Pedoman ini memberikan panduan untuk mencegah dan mengendalikan infeksi tuberkulosis di rumah sakit dengan mengatur tata kelola administrasi, lingkungan, dan perlindungan diri untuk pasien, pengunjung, dan petugas kesehatan guna mencegah penularan penyakit tuberkulosis di lingkungan rumah sakit."
2. TIM PENYUSUN
Dr. Farid W. Husain, Sp.B
( Direktur Jendral Bina Pelayanan Medik, Depkes RI )
Dr. Mulya A. Hasjmy, Sp.B, M.Kes
( Sekretaris Ditjen Bina Pelayanan Medik, Depkes RI )
Dr. K. Mohammad Akib, Sp.B, MARS
( Direktur Bina Pelayanan Medik Spesialistik, Depkes RI )
Drg. Sophia Hermawan, M.Kes
( Kepala Subdit Bina Yanmed Spesialistik di RS Khusus, Depkes RI )
Dr. Embry Netty, M.Kes
(Kepala Subdit Bina Yanmed Dasar Institusi, Depkes RI )
DR. dr. Astrid Sulistomo, MPH, SpOK
( JHPIEGO – FKUI IKK )
Dr. Pancho Kaslam, SpOG, MSc.HM
( Konsultan Kemenkes RI )
Dr. Bimo, MPH
( JHPIEGO )
Dr. Sardikin Giriputro, Sp.P
( RS. Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso )
Dr. Dalima A.W. Astrawinata, Sp.PK, M.Epid
( Perdalin Jaya – RSCM / FKUI )
Dr. Erlina Burhan, Sp.P
( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia )
Dr. Siti Nadia Wiweko
(Kepala Subdit Pengendalian Malaria, Depkes RI )
Dr. Soeko W. Nindito, MARS
( Kepala Seksi Standarisasi RS Khusus, Depkes RI )
Drg. Wahyuni Prabayanti, MARS
( Kapala Seksi Bimbingan & Evaluasi RS Khusus, Depkes RI )
i
3. KONTRIBUTOR
Prof. Dr. I. Made Jaya
Dr. Agustin Kusumayati, MSc, PhD
Dr. Endang Woro, Sp.PK
Dr. Bambang
Dr. I. Made Bagiada
Dr. Kurnia
Dr. Setia Putra
Dr. Aziza Aryani, Sp.PK
Dr. Dewi Puspitorini, Sp.P
Dr. Liliana Kurniawan, MHA, DTMH
Dr. Chandra Jaya
Dr. Wita Nursanthi Nasution
Dr. Ester Marini Lubis
Dr. Andriani Vita H.
Dr. Iin Dewi A.
Dr. Al Gazali
Dr. Fainal Wirawan, MM, MARS
Drs. Taufik Hidayat, SH
Costy Panjaitan, SKM, MARS
Edha Barapadang, AMK
Hutur J.W. Pasaribu, SE
Sumarno, S.Sos
Eny Juliati, SKM, MKM
Teguh P, SKM
Inel N, SKM, MKM
Ely S, SKM
Jamila Nurfitria, SE
GF FKM UI
GF FKM UI
RSUP Persahabatan, Jakarta
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
RSUP Sanglah, Denpasar
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar
RSUP H. Adam Malik, Medan
RSUD Pasar Rebo, Jakarta
RSPAD Gatot Subroto, Jakarta
Perdalin Jaya
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
KNCV
PIPSI Pusat
RSJPN Harapan Kita, Jakarta
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI
GF FKM UI
GF FKM UI
GF FKM UI
GF FKM UI
GF FKM UI
ii
4. KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat-Nya Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Tuberkulosis di Rumah Sakit telah selesai disusun.
Seperti kita ketahui bersama bahwa penanggulangan tuberkulosis (TB)
merupakan program nasional dan juga menjadi sasaran MDGs serta Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Berbeda dengan pelayanan medis terhadap
penyakit lainnya di rumah sakit, pelaksanaan pelayanan TB memiliki
kekhususan, karena pelayanan medis TB membutuhkan tatacara diagnosa
yang benar, waktu yang cukup lama bagi pasien dalam konsumsi obat, masa
kadaluwarsa obat yang pendek serta risiko MDR atau XDR TB dan lain-lain.
Oleh karena itu pelaksanaan penanggulangan TB di rumah sakit harus dapat
diselenggarakan secara optimal. Untuk mendukung pelaksanaan pelayanan
TB di rumah sakit perlu pula ditingkatkan pelayanan pencegahan dan
pengendalian infeksi TB sebagai upaya perlindungan pasien, pengunjung dan
petugas dari penularan TB di rumah sakit.
Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis di
Rumah Sakit dimaksudkan sebagai acuan untuk membantu para petugas
kesehatan di rumah sakit dalam tatakelola pencegahan dan pengendalian
infeksi tuberkulosis agar dapat terselenggara secara optimal.
Kementerian Kesehatan RI telah melibatkan seluruh stakeholder
rumah sakit dalam menyusun pedoman ini. Kami menyadari bahwa pedoman
ini belum sempurna, oleh karena itu sejalan dengan penerapannya
Kementerian Kesehatan RI akan terus melaksanakan monitoring dan evaluasi
serta melakukan revisi bila dibutuhkan pada waktunya.
Kami ucapkan terima kasih atas kerjasama antara Kementerian
Kesehatan RI dengan Perhimpunan profesi, Rumah Sakit baik pusat maupun
daerah, KNCV dan GF sehingga terwujudnya buku pedoman ini.
Jakarta, April 2010
Direktur Bina Pelayanan Medik
Spesialistik
Dr. Andi Wahyuningsih Attas, Sp.An
NIP. 195708021987102001
iii
8. DAFTAR ISI
Pengantar ........................................................................................ iii
Sambutan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik ........................ iv
Daftar Singkatan dan Istilah .............................................................. v
Bab I. Pendahuluan ....................................................................... 1
Latar belakang ........................................................... 1
Tujuan ........................................................................ 2
Sasaran ...................................................................... 2
Dasar Hukum ...................................................................... 2
Bab II. Situasi Tuberkulosis di Indonesia ........................................... 4
Epidemiologi ............................................................. 4
MDR TB ...................................................................... 5
Ko‐infeksi TB HIV ........................................................ 5
Bab III. Program Nasional TB ............................................................ 7
Kebijakan .................................................................. 7
Strategi ...................................................................... 9
Bab IV. Pengenalan Penyakit TB ....................................................... 10
Mikrobiologi .............................................................. 10
Penularan TB ............................................................. 10
Patofisiologi ............................................................... 11
Koinfeksi TB ‐ HIV ...................................................... 12
MDR TB ...................................................................... 12
Bab V. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB
di Rumah Sakit ....................................................................... 14
Pilar Pengendalian Administratif .............................. 16
Pilar Pengendalian Lingkungan ................................
18
Pilar Pengendalian Perlindungan Diri ....................... 25
Bab VI. Monitoring dan Evaluasi .....................................................
30
Bab VII Penutup ..............................................................................
33
Daftar Kepustakaan
(Contoh Rencana Kerja PPI TB )
Lampiran:
vii
9. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara
berkembang. Meskipun obat anti tuberculosis (TB) sudah ditemukan dan vaksinasi
Bacillus Calmette‐Guérin (BCG) telah dilaksanakan, TB tetap belum bisa diberantas habis.
Insidens TB yang terus meningkat menjadi penyakit re‐emerging sehingga Organisasi
Kesehatan Sedunia/WHO pada tahun 1995 mendeklarasikan TB sebagai suatu global
health emergency. Laporan WHO (2008) memperkirakan ada 9,2 juta pasien TB baru dan
4,1 juta diantaranya adalah pasien dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif dengan angka
kematian 1,7 juta pasien pertahun di seluruh dunia. Kondisi ini diperparah oleh kejadian
HIV yang semakin meningkat dan bertambahnya jumlah kasus kekebalan ganda kuman
TB terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama atau disebut Multidrug
Resistance TB (MDR) bahkan Extensively atau Extremely Drug Resistance (XDR), yaitu
resistensi terhadap OAT lini kedua. Keadaan ini akan memicu epidemi TB yang sulit dan
terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. Penyakit TB dan HIV
merupakan komitmen global dan nasional saat ini, dalam upaya mencapai target
Millenium Development Goals (MGDs) pada tahun 2015.
Upaya penanggulangan TB di Indonesia telah dijalankan mulai dari tahun 1969 dan sejak
tahun 1999 telah memakai strategi Directly Observed Treatment, Shortcourse
chemotherapy (DOTS). Meskipun demikian segala upaya tersebut sampai saat ini belum
menunjukkan keberhasilan yang diharapkan.
Petugas kesehatan (health care workers) yang menangani pasien TB merupakan
kelompok risiko tinggi untuk terinfeksi TB. Penularan infeksi Rumah Sakit
Mycobacterium tuberculosis dari pasien tuberkulosis (TB) ke petugas kesehatan sudah
diketahui sejak lama dan angka kejadiannya terus meningkat. Pada saat ini TB seringkali
merupakan penyakit akibat kerja (PAK) atau occupational disease untuk petugas
kesehatan. Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, karena akan mempengaruhi
kinerja dan produktifitas petugas kesehatan.
Untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi TB di Rumah Sakit (RS), penting dilakukan
upaya tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang efektif. Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) di Atlanta, merekomendasikan tindakan pencegahan
penularan nosokomial TB dengan 3 pilar, berupa pengendalian administratif, lingkungan
dan perlindungan diri. Selain itu, pencegahan dan pengendalian infeksi menjadi sesuatu
yang penting dari upaya penanggulangan TB nasional, dengan munculnya dampak beban
ganda epidemik TB HIV dan kasus MDR TB dan XDR‐TB, yang berhubungan dengan
tingginya angka kesakitan dan kematian pada pasien Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Belum adanya sistem surveilens terhadap petugas kesehatan yang sakit sebagai
akibat pekerjaannya, serta belum semua fasilitas kesehatan menerapkan pengendalian
infeksi merupakan tantangan kedepan bagi kita semua. Sehingga dirasakan perlu ada
kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan.
1
10. Di Indonesia inisiasi penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi telah dimulai oleh
Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik dengan diterbitkannya kebijakan dan pedoman
pengendalian infeksi pada tahun 2008. Sehubungan dengan permasalahan penyakit TB
di atas, maka Direktorat Bina Yanmed Spesialistik menganggap perlu menyusun buku
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Rumah Sakit.
1.2.
TUJUAN
‐ Umum : Meningkatkan mutu layanan Rumah Sakit berkaitan dengan pencegahan dan
pengendalian infeksi Tuberkulosis di Rumah Sakit
‐ Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di RS (manajemen dan
petugas kesehatan) dalam hal pencegahan dan pengendalian infeksi TB di RS.
2. Menurunkan angka kejadian infeksi TB dan TB‐HIV di RS.
1.3.
SASARAN
Pimpinan, pengambil kebijakan di rumah sakit, petugas kesehatan dan pelaksana
pelayanan kesehatan lainnya di rumah sakit.
1.4.
DASAR HUKUM
1. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 4431).
2. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4437).
3. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 5063).
4. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 5072).
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/ Per/XI/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1045/Menkes/Per/XI/2006
tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan.
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit.
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165.A./Menkes/SK/X/2004 tentang Komisi
Akreditasi Rumah Sakit.
2
11. 11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman
Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Lainnya.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Lainnya.
13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Di Rumah Sakit.
14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
15. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang Ekspansi TB
Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru.
16. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor YM.02.08/III/673/07
tentang Penatalaksanaan TB di Rumah Sakit.
17. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik nomor HK.03.01/III/3744/08
tentang Pembentukan Komite PPI RS dan Tim PPI RS.
3
12. BAB II
SITUASI TUBERKULOSIS DI INDONESIA
2.1. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1999, menurut WHO jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% jumlah pasien
TB di dunia dan merupakan ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan China. Diperkirakan
saat ini jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia dan
setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru. Insidens kasus TB BTA positif sekitar 107 per
100.000 penduduk. Data Survei Tuberkulosis Nasional tahun 2004 masih mendapatkan
bahwa kasus baru di Indonesia rata rata 110 per 100,000 penduduk dengan kematian
100,000 pertahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke, baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Kondisi ini diperparah oleh kejadian HIV yang semakin
meningkat dan bertambahnya jumlah kasus kekebalan ganda kuman TB terhadap OAT atau
MDR‐TB bahkan XDR ‐TB. Keadaan ini akan memicu epidemi TB yang sulit dan terus menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang utama.
Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah,
yaitu:
1) Wilayah Sumatera
: 160 per 100.000 penduduk
2) Wilayah Jawa dan Bali
: 110 per 100.000 penduduk
3) Wilayah Indonesia Timur
: 210 per 100.000 penduduk.
Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk.
Mengacu pada hasil survei prevalensi tahun 2004, diperkirakan terjadi penurunan insiden TB
BTA positif secara Nasional 3‐4 % setiap tahunnya.
Upaya Penanggulangan TB secara Nasional telah dimulai sejak tahun 1999 di Puskesmas dan
sejak tahun 2004 mulai dilaksanakan secara bertahap di RS Paru/BP4 serta RS umum
lainnya. Umumnya Puskesmas saat in melayani pengobatan pasien TB tanpa komplikasi,
tetapi sejak tahun 2009, ketika muncul kasus‐kasus TB MDR maka Puskesmas juga mulai
diikutkan dalam pengobatan bagi pasien TB‐MDR. Sejalan dengan kebijakan program
penanggulangan HIV/AIDS, puskesmas juga mulai terlibat dalam upaya pengobatan pasien
HIV/AIDS. Pada tingkatan pelayanan RS/RSParu/BP4, sebagian fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut, selain mengobati pasien TB baru biasa, juga memberikan pengobatan bagi pasien
TB‐MDR dan pasien dengan koinfeksi TB‐HIV.
2.2. MULTI DRUG RESISTANCE TUBERKULOSIS
Prevalensi TB‐MDR diperkirakan 3 kali lebih besar dari insidensi yang diketahui, yaitu sekitar
1 juta. Saat ini menurut WHO, Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27 negara
dengan jumlah kasus MDR tertinggi. Data awal, survei resistensi obat OAT lini pertama (Drug
Resistant Survey‐ DRS) yang dilakukan di Jawa Tengah, menunjukkan angka TB‐MDR pada
4
13. kasus baru yaitu 1,9%, angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya
yaitu 16,3%.
Pengobatan MDR TB di Indonesia saat ini terutama dilaksanakan di RS rujukan dan
pengobatan lanjutan dapat dilanjutkan di puskesmas terdekat. Hal ini karena pengobatan
pasien TB‐MDR lebih rumit dan kompleks karena memiliki waktu pengobatan sampai
dengan 24 bulan dan sering disertai efek samping obat lini kedua pada pasien. Hanya saja
saat ini fasilitas sarana pelayanan kesehatan terutama RS Rujukan masih belum menerapkan
pengendalian infeksi. Sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan pada sarana pelayanan
kesehatan untuk mencegah terjadinya transmisi pasien TB MDR dan resiko berkembangnya
TB‐XDR pada pasien, keluarga pasien, pasien lainnya serta petugas kesehatan.
Meskipun demikian situasi TB di dunia semakin memburuk karena jumlah kasus yang
semakin meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama di negara
dengan masalah TB yang besar seperti Indonesia. Meskipun kuman penyebab sudah
diketahui dan paduan OAT yang terbukti ampuh telah tersedia dengan durasi pengobatan
menjadi lebih singkat yaitu 6 bulan serta ditambah dengan pelaksanaan strategi DOTS yang
terbukti efektif namun kejadian kasus TB belum terkendali secara optimal.
2.3. KO‐INFEKSI TB HIV
Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia meskipun
secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah, diperkirakan pada tahun 2006,
prevalensinya sekitar 0,16% pada orang dewasa. Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV
di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal jumlah kasus maupun faktor‐faktor
yang mempengaruhi. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi
dengan kecenderungan menjadi epidemi meluas pada beberapa propinsi.
Upaya penanggulangan HIV umumnya dilaksanakan di RS dan baru beberapa daerah saja
yang sudah memiliki pelayanan HIV di fasilitas pelayanan Puskesmas. Seperti diketahui,
pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat rentan dengan berbagai penyakit termasuk TB.
Dari data yang ada diketahui bahwa epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap
peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di
masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak
bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa
keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak
dan penyebab utama kematian pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS).
Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan keharusan agar mampu menanggulangi
kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien. Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus
baru TB per 100.000 penduduk dengan perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar
0,8% secara nasional (WHO Report 2007). Sampai saat ini belum ada angka nasional yang
menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang sero prevalensi yang
dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2006, menunjukkan angka prevalensi HIV sebesar 2%
di antara pasien TB. Sedangkan survei yang sama di propinsi Papua menunjukkan angka
sebesar 15,4%, di Jawa Timur 1,8% dan di Bali sebesar 3,9%. Berdasarkan Laporan Triwulan,
pengidap infeksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2008 (Depkes RI), infeksi
5
14. oportunistik terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367 kasus di antara 11868
kasus AIDS.
Sehubungan dengan kegiatan kolaborasi TB‐HIV maka fasilitas pelayanan kesehatan juga
harus dapat memastikan tidak terjadinya pertukaran infeksi pada pasien HIV/AIDS dengan
pasien TB maupun pasien TB‐MDR, serta antara pasien HIV/AIDS yang telah memiliki
penyakit TB maupun TB‐MDR.
6
15. BAB III
PROGRAM NASIONAL TUBERKULOSIS
3.1.
KEBIJAKAN
3.1.1. Kebijakan Program Penanggulangan TB Nasional:
Program Penanggulangan TB Nasional berdasarkan pada kebijakan‐kebijakan sebagai
berikut :
1. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi
dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program dalam kerangka
otonomi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta
menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulangan TB.
4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga
mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR‐TB.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh
seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit
Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru
Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS).
6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan
kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta
dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB).
