1. 1
Kontekstualisasi Pemahaman 'Kisah Petruk Dadi Ratu'
Konon, di sebuah 'komunitas' mahasiswa, hadir seorang tokoh, atau
tepatnya 'seseorang yang diidolakan sebagai tokoh', sebut saja namanya:
"Pak Petruk", yang tentu saja bukan dari Desa Karangkadempel, yang
diceritakan oleh orang sebagai tempat yang sejuk, sebuah tempat 'Ki Lurah
Petruk', pernah duduk-duduk bersantai sambil menyantap rujak-uleg. Rujak
racikan sang isteri yang dinikmatinya seraya menghisap sebatang rokok
kretek kesukaannya.
Pandangan 'Sang Idola' yang semula ke arah 'mobil mewah' yang
terparkir di depan rumahnya, tiba-tiba beralih ke teras ruang tamu. Di
ruangan luas itu, para mahasiswa yang mengidolakan dirinya, tampak serius
datang ke rumah 'dirinya', entah karena diundang atau (karena) spontanitas
mereka sendiri, atau karena direkayasa oleh orang-orang di balik layar. Yang
jelas, mereka sempat meneriakkan yel-yel “Dukung Pak Petruk" sebagai
calon pemimpin kita untuk masa depan kita,” kata 'Si Togog' yang
membacakan titah dari para mahasiswa, yang menamakan diri mereka
sebagai "Komunitas Pro-Perubahan".
Pandangan"Pak Petruk" kembali berpaling dari dari Smart-Phone
yang dipegangnya. Koran yang dibacanya yang sempat terjatuh karena
kekagetan dirinya saat didatangi sejumlah mahasiswa itu, dia pungut
kembali. Diletakkannya koran itu di meja kerjanya, lalu bergegaslah dia
menemui para mahasiswa yang mengidolakannya seraya menenteng Smart-
Phone kebanggaannya, yang konon dibelinya dengan kisaran harga dua
belas juta rupiah.
Ingatan 'Pak Petruk" kini kembali ke masa lalu. Saat itu dia secara
tidak sengaja mendapat 'mandat' berupa 'wahyu keprabon', yang bukan 'Tiga
Wahyu Keprabon' milik Lurah Petruk yang pernah menjadi 'RATU', tetapi
substansinya mirip Wahyu Maningrat yang menyebarkan bibit ratu, Wahyu
Cakraningrat sebagai penjaga ratu, dan 'Wahyu Widayat' yang melestarikan
hidupnya sebagai ratu.
Padahal, dalam dunia pewayangan, ketiga wahyu tersebut
semestinya singgah sementara di tubuh Abimanyu. Nantinya wahyu akan
diserahkan ke Parikesit sebagai pewaris tahta kerajaan Hastina Pura setelah
Pandhawa pergi. 'Parikesit' adalah putera Abimanyu.
Sayang karena saat itu Abimanyu tengah sakit, ketiga wahyu
tersebut pergi dan hinggap di tubuh 'Ki Lurah Petruk'. 'Ki Lurah Petruk' pun
akhirnya dinobatkan sebagai ratu di sebuah kerajaan yang dia beri nama
'Lojitengara' dengan gelar 'Prabu Wel-Geduwel Beh'.
2. 2
Namun, rupanya untuk menjadi seorang 'ratu sejati' tak cukup
hanya bermodal ketiga wahyu tersebut. 'Ki Lurah Petruk' memerlukan
singgasana kerajaan Hastina Pura. Oleh karenanya, diperintahlah kedua
patih Lojitengara, Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencurinya.
Tahta pun akhirnya berhasil dicuri dan dibawa ke Lojitengara.
Namun Prabu Wel-geduwel Beh gagal, setiap hendak duduk di atas
singgasana, dia terjungkal. Melalui penasihat kerajaan, Petruk mendapat
bisikan agar mencari sebuah boneka yang harus dia gendong saat duduk di
singgasana.
Bayutinaya dan Wisandanu kembali diperintahkan untuk mencari
boneka tersebut. Kedua patih itu pun berhasil membawa sebuah 'boneka'.
Rupanya boneka tersebut adalah Abimanyu yang sedang sakit. Saat
dipangku Prabu Wel-Geduwel Beh itulah Abimanyu sembuh dari sakitnya.
Petruk sadar tak bisa menduduki tahta kerajaan tanpa memangku
Abimanyu, orang yang berhak atas tiga wahyu 'keprabon' Hastina Pura.
