Penyebaran Pemahaman Merdeka Belajar Aksi Nyata PMM
CONTOH MAKALAH AGAMA
1. MAKALAH
TUGAS AGAMA
PERAN AGAMA DALAM BERNEGARA
OLEH
VENTURA FENI
KELAS XII
SMA KATOLIK ST. YUSUP
TANJUNG BALAI KARIMUN
2014
2. BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama bisa diartikan sebagai kepercayaan pada hal-hal yang spiritual. Agama dijadikan
sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan
kemampuanya karena memiliki sifat supranatural sehingga agama diharapkan dapat
mengatasi masalah nonempiris tersebut.
Dalam sebuah Negara agama sangat diperlukan guna membentuk setiap sendi kehidupan
bernegara yang memihak pada kesejahteraan warganegaranya. Tetapi hal tersebut harus
tetap sesuai dengan batasan toleransi agama. Karena jika tidak dikhawatirkan akan ada
kesalahpahaman kebijakan agama dan Negara yang saling tumpang tindih.
Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tidak dapat
dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kita. Kegagalan
pemerintah mengatasi kemiskinan dan masalah-masalah ekonomi selalu membuat
masyarakat tergoda untuk melakukan kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya. Di
samping itu, ketidaktegasan aparat juga turut memberi andil bagi kelangsungan hidup
organisasi yang identik dengan kekerasan dalam mengemukakan pendapatnya. Sehingga
dapat dikatakan bahwa selama tidak ada perubahan dari kondisi sosial, politik, dan
ekonomi masyarakat dan selama.
Banyak pihak memanfaatkan konsep agama dan Negara dengan cara yang salah untuk
menjatuhkan kesucian agama. Mereka menjadikan hal-hal yang berkaitan dengan agama
sebagai hal yang penuh sifat ekstrem. Misalnya tentang jihad padahal sebenarnya Jihad
merupakan ibadah yang sangat mulia dan mempunyai potensi untuk menumbuhkan nilai
kecintaan kepada Allah. Jihad menjadi iman dan sekaligus tolak ukur keimanan
seseorang. Jihad adalah untuk mencurahkan segala usaha dan kemampuan dalam rangka
mencapai kecintaan Allah dan menentang apa yang dibencinya.
Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan
budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah
pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan
lainnya.
3. Sejarah Singkat Agama di Indonesia
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk
memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan
kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah,
bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan,
Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik
antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia
memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan.
Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di
wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman
agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal,
Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan
telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu
(Confusius)”.
Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia,
dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim
dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya
agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi,
bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan
sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad
keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian
pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat
Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa
Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial
Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham
4. Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di
Indonesia.Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh
kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di
wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para
pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang
Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu
lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia tidak
bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama sebagai hal
tersebut, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masing-masing keyakinan
mempunyai dasar ataupun pedoman sesuai dengan keyakinannya. Pancasila khususnya
Sila ke-1 menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sudah jelas dan tidak diragukan
lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu ada.
Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda kepercayaan merupakan
wujud nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam bentuk keharmonisan,
kebersamaan, ketentraman, dan sebagainya. Perbedaan keyakinan yang terdapat di dalam
masyarakat itu merupakan multikulturalisme bangsa Indonesia. Namun, tidak jarang hal
tersebut justru mendorong berbagai keributan/kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut
sangat sempit dan kecil, tapi bisa juga menjadi kerusuhan berskala besar dan sulit untuk
menemukan jalan tengahnya, dan bahkan bisa membawa nama masing-masing
kelompok tersebut dalam ranah konflik yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antar Golongan).
Agama yang bersifat kerusuhan tersebut tidak hanya terdapat pada masyarakat yang
berbeda keyakinan, bahkan tak jarang dari mereka yang mempunyai keyakinan dan
tujuan yang sama justru malah mengalami konflik internal.
Hal tersebut dikarenakan rendahnya jiwa nasionalisme bangsa, yaitu jiwa yang mengikat
kita pada satu rasa dan satu tujuan. Modal sosial terbentuk karena trust (kepercayaan)
masyarakat terhadap apa yang mereka dengar dan lihat. Pancasila berperan penting
dalam segala hal, begitu pula dalam keagamaan.