7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien
secara cuma‐cuma dan dijamin ketersediaannya.
9. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
10. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan terhadap TB.
11. Penanggulangan TB harus berkolaborasi dengan penanggulangan HIV.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.
3.1.2. Kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi TB:
Pada prinsipnya kebijakan pengendalian infeksi penyakit TB dibagi dalam 3 kelompok besar
yaitu :
1. Kebijakan pada tingkatan nasional maupun subnasional
2. Kebijakan pada Fasilitas pelayanan kesehatan
3. Kebijkan pada keadaan/situasi khusus
7
16.
3.1.2.1 Kebijakan pengendalian infeksi pada tingkat nasional:
Pada tingkat ini umumnya kegiatan pengendalian infeksi dititik beratkan pada aspek
managerial, yang menjadi kebijakan umum pada 2 kelompok lainnnya. Kegiatan
pengendalian infeksi pada tingkat nasional maupun subnasional meliputi :
a. Adanya Tim Koordinasi teknis pelaksanaan kegiatan pengendalian infeksi disertai
dengan rencana kegiatan serta pendanaan yang jelas.
b. Memastikan fasilitas kesehatan telah memenuhi kontruksi, design, renovasi dan
penggunaan sesuai dengan aspek pengendalian infeksi
c. Melaksanakan surveilens TB bagi petugas kesehatan
d. Melaksanakan kegiatan advokasi, Komunikasi dan sosial mobilisasi yang dibutuhkan
untuk penerapan pengendalian infeksi.
e. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengendalian infeksi
f. Penelitan operasional
3.1.2.2. Kebijakan Pengendalian infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan:
Pengendalian infeksi pada fasilitas pelayanan dimulai dari aspek managerial yang berupa
adanya komitmen dan kepemimpinan dalam kegiatan pengendalian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatan itu sendiri.
Kegiatan lainnya berupa upaya pengendalian infeksi dengan 3 pilar utama yaitu
a. Pilar Pengendalian administratif
b. Pilar Pengendalian lingkungan
c. Pilar Pengendalian dengan Pelindung Diri
3.1.2.3. Pengendalian infeksi pada situasi/kondisi khusus
Pengendalian infeksi pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi
pada lapas/rutan, rumah penampungan sementara, barak‐barak militer, tempat‐tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya.
Kebijakan pengendalian infeksi pada situasi seperti ini lebih ditujukan spesifik untuk
keadaan masing‐masing, misalnya penerapan pengendalian infeksi di rutan dan lapas harus
memperhatikan perbedaan lama kontak antara napi yang berbeda. Kegiatan lain seperti
penapisan pada saat pemeriksaan awal napi merupakan bagian dari pencegahan dan
pengendalian infeksi pada situasi/kondisi khusus.
3.2. STRATEGI
Program Penanggulangan TB telah memiliki rencana strategi yang dituangkan dalam
Rencana strategi 2001‐2005 berfokus pada penguatan sumber daya, baik sarana dan
prasaran maupun tenaga, selain meningkatkan pelaksanaan strategi DOTS di seluruh UPK
untuk mencapai tujuan Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, yaitu Angka
Penemuan Kasus minimal 70% dan Angka Kesembuhan minimal 85%. Sehingga dalam jangka
waktu 5 tahun kedepan angka prevalensi TB di Indonesia dapat diturunkan sebesar 50%.
Pada tahun 2005 disusunlah Rencana strategi 2006‐2010 yang merupakan kelanjutan dari
Renstra sebelumnya, yang mulai difokuskan pada perluasan jangkauan pelayanan dan
kualitas DOTS. Untuk itu diperlukan suatu strategi dalam pencapaian target yang telah
ditetapkan, yang dituangkan pada tujuh strategi utama pengendalian TB, yang meliputi:
8
17. Ekspansi “Quality DOTS”
1. Perluasan dan Peningkatan pelayanan DOTS berkualitas
2. Menghadapi tantangan baru, TB‐HIV, MDR‐TB dll
3. Melibatkan Seluruh Penyedia Pelayanan
4. Melibatkan Pasien dan Masyarakat
Dan didukung dengan Penguatan Sistem Kesehatan
5. Penguatan kebijakan dan kepemilikan Daerah
6. Kontribusi terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan
7. Penelitian Operasional
Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan kegiatan yang termasuk dalam
strategi menghadapi TB‐HIV dan MDR‐TB serta upaya memperkuat sistim pelayanan
kesehatan secara menyeluruh.
9
18. BAB IV
PENGENALAN PENYAKIT TUBERKULOSIS
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis.
4.1. MIKROBIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis (MTb) merupakan batang tahan asam, tahan alkohol, tidak
bergerak, aerobik dan tidak membentuk spora. Pertumbuhannya lambat, membutuhkan
waktu 2‐6 minggu dalam media khusus. Mikobakteri penyebab penyakit pada manusia
mengakibatkan jaringan destrukstif secara perlahan (granuloma) yang dapat mengalami
nekrosis dengan ulserasi dan pembentukan kavitas. TBC paru dapat menyebar ke jaringan
lain di luar paru melalui aliran darah, limfe dan saluran cerna. MOTT (Mycobacteria Other
Than TB) adalah jenis mikrobakteri selain MTb atau M leprae yang dapat ditemukan sebagai
penyebab penyakit pada pasien dengan imunitas sangat rendah. MOTT terdiri dari 4 grup
yang masing‐masing terdiri dari beberapa spesies. Untuk kemudahan, identifikasi dilakukan
atas dasar kecepatan pertumbuhan dan reaksi terhadap cahaya. Mikobakteria saprofit yang
ditemukan di alam (tanah, air, makanan, binatang) jarang menyebabkan penyakit pada
manusia .
4.2. PENULARAN TUBERKULOSIS
Penularan MTb terjadi melalui udara (airborne) yang menyebar melalui partikel percik renik
(droplet nuclei) saat seseorang batuk, bersin, berbicara, berteriak atau bernyanyi. Percik
renik ini berukuran 1‐ 5 mikron dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam sampai
beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi terjadi bila seseorang menghirup percik
renik yang mengandung M.Tb dan akhirnya sampai di alveoli. Gejala timbul beberapa saat
setelah infeksi, umumnya setelah respons imun terbentuk 2‐10 minggu setelah infeksi.
Sejumlah kuman tetap dorman bertahun tahun yang disebut dengan infeksi laten.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi
percik renik di udara dan jumlah kuman yang terhirup, ventilasi udara, serta lamanya
pajanan. Makin dekat dengan sumber infeksi, makin lama waktu terpajan (dalam hari atau
minggu) akan meningkatkan risiko seseorang terinfeksi.
Keadaan yang dapat meningkatkan risiko penularan:
o TB Paru atau Laringitis TB
o Batuk produktif
o BTA positif
o Kavitas
o Tidak menutup hidung atau mulut saat batuk dan bersin
o Tidak mendapat OAT
o Tindakan intervensi ( induksi sputum,bronkoskopi, suction)
10
19. 4.2.1. Risiko Penularan Hospital‐Care Associated Infections (HAIs) TB pada petugas
kesehatan
Petugas yang mempunyai risiko untuk tertular:
o Perawat
o Dokter
o Mahasiswa kedokteran
o Petugas Laboratorium
o Petugas lain yang kontak dengan pasien
Faktor yang mempengaruhi:
o Frekuensi kontak langsung
o Masa kerja
o Kontak dengan pasien yang belum terdiagnosis dan belum diobati
Risiko penularan nosokomial dapat dikurangi dengan pengendalian infeksi, diagnosis dini,
dan pengobatan secepatnya pada pasien TB. Survei pada tenaga kesehatan mendapatkan
bahwa sebagian besar tidak mengetahui adanya panduan pencegahan dan pengendalian
infeksi di tempat kerja.
Tujuan utama pencegahan dan pengendalian infeksi TB adalah :
o Deteksi dini
o Pemberian OAT secepat mungkin
o Mencegah orang lain terinfeksi TB
4.3. PATOFISIOLOGI
Proses patogenik bermula dari menghirup aerosol yang terinfeksi. Basil akan berdiam di
alveoli dan diliputi oleh makrofag alveolar, jika dapat bertahan maka akan terjadi inisiasi
sistem imuniti innate, dan mulai terjadi pertumbuhan secara logaritme yang berlipat ganda
setiap 24 jam sampai makrofag pecah dan mengeluarkan bakteri. Makrofag baru akan
bergerak kearah basil dan akan terjadi siklus ulangan. Basil dapat menyebar melalui sistem
limfatik atau sistemik ke bagian tubuh yang lain. Setelah 3 minggu tubuh akan membentuk
imuniti spesifik terhadap bakteri. Ikatan MTb dan limfosit spesifik akan bergerak ke lokasi
infeksi mengelilingi dan mengaktifasi makrofag. Seiring dengan berlangsungnya infiltrasi
seluler, bagian tengah dari sel atau granuloma akan mengalami perkejuan dan nekrosis.
Pada banyak kasus, individu dengan daya tahan tubuh yang baik akan dapat menghentikan
pertumbuhan kuman berkisar di lokasi lesi primer dengan sedikit atau tanpa gejala penyakit.
