BANGUNAN
RUMAH TRADISIONAL BATAK KARO
“SIWALUH JABU”
artinya sebuah bangunan rumah besar yang terdiri
dari delapan bagian / hunian / kepala keluarga,
hal ini berarti dalam satu rumah adat karo terdapat
delapan keluarga yang tinggal dalam satu atap
Bentuk Bangunan
• berukuran 17×12 m2
• Rumah panggung
• ketinggian bangunan dari tanah mencapai 12m
Maksudnya untuk menghindari ancaman dari
binatang buas juga dapat digunakan sebagai tempat
ternak dan tempat untuk menyimpan kayu bakar
• dinding miring yang menghadap ke bawah
maksudnya bagian bawah dinding lebih sempit
dari bagian atasnya
• Atap tinggi dan bersudut curam.
• Proporsi bagian atap dapat mencapai 7 kali
dari bagian dinding.
• Atap ini berbentuk perisai yang di bagian
atasnya berubah menjadi pelana.
Denah Skematik
• ada suatu lorong yang lantainya lebih rendah
dari bagian lantai lainnya.
• Sepajang lorong, berjejer kamar untuk
masing-masing keluarga.
• Ruangan yang di bagian belakang, terdiri dari
dapur-dapur bersama.
• dibagi dengan sekat-sekat yang terbuka
menghadap ke tengah ruang rumah.
• Keluarga sebagai pemimpin rumah terletak
pada ruangan sisi kiri depan. Ruang ini diberi
nama ’Jabu Bena kayu’
• Ruang-ruang lain ditempati keluarga dengan
fungsinya masing-masing, sebagai wakil
pemimpin, pemecah masalah keluarga, dan
lain-lain.
• Setiap dua ruang dalam satu sekat terdapat satu buah
perapian / tungku
• digunakan untuk memasak sekaligus menghangatkan
ruang
• terletak di lantai rumah panggung dengan cerukan
berbentuk segiempat dalam level yang lebih rendah
• Lima buah batu diletakkan untuk menahan panas agar
tidak menyebabkan lantai rumah menjadi panas dan
terbakar
• Posisi batu diatur sedemikian rupa dalam makna
filosofis untuk keakraban keluarga.
• Kelima batu menandakan adanya lima marga dalam
suku karo yang mendiami Lingga, yakni Karo-Karo,
Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Peranginangin.
• Penempatan keluarga-keluarga dalam bagian rumah adat
(jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo.
• Jabu artinya satu dari bagian rumah adat sebagai tempat
tinggal satu keluarga
• setiap anggota-anggota keluarganya yang menempati jabu-
jabu itu masih mempunyai hubungan keluarga.
JABU BENA KAYU
JABU SEDAPUR BENA KAYU (PENINGGEL-NINGGEL)
JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU (BICARA GURU)
JABU LEPAR UJUNG KAYU (MAN-MINUM)
JABU UJUNG KAYU (ANAK BERU)
JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG)
JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU
JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA)
susunan
jabu dan
yang
menemp
atinya
Struktur Bangunan
• memiliki 16 tiang
• Delapan untuk menahan beban atap dan delapan lagi
menahan beban struktur lantai
• Tiang tersebut terbuat dari kayu yang sudah tua, kayu
“ndrasi”. Kayu ini berdiameter 40 cm dan kayu ini di
ambil dari hutan setempat.
• Untuk menghubungkan tiang-tiang ini digunakan
balok kayu yang dipasang menembus tiang-tiang
bangunan dengan posisi yang saling bersilangan
• Jumlah Jendela-nya ada delapan
• Empat ada di samping kiri dan kanan
• Dan empatnya lagi ada di bagian depan dan
belakang
• Organisasi rumah adat ini berpola “linier”.