5. BAB II
PEMBAHASAN
Fungsi-Fungsi Agama
Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari
berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri
tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi
komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama
tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya.
Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya
religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan,
perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan
(=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang
salah, serta apa yang baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh
seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia.
Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran.
Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang
tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung
pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada
keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan
oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama
ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari.
Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal
tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali
kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka
dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang
menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan
tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada
pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi
6. ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi
kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu
dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial
memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap
informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba
terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu
terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan
hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan
terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi
alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang
mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan
membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang
selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala
potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia
untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah
hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme
bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal,
mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak
mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu
idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi
manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan
hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita
ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol
mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran
agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari
ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan-disalahgunakan
oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari
ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
7. Fungsi Agama Terhadap Negara
Agama di Indonesia mempunyai arti, posisi dan peranan atau fungsi yang sangat penting
dalam pembangunan nasional, yaitu.
1. Sebagai faktor motivatif(dorongan akhlak)
2. Sebagai faktor kreatif dan innovative(dorongan semangat kerja )
3. Sebagai faktor integrative (keserasian aktivitas)
4. Sebagai sublimatif ( menjamin ketulusan)
5. Sebagai sumber inspirasi budaya bangsa Indonesia
Sejarah manusia merupakan suatu interaksi dari pengulangan dan pembaharua
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada
nilai-nilai luhurnyaserta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku ciri
dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan
seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama
yang dianutnya dalam kehidupan sehari-sehari. Ia menganut suatu agama karena
menurut keyakinannya itu yang terbaik. Karena itu, ia berusaha menjadi penganut yang
baik. Keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang
mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Beragama atau kedewasaan seseorang dalam bergama biasanya ditunjukkan engan
kesadaran keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agam yang dianutnya
dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang
menyebabkan adanya hambatan; yaitu faktor diri sendiri, dan kapasitas diri dan
pengalaman.
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua
fakta, nilai-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun
praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Dengan adanya individu lain mereka berpikir untuk berteman. Oleh mereka karena itu
mereka bergabung membentuk kelompok dengan manusia lain. Perkembangan
selanjutnnya, jumlah kelompok ini semakin banyak. Sehingga dibutuhkan pemimpin dan
aturan aturan yang disepakati bersama.
Aturan-aturan ini juga diperlukan untuk mengikat tujuan bersama kelompok-kelompok
tersebut. Dengan banyaknya keperluan yang terus meningkat peraturan yang digunakan
harus semakin kuat dan lebih mengikat. Disini kehadiran negara adalah yang paling
8. tepat. Negara membuat aturan yang mempermudah aktivitas manusia. Tidak hanya
membuat peraturan-peraturan, negara juga menyediakan fasilitas-fasilitas yang
menunjang perkembangan kemajuan disemua bidang kehidupan.
Manusia tidak akan dapat hidup sendiri dengan teratur tanpa adanya negara. Tidak ada
yangg menjamin keamanan dan ketertiban mereka. Dari negara seseorang dapat hidup
bermasyarakat dengan ketertiban yang terjamin. Karena dalam Bhineka Tunggal Ika
terdapat suatu ungkapan yang mengekspresi suatu keinginan yang kuat, tiadak hanya
dikalangan politiktetapi juga diseluruhlapisan sosial untuk menncapai satu kesatuan
meskipun terdapat karakter yang heterogen didalamnya
Negara merupakan persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia
sebagai makhluk individu serta sebagai makhluk sosial. Manusia adalah pendiri negara
itu sendiri sehingga terdapat hubungan horizontal untuk mencapai tujuan bersama.
Negara juga berperan dalam mengatasi penderitaan penduduk akibat kemiskinan dan
ketidakadilan. Masalah-masalah masyarakat ini disebabkan oleh tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dasar dan persoalan pengembangan diri serta peluang turut serta
dalam proses kemasyarakatan dan kenegaraan.
