Dokumen tersebut membahas tentang perlindungan hak adat dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, termasuk upaya perlindungan hak perwalian korban, hak ulayat masyarakat atas lahan dan perairan, serta tantangan dalam melakukan pemetaan sosial dan kawasan untuk mendukung proses rekonstruksi.
2. Kabar Redaksi
Pembaca yang budiman,
Tidak terasa Kabar JKPP telah masuk pada edisi 10,
setelah sekian lama mencoba berbagi informasi terkait
aktivitas ruang pemetaan partisipatif di berbagai tempat
di Indonesia. Dari masyarakat pesisir hingga
pegunungan, dari masyarakat sekitar hutan dan
masyarakat di daerah perkebunan atau pertanian dan
lain-lain.
Di akhir tahun lalu (Desember 2004) tentu kita tidak
lupa dengan bencana gempa dan tsunami yang
melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias.
Kejadian tersebut telah mengundang perhatian banyak
pihak untuk terlibat dalam pemberian bantuan dan
dukungan bagi pembangunan Nanggroe Aceh
Darussalam kembali seperti sedia kala. JKPP adalah
salah satu organisasi non-pemerintah yang turut
bekerja memfasilitasi proses pemetaan partisipatif
dalam kerangka rekonstruksi dan rehabilitasi di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Untuk berbagi informasi seputar kegiatan JKPP
selama 4 bulan di Nanggroe Aceh Darussalam, dalam
KABAR JKPP Edisi Aceh, dikabarkan proses pemetaan
dan perencanaan gampong sebagai bagian yang
penting untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsu-
nami, upaya-upaya perlindungan kepemilikan tanah
private dan komunal menjadi isue yang penting di
Aceh, dan pengalaman orang gampong dalam
mengelola bantuan melalui perencanaan gampong
dan penguatan kelembagaan gampong.
Semoga KABAR JKPP kali ini dapat lebih
menambah informasi seputar proses pemetaan dan
perencanaan di wilayah bencana bagi para penggiat
pemetaan partisipatif dimanapun berada.
Kami membuka segala saran dan kritik serta tulisan
para pembaca untuk memperkaya media ini. Selamat
membaca ! Terima kasih.
Salam Kedaulatan Rakyat atas Ruang !
Redaktur
No.10, Juli2005
Yang dapat kami KABARi !!
Perlindungan Hak Adat dan Rekonstruksi
Aceh Pasca Tsunami ...... 3
Community Mapping: Sebuah Kontribusi
dalam Penataan Ruang Partisipatif Pasca-Tsu-
nami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
...... 7
Perencanaan Tata Ruang Tingkat Desa Paska
Tsunami Sebuah proses pelibatan masyarakat
pada fase rehabilitasi dan rekontruksi di Aceh
..... 14
Tata Ruang dan Pertanahan Pasca Tsunami di
Aceh.....17
Pokja: Pemetaan Partisipatif dan Perencanaan
Gampong…….. 24
DEWAN REDAKSI KABAR JKPP
Penanggung Jawab: Ita Natalia, Pemimpin
Redaksi: Devi Anggraini, Redaktur: Ita
Natalia, Kasmita Widodo, Devi Anggraini,
A.H. Pramono. Distribusi: Risma. Tata Letak:
Dodo. Alamat Redaksi : Jl. Arzimar III No.17
Bogor 16152, Indonesia, Telp. 0251-
379143, Fax.0251-379825, e-Mail:
jkpp@bogor.net
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
(JKPP) berdiri pada bulan Mei 1996 di
Bogor. Penggagas berdirinya JKPP adalah
berbagai NGO dan masyarakat adat yang
memanfaatkan dan mengembangkan
pemetaan berbasis masyarakat sebagai
salah satu alat pencapaian tujuannya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan JKPP
antara lain menyelenggarakan pelatihan-
pelatihan dan magang pemetaan
partisipatif, perluasan dan penyebaran ide-
ide pemetaan partisipatif, menye-
lenggarakan dialog-dialog keruangan,
melakukan kajian-kajian keruangan,
penerbitan dan melakukan aliansi dengan
berbagai pihak yang aktif dalam gerakan-
gerakan sumberdaya alam kerakyatan.
Penerbitan Kabar
JKPP ini atas
dukungan dana
dari:
3. PENDAHULUAN
Gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang lalu,
telah menimbulkan dampak yang demikian luas terhadap lingkungan
dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan Pesisir Aceh.
Dari hasil pengolahan data Satlak I-II-III dan Kodam IM dan PMI, Maret
2005 ada 127.678 orang meninggal dan 93.506 hilang. Secara umum
kerusakan tersebut meliputi prasana dan sarana sosial, ekonomi, dan
tentu saja kerusakan lingkungan – yang disertai dengan perubahan
bentang alam.
Dari segi lingkungan, khususnya kerusakan lingkungan perairan belum
ada data atau hasil penelitian. Namun kerusakan di kawasan pesisir
pantai terbentang lebih kurang sepanjang 50 km dengan lebar antara
satu sampai tiga kilometer di Kota Banda Aceh/Aceh Besar. Kawasan
pesisir pantai yang terpanjang mengalami kerusakan adalah di pesisir
Barat Aceh, lebih kurang sepanjang 200 km sejak dari Kecamatan
Lamno Kabupaten – Aceh Jaya hingga Kecamatan Kuala di Aceh Barat
dan lebar rata-rata satu sampai dua km. Sementara di Pantai Timur Aceh
kerusakan wilayah pesisir diperkirakan sepanjang 100 kilometer.
Seluruh kawasan yang rusak tersebut terdiri dari kebun rakyat dan
perkampungan atau pemukiman penduduk.
PERLINDUNGAN HAK ADAT
DAN REKONSTRUKSI ACEH PASCA TSUNAMI
Oleh : SANUSI M. SYARIF1
Perlu memastikan kawasan ini tetap dapat dikawal untuk pemanfaatan bersama oleh masyarakat, lokasi:
Krueng Raya (dok. JKPP)
Wilayah pesisir yang
terkena tsunami
memiliki kawasan
ulayat berupa
perairan laut tempat
nelayan tradisional
menangkap ikan dan
kawasan sepanjang
tepi pantai (kawasan
berpasir dan atau
yang tidak
ditumbuhi tanaman
budi daya atau yang
disepakati sebagai
kawasan milik
bersama)
4. 4
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
Khusus di Aceh Besar dan Banda
Aceh, dari 19 mukim2
(kesatuan
wilayah adat) yang berada di
kawasan pesisir, hanya satu
mukim yang tidak mengalami
kerusakan akibat Tsunami, yaitu
Mukim Lampanah. Sedangkan
gampong-gampong di mukim
lainnya, sejak dari Kecamatan
Krueng Raya hingga Kecamatan
Lhoong, praktis seluruh
perkampungan nelayan musnah
beserta kampung-kampung
terdekat, atau mencakup sembilan
kecamatan.
Hancurnya gampong-gampong
akibat tsunami, yang diikuti
dengan hilangnya sebagian besar
penduduk dan penduduk yang
tersisa kemudian masuk ke barak-
barak pengungsian, merupakan
sebuah persoalan besar, terlebih
lagi jika dihadapkan pada upaya-
upaya rekonstruksi dan relokasi.
Masalah tersebut adalah
bagaimana perlindungan hak
perwalian dari korban yang sudah
meninggal atau hilang,
perlindungan atas kawasan
bersama komunitas, hak untuk
kembali membentuk sebuah
masyarakat di tempat asal, hak
untuk menata ulang tata ruang
gampong,.
HAK PERWALIAN
Sampai saat ini, belum semua
korban tsunami yang selamat
dapat diidentifikasi. Para korban
yang selamat bukan hanya berada
di pengungsian di sekitar wilayah
yang hancur, tapi ada pula yang
mengungsi ke tempat saudara
baik di tempat lain di Aceh
maupun ke luar Aceh. Sehingga
upaya untuk mengidentifikasi ahli
waris dari para korban yang sudah
meninggal dunia, atau orang yang
berhak untuk mendapatkan hak
perwalian dari anak-anak yang
selamat dan masih di bawah umur
tentu lebih sulit lagi.
Sepengetahuan penulis, upaya
untuk mengidentifikasi ahli waris
sampai sejauh ini belum ada pihak
yang melakukan. Ini pekerjaan
berat, tapi harus dilakukan untuk
mewujudkan lahirnya ruang
interaksi sosial baru yang bebas
dari pengabaian hak dari orang-
orang yang perlu dilindungi
haknya.
Berdasarkan adat dan nilai-nilai
yang hidup ditengah-tengah
masyarakat, apabila seseorang
meninggal dunia dan tidak
memiliki ahli waris sementara ia
meninggalkan sejumlah harta
berupa tanah, maka tanah tersebut
berada dibawah pengawasan
gampong atau mukim sampai
ditemukan ahli waris yang berhak.
Jika ia tidak memiliki ahli waris,
maka hak pengawasan dan
pemanfaatan atas tanah tersebut
dikembalikan kepada gampong.
Dalam hal ini, gampong akan
mengatur pemanfaatan tanah
tersebut untuk kepentingan
bersama dan kemaslahatan
ummat. Tanah seperti ini biasanya
dimasukkan dalam kategori tanah
baital mal (harta agama). Dengan
demikian, tidak dibenarkan ada
pihak lain yang coba merampas
hak tersebut dari gampong.
Contoh perairan yang pemanfaatan diatur adat juga digunakan untuk keperluan lain (pertamina dan pelabuhan) dengan tetap menghormati ruang pemanfaatan
oleh rakyat, lokasi: Pelabuhan Malahayati-Krueng Raya (dok. JKPP)
5. 5
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
PERLINDUNGAN HAK
ULAYAT
Hak ulayat, sampai saat ini masih
tetap diakui di Aceh. Dalam istilah
lokal, tanah atau perairan ulayat ini
sering disebut dengan tanoh
gampong atau tanoh mukim.
Pengakuan terhadap hak ulayat ini
dipertegas kembali melalui
sejumlah peraturan daerah,
masing-masing Perda no. 5 tahun
1996 tentang mukim sebagai
kesatuan masyarakat adat di Aceh,
perda no. 7 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh – sebagai penjabaran dari
UNDANG-UNDANG no 44
tahun 1999, terakhir di perkuat lagi
melalui Qanun no. 4 tahun 2003
tentang PEMERINTAHAN
MUKIM DALAM PROVINSI
NAD. Namun demikian, di
kebanyakan wilayah adat belum
ada upaya untuk menegaskan
mana saja yang merupakan harta
bersama dari kampung atau
mukim mereka. Hal ini tentunya
memerlukan proses, kalau tidak
masyarakat adat bisa saja
dirugikan oleh para pihak yang
berkepentingan terhadap sumber
daya alam yang dimiliki
masyarakat setempat.