Lesi awal ini yang nantinya mengalami resolusi atau menjadi kalsifikasi dan dapat saja masih
mengandung basil hidup dan individunya disebut menderita TB laten.
Lesi primer TB umumnya terdapat di bagian tengah dan bawah lapangan paru pada lokasi
subpleura. Lesi primer, saluran dan kelenjar limfa yang mengering akan membentuk
kompleks Ghon yang umumnya terdistribusi antara lubus atas dan lobus bawah namun agak
lebih banyak di paru kanan. Meskipun demikian selama minggu awal atau beberapa bulan
kemudian infeksi akan menjadi penyakit pada 10% kasus dan pasien akan mengalami gejala
yang khas seperti batuk, deman, letargi dan penurunan berat badan. Masih menjadi
perdebatan apakah kejadian penyakit TB pada orang dewasa karena reaktivasi focus Ghon
11
20. atau reinfeksi. Secara umum TB paru pada individu dewasa dianggap terjadi karena
reaktivasi. Hipotesis ini didukung oleh kenyataan bahwa basil tuberkel berkembang pada
40% nodul subapikal dan 5% pada fokus Ghon. Meskipun demikian reinfeksi masih bisa
terjadi.
Kaviti dapat terbentuk dengan diameter 3 sampai 10 cm yang biasanya terdapat di lobus
atas. Dinding kaviti terdiri dari jaringan granulasi dilapisi di bagian luar oleh jaringan fibrotik.
Kaviti kronik ditandai dengan dinding yang lebih tebal. Pada bagian tranversal kaviti
terdapat arteri aneurisma yang disebut arteri Rasmussen. Perdarahan mungkin terjadi
karena rembesan darah dari kapiler pada jaringan granulasi yang banyak atau berasal dari
pembuluh darah yang lebih besar yang terlibat dalam proses nekrotik.
4.4. KOINFEKSI TB‐ HIV
Pasien TB dan HIV perlu mendapat perhatian khusus. Jumlah pasien HIV terus bertambah
seiring dengan bertambahnya jumlah fasilitas konseling, pemeriksaan dan perawatan pasien
HIV, klinik terapi antiretroviral serta kelompok komuniti HIV sehingga angka kunjungan ke
fasilitas kesehatan maupun fasilitas umum ikut meningkat dibandingkan masa sebelumnya.
Pasien TB yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati sering ditemukan di pusat pelayanan
HIV sehingga akan menjadi sumber penularan. Tuberkulosis merupakan infeksi oprtunistik
yang paling sering menyebabkan kematian pasien HIV. Hasil penelitian di daerah dengan
prevalensi TB yang tinggi, sebanyak 30%‐40% pasien HIV akhirnya akan menderita TB. Pada
tahun pertama terinfeksi HIV resiko menderita TB adalah sebesar 2 kali lipat dan angka ini
terus meningkat dan dapat menjadi sumber penularan TB ke orang sekitarnya termasuk
petugas kesehatan.
Pada kasus koinfeksi TB HIV, obat antituberkulosis harus segera diberikan atau didahulukan
dibandingkan dengan pemberian ARV, tanpa mempertimbangkan penyakit mana yang
timbul terebih dahulu. Pemberian OAT dan ARV secara bersamaan harus
mempertimbangkan aspek interaksi obat, efek samping dan kegawat daruratan yang dapat
dilihat dari jumlah CD4.
4.5. TB MDR
Kekebalan kuman TB terhadap obat anti TB (OAT) mulai menjadi masalah seiring dengan
digunakannya Rifampisin secara luas semenjak tahun 1970‐an. Kekebalan ini dimulai dari
yang sederhana yaitu mono resisten sampai dengan MDR‐TB dan XDR‐TB. Terjadinya
kekebalan kuman salah satunya adalah akibat kesalahan penanganan pasien TB.
Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Kemungkinan terjadi
resistensi pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah sebesar 4 kali lipat,
sedangkan untuk terjadinya TB‐MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan
pasien yang belum pernah diobati. Pasien TB‐MDR sering tidak bergejala sebelumnya
sehingga tanpa diketahui dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain bahkan sebelum
ia menjadi sakit.
12
21. BAB V
PENATALAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB
DI RUMAH SAKIT
Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB sangatlah penting
peranannya untuk mencegah tersebarnya Mycobacterium tuberculosis ini. Hal ini penting
dilaksanakan bukan saja untuk mencegah penularan dari pasien ke petugas kesehatan saja,
tetapi juga untuk mencegah penularan dari pasien ke pasien. Dalam pelayanan tuberkulosis,
mengingat situasi TB di dunia yang makin memburuk dengan jumlah kasus yang meningkat
dan banyak diantaranya yang tidak berhasil disembuhkan dan menjadi MDR TB. Sesuai
dengan karakteristik penularan MTb melalui udaara, maka kewaspadaan transmisi airborne‐
lah yang harus menjadi fokus utama upaya PPI TB di fasilitas pelayanan kesehatan yang
memberikan pelayanan tuberkulosis.
Sebagai acuan dasar penatalaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi dipakai buku
“Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan
Lainnya”, Depkes 2008. Sedangkan sebagai acuan manajerial PPI dipakai buku “Pedoman
Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan
Lainnya”, Depkes 2008. Materi yang dimuat dalam Bab ini adalah khusus mengenai
pencegahan dan pengendalian infeksi TB (PPI TB) sebagai pelengkap.
Selain kedua acuan dasar diatas, dipakai juga sebagai acuan buku‐buku WHO guidelines
tentang Tuberculosis Infection Control, yaitu:
− World Health Organization. WHO policy on TB infection control in health‐care facilities,
congregate settings and households. WHO 2009
− World Health Organization. Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care
Facilities in Resource‐Limited Settings. Geneva, World Health Organization, 1999.
−
Tuberculosis Infection Control In The Era Of Expanding Hiv Care And Treatment ‐ Addendum to
WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource‐Limited
Settings. US Department of HHS,US CDC, US President’s Emergency Plan for AIDS Relief, The
World Health Organization and The International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease, 1999
Kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Rumah Sakit
Pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Rumah Sakit dimulai adanya komitmen dan
kepemimpinan oleh manajemen rumah sakit dalam bentuk dukungan manajerial yang
diikuti dengan dilaksanakannya tiga pilar pengendalian, yaitu administratif, lingkungan dan
perlindungan diri.
• Dukungan MANAJERIAL
Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif dalam kegiatan
PPI TB di rumah sakit.
• Pengendalian ADMINISTRATIF:
Untuk mengurangi pajanan TB dan kemungkinan terinfeksi melalui penerapan
kebijakan yang efektif dan dilaksanakannya prosedur PPI TB dengan benar
• Pengendalian LINGKUNGAN:
13
22. Pengendalian lingkungan dilakukan untuk mengurangi kadar percik renik MTb di
dimana ada kemungkinan kontaminasi udara
• PERLINDUNGAN DIRI:
Pengendalian Perlindungan diri adalah untuk melindungi petugas kesehatan yang
harus bekerja di lingkungan dengan kontaminasi percik renik di udara yang tidak
dapat dihilangkan seluruhnya dengan pengendalian administrasi dan lingkungan
5.1. DUKUNGAN MANAJERIAL
Dukungan manajerial bagi terlaksananya PPI TB adalah berupa penguatan dari upaya
manajerial bagi PPI sesuai dengan “Pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian
infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya”.
Upaya penguatan bagi PPI TB ini meliputi penetapan:
− Penanggung jawab PPI TB
Untuk PPI TB perlu ditunjuk kelompok PPI TB terdiri dari IPCO yang dibantu oleh
IPCN, yang bertanggung jawab untuk terlaksananya Rencana PPI TB
− Rencana PPI TB
5.1.1. RENCANA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Rencana PPI TB ini perlu disusun oleh kelompok PPI TB sebagai bagian dari dan terintegrasi
dengan Program PPI RS.
Rencana PPI TB ini meliputi:
1. Prosedur penyaringan pasien dengan Triase.
Segera setelah pasien datang di fasilitas pelayanan kesehatan adalah penting untuk
bisa segera mengenali orang yang mempunyai gejala TB, atau orang yang sedang
dalam investigasi TB maupun pengobatan TB, untuk dipisahkan dari pasien lain.
(baca prosedur penyaringan dengan Triase di lampiran)
2. Pendidikan pasien mengenai etiket batuk. Penyediaan tisu dan masker, serta tempat
pembuangan tisu maupun pembuangan dahak yang benar.
3. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang mempunyai
ventilasi baik .
4. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi mereka, sehingga waktu
mereka berada di fasilitas dapat dikurangi seminim mungkin.
5. Memberikan pelayanan segera bagi pasien dengan suspek TB, pastikan bahwa
proses investigasi diagnostik dilakukan dengan cepat, termasuk segera merujuk ke
tempat pemeriksaan diagnostik bila harus dibawa ketempat lain.