Hubungan negara dan agama diIndonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang
dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teoraksi. Keseimbangan dinamis ialah
tidakada pemisahan agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi
dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara
punya kewajiban-kewajiban ter hadap agama. Dengan kata lain pola hubungan agama
dan negara di Indonesia disebut dengan pola simbiotis-mutualisme.
Ada dua macam perjuangan : perjuangan untuk tatap hidup didunia dan perjuangan
untuk meraih kehidupan kekal diakhirat. Toleransi dan Perdamaian adalah harapan yang
harus diperjuangkan semua pihak. Bila tulisan ini harus diakhiri penulis sedikit mengutip
perkataan sang pujangga Inggris, Samuel Johnson (1709-1784 M): “Di mana tidak ada
harapan, disitu tidak ada usaha keras”.
Namun kita tidak boleh menyerah pada realita empiris dan terus memelihara harapan
akan terwujudnya perdamaian yang penuh toleransi. mana ada harapan, disitu harus ada
usaha keras. Dalam konsep ini, Institusi Agama dan Negara yang berada dalam satu
lokasi atau konteks kehidupan namun keduanya tidak saling mencampuri. Agama
diciptakan untuk menghantar manusia mencapai hidup dan kehidupan masa depan
eskhatologis, hidup setelah kehidupan sekarang, yang tidak lagi di batasi dimensi.
Sedangkan negara diciptakan agar ada kesejahteraan, keteraturan dalam hidup
9. bermasyarakat, sosialisasi, mengembangkan serta membangun sarana-sarana penunjang
hidup dan kehidupan sesuai dengan kemampuan.
Peranan agama dalam memperkuat toleransi jelas semakin penting di masa sekarang ini
dan ke depan. Era globalisasi sekarang selain medatangkan banyak masalah bagi umat
beragama, menghadirkan banyak tantangan termasuk masih berlanjutnya ketegangan ,
konflik dan kekerasan di antara umat manusia, juga sebagai tantangan kita untuk
membangun dunia yang lebih toleransi terutama toleransi antar umat beragama. Tugas
utama pemuka agama dan umat beragama adalah terus mensosialisasikan dan sekaligus
mengaktualisasikan ajaran-ajaran agama tentang toleransi dan perdamaian tersebut ke
dalam kehidupan sehari-hari.
Sederhananya, saya ingin mengutip ujar-ujar klasik yang mengatakan ‘Berilah kepada
negara apa yang menjadi milik negara dan berilah kepada agama apa yang pantas
menjadi milik agama.’ Memilih dan dipilih sebagai pemimpin bangsa harus didasari
pada pemahaman bahwa kita memilih karena kita adalah warga negara. Bahwa kita
memilih not by religion but as citizen! Kita memilih bukan karena dan atas dasar agama,
melainkan karena kita adalah warga Negara yang tertib hukum.
Dilihat dari pendapat lain yaitu dari Syaidzali dalam islam terdapat bebeerapa aliran
yang menunjukan model hubungan negara dan agama, sebagai berikut :
1. Aliran yang menyatakan atau menganggap bahwa islam adalah agama paripurna
yang mampu mencakup segalanya, sehingga tidak dapat terpisahkan dari negara,
urusan negara bisa dihubungkan dengan agama dan diselesaikan oleh agama.
2. Aliran yang menganggap bahwa Islam dan negara dianggap tidak saling
berhubungan karena islam bukan agama yang memiliki misi menciptakan
terbentuknya negara.
3. Aliran yang terakhir adalah aliran yang menyatakan jika Islam tidak mencakup
segalanya tetapi tidak berarti sama sekali tidak ada hubungannya dengan negara.
Islam mencakup seperangkat prisip-prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan
bemasyarakat dan bernegara.
Peran Agama
Peran Perubahan. Artinya ajaran-ajaran agama dapat merubah umatnya kearah yang
lebih baik. Dampak dari perubahan tersebut diharapkan mampu dirasakan oleh
masyarakat luas. Agama harus membuka peluang agar umat dengan keputusan sendiri
10. melakukan perubahan sekaligus mengubah masyarakat. Walaupun demikian, agama
tidak boleh salah kaprah menilai bahwa semua hal dalam masyarakat [misalnya unsur-unsur
budaya, tatanan dan interaksi sosial, cara hidup warisan nenek moyang, dan lain-lain]
sebagai kebiasaan lama yang harus dirubah karena tidak sesuai dengan ajaran
agama. Jika agama menemukan hal-hal dalam masyarakat yang mungkin saja
bertantangan dengan ajaran keagamaan, maka tidak perlu melakukan pemaksaan agar
meninggalkannya. Agama hanya memberikan pertimbangan agar umat dengan suka rela
meninggalkan hal-hal tersebut.