Secara umum, semua wilayah
pesisir yang terkena tsunami
memiliki kawasan ulayat berupa
perairan laut tempat nelayan
tradisional menangkap ikan dan
kawasan sepanjang tepi pantai
(kawasan berpasir dan atau yang
tidakditumbuhitanamanbudidaya
atau yang disepakati sebagai
kawasan milik bersama).
Kawasan tepi pantai tentunya
merupakan kawasan yang sangat
diincar, karena cukup potensial
untuk kawasan wisata.
Khusus di Kota Banda Aceh,
mukim Syech Abdurrauf (dulunya
disebut mukim Kuala) memiliki
wilayah perairan ulayat berupa
kawasan pasang surut yang
dikelilingi oleh hutan bakau.
Pemanfaatan kawasan ini
sepenuhnya diatur oleh lembaga
adat peutua krueng berdasarkan
adat setempat dan sudah
berlangsung sejak lama. Pasca
tsunami perairan ulayat tersebut
sudah mengalami perubahan
bentang alam dan para pemegang
hak tradisional untuk memasang
jang3
sampai sekarang belum
teridentifikasi keberadaannya di
mana, berapa jumlah mereka
yang selamat dan siapa pula ahli
warisnya
STATUS TANAH
Sebagian dari penduduk yang
menjadi korban tsunami,
khususnya yang terletak dalam
wilayah mukim Syech Abdurrauf
di Kota Banda Aceh, tidak
memiliki surat-surat tanah,
terutama karena tanah yang
mereka tempati sudah puluhan
tahun ternyata telah dibuat
sertifikat atas nama orang lain. Hal
ini tentunya menimbulkan
persoalan tersendiri, bila
dihubungkan dengan rencana
relokasi atau penataan ulang
kawasan. Bila tidak hati-hati justru
akan menyebabkan penggusuran
hak mereka-mereka yang yang
selama ini telah berjuang dengan
gigih.
Berbeda halnya dengan penduduk
dari mukim di luar kota Banda
Aceh, walaupun ada diantara
mereka yang tidak memiliki surat
tanah, kedudukan mereka tidak
selemah penduduk di Mukim
Syech Abdurrauf, terutama karena
memang mereka berada di
wilayah adat yang kepemilikan
tanah tidak dilihat semata pada
soal administrasi atau surat-surat
tapi lebih kepada asal usul tanah
dan pengakuan masyarakat
setempat. Namun demikian bagi
tanah-tanah yang semula
merupakan hak bersama
masyarakat gampong/mukim,
tetap perlu dilindungi, agar hak
bersama tersebut tetap seperti
kepemilikan semula.
PEMETAAN SOSIAL DAN
PEMETAAN KAWASAN
Pemetaan sosial dan pemetaan
kawasan merupakan dua kegiatan
yang berhubungan satu sama lain.
Namun dalam kondisi Aceh hari
ini, ada kawasan-kawasan yang
belum memungkinkan dilakukan
kedua agenda tersebut secara
lengkap. Karena di gampong-
gampong tertentu, dengan
pertimbangan kondisi hanya
memungkinkan dilakukan
pemetaan sosial saja, tanpa
dilakukan pemetaan kampung.
Kalaupun pemetaan kampung
dibuat, maka hanya peta wilayah
adat dan tata guna lahan saja, yang
lainnya ditunda dulu untuk
sementara.
Waktu yang tersedia untuk proses
pemetaan sosial dan kawasan
dapat dikatakan cukup pendek,
apabila tujuan yang ingin dicapai
berkaitan dengan kebijakan
makro dalam rangka rekontruksi
6. 6
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
Aceh pasca tsunami. Namun
demikian faktor-faktor psikologis,
adanya prioritas lain dan
banyaknya agenda dari berbagai
pihak untuk kawasan-kawasan
yang terletak di wilayah Banda
Aceh dan Aceh Besar tentunya
perlu juga dipertimbangkan.
Selain itu, adalah bagaimana
kegiatan-kegiatan pemetaan ini
dapat dipersiapkan secara
bertahap, sehingga dapat
mencapai hasil yang maksimal.
Dalam hubungannya dengan
persoalan waktu, adanya
kebutuhan praktis untuk
mengkonsolidasikan para
pengungsi dari satu kampung
yang kini masih terpencar-pencar
di berbagai tempat pengungsian.
Kondisi ini tentunya berpengaruh
pada bagaimana kita
mendapatkan mandat dan juga
bagaimana mereka sendiri
membangun kesepakatan.
Sehingga apa yang kita lakukan
bersama masyarakat benar-benar
menjadi sebuah landasan yang
dapat terus dipelihara dan
dikembangkan ke depan. Dan
yang lebih penting lagi adalah
bagaimana mendapatkan
informasi yang valid dan optimal,
dari sumber daya manusia
setempat yang sudah jauh
berkurang dari keadaan sebelum
tsunami.
ISUE PENATAAN
KAWASAN
Kabupaten-kabupaten yang paling
parah tingkat kerusakan dan
luasannyaadalahAcehBarat,Aceh
Jaya, Aceh Besar. Sedangkan
kabupaten lainnya adalah
Simeulu, Pidie, Aceh Utara,
Bireun, dan Lhokseumawe.
Khusus di Aceh Besar dan Kota
Banda Aceh, kecamatan yang
mengalami kerusakan adalah :
Mesjid Raya, Baitussalam, Syiah
Kuala, Kutaraja, Meuraxa, Peukan
Bada, Lhoknga, Leupung dan
Lhoong.
Dalam hubungannya dengan
penataan kembali kawasan-
kawasan tersebut di atas, saat ini
banyak sekali para pihak yang
mulai bergerak untuk berperan
serta dalam merancang
bagaimana penataan dan
pengembangan pesisir, baik
untuk tingkat provinsi Aceh
maupun untuk kawasan
kabupaten/kota Aceh Besar dan
Banda Aceh.
Ide-ide untuk mengembangkan
jalur hijau adalah sesuatu yang
positif bagi lingkungan, tapi
tentunya memerlukan proses
sosial yang matang, sehingga tidak
menimbulkan kemiskinan baru,
praktek penindasan dan
meluasnya ketidakpuasan rakyat.
Dalam hal ini, pemerintah telah
mengeluarkan konsep/cetak biru
bahwa kawasan pesisir yang
terletak dalam radius 300 meter
dari laut akan digunakan untuk
pengembangan jalur hijau.
Sedangkan untuk pemukiman
adalah yang jaraknya sekitar 400
meter dari laut.
Jalur hijau yang akan
dikembangkan tersebut terdiri dari
dua bagian, yaitu di kawasan
perairan payau dan daratan. Di
kawasan payau akan
dikembangkan tanaman man-
grove, sedangkan di daratan,
khususnya yang terletak di bibir
pantai akan ditanami dengan
tanaman yang sesuai.
HAK UNTUK KEMBALI
KE KAMPUNG
Hak untuk kembali ke kampung
asal, merupakan hak yang asasi.
Karenanya apapun rancangan
yang dibuat untuk melakukan
rekonstruksi Aceh harus dapat
memastikan bagaimana
dilindunginya hak untuk kembali
ke kampung asal dan
mendapatkan akses untuk
mendapatkan tempat tinggal di
kampungnya, secara adil dan
bermartabat. Hal ini tentunya
tidak mudah, apalagi dihadapkan
pada rencana pengembangan
sabuk hijau di sepanjang pesisir
yang terkena tsunami.
Dengan terlindunginya hak untuk
kembali ke kampung semula,
memungkinkan pengungsi untuk
membentuk kembali kesatuan
masyarakatnya, membentuk
kembali lembaga-lembaga yang
mereka butuhkan dan tentunya
juga untuk menata kembali tata
ruang wilayah adatnya dengan
menggunakan sistem setempat.
(ss)
Catatan Kaki
1 Pengurus Yayasan Rumpun Bambu.
2 Satu mukim terdiri dari beberapa gampong,
biasanya paling kurang terdiri dari tiga
gampong.
3 Jang merupakan sejenis alat tangkap ikan yang
terdiri dari bentangan pagar rapat yang dibuat
dari belahan bamboo sebesar lidi ijuk dan
dipasang membentuk huruf “V” di tengah
sungai dan diujungnya dipasang bubu.
7. 7
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
COMMUNITY MAPPING:
SEBUAH KONTRIBUSI DALAM PENATAAN RUANG PARTISIPATIF
PASCA-TSUNAMI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)
Oleh : ITA NATALIA
Dengan demikian
informasi ruang
yang utuh dari
masyarakat Aceh
dalam segala ranah
kehidupannya
(sosial, ekonomi,
politik, budaya dan
agama) adalah hal
yang sangat penting
sebelum berbagai
pihak merencanakan
dan melaksanakan
pembangunan pasca
bencana.
Puing yang berserakan dari sisa-sisa bangunan yang kokoh dan megah
sudah menjadi pemandangan biasa bila kita berjalan-jalan di wilayah
pesisir Aceh pasca bencana Tsunami. Sejauh mata memandang, hanya
ada puing reruntuhan dan debu yang beterbangan mulai dari garis pantai
sampai kota Banda Aceh. Namun, setelah hampir 5 (lima) bulan berlalu,
pembangunan sarana dan pra sarana belum berjalan dengan baik.
Memang telah ada pembangunan jalan dan jembatan di jalur-jalur
penghubung antarkota, tetapi bagi masyarakat yang tinggal di pesisir
dan kota, sebagian besar kegiatan yang mampu dilakukan (melalui cash
for work) di antaranya baru membersihkan puing-puing dan mematok-
matok wilayah kepemilikan baik oleh si empunya tanah atau oleh
kerabatnya yang masih hidup. Ada juga nelayan yang sudah mulai
melaut dengan peralatan seadanya, tetapi sebagian besar masih bingung.
Kebingungan bukan saja melanda para korban, tetapi juga pemerintah
daerah, lembaga-lembaga donor, organisasi non pemerintah daerah dan
nasional, maupun pemerintah pusat yang tidak tahu dari titik mana proses
rehabilitasi dan rekonstrusi ini dimulai.