6. Menjalankan dan mempertahankan upaya pengendalian lingkungan (baca Pilar
Pengendalian Lingkungan)
7. Menjamin dilaksanakannya upaya perlindungan diri yang adekuat bagi petugas
kesehatan dan mereka yang bertugas ditempat pelayanan
8. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai TB dan Rencana Kerja TB bagi
semua petugas kesehatan. (baca Pelatihan Petugas mengenai TB di lampiran)
14
23. 9. Melakukan pemeriksaan kesehatan bagi petugas untuk penyaringan kemungkinan
terkena TB, serta menyediakan pelayanan bagi mereka. Termasuk juga pelayanan
VCT bagi petugas kesehatan, bila mereka memerlukannya, disertai dengan akses
terhadap ARV/pengobatan.
10. Melakukan pemantauan akan pelaksanaan Rencana Kerja PPI‐TB, dan melakukan
koreksi terhadap praktek yang tidak berjalan atau kegagalan menerapkan kebijakan
dan prosedur PPI TB.
Gambar 5.1. Poster Etiket Batuk
5.2. PILAR PENGENDALIAN ADMINISTRATIF
Pengendalian Administratif adalah upaya utama yang penting dilakukan untuk
mengurangi pajanan MTb kepada petugas kesehatan dan pasien, dengan mengurangi
adanya percik renik di udara. Risiko ini tidak dapat dihilangkan 100%, tetapi dapat
diturunkan secara signifikan dengan upaya administratif yang benar.
Upaya ini mencakup:
• Melaksanakan triase dan pemisahan kasus berpotensi infeksius,
• Menerapkan etiket batuk untuk mencegah persebaran kuman patogen, dan
• Mengurangi waktu pasien tersebut berada di fasilitas pelayanan kesehatan.
Upaya pengendalian administratif ini dapat dicapai dengan melaksanakan lima langkah
penatalaksanaan pasien sebagai berikut:
15
24. Langkah
Lima Langkah Penatalaksanaan pasien
Untuk Mencegah Infeksi TB
Pada Tempat Pelayanan
Kegiatan
Keterangan
Pengenalan segera pasien suspek atau konfirm TB adalah langkah
pertama.
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan petugas untuk menyaring
pasien dengan batuk lama segera pada saat datang di fasilitas.
Pasien dengan batuk ≥ 2 minggu, atau yang sedang dalam investigasi
TB tidak dibolehkan meng-antri dengan pasien lain untuk mendaftar
atau mendapatkan kartu. Mereka harus segera dilayani mengikuti
langkah-langkah dibawah ini.
1.
Triase
2.
Penyuluhan
Meng-instruksi-kan pasien yang tersaring diatas untuk melakukan etiket
batuk. Yaitu untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk atau bersin.
Kalau perlu berikan masker atau tisu untuk membantu mereka
menutup mulutnya
Pemisahan
Pasien yang suspek atau kasus TB melalui pertanyaan penyaringan harus
dipisahkan dari pasien lain, dan diminta menunggu di ruang terpisah dengan
ventilasi baik serta diberi masker bedah atau tisu untuk menutup mulut dan
hidung pada saat menunggu.
4.
Pemberian
pelayanan
segera
Pada tempat pelayanan terpadu, pasien dengan gejala di-triase ke
baris depan untuk mendapatkan pelayanan segera (misalnya VCT
HIV, kunjungan ulang obat), agar segera dapat dilayani dan
mengurangi waktu orang lain terpajan pada mereka. Ditempat
pelayanan terpadu, usahakan agar pasien yang hanya datang untuk
pelayanan HIV mendapatkan layanan HIV sebelum layanan untuk
ODHA dengan TB.
5.
Rujuk
untuk
investigasi/
pengobatan
TB
Pemeriksaan diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat pelayanan
itu, tetapi bila layanan ini tidak tersedia, fasilitas perlu membina
kerjasama baik dengan sentra diagnostik TB untuk merujuk pasien
dengan gejala TB. Selain itu, fasilitas perlu mempunyai kerjasama
dengan sentra pengobatan TB untuk menerima rujukan pengobatan
bagi pasien terdiagnosa TB.
3.
Adaptasi dari: Tuberculosis Infection Control in The Era of Expanding HIV Care and Treatment ‐
Addendum to WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in
Resource‐Limited Settings, page 17.
5.3. PILAR PENGENDALIAN LINGKUNGAN
Pengendalian Lingkungan adalah upaya dengan menggunakan technologi yang bertujuan
untuk mengurangi penyebaran dan menurunkan kadar percik renik di udara, sehingga tidak
menularkan orang lain. Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan sistem ventilasi yang
menyalurkan percil renik kearah tertentu atau ditambah dengan penggunaan radiasi
Utraviolet sebagai germisida.
5.3.1. Penggunaan Sistem Ventilasi:
Sistem Ventilasi adalah suatu sistem yang menjamin udara di dalam gedung bergerak dan
terjadi pertukaran antara udara didalam gedung dengan udara dari luar.
Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi yaitu:
• Ventilasi Alamiah: adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada pintu dan
jendela terbuka, serta skylight bagian atap yang bisa dibuka) untuk mengalirkan
udara dari luar kedalam gedung dan dari dalam keluar gedung.
• Ventilasi campuran (hybrid): adalah sistem ventilasi alamiah ditambah dengan
penggunaan peralatan mekanik untuk menamvbah efektifitas panyaluran udara.
16
25. •
Penggunaan kipas angin/exhaust fan juga termasuk dalam jenis ventilasi ini karena
dapat menyalurkan/menyedot udara ke arah tertentu.
Ventilasi Mekanik: adalah sistem ventilasi yang menggunakan peralatan mekanik
untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara di dalam gedung. Termasuk disini adalah
AC dan sistem pemanas udara ( di negara dingin).
:
Ventilasi yang adekuat di fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk mencegah
transmisi penyakit yang menular melalui udara (airborne) dan sangat direkomendasikan
untuk pengendalian penyebaran penyakit TB. Ventilasi yang baik mengurangi risiko infeksi
dengan dilusi atau menghilangkan pajanan. Apabila udara bersih atau segar masuk ke
ruangan melalui sistem ventilasi alamiah maupun mekanik maka terjadi dilusi partikel di
udara ruangan seperti percik renik. Sehingga risiko penularan menjadi lebih kecil. Hal ini
hanya dapat terjadi bila udara ruangan dialirkan keluar ke tempat yang aman (menjauhi
orang‐orang) atau di filter/radiasi sehingga percik renik yang mengandung bakteri M.
Tuberkulosis terjaring atau menjadi tidak aktif.
Jenis sistem ventilasi yang perlu digunakan tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat. Setiap sistem ventilasi yang dipilih harus dilakukan monitoring dan pemeliharaan
secara periodik, oleh karena itu sumber daya (tenaga dan dana) yang cukup, perlu
disediakan.
Ventilasi dalam gedung perlu memperhatikan 3 elemen dasar, yaitu:
• Ventilation Rate: Jumlah udara luar berkualitas baik yang masuk dalam ruangan
pada waktu tertentu
• Arah aliran udara: Arah umum aliran udara dalam gedung, yang seharusnya dari
area bersih, ke area terkontaminasi
• Distribusi udara atau pola aliran udara (airflow pattern): Udara luar perlu
terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan cara yang efisien dan kontaminan
airborne yang ada dalam ruangan dialirkan keluar dengan cara yang efisien juga.
Kebutuhan ventilasi yang baik, bervariasi tergantung pada jenis ventilasi yang digunakan,
seperti resirkulasi udara atau aliran udara segar. Ada dua cara untuk mengukur rate
ventilasi, yaitu dengan memperhitungkan volume ruangan: Pertukaran udara per jam (ACH
= airchanges per hour) atau dengan memperhitungkan jumlah orang dalam ruangan:
Liter/detik/orang. Penggunaan ukuran berdasarkan jumlah orang dalam ruangan,
berdasarkan pada fakta, bahwa setiap orang dalam ruangan memerlukan sejumlah udara
segar tertentu. Sudah terbukti, bahwa ruangan non‐isolasi dengan rate ventilasi dibawah 2
ACH, berhubungan dengan angka konversi TST yang lebih tinggi pada petugas kesehatan.
Rate ventilasi yang lebih tinggi memiliki kemampuan mendilusi patogen airborne lebih
tinggi, sehingga menurunkan risiko penularan infeksi melalui udara.
Rekomendasi WHO saat ini untuk ruangan dengan risiko tinggi penularan melalui udara
adalah minimal 12 ACH yang berarti : 80 l/detik/pasien untuk ruangan dengan volume 24m3.
Ada beberapa laporan yang menyatakan, bahwa terjadi penularan TB di fasilitas pelayanan
yang tidak memiliki sistem ventilasi yang baik. Bukti yang ada mengenai pengaruh ventilasi
masih lemah, namun konsisten, sehingga untuk pengendalian penularan TB, ventilasi masih
sangat dianjurkan.
Pemilihan sistem ventilasi yang alamiah, mekanik atau campuran, perlu memperhatikan
kondisi lokal, seperti struktur bangunan, cuaca, biaya dan kualitas udara luar. Rumah Sakit
17
26. perlu memasang vantilasi yang mengalirkan udara dari sumber penularan ke titik exhaust
atau ke tempat dimana dilusi udara adekuat.