Lamunan 'Pak Petruk' pun terhenti saat Smart-Phone yang dia
pegang jatuh dari genggaman tangannya. Dia kembali terngiang pada sebuah
'nasihat' gurunya, sewaktu sekolah di 'Sekolah Kehidupan' yang pernah dia
ikuti. Dan 'Pak Petruk' pun segera menerjemahkan nasihat gurunya yang
berisi 'wani-wanti': "jangan mencari dan meminta jabatan', dan 'jangan
pernah bangga menjadi pejabat, karena tanggung jawabnya berat." Nasihat
itu, ternyata bisa menyadarkan dirinya, dan segera dia beristighfar tiga kali,
seraya mengingat intisari nasihat gurunya yang berisi dua hal yang
mengganjal di hatinya. Pertama, 'keikhlasan' seorang pemimpin, yang
menurut seorang pengamat politik di negeri kita, akan menjadi garansi.
Begitu keikhlasan tidak ada, maka dia akan gagal untuk mengemban
amanah kepemimpinannya. Dalam hal ini "Pak Petruk" merasa belum
memilikinya. Kedua, adalah soal indepedensi 'dirinya' saat nanti duduk di
singgasana.
Keraguan 'Pak Petruk" ini terjadi setelah melihat dengan cermat
beberapa kejanggalan dukungan para mahasiswa yang ternyata mereka tidak
'tahu' siapa 'sesungguhnya' dirinya, yang hingga saat ini sangat tidak ingin
diusung-usung oleh siapa pun. Karena dirinya pernah memunnyai
pengalaman pahit, ketika 'dia' pernah gagal menjadi pemimpin; ketika
dirinya 'saat itu' terlalu banyak dikendalikan oleh orang-orang di balik layar
yang pernah mengusungnya, yang ternyata justru merongrong
kepemimpinannya, karena merasa tak mendapatkan bagian kue kekuasaan,
yang mereka rasakan selama ini tidak adil'. 'Pak Petruk' pun digoyang
kencang-kencang' oleh orang-orang yang pernah mengusungnya. Dengan
tanpa mendapatkan dukungan dari para penjilatnya, akhirnya 'dia' jatuh --
terjerembab -- dari singgasananya, tanpa adanya kepedulian dari para
punggawanya yang selama ini mengelu-elukannya.
3. 3
Dia menyesal, kenapa nasihat dari kawan-kawan terdekatnya, yang
dengan tulus selalu menasihatinya, sama sekali tak pernag digubrisnya.
Andaikata dia mau mendengar nasihat dari kawan-kawan dekatnya
itu, 'dirinya' tak akan pernah mengalami 'kegagalan' yang sangan
menyakitkan itu.
Berpijak dari pengalaman hidupnya, "Pak Petruk" sebenarnya
hanya berharap jika nanti benar-benar menjadi 'pemimpin', dirinya tak lagi
sekadar 'menurut' pada perintah para pengusungnya. Karena setelah menjadi
'pemimpin', dirinya tak hanya menerima mandat dari para pengusungnya,
melainkan seluruh 'rakyat' yang memilih dan dipimpinnya.
Setelah merenung sejenak, dia pun memutuskan untuk
melaksanakan shalat istikharah.
Hasilnya: "Tubuh Pak Petruk rebah" di atas "Spring-Bed"
kesayangannya. Dan isterinya yang sangat setia mendampinya pun
tertunduk lesu, karena ternyata -- sebagai seorang yang muslim -- .dirinya
sadar, bahwa sikapnya selama ini 'salah'.
Dia tak ingin mengulangi kegagalan 'Ki Lurah Petruk' yang telah
gagal total menjadi seorang 'ratu', karena jabatan itu -- sesungguhnya --
bukanlah sesuatu yang menjadi 'hak'-nya. Tetapi karena ambisi pribadi dan
dukungan para pengikutmya -- bisa jadi' nantinya 'dia rampas' hak
kepemimpinan orang yang benar-benar lebih berhak atasnya.
Segeralah dia beristighfar, dan menyatakan penyesalannya, seraya
berkata di depan para pendukungnya, dengan ditemani isteri tercintanya:
"Kuserahkan kepemimpinan umat ini kepada yang lebih berhak daripada diri
saya".
Selamat tinggal ambisiku dan ambisi orang-orang yang tak tahu diri.
Semoga Allah meridhai keputusan saya ini.
Āmîn Yâ Ghaffâr, Yâ Rahîm.