1. Peran Perubahan Pribadi Manusia. Alasan-alasan positip seseorang menjadi
umat beragama, antara lain agar memperoleh kepastian keselamatan; mengingatkan
dirinya sendiri bahwa TUHAN yang menciptakan serta mengatur segala sesuatu
termasuk hidup dan kehidupan; kesadaran adanya TUHAN; ajaran-ajaran agama mampu
sebagai pagar pembatas agar tidak jatuh serta terjerumus ke dalam cara-cara hidup yang
buruk serta negatif; mampu mendorongnya agar berbuat kebajikan, membantu,
menolong, memperhatikan sesama manusia berdasarkan kasih; dan lain-lain. Dengan
keyakinan seperti itu, bisa dipastikan bahwa, seseorang yang beragama dan sekaligus
melaksanakan serta mengimani ajaran agama, maka akan mengalami perubahan pada
hidup dan kehidupannya. Semuanya itu berarti, umat beragama, harus membuktikan
bahwa hidup dan kehidupannya sesuai dengan ajaran agama. Pada hakekatnya,
perubahan diri seseorang ketika ia menjadi umat beragama yang setia dan taat,
menyangkut tiga hal penting, yaitu iman, pengharapan, dan [cinta] kasih.
Ajaran-ajaran agama, menjadikan seseorang [harus] mengalami perubahan iman
[Yunani, pistis; percaya, iman, setia]; dari tadinya tidak percaya berubah menjadi
percaya, yakin, setia kepada TUHAN. Jika menjadi umat beragama maka harus
mengalami perubahan iman; seandainya ia berganti atau berpindah agama, maka apa
yang diimani pun berubah [sesuai ajaran dalam agama barunya]. Perubahan iman
pada diri seseorang, memerlukan suatu proses mendengar dan belajar; isi
pembelajaran tersebut adalah ajaran-ajaran agama yang dibangun berdasarkan teks-teks
[ayat-ayat] kitab suci.
Melalui agama seseorang mendapat pengharapan baru; umat mendapat wawasan
dan kepastian masa depan [eskhatologis]. Pada sikon hidup dan kehidupan yang
tidak menentu, umumnya, manusia mudah mengalami ketidakpastian serta
11. kehilangan pengharapan. Dan jika, sikon tersebut terus menerus terjadi pada
seseorang, maka ia akan mengalami gangguan kejiwaan [penyakit jiwa] ringan
maupun parah. Di sini, agama berperan untuk merubah keadaannya.
Melalui ajaran dan bimbingan, [tokoh-tokoh] agama membuka peluang agar umatnya
meraih masa depan dengan baik. Manusia harus bisa mencapai masa depannya ketika
masih ada di dunia dan dalam dimensi waktu; serta masa depan setelah hidup dan
kehidupan kekinian. Semua umat beragama harus bisa mencapai kedua bentuk masa
depan tersebut.
Ketika umat beragama mau mencapai masa depan yang masih terbatas pada dimensi
waktu dan ruang, maka ia harus melakukan segala sesuatu pada masa kini dengan
baik dan benar.
Demikian juga dengan masa depan setelah hidup dan kehidupan sekarang. Agama
selalu mengajarkan adanya kehidupan sempurna serta kekal di Surga, dan hanya bisa
dicapai setelah manusia mati atau meninggalkan dunia ini. Untuk mencapai
kehidupan sempurna dan kekal itu, umat beragama harus melaksanakan kehendak
TUHAN sesuai yang diajarkan oleh agama-agama.
Melalui agama, seseorang dapat mengasihi sesamanya dengan tulus. Semua bahasa
bangsa, suku, sub-suku mempunyai kosa kata yang bermakna kasih ataupun
mengasihi [cinta dan mencintai]. Kasih merupakan tindakan yang mempunyai
kesamaan universal yaitu adanyan hubungan dan perhatian dari seseorang kepada
sesama; dari sekelompok masyarakat kepada komunitas lainnya; dan seterusnya.