Kepercayaan dan harapan tumbuh setelah pemerintah pusat dengan
cepat membuat rencana induk, yang dikenal juga sebagai Blueprint,
sebagai pedoman untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh
Identikasi sumberdaya alam di atas peta hasil pemetaan partisipatif di Gampong Beurandeh,
Kec. Mesjid Raya, Aceh Besar (dok. JKPP)
8. 8
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
Darussalam (NAD) dan Nias,
Sumatera Utara., Kemudian
dibentuk sebuah badan pengelola
yang mengemban tugas
mengkoordinir rehabilitasi dan
rekonstruksi yang disebut Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(BRR) NAD dan Sumut.
Sayangnya, lahirnya BRR ini tidak
serta merta mampu mengikat
semua pihak yang
berkepentingan atas
pembangunan NAD untuk
menyatukan gagasan dan langkah-
langkah. Masing-masing bergerak
dengan gagasan dan rencana
kerjanya sendiri. Bahkan bisa saja
pihak-pihak tersebut tidak
berkomunikasi satu dengan yang
lainnya walaupun menempati
daerah kerja yang sama. Mengapa
demikian?
Seperti yang dikatakan oleh
Sarwono Kusumaatmadja,1
bahwa “tidak ada satu pihakpun
yang bisa mengklaim punya
pengalaman dan pengetahuan
tentang apa yang harus dilakukan
untuk memulai rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh dan Nias pasca-
tsunami”. Sehingga tidak
mengherankan jika berbagai
pihak (pemerintah, donor
internasional, NGO’s
internasional dan lokal dan
masyarakat korban memulai
langkah rehabilitasi dan
rekonstruksi ini dengan “teori trial
and error”.
Saat ini ada berbagai konsep yang
sedang diuji-coba. Sebagai contoh,
ada program Cash for work2
untuk
mengatasi kebutuhan “uang
cepat” bagi masyarakat dengan
cara membayar masyarakat
korban untuk membersihkan
gampongnya bahkan rumahnya
sendiri!. Ada juga pembangunan
barak pengungsi yang diyakini
mampu mengatasi masalah
tempat tinggal secara “sementara”,
namun pada kenyataannya tidak
berjalan sesuai harapan. Barak
pengungsi ini jauh dari ideal dan
sehat. Hingga saat berita ini
diturunkan, banyak barak
pengungsi bermasalah karena
dibuat dengan tidak
mempertimbangkan faktor-faktor
kebersihan, kenyamanan dan
keamanan. Sebagai contoh
semrawutnya pelayanan kepada
para korban adalah tidak ada
tempat pembuangan sampah
yang disiapkan memadai di setiap
barak, jatah tunjangan hidup yang
dijanjikan kepada setiap korban
sering terlambat bahkan tidak
sampai dengan utuh, konstruksi
barak sangat panas pada siang hari
dan sebaliknya sangat dingin di
malam hari. Semua contoh di atas
menunjukkan bahwa
pengadopsian konsep ini kurang
mempertimbangkan dan
memperhatikan modal sosial
mereka sebagai sebuah entitas
yang utuh. Prioritas utama
pembangunan yang bersifat fisik
oleh pemerintah sangat berpotensi
untuk mengabaikan persepsi,
pikiran dan inisiatif masyarakat
Aceh sendiri dalam membangun
kawasan hidupnya.
Sementara masalah-masalah yang
disebut di atas belum teratasi,
masyarakat sudah harus berlomba
dengan waktu untuk cepat-cepat
mengamankan tanahnya agar
mereka bisa mempertahankan
hak kepemilikan atas tanah
pribadi, tanah gampong maupun
tanah mukim yang terancam
akibat kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi ini.
Gagasan pemerintah daerah
terutama Bappeda dan BPN NAD
Analisis barak di Meunasah Keude, Meunasah Mon dan Meunasah Kulam Kec. Mesjid Raya,
Aceh Besar hasil olah Relawan JKPP, April 2005.
9. 9
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
yang paling mengemuka saat ini
adalah mencoba membuat
Rencana Tata Ruang Wilayah
dengan memadukan konsep top
down dan bottom up yang
dilakukan secara tergesa-gesa.
Tenggat waktu bagi masyarakat
menyiapkan informasi
wilayahnya sangat pendek.
(Dalam Edaran Walikota Banda
Aceh No. 650/03191, tanggal 6
Juni 2005, Tentang”Proses
Penyusunan Revisi Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Banda Aceh Tahun 2004-2009
secara Partisipatif) dikatakan
bahwa batas akhir pengukuran/
Community Mapping oleh
masyarakat adalah bulan Juli 2005,
supaya Pemerintah Daerah dapat
mulai membuat RTRWK pada
bulan Agustus 2005,). Di samping
itu, konsep re-grouping bagi
gampong-gampong yang jumlah
penduduknya sedikit akan
menjadi salah satu pilihan bagi
pemerintah dalam menata ulang
wilayah pemilikan tanah dan
peruntukan lahan. Menariknya,
gagasan ini menggunakan Com-
munity Mapping sebagai
pendekatan.
Berkaitan dengan istilah Commu-
nity Mapping yang dipakai
sebagai salah satu pendekatan,
perlu kami sampaikan pula bahwa
di Aceh saat ini berkembang
istilah-istilah yang sebelumnya
populer di kalangan aktivis
Ornop. Istilah-istilah tersebut
antara lain partisipatif, berbasis
masyarakat dan Community Map-
ping. Istilah yang cukup “laku” ini
dipakai oleh banyak pihak
terutama untuk memetakan tanah-
tanah korban tsunami.
Di tengah berbagai interpretasi
istilah-istilah tersebut, JKPP dan
Yayasan Rumpun Bambu Indone-
sia (YRBI) mencoba mewarnai
partisipasi ini dengan meletakkan
gagasan “Membangun Kembali
Kawasan Aceh pasca Gempa dan
Tsunami; Rekonstruksi Penataan
Ruang Kelola Rakyat melalui
Community Mapping” yang
dikembangkan berdasarkan
prinsip-prinsip yang dianut dalam
JKPP dan bertanggung gugat
(terutama terhadap ke-sahih-an
informasi dan data yang
dicantumkan ke dalam peta).
Dalam konteks ini, Community
Mapping dipakai sebagai alat
untuk menjelaskan sesungguhnya
ruang itu dibangun untuk siapa.
RUANG HIDUP UNTUK
RAKYAT
Kepentingan rakyat perlu
dipahami sebagai bagian utama
dalam penataan ruang karena
keberadaan rakyat tidak dapat
diabaikan, bahkan kepentingan
mereka semestinya mendapat
perhatian dan kesempatan yang
lebih daripada kepentingan-
kepentingan lainnya . Rakyat yang
menghuni suatu wilayah adalah
pihak yang merasakan
keuntungan dan kerugian tata
ruang wilayah tersebut. Jadi
ungkapan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat dalam
penataan ruang, hendaknya bukan
sekedar wacana atau lip service
bagi para pihak terutama pembuat
kebijakan.
Dalam penataan ruang yang syarat
dengan berbagai kepentingan
(politik, ekonomi, sosial,
budaya,dan ekologi), kepentingan
rakyat perlu menjadi tolak ukur
peruntukan ruang yang dilakukan.
Secara garis besar dapat
dikemukakan, bahwa segala
peruntukan ruang hendaknya
disertai dengan pikiran pikiran
Proses pemetaan partisipatif Gampong Lampageu, Kec. Peukan Bada, Aceh Besar. (dok. JKPP)
10. 10
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
positif yang memberikan jaminan
kehidupan yang lebih baik bagi
rakyat secara keseluruhan, apalagi
dalam kasus-kasus bencana alam
seperti tsunami yang mengubah
bentang alam Aceh secara drastis.
Dengan demikian informasi ruang
yang utuh dari masyarakat Aceh
dalam segala ranah kehidupannya
(sosial, ekonomi, politik, budaya
dan agama) adalah hal yang sangat
penting sebelum berbagai pihak
merencanakan dan melaksanakan
pembangunan pasca bencana. Hal
ini untuk menghindari
pembangunan yang tidak
mengakar pada tradisi mereka.
FOKUS
Sebagai kelompok yang
mendukung perbaikan kawasan
pasca bencana gempa dan tsunami
serta mendukung secara positif
kerja-kerja yang dilakukan semua
pihak, JKPP mencoba
memusatkan perhatian pada
konsep-konsep perencanaan
kawasan untuk gampong/mukim.
Pertimbangan sederhana yang
menjadi dasar pilihan fokus kami
adalah pentingnya untuk
mendapatkan informasi kawasan
yang utuh guna mempelajari dan
memahami kebutuhan dasar dan
prioritas masyarakat korban. Kami
menyadari bahwa dalam kondisi
kawasan yang porak poranda
tidaklah mudah untuk melakukan
penataan ulang. Apalagi banyak
pihak yang berkepentingan dalam
proses ini, baik kepentingan
perseorangan maupun
kepentingan pihak-pihak lain
seperti pemerintah di tingkat
nasional dan daerah, kelompok
donor internasional, dan para
pelaku bisnis. Fakta yang harus
diingat adalah bahwa di dalam
kawasan bencana ini terdapat
tanah dan bangunan milik
perseorangan, kelompok orang
dan umum yang sekarang telah
hancur.
Dengan fokus pada perencanaan
gampong/mukim (tata ruang
gampong/mukim) kami berharap
adanya jaminan hidup bagi
masyarakat dengan ruang-ruang
produksi yang mereka tetapkan
secara bersama.
TUJUAN
Secara umum, tujuan utama pro-
gram JKPP dan YRBI adalah
menemani masyarakat Aceh
dalam mencari solusi bagi
penataan kawasan mereka.
Adapun topik-topik dalam pro-
gram tersebut adalah:
1. Perlindungan Kawasan Kelola
Rakyat yang bertujuan untuk
memberikan keamanan dan
perlindungan bagi kawasan
(kampung) dari kepentingan
yang merugikan kehidupan
masyarakat.
2. Gerakan Sosial dan Budaya
yang bermaksud untuk
membangkitkan rasa
kebersamaan dalam menata
kembali kawasan melalui
pranata sosial dan budaya yang
hidup di tengah tengah
masyarakat. Diharapkan
gerakan ini dapat
menghidupkan kembali
kearifan masyarakat dalam
pengelolaan kawasan/
pemanfaatan ruangnya.
3. Keadilan Sosial, bertujuan
untuk memberikan rasa
keadilan kepada semua pihak
dalam usaha penataan kawasan
yanggilirannya untuk
menghindarkan konflik
kepentingan antar masyarakat
atau pemangku kepentingan
dalam pengelolaan kawasan.
