERDA).
Namun
bagi
masyarakat
Kasepuhan,
penegasan
batas
ini
bukan
sekedar
coretan
batas
wilayah
adat,
namun
terkait
juga
unsur
penegasan
dalam
konteks
jaminan
keamanan
dalam
pengelolaan
dan
pemanfaatan
sumberdaya
alam
untuk
keberlangsung
penghidupan
incu
putu
(pengikut/
warga
Kasepuhan)
nya
kelak.
Seper<
yang
terjadi
di
Kasepuhan
Karang
yang
secara
administra<f
masuk
kedalam
Desa
Jagaraksa.
Dengan
adanya
peta
par<sipa<f
yang
dimiliki
saat
ini,
secara
perlahan
mampu
mengembalikan
“kebanggaan”
warga
Karang
yang
terekslusi
atas
pengelolaan
sumberdaya
alamnya
maupun
atas
kepercayaan
mereka.
Rasa
bangga
ini
pernah
pudar
akibat
wilayah
adat
mereka
dinyatakan
masuk
ke
dalam
kawasan
TNGHS
TAHUN
2003
dan
mendapatkan
serangan
Ormas
Front
Pembela
Islam
(FPI)
di
tahun
2009
yang
menganggap
Kasepuhan
Karang
memiliki
aliran
kepercayaannya
sendiri
dan
menyalahi
ajaran
Islam.
Warga
Kasepuhan
kemudian
mengambil
langkah
untuk
memetakan
wilayah
adat
dan
desa
administrasi
nya
pada
tahun
2014-‐2015
sebagai
bentuk
penegasan
batas
dan
hak
atas
wewengkonnya.
Hingga
tahun
2014,
seluas
18.055,263
Ha
wewengkon
Kasepuhan
sudah
terpetakan
di
Kabupaten
Lebak,
diantaranya
di
Kasepuhan
Citorek,
Cibedug,
Karang,
Cirompang,
dan
Cisitu
yang
menjadi
korban
atas
ke<dakpas<an
hak
atas
tanah
dan
sumberdaya
alamnya.
Hal
serupa
juga
dialami
oleh
Kasepuhan
Pasir
Eurih,
Sindang
Agung,
Cibarani,
Ciptagelar,
Cisungsang,
dan
kasepuhan
lainnya
yang
saat
ini
tengah
berproses
memetakan
wilayah
adatnya.
Peta
sebagai
alat
perencanaan
tata
ruang
adat/
desa
Konsep
tata
ruang
adat
bagi
Kasepuhan
bukanlah
hal
yang
baru.
Secara
ekologis,
Kasepuhan
meyakini
Leuweung
Tutupan/Kolot/Paniisan/
Geledegan
merupakan
areal
yang
difungsikan
untuk
menjaga
keberlangsungan
mata
air.
“Proses pemetaan ini adalah awal dari
perjuangan menuju pengakuan hak kami
selaku masyarakat adat” (Jaro Wahid,
Kasepuhan Karang, 2014)
13. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "13
Sedangkan
Leuweung
TiBpan
merupakan
areal
yang
menjadi
kawasan
yang
menjadi
<<pan
karuhun,
seper<
situs,
tugu,
makam,
mata
air
serta
ada
beberapa
meyakini
bahwa
<<pan
karuhun
ini
atas
“ijin
karuhun”
suatu
saat
bisa
dibuka
untuk
dimanfaatkan
oleh
incu
putu
nya
kelak.
Sedangkan
areal
yang
difungsikan
untuk
kebutuhan
produksi
masyarakat
disebut
dengan
Leuweung
Bukaan/Sampalan.
Konsep
ini
lah
yang
kemudian
dituangkan
ke
dalam
peta
untuk
menjadi
bahan
perencanaan
bersama
atas
pembangunan
yang
terjadi
di
wilayah
adat.
Sepanjang
pengakuan
keberadaan
masyarakat
Kasepuhan
belum
diakui
oleh
pemerintah,
maka
menjadi
tantangan
besar
bagi
Lembaga
Adat
Kasepuhan
untuk
menyelaraskan
konsep
pembangunan
wilayah
adat
dengan
konsep
pembangunan
desa
administra<f
sebagai
unit
pemerintahan
terkecil
negara.
Namun,
mengingat
staf
yang
duduk
di
pemeritahan
desa
merupakan
incu
putu
dari
Kasepuhan,
maka
se<ap
proses
pembangunan
yang
akan
berjalan
di
wilayah
adat
harus
mendapatkan
“restu”
dari
Kelembagaan
Kasepuhan.
Alhasil
peta
wewengkon
pun
seringkali
menjadi
acuan
dalam
proses
perencanaan
pembangunan
desa.
Peta
sebagai
alat
negosiasi
pencapaian
pengakuan
dan
perlindungan
Kasepuhan
Mengacu
pada
gambar
disamping,
terlihat
bahwa
posisi
wewengkon
di
lima
Kasepuhan
tersebut
hampir
seluruhnya
tumpang
<ndih
dengan
kawasan
penunjukkan
TNGHS
yang
keberadaannya
dilegi<masi
melalui
SK
Menhut
No.
175/Kpts-‐II/2003
seluas
113.357
Ha.
Tanah
yang
dikelola
sejak
lama
oleh
warga
Kasepuhan
secara
turun
temurun
ini
harus
dihadapkan
pada
status
yang
lain,
yaitu
hutan
negara
di
atas
tanah
negara!
Ini
menunjukkan
bahwa
masyarakat
Kasepuhan
belum
berdaya
di
atas
wewengkon
(wilayah
adat)
nya
sendiri.
Peraturan
Daerah
(PERDA)
yang
seharusnya
mengakui
keberadaan
Kasepuhan
sebagai
masyarakat
hukum
adat
belum
tersedia,
baik
di
Kabupaten
Lebak,
Sukabumi
maupun
Bogor.
Sebagai
informasi
bahwa
Kabupaten
Lebak
menjadi
pelopor
dalam
pengakuan
Ulayat
Masyarakat
Baduy
dalam
bentuk
Peraturan
Daerah,
No.
32
tahun
2001.
Oleh
karena
nya
bukan
hal
yang
mustahil
jika
pengakuan
Kasepuhan
pun
disahkan
dalam
bentuk
PERDA
di
Kabupaten
Lebak.
Perjuangan
Kasepuhan
adalah
perjuangan
membuk<kan
bahwa
Kasepuhan
merupakan
masyarakat
hukum
adat
yang
juga
harus
memiliki
pengakuan
dan
perlindungan
atas
wilayah
adat,
keberadaan
masyarakat
beserta
sumber
penghidupan
lainnya.
Pengakuan
keberadaan
Kasepuhan
saat
ini
tertuang
di
dalam
SK
Bupa<
Lebak
No.
430/Kep.298/Disdikbud-‐/2013
tentang
Pengakuan
Keberdaan
Masyarakat
Adat
di
Wilayah
Kesatuan
Adat
Banten
Kidul.
14. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1914
Namun,
karena
mandat
peraturan
perundang-‐
undangan
adalah
PERDA,
maka
awal
tahun
2015
warga
Kasepuhan
mendapatkan
jawaban
dari
Pemerintah
Kabupaten
Lebak,
bahwa
PERDA
Kasepuhan
masuk
menjadi
Program
Legislasi
Daerah
tahun
2015.
Secara
prinsip
PERDA
yang
dihasilkan
harus
memberikan
kemakmuran
dan
kesejahteraan
bagi
warga
Kasepuhan
yang
pola
penyebaran
berdasarkan
geneologis.
Oleh
karena
itu
salah
satu
substansi
pokok
dari
PERDA
tersebut
yang
perlu
diperha<kan
diantaranya
adalah
:
a)
pengakuan
seluruh
masyarakat
kasepuhan
sebagai
kesatuan
masyarakat
hukum
adat;
b)
mengakui
hak
tradisional
dan
hak
lainnya
dari
Masyarakat
Kasepuhan
sebagai
warga
negara;
c)
pengaturan
pelaksanaan
pemetaan
wilayah
adat
yang
kemudian
peta
wilayah
adat
ditetapkan
dengan
SK
Bupa<;
d)
pembentukan
<m
pemetaan
wilayah
adat;
e)
menjadikan
masyarakat
Kasepuhan
sebagai
unit
dalam
pembangunan
daerah;
dan
lain-‐lain.
Baca
lebih
lanjut
Policy
Brief
Vol.
01/2014
yang
diterbitkan
oleh
Epistema,
RMI,
JKPP
dan
HuMa.
Peta
par<sipa<f
yang
saat
ini
sudah
ada
maupun
yang
sedang
dalam
tahap
proses
penatabatasan
menjadi
seharusnya
dokumen
pen<ng
bagi
terwujudkannya
prinsip
PERDA
pengakuan
masyarakat
hukum
adat,
yaitu
kemakmuran
dan
kesejahteraan
masyarakat
Kasepuhan.
Namun
faktanya
peta
par<sipa<f
yang
dihasilkan
pun
belum
sanggup
meyakinkan
para
pengambil
kebijakan
di
daerah
untuk
diakui,
karena
belum
ada
legi<masi
hukum
posi<f
yang
mengakui
itu.
Peta
par<sipa<f
Kasepuhan
harus
diakui
secara
sah,
jika
negara
akan
mengakui
keberadaan
Kasepuhan
dan
masyarakat
hukum
adat
lainnya!
(NR)
Sumber
Bacaan:
Hanafi,
I.,
Nia
Ramdhaniaty
dan
Budi
Nurjaman.
Nyoreang
Alam
Ka
Tukang,
Nyawang
Anu
Bakal
Datang.
Penelurusan
Pergulatan
di
Kawasan
Halimun,
Jabar-‐Banten.
2004.
Publikasi
RMI
Polycy
Brief
Vol.
01/2014.
Menan<kan
Hadirnya
Peraturan
Daerah
tentang
Masyarakat
Kasepuhan.
Epistema,
RMI,
HuMa
dan
JKPP.
2014.
Policy
Brief
Bol.
02/2014.
Perda
Masyarakat
Kasepuhan:
Solusi
Konflik
Tenurial
Kehutanan
di
Lebak.
Epistema
dan
RMI.
2014.
Peta partisipatif Kasepuhan harus diakui secara
sah, jika negara akan mengakui keberadaan
Kasepuhan dan masyarakat hukum adat
lainnya!
15. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "15
Model SLUP Kecamatan Rampi
Menuju Pembangunan yang Partisipatif untuk Kesejahteraan Masyarakat dan
Resolusi Konflik
Hajaruddin Anshar
Pengurus Perkumpulan Wallacea Palopo
Idealnya
masyarakat
bukan
hanya
sebagai
obyek
dari
perencaanaan
pembanguan,
semes<nya
masyarakat
memiliki
ruang
yang
cukup
luas
untuk
terlibat
dalam
pembangunan.
Selama
ini,
model
perencanaan
pembangunan
yang
teknokra<s
memandang
masyarakat
sebagai
objek
semata,
menghilangkan
ruang
par<sipasi
masyarakat
yang
pada
akhirnya
menyebabkan
konflik
dan
menghambat
pembangunan
itu
sendiri.
Dalam
upaya
menjembatani
berjalannya
proses
pembangunan
serta
mendorong
keterlibatan
masyarakat
yang
ak<f
dalam
perencanaan,
metode
Sustainable
Land
Use
Planning
(SLUP)
atau
perencanaan
penggunaan
lahan
berkelanjutan
menjadi
salah
satu
pilihan.
SLUP
mengedepankan
peran
pen<ng
masyarakat
sebagai
subyek
dan
sekaligus
obyek
pembangunan.
SLUP
menegaskan
perencanaan
wilayah
berdasarkan
sistem
kelola
komunitas
yang
ditujukan
bagi
kesejahteraan
masyarakat
dan
keberlanjutan
fungsi
layanan
alam.
Khusus
di
Kabupaten
Luwu
Utara
Sulawesi
Selatan,
sejak
2014
sampai
2015
Pemerintah
Kabupaten
Luwu
Utara
bersama
Jaringan
Kerja
Pemetaan
Par<sipa<f
(JKPP),
Simpul
Layanan
Pemetaan
Par<sipa<f
(SLPP)
Tokalekaju,
dan
Perkumpulan
Wallacea
menginisiasi
Sustainable
Land
Use
Planning
(SLUP)
atau
Perencanaan
Penggunaan
Lahan
Berkelanjutan
yang
bertujuan
untuk
mewujudkan
penyusunan
perencanaan
pembangunan
par<sipa<f,
khususnya
bagi
penyusunan
tata
ruang
secara
par<sipa<f
di
Luwu
Utara.
16. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1916
Belajar
dari
pengalaman
Kecamatan
Rampi
merupakan
salah
satu
kecamatan
di
Kabupaten
Luwu
Utara,
Sulawesi
Selatan.
Daerah
ini
memilki
topografi
berbukit-‐bukit
dan
berada
pada
1.600
mdp.
Secara
adminstrasi,
Kecamatan
Rampi
terdiri
dari
6
desa
yaitu
(1)
Sulaku,
(2)
Leboni,
(3)
Onondowa,
(4)
Dodolo,
(5)
Rampi,
(6)
Tedeboe.
Rampi
berada
di
Pegunungan
Tokalekaju,
pegunungan
hutan
purba
yang
masih
tersisa
di
Sulawesi,
berjarak
sekitar
84
km
dari
Ibu
Kota
Luwu
Utara.
Wilayah
ini
juga
dikenal
sebagai
jantung
Sulawesi.
Rampi
merupakan
salah
satu
kecamatan
yang
dapat
dikatakan
wilayah
terpencil
dan
masih
terisolir.
