Dokumen tersebut merangkum tentang faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik afektif siswa seperti motivasi, minat, konsep diri, kecemasan, dan sikap. Dibahas pula teori motivasi Maslow dan cara membangkitkan motivasi belajar siswa dengan menciptakan kondisi yang mendukung.
1. Nama : Ahmad Khakim Amrullah
NIM : 110533406962
Kelas : Pendidikan Teknik Informatika UM 2011
Judul Buku : Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Pengarang : Drs. Slameto
Penerbit : Rineka Cipta
Daftar Isi
Bab 6 : MEMPENGARUHI KARAKTERISTIK AFEKTIF SISWA
A. Motivasi dan Kebutuhan ..................................................................................... 170
B. Minat .................................................................................................................... 180
C. Konsep Diri dan Aspirasi ..................................................................................... 182
D. Kecemasan ............................................................................................................ 185
E. Sikap ..................................................................................................................... 188
BAB 6
MEMPENGARUHI KARAKTERISTIK AFEKTIF SISWA
A. MOTIVASI DAN KEBUTUHAN
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, seringkali pengajar harus berhadapan
dengan siswa-siswa yang prestasi akademiknya tidak sesuai dengan harapan pengajar.
Bila hal ini terjadi dan kemapuan kognitif siswa cukup baik, pengajar cenderung untuk
mengatakan bahwa siswa tidak bermotivasi dan menganggap hal ini sebagai kondisi yang
menetap.
Sebenarnya motivasi, yang oleh Eysenk dan kawan-kawan dirumuskan sebagai
suatu proses yag menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsistensi, serta arah umum
dari tingkah laku manusia, merupakan konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep-
konsep lain seperti minat, konsep diri, sikap dan sebagainya. Siswa yang tampak tidak
bermotivasi, mungkin pada kenyataannya cukup bermotivasi tapi tidak dalam hal-hal
yang diharapkan pengajar. Mungkin siswa cukup bermotivasi untuk bermotivasi untuk
berprestasi di sekolah, tetapi pada saat yang sama ada kekuatan-kekuatan lain, misalnya
teman-teman, yang mendorongnya untuk tidak berprestasi di sekolah.
Jumlah motivator yang mempengaruhi siswa pada suatu saat yang sama dapat
banyak sekali, dan motif-motif (yaitu yang membangkitkan dan mengarahkan tingkah
laku) yang dibangkitkan oleh motivator-motivator tersebut mengakibatkan terjadinya
sejumlah tingkah laku yang dimungkinkan untuk ditampilkan oleh seorang siswa.
Ada bermacam-macam teori motivasi, salah satu teori yang terkenal kegunaannya
untuk menerangkan motivasi siswa adalah yang dikembangkan oleh Maslow (1943,
1
2. 1970). Moslow percaya bahwa tingkah laku manusia dibangkitkan dan diarah oleh
kebutuhan-kebutuhan tertentu. Kebutuhan-kebutuhan ini (yang memotivasi tingkah laku
seseorang) dibagi Maslow ke dalam 7 kategori. Berikut kategori tersebut :
1. Fisiologi
Merupakan kebutuhan jasmani manusia. Misalnya kebutuhan makan, minum, tidur,
kesehatan dan istirahat. Untuk dapat belajar dengan efektif dan efisien, siswa harus
sehat, jangan sampai sakit yang dapat mengganggu kerja otak yang menyebabkan
terganggunya kondisi dan konsentrasi belajar.
2. Kebutuhan akan Keamanan
Manusia membutuhkan keamanan dan ketentraman jiwa. Perasaaan kecewa, dendam,
takut akan kegagalan, ketidakseimbangan mental dan kegoncangan-kegoncangan
emosi yang lain dapat mengganggu kelancaran belajar seseorang. Oleh karena itu
agar cara belajar siswa dapat ditingkatkan ke arah yang efektif , maka siswa harus
dapat menjaga keseimbangan emosi, sehingga perasaan aman dapat tercapai dan
konsentrasi pikiran dapat dipusatkan pada materi pelajaran yang ingin dipelajari.
3. Rasa Cinta
Manusia dalam hidup membutuhkan kasih sayang dari orang tua, saudara, dan teman-
teman yang lain. Di samping itu dia akan merasa berbahagia apabila dapat membantu
dan memberikan cinta kasih pada orang lain pula. Keinginan untuk disukai sama
dengan orang lain merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi.
4. Penghargaan atau kebutuhan akan status
Tiap orang akan berusaha agar keinginannya dapat berhasil. Ini merupakan kebutuhan
rasa berguna, penting, dihargai, dikagumi, dihormati oleh orang-orang lain. Secara
tidak langsung ini merupakan kebutuhan perhatian, ketenaran, status, martabat, dan
lain sebagainya.
5. Aktualisasi Diri
Tiap orang tentu berusaha untuk memenuhi keinginan yang dicita-citakan. Ini
merupakan kebutuhan manusia untuk mengembangkan diri sepenuhnya,
merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya.
6. Kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti
Ini merupakan kebutuhan manusia untuk memuaskan rasa ingin tahunya, untuk
mendapatkan pengetahuan, untuk mendapatkan leterangan-keterangan, dan untuk
mengerti segala sesuatu.
7. Kebutuhan Estetik
Merupakan kebutuhan yang dimanifestasikan sebagai kebutuhan akan keteraturan,
keseimbangan dan kelengkapan suatu tindakan. Kebutuhan estetik ini nampaknya
sangat mempengaruhi tingkah laku beberapa individu.
