1. Model Penafsiran Hassan Hanafi
Meski Hassan Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filsuf ketimbang hermeneut, namun
tulisan-tulisannya, terutama trilogi disertasinya, menunjukkan bahwa beliau termasuk tokoh yang
sangat intens di bidang metodologi “dialog teks”, teori pemahaman atas teks (teori hermeneutika).
Berbeda dengan tokoh-tokoh penafsir lainnya, Hassan Hanafi dengan tidak tanggung-tanggung
coba membangun metodologi penafsirannya di atas sekurang-kurangnya dua pilar umum, yaitu
khazanah klasik Islam dan khazanah modern Barat.1
Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas
kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga memperluas cakupan hermeneutika, dari sekedar
ilmu interpretasi atau teori pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan
wahyu sejak tingkat perkataan hingga tingkat dunia. Hermeneutika adalah, ilmu tentang proses
wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari
pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.2
Menurut Hassan Hanafi, penafsiran tematik amat cocok untuk melengkapi kekurangan
metode klasik. Sebab, metode ini berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, sekaligus
mengarahkan perhatian pada tafsir tema-tema sosial Al-Qur’an. Melihat berbagai kekurangan dan
kelemahan di dalam tafsir klasik, Hanafi menawarkan teori penafsiran yang baru dalam
menafsirkan al-Qur’an yang ia rumuskan melalui pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori
penafsiran ini dengan ‛hermeneutika sosial‛ (al-manhaj al-ijtimâ’î fî al-tafsîr) atau lebih tepatnya
metode tafsir tematik (al-tafsîr al-mauḍû’î).
Dengan hermeneutika al-Qur’an seperti ini, menurut hanafi, seorang Mufasir yang ingin
mendekati makna al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga
menginduksi makna dari realitas ke dalam teks. Bukan sekedar menjelaskan, tapi juga memahami.
Bukan hanya mengetahui, tapi sekaligus menyadari. Seorang Mufasir bukan hanya menerima, tapi
memberi makna. Ia menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata. Karena
tafsir tematis berusaha menemukan identitas sejati antara wahyu, kesadaran dan alam.3
1
Marzuki Agung Prasetya. Model Penafsiran Hassan Hanafi, Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, 370
2
Ahmad Khudori Sholeh, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika Humanistik, 160-161.
3
Devi Muharrom Sholahuddin. Studi Metodologi Tafsir Hasan Hanafi, Jurnal STUDIA QURANIKA, Vol. 1, No. 1
Juli 2016,
2. Secara umum, metode penafsiran terbagi kedalam dua bagian yakni metode umum dan
metode khusus. Metode umum yang digunakan oleh Hassan Hanafi ialah metode maudhu’i
(tematik). Sebuah metode yang menitik beratkan pada kepentingan kemasyarakatan terhadap
makna pada sebuah peristiwa bukan merupakan tafsir yang bertele-tele akan tetapi, Surat per-
surat, juz per-juz, ayat per- ayat, lafadz per-lafadz dan huruf per-huruf yang di mulai dari surat al-
fatihah, al-baqarah hingga surat al-‘alaq dan surat al-Nas. Adapun langkah-langkah dari metode
ini ialah:4
1. Membangun dasar susunan terhadap ayat dengan sistematika kebahasaan ketika menyebutkan
tema-tema dalam penafsiranya seperti berdasarkan keadaan isim, atau fi’il, dalam keadaan
Marfu’, mansub atau Majrur, mua’annats atau mudzakar, mufrad atau jama, dan lain
sebagainya. Kemudian menjelaskan penafsiran dari berbagai keadaan tersebut.
2. Menganalisis maknanya, kemudian mengklasifikasikan makna-makna tersebut menurut
prinsip manusia, sehingga makna dasar tema, bagian atau cabangnya dapat ditetapkan dan
perbedaan antara makna, positif dan negatif, aspek sakral dan perbedaan Antar maknawi atau
Dzahiri, antara Individu atau kemasyarakatan sehingga memungkinkan mengetahui nalar
wahyu di dalam prinsip tema tersebut.
3. Memberikan Prioritas terhadap tema-tema yang berkaitan dengan keinginan zaman, seperti,
tema bumi, tema harta, tema Faqir, tema kekayaan, dan lain sebagainya dengan mengalihkan
suara hati kita terhadap penentuan penalaran dan penggambaran terhadap analis krisis pada
suatu masa.
4. Menyusun keseluruhan tema-tema secara rasional dan akurat yang pada akhrinya bertujuan
untuk memenuhi keinginan umat di dalam membahas metode yang berhubungan dengan
penggambaran metode kehidupan, system kemasyarakatan dan Sistem Perpolitikan.
Di antara contoh dari penafsiran Hanafi yang menggunakan metode tematiknya yaitu ketika
Hanafi menafsirkan tentang al-Ard{. Sebelumnya Hanafi mengumpulkan ayat yang berkaitan
dengan kata al-Ard{ relevan untuk saat ini. Penafsiran yang dilakukan oleh Hanafi ini tidak
terlepas dari pengambilalihan tanah yang terjadi masa pemerintahan dulu, pada masa Anwar Sadat
yang berkolaborasi dengan Israel dan pro terhadap barat.