Perjalanan
menuju
Rampi
dapat
ditempuh
dengan
pesawat
kecil
atau
perjalanan
darat
dengan
medan
sulit
selama
2
hari.
Sementara
Rampi
dalam
arahan
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Kabupaten
Luwu
Utara
Kecamatan
Rampi
masuk
dalam
klaim
kawasan
hutan
lindung
dan
kawasan
budidaya.
Dalam
peta
RTRW
kawasan
strategis
Kabupaten
Luwu
Utara
tahun
2009
–
2029,
Kecamatan
Rampi
masuk
dalam
potensi
pertambangan
bersama
dengan
Kecamatan
Seko
dan
Limbong.
Sementara
itu,
Kecamatan
Rampi
juga
masuk
dalam
wilayah
yang
rawan
bencana,
khususnya
masuk
dalam
kategori
rawan
banjir,
erosi
dan
sedimentasi.
Didalam
perda
RTRW
tertulis
rencana
perluasan
kebun
sawit
hingga
23.388,13
Ha,
dimana
Rampi
masuk
didalamnya.
Analisis
SLUP
menghasilkan
ke<daksesuaian
perencanaan
yang
dibuat
oleh
masyarakat
dengan
RTRWK.
Kesesuaian
kawasan
budidaya
dalam
perencanaan
masyarakat
dengan
RTRWK
Luwu
Utara
sebesar
20
%
atau
sekitar
4.598,6
Ha.
Kategori
sesuai
dengan
izin
pemerintah
sebanyak
35.5
%,
wilayah
ini
mencakup
area
hutan
produksi,
sementara
ke<daksesuaian
kawasan
budidaya
masyarakat
sebanyak
45.42
%
yaitu
wilayah
budidaya
yang
masuk
dalam
hutan
lindung
dan
kawasan
potensi
pertambangan
dalam
RTRWK.
Sebaliknya
wilayah
lindung
dalam
peta
perencanaan
masyarakat
Rampi
yang
dialokasikan
sebagai
kawasan
budidaya
dalam
RTRWK
seluas
52.62
%
atau
61.409
Ha,
sementara
kawasan
lindung
masyarakat
Rampi
yang
sesuai
dengan
lindung
dalam
RTWRK
hanya
sebanyak
47.38
%
yaitu
seluas
55,289.54
Ha.
Sinergitas
komunitas
dan
Pemerintah
SLUP
mensyaratkan
kerja
sinergi
dengan
pemerintah,
karena
dokumen
yang
dihasilkan
oleh
masyarakat
diharapkan
menjadi
dokumen
rujukan
dalam
RTRWK.
Perjalanan menuju Rampi dapat ditempuh dengan pesawat kecil atau
perjalanan darat dengan medan sulit selama 2 hari.
17. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "17
Memas<kan
bagaimana
pemerintah
mengakomodir
perencanaan
penggunaan
lahan
berkelanjutan
komunitas
dikerjakan
dengan
pelibatan
pemerintah
(Pemerintah
Desa,
Kecamatan
hingga
pemerintah
Kabupaten)
bersama
dengan
masyarakat.
Inisiasi
SLUP
dengan
berpegang
peta
perencanaan
dilakukan
tahap
demi
tahapan
secara
par<sipa<f
seper<
alur
berikut
ini.
Perencanaan
penggunaan
lahan
berkelanjutan
di
Kecamatan
Rampi
menjadikan
masyarakat
memahami
apa
saja
kebutuhan
mereka.
Masyarakat
menuangkan
perencanaan
par<sipa<f
dalam
peta
dengan
mendiskusikan
<dak
saja
soal
kebutuhan
saat
ini
melainkan
kebutuhan
masyarakat
dimasa
depan.
Kesadaran
masyarakat
dalam
mengenal
wilayah
kelolanya
sendiri
diharapkan
mampu
menumbuhkan
rasa
pemilikan
serta
memahami
bagaimana
merespon
kemungkinan
perkembangan
kehidupan
pada
masa
yang
akan
datang,
misalnya
dalam
melihat
perkembangan
penduduk
sehingga
dibutuhkan
perencaana
soal
perluasan
tempat
pemukiman,
lahan
pertanian,
perkebunan
dan
kebutuhan
lainnya.
Peta
ini
yang
didorong
menjadi
rujukan
bagi
pemerintah
dalam
membuat
kebijakan
pembangunan.
Pengetahuan
lokal
mengenai
penggunaan
lahan
yang
tertuang
dalam
perencanaan
berangkat
dari
pengalaman
mereka
yang
telah
lama
berinteraksi
dengan
alam.
Pengetahuan
ini
menjadi
bagian
pen<ng
dalam
menentukan
lokasi
sawah,
kebun,
pemukiman
dan
lain-‐lain.
Proses
SLUP
mendokumentasikan
pengetahuan
masyarakat
sebagai
modal
utama
dalam
perencanaan
penggunaan
lahan
yang
paritsipa<f.
Seper<
contohnya
penentuan
lokasi
persawahan
diketahui
dengan
jenis
dari
ciri
tanah
yang
berwarna
kehitaman,
dataran
serta
memilih
lahan
dekat
dengan
sumber
pengairan.
Perkebunan
dlihat
dari
jenis
tanah
yang
berwarna
kehitaman
dan
berada
pada
bukit
juga
dataran.
Kolam
ditentukan
dari
jenis
tanah
yang
berlumpur
dan
berpasir,
sementara
pemukiman
ditentukan
karena
posisi
pemukiman
yang
datar,
termasuk
per<mbangan
lembah
yang
luas
dan
jauh
dari
ancaman
longsor.
Masyarakat menuangkan perencanaan
partisipatif dalam peta dengan
mendiskusikan tidak saja soal kebutuhan
saat ini melainkan kebutuhan masyarakat
dimasa depan.
18. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1918
Kesesuaian
Perencanaan
Lahan
Berdasarkan
Pengetahuan
Lokal
yang
ada
di
Masyarakat
Rampi,
seper<
yang
diperlihatkan
dalam
tabel
dibawah
ini
:
NO Penggunaan
Lahan Kesesuaian
Lahan Keterangan
Cocok Tidak
Cocok
1 Pertanian/pesawahan tanah
berwarna
hitam
atau
kehitaman
tanah
padat
tanah
yang
ditumbuhi
alang-‐
alang
masih
bisa
dipakai
untuk
pesawahan
jenis
tanah
dengan
lumpur
yang
agak
pu<h
atau
kekuningan
tanaman
padi
hanya
bertahan
selama
3
kali
panen
atau
selama
3
tahun
lembab
dan
berlumpur letak
sawah
sebaiknya
berada
di
daerah
yang
lebih
rendah
dari
air
2 Perkebunan tanah
berwarna
hitam
atau
kehitaman
tanah
berpasir lokasinya
di
perbukitan/dataran
<nggi
kadang
ditemukan
juga
di
wilayah
dataran/tanah
rata
tanah
merah tanah
berwarna
merah
<dak
begitu
baik
tetapi
jenis
tanah
ini
masih
cocok
untuk
tanaman
cengkeh.