Hierarki yang diajukan oleh Maslow ini merupakan suatu urutan kebutuhan yang
bersifat kaku, tetapi dalam kenyataan sehari-hari pengajar mungkin menemukan
2
3. pengecualian-pengecualian. Hal ini desebabkan kerana seringkali tingkah laku tidak
dibangkitkan oleh satu penyebab, melainkyan oleh beberapa sebab. Namun demikian hal
tersebut tidak berarti bahwa teori Maslow ini tidak berguna sama sekali dalam
pendidikan. Bahkan dengan memiliki pengetahuan ini pengajar dapat menganalisis
penyebab tingkah laku siswa memahaminya, dan memaikainya untuk memotivasi siswa
dalam belajar.
Bila teori Maslow ini diterapkan dalam suasana pengajaran, maka pengajar akan
dapat melihat motif yang berbeda-beda yang mendasari tingkah laku masing-masing
siswanya yang wujudnya mungkin sama. Sebagian siswa berusaha untuk mencapai
prestasi akademik yang baik di sekolah untuk mendapatkan penerimaan dari orang tua
atau dari guru. Anak-anak seringkali berpandangan bahwa keberhasilan di sekolah
merupakan salah satu cara dan bahkan cara terbaik untuk mendapatkan penerimaan orang
dewasa. Beberapa siswa sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi juga didorong untuk
berprestasi karena kebutuhannya untuk mendapatkan penerimaan; mereka tidak ingin
mengecewakan orang tuanya. Ada pula siswa-siswa yang berprestasi sangat baik dengan
tujuan untuk mencari ketenaran, yang berhubungan erat dengan kebutuhan akan
penghargaan.
Dalam hal ini siswa berusaha mencapai hasil yang sebaik-baiknya di sekolah
untuk mengesankan orang lain, mendapat perhatian yang menyenangkan, untuk dikenang
dengan baik oleh orang lain. Mereka ingin membuktikan pada orang lain bahwa mereka
tidak hanya bisa sukses, tapi juga dapat mengalahkan teman-teman sekelasnya. Hal ini
terjadi terutama pada siswa-siswa yang sudah lebih dewasa. Kadang-kadang siswa,
terutama di sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi , berprestasi baik karena nilai
praktis mata pelajaran atau keterampilan yang dipelajarinya. Bila mereka melihat
kegunaan suatu objek sehubungan dengan karirnya, maka mereka akan berusaha
mempelajarinya walaupun mereka tidak menyukainya. Di samping siswa-siswa yang
yang berusaha mencapai prestasi akademik yang baik karena adanya kebutuhan-
kebutuhan tertentu di luar perbuatan itu sendiri yang ingin dipenuhi (motivasi ekstrinsik),
ada pula siswa yang berusaha mencapai prestasi akademik yang baik semata-mata karena
ia ingin belajar (motivasi intrinsik). Siswa yang termasuk dalam golongan terakhir ini
mungkin saja memperoleh ketenaran atau penerimaan karena usaha-usahanya dapat
secara kebetulan menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk kegunaan praktis.
Tapi keuntungan-keuntungan samacam ini bagi mereka hanyalah suatu kebetulan. Siswa-
siswa model ini tidak memerlukan insentif untuk melakukan kegiatan belajar, karena
tujuan utamanya adalah mendapatkan pengetahuan, pengertian, pengalaman dan
pengembangan diri.
Kebanyakan pengajar menginginkan kelas yang penuh dengan siswa-siswa yang
mempunyai motivasi intrinsik. Tapi kenyataannya seringkali tidak demikian. Karena itu
pengajar harus menghadapi tantangan untuk membangkitkan motivasi siswa,
3
4. membangkitkan minatnya, menarik dan mempertahankan perhatiannya, mengusahakan
agar siswa mau mempelajari materi-materi yang diharapkan untuk dipalajarinya.
Membangkitkan Motivasi Belajar
Mengingat demikian penting motivasi bagi siswa dalam belajar, maka guru
diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar siswa-siswanya. Dalam usaha ini
banyaklah cara yang dapat dilakukan. Menciptakan kondisi-kondisi tertentu dapat
membangkitkan motivasi belajar.
Yeni (nama samaran) seorang siswi SMA kelas II IPS tahu persis alasannya
mengapa ia harus mempunyai motivasi belajar tinggi. Yeni adalah ana pertama dari 6
bersaudara yang sejak ia masih kelas I SMP sudah ditinggal ayahnya untuk selama-
lamanya. Ia harus menjadi teladan bagi adik-adiknya dan merasa “berdosa” jika ia sampai
gagal melanjutkan cita-cita ayahnya yang menginginkan Yeni menjadi seorang psikolog.
Ia juga merasa secara sadar harus mempertanggungjawabkan biaya pendidikan yang
diupayakan ibunya dengan bersusah payah itu dalam bentuk keberhasilan belajar atau
nilai-nilai yang bagus pada rapornya. Walaupun begitu ia tetap memahami sepenuhnya
bahwa tuntutan akan dirinya itu sebagai tuntutan yang realistis dan cukup beralasan.
Situasi yang demikian ini membuat Yeni percaya (pada diri sendiri) bahwa ia dapat dan
mampu belajar dengan sebaik-baiknya serta yakin akan keberhasilan belajar kelak.
Joni (nama samaran) adalah mahasiswa tahun pertama yang duduk di Fakultas
Pertanian, ia menggunakan logikanya dengan baik sekali. Ia memiliki jadwal belajar yang
teratur dan selalu mentaatinya dengan ketat. Ia selalu menyiapkan bahan yang akan
diajarkan dosennya sebelum perkuliahan. Ia yakin bahwa belajar tidak mungkin berhasil
dengan baik tanpa adanya persiapan yang baik pula. Persiapan yang baik hanya dapat
dilaksanakan dengan mantaati jadwal secara teratur. Bahkan perkuliahan yang dipelajari
secara teratur itu selalu dikaitkannya dengan dan diekspresikannya dalam kehidupan
nyata, sehingga dalam diri Joni selalu terjadi perubahan (secara berangsur-angsur) dalam
berpikir dan bertindaknya. Selain itu ia selalu membenahi gambaran tentang dirinya
sendiri dan masa depannya. Ia mengetahui kekuatan dan kelemahan-kelemahan dalam
belajar. Dengan pengetahuannya itu ia berusaha meningkatkan kekuatan-kekuatannya
dan memperbaiki kelemahan-kelemahannya sejauh ia mampu. Jika ia gagal, ia berusaha
untuk mencari sublemasi yan konstruktif.