4
Maulana Yusuf dan Sonny Permana. Analisis terhadap Karakteristik Maudhu’i dalam Penafsiran Hassan Hanafi,
Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol 1, No 2, 2021, 142
3. Ayat yang mampu dikumpulkan oleh Hanafi dan dianggap relevan sebanyak 462 kali, yang
dirinci sebagai berikut; 454 itu tergolong kata benda yang berdiri sendiri, sedangkan delapan
lainnya dihubungkan dengan sebuah kata ganti kepunyaan, dan dihubungkan dengan orang
pertama yakni Tuhan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa al-Ard{ itu sistem kepemilikan karena
al-Ard{ itu ada berstatus makhluk (ada), bukan kepunyaan setiap individu. Ada satu kata yang
berhubungan dengan al-Ard{ yang menunjukkan bahwa al-Ard{ itu berhubungan dengan orang
pertama, dan itu adalah Tuhan. Artinya, Tuhan adalah salah satu yang berhak dikatakan sebagai
pemilik al-Ard{. Setelah Hanafi melakukan analisa terhadap susunan makna, Hanafi
menyimpulkan ada lima orientasi yang terkandung dalam kata al-ard{ yaitu;5
Pertama, al-Ard{ yang diartikan bumi yang saat ini dipijaki. Menurut Hanafi orang yang
berhak menjadi pemilik al-Ard{ itu adalah Tuhan dan berhak mewarisinya. Seseorang tak berhak
untuk menuntut bahwa al-Ard{ itu miliknya sendiri. Kedua, al-Ard{ sebagai sesuatu yang indah
dan subur. al-Ard {juga merupakan tempat yang ditempati oleh setiap makhluk yang hidup.
Sebagai tempat saat perang atau al-Ard{ merupakan di mana tempat mereka mengukir sejarah.
Ketiga, sebagai tempat aksi bagi para kholifah Tuhan yang ada di muka bumi. Keempat, al-Ard{
sebagai sesuatu yang harus manusia lindungi bukan malah merusak dengan tangan manusia
sendiri. Kelima, yang terakhir itu termasuk sebuah kata perjanjian yang menyeluruh dan diberikan
pada setiap perorangan. Setelah itu dilanjutkan pada keadaan faktual dan makna yang cocok untuk
digunakan bahwa al-Ard{ milik Tuhan. Bukan sebagai ajang perebutan di kalangan manusia. Saat
dilihat langkah penafsiran yang dilakukan oleh Hanafi, maka cara penafsirannya dapat
digolongkan pada penafsiran komitmen politik sosial. Di sisi lain dapat dilihat bahwa Hanafi saat
menafsirkan kata tanah tadi, itu tidak lepas dari kegelisahannya terhadap masalah penempatan
tanah. Keterlibatan dirinya itu dibuktikan dengan adanya usaha saat menjelaskan bahwa istilah
kepemilikan tanah adalah bentuk dari usaha yang menindas.6
5
Fadhli Lukman. 2014. Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi dan Relevansinya Terhadap Indonesia. Jurnal Al-
Aqidah. Vol. 6. Edisi 2. Desember. 16
6
Hermanto Halil. Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi; Memadukan Teks Pada Realitas Sosial Dalam Konteks
Kekinian, dalam jurnal al-Thiqah Vol. 1, No. 1 Oktober 2018, 70
4. Hassan Hanafi memiliki delapan karakteristik penafsiran yang dari keseluruhan karakteristik
yang menjadi metode khusus tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dalam menciptakan
integritas sebuah metode tafsir eklektik, di antaranya:7
1) Tafsir juz’iah Metode ini merupakan salah satu karakteristik dari corak adab al-Ijtima’i
yang memberikan penafsiran Al-Qur’an yang bersifat parsial, juz per juz bukan
keseluruhan Al-Qur’an. Sebab, penjelasan Hassan Hanafi diawali dengan fokus pada
kebutuhan dan keinginan umat Islam serta kebutuhannya. Oleh karena itu, kebutuhan
mereka pada akhirnya merupakan penjelasan yang dapat dipecahkan.
2) Maudhu’iyah (Tematik) Sebuah metode yang menitik beratkan pada kepentingan
kemasyarakatan terhadap makna pada sebuah peristiw. Menafsirkan apa yang diketahui
dan apa yang tidak diketahui, menafsirkan perkara yang dibutuhkan dan yang tidak
dibutuhkan, tafsir yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
3) Tafsir Zamani (Temporal). Ialah interpretasi yang tidak memiliki keterikatan dengan masa
sebelumnya dan tidak membutuhkan generasi berikutnya. Artinya penafsiran itu hanya
berpusat pada ketentuan tertentu yang dikehendaki oleh mufasir.
4) Tafsir Waqi’(Realitas). Merupakan penafsiran yang dimulai dari kenyataan kaum
muslimin, kehidupan dari segala problematikanya, krisis dan kesengsaraan mereka bukan
tafsir yang tercerabut dari masyarakat. Sebab tidak mungkin wahyu memberikan segala
Sesuatu yang tidak berarti dengan tanpa faidah. Akan tetapi pemahaman dan pemikiran
manusialah yang terbatas dalam memahami ayat-ayat Allah.
5) Tafsir Bi al-Ma’na. Penafsiran yang berorientasi pada makna tertentu dan bukan
merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata.
6) Tafsir bi al-Tajrib al-Hayah (Eksperimental). Penafisiran yang sesuai dengan kehidupan
dan pengalaman hidup penafsir. Sebuah penafsiran tidak mungkin terwujud tanpa
memperoleh pendasaranya pada pengalaman mufasir yang bersifat eksistensial.
7) Tafsir Rashdu Masyakil al-Waqi’ (Fokus Kontemporer) Penafsiran yang menaruh
perhatian terhadap problem kontemporer.
7
Maulana Yusuf dan Sonny Permana. Analisis terhadap Karakteristik Maudhu’i dalam Penafsiran Hassan Hanafi,
164
5. 8) Tafsir Al-Wad’u al-Ijtima’i (Posisi Sosial Penafsir) Penafsiran yang memposisikan sosial
penafsir dimana seorang mufasir menentukan secara sosial sekaligus menentukan corak
penafsiran yang dilakukan seorang penafsir.