5.3.1.1.Ventilasi alamiahdan campuran:
Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara sentral, sebaiknya
menggunakan ventilasi alamiah dengan exhaust fan atau kipas angin agar udara luar
yang segar dapat masuk kesemua ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela maupun
langit‐langit di ruangan di mana banyak orang berkumpul seperti ruang tunggu,
hendaknya dibuka selebar mungkin. Sistem ventilasi campuran (alamiah dengan
mekanik), yaitu dengan penggunaan exhaust fan/Kipas angin yang dipasang dengan
benar dan dipelihara dengan baik, dapat membantu untuk mendapatkan dilusi yang
adekuat, bila ventilasi alamiah saja tidak dapat mencapai rate ventilasi yang cukup.
Ruangan dengan jendela terbuka dan exhaust fan/kipas angin cukup efektif untuk
mendilusi udara ruangan dibandingkan dengan ruangan dengan jendela terbuka saja
atau ruangan tertutup.
Gambar 5.2 : Jenis‐jenis kipas angin
Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A Practical
Manual for Preventing TB , hal 17
Sistem ventilasi alamiah dengan tambahan exhaust fan/kipas angin sering pula disebut
sebagai ventilasi campuran (alamiah dan mekanik). Kipas angin yang dipasang pada
langit‐langit hanya memutar udara saja tanpa mengalirkan ke arah tertentu, tidak
dianjurkan. Sedangkan kipas angin yang berdiri atau diletakkan di meja dapat
mengalirkan udara ke arah tertentu, bila dipasang pada posisi tetap.
Pemasangan Exhaust fan yaitu kipas yang dapat langsung menyedot udara keluar
dapat meningkatkan ventilasi yang sudah ada di ruangan. Sistem exhaust fan yang
dilengkapi saluran udara keluar, harus dibersihkan secara teratur, karena dalam
saluran tersebut sering terakumulasi debu dan kotoran, sehingga bisa tersumbat atau
hanya sedikit udara yang dapat dialirkan.
Rumah sakit yang hanya memiliki ventilasi alamiah, perlu memperhatikan apakah
ventilasi tetap efektif dengan melakukan pemeliharaan secara periodik. Optimalisasi
ventilasi dapat dicapai dengan memasang jendela yang dapat dibuka dengan ukuran
maksimal dan menempatkan jendela pada sisi tembok ruangan yang berhadapan.
Meskipun Rumah Sakit mempertimbangkan untuk menginstalasi suatu sistem
ventilasi mekanik, ventilasi alamiah perlu diusahakan semaksimal mungkin.
18
27.
Rekomendasi untuk Ventilasi Alamiah dan Kipas Angin:
• Usahakan agar udara luar segar dapat masuk ke semua ruangan yang banyak
orang
• Biarkan pintu, jendela dan skylight terbuka sesering mungkin
• Periksa apakakah pintu, jendela dan skylight mudah dibuka
• Tambahkan kipas angin untuk meningkatkan pertukaran udara dan arahkan
kipas angin dalam posisi tetap agar aliran udara selalu ke arah keluar
• Nyalakan kipas angin selama masih ada orang‐orang di ruangan tersebut
Pembersihan dan perawatan:
• Bersihkan semua kipas angin dan saluran udara sekali sebulan dengan alat
penghisap debu yang dipasang filter HEPA
• Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu dan kotoran dari kipas angin
• Jangan lakukan pembersihan bila ada pasien di ruangan
• Periksa ventilasi alamiah paling tidak sekali setahun atau dirasakan ventilasi
sudah kurang baik
• Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan simpan dengan baik
Penggunaan ventilasi alamiah dengan kipas angin masih ada beberapa kelemahan,
selain keuntungan yang sudah dijelaskan diatas.
Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan sisten ventilasi ini dapat dilihat
pada tabel 5.3.1. dibawah ini:
Tabel 5.3.1. Kelebihan dan kelemahan penggunaan sistem ventilasi alamiah dengan kipas
angin
KELEBIHAN
KELEMAHAN
−
−
−
−
Diaktifkan hanya dengan membuka
pintu, jendela dan skylight
Tidak hanya mengurangi risiko transmisi
TB, tetapi juga meningkatkan kualitas
udara seara umum
Kipas angin, cuku murah dan mudah
digunakan
Kipas angin dapat dengan mudah
dipindahkan, sesuai kebutuhan
−
−
−
Ventilasi alamiah sering tidak dapat
dikendalikan dan diprediksi, karena
tergantung pada cuaca, kondisi angin dll
Udara yang masuk ruangan dari luar
tanpa disaring.difilter, dapat membawa
polutan udara lainnya
Jendela/pintu yang selalu dibuka, dapat
berdanpak pada keamanan,
kenyamanan dan privasi . Hal ini
terutama terjadi pada malam hari atau
bila cuaca dingin
5.3.1.2. Ventilasi mekanik:
Pada keadaan tertentu diperlukan sistem ventilasi mekanik, bila sistem ventilasi
alamiah atau campuran tidak adekuat, misalnya pada gedung tertutup.
Sistem Ventilasi Sentral pada gedung tertutup adalah sistem mekanik yang
mensirkulasi udara di suatu gedung. Dengan menambahkan udara segar untuk
mendilusi udara yang ada, sistem ini dapat mencegah penularan TB. Tetapi dilain
19
28. pihak, sistem seperti ini juga dapat menyebarkan partikel yang mengandung MTb ke
ruangan lain dimana tidak ada pasien TB, karena sistem seperti ini meresirkulasi udara
keseluruh gedung. Persyaratan sistem ventilasi mekanik yang dapat mengendalikan
penularan TB adalah:
• Harus dapat mengalirkan udara bersih dan menggantikan udara di dalam
ruangan
• Harus dapat menyaring (dengan pemasangan filter) partikel yang infeksius
dari udara yang di resirkulasi
• Atau dapat ditambahkan lampu UVGI untuk mendesinfeksi udara yang di
resirkulasi
Gambar 5.3: Bagan Sistem Ventilasi tertutup
Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A Practical
Manual for Preventing TB , hal 25
Sistem Ventilasi dengan Tekanan Negatif:
Tekanan Negatif terjadi, dengan menyedot udara dari dalam ruangan lebih banyak daripada
memasukkan udara kedalam suatu ruangan, sehingga partikel infeksius tetap berada di
dalam ruangan dan tidak bisa pindah ke ruangan lain. Ruangan dengan tekanan negatif
harus kedap udara, sehingga tidak ada udara yang masuk. Berarti ruangan harus di seal dan
hanya membiarkan udara masuk dari bawah pintu. Ada beberapa komponen yang perlu
ada, bila menggunakan sistem ventilasi dengan tekanan negatif:
a. Komponen Filter Udara:
Filter digunakan untuk menyaring udara, sehingga menghilangkan partikel. Udara yang telah
bersih, kemudian di distribusi. Saat ini banyak jenis filter telah tersedia dan harus dipilih
yang dapat menyaring partikel MTb. Jenis filter yang dianjurkan adalah pleated filter (bahan
filter di lipit2) bukan filter yang lembaran rata (lint filter). Suatu sistem ventilasi dapat
mempunyai satu atau lebih filter, bila terpasang lebih dari 1 filter disebut sebagai filter bank.
Perbedaan 3 jenis filter terdapat pada efisiensi menyaring udara yang mengandung percik
renik MTb berukuran 1 – 5 mikron:
• Filter HEPA (High Efficiency Particulate Air): dapat menyaring partikel yang
berukuran sebesar percik renik MTb (tetapi filter HEPA adalah suatu alat khusus,
yang tidak sesuai untuk sebagain besar sistem ventilasi sentral yang ada)
20
29. •
•
Filter pleated ASHRAE dengan efisiensi 25% (MERV= Minimum Efficiency Reporting
Value 7 atau 8): hanya dapat menyaring separuh partikel yang berukuran sebesar
percik renik bakteri TB
Filter Lint: tidak dapat menyaring partikel yang berukuran sebesar percik renik
bakteri TB
Gambar 5.4. Jenis‐jenis Filter udara:
Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A Practical
Manual for Preventing TB , hal 21
Filter pleated tersedia dengan berbagai ukuran sehingga dapat disesuaikan untuk sebagian
besar sistem ventilasi yang ada, namun harganya lebih mahal daripada filter lint. Obstruksi
aliran udara juga terjadi lebih banyak pada penggunaan filter pleated oleh karena itu
perawatan yang baik sangat diperlukan.
Penggantian filter dilakukan bila terlihat seluruh permukaan filter tertutup dengan debu,
untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan filter secara teratur, paling sedikit sekali sebulan.
b. Komponen: Udara luar
Untuk pengendalian penularan TB, sistem terbaik adalah sistem ventilasi tanpa resirkulasi
udara – berarti 100% bergantung pada aliran udara luar yang satu arah. Dalam hal ini
pasokan udara seluruhnya adalah udara luar segar yang dialirkan kedalam ruangan melalui
filter udara dan bila diperlukan dapat didinginkan terlebih dahulu. Sistem aliran udara satu
arah ini cukup mahal, apalagi bila harus didinginkan terlebih dahulu sehingga biasanya
gedung‐gedung tertutup hanya menggunakan sebagian kecil udara luar. Proporsi udara luar
yang digunakan biasanya hanya berkisar antara 10 – 30% dan sisanya adalah udara
resirkulasi.