Secara sosial-kultural, kasih membuat umat beragama mampu memperhatikan,
berbuat baik, dan menolong masyarakat yang berbeda agama dengannya. Secara
keagamaan, kasih menjadikan umat beragama membangun hubungan dengan
TUHAN secara sungguh-sungguh serta penuh kesetiaan dan ketaatan
2. Peran Edukasi. Edukasi dimaksud menyangkut pembinaan, pendidikan,
pengajaran dalam arti seluas-luasnya. Memang agama lebih banyak berperan bimbingan
spiritual atau rohaniah, akan tetapi tidak boleh berhenti sampai di situ. Agama juga bisa
berperan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berguna untuk kesejahteraan
umat manusia. Peran edukasi pada agama-agama dapat menghasilkan umat taat dan
tunduk kepada TUHAN, ditandai dengan tampilan diri yang baik dalam hidup dan
kehidupan setiap hari. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan, melalui edukasi,
agama dapat berperan untuk membangun peradaban baru. Melalui peran edukasi tersebut
12. lah, agama-agama membangun atau mendirikan institusi pendidikan mulai tingkat
rendah sampai tinggi, dengan alasan utama yaitu membentuk sumber daya insani yang
berkualitas serta mampu berperan pada berbagai aspek hidup dan kehidupan.
3. Peran Perbaikan Keadaan Masyarakat. Kompleksitas permasalahan sosial
dalam masyarakat dapat menimbulkan penyimpangan, ketidakpedulian terhadap sesama
manusia, pelanggaran hukum, serta berbagai tindak kriminal lainnya. Hampir semua
bentuk-bentuk penyimpangan, pelanggaran, serta tindakan kriminal tersebut dilakukan
oleh manusia yang beragama. Ini berarti ada manusia yang beragama tetapi ia sekaligus
bertindak sebagai perusak hidup dan kehidupan masyarakat. Ia bertindak sebagai perusak
karena mungkin saja tidak mempunyai penghayatan serta ketidaksetiaannya menjalankan
ritus-ritus keagamaanya. Pada sikon seperti itu, agama harus bisa berperan untuk
merubah umatnya itu. Kehidupan masyarakat hanya bisa diperbaiki oleh pribadi-pribadi
yang mengalami perubahan karena mendapat tuntunan keagamaan. Memang agama
tidak mempunyai hak yudikatif terhadap pelanggar hukum-hukum sosial dan
masyarakat. Akan tetapi, agama tetap mempunyai hak dan banyak sekali kemampuan
untuk merubah manusia. Di sini terjadi, manusia yang berubah [karena peran agama]
sehingga perubahan itu berdampak luas pada masyarakat.
4. Peran Persatuan dalam Masyarakat. Hampir semua aspek yang membedakan
manusia, umumnya, sebagai akar perbedaan. Adanya perbedaan ajaran agama-agama
dapat menjadi [di sana-sini] konflik diam antar umat beragama; silent conflict, konflik
tertutup tapi dampaknya sangat terasa, maupun yang terbuka. Konflik yang diam, sangat
mudah meledak menjadi kerusuhan sosial-rasial. Secara langsung maupun tidak, konflik
telah menyebabkan permusuhan yang diam antar umat beragama di luar wilayah konflik.
Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah walaupun mereka tidak terlibat secara langsung
dalam konflik umat beragama. Sikon seperti itu hanya bisa diperbaiki jika agama
berperan sebagi pelopor persatuan masyarakat. Ini berarti, agama harus berperan sebagai
alat untuk membangun hubungan baik antar manusia. Manusia yang berbeda agama
bukan merupakan ancaman melainkan saudara. Peran sebagai alat pemersatu
masyarakat harus dimulai dari pribadi-pribadi yang terbuka, toleran, berwawasan luas,
serta mempunyai kemampunan untuk melihat perbedaan sebagai kesejajaran dan
kesamaan untuk membangun dan menuju kemajuan.