Ida (nama samaran) yang menurut ayahnya hanya memiliki kecerdasan normal
saja sempat bertahan menjadi juara kelas sejak SD sampai sekaran di kelas II SMP.
Ayahnya menuturkan bahwa keberhasilan Ida hanya karena ketekunan dan motivasi
belajarnya yang tinggi, Ida banyak belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya.
Setiap ia menerima kembali tes atau pekerjaannya yang sudah dikoreksi guru ia
mempelajari kembali bahan-bahan yang berhubungan dengan soal-soal yang tidak dapat
dikerjakannya. Ia tahu bahwa soal-soal itu tidak akan keluar lagi pada tes berikutnya,
tetapi itu sangat penting untuk pelajaran berikutnya. Menurut Ida setiap pelajaran itu
4
5. tersusun rapi dengan merantai, sehingga kalau ada salah satu bahan pelajaran yang tidak
atau belum dikuasainya akan mengganggu dalam belajar berikutnya seperti halnya rantai,
kalau ada satu mata rantai yang terlepas atau hilang maka putuslah sudah rantai itu. Cara
belajar yang berikut ini didukung oleh suasana belajar yang hangat dan penghargaan atau
pujian yang tepat dari orang tuanya. Keperluan belajar anak diberi prioritas utama. Hal
yang perlu dicatat dari keluarga Ida adalah tidak adanya kegiatan-kegiatan rutin, monoton
dan membosankan. Orang tua Ida termasuk orang-orang kreatif. Mereka kaya dengan
situasi-situasi baru yang menggairahkan di tengah0tengah kesibukan belajar anak-
anaknya.
Situasi Yeni, Joni dan Ida di atas pasti dapat diterapkan baik di sekolah dalam
situasi belajar mengajar maupundi rumah dalam interaksi orang tua dengan anak.
Sehubungan dengan pemeliharaan dan peningkatan motivasi siswa, DeCecco &
Grawford (1974) mengajukan 4 fungsi pengajar :
1. Menggairahkan Siswa
Dalam kegiatan rutin di kelas sehari-hari pengajar harus berusaha menghindari hal-
hal yang monoton dan membosankan. Ia harus selalu memberikan pada siswa cukup
banyak hal-hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan. Guru harus menjaga minat siswa
dalam belajar, yaitu dangan memberikan kebebasan tertentu untuk berpindah dari satu
aspek ke lain aspek pelajaran dalam situasi belajar. “Discovery Learning” dan metode
sumbang saran (“brain storming”) memberikan kebebasan semacam ini. Untuk dapat
meningkatkan kegairahan siswa, guru harus mempunyai pengetahuan yang cukup
mengenai disposisi awal siswa-siswanya.
2. Memberikan Harapan Realistis
Guru harus memelihara harapan-harapan siswa yang realistis, dan memodifikasikan
harapan-harapan yang kurang atau tidak realistis. Untuk itu pengajar perlu memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai keberhasilan atau kegagalan akademis siswa pada
masa lalu, dengan demikian pengajara dapat membedakan antara harapan-harapan
yang realistis, pesimistis, atau terlalu optimis. Bila siswa telah mengalami banyak
kegagalan, maka guru harus memberikan sebanyak mungkin keberhasilan pada siswa.
3. Memberikan Insentif
Bila siswa mengalami keberhasilan, pangajar diharapkan memberikan hadiah kepada
siswa (dapat berupa pujian, angka yang baik, dan lain sebagainya) atas
keberhasilannya, sehinggan siswa terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut guna
mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Sehubungan dengan hal ini, umpan balik
merupakan hal yang sangat berguna untuk meningkatkan usaha siswa.
4. Mengarahkan
Pengajar harus mengarahkan tingkah laku siswa, dengan cara menunjukkan pada
siswa hal-hal yang dilakukan secara tidak benar dan meminta pada mereka untuk
melakukan yang sebaik-baiknya.
5
6. Gage & Berliner (1979) menyarankan juga sejumlah cara meningkatkan motivasi
siswa, tanpa harus melakukan reorganisasi kelas secara besar-besaran.
1. Pergunakan Pujian Verbal
Penerimaan sosial yang mengikuti suatu tingkah laku yang diinginkan dapat menjadi
alat yang cukup dapat dipercaya untuk mengubah prestasi dan tingkah laku akademis
ke arah yang diinginkan. Kata-kata seperti „bagus‟, „baik‟, „pekerjaan yang baik‟,
yang diucapkan segera setelah siswa melakukan tingkah laku yang diinginkan atau
mendekati tingkah laku yang diinginkan, merupakan pembangkit motivasi yang
besar. Penerimaan sosial merupakan suatu penguat atau insentif yang relatif
konsisten.
2. Pergunakan Tes dalam Nilai secara Bijaksana
Kenyataan bahwa tes dan nilai dipakai sebagai dasar berbagai hadiah sosial, (seperti
penerimaan lingkungan, promosi, pekerjaan yang baik, uang yang lebih banyak dan
sebagainya) menyebabkan tes dan nilai dapat menjadi suatu kekuatan untuk
memotivasi siswa. Siswa belajar bahwa ada keuntungan yang diasosiasikan dengan
nilai yang tinggi, dengan demikian memberikan tes dan nilai mempunyai efek dalam
memotivasi siswa untuk belajar. Tapi tes dan nilai harus dipakai secara bijaksana,
yaitu untuk memberikan informasi kepada siswa dan untuk menilai penguasaan dan
kemajuan siswa, bukan untuk menghukum atau membanding-bandingkannya dengan
siswa lain. Penyalahgunaan tes dan nilai akan mengakibatkan menurunnya keinginan
siswa untuk berusaha dengan baik.