Proses diskusi perencanaan Gampong Buerandeh, Kec. Mesjid Raya, Aceh Besar (dok. JKPP)
11. 11
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
4. Dukungan bagi pelaksanaan
program rehabilitasi dari pihak
pemerintah dengan
mempersiapkan perencanaan
gampong/mukim yang
berbasis masyarakat.
INISIATIF LOKAL
UNTUK PERENCANAAN
RUANG
Sebagai bentuk pertanggung-
jawaban atas komitmen
memberdayakan masyarakat
melalui COMMUNITY MAP-
PING, kami perlu menjelaskan
hal-hal mendasar yang harus
dilakukan dan tersedia jika
seseorang atau sebuah lembaga
mengunakan metode partisipatif
sebagai pilihan metode. Secara
umum gambaran inisiatif
Comunity Mapping dapat dilihat
dalam skema di bawah ini.
Dengan meletakkan kepercayaan
bahwa masyarakat memiliki cita-
citanya sendiri dan mampu
mewujudkannya, maka prinsip-
prinsip yang harus dihormati
dalam Community Mapping
adalah:
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai
Universal HAM
2. Mengutamakan kepentingan,
inisiatif dan keterlibatan
masyarakat
3. Menjunjung tinggi kehidupan
bersama yang berkeadilan
sosial
4. Berpihak pada pengelolaan
lingkungan yang
mempertimbangkan manusia
sebagai bagian dari sebuah
kesatuan ekosistem
5. Menempatkan Pemetaan
Partisipatif sebagai Ruang/
arena belajar bersama yang
memungkinkan transfer
pengetahuan dua arah dalam
proses dan aktivitas pemetaan.
Dan mengacu kepada tujuan dari
inisiatif ini maka langkah-langkah
yang menjadi pilihan strategis
JKPP adalah :
! Community Mapping . Untuk
mendapatkan informasi dari
masyarakat (korban) mengenai
rencana masyarakat terhadap
kawasan (kampung) pasca
bencana gempa dan tsunami.
Dengan kata lain pemetaan
sosial dilakukan untuk
mengetahui keadaan dan
harapan masyarakat secara
langsung dan mendapatkan
gambaran tentang kawasan dan
batasan-batasan kawasan
(kampung)
! Program Kolaboratif, karena
masyarakat tidak melaksa-
nakan kegiatan ini sendirian
tetapi melibatkan para pihak
Gempa dan
Tsunami
Tanggap
darurat-
evakuasi
Blueprint;
Rekonstruksi-
rehabilitasi
Gerakan
Sosial
Budaya
Perlindungan
kawasan
kelola rakyat
Has atas
tanah dan
wilayah
kelola
Keadilan
Sosial
Hak
perwalian;
perorangan,
gampong,
mukim
Community
Mapping
Unit Layanan
PP Aceh
Perencanaan
Gampong/
mukim/kawasan
Rekonstruksi;
perencanaan
kembali
kawasan kelola
masyarakat;
perluasan dan
penyesuaian
SKEMA INISIATIF DUKUNGAN COMMUNITY
MAPPING UNTUK REKONSTRUKSI PENATAAN
RUANG KELOLA RAKYAT DI NAD PASCA TSUNAMI
12. 12
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
ekonomi kapitalis/neoliberal
akan memberi dampak pada
tanah sebagai bagian dari
komoditas.
5. Meningkatnya kemampuan/
kapasitas masyarakat lokal
dalam berhubungan/berne-
gosiasi dan bekerjasama
dengan pihak luar dengan peta
sebagai alat negosiasi;
6. Menegaskan kepemilikan/
pengelolaan ruang oleh
masyarakat adat/ lokal melalui
penelusuran sejarah kepemi-
likan, merekam/mendoku-
mentasi sejarah tersebut dan
mensosialisasikan hasilnya
kepada masyarakat yang hidup
saat ini untuk menumbuhkan
rasa tanggung jawab dan
memperkuat ikatan sosial di
antara mereka.
BAGAIMANA
PROSESNYA
DIBANGUN?3
Community mapping menguta-
makan proses dan bentuk
partisipasi yang utuh dari
masyarakat, mulai dari awal
sampai akhir kegiatan pemetaan.
Mulai dari kelompok perempuan
dan laki-laki dewasa sampai ke
anak-anak kecil terlibat secara aktif
dalam setiap diskusi. Tanpa itu,
makna partisipasi hanya akan
menjadi simbol saja. Masyarakat
adalah subjek dari kegiatan ini.
APA YANG DAPAT
DIHASILKAN DARI
COMMUNITY MAPPING?
! Tata batas wilayah (kampung/
gampong, mukim, desa atau
kawasan yang lebih luas)
DISKUSI
PENYELENGGARAN
PETA
PELATIHAN
MASYARAKAT
PEMBUATAN
PETA
KLARIFIKASI
HASIL PEMETAAN
PENYERAHAN
PETA
PROSES DISKUSI
DAN BENTUK PARTISIPASI
PEMETAAN PARTISIPATIF
SOSIALISASI
GAGASAN
pentingnya memahami
wilayah kelolanya untuk
merencanakan, mengatur dan
mengelola tanah dan kekayaan
alamnya sendiri;
2. Pendokumentasian perubahan
bentang alam/tutupan rupa
bumi dari waktu ke waktu agar
bisa diamati, dianalisa dan
dipikirkan solusi bersama;
3. Ada keterbatasan informasi
ruang dan sosial antar satu
pihak dengan pihak lain,
sehingga melalui pemetaan
kesenjangan informasi dan
komunikasi dapat dijembatani;
4. Adanya saling keterkaitan di
antara kepentingan dan
masalah satu pihak dengan
pihak lainnya. Biasanya
perubahan sosial dari jaman ke
jaman membawa implikasi
terhadapperubahan-perubahan
ekologi termasuk tanah.
M a s u k n y a
k e p e n t i n g a n
yang secara langsung dan tidak
langsung memiliki komitmen
yang jelas dalam penataan
ruang partisipatif
! Terintegrasi, karenainisiatif ini
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari inisiatif
pengembangan kawasan
lainnya yang digagas oleh
banyak kalangan.
MENGAPA COMMUNITY
MAPPING?
Banyak inisiatif dapat kita lakukan
tetapi mengapa JKPP-YRBI
memilih Community Mapping?
Dengan pengalaman hampir 1
dekade setidaknya sejak tahun
1996 -2005,Community Mapping
memberikan pelajaran berharga
berupa:
1. Tumbuhnya kesadaran
m a s y a r a k a t
mengenai
Gambar diadaptasi dari buku Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat (Alix Flavelle, 1999)
13. 13
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
! Tata guna lahan masyarakat
(pemukiman, wilayah
pertanian, pemanfaatan hutan,
konservasi, wilayah pesisir dan
wilayah tangkap nelayan)
! Peta budaya dan sejarah,
(bekas kampung, kuburan,
tempat keramat/suci, daerah
larangan, pengetahuan lokal).
! Peta ekologi lokal (kehidupan
hewan dan tumbuhan tertentu,
kesesuaian lahan untuk
tanaman, potensi erosi, )
! Peta sistem kepemilikan lahan,
(individu, komunal-kolektif,
perwalian)
! Kelembagaan lokal dan
pengaturannya
Tata
Ruang
Community
Mapping
Tanah/
Perairan
Manusia
Tata Guna
Lahan
Institusi Organisasi
Makro
Mikro
Iklim
Tanah
Air
Ketrampilan
Pengalaman
Tata
Ruang
Demografi
Teritori
Ekonomi
Ekologi
Contoh ini adalah tema-tema peta
yang dapat dibuat oleh
masyarakat. Peta tematik yang
dibuat tergantung pada
kepentingan masing-masing
masyarakat
.
DIGUNAKAN UNTUK
APA PETA ITU
SELANJUTNYA?
! Penegasan dan negosiasi batas
wilayah
! Perencanaan dan pengelolaan
wilayah
! Dokumentasi pengetahuan
dan kearifan lokal
! Media belajar bersama antar
generasi
! Penguatan kelembagaan (lokal,
organisasi rakyat, adat)
Masih banyak lagi penggunaan
peta dapat disebutkan. Sangat
dianjurkanbahwapetayangdibuat
oleh masyarakat dipakai terus
menerus dan menjadi alat diskusi
di dalam kelompok-kelompok
masyarakat sehingga peta tidak
sekedar kertas pajangan saja.
APA TINDAKAN
SELANJUTNYA?
! Peta yang dihasilkan
hendaknya menjadi dasar bagi
perencanaan gampong/
mukim/desa/kawasan.
! Masyarakat dan pemerintah
desa perlu menggunakan peta
sebagai bahan untuk
berkomunikasi antar
masyarakat dan dengan pihak
luar
! Peta yang dihasilkan adalah
sumber informasi dan
pengetahuan bagi masyarakat
desa dan pihak lain yang akan
berhubungan dengan desa
Lihatlah skema4
Menata
Gampong partisipatif melalui
Community Mapping;
Dari skema tersebut dapat kita
lihat bahwa Community Mapping
tidak hanya sekedar
menghasilkan peta sebagai hasil
akhir, tetapi sekaligus mengiden-
tifikasi ruang masyarakat beserta
keterampilan, pengalaman, ragam
pengetahuan dan institusi yang
mengatur kehidupan mereka.
Hasil akhirnya adalah masyarakat
mampu memahami lingkungan
tempat mereka hidup, mengelola
dan mengatur wilayahnya untuk
kemajuan bersama. (in)
Catatan Kaki
1
Sarwono Kusumaatmadja” Taruhan Besar
Pasca-Tsunami”,KOLOM Tempo, halaman
62, Edisi 16-22 Mei 2005
2
Program Cash for Work merupakan salah
satu program bantuan dari donor Asing
bagi masyarakat korban tsunami di Aceh
dengan membayar perorang perhari Rp.
35.000,-. Dampak dari program ini saat ini
adalah, sebagian besar masyarakat korban
tidak mau ikut terlibat aktif di dalam
kegiatan-kegiatan rehabilitasi di wilayah/
gampongnya apabila tidak di bayar. Pada
kenyataannya, tidak semua lembaga yang
terlibat dalam program RR di Aceh sepakat
dengan pendekatan UANG. Dalam jangka
panjang akan sangat menyulitkan lembaga-
lembaga lokal dan pemerintah dalam
membangun kembali semangat
kemandirian dan solidaritas.
