Makalah ini membahas tentang Transurethral Resection of Prostate (TURP) syndrome yang merupakan komplikasi yang ditandai dengan gangguan neurologis, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi selama operasi TURP. Komplikasi ini dapat dihindari dengan memilih cairan irigasi yang tepat dan menjaga tekanan masukannya. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa, dan intervensi sepert
1. MAKALAH
TRANSURETHRAL RESECTION OF PROSTATE (TURP) SYNDROME
( Memenuhi Tugas Keperawatan Kegawatdaruratan II )
Dosen Pembimbing:
Ns. Ilkafah S.Kep.,M.Kep.,Sp.KMB
Disusun Oleh Kelompok 7:
Noveldi Pitna 143010036
Fenda Homy 143010041
Fitry Ayu Lestari 143010035
Semester 8
PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS PATRIA ARTHA
MAKASSAR
2016/2017
2. i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga makalah dengan judul “Transurethral
Resection of Prostate Syndrome ” ini dapat diselesaikan. Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Kegawatdaruratan,
Alhamdullilah dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati ingin mengucapkan
terima kasih kepada Ns. Ilkafah S.Kep.,M.Kep.,Sp.KMB selaku pembimbing
penulisan makalah ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
seluruh teman – teman atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan dalam penyusunan makalah ini akibat keterbatasan ilmu dan
pengalaman penulis. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi
sumbangan yang sangat berarti guna menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum . Wr. Wb Makassar , April 2016
Penyusun
3. ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...............................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan......................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan....................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Medis TURP syndrome
1. Defenisi TURP syndrome ……...........................................................4
2. Klasifikasi BPH...................................................................................5
3. Epidemiologi TURP syndrome………………………………………6
4. Etiologi TURP syndrome ....................................................................7
5. Patofisiologi TURP syndrome ............................................................11
6. Manifestasi TURP syndrome ………………………………………..22
7. Diagnosis TURP syndrome ………………………………………….24
8. Penatalaksanaan TURP syndrome …………………………………..25
9. Pencegahan …………………………………………………………..29
10. Komplikasi..………………………….................................................30
4. iii
B. Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen
1. Pengkajian Keperawatan …………………………………….34
2. Diagnosa Keperawatan ………………………………………35
3. Intervensi ………………..…………………………………...35
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan......................................................................................39
2. Saran................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………40
5. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit yang
berhubungan dengan penuaan yang paling sering terjadi pada pria. Gejala
yang dirasakan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari yang normal dan
menganggu pola tidur. Gejala yang dialami biasanya berupa peningkatan
frekuensi berkemih, urgensi, penururnan aliran air kencing dan adanya rasa
tidak puas setelah buang air kecil. Tatalaksana BPH mencakup tatalaksana
non bedah dan pembedahan.
Salah satu pembedahan yang sering dilakukan adalah Transurethral
Rectoplasty of the Prostate (TURP). TURP masih merupakan salah satu
terapi standar dari Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan
obstruksi uretra. Operasi ini sudah dikerjakan mulai beberapa puluh tahun
yang lalu di luar negeri dan berkembang terus dengan makin majunya
peralatan yang dipakai. Tapi di Indonesia ini relatif baru. Terapi ini populer
karena trauma operasi pada TURP jauh lebih rendah dibandingkan dengan
prostatektomi secara terbuka. Dalam TURP dilakukan reseksi jaringan
prostat dengan menggunakan kauter yang dilakukan secara visual. Dalam
TURP dilakukan irigasi untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan dan untuk
menjaga visualisasi yang bisa terhalang karena perdarahan. Karena
seringnya tindakan ini dilakuan maka komplikasi tindakan serta
pencegahan komplikasi makin banyak diketahui.
6. 2
Komplikasi pasca TUR dapat dibagi menjadi dua kelompok utama,
yaitu komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang.
Komplikasi akut adalah ruptur dari vesika urinaria, perforasi rectal,
inkontinensia, insisi pada orifisum uretra sehingga dapat terbentuk
striktura, perdarahan, epididimitis, sepsis dan TUR syndrome. Sementara
itu komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi antara lain adalah:
ejakulasi retrograd, gangguan ereksi, inkontinensia, perlunya operasi ulang.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan Transurethral Resection of
Prostat (TURP) syndrome.
2. Tujuan khusus
a. Untuk menegetahui pengertian TURP syndrome
b. Untuk mengetahui penyebab TURP syndrome
c. Untuk mengetahui patofisiologi TURP syndrome
d. Untuk mengetahui manifestasi klinik TURP syndrome
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan TURP syndrome
f. Untuk menegetahui Asuhan Keperawatan TURP syndrome
C. Manfaat penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman mengenai TURP syndrome sehingga dapat diterapkan dalam
menangani kasus-kasus TURP syndrome di klinik sesuai kompetensi
tenaga medis terutama perawat.
7. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Medis Sindrom TURP
1. Definisi
Sindroma TURP adalah suatu keadaan klinik yang ditandai
dengan kumpulan gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler,
dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi melalui
vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi
selama operasi. Hiponatremia, hipovolemia, dan kadang
hiperamonemia mungkin terjadi (Eaton, 2003).