Karena ruangan-nya menunjukkan bentuk
garis
Pondasi
• Pondasi tradisional yang terbuat dari batu kali yang besar
• Oleh masayarakat Batak Karo disebut sebagai batu palas
• Mempunyai bentukan yang bulat panjang, dengan
diameter 60 cm dan panjang 80 cm
• Pemasangan batu palas sebagai batu pondasi ini mirip dengan
pembuatan pondasi umpak yang sering digunakan pada rumah
panggung
• Batu palas yang sering digunakan biasanya ditanam
setengah dari panjang batu
• Pada bagian atas batu palas yang menyembul keluar
biasanya di buat lubang sesuai dengan ukuran dari ujung tiang
bangunan
• Tiangnya diruncingkan dengan membentuk segi delapan,
agar bisa menancap ke dalam batu dan tidak mudah goyah
• Pada lubang pondasi
kemudian dimasukan
1. “Belo cawir “ Daun
sirih
2. “Besi mersik” sejenis
besi yang keras rapuk
3. Ijuk
yang dapat mengurangi
pergerakan dari kolom
bangunan.
• Tiang – tiang bangunan
yang berbentuk bulat
dengan diameter 4cm
tersebut lalu ditancapkan
kedalam lubang pondasi
Tangga
• ada
• Yang terdapat di pintu masuk dan satunya lagi
di bagian belakang
• Terbuat dari bambu dan juga kayu yang
bernama kayu tempawa
• Bambu dan kayu berdiameter 15cm
• Anak tangganya biasanya berjumlah ganjil
yaitu 3
Ture
• Tangga ini langsung bersandar ke teras yang di sebut
dengan ture
• Ture in terbuat dari bambu juga dan berdiameter 15
cm
• Tinggi dari ture dari permukaan tanah kira-kira 1,5 m.
Fungsi dari ture :
• Tempat jaga malam atau ronda
• Tepian ture sebelah kiri dan kanan, sering
dijadikan tempat buang hajat
• Tempat mencuci
• Menyiapkan makanan
• Tempat pembuangan (kotoran hewan)
• Tempat bertenun
• Mengayam tikar atau pekerjaan lainnya
• Pada malam hari berfungsi sebagai tempat naki-
naki atau tempat perkenalan para pemuda dan
pemudi untuk memadu kasih
• Terbuat dari kayu “ndrasi” berbentuk papan
• Papan-papan ini disambung dengan memakai sambungan pen
dan di bantu dengan ikatan ijuk.
• Ikatan tali yang membentuk jajaran cicak dengan kepala dan
ekor yang saling berhadapan, hal ini berarti bahwa penghuni
rumah saling menghormati
• Dinding dibuat miring keluar supaya ruangan di dalamnya
luas dan asap dari dapur bisa lebih mudah keluar.
Dinding
Suhi (Cuping) Sudut Dinding
• Terbuat dari kayu yang sudah tua berupa lembar papan yang
berukuran 4 x 30 cm
• Terletak pada sudut-sudut dinding
• Berfungsi untuk menahan dan memikul dinding
• Cara memasangnya dengan menggunakan sambungan kayu “pen”
• Dibentuk dengan pola ukiran
• memiliki 2 pintu,
di bagian depan menghadap ke hulu sugai (“julu”)
di belakang menghadap ke muara (“jahe”)
• Kedua pintu terhubung langsung lurus membelah rumah adat
sebagai jalan tengah
• Sebelah kanan dihuni empat keluarga dan sebelah kiri dihuni
pula oleh empat keluarga
Pintu
• Berukuran kecil
• Sehingga orang tidak dapat langsung masuk ke rumah tanpa harus
menundukan kepalanya
• Makna yang dapat dipetik adalah bagi setiap orang yang masuk rumah
harus taat dan tunduk dengan peraturan yang berlaku di dalam rumah
tersebut
• Daun pintu ini terbuat dari kayu yang sudah tua
berupa lembaran kayu yang tebal dengan berukuran 5 x 40 cm
dan papan ini ada dua lembar. Dan kalau di satukan
ukurannya menjadi 10 x 80 cm
• Dibentuk dengan menggunakan engsel yang menggunakan
teknik sambungan engsel
• Letak pintu ini langsung pada dinding
• Biasanya dilengkapi dengan pegangan tangan yang disebut
“cikepen”
• Setiap pintu mempunyai 2 daun pintu
Labah (Jendela)
• Labah atau jendela terbuat dari papan yang
tebal berukuran 8x30 cm
• memanjang di tengah-tengah
• Jendela ini dibuat miring ke luar 40 cm agar
ruangan di dalamnya lebih luas
• Jumlah jendela ada 8
2 dibagian depan, 2 dibagian belakang, dan 4
di bagian kiri dan kanan rumah
Buang Para (Tempat Kayu Bakar)
• Sebagai tempat kayu-kayu bakar
• Letaknya persis di atas dapur
• Berfungsi juga sebagai tempat hasil panen agar hasil
panen cepat kering
• Terbuat dari kayu ukuran 20 x 30 cm.