3
Ilustrasi dari buku panduan pemetaan
partisipatif Alix Flavelle, JKPP
4
Diagram oleh Ahmad Baehaqie
Skema menata gampong partisipatif melalui Community Mapping (A. Baehaqie)
14. 14
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
INTISARI
Tulisan ini bermaksud menjelaskan secara singkat sebuah proses
perencanaan tata ruang desa paska tsunami secara partisipatif di Desa
Lamsenia, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi
Nangroe Aceh Darusalam. Perencanaan tata ruang tingkat desa
dilakukan berdasarkan kepada beberapa argumen, yaitu : pertama,
proses rehabilitasi dan rekontruksi yang diawali dengan pembuatan
tataruangwilayah.Kegiataniniharusdimulaidaritingkatanpalingrendah
yaitu desa atau kampung. Kedua, partisipasi dan aspirasi masyarakat
dapat ditingkatkan secara optimal pada tingkat desa atau kampung.
Ketiga, masyarakat desa dianggap paling paham akan kondisi lahan
atau wilayah sebelum terkena bencana dan juga paling memahami
mengenai wilayah-wilayah yang terkena bencana tsunami. Semua
argumen di atas berdasarkan kepada prinsip bahwa masyarakat berhak
menentukan apa yang terbaik buat dirinya, kampungnya dan
lingkungannya. Selain itu, aspek sosial seperti, tradisi, budaya dan
kepercayaan setempat pun perlu menjadi faktor pertimbangan dalam
penyusunan rencana tata ruang sebuah wilayah.
Sebelum mulai melakukan perencanaan tata ruang tingkat desa ini,
warga desa dan tim dari Puter menyiapkan peta dasar. Peta dasar berisi
PERENCANAAN TATA RUANG
TINGKAT DESA PASKA TSUNAMI
SEBUAH PROSES PELIBATAN MASYARAKAT
PADAFASE REHABILITASI DAN REKONTRUKSI DIACEH
Oleh :TARYONO DARUSMAN1
Menggambar peta Desa Lamsenia, Kec. Leupung, Aceh Besar. Dalam kegiatan perencanaan tata
ruang desa. (Dok. Puter)
Perencanaan tata
ruang yang juga
mempertimbangkan
aspek sosial,
seperti tradisi,
budaya dan
kepercayaan
hanya bisa
dilakukan
dengan
melibatkan
warga itu sendiri
ke dalam proses
pembuatan tata
ruang tersebut
15. 15
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
batas kerusakan akibat tsunami,
batas air pasang naik, batas banjir
tahunan, informasi sumber daya
alam dan informasi-informasi dasar
lain yang harus ada pada sebuah
peta dasar. Setelah peta dasar jadi,
kemudian warga merencanakan
sebuah penataan ruang bagi
desanya, seperti dimana
perkampungan, perkebunan,
tempat aman, dan fasilitas umum
lainnya. Tentu sebelum
melakukan perencanaan penataan
ruang warga desa diajak terlebih
dahulu untuk merumuskan visi
desa.
1. Latar Belakang
Sebelum pemerintah mengu-
mumkan fase rehabilitasi dan
rekontruksi di Propinsi Aceh, ada
beberapa lembaga bantuan yang
telah menfasilitasi warga desa
melakukan pembuatan rumah dan
sarana umum, seperti muenasah,
klinik kesehatan dan balai desa.
Selain itu, kegiatan seperti
penanaman hutan mangrove pun
mulai dilakukan, seperti
menanam pohon nipah dan
bakau2
. Jika dilihat dari sudut
pandang bahwa warga segera
beraktivitas dan mendapat upah
tentulah merupakan hal yang
sangat baik, karena memang
lapangan pekerjaan hampir tidak
ada. Tetapi sayangnya, kegiatan-
kegiatan ini tidak melalui proses
perencanaan di tingkat desa
terlebih dahulu atau melalui
perencanaan tata ruang desa.
Masalah mulai muncul ketika
terjadi pemindahan atau adanya
p e r u b a h a n - p e r u b a h a n
penggunaan lahan yang memang
diperlukan untuk pembangunan
kembali desa tersebut. Kondisi ini
diperparah ketika warga hanya
dipandang sebagai pihak
penerima bantuan dengan segera
danpemberibantuantanpapernah
mempersiapkan ataupun
mendiskusikan perencanaan
warga terhadap desanya.
Bagaimana dan dimana bantuan
akan ditempatkan dalam
perencanaan desa dan kemudian
lembaga/organisasi apa yang akan
mengimplementasikannya.
Untuk melakukan perencanaan
tata ruang tingkat desa dan
konsolidasi lahan, tentu tidak
cukup hanya dengan data-data
kuantitatif yang bersifat fisik saja,
seperti penggunaan lahan
sebelum tsunami, luas wilayah,
jumlahpenduduk,tetapiperlujuga
pemahaman akan data dan
informasi yang bersifat kualitatif
seperti, tradisi, praktek keseharian
dan kepercayaan warga desa,
dimana hal ini sangat berpengaruh
terhadap penggunaan tata ruang
sebuah desa oleh para pemilik
lahan3.4
. Sehingga tidak
memungkinkan perencanaan tata
ruang desa dilakukan secara opti-
mal dari jarak jauh,
tanpa memahami
bagaimana interaksi
warga dengan
lahan lahan milik-
nya.
Perencanaan tata
ruang yang semes-
tinya memper-
timbangkan aspek
sosial, seperti
tradisi, budaya dan
kepercayaan yang
hidup ditengah warga hanya bisa
dilakukan dengan melibatkan
warga desa ke dalam proses
pembuatan tata ruang tersebut.
Sudah tentu proses pembuatannya
akan lebih baik bila dilaksanakan
di tingkatan lokal, mulai dari
kampung, desa kemudian
kecamatan.
2. PROSES
PERENCANAAN TATA
RUANG DI DESA
LAMSENIA
2.1 Pertemuan Warga
Pertemuan warga atau diskusi
adalah proses penting yang tidak
dapat dihilangkan dari pembuatan
perencanaan tata ruang desa.
Dalam kegiatan ini proses berbagi
dan ber tukar informasi dapat
berjalan secara optimal, dimana
semua informasi didapatkan
dengan cepat kemudian langsung
diverifikasi oleh peserta
pertemuan. Pertemuan warga di
Desa Lamsenia dilakukan setiap
malam mulai pukul 20:30 wib
sampai dengan 23:30 wib. Pilihan
waktu pada malam hari
dikarenakan warga melakukan
aktivitas pribadi, atau mengerjakan
program cash for work pada siang
hari.
Sesepuh kampung sedang membuat sketsa dan
sejarah kampung. (Dok. Puter)
16. 16
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
Pada pertemuan warga ini, tim
menggali informasi dengan
menggunakan metode-metode
PRA, seperti resource mapping5
,
mobility mapping, livelihood
analysis6
dan diskusi terfokus
untuk membahas tradisi,
kebiasaan dan masalah-masalah
sosial. Bahan-bahan yang
digunakan dalam setiap
pertemuan adalah, kertas plano,
spidol, selotip dan tentunya
sebuah peta dasar.
2.2 Survey
Survey dilakukan untuk
menverifikasi kembali informasi-
informasi yang sudah didapatkan
dalam pertemuan warga.
Biasanya survey dilakukan sore
hari, sekitar pukul 15:00 wib
sampai 18:00 wib. Bahan – bahan
yang digunakan saat survey adalah
GPS dan kompas.
2.3 Pembuatan dan
Pengesahan Peta Dasar
Setelah semua informasi
terkumpul kemudian diplotkan ke
dalam peta dasar. Kemudian, peta
dasar yang berisi informasi
lengkap, seperti batas banjir
tahunan, kerusakan paska tsunami,
sumber daya yang masih ada
disahkan oleh para tetua desa.
2.4 Perencanaan Tata
Ruang
Berdasarkan peta dasar buatan
warga ini kemudian warga mulai
merancang sebuah rencana tata
ruang. Sebagian dari rencana
tersebut adalah masalah
pemukiman. Rencana pertama,
warga akan pindah ke tempat
yang lebih aman. Aman dalam arti
tidak terkena banjir tahunan, tidak
terkena langsung badai angin barat
karena berada di belakang bukit
dan dekat dengan jalan besar serta
lebih cepat menuju perbukitan.
kemudian bekas pemukiman
lama akan dijadikan kebun dan
tempat bersejarah (warga tetap
akan membangun komplek
meunasah, balai desa dan balai
pertemuan di tempat lama
walaupun mereka pindah tempat).
Rencana kedua, akan dilakukan
jika skenario pertama gagal
dilakukan (dalam arti tidak ada
dukungan). Warga akan tetap
menempati bekas pemukiman
lama, tetapi lahan akan ditimbun
terlebih dahulu dan dibuat sebuah
tanggul penahan banjir. Begitu
pula dengan perkebunan, warga
sudah dapat menetapkan pohon
apa yang akan ditanam di tepi
pantai dan di areal perbukitan.
Sebagian besar individu, tetap
akan menanam tanaman yang
selama ini telah ada di Desa
Lamsenia, seperti Durian, Rambu-
tan, Manggis dan Nipah.
4. PENUTUP
Dari hasil perencanaan warga desa
jelas terlihat bahwa tidak cukup
hanya mempertimbangkan
faktor ekosistem dan keamanan
saja yang menjadi pertimbangan
warga dalam pembuatan rencana
tata ruang desa. Faktor tradisi,
budaya, sejarah dan kepercayaan
yang hidup ditengah warga harus
dimasukan ke dalam perencanaan
tata ruang desa mereka. Seperti
komplek meunasah yang tidak
bisa dipindahkan atau wilayah-
wilayah sakral lainnya. Untuk
membuat rencana tata ruang
seperti ini, sudah tentu pelibatan
masyarakat menjadi sebuah
keharusan. Pelaksanaan
pembuatan pun akan lebih baik
jika dilakukan di desa atau di
kampung.
5. UCAPAN
TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terima kasih
kepada JKPP yang telah
menfasilitasi dalam penyediaan
peta dasar dan juga kami ucapkan
terima kasih kepada warga Desa
Lamsenia yang telah berbagi
informasi bersama tim. (td)
Catatan Kaki
1
Aktivis Puter, email : taryono@yayasan-
puter.org, fetus_d@yahoo.com
2
Kegiatan-kegiatan ini dilapangan dikemas dalam
program cash for work, dimana tujuanya adalah
warga segera mendapatkan uang agar dapat
membeli kebutuhan sehari-hari.