Hanya
saja
<dak
ada
tanaman
cengkeh
di
Rampi
Kolam kolam
ikan
yang
bagus
dengan
tanah
berpasir
tanah
yang
mengandung
unsur
besi
kadang
di
pesawahan
ciri
lumpur
merah jika
lahan
tersebut
difungsikan
sebagai
kolam
ikan
maka
ikan
di
kolam
tersebut
akan
susah
untuk
tumbuh
besar
Pemukiman penempatan
pemukiman
mengiku<
pemukiman
sebelumnya
daerah
yang
memang
<dak
pernah
dijadikan
pemukiman
sejak
dulu
wilayah
lembah
yang
luas
dan
<dak
rawan
longsor
rawan
longsor
Sumber
:
Diolah
dari
hasil
wawancara
masyarakat
Rampi
Pengetahuan
lokal
mengenai
penggunaan
lahan
yang
tertuang
dalam
perencanaan
berangkat
dari
pengalaman
mereka
yang
telah
lama
berinteraksi
dengan
alam.
Pengetahuan
ini
menjadi
bagian
pen<ng
dalam
menentukan
lokasi
sawah,
kebun,
pemukiman
dan
lain-‐lain.
Proses
SLUP
mendokumentasikan
pengetahuan
masyarakat
sebagai
modal
utama
dalam
perencanaan
penggunaan
lahan
yang
paritsipa<f.
Seper<
contohnya
penentuan
lokasi
persawahan
diketahui
dengan
jenis
dari
ciri
tanah
yang
berwarna
kehitaman,
dataran
serta
memilih
lahan
dekat
dengan
sumber
pengairan.
Perkebunan
dlihat
dari
jenis
tanah
yang
berwarna
kehitaman
dan
berada
pada
bukit
juga
dataran.
Kolam
ditentukan
dari
jenis
tanah
yang
berlumpur
dan
berpasir,
sementara
pemukiman
ditentukan
karena
posisi
pemukiman
yang
datar,
termasuk
per<mbanganlembah
yang
luas
dan
jauh
dari
ancaman
longsor.
19. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "19
Saat
ini,
Pemerintah
Kabupaten
Luwu
Utara
sedang
menyiapkan
pengajuan
pelepasan
kawasan
hutan
menjadi
Areal
Penggunaan
Lahan
(APL)
seluas
9.419,15
Ha.
Hasil
tumpang
susun
pengusulan
perubahan
kawasan
hutan
dengan
SK
No.
8410
dengan
peta
penggunaan
lahan
masyarakat
Rampi
ditemukan
kesesuaian
pengusulan
seluas
5.536,61
Ha
sementara
ke<daksesuaian
ditemukan
pada
wilayah
hutan
primer
masyarakat
atau
yang
disebut
dengan
wana
seluas
2140,69
Ha.
Oleh
karenanya
peta
SLUP
berfungsi
mengkoreksi
pengajuan
pelepasan
hutan
menjadi
APL.
Dokumen
SLUP
telah
diserahkan
kepada
Dinas
Kehutanan
Luwu
Utara
sebagai
rujukan
dalam
pelepasan
kawasan
hutan
oleh
pemerintah
sesuai
dengan
kebutuhan
masyarakat
untuk
menghindari
konflik
dimasa
mendatang.
(HA)
Sustainable
Land
Use
Planning
(SLUP),
merupakan
perencanaan
penggunaan
lahan
dengan
mengedepankan
proses
par<sipa<f,
menggunakan
metode
pemetaan
par<sipa<f
dan
perencanaan
tata
guna
lahan
yang
lebih
de<l.
Proses
SLUP
menekankan
lima
(5)
dimensi
yaitu,
aspek
sosial,
budaya,
lingkungan,
ekonomi
dan
pemerintahan.
JKPP
bersama
SLPP
dalam
proses
ini
berlaku
sebagai
fasilitator
yang
mendampingi
proses
perencanaan
dan
membangun
kesepakatan,
capaian
serta
hasil.
Tahapan
dalam
proses
SLUP
ini
diawali
dengan
membangun
kesepakatan
di
level
desa,
kecamatan
hingga
kabupaten.
Proses
selanjutnya
berupa
pengumpulan
dan
pengolahan
data
serta
analisa
sehingga
menghasilkan
dokumen
SLUP.
Dokumen
ini
yang
menjadi
bahan
diskusi
dan
acuan
dalam
proses
integrasi
dalam
RTRWK
20. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1920
Krisis Ekologi dan Sosial
Di Sulawesi Tenggara
Kerusakan Lingkungan dan Penyingkiran Masyarakat di Bumi Anoa
Kisran Fadhil Makati
Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tenggara
Banyak
kasus
krisis
ekologi
dan
upaya
penyingkiran
petani
dari
tanahnya
diakibatkan
oleh
regulasi
pemerintah
daerah
yang
memberikan
porsi
lebih
besar
untuk
investasi
skala
besar.
Regulasi
ini
secara
terstruktur
dilakukan
melalui
pengalokasian
ruang
yang
diatur
dalam
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
(RTRWK/P).
Kemudian,
masyarakat
mengalami
proses
-‐
proses
penyingkiran
secara
masif
karena
kerusakan
ekologis
sebagai
dampak
dari
industri
ekstrak<f.
Seper<
tercemarnya
laut
dan
sungai
sehingga
<dak
bisa
lagi
menghasilkan
tangkapan
yang
baik
serta
terganggunya
sawah
pertanian
masyarakat
karena
krisis
air
serta
bencana
banjir.
Belum
lagi
efek
penurunan
kesehatan
dan
kerusakan
tubuh
manusia
karena
terinfeksi
udara
yang
telah
tercemar
oleh
perusahan
tambang.
Sengaja
datang
atau
hanya
kebetulan
lewat,
Bumi
Anoa
sebagai
julukan
Sulawesi
Tenggara
merupakanwilayah
dengan
basis
keanekaragaman
haya<
terbesar
ke<ga
di
Indonesia
dengan
jenis
flora
dan
fauna
endemik
(data
IUNCH,
2001).
Kini
kekayaan
sumberdaya
alam
yang
mes<nya
dimanfaatkan
secara
arif
dan
bijaksana
di
Sulawesi
Tenggara
dihadapkan
pada
malapetaka
yang
mes<
ditanggung
oleh
generasi
yang
akan
datang.
Penghancuran
sistema<s
pranata
sosial-‐
budaya
sangat
nampak
terjadi
dibeberapa
wilayah
sumberdaya
alam
yang
padat.
Sebut
saja
Kolaka
dan
Konawe
Utara,
kedua
daerah
ini
merupakan
pusaka
satu-‐satunya
Kebudayaan
Tolaki,
melalui
tanah
dan
hamparan
benda
alam
kini
tak
satupun
menjadi
warisan
leluhur.
21. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "21
Kondisi
ini
muncul
karena
banyaknya
persoalan
yang
bermula
dari
hulu
yaitu
ke<ka
liberalisasi
perizinan
pertambangan
dikeluarkan
dengan
semena-‐mena,
<dak
transparan,
dan
mengabaikan
daya
dukung
lingkungan
melalui
sistem
terstruktur
dalam
kebijakan
ruang.
Hal
ini
yang
melahirkan
beragam
persoalan
misalnya
konflik
tenurial,
perambahan
hutan,
konflik
sosial
dan
degradasi
lingkungan.
Dalam
dokumen
Rencana
Pembengunan
Jangka
Menengah
Daerah
(RPJMD)
Sulawesi
Tenggara,
pada
bagian
analisa
tentang
isu
strategis,
selalu
dikatakan
bahwa
permasalahan
pokok
adalah
bagaimana
mengembangkan
potensi
sumberdaya
alam
yang
tersedia
baik
di
darat
maupun
di
laut.
Melalui
upaya
peningkatan
nilai
tambah
sumberdaya
alam
dengan
mengembangkan
kawasan
strategis
sebagai
pusat
pertumbuhan
baru.
Dasar
tersebut
yang
melandasi
perumusan
kebijakan
daerah,
rencana
dan
program
di
dalam
RPJMD
Sulawesi
Tenggara
periode
2008
–
2013
dan
periode
2013
–
2018.
Dengan
target
pertumbuhan
ekonomi
pada
kedua
periode
tersebut
berkisar
antara
8%
-‐
10%
per
tahunnya.
Dalam
grafik
berikuth
ini
menunjukan
bahwa
alokasi
ruang
bagi
tambang
menjadi
prioritas
dalam
mendongkrak
pertumbuhan
ekonomi
Sulawesi
Tenggara.
Yang
menjadi
pertanyaan
kemudian
apakah
pilihan
tambang
menjadi
jalan
yang
tepat
bagi
kesejahteraan
daerah,
masyarakat
serta
keberlanjutan
lingkungan?
Dalam
dokumen
RTRWP
Sultra
kawasan
dengan
status
APL
disebutkan
diperuntukan
untuk
pemukiman
dan
perkebunan.
Dalam
kenyataannya
sebagian
besar
lokasi
tambang,
lokasi
perkebunan
skala
besar
dan
lokasi
transmigrasi
masuk
dalam
kawasan
hutan
dan
suaka
alam
yang
telah
diturunkan
statusnya
menjadi
APL.
Untuk
periode
2013
–
2018
diprediksi
akan
terjadi
perubahan
luasan
kawasan
yang
lebih
besar
berdasarkan
perkiraan
perluasan
wilayah
investasi
untuk
pertambangan
dan
perkebunan,
termasuk
juga
penerimaan
transmigrasi.
Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah pilihan
tambang menjadi jalan yang tepat bagi kesejahteraan
daerah, masyarakat serta keberlanjutan lingkungan?
22. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1922
Seper<
yang
terjadi
di
Kecamatan
Pomalaa
Kabupaten
Kolaka
dan
Kecamatan
Molawe
Kabupaten
Konawe.
Tercatat
perusahaan
tambang
yang
beroperasi
di
kecamatan
ini
adalah
produksi
PT.
DRI,
PT.
SSB,
PT.
Akar
Mas,
PT.
Wijaya
Nikel,
PT.
Antam
Tbk
dan
masih
terdapat
sejumlah
ak<vitas
Pemegang
IUP
dan
JO
ikutannya.
Tambang
telah
merusak
panen
padi
dan
mencemari
laut
mereka.
Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
salah
satu
ketua
kelompok
nelayan
Desa
Hakatutobu
menceritakan
bahwa
tambang
telah
menyebabkan
pendapatan
dari
laut
menurun.
Sebelum
ada
tambang
penghasilan
nelayan
di
desanya
berkisar
2
juta
sampai
10
juta/
Kepala
Keluarga/bulan
(untuk
budidaya
teripang,
rumput
laut
dan
hasil
tangkapan
ikan).
Hal
ini
diperkuat
dengan
salah
satu
nelayan
yang
menceritakan
bahwa
sebelum
ada
banjir
karena
tambang,
kami
biasa
panen
500
kg
sampai
1
ton,
sekarang
dengan
adanya
banjir,
kami
<dak
dapat
mengambil
air
aliran
Kali
Pesouha
karena
airnya
keruh
kemerah-‐merahan,
sementara
udang
sangat
sensi<f
terhadap
air
yang
<dak
steril.
Sedangkan
untuk
persawahan
kami
selain
karena
langganan
banjir
juga
karena
akibat
hama
<kus
dan
babi,
hal
ini
diakibatkan
karena
hutan
<dak
ada
lagi
sehingga
hama-‐hama
tersebut
masuk
di
perkampungan.
Masyarakat
Pomalaa
bisa
memanen
padi
hingga
40
–
70
sebelum
ada
tambang
tetapi
saat
ini
hanya
sekitar
15
karung
saja,
itupun
kami
harus
mengalami
gagal
panen
pada
tahun
2009
dan
2010.
Akibatnya
banyak
petani
yang
<dak
lagi
mau
menanam
padi
yang
pada
akhirnya
banyak
yang
jadi
pengangguran
di
desa.
Perusahaan
tambang
yang
membawa
banjir
ke
desa
kami,
karena
pohon
sudah
habis
digunduli.
Hal
serupa
juga
terjadi
di
Desa
Tapunggaeya
daerah
Konawe
utara,
sejak
ada
ak<vitas
tambang,
desa
menjadi
rawan
longsor.
23. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "23
Se<ap
kali
hujan
pas<
banjir
karena
banyak
tutupan
anak
kali
yang
tersumbat
oleh
materil.
Air
banjir
langsung
menjulur
ke
laut,
hal
ini
yang
menyebabkan
laut
berubah
menjadi
merah.
Belum
lagi
debu
menjadi
pemandangan
sehari-‐hari
yang
dirasakan
warga
dan
yang
paling
mempriha<nkan
adalah
terganggunya
para
murid
(SD
dan
SMP)
yang
sedang
belajar
di
sekolah
karena
terus
mendengar
bising
dari
lalu
lalang
truk
perusahaan
tambang.
Sempat
para
guru
melakukan
demo
di
kantor
DPRD
Konawe
Utara,
namun
hasilnya
hasilnya
PT.
Sriwijaya
hanya
memberikan
“gan<
rugi”
atas
kebisingan.
Perusahaan
memberikan
insen<f
kepada
guru,
bantuan
gorden
jendela
sekolah
dan
pakaian
sekolah
untuk
siswa.
Padahal
masyarakat
dan
guru
meminta
untuk
menghen<kan
ak<vitas
disekitar
sekolah,
selain
karena
gangguan
kendaraan
juga
ada
faktor
debu.