3. Bangkitkan rasa ingin tahu siswa dan keinginannya untuk menadakan eksplorasi.
Dengan melontarkan pertanyaan atau masalah-masalah, pengajar dapat menimbulkan
suatu konflik konseptual yang merangsang siswa untuk bekerja. Motivasi akan
berakhir bila konflik terpecahkan atau bila timbul rasa bosan untuk memecahkannya.
4. Untuk tetap mendapatkan perhatian, sekali-kali pengajar dapat melakukan hal-hal
yang luar biasa, misalnya meminta siswa menyusun soal-soal tes, menceritakan
problem guru dan belajar, dan sebagainya.
5. Merangsang hasrat siswa dengan jalan memberikan pada siswa sedikit contoh hadiah
yang akan diterimanya bilaia berusaha untuk belajar. Berikan pada siswa penerimaan
sosial, sehingga ia tahu apa yang dapat diperolehnya bila ia berusaha lebih lanjut.
Dalam menerapkan hal ini pengajar perlu membuat urutan pengajaran, sehingga
siswa dapat memperoleh sukses dalam tugas-tugas permulaan.
6. Agar siswa lebih mudah memahami bahan pengajaran, pergunakan materi-materi
yang sudah dikenal sebagai contoh.
7. Terapkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam konteks yang unik dan luar biasa,
agar siswa jadi lebih terlibat.
8. Minta pada siswa untuk mempergunakan hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya.
Hal ini menguatkan belajar yang lalu sekaligus menanamkan suatu pengharapan pada
6
7. diri siswa bahawa apa yang sedang dipelajarinya sekarang juga berhubungan dengan
pelajaran yang akan datang.
9. Pergunakan Simulasi dan Permainan
Kedua hal ini akan memotivasi siswa, meningkatkan interaksi, menyajikan gambaran
yang jelas mengenai situasi kehidupan sebenarnya, dan melibatkan siswa secara
langsung dalam proses belajar.
10. Perkecil daya tarik sistem motivasi yang bertentangan. Kadang-kadang agar diterima
oleh teman-temannya, siswa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh pengajar.
Dalam hal ini pengajar sebaiknya melibatkan pimpinan siswa dalam aktivitas yang
berguna (seperti menyusun tes, mewakili sekolah dalam pameran ilmiah, dan
sebagainya), sehingga teman-temannya akan meniru melakukan hal-hal positif.
11. Perkecil konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan dari keterlibatan siswa,
yaitu antara lain :
a. Kehilangan harga diri karena gagal memahami suatu gagasan atau memecahkan
suatu permasalahan dengan tepat;
b. Ketidaknyamanan fisik, seperti duduk terlalu lama, mendengar dalam ruangan
yang akustiknya buruk, melihat ke papan tulis yang terlalu jauh;
c. Frustrasi karena tidak mungkin mendapatkan penguatan (reinforcement);
d. Teguran guru bahwa siswa tidak mungkin mengerti sesuatu;
e. Harus berhenti di tengah-tengah aktivitas yang menarik;
f. Harus melakukan ujian yang materi dan gagasan-gagasannya belum pernah
diajarkan;
g. Harus mempelajari materi yang terlalu sulit bagi tingkat kemampuannya;
h. Guru tidak melayani permintaan siswa akan pertolongan;
i. Harus melakukan tes yang pertanyaan-pertanyaannya tidak dapat dimengerti atau
yang soal-soalnya terlalu remeh;
j. Tidak mendapatkan umpan balik dari pengajar;
k. Harus belajar dengan kecepatan yang sama dengan siswa-siswa yang lebih
pandai;
l. Harus bersaing dalam situasi di mana hanya beberapa orang siswa saja yang dapat
sukses;
m. Dikelompokkan bersama siswa-siswa yang kurang pandai dibandingkan dirinya;
n. Harus duduk mendengarkan presentasi guru yang membosankan;
o. Harus menghadapi pengajar yang tidak menaruh minat pada mata pelajaran yang
diajarkannya;
p. Harus bertingkah laku dengan cara yang lain daripada tingkah laku model
(pengajara atau pimpinan siswa).
12. Pengajar perlu memahami dan mengawasi suasana sosial di lingkungan sekolah,
karena hal ini besar pengaruhnya atas diri siswa.
7
8. 13. Pengajar perlu memahami hubungan kekuasaan antara guru dan siswa; seorang akan
dapat mempengaruhi motivasi orang lain bila ia memiliki suatu bentuk kekuasaan
sosial (French & Raven, 1959).
B. MINAT
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterkaitan pada suatu hal atau
aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu
hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat
hubungan tersebut, semakin besar minat muncul.
Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan
bahwa siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan
melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Siswa yang memiliki minat terhadap subyek
tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subyek
tersebut.
Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. Minat terhadap
sesuatu dipelajari dan mempengaruhi belajar selanjutnya serta mempengaruhi penerimaan
minat-minat baru. Jadi minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan menyokong
belajar selanjutnya. Walaupun minat terhadap sesuatu hal tidak merupakan hal yang
hakiki untuk dapat mempelajari hal tersebut, asumsi umum menyatakan bahwa minat
akan membantu seseorang mempelajarinya.
Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu siswa
melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan untuk dipelajarinya dengan
dirinya sendiri sebagai individu. Proses ini berarti menunjukkan pada siswa bagaimana
pengetahuan atau kecakapan tertentu mempengaruhi dirinya, melayani tujuan-tujuannya,
memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Bila siswa menyadari bahwa belajar merupakan
suatu alat untuk mencapai beberapa tujuan yang dianggapnya penting, dan bila siswa
melihat bahwa hasil dari pengalaman belajarnya akan membawa kemajuan pada dirinya,
kemungkinan besar ia akan berminat (dan bermotivasi) untuk mempelajarinya.