3
Crecente.R, Alvarez.C and Fra.U., 2002.
Economic, social and environmental impact of
land consolidation in Galicia., Land Use Policy.,
No. 19. 135-147
4
L.N. Madsen and H.K. Andriansen., 2004.
Understanding the use of rural space: the need
for multi- methods. Journal of Rural Studies.
No 20. 485-497.
5
A.Gobin., P.Campling and J.feyen., 2001.
Spatial analysis of rural land ownership.
Landscape and Urban Planning. No. 55. 185-194
6
RRA notes. 1994. issue 20. 11-36. IIED London.
Atas, peta dasar yang sudah berisi informasi. (Dok.
Puter)
17. 17
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
LATAR BELAKANG
Secara alamiah Indonesia terletak pada daerah yang mempunyai
kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana alam, baik oleh proses
tektonik, vulkanik, eksogen (misal: tsunami) maupun yang dipercepat
oleh antropogenik. Kecenderungan bencana alam di Indonesia semakin
meningkat, baik luasan, frekuensi, besaran maupun jumlah korban dan
kerusakan yang ditimbulkan. Hal ini dipacu oleh pertumbuhan
penduduk yang cepat, pembangunan disegala bidang yang pesat dan
tata ruang yang tidak memperhatikan kerawanan terhadap bencana,
memperbesar peluang semakin meluas dan semakin besar kerugian
serta resiko akibat bencana alam.
Maka optimalisasi keberhasilan suatu pembangunan sudah seharusnya
mensyaratkan para perencana tata ruang dan para pemimpin negara ini
mempunyai wawasan geografis yang mengedepankan pembangunan
berkelanjutan. Dengan demikian penyusunan rencana tata ruang tidak
hanya sekedar ‘potong-tempel’ (baca : copy-paste) dan memasukkan
pesanan para investor. Kebiasaan tersebut seharusnya sudah
dihilangkan, kedepannya paling tidak para perencana tata ruang lebih
menaruh perhatian terhadap kerawanan bencana alam serta daya
TATARUANG DAN PERTANAHAN
PASCA TSUNAMI DI ACEH
Oleh : HANDIMAN RICO1)
Aktivitas ibu-ibu yang telah kembali ke gampong di Mukim Lampageu (dok. JKPP)
Pola penggunaan
tanah di Aceh pada
hakekatnya
mencerminkan
tingkat dan orientasi
kehidupan
masyarakat di
wilayah
bersangkutan
sebagai hasil dari
perpaduan faktor
sejarah, faktor fisik,
faktor sosial-budaya,
faktor letak dan
ekonomi
18. 18
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
dukung lingkungannya.
BENCANA ALAM DAN
PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Pertumbuhan penduduk yang
cepat dengan pembangunan di
segala bidang yang diikuti oleh
padatnya konsentrasi penduduk
pada suatu tempat disertai
pemanfaatan sumber daya alam
melampaui daya dukungnya,
mengakibatkan degradasi
lingkungan yang memicu
terjadinya bencana alam eksogen
(asal luar).
Gambaran umum tentang jenis
bencana antara lain : gempa bumi,
letusan gunung api, tsunami,
banjir, badai, tanah longsor,
kekeringan, kelaparan, wabah
penyakit dan kebakaran. Mengacu
pada gambaran umum kejadian
bencana serta memperhatikan
letak geografis Indonesia dapat
dilihat kekerapan terjadinya
bencana serta kerugian yang
ditimbulkannya semakin
meningkat pula di Indonesia.
Peningkatan kejadian bencana
alam diikuti oleh peningkatan
jumlah korban, baik yang
meninggal, cedera, hilang dan
kerugian harta benda.
Jenis bencana alam di Indonesia
tergolong aktif bahkan pada
beberapa tempat tertentu sangat
aktif. Hal tersebut diakibatkan oleh
letak dan keadaan lingkungan fisik
wilayah Indonesia yang
merupakan Negara Kepulauan.
Seperti bencana alam gempa
bumi dan tsunami di Aceh dan
Nias, sampai saat ini belumlah
usai menghiasi berbagai
kehidupan masyarakat.
Disamping itu guncangan-
guncangan gempa masih terus
terjadi setiap saat. Bencana tsu-
nami meluas di pantai barat dan
sebagian pantai timur hingga
pulau-pulau kecil di wilayah Aceh
yang menyebabkan kerusakan
bahkan kerugian pada kehidupan
manusia, baik berupa materi,
korban jiwa, ekonomi dan ekologi
yang tidak dapat diatasi oleh
masyarakat setempat dengan
menggunakan sumber daya yang
tersedia.
Kerusakan dan kehilangan yang
terjadi akibat gempa dan tsunami
secara keseluruhan belum dapat
di data secara pasti. Gambaran
mengenai kondisi demografis dan
wilayah seperti tertera dalam tabel
1-3.
Kerusakan wilayah terparah
terdapat di Banda Aceh, Aceh Jaya,
dan Aceh Barat. Kerusakan yang
dikategorikan sedang terdapat di
Aceh Besar, Nagan Raya,
Simeulue, Sabang dan Pidie.
Sebarah wilayah yang mengalami
kerusakan ringan seperti Biruen,
Lhokseumawe, Aceh Singkil,
Aceh Selatan dan Aceh Utara.
Tetapi kerusakan wilayah tidak
selalu identik dengan jumlah
korban. Lain halnya di Banda Aceh
dengan kondisi wilayah yang
sempit dan penduduk yang padat
mengakibatkan korban jiwa
terbesar sebanyak 102.685 jiwa
dan kerusakan fisiknya hampir to-
tal.
Di Aceh Utara yang wilayahnya
cukup luas dengan tingkat
kerusakan paling ringan (1,475 %)
akan tetapi jumlah korban jiwa
baik yang meninggal maupun
hilang cukup tinggi (1.801 jiwa).
Jika dibandingkan dengan
perbedaan kerusakan wilayah dan
jumlah korban di Simeulue
dimana kerusakan wilayahnya
sebesar 13,74 %, tetapi jumlah
korbannya hanya 9 jiwa.
Demikian pula Sabang dengan
luas wilayah yang mengalami
kerusakan sebesar 11.50 %,
jumlah korbannya jiwa yang
meninggal 24 dan hilang 108 or-
ang.
Berkaitan dengan R2WANS (apa
kepanjangannya??) pembangunan
berkelanjutan dan perencanaan
tata ruang Aceh, seberapa jauh
konsep perencanaan
pembangunan berkelanjutan dan
pertanahan dapat mengakomodasi
kepentingan dan hak masyarakat
atas tanahnya. Jika kita perhatikan
Banda Aceh dengan luas wilayah
6.100 Ha dan jumlah
penduduknya 260.478 jiwa
dengan jumlah kepala keluarga
sekitar 45.113 jiwa sebelum
bencana terjadi, dapat
diasumsikan bahwa setiap KK
mempunyai hak atas kepemilikan
tanah dan bangunan. Kemudian
setelah bencana terjadi’ penduduk
meninggal dunia 19.95% dan
penduduk yang hilang
23,31%,dan sisa penduduknya
yang teridentifikasi di pengungsian
sebanyak 11.952 KK atau 49.921
jiwa. “Obyek tanah” memiliki
aspek hak dan penggunaan selain
memiliki aspek fisik, seperti
tingkat kesuburan dan tingkat
keterjalan lereng. Semua benda
yang memiliki aspek “hak dan
peggunaan”, maka benda tersebut
mengikuti pemegang haknya.
19. 19
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Simeulue
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Tenggara
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Barat
Aceh Besar
Pidie
Biruen
Aceh Utara
A. Barat Daya
Gayo Lues
Aceh Tamiang
Nagan Raya
Aceh Jaya
Banda Aceh
Sabang
Langsa
Lhoksumawe
14.409
30.936
42.467
32.834
70.365
58.161
32.775
65.368
112.169
72.182
100.846
26.799
14.006
50.014
27.385
17.897
45.113
6.325
29.130
31.395
880.576
38.680
61.363
94.125
75.134
170.265
123.662
101.465
152.203
235.277
179.707
253.816
56.642
42.492
111.700
69.544
48.010
131.859
12.706
61.229
85.005
2.104.884
39.181
63.742
98.822
75.644
161.371
127.114
93.535
150.202
282.421
181.821
269.901
58.716
43.956
113.311
74.441
50.786
128.619
13.597
61.634
82.357
2.171.171
77.761
124.758
192.947
150.778
331.636
250.776
195.000
302.405
517.698
361.528
523.717
115.358
86.448
225.011
143.985
98.796
260.478
26.303
122.865
167.362
4.276.0551
8
-
1.563
31
52
192
10.874
38.462
4.401
461
1.583
3
-
-
1.077
16.797
51.960
25
-
189
127.678
No. Kabupaten
Jumlah
KK
Pengungsi
Laki-laki Perempuan Total
Jumlah Total
Meninggal
(jiwa)
Sumber : Hasil pengolahan data Satlak I-II-III dan Kodam IM dan PMI, Maret 2005.
1
4
1.066
-
-
227
2.911
26.358
877
58
218
-
-
-
865
77
60.725
108
-
11
93.506
Hilang
(jiwa)
Tabel 1. Sebaran jumlah pengungsi dan total kepala keluarga per Kabupaten di NAD, 2005
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Simeulue
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Tenggara
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Barat
Aceh Besar
Pidie
Biruen
Aceh Utara
A. Barat Daya
Gayo Lues
Aceh Tamiang
Nagan Raya
Aceh Jaya
Banda Aceh
Sabang
Langsa
Lhoksumawe
81
189
247
164
487
328
290
601
952
535
850
129
68
209
222
158
89
18
51
68
5.736
18.009
105
16.148
611
13.709
5.288
72.689
97.485
85.880
49.803
27.112
3.480
234
3.224
17.040
40.422
49.921
3.712
6.156
2.494
5.736
3.230
21
3.602
122
3.163
1.058
14.538
27.795
26.337
12.389
5.782
3.408
47
645
696
8.084
11.952
1.078
1.231
1.732
126.910
23,16
0,08
8,37
0,41
4,13
3,30
37,28
32,24
16,58
13,78
5,18
3,02
0,27
1,43
11,83
40,91
19,17
14,11
5,01
1,49
14.409
30.936
42.467
32.834
70.365
58.161
32.775
65.368
112.169
72.182
100.846
26.799
14.006
50.014
27.385
17.897
45.113
6.325
29.130
31.395
880.576
No. Kabupaten
Jumlah
Desa
Pengungsi
Jiwa KK %
Jumlah Total
Total KK
Sumber : Data pengungsi Satlak I – II – III, 21 Maret 2005.