Menurut Purnomo (2011) TURP merupakan sebuah operasi
reseksi kelenjar prostat yang dilakukan transurethral dengan
menggunakan cairan irigan (pembilas) yang dimaksudkan
menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan uretra. Operasi ini
perlu dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, karena dapat
menyebabkan penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan
penyumbatan yang pada akhirnya dapat menimbulkan hidronefrosis,
dan gagal ginjal (Purnomo, 2011).
Sedangkan menurut Srinami Dewi, dkk (2013)
Transurethral Resection of Prostate (TURP) merupakan prosedur baku
dalam penatalaksanaan baku dalam hyperplasia prostat yang disertai
retensi urin akut berulang atau kronis. Prosedur ini dilakukan dengan
8. 4
menggunakan alat resectoscope yang dimasukkan melalui uretra untuk
mencapai kelenjar prostat. Alat ini dapat memotong jaringan yang
menonjol ke dalam uretra prostatika dalam bentuk potongan-potongan
kecil. Potongan jaringan hasil reseksi kemudian di evakuasi dari
kandung buli-buli dengan menggunakan cairan irigasi.
2. Klasifikasi BPH
a. Early BPH
b. Moderate BPH
Enlargement of the
prostate starts to
constrict the uretra
Uretra
Bladder
Urethra become
narrowed
9. 5
c. Severe BPH
(Davied et al, 2005)
3. Angka kejadian
Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan TURP
mengalami Sindrom TURP dari berbagai tingkat. Suatu penelitian
yang dilakukan di Filipina menunjukkan angka kekerapan sebesar 6%.
Penelitian yang lain menunjukkan frekuensi Sindoma TURP sampai
10%. Karena itu TURP hanya boleh dilakukan kalau ahli bedah yakin
bahwa operasi pasti dapat diselesaikan tidak lebih dari 90 menit. Tetapi
menurut penelitian ternyata Sindroma TURP dapat terjadi pada operasi
yang berlangsung 30 menit. Sebaliknya risiko Sindrom TUR akan
menurun bila:
1) Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis
(isotonik).
2) Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah
mungkin.
Thickened bladder wall due
to obstruction of Urethra
urethra
Urethra urethra almost
Completely obstructed
10. 6
4. Etiologi
Komplikasi tindakan TURP dapat diakibatkan oleh teknik
tindakan maupun akibat penggunaan cairan irigasi. Berkaitan dengan
teknik tindakannya dapat mengakibatkan komplikasi perdarahan,
trauma pada uretra, dan perforasi prostat atau buli-buli. Sedangkan
komplikasi yang berkaitan dengan penggunaan cairan irigasi dapat
terjadi akibat diabsorbsinya cairan irigasi secara berlebihan dan dalam
volume besar (30 liter atau lebih ) menimbulkan gejala sindrom TURP
(Srinama Dewi, dkk, 2013). Adapun pengunaan cairan irigasi agar
daerah yang dirigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah.
Kejadian sindrom TURP dipengaruhi oleh jumlah cairan
irigasi yang diabsorbsi melalui sinus yang terbuka selama reseksi, lama
reseksi (lebih dari 1 jam), besarnya hyperplasia prostat, dan tekanan
hidrostatik cairan irigasi. Kelebihan cairan intravaskuler karena
absorbsi akan mengakibatkan terjadinya hiponatremia delusional, yang
akan menurunkan osmolalitas plasma. Perubahan kadar Na+, K+, Cl-,
dan Lac- dapat mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan
asam basa yaitu asidosis metabolic.
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah:
isotonik, non-hemolitik, electrically inert , non-toksik, transparan,
mudah untuk disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya
cairan yang memenuhi syarat seperti di atas belum ditemukan. Untuk
TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai
11. 7
cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5%(230 mOsm/L), atau
campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan
yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%,
Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.
a. Air steril / akuades (H2O)
Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang
diperlukan sebagai cairan irigasi yang ideal, kerugian dalam
penggunaannya adalah air dapat menyebabkan hipotonisitas yang
ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional dan gagal ginjal serta
syok. Air / Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus
karena air dengan sifat hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi
absorbsi yang signifikan bisa menghasilkan acute water
intoxication. Penggunaan air sebagai cairan irigasi dilarang hanya
pada reseksi transurethral tumor bladder.
b. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%
Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan
irigasi yang sesuai, mengingat beberapa keuntungannya yaitu :
harganya murah walaupun tidak semurah air steril, isotonik
dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun efek samping
glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan
konsentrasi 1,5% adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan
osmolalitas serum 290 mOsm/liter sehingga toksisitas ginjal dan
kardiovaskular dapat terjadi. Penurunan konsentrasi glisin dapat
12. 8
menyebabkan komplikasi yang lebih banyak akibat
hipotonisitasnya sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai
cairan irigasi. Keuntungan glisin 1,5% bila dibandingkan dengan
air steril adalah tendensitasnya menyebabkan gagal ginjal dan
hemolisis yang lebih rendah.
c. Mannitol 3% (230 Osm/L)
Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang
disebabkan glisin, namun dapat mendorong air keluar dari sel
sehingga dapat menyebabkan overload dari sirkulasi. Disamping
itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin. Ekskresinya melalui
ginjal sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.
d. Dekstrosa 2.5% - 4%
Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat
menyebabkan pembakaran jaringan yang direseksi dan berkaitan
dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke dalam sirkulasi. Juga
tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung tangan
ahli bedah saat operasi.
e. Cytal
Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol
0.54% banyak digunakan di Amerika Serikat sebagai cairan irigasi,
namun tidak popular di India karena harganya yang mahal dan
tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh, Sorbitol dimetabolisme
13. 9
menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru pada
pasien yang hipersensitif terhadap fruktosa.
f. Urea 1%
Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama
reseksi maka dari itu tidak dipilih untuk cairan irigasi.
Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka
glisin 1,5% dan air steril yang paling sering digunakan sebagai cairan
irigasi pada operasi urologi endoskopi.
Berdasarkan penelitian Srinami Dewi, dkk (2013) tentang
perbedaan osmolalitas dan pH pada tindakan Transurethral resection
of prostate (TURP) yang diberikan Natrium Laktat Hipertonika 3
ml/KgBB dengan Natrium Klorida 0,9 % ml/KgBB di Rumah Sakit
Sanglah Denpasar mengatakan bahwa pemberian cairan awal natrium
laktat hipertonika 3 ml/KgBB lebih baik dalam mempertahankan
osmolalitas dan pH darah pada tindakan TURP serta pemberian cairan
awal hipertonika 3 ml/KgBB juga lebih baik dalam mempertahankan
hemodinami pada tindakan TURP.
Adapaun perbedaan cairan Natrium Klorida 0,9% dan
Natrium Laktat Hipertonika adalah sebagai berikut :
a. Cairan natrium klorida isotonic 0,9% yang memiliki osmolalitas
308 mOsmol// L merupakan salah satu jenis cairan perioperatif
yang biasa digunakan dalam tindakan TURP. Akan tetapi
14. 10
kelemahan penggunaan cairan ini adalah dapat memperburuk
status asam basa penderita yang memicu terjadinya asidosis
metabolic oleh karena kandungan klorida yang tinggi.
b. Alternatif lain adalah cairan Natrium Laktat Hipertonik yang
mengandung natrium laktat, kalium klorida, dan kalsium klorida
dalam konsentrasi fisiologi, dengan osmolaritas 1020 mOsmol/L.
Dengan pemberian cairan ini, terjadi penambahan natrium tanpa
disertai penambahan klorida yang berarti, sehingga meningkatkan
SID, akhirnya dapat mencegah terjadinya asidosis. Cairan ini
memiliki osmolaritas tinggi yang dapat menarik cairan dari
jaringan masuk ke dalam ruang intravaskuler, dengan demikian
dapat mempertahankan osmolalitas plasma sehingga mengurangi
oedema jaringan. Kandungan laktat dalam cairan ini dapat
memberikan nilai positif pada SID sehingga mencegah terjadinya
asidosis. Laktat adalah metabolit fisiologis yang diproduksi oleh
sel tubuh, serta merupakan substrat energy yang dioksidasi secara
aktif oleh setiap sel.
5. Patofisiologi
Sejumlah besar cairan dapat diserap selama operasi
terutama bila sinus vena terbuka secara dini atau bila operasi
berlangsung lama. Rata-rata diperkirakan terjadi penyerapan 20 cc
cairan permenit atau kira-kira 1000-1200 cc pada 1 jam pertama
15. 11
operasi, sepertiga bagian di antaranya diserap langsung ke dalam
sistem vena. Dan hal ini akan menimbulkan hiponatremia dilusional.
Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi
dipengaruhi beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan
irigasi, jumlah venous sinus yang terbuka, lama reseksi / paparan dan
perdarahan vena yang terjadi. Tekanan hidrostatis cairan irigasi yang
rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat reseksi dan
semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam
sistem sirkulasi.
a. Circulatory overload
Penyerapan cairan irigasi praktis terjadi pada semua operasi
TURP dan hal ini terjadi melalui jaringan vena pada prostat.
Menurut penelitian, dalam 1 jam pertama dari operasi terjadi
penyerapan sekitar 1 liter cairan irigasi yang setara dengan
penurunan akut kadar Na sebesar 5-8 mmol/liter. Penyerapan air di
atas 1 liter menimbulkan risiko timbulnya gejala sindrom TURP.
Penyerapan air rata-rata selama TURP adalah 20 ml/menit. Dengan
adanya circulatory overload, volume darah meningkat, tekanan
darah sistolik dan diastolik meningkat dan dapat terjadi gagal
jantung.
Absorbsi cairan mendilusi protein serum dan menurunkan
tekanan osmotik darah. Hal ini bersamaan dengan peningkatan
tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke
16. 12
kompartmen interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri.
Ditemukan pada absorbsi langsung ke dalam sirkulasi, hampir
lebih dari 70% cairan irigasi terakumulasi dalam ruang interstisiil
(periprostatik, retroperitoneal). Untuk setiap 100 ml cairan yang
memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke
dalamnya.
Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan
overload sirkulasi. Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih
tinggi pada operasi dengan waktu lebih dari 90 menit. Absorbsi
intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan absorbsi
interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload sirkulasi
terjadi apabila berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting
lainnya adalah tekanan hidrostatik dari prostatic bed. Tekanan ini
dipengaruhi ketinggian kolom cairan irigasi dan tekanan dalam
kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang ideal dari cairan
adalah 60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan per
menit untuk mendapatkan penglihatan yang baik.
b. Water Intoxication (Keracunan Air)
Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan
gejala intoksikasi air dan kelainan neurologis disebabkan karena
peningkatan jumlah air dalam otaknya. Pasien awalnya menjadi
somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat berkembang
menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan
17. 13
respon Babinski positif. Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi
dan bereaksi lambat dapat terjadi. Electro Encefalogarafi (EEG)
menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul apabila
level Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah
level normal.
c. Hyponatremia – Hipoosmolaritas
Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau
penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstraseluler akan
menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma. Kehilangan
natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipoosmotik
dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.
Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel,
terutama pada jantung dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien
yang mengalami TURP melalui berbagai mekanisme :
1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi
2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi
prostat
3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan
retroperitoneal
4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik
peptida pada kelebihan volume cairan menyebabkan
natriuresis.
18. 14
Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan,
inkoheren, koma dan kejang. Ketika Na serum turun sampai di
bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan penurunan kontraktilitas
miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan perluasan
dari kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler
dan inversi gelombang T dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter
maka kejang umum, koma, henti nafas, Ventricular Tachycardia
(VT), Ventricular Fibrillation (VF) dan henti jantung terjadi.
Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :
Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x
Volume of body water
Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan
system saraf pusat bukanlah hiponatremia tersebut melainkan
hipoosmolalitas yang terjadi. Seperti yang kita tahu bahwa sawar
darah otak bersifat impermeabel terhadap natrium namun
permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat
hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan tekanan
intrakranial, menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing
reflex).
19. 15
d. Glycine Toxicity (Keracunan Glisin)
Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik
pada jantung dan retina dan dapat menyebabkan hiperammonia.
Pada pasien glisin 1,5% berhubungan efek subakut dari
miokardium, muncul sebagai depressi atau inverse gelombang T.
pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml
menunjukkan dua laki resiko jangka panjang acute myocardial
infarction. ini yang menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih
tinggi antara operasi transuretra dengan open prostatectomy masih
diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional
hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab gangguan
kardiovaskular ketika glisin di absorbsi. Namun kalsium dijaga
tetap normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang.
Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter
utama pada system saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama
pada batang otak dan medulla spinalis berbeda dengan
neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area
subkortikal dan kortikal area. Mekanisme kerjanya diakibatkan dari
hiperpolarisasi dari membran postsinaps dengan meningkatkan
hantaran klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan efek pada
sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan. Glycolic acid,
formal dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin yang
juga menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang
20. 16
mengalami toksisitas glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat,
kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi, oligouria, anuria dan
kematian.
Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter.
Glycine toxicity jarang pada pasien TURP mungkin karena hampir
seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan pada ruang periprostatik dan
retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik.
e. AmmoniaToxicity (Keracunan Amonia)
Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin.
Konsentrasi ammonia yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin
dan dopamine dalam otak. Hal ini menyebabkan encephalopati
TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada manusia.
Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah
pembedahan. Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma.
Ammonia darah meningkat menjadi 500 mikromol / liter (nilai
normal : 11-35 mikromol / liter). Hyperammonemia dapat bertahan
sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena glisin secara kontinu
diabsorbsi dari ruang periprostat.
Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh
semua pasien yang mengalami TURP masih belum jelas.
Hiperamonia mengimplikasikan bahwa tubuh tidak dapat
memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage
system, citric acid cycle dan konversi glycolic dan glioxylic acid.
21. 17
Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi
arginin. Amonia normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui
ornithine cycle. Arginin adalah produk intermediet dari siklus ini.
Defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle tidak
berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia.
f. Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika
glisin digunakan sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial
hipertension, yang bisa tidak muncul jika pendarahan berlebihan,
diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi
jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis
metabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan
darah saat Sindrom TURP akan menimbulkan hipovolemia,
menyebabkan kehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara
signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark
miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kalenjar
prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari
operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram
dari reseksi prostat.
g. Gangguan penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan
sementara, pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar
objek. Pupil menjadi dilatasi dan tidak merespons. Lensa mata
22. 18
normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan gejala lain dari
Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi.
Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan.
Kebutaan TURP disebabkan oleh disfungsi retina yang
kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsi dari
cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon
pupil terhadap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP,
tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi Kortikal
serebri.
h. Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP
berkaitan dengan instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar,
distensi berlebihan dari kantung kemih dan letusan didalam
kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah
diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP.
Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah
penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan
diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea. Bradikardi dan
hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan
diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya
berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan
iritasi pada diafragma merupakan gejala khas Pallor, diaphoresis,
rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi.
23. 19
Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas
bawah bisa terjadi.
Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari
jaringan prostat dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah
terbakar. Secara normal, tidak cukup oksigen yang terdapat
didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara
masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat timbulnya
ledakan.
i. Koagulopati
DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi
berkaitan dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan
jaringan thrombopalstin menuju sirkulasi yang menyebabkan
fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia bisa
memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan
timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation
Products) yang tinggi (FDP > 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen
yang rendah (400 mg/dl).
j. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang
terinfeksi saat preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan
digunakan irigasi dengan tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk
menuju sirkualsi. Pada 6% pasien, bakteremia menjadi septisemia.
Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi toksin dari
24. 20
koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien
postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan
hipertensi bisa terjadisecara temporer pada pasien ini.
k. Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan
pada pasien yang akan dilakukan TURP. Penurunan dari suhu
tubuh akan mengubah situasi hemodinamika, yang mengakibatkan
pasien menggigil dan peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi
kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas dan
penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan
penurunan suhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan
ruangan operasi yang bersuhu dingin. Pasien geriatri diduga akan
mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi
dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap
manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh
pendarahan dari tempat reseksi.
25. 21
Gambar 2. Skema Patofisiologi sindrom TURP
6. Manifestasi klinis
Sindrom TUR dapat terjadi kapanpun dalam fase
perioperatif dan dapat terjadi beberapa menit setelah pembedahan
berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai pembedahan.
Penderita dengan anestesi regional menunjukkan keluhan-keluhan
sebagai berikut:
Pusing
26. 22
Sakit kepala
Mual
Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
Napas pendek
Gelisah
Bingung
Nyeri perut
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun.
Bila penderita tidak segera di terapi maka penderita menjadi
sianotik, hipotensif dan dapat terjadi cardiac arrest. Beberapa
pasien dapat menunjukkan gejala neurologis. Mula-mula
mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil mengalami
dilatasi. Dapat terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir
dengan koma. Bila pasien mengalami anestesi umum, maka
diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan sering terlambat.
Salah satu tanda adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah
yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Perubahan ECG dapat
berupa irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya gelombang
U, dan komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang mengalami
sindrom TURP, pulihnya kembali kesadaran karena anestesi dan
khasiat muscle relaxant dapat terlambat.
27. 23
7. Diagnosis (Anestesia Umum dan Anestesia Regional Pada TURP )
Diagnosis TURP syndrome didasarkan atas gejala klinis.
Dibawah pengaruh anastesi umum, diagnosis Sindrom TURP sukar
dan sering ditunda. Tanda umum adalah peningkatan yang tidak bisa
dijelaskan, kemudian tekanan darah menurun dan terjadi bradikardia
refrakter. Perubahan dalam EKG seperti ritme nodal, perubahan ST,
gelombang U dan pelebaran kompleks QRS dapat diobservasi.
Pengembalian dari anestesi umum dan penggunaan pelemas otot bisa
tertunda.
TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi
(Awake TURP) lebih dipilih daripada anestesia umum karena hal
berikut :
1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada
pasien yang sadar.
2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir
overload sirkulasi.
3. Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif.
4. Kehilangan darah akan lebih sedikit.
Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari
empat tanda mayor ini dapat muncul. : peningkatan tekanan darah
sistolik dengan sedikit peningkatan pada tekanan darah diastolik,
denyut yang lambat, perubahan aktivitas saraf pusat (seperti
kebingungan, semicoma, gelisah, nyeri kepala, mual, muntah).
28. 24
Kongestif paru dengan tanda dyspnea, sianosis dan wheezing. Denyut
jantung menurun.
Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien bisa
mengalami sianotik dan hipotensi dan menjadi henti jantung. Beberapa
pasien muncul dengan gejala neurologikal. Pasien menjadi lemah
kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi dan lambat beraksi terhadap
cahaya. Ini bisa diikuti dengan episode singkat dari kejang tonik -
klonik sebagai awal dari keadaan koma. Tetapi kemungkinan fluktuasi
hemodinamis yang tiba-tiba dari anestesia spinal atau epidural
sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan anastesi regional.
Selama anestesia umum berbagai tanda hipovolemia terjadi
pada pasien. Gejala sistem saraf pusat tidak ditemukan sampai pasien
dibwawa ke ruang pemulihan. Tanda respirasi tidak terlihat akibat
ventilasi kendali atau assisted sera konsentrasi tinggi O2 yang
digunakan dalam anestesia. Namun ketika pasien tersadar dari
pengaruh anestesia ia akan merasa sangat mengantuk, bingung, koma
karena intoksikasi air dalam otak atau peningkatan amonia dari
metabolisme glisin.
8. Tata laksana sindrom TURP
Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai
mekanisme patofisiologikal yang bekerja pada homeostasis tubuh.
Idealnya terapi tersebut harus dimulai sebelum tejadi komplikasi
29. 25
sistem saraf pusat dan jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP
didiagnosa, prosedur pembedahansebaiknya diakhiri secepatnya.
Kebanyakan pasien bisa dimanajemen dengan restriksi cairan dan
diuretic loop.
Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan,
penting untuk mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami
pembedahan endoskopik. Hiponatremia yang terjadi sebelum operasi
harus dikoreksi terutama pada pasien yang menggunakan obat-obatan
diuretic dan diet rendah garam. Antibiotic profilaksis memiliki peran
dalam pencegahan bakterimia dan septisemia. Central Venous
Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi arteri
pulmonalisdiperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi
ideal cairan irigasi adalah 60 cm. Untuk mengurangi timbulnya
sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan
reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator memasang
sistotomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat
mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi
lebih dari satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat
harus dijaga dan distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya
dengan sering mengosongkan kandung kemih. Koreksi hiponatremia
sebaiknya dilakukan dengan diuresis dan pemberian salin hipertonis 3-
5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/1 jam atau tidak lebih
cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan
30. 26
untuk mengkoreksi hiponatremia.Pemberian secara cepat dari salin
akan mengakibatkan edema paru dancentral pontine myelinolysis. Dua
pertiga dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan
osmolaritas, sedangkan 1/ 3 meredistribusi air dari sel menuju ruang
ekstraseluler, dimana akan diterapi dengan terapi diuretik
menggunakan furosemide.
Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb
secara intravena. Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom
TURP dipertanyakan karena meningkatkan ekskresi natrium. Oleh
sebab itu 15% manitol disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan
dengan kerjanya yang bebas dari ekskresi natrium dan kecenderungan
untuk meningkatkan osmolarita sekstraseluler. Oksigen harus
diberikan dengan penggunaan nasal kanul.
Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan
ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen. Gas darah, hemoglobin
dan serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakan untuk
merawat gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang
sebaiknya diterapi dengan diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin
atau penggunaan pelemas otot tergantung dari tingkat keparahannya.
Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa
dihubungkan dengan dosis kecil dari midazolam (2-4mg), diazepam (3-
5 mg), thiopental (50-100 mg).
31. 27
Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada
kasus dengan DIC, maka fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan
secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000 unit secara bolus
(dan kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma
(FFP) dan platelet juga bisa digunakan tergantung dari jenis
koagulasinya. Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada
kasus perforasi bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan. Arginin dapat diberikan sebagai tambahan infus glisin
untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung. Mekanisme
bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui.
Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20
mg/kg) juga harus dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas
antikonvulsan. Intubasi endotrakeal secara umum disarankan untuk
mencegah aspirasi sampai status mental pasien menjadi normal.
Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk
mengkoreksi hiponatremia menjadi batas / level yang aman, yang
didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin hipertonis
harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam
sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi.
Hipotermi dapat dihindari dengan meningkatkan suhu
ruang operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan cairan
irigasidan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 37oC.
Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi,
32. 28
sirkulasi yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian
kejang, terapi infeksi, menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit
dan suhu tubuh. Pemantauan yang dilakukan glukosa,elektrolit (Na, K,
Ca, Cl, CO3, PO4), urea kreatinin, osmolaritas, glisin, dan amonia.
Pemeriksaan gas darah dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat.
Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor fungsi kardiovaskular.
9. Pencegahan
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan
untuk mencegah manifestasi berat dan fatal pada pasien-pasien dengan
pembedahan urologi endoskopik. Bila diketahui adanya hiponatremi
yang terjadi sebelum operasi terutama pada pasien-pasien yang
mendapat diuretik dan diet rendah garam harus segera dikoreksi.
Karena itu pemeriksaan natrium sebelum operasi TURP perlu
dilakukan. Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran
penting dalam pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk
penderita-penderita dengan penyakit jantung, perlu dilakukan
monitoring CVP atau kateterisasi arteri pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien.
Lamanya operasi TURP tidak boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan
waktu lebih dari 1 jam, maka TURP sebaiknya dilakukan bertahap.
Pemeriksaan natrium serum sebaiknya dilakukan tiap 30 menit dan
perlu dilakukan koreksi sesuai dengan hasil serum natrium. Perlu
dilakukan pemberian furosemid profilaksis untuk mencegah overload
33. 29
cairan. Bila perlu dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan
dengan PRC bukan dengan whole blood. Perlu dilakukan pencegahan
hipotermi misalnya dengan menghangatkan cairan irigasi sampai 37˚C.
10. Komplikasi TURP Sindrome
a. Komplikasi Jangka Pendek
1. Perdarahan
Komplikasi tersering pasca TURP adalah
perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh spasme
prostat ataupun pergerakan. Teknik hemostasis saat
pembedahan yang baik dan pemasangan kateter dan inflasi
balon yang cukup dapat mengontrol perdarahan yang
terjadi. Sumber perdarahan umumnya berasal dari
pembuluh darah vena. Tindakan yang dapat dilakukan pada
pasien dengan komplikasi ini adalah : pemeriksaan tanda
vital tiap 4 jam, observasi jumlah dan warna urin tiap 2 jam,
tingkatkan irigasi dari kandung kemih untuk mencegah
terjadinya obstruksi.
Pasien dapat diminta untuk tetap berbaring atau
separuh duduk. Hal ini dikarenakan posisi duduk dapat
mengakibatkan peningkatan aliran balik dan tekanan
kandung kemih sehingga mengakibatkan terjadinya
perdarahan. Tatalaksana yang dilakukan adalah
penggantian darah yang terbuang, dapat dengan tranfusi
34. 30
atau cairan intra vena lainnya. Hal ini ditujukan untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik.
Perdarahan dapat pula terjadi setelang selang
beberapa hari hingga minggu pasca operasi. Hal ini dapat
terjadi akibat aktivitas fisik yang berat atau kontraksi dari
vasika urinaria. Untuk mencegahnya, pasien diinstruksikan
untuk meminum air minimal 12 gelas per hari dan
menghindari konsumsi alkohol, kafein dan makanan pedas
yang dapat menstimulasi kandung kencing. Pasein
hendaknya tidak melakukan aktivitas yang berat selama
paling tidak 2 minggu. Juga pasien hendaknya diminta
untuk kembali ke dokter apabila perdarahan yang terjadi
tidak berhenti dalam 1 jam setelah penghentian aktivitas
maupun peningkatan frekuensi minum.