Bahkan
perusahaan
pernah
ingin
merelokasi
SD
dan
SMP
ke
tempat
lain.
Berkurangnya
luasan
kawasan
tutupan
hutan
serta
dampak
dari
perubahan
iklim
di
Sulawesi
Tenggara
pada
gilirannya
tentu
berakibat
pada
meningkatnya
resiko
bencana.
Dalam
kurun
waktu
tahun
2009
-‐
2012
telah
terjadi
bencana
banjir
di
Sulawesi
Tenggara
sebanyak
87
kasus.
Untuk
tahun
2013
saja
telah
terjadi
sebanyak
15
kasus
banjir,
dengan
rincian;
2
kali
banjir
di
Kendari,
8
kali
banjir
Kolaka
Utara,
3
kali
banjir
Kolaka,
1
kali
banjir
Muna
dan
1
kali
banjir
Buton.
(Sumber
BPS
Tahun
2014).
Upaya
Revisi
RTRWP
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Propinsi
Sulawesi
Tenggara
(RTRWP
Sultra)
telah
disahkan
oleh
DPRD
Sultra
pada
Tahun
2014,
melalui
Perda
No.
2
Tahun
2014
tentang
RTRWP
Sulawesi
Tenggara.
Oleh
karenanya
mendorong
revisi
RTRWP
tersebut
menjadi
agenda
utama.
Kalangan
Organisasi
Masyarakat
Sipil
mempersoalkan
tentang
usulan
revisi
untuk
substansi
kehutanan
yang
terkait
dengan
penurunan
status
sebagian
kawasan
hutan
menjadi
Areal
Peruntukan
Lain
dalam
drap
usulan
revisi
dengan
luasan
yang
sangat
besar.
Disebutkan
dalam
dokumen
RTRWP
Sultra
kawasan
dengan
status
APL
diperuntukan
untuk
pemukiman
dan
perkebunan.
Dalam
kenyataannya
sebagian
besar
lokasi
tambang,
lokasi
perkebunan
skala
besar
dan
lokasi
transmigrasi
masuk
dalam
kawasan
hutan
dan
suaka
alam
yang
telah
diturunkan
statusnya
menjadi
APL.
Dalam
perjalanan
proses
revisi
RTRWP
Sultra
banyak
ditentang
oleh
berbagai
elemen
masyarakat
sipil
maupun
kalangan
pemerintah
sendiri
khususnya
dari
balai
taman
nasional.
Gerakan
penolakan
revisi
rencana
tata
ruang
tersebut
karena
disinyalir
ada
kepen<ngan/
agenda
besar
dari
pemerintah
daerah
dan
pemerintah
pusat
untuk
memuluskan
jalan
bagi
masuknya
investasi
perkebunan
skala
besar
dan
pertambangan
di
Sultra.
Namun
demikian
perjuangan
akan
terus
dilakukan
agar
kerusakan
lingkungan
dan
penyingkiran
petani
bisa
terhen<.
(KFM)
24. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1924
Dari Pemetaan Partisipatif Menuju
Inisiasi Tata Ruang Kawasan
S. Diyantoro
SLPP Wonosobo
Wonosobo
terletak
diantara
gunung
besar
yaitu
Gunung
Sindoro,
Gunung
Sumbing,
Gunung
Dieng
dan
merupakan
daerah
tangkapan
air.
Sumber
mata
air
terbesar
yang
mengaliri
sungai
di
Jawa
Tengah
berasal
dari
kawasan
dataran
<nggi
Dieng.
Pertama
adalah
Sungai
Serayu
yang
melintasi
5
kabupaten
(Wonosobo,
Banjarnegara,
Purbalingga,
Banyumas,
dan
Cilacap).
Sementara
Sungai
Bogowonto
mata
airnya
di
lereng
Gunung
Sumbing
yang
melewa<
3
kabupaten
(Kabupaten
Wonosobo,
Kulonprogo
dan
Purworejo).
Wonosobo
memiliki
kawasan
hutan
dengan
luas
39.726,3
Ha.
Luas
hutan
tersebut
terdiri
dari
hutan
negara
seluas
20.254,3
Ha,
melipu<
luas
hutan
produksi
13.675,2
Ha,
hutan
lindung
6.537,
1
Ha,
hutan
wisata
34,9
Ha
dan
hutan
suaka
alam
7,1
Ha
serta
hutan
rakyat
seluas
19.472
Ha.
Sedangkan
Hutan
Rakyat
pada
tahun
2000-‐2001
pernah
mendapat
juara
ke-‐2
<ngkat
Nasional.
Pemerintah
Wonosobo
merupakan
salah
satu
pemerintah
daerah
yang
mendukung
hadirnya
Undang
–
Undang
Desa
No
6
Tahun
2014.
Bupa<
Wonosobo
telah
menyelenggarakan
sosialisasi
paska
Undang-‐Undang
Desa
disahkan
mengenai
pen<ngnya
untuk
segera
mewujudkan
peraturan
tersebut.
Dalam
sosialisasi
tersebut
mensyaratkan
adanya
PR
besar
yang
bernama
Peta
Desa.
Peluang
ini
disambut
oleh
Simpul
Layanan
Pemetaan
Par<sipa<f
(SLPP)
Wonosobo
untuk
menyiapkan
peta
administrasi
desa
dan
inisiasi
tata
ruang
desa
yang
akan
didorong
nan<nya
menjadi
peraturan
desa.
25. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "25
UU
No.6
Tahun
2014
Tentang
Desa
membawa
paradigma
baru
dalam
tata
kelola
desa
dalam
peyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan
dan
pemberdayaan
masyarakat.
Desa
merupakan
pemerintahan
terbawah
yang
berhubungan
secara
langsung
dengan
masyarakat.
Oleh
karena
itu
desa
haruslah
menjadi
bagian
terdepan
dalam
gerakan
pembangunan
untuk
mencapai
kesejahteraan
dan
kemakmuran
masyarakat.
Salah
satu
tema
strategis
dalam
konstruksi
UU
No.
6
Tahun
2014
Tentang
Desa
ini
adalah
perencanaan
pembangunan
desa
dan
kawasan
perdesaan.
Undang-‐undang
desa
yang
telah
bergulir
dari
sejak
tahun
lalu,
membutuhkan
sebuah
terobosan
untuk
mempersiapkan
prasyarat
pen<ng
di
<ngkat
desa
baik
dalam
implementasi
desa
dinas
maupun
desa
adat.
Salah
satu
prasyarat
tersebut
adanya
peta
desa
secara
administra<f.
Kondisinya
hari
ini,
peta
administrasi
desa
di
Indonesia
baru
ada
sekitar
19
%,
ini
dikuatkan
dengan
pernyataan
Badan
Informasi
Geospasial
(BIG).