Tabel 2. Komposisi Penduduk dan Jumlah korban paska Gempa dan Tsunami NAD 26 Desember 2005
20. 20
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
Tabel 3. Luas Wilayah yang Terkena Bencana Gempa dan Tsunami 26 Desember 2005
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
Simeulue
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Barat
Aceh Besar
Pidie
Biruen
Aceh Utara
Nagan Raya
Aceh Jaya
Banda Aceh
Sabang
Lhoksumawe
205.200
357.700
364.600
242.600
268.600
416.100
190.100
329.700
390.300
370.300
6.100
11.900
18.100
3.171.300
13,74
7,50
7,00
65,00
20,00
10,00
9,99
1,475
15,503
80,00
80,00
11,504
9,67
3,91
3,71
3,53
21,83
7,44
5,76
2,63
0,67
8,38
41,02
0,67
0,21
0,25
100,00
No. Kabupaten
Jumlah
Desa
Pengungsi
Jiwa KK %
Jumlah Total
Sumber : Bappeda Propinsi NAD, 2005.
28.195
26.828
25.522
157.690
53.720
41.610
19.000
4.864
60.511
296.240
4.880
1.369
1.750
722.179
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
Rusak Parah
Banda Aceh
Aceh Jaya
Aceh Barat
Rusak Sedang
Aceh Besar
Nagan Raya
Simeulue
Sabang
Pidie
Rusak Ringan
Biruen
Lhoksumawe
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Utara
80 %
80 %
65 %
20 %
15,503 %
13,74 %
11,504 %
10,00 %
9,99 %
9,67 %
7,50 %
7,00 %
1,475 %
51.960
16.797
10.874
38.462
1.077
8
25
4.401
461
189
-
1.563
1.583
60.725
77
2.911
26.358
865
1
108
877
58
11
4
1.066
218
No. Kabupaten Kerusakan Wilayah Korban Jiwa Hilang
Tabel 4. Komposisi Penduduk dan Jumlah korban paska Gempa dan Tsunami NAD 26
Desember 2005
Lain halnya dengan pemegang
hak atas tanah dimana si
pemegang hak itulah yang
mengikuti tanahnya. Kemudian
bagaimana jika pemegang hak
atas tanah sudah meninggal dunia
? apakah dapat dialihkan ke ahli
warisnya ?. Hal ini menunjukkan
bahwa penguasaan tanah lebih
peka terhadap sengketa daripada
penguasaan benda lain. Hal ini
disebabkan penguasaan tanah
tidak selalu berdekatan fisik
dengan tanah yang di kuasai.
POLA
PENGGUNAAN
TANAH
WILAYAH NAD
Mengingat bahwa
gempa dan tsunami
hanya menimbulkan
kerusakan dan
kesengsaraan, tanpa ada
imbalan pahala. Untuk
itu sebagian penduduk
Aceh dengan segala cara
sejak dahulu kala
mencoba untuk
meramalkan terjadinya
gempa supaya bisa
menyelamatkan diri
terlebih dahulu. Cara-
cara yang dilakukan
dengan mengamati
tingkahlaku binatang
atau gejala alam lainnya,
seperti naiknya air
sumur secara tiba-tiba
yang sepintas lalu tidak
nampak berkaitan
langsung dengan gempa.
Mengingat pula bahwa
Aceh merupakan jalur
gempa Bukit Barisan,
sehingga penduduk
memilih bermukim
dengan membentuk
pola terpusat (pemusatan
penduduk). Pola
pemusatan penduduk ini
mencerminkan pola
penggunaan tanah di wilayah
tersebut., Selanjutnya Pola
penggunaan tanah merupakan
pencerminan arah kehidupan
masyarakat serta tingkat
kehidupan masyarakat setempat.
Arah kehidupan masyarakat di
Aceh saat ini adalah pertanian,
21. 21
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
yang dimulai dengan petani kecil
atau petani yang baru berproduksi
untuk keperluan rumah tangganya
sendiri saja.
Pola penggunaan tanah di Aceh
pada hakekatnya mencerminkan
tingkat dan orientasi kehidupan
masyarakat di wilayah
bersangkutan sebagai hasil dari
perpaduan faktor sejarah, faktor
fisik, faktor sosial-budaya, faktor
letak dan ekonomi. Jika dibuat
penampang antara wilayah pantai
timur dan barat Aceh dapat dilihat
wilayah tersebut dipengaruhi
volkanik (endapan gunung api),
dataran rendah yang luas
(topografi) dan sumber air yang
cukup (sungai/hidrologi). Jika
hanya faktor fisik saja yang
dijadikan pengamatan maka
antara wilayah pantai timur dan
barat mempunyai pola yang sama.
Rangkaian kejadian sejarah dan
ekonomi yang ditunjang oleh
kondisi fisik maka di pantai timur
Aceh berkembang perkebunan
besar, sedangkan di pantai utara
berkembang pertambakan.
Perkembangan sosial-budaya dan
ekonomi mendorong adanya
pertanian pertanian berpindah-
pindah (rotasi) sehingga tumbuh
belukar, seperti yang terdapat di
pantai barat Aceh. Meskipun sifat
fisik tanah di wilayah tersebut
sama, namun pola penggunaan
tanahnya berbeda.
Pemusatan penduduk yang
terbesar menyebar di sepanjang
pantai timur yang juga
merupakan wilayah endapan.
Pada wilayah inilah penggunaan
tanah di Aceh yang paling intensif,
mulai dari perkampungan,
persawahan, pertanian tanah
kering, kemudian belukar dan
akhirnya hutan. Maka tidak
mengherankan jika penggunaan
tanah mengalami kerusakan
seperti tertera dalam Tabel 5 di
atas.
Seperti terlihat dalam tabel
kerusakan penggunaan tanah dari
Bappeda NAD, bahwa
penggunaan tanah untuk
pemukiman mengalami
kerusakan yang paling luas
178.820 Ha atau 26,75 % dari luas
total kerusakan penggunaan tanah.
Hal ini mengindikasikan bahwa
penggunaan tanah untuk
pemukiman mempunyai pola
pemusatan pada satu lokasi.
Kerusakan terbesar lainnya adalah
penggunaan tanah persawahan
Kembai ke gampong di Mukim Lampageu, Peukan Bada (dok. JKPP)
Tabel 5. Luasan Penggunaan Tanah yang Rusak Akibat
Bencana Gempa dan Tsunami di NAD
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Hutan Alam
Hutan Sekunder
Hutan Tanaman Industri
Pertanian Campuran
Sawah Irigasi
Sawah Tadah Hujan
Pemukiman
Semak Belukar
Pertambangan
Tambak
Lahan Terbuka
Lain-lain
Total
55.323
45.664
15.141
15.802
95.825
51.448
178.820
45.799
7.235
114.523
26.357
16.533
668.470
No. Tututpan Lahan Luas (Ha)
22. 22
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
(147.273 Ha atau 22,3 %) baik
sawah irigasi maupun sawah tadah
hujan, dan penggunaan tanah
tambak(114.523Haatau17,13%).
Ketiga jenis penggunaan tanah ini
terletak pada wilayah dataran
rendah dan terjadi pemusatan.
PENGATURAN
PERUNTUKAN
PENGGUNAAN TANAH
Secara legal formal yang
melatarbelakangi penyusunan
rencana induk rehabilitasi dan
rekonstruksi Wilayah Aceh dan
Nias adalah Instruksi Presiden
Nomor 1 tahun 2005 tentang
Kegiatan Tanggap Darurat dan
Perencanaan serta Persiapan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Dampak Bencana Alam Gempa
Bumi dan Gelombang Tsunami di
Wilayah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Propinsi
Sumatera Utara, yang diterbitkan
pada tanggal 2 Maret 2005.
Untuk jangka waktu antara April
2005 hingga Desember 2006
merupakan tahapan Perencanaan
dan Rehabilitasi. Tujuan pada
tahapan ini lebih menekankan
padapemulihaninfrastrukturuntuk
pelayanan publik, seperti mesjid,
rumah sakit, infrastruktur sosial
dasar, serta prasarana dan sarana
perekonomian. Namun, kegiatan
sisipan pada tahapan rehabilitasi
mengupayakan penyelesaian
persoalan hak atas tanah serta
aspek kejiwaan dalam
penanganan trauma korban
bencana.
Menyikapi persoalan hak atas
tanah, ada petuah yang
mengajarkan bahwa dengan
perencanaan yang baik berarti
separuh pekerjaan telah
terselesaikan. Perencanaan yang
baik membuat pelaksanaan
pekerjaan menjadi mudah.
Perencanaan yang baik itu adalah
memperhitungkan berbagai
macam kemungkinan yang bisa
terjadi ketika pekerjaan itu
dilaksanakan nantinya.
Penggunaan tanah secara
berencana harus
memperhitungkan banyak hal,
mengingat bahwa tanah di Aceh
banyak penguasanya, ada tanah
yang dimiliki oleh anggota
masyarakat sesuai dengan UU
yang berlaku dan ada bidang-
bidang tanah yang dikuasai
melalui cara-cara tradisional.
Meskipun dijelaskan dalam
penyusunan rencana tata ruang
yang lebih rinci bahwa hak
perdata masyarakat atas tanah
mendapat perlindungan, namun
begaimana mekanisme
p e n g a d u a n - p e n g a d u a n
masyarakat dapat ditanggapi
dengan cepat dan membantu
masyarakat dalam memudahkan
mengidentifikasi kepemilikan
tanahnya.
Dokumen Rencana Induk
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah Aceh dan Nias,
Sumatera Utara (R2WANS)
khususnya dalam tata ruang dan
pertanahan (buku 1), dalam
penggunaan tanah untuk
pembangnunan, cara yang
ditempuh adalah dengan
mengalokasikan tanah atau
“peruntukan tanah”. Cara ini
dilakukan dengan mengalo-
kasikan sumber daya tanah
menurut mutunya sebelum
proyeknya jelas, dan
mengabaikan tanah sebagai
ruang. Hambatan terbesar yang
dihadapi cara peruntukan (zonasi)
adalah faktor hukum disamping
faktor ekonomi. Cara peruntukan
ini bisa diterapkan pada tingkat
proyek pembangunan apabila hak
tanahnya sudah diselesaikan.