2. Infeksi-Bakteremia
Bakteri yang berada di saluran kencing dapat
memasuki sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah
prostat yang terbuka saat pembedahan. Pasien-pasien
berkateter memilki resiko 50% lebih tinggi. Semakin lama
kateter terpasang, semakin besar pula resiko terjadinya
infeksi. Dilaporkan bahwa terdapat bakteri pada urin pasien
yang telah 10 hari dipasangi kateter. Kejadian infeksi
saluran kemih bisanya terjadi pada saat 2 minggu pasca
35. 31
operasi. Bila pemasangan kateter jangka panjang diperlukan
pasca TURP, maka perlu dilakukan perawatan yang
seksama dan hati-hati. Komplikasi terberat adalah berupa
syok septik yang terjadi pada saat bakteri berhasil
memasuki sirkulasi sistemik. Bakteremia dapat diatasi
dengan pemberian antibiotik aminoglikosida sebelum
pembedahan. Irigasi dari kateter harus selalu menjadi
perhatian. Tanda-tanda dari syok septik yang perlu
diwaspadai antara alin adalah : mengigil, hipotensi yang
mendadak, takikardi dan hipertermia.
3. Obstruksi Kateter
Kateter urin dapat tersumbat oleh bekuan darah atau
sisa sisa jaringan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan
irigasi untuk membuang bekuan dan debris. Pembersihan
bekuan juga dapat dilakukan dengan memindah-mindahkan
posisi berbaring pasien. Irigasi dapat dilakukan secara
berkala (intermitten blader irigation) atau terus menerus
(continous blader irrigation). Cairan yang digunakan
adalah normal salin. Irigasi dilakukan hingga didapatkan
cairan yang keluar berwarna jernih atau merah terang.
36. 32
b. Komplikasi Jangka Panjang
Sebagian besar pasien tidak mengalami masalah
jangka panjang setelah menjalani TURP. Namun beberapa efek
jangka panjang yang dapat dialami setelaha menjalani TURP
antara alin adalah :
1. Ejakulasi retrograd
Salah satu komplikasi pasca operasi TURP adalah
“dry orgasm” atau ejakulsai retrograd. Kondisi ini terjadi
pada 65% pasien. Saat ejakulasi terjadi, semen yang
diproduksi justru dikeluarkan ke arah kandung kemih,
bukannya ke arah penis seperti sebagaimana mestinya.
Kondisi ini tidak berbahaya. Semen akan dikeluarkan saat
pasien buang air kecil. Gairah seksual dan pencapaian
orgasme tidak terganggu.
2. Disfungsi ereksi
Nervus yang mengendalikan ereksi secara anatomis
terletak di dekat kelenjar prostat. Nervus ini bisa saja rusak
saat operasi dilakukan. Namun banyak penelitian
menyatakan bahwa TURP tidak mengakibatkan gangguan
ereksi. Beberapa trial justru menyatakan bahwa fungsi
ereksi justru membaik pasca dilakukannya TURP.
37. 33
3. Kelenjar prostat yang membesar lagi
Komplikasi lainnya adalah terbentuknya jaringan
fibrotik. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya striktur
uretra atau kontraksi dari leher kandung kemih.kurang dari
7% pasien yang mengalami komplikasi ini. Intervensi
bedah diperlukan untuk mengatasi komplikasi ini. Selain
itu, kelenjar prostat juga dapat mengalami pembesaran
kembali setelah dilakukannya operasi. Hal ini terjadi pada 5
% pasien yang menjalani TURP. Hal ini dapat
mengakibatkan seorang pasien dapat menjalani TURP lebih
dari satu kali. Dari hasil penelitian didapatkan hanya 15%
pasien yang memerlukan pembedahan lagi pasaca
ditangani dengan TURP.
4. Inkontinensia
1 dari 50 pasien yang menjalani TURP mengalami
inkontinensia. Inkontinensia dapat terjadi bila otot sphincter
di leher kandung kemih rusak saat operasi dilakukan.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Sindrom TURP
1. Pengkajian
a. Identitas
Terjadi akibat operasi TURP +50% laki-laki >60 thn, +80%
laki-laki usia 80 thn. (Purnomo, 2011).
38. 34
b. Keluhan Utama
Sesak Napas
c. Riwayat Kesehatan
Pasien BPH dengan post operasi TURP.
Pemeriksaan Fisik
B1 breath: distress napas, odem paru, hipoksia, sianosis.
B2 blood: hipertensi, aritmia.
B3 brain: penurunan kesadaran, TIK↑, konfusi sampai
koma.
B4 bladder: gagal ginjal akut.
B5 bowel: mual, muntah.
B6 bone: gatal-gatal pada kulit.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan pertukaran gas b.d odem paru.
2) Kelebihan volume cairan b.d adanya penyerapan cairan irigasi
yang berlebihan.
3) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan
intracranial.
3. Intervensi Keperawatan
1) Kerusakan pertukaran gas b.d odem paru
Tujuan
- Masalah kerusakan pertukaran gas teratasi
selama masa perawatan.
39. 35
Kriteria Hasil
- SpO2 98-100%.
- Analisa gas darah:
PaO2 80 – 100 mmHg.
PaCO2 35 – 45 mmHg.
pH 7,35 – 7,45.
- Tidak ada tanda distress napas:
RR= 12 – 20 x/mnt, flaring nostril (-),
tracheal tug (-), intrekking (-).