Udara luar yang akan dialirkan kedalam ruangan, biasanya melalui saluran udara
yang dipasang penyaring udara.
c. Komponen: UVGI in‐duct (Iradiasi Ultraviolet Germisida melalui saluran)
Pada sistem ventilasi udara resirkulasi, penggunaan filter pleated hanya bisa menghilangkan
sekitar 50% partikel TB. Sisanya di resirkulasi lagi kedalam sistem ventilasi. Oleh karena itu
sistem udara yang menggunakan 100% udara luar adalah ideal, namun cukup mahal.
Alternatif yang bisa digunakan adalah menambahkan lampu UVGI selain filter. Pemasangan
21
30. lampu dalam sistem saluran udara dengan benar, akan kurang lebih sama efektifnya seperti
sistem ventilasi yang menggunakan 100% udara luar.
Penggunaan lampu UVGI dalam sistem ventilasi memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan pemasangan filter HEPA, yaitu lampu UVGI tidak menyebabkan
obstruksi saluran udara, selain juga lebih murah. Namun penggunaan UVGI memerlukan
tenaga ahli untuk memasang dan memeliharanya.
5.3.2. Penggunaan Radiasi Ultraviolet Pada Aliran Udara Atas
Pada struktur bangunan tertentu, dimana ACH yang cukup, tidak dapat dicapai dengan
sistem ventilasi atau bila transmisi MTb merupakan risiko tinggi untuk morbiditas dan
mortalitas, seperti di ruang perawatan MDR‐TB, maka diperlukan suatu sistem pengendalian
tambahan, yaitu dengan penggunaan upper room atau germisida radiasi ultraviolet (UVGI).
Sistem pengendalian lingkungan seperti ini tidak menggunakan udara segar atau aliran
udara yang diarahkan.
Peralatan UVGI, bukan merupakan pengganti sistem ventilasi, tetapi merupakan upaya
pengendalian tambahan. Beberapa studi menunjukkan, bahwa suatu sistem UVGI yang
dirancang dengan baik, dapat mendesinfeksi MTb yang setara dengan 10 – 20 ACH. Sistem
UVGI yang dipasang diatas ruangan merupakan potensi bahaya bagi mata, yang perlu
mendapat perhatian, khususnya bagi pekerja yang melakukan pembersihan atau
pemeliharaan ruangan. Oleh karena itu penggunaan UVGI memerlukan desain, instalasi,
penggunaan dan instalasi yang benar.
Gambar 5.5: Contoh Instalasi UVGI pada bagian atas ruangan
Sumber: Bahan Pelatihan TOT Pengendalian dan Pencegahan Infeksi TB
Sebagai kesimpulan, WHO telah mengeluarkan rekomendasi mengenai ventilasi ruangan
sebagai berikut:
REKOMENDASI UTAMA:
1. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi airborne, perlu diupayakan ventilasi
yang adekuat di semua area pelayanan pasien di Rumah Sakit (fasilitas kesehatan)
2. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan bahwa angka
rata-rata ventilation rate per jam yang minimal tercapai, yaitu:
a. 160/l/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan kewaspaan airborne
(dengan ventilation rate terrendah adalah 80/l/detik/pasien)
22
31. b. 60/l/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan poliklinik rawat jalan
c. 2,5/l/detik untuk jalan/selasar (koridor) yang hanya dilalui sementara oleh
pasien. Bila pada suatu keadaan tertentu ada pasien=pasien yang terpaksa
dirawat di selasar Rumah Sakit, maka berlaku ketentuan yang sama untuk
ruang kewaspadaan airborne atau ruang perawatan umum
Desain ruangan harus memperhitungkan adanya fluktuasi dalam besarnya ventilation
rate.
Bila ventilasi alamiah saja tidak dapat menjamin angka ventilasi yang
direkomendasikan, maka dianjurkan menggunakan ventilasi campuran, atau ventilasi
mekanik saja.
3. Rancangan ventilasi alamiah di Rumah Sakit, perlu memperhatikan, bahwa aliran
udara harus mengalirkan udara dari sumber infeksi ke area di mana terjadi dilusi
udara yang cukup dan lebih diutamakan ke udara luar.
4. Di ruangan di mana dilakukan prosedur yang menghasilkan aerosol berisi pathogen
menular, maka ventilasi alamiah harus paling sedikit mengikuti rekomendasi nomer 2
diatas. Bila agen infeksi adalah airborne, hendaknya diikuti rekomendasi 2 dan 3.
5.4.
PILAR PENGENDALIAN DENGAN PERLINDUNGAN DIRI
Alat Pelindung Diri Pernafasan melindungi petugas kesehatan di tempat, di mana kadar
percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan .
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan prosedur yang
berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran
napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat
memberikan perawatan pasien atau tersangka pasien MDR‐TB dan XDR‐TB.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator
partikulat tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitar.
5.4.1. Pemakaian Respirator Partikulat
Respiratorpartikulat (N95 atau FFP2) merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi
untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara.
Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada
wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Sebelum memakai masker ini, petugas
kesehatan perlu melakukan fit test.
Yang dimaksud dengan fit test, adalah petugas kesehatan harus antara lain:
• Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat adanya cacat atau
lapisan yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat lapisan yang tidak utuh, maka tidak
dapat digunakan
23
32. •
Memeriksa tali masker apakah tersambung dengan baik. Tali harus menempel dengan
baik di semua titik sambungan
•
Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam (jika ada) berada pada tempatnya dan
berfungsi baik
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif bila tidak menempel erat pada wajah. Beberapa
keadaan yang dapat menimbulkan keadaan demikian, yaitu:
• Adanya janggut atau rambut yang tumbuh pada wajah bagian bawah
•
Adanya gagang kacamata
•
Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat mempengaruhi perlekatan
bagian wajah masker.
Cara melakukan fit test respirator
1. Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi depan bagian hidung pada
ujung jari‐jari Anda, biarkan tali pengikat respirator menjuntai bebas di bawah tangan
Anda.
2. Posisikan respirator di bawah dagu Anda dan sisi untuk hidung berada di atas
3. Tariklah tali pengikat respirator yang bawah dan posisikan tali di bawah telinga. Tariklah
tali pengikat respirator yang atas dan posisikan tali agak tinggi di belakang kepala Anda,
di atas telinga
4. Letakkan jari‐jari kedua tangan Anda di atas bagian hidung yang terbuat dari logam.
Tekan sisi logam, dengan dua jari untuk masing‐masing tangan, mengikuti bentuk hidung
Anda. Jangan menekan dengan satu tangan karena dapat mengakibatkan respirator
bekerja kurang efektif
5. Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, dan hati‐hati agar posisi respirator
tidak berubah
•
•
Pemeriksaan Segel Positif
Hembuskan napas kuat‐kuat. Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak ada
kebocoran. Bila terjadi kebocoran atur posisi dan/ atau ketegangan tali. Uji kembali
kerapatan respirator. Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar‐benar
tertutup rapat.
Pemeriksaan Segel Negatif
Tarik napas dalam‐dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan negatif di dalam
respirator akan membuat respirator menempel ke wajah. Kebocoran akan
menyebabkan hilangnya tekanan negatif di dalam respirator akibat udara masuk
melalui celah‐celah pada segelnya
24
33.
5.4.2. Edukasi dan penerapan etiket batuk
Petugas harus dapat memberi pendidikan mengenai pentingnya menjalankan etiket batuk
kepada pasien untuk mengurangi penularan. Pasien yang batuk diinstruksikan untuk
memalingkan kepala dan menutup mulut / hidung dengan tisu . Kalau tidak memiliki tisu
maka mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan
dibersihkan, dan tisu dibuang pada tempat sampah yang khusus disediakan untuk ini.
Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap merawat pasien,
maka petugas harus mengenakan masker bedah. Apabila petugas bersin atau batuk, maka
etiket batuk dan kebersihan tangan seperti di atas harus diterapkan.
5.4.3. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium Tb
Konsep perlindungan diri petugas Laboratorium tetap mengacu pada Kewaspadaan Standar
dan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi melalui udara (airborne) dan Transmisi melalui
Kontak apabila sedang memroses spesimen. Petugas Lab yang menangani pemeriksaan Tb
berhak mandapatkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun.
Kehati‐hatian dalam melakukan prosedur laboratorium perlu ditekankan terutama apabila
menimbulkan aerosol. Pekerjaan harus dilakukan dalam lemari Biologic Safety Cabinet kelas
I atau IIA dengan keamanan tingkat 2 (Biosafety level 2) yang dilengkapi laminar‐airflow dan
filter HEPA. Sebelum bekerja, meja kerja kabinet dialasi dengan bahan penyerap yang sudah
dibasahi larutan disinfektans. Setiap selesai bekerja, permukaan kabinet harus dibersihkan
dengan disinfektans. Lampu UV harus selalu dinyalakan apabila kabinet dalam keadaan tidak
digunakan. Untuk pemeliharaan perlu dilakukan pengecekan berkala oleh teknisi yang
kompeten. Untuk pemeriksaan kultur dan resistensi perlu dilakukan dengan tingkat
keamanan 3 dengan akses yang sangat dibatasi.