Pada tingkat program dan sektor,
cara peruntukan yang
dikembangan di wilayah Aceh
tidak dapat dilakukan, karena akan
memunculkan gejolak sosial.
Meskipun atas dasar yang berbeda
dengan kemampuan tanah
ataupun kesesuaian tanah, cara
peruntukan ini secara umum
dikembangkan untuk kota-kota di
Nanggroe Aceh Darussalam pasca
tsunami melalui pembuatan “mas-
ter plan” kota. Jadi yang perlu
diingat bahwa seseorang hanya
bisa menggunakan sebidang
tanah, apabila orang tersebut
mempunyai hak atas tanah
tersebut.
Tanah sebgau sumber daya
memiliki kedudukan yang sangat
strategis, artinya kedudukan tanah
sangat mempengaruhi kehidupan
orang banyak. Seperti pada
kutipan ini “dalam menata
kembali penggunaan tanah pasca
bencana, Pemerintah akan
melakukan program rekonstruksi
batas fisik dan program
konsolidasi tanah. Untuk
mempercepat pelaksanaan pro-
gram-program tersebut dan untuk
memungkinkan pelibatan
masyarakat dalam pelaksana-
annya, pemerintah akan
membuat peraturan baru atau
melakukan perubahan terhadap
23. 23
MENATA GAMPONG PASCA TSUNAMI
pereturan yang ada guna
menyesuaikan peraturan
pertanahan yang berlaku nasional
dengan kondisi di Aceh dan Nias
terkait dengan bencana gempa
bumi dan tsunami”.
Jika peraturan pertanahan
menyesuaikan dengan kondisi
wilayah di Aceh dan Nias, maka
peraturan tersebut harusnya dapat
mencerminkan sikap hidup
masyarakat setempat. Jika
kebetulan sebagian besar
masyarakat di Aceh dan Nias
sumber penghidupannya dari
pertanian dan nelayan, seharusnya
rencana induk rehabilitasi dan
rekonstruksi sudah dapat
memperkirakan kemungkinan
sengketa tanah yang terjadi di
masyarakat Aceh dan Nias. Jangan
sampai persoalan tanah ini
kemudian berkembang menjadi
isu politik.
TANAH DAN
PEMBANGUNAN
Penggunaan kata “tanah” identik
dengan kata “lahan”. Namun
penggunaan kata “tanah” adalah
suatu upaya untuk melihat satuan
luas dengan menggunakan istilah
“lahan”. Penggunaan kedua istilah
tersebut hanyalah untuk
memperkaya perbendaharaan
kata-kata Indonesia. Tetapi istilah
yang satu tidak akan bisa
sepenuhnya mendesak mundur
istilah yang lain. Karena kata-kata
seperti : tanah-air, tanah tumpah
darah, tanah warisan, tanah wakaf
dan Badan Pertanahan Nasional,
masih tetap menggunakan kata
“tanah”.
Kemudian, belakangan ini populer
penggunaan kata “ruang”, akan
tetapi sampai saat ini belum ada
yang jelas dan dengan tegas bisa
mengatakan, apa sebenarnya
yang dimaksud dengan “ruang”.
Jadi kalau bukan tanah permukaan
bumi, lalu apa?, sehingga ruang
atau tanah atau muka bumi dalam
hal ini dapat diartikan sama.
Meskipun perencanaan tata ruang
dan penggunaan tanah selamanya
untuk kepentingan pemba-
ngunan, tetapi haruslah disadari
bahwa tanah berbeda dengan
pembangunan. Kebijaksanaan
Pertanahan dan Kebijaksanaan
Pembangunan adalah dua hal
yang berbeda, karena tujuan yang
ingin dicapai dalam pembangunan
adalah “membangun masyarakat
yang adil dan makmur”.
Sedangkan tujuan yang ingin
dicapai dengan penggunaan tanah
adalah “agar tanah itu digunakan
untuk sebesar-besarnya kemak-
muran rakyat”.
Untuk itulah dalam Rehabilitasi
dan Rekonstruksi wilayah Aceh
dan Nias perlu memadukan antara
cara alokasi tanah dan cara
akomodatif tanah. Cara
akomodatif ini memandang tanah
sebagai ruang, artinya semua
proyek atau program baik
pemerintah, swasta dan
masyarakat dapat terakomodasi
dalam ruang tersebut. Akan tetapi
proyek atau program tersebut
harus jelas terlebih dahulu,
sebelum kegiatan mencari tanah
dilakukan.
Tahapan dalam upaya penye-
lesaian persoalan pertanahan
pasca gempa bumi dan tsunami di
Aceh dan Nias, memerlukan
pemenuhan terhadap beberapa
hal sebagai berikut:
1. Menampilkan data penggu-
naan tanah sebelum kejadian
bencana dan sesudah bencana
dengan skala peta yang detail.
Artinya, kemampuan teknologi
dan keahlian yang dimiliki
oleh Pemerintah harusnya
mampu menampilkan peta-
peta analisis citra satelit ikonos
atau quick bird yang mudah
dipahami oleh masyarakat luas.
2. Menampilkan peta detail status
tanah yang dimiliki oleh
Pemerintah, bukan hanya
dalam bentuk tabel.
3. Menampilkan data-data fisik
dalam kontek ruang, baik
sebelum bencana terjadi
maupun setelah bencana.
4. Melakukanpenataanulangatau
restrukturisasi pemilikan tanah
dan penguasaan tanah.
5. Menyusun strategi pelaksa-
naannya untuk mencapai
optimalisasi manfaat, potensi,
kontribusi dan kepentingan
masyarakat.
6. Inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, peng-
gunaan dan pemanfaatan
tanah.
7. Membuka askes informasi bagi
masyarakat untuk menum-
buhkan tanggung jawab sosial.
8. Melakukan pemulihan eko-
sistem. (hr)
Catatan Kaki
1)
Staf Walhi Eksekutif Nasional dan simpatisan
JKPP
24. 24
KABAR JKPP NO. 10, JULI 2005
K
elompok kerja (pokja)
pemetaan partisipatif dan
perencanaan gampong
merupakan bentuk inisiatif bersama
beberapa lembaga yang bekerja
membantu proses rekonstruksi dan
rehabilitasi di Aceh paska tsunami.
Inisiatif ini awalnya dari program kerja
yang dilaksanakan oleh Jaringan Kerja
Pemetaan Partisipatif (JKPP) Bogor dan
Yayasan Rumpun Bambu Indonesia
(YRBI) Banda Aceh. Dua lembaga ini
jauh sebelum tsunami, sekitar tahun
1996 telah melakukan kerja-kerja
pemetaan partisipatif secara nasional
dan juga di Aceh. Untuk turut
berkontribusi dalam proses
rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh,
dua lembaga ini bekerja sama untuk
melakukan pemetaan partisipatif dan
juga perencanaan yang berbasis
gampong.
Sungguh disadari bahwa apa yang
akan dan telah dikerjakan dengan
pemetaan dan perencanaan gampong
bukan hal yang baru dan juga banyak
dilakukan dibeberapa tempat oleh
lembaga lain. Dari informasi yang
diperoleh, beberapa lembaga juga
melakukan hal sama, tentunya dengan
metode dan pendekatan yang
bervariasi, seperti Yayasan Puter,
Yayasan Pugar, YIPD, Uplink/UPC,
JKMA dan lembaga-lembaga lain.
Dengan semangat adanya sinergi dan
proses belajar bersama, maka pada
awalnya dilakukan diskusi secara
intensif dengan Yayasan Puter, untuk
mengoptimalkan fungsi pokja ini di
Aceh. Bentuk kerja bersama dengan
Oleh : KASMITA WIDODO
Pokja
PEMETAAN
PARTISIPATIF &
PERENCANAAN
GAMPONG
fokus pada proses pemetaan
partisipatif dan perencanaan gampong
sertapendampinganimplementasinya.
Hingga saat ini, JKPP dan YRBI telah
melakukanpemetaanpada9gampong
dan perencanaan pada 1 gampong.
Lokasi kegiatan dapat dilihat pada
tabeldiatas.YayasanPutermelakukan
pemetaan dan perencanaan gampong
di Gampong Lamsenia, dan sedang
menginisiasi di Gampong Meunasah
Bak’u, keduanya di Kec.Leupung.
Program Bersama
Program kerja Pokja adalah;
1. Pelatihan; pemetaan partisipatif,
perencanaan gampong, Sistem
Informasi Geografis (SIG).
2. Pemetaan dan perencanaan
gampong bersama masyarakat
3. Asistensi teknis lembaga keuangan
masyarakat pasca perencanaan
gampong
4. Sharing data dan informasi
Program Pokja ini akan didorong
menjadi layanan bagi gampong dan
pihak-pihak yang memerlukan, yang
secara bersama dikelola melalui
mekanisme sharing sumberdaya
manusia dan dana. Inisiatif ini
memangbagiankecildariprosesbesar
yang sedang terjadi dalam program
rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh,
karena begitu banyak lembaga dan
pihak-pihak yang bekerja di Aceh.
Dari putaran yang kecil ini diharapkan
dapat mendorong sebuah proses
rekonstruksi dan rehabilitasi yang
senantiasa mengedepankan
kepentingan sosial dan kelembagaan
masyarakat gampong, disamping tetap
mewujudkan kebutuhan-kebutuhan
infrastruktur gampong.
Kontak :
M. Irwan & Sulaeman Daud
Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI)
Jl. Elang No.20 Ateuk Pahlawan - Banda Aceh
Telp. 0651-22212, 0651-635157
No. Gampong Mukim/Kecamatan Pemetaan Perencanaan
1. Ruyung Krueng Raya/Mesjid Raya Sudah Belum
2. Payakameng Krueng Raya/Mesjid Raya Sudah Belum
3. Beurandeh Krueng Raya/Mesjid Raya Sudah Sudah
4. Meunasah Keude Krueng Raya/Mesjid Raya Sudah Belum
5. Meunasah Mon Krueng Raya/Mesjid Raya Sudah Belum
6. Meunasah Kulam Krueng Raya/Mesjid Raya Sudah Belum
7. Lambadeuk Lampageu/Peukan Bada Sudah Belum
8. Lambaro Neujid Lampageu/Peukan Bada Sudah Belum
9. Lampageu Lampageu/Peukan Bada Sudah Belum
Lokasi pemetaan dan perencanaan gampong oleh JKPP & YRBI
Masyarakat mendirikan rumah darurat di Lambaro Neujid, Peukan Bada (dok. JKPP)