Intervensi
- Posisi semi fowler atau slide head up 30-45°.
- Bebaskan jalan napas dengan kepala posisi
ekstensi.
- Bantu pernafasan dengan oksigen (nasal kanul
atau masker, atau intubasi dan ventilasi jika
diperlukan).
- Pertahankan istirahat klien.
- Kolaborasi pemberian furosemid.
- Monitor evaluasi BGA, pulse oxymeter.
2) Kelebihan volume cairan adanya penyerapan cairan irigasi
yang berlebihan
40. 36
Tujuan
- Kelebihan volume cairan teratasi selama masa
perawatan.
Kriteria Hasil
- Odem paru (-), odem seluruh tubuh (-).
- Asites (-).
- Hasil lab elektrolit:
Na+ 135 – 145 mEq/L.
K+ 3,5 – 5,0 mEq/L.
- Hemodinamik CVP = 5 – 15 cmH20.
- Tanda vital: TD = 120/90 mmHg, nadi = 60 –
100 x/mnt.
Intervensi
- Restriksi cairan I=IWL.
- Kolaborasi pemberian terapi diuretic.
- Kolaborasi tindakan invasif hemodinamik
(pemasangan CVP).
- Atasi hiponatremi dengan cairan hipertonik
(NaCl 3% = 0.513 mmol/ml) sampai gejala
hilang.
- Pantau tanda dan gejala hiponatremi.
- Pantau TTV.
41. 37
3) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan
intracranial.
Tujuan
- Masalah perubahan perfusi jaringan serebral
teratasi selama masa perawatan.
Kriteria Hasil
- Tidak ada tanda peningkatan TIK :
Nyeri kepala, muntah proyektil, kaku
kuduk, papil edema.
Intervensi
- Slide head up 30°- 45°.
- Cegah hal-hal yang dpt meningkatkan TIK:
batuk, mengejan, posisi trendelenburg.
- Monitor evaluasi adanya tanda-tanda TIK↑.
42. 38
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Sindroma TUR adalah kumpulan tanda dan gejala yang terjadi
pada penderita yang menjalani operasi TURP yang disebabkan karena
penyerapan cairan irigasi dalam jumlah besar. Sindroma TUR dapat terjadi
pada 2-10% operasi TURP dan masih dapat terjadi walaupun di tangan
urolog yang sudah berpengalaman sekalipun. Sindroma TUR paling
banyak terjadi pada pemakaian cairan irigasi yang hipotonik terutama bila
yang dipakai adalah air steril. Karena penyerapan air dalam jumlah besar
mudah menimbulkan hiponatremia dan hemolisis. Frekuensi sindroma
TURP meningkat pada operasi yang lamanya lebih dari 90 menit, tetapi
tidak menutup kemungkinan bahwa sindroma TURP dapat terjadi pada
operasi yang berlangsung dibawah 30 menit, pada prostat yang besarnya
lebih dari 45 gram, dan bila cairan irigasi yang dipakai 30 liter atau lebih.
Dalam penanganan sindroma TUR, yang paling penting adalah
diagnosa dini yang memerlukan kerja sama yang baik antara ahli bedah
dan ahli anestesi. Diagnosa dini dari sindrom TUR dan penanganan yang
tepat banyak menurunkan angka kematian sindroma TUR ini.
b. Saran
1. Didalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
kegawatdaruratan system perkemihan diharapkan perawat memahami
konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan.
43. 39
2. Dalam pemberian tindakan keperawatan pada klien dengan
kegawatdaruratan system perkemihan hendaknya perawat dapat
melakukan tindakan dengan cepat dan tepat dengan mengutamakan
tindakan yang paling prioritas, tanpa mengabaikan masalah yang lain.
44. 40
DAFTAR PUSTAKA
Laksono, BT., Suhardjendro,Soemohardjo, S. 2008. Sindroma TUR. Jurnal
Online http://biomedikamataram.wordpress.com (dilihat pada tanggal 6 April
2016).
NHS Direct. 2006. Transurethral resection of the prostate (TURP) An
operation to cut away part of your enlarged prostate. Online Artikle from British
Medical Journal. www.nhsdirect.nhs.uk (dilihat pada tanggal 6 April 2016).
Prabowo, Eka dan Andi Eka Pranata. (2014). Buku Ajar : asuhan
keperawatan sistem perkemihan : pendekatan NANDA NIC dan NOC. Numed :
Yogjakarta.
Purnomo, Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Sagung seto.
Priyadarshi S. 2007. Management of BPH-An update. Online article at
www.emedicine.com/MED/tropic/3071.htm. (dilihat pada tanggal 6 April 2016).
Srinami dewi, dkk (2013). Jurnal Medicine : Perbedaan osmolalitas dan
pH darah pada tindakan Transurethral resection of prostat (TURP)yang
diberikan natrium laktat hipertonik ml/KgBB dengan natrium klorida 0,9 % 3
ml/KgBB.
Tanagho, EA., Mc Anninch, JW. 2008. Chapter 10 Retrograde
Instrumenstation in Urinary Tracts in Smith’s General Urology 17th Edition. Mc
Graw Hill: New York.
Wasson, D. 2006. Transurethral Resection of the Prostate. Jurnal Online
http://perspective/transuretral_resection_vol01.pdf (dilihat pada tanggal 6 April
2016).