Meningkatkan Minat Siswa
Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk
membangkitkan minat pada suatu subyek yang baru adalah dengan menggunakan minat-
minat siswa yang telah ada. Misalnya siswa menaruh minat pada olahraga balap mobil.
Sebelum mengajarkan percepatan gerak, pengajar dapat menarik perhatian siswa dengan
menceritakan sedikit mengenai balap mobil yang baru saja berlangsung, kemudian sedikit
demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran yang sesungguhnya.
Di samping memanfaatkan minat yang telah ada, Tanner & Tanner (1975)
menyarankan agar para pengajar juga berusaha membentuk minat-minat baru pada diri
siswa. Ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada siswa mengenai
hubungan anatara suatu bahan pelajaran yang akan diberikan dengan bahan pelajaran
8
9. yang lalu, menguraikan kegunaannya bagi siswa di masa yang akan datang. Rooijakkers
(1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dengan cara menghubungkan bahan
pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan siswa.
Siswa, misalnya, akan menaruh perhatian pada pelajaran tentang gaya berat, bila hal inu
dikaitkan dengan peristiwa mendaratnya manusia pertama di bulan.
Bila usaha-usaha di atas tidak berhasil, pengajar dapat memakai insentif dalam
usaha mencapai tujuan pengajaran. Insentif meruapakan alat yang dipakai untuk
membujuk seseorang agar mau melakukan sesuatu yang tidak meu melakukannya atau
yang tidak dilakukannya dengan baik. Diharapkan pemberian insentif ini akan
membangkitkan motivasi siswa, dan mungkin minat terhadap bahan yang akan diajarkan
akan muncul.
Studi-studi eksperimental menunjukkan bahwa siswa-siswa yang secara teratur
dan sistematis diberi hadiah karena telah bekerja dengan baik atau karena perbaikan
dalam kualitas pekerjaannya, cenderung bekerja lebih baik daripada siswa-siswa yang
dimarahi atau dikritik karena pekerjaannya yang buruk atau karena tidak adanya
kemajuan. Menghukum siswa karena hasil kerjanya yang buruk tidak terbukti efektif,
bahkan hukuman yang terlalu kuat dan sering lebih menghambat belajar. Tetapi hukuman
yang ringan masih lebih baik daripada tidak ada perhatian sama sekali. Hendaknya
pengajar bertindak bijaksana dalam menggunakan insentif. Insentif apa pun yang dipakai
perlu disesuaikan dengan diri siswa masing-masing.
C. KONSEP DIRI DAN ASPIRASI
Konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki seseorang mengenai
dirinya sendiri. Burns (1977) mengatakan :
“the self concept refers to the connection of attitudes and beliefs we hold about
ourselves.”
Konsep ini merupakan suatu kepercayaan mengenai keadaan diri sendiri yang relative
sulit diubah. Konsep diri tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang
berpengaruh dalam kehidupannya, biasanya orang tua, guru, dan teman-temannya.
G.H. Mead (1934) menyebut konsep diri sebagai suatu produk sosial yang
dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologi.
Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap
lingkungan fisiknya dan refleksinya dari “dirinya sendiri” yang diterima dari orang-rang
yang berpengaruh pada dirinya.
Apakah konsep diri mempengaruhi hasil pendidikan ataukah hasil pendidikan
mempengaruhi konsep diri, masih sering dipertanyakan. Studi-studi korelasi
menunjukkan hubungan positif yang besar antara prestasi siswa dengan hasil pengukuran
konsep dirinya. Tapi data-data demikian tidak dapat menyatakan hubungan sebab akibat.
9
10. Bukti-bukti memperlihatkan bahwa keberhasilan di sekolah, khususnya untuk waktu yang
lama, seringkali menghasilkan suatu penerimaan yang tinggi akan dirinya sendiri dan
kemampuan dirinya.
Aspirasi merupakan harapan atau keinginan seseorang akan suatu keberhasilan
atau prestasi tertentu. Aspirasi mengerahkan dan mengarahkan aktivitas siswa untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dengan adanya taraf aspirasi tertentu, siswa akan
mencoba melakukan suatu usaha ke arah itu.
Taraf aspirasi seseorang ditentukan oleh banyak hal, antara lain oleh keberhasilan
yang dialami pada masa lalu. Umumnya penelitian-penelitian menunjukkan bahwa
keberhasilan dan kegagalan mempengaruhi diri seseorang secara berlainan. Bila
keberhasilan dialami secara teratur, maka kegagalan akan memacu seseorang untuk
berusaha lebih giat. Sebaliknya jika kegagalan dialami berulang kali, maka kegagalan
yang baru akan mengurangi motivasi orang yang bersangkutan.
Salah satu akibat dari kegagalan yang berulang kali adalah terenggutnya aspirasi
seseorang. Eksperimen yang dilakukan Hoppe (1930) menunjukkan tingkat aspirasi akan
bertambah setelah keberhasilan berturut-turut dalam tugas-tugas sejenis dan akan
menurun setelah kegagalan berturut-turut dalam tugas-tugas sejenis.
Akibat kegagalan yang berulang kali, orang jadi takut akan kegagalan-kegagalan
baru yang mungkin terjadi lagi, dengan demikian mereka umumnya memilih taraf
aspirasi yang jauh di atas atau jauh di bawah kapasitas yang sebenarnya (Atkinson, 1958;
Heckhausen, 1963). Tujuan-tujuan yang terlalu sulit atau terlalu mudah akan melindungi
harga diri individu yang bersangkutan; kegagalan dan ketakutan akan kegagalan lebih
sering melemahkan usaha siswa mencapai tujuan pengajaran.