Hal
ini
menjadikan
peran
Pemetaan
Par<sipa<f
sangat
menentukan
dan
pen<ng,
beberapa
kebijakan
turunan
dari
undang-‐undang
desa
membutuhkan
dua
peta
pokok
yakni
peta
tata
ruang
desa
dan
peta
administrasi
desa.
Kemandirian
desa
terkait
dengan
prakarsa
dan
kewenangan
desa
untuk
mengambil
keputusan
tentang
kepen<ngan
masyarakat
setempat.
Pencapaian
ter<nggi
desa
mandiri
apabila
desa
mampu
menyediakan
sumber
kehidupan
dan
penghidupan
bagi
masyarakatnya,
menyediakan
lapangan
pekerjaan
serta
pendapatan
masyarakat
dan
pendapatan
desa.
Oleh
sebab
itu
di
masa
depan,
desa
dapat
melakukan
perubahan
wajah
desa
dan
tata
kelola
penyelenggaraan
pemerintahan
yang
efek<f,
pelaksanaan
pembangunan
yang
berdaya
guna
serta
pemberdayaan
di
wilayahnya.
Peluang
Undang
–
Undang
Desa
menjadi
bagian
pen<ng
dalam
upaya
mendorong
Pemerintah
Kabupaten
Wonosobo
untuk
bisa
mengakomodir
Pemetaan
Par<sipa<f.
Tentunya
untuk
perluasan
pengakuan
terhadap
peta
par<sipa<f
yang
telah
dibuat
oleh
kawan-‐kawan
di
beberapa
desa
sebelum
ada
Undang
–
Undang
Desa.
Selain
itu,
pen<ng
dalam
mengintegrasikan
peta
pemetaan
par<sipa<f
dengan
kebijakan
pemerintah
daerah,
mendorong
wali
data
peta
par<sipa<f
kepada
pemerintah
daerah
menjadi
bagian
advokasi
pengakuan
tersebut.
Beberapa
kali
diskusi
dengan
Bappeda
Wonosobo,
mereka
merespon
baik
dan
siap
untuk
menjadi
wali
data.
Oleh karena itu desa haruslah menjadi bagian
terdepan dalam gerakan pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.
26. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1926
Sekaligus
hasil-‐hasil
pemetaan
par<sipa<f
akan
didorong
untuk
dibuatkan
semacam
SK
Bupa<
(terutama
Peta
Tata
ruang
Desa
dan
Peta
Administrasi
Desa).
Hasil
komunikasi
dan
advokasi
selama
ini
menghasilkan
kesepakatan
bersama
antara
SLPP
Wonosobo
dengan
Pemerintah
Daerah
Wonosobo
dalam
inisiasi
pelaksanaan
pemetaan
par<sipa<f
dan
inisiasi
dokumen
tata
ruang
desa.
Pemetaan
par<sipa<f
akan
dilakukan
di
23
desa
yang
melipu<
9
kecamatan
yaitu
Kecamatan
Wadaslintang,
Sapuran,
Mojotengah,
Watumalang,
Kejajar,
Kaliwiro,
Selomerto,
Kepil
dan
Wonosobo.
Proses
pemetaan
dan
penyusunan
tata
ruang
desa
yang
sedang
dilakukan
pada
tahap
awal
ini
mencakup
di
3
desa
di
Kecamatan
Wadaslintang
yaitu,
Lancar,
Plunjaran
dan
3
desa
di
Banyumudal,
Ngadikerso,
Talun
Ombo,
dan
Kumejing.
Pendanaan
akan
didukung
oleh
pemerintah
daerah
dan
SLPP
Wonobo
akan
membantu
menjadi
bagian
<m
sebagai
sharing
kontribusi.
Keterlibatan
pemerintah
daerah
yaitu
Bapeda
serta
Bapermasdes
hingga
<ngkatan
teknis.
Bappeda
pun
telah
menyatakan
siap
menjadi
wali
data
dari
peta
yang
akan
dihasilkan.
Tata
ruang
desa
yang
sedang
dalam
proses
saat
ini
akan
berusaha
mengakomodir
seluruh
komunitas
di
desa
dan
bersama-‐sama
menyusun
langkah-‐langkah
strategis,
dari
pembangunan
fisik
maupun
manusianya.
Musrenbangdes
akan
menjadi
sarana
demokra<s
di
<ngkat
desa
untuk
mengembangkan
seluruh
potensi
desa
menuju
desa
yang
mandiri.
Seluruh
proses
pembangunan
se<ap
penggunaan
tanah
akan
menjadi
rencana
detail
dari
desa
tersebut.
Sehingga
hal
ini
akan
memberikan
terobosan
baru
dari
pembangunan
dan
perencanaan
desa
yang
berbasis
pada
data
spasial.
Peta
administra<f
desa
saat
ini
di
wilayah
Wonosobo
belum
ada,
sehingga
SLPP
Wonosobo
juga
berinisiasi
untuk
membuat
Peta
tata
batas
desa
yang
sesuai
dengan
Permendagri
No
27
tahun
2006.
Upaya
ini
juga
sebagai
upaya
untuk
mendorong
pemerintah
kabupaten
untuk
bisa
mengakui
keberadaan
dari
Peta
Par<sipa<f
yang
telah
lama
dirumuskan
oleh
kawan-‐kawan
pegiat
pemetaan
par<sipa<f.
Karena
peta
yang
telah
dibuat
harus
bisa
mendapat
pengakuan
atau
legalisasi
dari
pemerintah,
baik
dari
pemerintah
desa
sampai
ke
pemerintah
pusat.
Proses
penyelenggaraan
Pemetaan
Par<sipa<f
ini
juga
mendapat
respon
baik
dari
BIG,
dimana
BIG
sebagai
supervisor
dari
pembuatan
peta
ini.
Pendanaan akan didukung oleh pemerintah
daerah dan SLPP Wonobo akan membantu
menjadi bagian tim sebagai sharing kontribusi.
27. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "27
Hasil
dari
pengawasan
BIG
di
lapangan
terkait
dengan
PP
yang
dilakukan
oleh
kawan-‐kawan
SLPP
Wonosobo
yakni
walaupun
saat
ini
masih
butuh
beberapa
penyelarasan
tentang
teknis
pemetaan,
secara
umum
yang
dilakukan
oleh
kawan-‐kawan
sudah
benar
hanya
terkendala
oleh
alat.
BIG
menawarkan
untuk
mengiku<
pela<han
tata
ruang
yang
diselenggarakan
oleh
BIG
sebagai
upaya
penyelarasan
tersebut.
SLPP
Wonosobo
mencoba
menjalankan
SOP
yang
telah
dirumuskan
bersama
oleh
kawan-‐
kawan
CSO,
sehingga
wasit
dari
kegiatan
ini
adalah
SOP.
Dua
proses
Peta
diatas
nan<nya
akan
dikembangkan
menjadi
peta-‐peta
tema<k
sesuai
dengan
kebutuhan
dari
desa,
misal
:
peta
potensi
desa,
peta
kemiskinan,
dan
lain-‐lain.