• cara penyambungannya memakai teknik sambungan
“pen”
Atap
• Penutup atap terbuat dari ijuk hitam yang bersusun-susun hingga
mencapai tebal 20 cm
• Rangka terbuat dari bambu yang dibelah 1 x 3 cm dan diikat dengan
rotan
• Jarak antar bambu 4 cm
• Bumbungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20
cm.
• Bagian terendah dari atap pertama di bagian pangkalnya ditanami
tanaman menjalar pada semua dinding dan berfungsi sebagai
penahan hujan deras.
• Ujung dari atap yang menonjol ditutup dengan tikar bambu yang
indah
• Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk
memungkinkan asap keluar dari tungku dalam rumah
• Atap bertingkat tiga dan berbentuk segitiga
• Pembagian serba tiga ini melambangkan
adanya ikatan ”sangkap sitelu” yaitu ikatan
tiga kelompok keluarga yang terdiri dari
Kalimbutu, Senina dan Sembunyak,
sebagaimana pengertian “dalihan na tolu”
(tungku nan tiga) pada masyarakat Batak Toba
dan Tapanuli Selatan
• Pinggiran atap rumah yang sama di semua sisi
bermakna bahwa keluarga yang mendiami
memiliki tujuan yang sama
“Tunjuk Langit”
• Tiang pemikul
bubungan atap
• Terbuat dari kayu
berukuran 7 x 15
cm
• Letaknya di paling
atas atap dengan
mengikatnya
dengan memakai
tali ijuk
Tanduk Rumah
• Pahatan berbentuk tanduk kerbau di ujung-
ujung bubungan rumah
• sebagai ornamen rumah
• sebagai penjaga penghuni rumah dari
kekuatan roh jahat
Ornamen
• Ornamen-ornamen mengandung arti mistik, ini berkaitan
dengan kepercayaan pada masa itu
• Secara umum menggambarkan jati diri, kebersatuan
keluarga dan permohonan keselamatan
• Mengunakan 5 warna : putih, merah, hitam, biru, kuning
yang melambangkan jumlah marga di tanah Karo
• Bahan pewarnanya dibuat dari alam (dah atah taneh)
• Selalu menggambarkan cicak di dinding rumah mereka,
baik nampak seperti cicak sebenarnya ataupun bentuk
yang menyerupainya
• Artinya, orang Batak dapat beradaptasi dengan
lingkungannya seperti hidup cicak
Ciri khas
• Atap rumah adat batak karo ini bertingkat
dua
• Ukuran rumah yang paling besar diantara
rumah – rumah tradisional suku Batak lainnya
• Dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi
dengan cara dipantek dengan pasak atau
diikat menyilang dengan tali
• Dihuni oleh 8 keluarga atau kelipatannya
• mampu bertahan hingga usia ratusan tahun
Jenis”
• Berdasarkan bentuk atap:
a. Rumah sianjung-anjung
b. Rumah Mecu
• Berdasarkan susunan tiang rumah:
a. Rumah Sangka Manuk
b. Rumah Sendi
Sumber
• architect-news.com
• tamanmini.co.id
• rumahmalangan.com
• bakosurtanal.go.id
• f-pelamonia.blogspot.com
• pungsin.wordpress.com
• batakworld.blogspot.com
• iidmarsanto.wordpress.com
• fisip.uns.ac.id
• http://www.scribd.com/doc/29524879/Suku-Batak-Karo
• wikipedia
• http://pangasean-siregar91.blogspot.com/2009/11/11-ornament-ornamen-pada-rumah-
adat.html
• Arsitektur tradisional menuju arsitektur Indonesia
• Laporan penelitian “pengumpulan dan dokumentasi ornament tradisional di sumatera utara”
• Arsitektur tradisional batak karo
• Limamarga.blogspot.com
• Kompendium SEJARAH ARSITEKTUR – Djauhari Sumintardja