Untuk menhindari akibat-akibat kegagalan, siswa biasanya memakai sejumlah
strategi, antara lain :
a. Menghindari penilaian diri sendiri, sehingga tidak akan mengetahui
kegagalannya.
b. Membandingkan diri dengan orang lain yang kemampuannya lebih rendah.
c. Hanya memilih tugas-tugas yang sangat mudah atau sangat sukar.
d. Menghindari partisipasi yang dapat menyebabkan kegagalan, atau
e. Menolak tanggung jawab untuk kegagalan yang terjadi (rasionalisasi).
Pendidik diharapkan dapat membimbing siswa-siswanya yang sering mengalami
kegagalan kearah keberhasilan dengan jalan mengajar mereka untuk mencita-citakan
tujuan-tujuan yang sesuai dengan prestasi masa lalu.
Di samping itu perlu pula diperhatikan bahwa situasi sosial yang terlalu menekan
juga cenderung merendahkan taraf aspirasi individu.
Mempengaruhi Konsep Diri dan Aspirasi Siswa
10
11. Dalam uraian di atas dikatakan bahwa konsep diri merupakan suatu kepercayaan
mengenai keadaan diri sendiri yang relatif sulit diubah. Siswa yang memiliki konsep diri
yang buruk dalam beberapa hal tampaknya menolak pengalaman-pengalaman suksesnya
pada pertama kali. Akan tetapi perubahan yang menetap dalam prestasinya akan
membawa perubahan pada sikap terhadap diri sendiri.
Studi dari Meidnenbaum membuktikan bahwa bila siswa dibantu menyatakan hal-
hal yang positif mengenai dirinya sendiri dan diberikan penguatan (reinforcement), maka
hal ini akan menghasilkan suatu konsep diri yang lebih positif. Namun perlu diingat
bahwa perubahan dalam tingkah laku hanya akan diikuti dengan perubahan konsep diri,
bila sesuai dengan kenyataan. Perubahan akan mudah dilakukan bila konsep diri yang
dimiliki siswa tidak realistis.
Telah dikatakan bahwa konsep diri tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-
orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Penelitian Pederson (1960) dan
Zahran (1967) memperlihatkan bahwa guru mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
konsep diri siswa; guru dapat meningkatkan atau menekannya, dengan perkataan lain
guru dapat mempengaruhi dasar aspirasi dan penampilan siswa.
Pengajar harus sadar akan hal ini dan secara berhati-hati mengamati keadaan
lingkungan sekolah, sehingga peristiwa-peristiwa traumatic yang dapat merendahkan
konsep diri dapat dikurangi. Kehangatan suasana lingkungan akan sangat membantu
siswa mengembangkan konsep diri yang positif.
Dengan demikian konsep diri yang positif diharapkan siswa dapat pula memiliki
aspirasi yang cukup realistis. Aspirasi yang cukup realistis dapat pula dimiliki siswa
apabila pengajar mau menciptakan kesempatan bagi siswa-siswanya, terutama yang
seringkali mengalami kegagalan untuk bisa mencapai sukses. Penelitian membuktikan
bahwa siswa yang berhasil akan memilih taraf aspirasi yang sesuai dengan
kemampuannya.
D. KECEMASAN
Selain mempengaruhi tingkat aspirasi, situasi belajar yang menekan juga
cenderung menimbulkan kecemasan pada diri siswa. Spielberger (1966) membedakan
kecemasan atas dua bagian; kecemasan sebagai suatu sifat (trait anxiety), yaitu
kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa terancam oleh sejumlah kondisi yang
sebenarnya tidak berbahaya, dan kecemasan sebagai suatu keadaan (state anxiety), yaitu
suatu keadaan atau kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai
dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat
subyektif, dan meningginya aktivitas sistem saraf otonom. Sebagai suatu keadaan,
kecemasan biasanya berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan yang khusus,
misalnya situasi tes.
Rasa cemas besar pengaruhnya pada tingkah laku siswa. Penelitian-penelitian
yang dilakukan Sarason dan kawan-kawan membuktikan bahwa siswa-siswa dengan
11
12. tingkat kecemasan yang tinggi tidak berprestasi sebaik siswa-siswa dengan tingkat
kecemasan yang rendah pada beberapa jenis tugas, yaitu tugas yang ditandai dengan
tantangan, kesulitan, penilaian prestasi, dan batasan waktu. Sarason dan kawan-kawan
memberikan suatu tugas yang meminta pemikiran analitis pada siswa-siswa dengan
tingkat kecemasan yang tinggi dan rendah, dengan memberikan batasan waktu dan tanpa
batasan waktu. Siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi membuat lebih
banyak kesalahan pada situasi waktu yang terbatas, sedangkan siswa-siswa dengan
tingkat kecemasan rendah labih banyak membuat kesalahan pada situasi waktu yang
tidak pantas. Interaksi itu jelas menunjukkan kelemahan siswa-siswa dengan tingkat
kecemasan yang tinggi dalam situasi yang sangat menekan.
Data yang dikumpulkan Spielberger (1966) menunjukkan bahwa pada tahap di
mana pekerjaan sekolah paling menantang bagi siswa (tidak terlalu sulit atau terlalu
mudah), siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang rendah berprestasi lebih baik
daripada siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi.
Flanders (1951) menyarankan pada pengajar untuk memberikan kehangatan dan
dorongan serta sdikit kritik yang diperlukan pada siswa-siswa dengan tingkat kecemasan
yang tinggi, agar mereka dapat berprestasi dengan sebaik-baiknya.