Metodologi
Pemetaan
Par<sipa<f
yang
sudah
dirumuskan
harus
mampu
menjawab
kebutuhan
dari
masyarakat
lokal
sebagai
upaya
pengakuan
terhadap
kedaulatan
atas
ruang
rakyat.
Kawan-‐kawan
SLPP
yang
sudah
banyak
berkembang
diseluruh
negeri
harus
mampu
mengembangkan
inisiasi
dan
terobosan
baru
untuk
mengembangkan
Pemetaan
Par<sipa<f.
Upaya
yang
dilakukan
oleh
kawan-‐kawan
SLPP
Wonosobo
hanya
sebagian
kecil
sekali
perjuangan
dalam
mengambil
peluang
dari
kebijakan
pemerintah.
Pengembangan
dari
peta
adminitra<f
desa
dan
peta
tata
ruang
desa
bisa
digunakan
untuk
langkah
awal
advokasi
di<ngkatan
lokal.
Berbagai
refleksi
(kendala
&
kelemahan)
dari
proses
pemetaan
par<siapa<f
bisa
menjadi
pembelajaran
berharga
untuk
penyempurnaan.
(Dyan)
Proses penyelenggaraan Pemetaan Partisipatif ini
juga mendapat respon baik dari BIG, dimana BIG
sebagai supervisor dari pembuatan peta ini.
KABAR SIMPUL
Simpul
Layanan
Pemetaan
Par2sipa2f
Sulawesi
Utara
Seper<
halnya
permasalahan
di
wilayah
lain
di
Indonesia,
teman
–
teman
ak<vis
Sulawesi
Utara
menghadapi
konflik
ruang
yang
melibatkan
sektor
perkebunan,
tambang
serta
kehutanan.
Sementara
konflik
penguasaan
sumber
daya
alam
di
Sulawesi
Utara
<dak
saja
terjadi
pada
wilayah
daratan
tetapi
juga
pesisir
dan
laut.
Sulawesi
Utara
terkenal
dengan
lautnya
yang
luas
dan
indah.
Pemerintah
Sulawesi
Utara
melakukan
reklamasi
pantai
yang
berdampak
pada
tersingkirnya
nelayan
karena
tempat
pelabuhan
nelayan
dan
mencari
ikan
yang
ada
di
sekitar
pantai
kini
menjadi
hilang.
Bahkan
pemerintah
telah
memindahkan
rumah
–
rumah
nelayan
dengan
mekanisme
tukar
guling.
Kondisi
ini
diperburuk
dengan
kondisi
lokasi
rumah
baru
yang
<dak
strategis
seper<
lokasi
lama.
Rumah
baru
ini
jauh
dari
lokasi
penangkapan
ikan,
<dak
seper<
dahulu
yang
cukup
hanya
disekitar
pantai.
Hal
ini
memaksa
nelayan
untuk
mencari
ikan
di
tengah
lautan
yang
secara
operasional
membutuhkan
biaya
yang
lebih
besar.
28. K A B A R G E O S P A S I A L
" KABAR JKPP 1928
Pendapatan
nelayan
pun
menurun
dras<s,
bahkan
banyak
diantaranya
<dak
berprofesi
lagi
sebagai
nelayan
karena
<dak
sanggup
menanggung
biaya
operasional
yang
terlalu
<nggi.
Selama
ini
pemetaan
par<sipa<f
belum
menjadi
bagian
dari
kerja
–
kerja
advokasi
ruang
khususnya
bagi
para
penggiat
ak<vis
di
Sulawesi
Utara.
Peta
komunitas
yang
bisa
menunjukan
klaim
wilayah
kelolanya
belum
digunakan
sebagai
dokumen
yang
kuat
dalam
proses
negosiasi,
perencanaan
wilayah
dan
penyelesaian
konflik.
Hingga
pada
bulan
November
2014,
beberapa
ak<vis
yang
tergabung
dalam
beberapa
lembaga
yaitu
Walhi
Sulut,
LP2S
Manado,
AMAN
Sulut,
LBH
Sulut,
Telapak
Sulut,
Swara
Parangpuan
Sulut,
Jaringan
Kampung
DAS
Tondano,
KSM
Arakan-‐Wawontulap,
KPA
Rajawali
Tomohon,
KPPLH
Wori,
Yayasan
ASPISIA,
Yayasan
Bumi
Tangguh,
Yayasan
Rumah
Ganeca
Sulut,
KPA
Green
Eksplorer
Lahendong,
Komunitas
Bambu
Kota
Tomohon,
KEKER
Sulut,
Komunitas
Adat
Tanjung
Merah,
dan
Perkumpulan
Peduli
Lipu
Bolaang
Mongondow
Utara.
Mereka
berdiskusi
dan
bersepakat
untuk
membentuk
Simpul
Layanan
Pemetaan
Partsipa<f
(SLPP)
untuk
mendukung
kerja
advokasi
kedepannya.
Forum
juga
menyepaka<
Walhi
Sulawesi
Utara
yang
akan
menjadi
host
SLPP.
Simpul
Layanan
Pemetaan
Par2sipa2f
Sulawesi
Barat
Sulawesi
Barat
merupakan
propinsi
pemekaran
dari
Sulawesi
Selatan
pada
tahun
2004.
Hampir
10
tahun
pemekaran
tersebut,
tetapi
nyatanya
secara
administrasi
proses
penataan
batas
wilayah
belum
juga
selesai.
Selain
itu,
jauh
lebih
pen<ng
adalah
soal
belum
adanya
RTRWK
Propinsi
Sulawesi
Barat.
Dokumen
RTRWK
yang
ada
masih
mengacu
pada
dokumen
Propinsi
Sulawesi
Selatan,
hal
ini
menimbulkan
banyak
gap
antara
rencana
yang
disusun
oleh
pemerintah
dengan
kondisi
di
lapang
yang
bertolak
belakang
dengan
kebutuhan
masyarakat.
Ditambah
lagi
soal
pernyataan
pemerintah
daerah
yang
menyebutkan
bahwa
propinsi
Sulawesi
Barat
<dak
mengakui
adanya
masyarakat
adat
di
wilayahnya.
Sementara
pemerintah
daerah
terus
memberikan
izin
konsensi
kepada
perusahaan
sawit.
Berdasar
pada
kondisi
tersebut,
Walhi
Sulbar,
Lembaga
Perang,
perwakilan
mahasiswa
dan
SLPP
Makasar
menginisiasi
pembentukan
SLPP
di
Sulawesi
Barat.
Peta
pemetaan
par<sipa<f
dianggap
menjadi
salah
satu
jalan
dalam
upaya
menunjukan
penguasaan
wilayah
kelola
oleh
masyarakat,
membenahi
permasalahan
batas
wilayah
serta
menunjukan
eksistensi
masyarakat
adat
di
Sulawesi
Barat
yang
secara
turun
menurun
sudah
hidup
di
wilayah
tersebut.
(Diar)