Sistem ventilasi udara laboratorium Tb harus diatur sedemikian rupa sehingga udara
mengalir masuk sesuai area bersih ke area tercemar dan keluar ke udara bebas yang tidak
dilalui lalu lintas manusia. Ruang pemrosesan dianjurkan selalu terpasang lampu UV bila
dalam keadaan tidak digunakan. Lampu harus selalu dalam keadaan bersih dan efek
germisidal lampu diperiksa secara rutin setiap bulan menggunakan alat pengukur.
5.4.4. Keamanan Cara Penampungan sputum
5.4.4.1. Penampungan sputum
Penampungan sputum oleh pasien harus dilakukan dalam ruangan dengan konsep AII
(airborne infection isolation) atau boks khusus dengan pengaturan sistem ventilasi (well‐
ventilated sputum induction booth) . Udara dalam boks dialirkan ke udara bebas di
tempat yang bebas lalu lintas manusia. Petugas yang mendampingi harus menggunakan
respirator partikulat. Pasien harus tetap dalam ruangan sampai batuk mereda dan tidak
batuk lagi. Ruangan harus dibiarkan kosong sampai diperkirakan udara sudah bersih
sebelum pasien berikutnya diperbolehkan masuk. Untuk sarana dengan sumber daya
terbatas, pasien diminta mengumpulkan sputum di luar gedung, di tempat terbuka,
25
34. bebas lalu lintas manusia, jauh dari orang yang menemani atau orang lain, jendela atau
aliran udara masuk.
Untuk penampungan sputum yang baik, pasien perlu mendapat penjelasan oleh
petugas. Pasien diminta menarik napas dalam sebanyak 3 x kemudian pada tarikan ke 3
menahan napas kemudian batuk dengan tekanan. Wadah sputum harus bermulut lebar
dan bertutup ulir. Wadah tidak perlu steril tetapi harus bersih dan kering. Sedapat
mungkin menggunakan wadah yang disediakan khusus oleh laboratorium. Waktu
pengambilan dilakukan dengan metode SPS yaitu sewaktu saat berobat ke RS/Poliklinik,
pagi hari keesokannya di rumah dan sewaktu saat kontrol dan membawa sputum pagi
hari ke RS/Poliklinik .
5.4.4.2. Kebersihan tangan setelah menampung sputum.
Pasien perlu diberitahu untuk membersihkan tangan setelah menampung sputum baik
dengan air mengalir dan sabun, atau dengan larutan handrubs. Fasilitas pelayanan
kesehatan harus menyediakan sarana tersebut.
5.4.5. Proteksi saat transportasi pasien
Apabila pasien akan ditransportasikan keluar dari ruang isolasi, maka pasien harus
dipakaikan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitar.
26
35. BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring dan evaluasi program sangat penting dilakukan untuk mengukur kemajuan yang
dicapai dan mengetahui dampak dari program. Program M & E harus dikembangkan untuk
tingkat nasional, regional dan pada tingkat fasilitas sendiri. Sistem monitoring dan evaluasi
program pencegahan dan pengendalian penularan TB di Rumah Sakit, sebaiknya
diintegrasikan dengan program monitoring dan evaluasi program yang sudah ada dan
menggunakan beberapa indikator yang sama. Program yang berkaitan, misalnya progam
HIV, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS), Penjaminan Mutu Pelayanan
dan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit.
6.1. Tujuan
Tujuan suatu program Monitoring dan Evaluasi pada pengendalian dan pencegahan Infeksi
TB adalah:
• Memantau pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian penularan TB di
Rumah Sakit
• Menilai kemajuan terhadap pencapaian indikator
• Membuat keputusan dan kebijakan berdasarkan data
• Meningkatkan upaya pengendalian penularan TB di Rumah Sakit
Indikator yang akan diukur, sebaiknya menggunakan indikator standar baik yang nasional
maupun yang internasional, sehingga bisa mendapat angka pencapaian regional/nasional
dan dibandingkan dengan negara‐negara lain. Perlu ada kesepakatan mengenai indikator
minimal yang hendak diukur, instrumen pengumpulan data yang akan dipakai dan siapa
yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data tersebut.
6.2. Metode Pengumpulan data
Dapat dipilih beberapa metode di Rumah Sakit, seperti:
‐ Pengumpulan data dari laporan rutin
‐ Pengumpulan data dari leporan kegiatan
‐ Pengamatan
‐ Survei
‐ Pemeriksaan dan pengukuran berkala
6. 3 Kerangka Monitoring dan Evaluasi
Sebaiknya dikembangkan dahulu suatu kerangka M & E, yang mencakup target tahunan,
data dasar (dengan sumbernya), sumber data dan frekwensi pengumpulan data. Monitoring
dan evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap indikator dampak, tetapi juga mencakup
indikator keluaran, proses dan masukan
27
36.
Contoh: Kerangka Monitoring & Evaluasi Program Pencegahan dan Pengendalian TB di Rumah Sakit
Nr
JENIS
INDIKATOR
AREA
NAMA
1.
Input
Managemen
2.
Input
3.
DATA
DASAR
Sumber
& Tahun
PENGUMPUL
AN DATA
FREK.
Ada tim PPT TB di
RS
Pengamatan
Dokumen
1X/th
Managemen
RS Memiliki
Pedoman PPI RS
Pengamatan
Dokumen
1X/th
Input
Managemen
Ada SOP untuk
triage, pengambilan
sputum, dll
Pengamatan
Dokumen
1X/th
4.
Input
Managemen
Ada kebijakan untuk
Pemeriksaan
Berkala Petugas
Kesehatan
Pengamatan
Dokumen
1X/th
5.
Input
SDM
Ada rencana
pelatihan petugas
kesehatan
mengenai PPI
Pengamatan
1X/th
6
Input
Teknis
Ada sistem ventilasi
yang memenuhi
standar
Pengamatan
1X/th
7.
Input
Peralatan
Alat Pelindung Diri
yang sesuai,
tersedia dan
mencukupi
Catatan Logistik
1X/th
8.
Proses
Manageman
Tim PPI TB
mengadakan
pertemuan berkala
Health Reports
Quarterly
9.
Proses
Managemen
RS mendesiminasikan
pedoman pada
petugas kesehatan
Health Reports
Quarterly
10.
Output
SDM
Jumlah Petugas
yang mendapat
Laporan kegiatan
01
TARGET (per tahun)
02
03
04 05
PENANGGUNG
JAWAB
1
37. Nr
JENIS
INDIKATOR
AREA
NAMA
DATA
DASAR
Sumber
& Tahun
01
TARGET (per tahun)
02
03
04 05
PENGUMPUL
AN DATA
FREK.
PENANGGUNG
JAWAB
pelatihan PPI-TB
Laporan asesmen
11.
Output
Managemen
Dilakukan asesmen
pelaksanaan PPI TB
12
Outcome
SDM
Petugas
menggunakan APD
yang sesuai
13
Impact
Morbidity
Prevalensi petugas
kesehatan di D/ TB
Survei
Surveilans
Dengan adanya kerangka M & E ini, diharapkan semua RS bisa menilai indikator yang sama.
2
38. BAB VII
PENUTUP
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Rumah Sakit digunakan sebagai
acuan bagi seluruh jajaran kesehatan yang terkait dalam pelayanan TB di rumah sakit.
Upaya penanggulangan TB‐HIV di rumah sakit harus dapat memastikan tidak terjadinya
transmisi antara pasien HIV dengan pasien TB maupun pasien TB MDR, dan juga dengan
pasien HIV yang telah mengidap TB atau TB‐MDR. Keberhasilan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi TB di rumah sakit sangat bergantung pada adanya kebijakan,
dedikasi, kerja keras dan kemampuan para penyelenggara pelayanan serta komitmen
bersama untuk mencapai hasil maksimal yang berkualitas.
1
39. DAFTAR PUSTAKA
− Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. Pedoman
manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.‐‐Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Cetakan kedua.
2008
− Departemen Kesehatan RI Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. – Jakarta : Departemen Kesehatan
RI. Cetakan kedua, 2008.
−
−
−
−
−
−
Departemen Kesehatan RI – JHPIEGO, Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan
dengan Sumber Daya Terbatas, 2004.
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes
2007
Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A
Practical Manual for Preventing TB
World Health Organization. WHO policy on TB infection control in health‐care facilities,
congregate settings and households. WHO 2009
World Health Organization. Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care
Facilities in Resource‐Limited Settings. Geneva, World Health Organization, 1999.
Tuberculosis Infection Control In The Era Of Expanding Hiv Care And Treatment ‐ Addendum
to WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource‐
Limited Settings. US Department of HHS,US CDC, US President’s Emergency Plan for AIDS
Relief, The World Health Organization and The International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease, 1999
2