Kirkland (1971) membuat suatu kesimpulan mengenai hubungan antara tes,
kecemasan, dan hasil belajar :
1. Tingkat kecemasan yang sedang biasanya mendorong belajar, sedangkan tingkat
kecemasan yang tinggi mengganggu belajar;
2. Siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang rendah lebih merasa cemas dalam
menghadapi tes daripada siswa-siswa yang pandai;
3. Bila siswa cukup mengenal jenis tes yang akan dihadapi, maka kecemasan akan
berkurang;
4. Pada tes-tes yang mengukur daya ingat, siswa-siswa yang sangat cemas memberikan
hasil yang lebih baik daripada siswa-siswa yang kurang cemas. Pada tes-tes yang
membutuhkan cara berpikir yang fleksibel, siswa-siswa yang sangat cemas
mendapatkan hasil yang lebih buruk;
5. Kecemasan terhadap tes bertambah bila hasil tes dipakai untuk menentukan tingkat-
tingkat siswa.
Struktur juga memiliki peranan penting sehubungan dengan kecemasan
(Dowaliby & Schumer, 1973). Dalam lingkungan belajar yang tidak terstruktur, siswa
dengan tingkat kecemasan yang tinggi prestasinya buruk. Pengajar harus sadar bahwa
alat-alat bantu ingatan, pengajaran yang sistematis , dan kesempatan praktek dapat
membantu menghilangkan tekanan yang dirasakan oleh siswa dengan tingkat kecemasan
tinggi.
Menghilangkan Kecemasan Siswa
12
13. Dalam proses belajar mengajar kita tidak dapat melepaskan diri dari tes. Selain
untuk evaluasi, tes juga merupakan salah satu cara pengajar untuk memotivasi dan
membimbing siswa dalam belajar. Sebagian pengajar percaya bahwa tes yang sering akan
menghasilkan kebiasaan belajar yang baik.
Victor Nol (1939) dalam studinya tidak menemukan hubungan antara frekuensi
tes dan prestasi pada siswa-siswa dengan kecerdasan rata-rata; tapi bagi siswa-siswa
dengan kemampuan rendah, tes yang sering dilakukan bukan memperbaiki prestasinya.
Akan tetapi sebagian orang berpendapat bahwa tes seringkali menimbulkan kecemasan
dan dengan demikian mengganggu belajar siswa. Pendapat demikian tidak seluruhnya
benar, beberapa studi menunjukkan bahwa kebanyakan siswa menerima tes sebagai
sesuatu yang menolong.
Studi Feldhusen (1964) mengenai efek ujian mingguan atas sikap dan
keberhasilan siswa menunjukkan bahwa 80% siswa menganggap ujian membantu mereka
untuk belajar lebih banyak, 20% menganggap ujian tidak menyebabkan mereka belajar
lebih banyak dari biasanya.
Pengajar yang efektif harus dapat menciptakan minat dan motivasi yang cukup
pada siswa untuk berprastasi, tanpa menciptakan keadaan-keadaan yang menekan. Di
bawah ini terdapat beberapa saran yang mungkin dapat membantu memotivasi siswa
untuk menyiapkan diri dan melaksanakan tes tanpa merasa cemas :
1. Tes harus dimaksudkan untuk diagnosa, bukan untuk menghukum siswa yang gagal
mencapai harapan-harapan guru dan orang tua.
2. Hindari menentukan berhasil atau tidaknya siswa hanya dari hasil tes.
3. Buatlah catatan pribadi pada setiap lembar jawaban tes yang menyarankan siswa
untuk tetap berusaha dengan baik atau harus meningkatkan usahanya.
4. Yakinkan bahwa setiap pertanyaan mengukur hal yang penting yang telah diajarkan
kepada siswa.
5. Hindari pelaksanaan ujian tanpa pemberitahuan.
6. Jadwalkan pertemuan-pertemuan pribadi dengan siswa sesering mungkin untuk
mengurangi kecemasan dan untuk mengarahkan belajar apabila perlu.
7. Hindari membanding-bandingkan siswa yang dapat menyinggung perasaan.
8. Tekankanlah kelebihan-kelebihan siswa, bukan kelemahan-kelemahannya.
9. Kurangi peranan ujian-ujian yang bersifat kompetitif bila siswa tidak sanggup
bersaing.
10. Rahasiakan taraf dan nilai-nilai siswa dari siswa-siswa lainnya.
11. Beri pada siswa kemungkinan untuk memilih aktivitas-aktivitas yang mempunyai
nilai pengajar yang sebanding.
13
14. E. SIKAP
Faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah sikap. Sikap
merupakan sesuatu yang dipelajari, dan sikap menentukan bagaimana individu bereaksi
terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan.
Pada umumnya rumusan-rumusan mengenai sikap mempunyai persamaan unsur,
yaitu adanya kesediaan untuk berespon terhadap suatu situasi. Triandis (1971)
mendefinisikannya sebagai berikut :
“an attitude is an idea charged with emotion which predisposes a class of actions
to a particular class of social situations.”
Rumusan di atas menyatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen, yaitu
komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen tingkah laku. Sikap selalu
berkenaan dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan
positif atau negatif. Orang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek yang bernilai
dalam pemandangannya, dan ia akan bersikap negatif terhadap objek yang dianggapnya
tidak bernilai atau juga merugikan. Sikap ini kemudian mendasari dan mendorong kea
rah sejumlah perbuatan yang satu sama lainnya berhubungan. Hal yang menjadi objek
sikap dapat bermacam-macam. Sekalipun demikian, orang hanya dapat mempunyai sikap
terhadap hal-hal yang diketahuinya. Jadi harus ada sekedar informasi pada seseorang
untuk dapat bersikap terhadap suatu objek. Informasi merupakan kondisi pertama untuk
suatu sikap. Bila berdasarkan informasi itu timbul perasaan positif atau negatif terhadap
suatu objek dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu, terjadilah
sikap.
Sikap terbentuk melalui bermacam-macam cara, antara lain :
1. Melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat pula melalui suatu pengalaman
yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatic);
2. Melalui imitasi, peniruan dapat terjadi tanpa sengaja, dapat pula dengan sengaja.
Dalam hal terakhir individu harus mempunyai minat dan rasa kagum terhadap mode,
di samping itu diperlukan pula pemahaman dan kemampuan untuk mengenal dan
mengingat model yang hendak ditiru. Peniruan akan terjadi lebih lancer bila
dilakukan secara kolektif daripada perorangan.
3. Melalui sugesti, di sini seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu
alasan dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari
seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya.
4. Melalui identifikasi, di sini seseorang meniru orang lain atau suatu organisasi atau
badan tertentu didasari suatu keterkaitan emosional sifatnya. Meniru dalam hal ini
lebih banyak dalam arti berusaha menyamai. Identifikasi seperti ini sering terjadi
antara anak dengan ayah, pengikut dengan pemimpin, siswa dengan guru, antara
anggota suatu kelompok dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang
dianggap paling mewakili kelompok yang bersangkutan.
14
15. Dari uraian di atas jelaslah, bahwa aspek afektif pada diri siswa besar peranannya
dalam pendidikan, dan karenanya tidak dapat kita abaikan begitu saja. Pengukuran
terhadap aspek ini amat berguna dan lebih dari itu kita harus memanfaatkan pengetahuan
kita mengenai karakteristik-karakteristik efektif siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.
Mempengaruhi Sikap Siswa
Merangsang perubahan sikap pada diri seseorang bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan, karena ada kecenderungan sikap-sikap untuk bertahan. Ada banyak hal yang
menyebabkan sulitnya mengubah suatu sikap, antara lain :
1. Adanya dukungan dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan. Manusia selalu
ingin mendapatkan respond an penerimaan dari lingkungan, dank arena itu ia akan
berusaha menampilkan sikap-sikap yang dibenarkan oleh lingkungannya. Keadaan
semacam ini membuat orang tidak cepat mengubah sikapnya.
2. Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang (misalnya
‘egodefensive’).
3. Bekerjanya asas selektivitas.
Seseorang cenderung untuk tidak mempersepsi data-data baru yang mengandung
informasi yang bertentangan dengan pandangan-pandangan dan sikap-sikapnya yang
telah ada. Kalaupun sampai dipersepsi, biasanya tidak bertahan lama, yang bertahan
lama adalah informasi yang sejalan dengan pandangan atau sikapnya yang sudah ada.
4. Bekerjanya prinsip mempertahankan keseimbangan.
Bila kepada seseorang disajika informasi yang dapat membawa suatu perubahan
dalam dunia psikologinya, maka informasi itu hanya bertahan sementara dan hanya
akan menyebabkan perubahan-perubahan yang seperlunya saja.
5. Adanya kecenderungan seseorang untuk menhindari kontak dengan data yang
bertentangan dengan sikap-sikapnya yang telah ada (misalnya tidak mau menghadiri
ceramah mengenai hal yang tidak disetujuinya).
6. Adanya sikap yang tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan
pendapat-pendapatnya sendiri.
Ada beberapa metode yang dipergunakan untuk mengubah sikap, antara lain :
1. Dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan. Caranya dengan
memberikan informasi-informasi baru mengenai objek sikap, sehinggan komponen
kognitif menjadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan akan merangsang komponen
afektif dan komponen tingkah lakunya.
2. Dengan cara mengadakan kontak langsung denga objek sikap. Dalam cara ini
komponen afektif turut pula dirangsang. Cara ini paling sedikit akan merangasang
orang-orang yang bersikap anti untuk berpikir lebih jauh tentang objek sikap yang
tidak mereka senangi.
15
16. 3. Dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku-tingkah laku baru yang tidak
konsisten dengan sikap-sikap yang sudah ada. Kadang-kadang ini dapat dilakukan
melalui kekuatan hukum. Dalam hal ini kita berusaha langsung mengubah komponen
tingkah lakunya.
Meskipun terdapat banyak faktor yang menyebabkan sikap cenderung bertahan,
namun dalam kenyataannya tetap terjadi perubahan-perubahan sikap sebagaiman yang
terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan zaman akan membawa perubahan dalam hal-hal yang dibutuhkan dan
diinginkan oleh orang-orang pada saat tertentu, juga akan terjadi perubahan dalam sikap
mereka terhadap berbagai objek. Ini menunjukkan bahwa usaha mengubah sikap perlu
dikaitkan pula dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang akan diusahakan
perubahan sikapnya. Selain itu perlu pula ditelaah arah dari perubahan yang diinginkan.
Biasanya perubahan yang konkuren (misalnya suatu sikap positif ingin dibuat lebih
positif atau sikap negatif akan dibuat lebih negatif) lebih mudah dicapai daripada
perubahan yang inkonkuren (misalnya sikap yang negatif ingin diubah menjadi poditif,
atau sebaliknya).
Para ahli mengatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sikap, pengajaraperlu
bertindak sebagai seorang dignostikus dan terapis. Mula-mula harus ditetapkan makna
fungsional dari sikap-sikap yang ada dan ingin dirubah, bagi siswa yang memiliki sikap
tersebut. Kemudian diteliti kebutuhan-kebutuhan apa yang dipuaskan oleh sikap-sikap
yang ingin diubah. Teliti pula perasaan-perasaan yang bagaimanakah yang menyertai
sikap-sikap tersebut. Juga dukungan lingkungan terhadap sikap-sikap tersebut perlu
diketahui.
Bila diagnosis tidak tepat, maka perubahan yang diharapkan sulit akan terjadi.
Dalam hal ini tidak ada suatu pegangan yang pasti untuk menghindarkan kekeliruan
dalam diagnosis. Saran yang dapat diberikan adalah mengumpulkan informasi selengkap
mungkin mengenai sifat dan latar belakang sikap yang ingin diubah. Di samping itu jita
perlu mempertimbangkan pengarahan masing-masing komponen sikap yang
bersangkutan.
---xXx---
16