Pada masyarakat yang sederhana dan pendidikannya kurang memadai, serta mempunyai
wawasan sempit, jika menerima khotbah-khotbah dan ajaran-ajaran yang selalu
menyatakan perbedaan, maka dengan sendirinya akan membangun pemisahan
13. berdasarkan agama. Oleh sebab itu, agama-agama, terutama para pemimpin atau tokoh-tokoh
keagamaan, perlu memperlihatkan serta menonjolkan peran persatuan dalam
masyarakat.
Dengan itu, mereka memperlihatkan kesamaan agama-agama sebagai institusi Ilahi,
yang datang dari TUHAN yang sama dan Esa. Jika, agama-agama datang dari TUHAN
yang sama, maka selayaknya juga membawa kepersatuan dalam masyarakat. Agama-agama
mengajarkan adanya TUHAN Allah yang Esa; TUHAN untuk semua umat
manusia; jadi manusia tidak layak melakukan perbedaan atau pemisahan terhadap
TUHAN yang Esa tersebut. Namun, sayangnya ada agama yang tidak melakukan hal-hal
tersebut.
Jangan sampai terjadi atau terlihat dalam masyarakat bahwa karena manusia mempunyai
ketaatan yang sungguh-sungguh, teguh, kokoh, baik, dan benar mengenai ajaran-ajaran
agamanya, maka mereka membuat perbedaan antar sesamanya. Jika hal seperti itu
terjadi, maka agama akan merupakan sesuatu yang tidak berguna serta bermanfaat untuk
hidup dan kehidupan manusia serta masyarakat. Dan bila pada diri seseorang [juga pada
masyarakat] mempunyai konsep seperti itu, maka akhirnya sinisme terhadap agama akan
terbukti; manusia tidak membutuhkan agama jika menjadikan dirinya terpecah ataupun
terasing dari sesamanya.
Pelembagaan Agama
Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan
menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada
umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui
pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun
nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu
agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi
melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya
mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama
membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling
memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng
pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan
invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa
(suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
14. Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya
tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia
“tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru
tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua.
Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih
salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum
selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya
sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di
Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan
kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya,
daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap
bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku
umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek
agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun
nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya
semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di
desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka
upacara-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di
daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan
dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air
dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di
kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang
lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun
sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku.
Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk
melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya
merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau
pimpinan agama.
Fenomena hubungan Agama dan Negara
Agama idealnya menjaga jarak terhadap politik. Ia harus menjadi semacam ‘faktor X’ di
luar kekuasaan dan dunia politik. Bukan justru masuk, terlibat, dan menjadi sama bobrok
dan busuknya dengan para politisi tersebut. Coba Anda jujur pada diri sendiri, apakah
15. agama semakin dimuliakan di tangan para politisi dan di lingkungan kekuasaan? Kalau
jawaban Anda “ya” berarti Anda buta mata dan buta hati. Agama semakin diperkosa,
korupsi merajalela, hukum dimanipulasi, harta dan tahta di tempatkan lebih tinggi dari
apapun. Kekuasaan dicari dengan jalan tidak halal dan sangat sering melalui tindakan
penghalalan segala cara. Sekarang apa-apa diberhalakan. Uang dan harta menjadi
berhala.
Fundamentalisme seperti yang telah dikemukakan oleh Karen Armstrong, merupakan
salah satu fenomena yang sangat mengejutkan pada abad ke-20. Lantas kenapa terlihat
lumrah dan biasa saja? Karena mereka mampu menempatkan diri dan cara pandang
secara tepat, bahwa negara adalah negara, politik adalah politik, agama adalah agama.
Mereka juga paham betul bahwa politik dan agama adalah dua sisi yang berbeda laksana
kepala dan ekor pada uang logam. Tidak boleh terlalu rapat tapi jangan juga terlalu jauh.
Keduanya mempunyai fungsi dan tabiatnya masing-masing. Laiknya minyak dan air
yang tak boleh dicampuradukkan, tapi dua-duanya tetap dibutuhkan.
Begitu mengerikan ekspresi dari fundamentalisme saat ini, peristiwa paling
menghebohkan dunia yang terjadi pada Semtember 2001 silam yaitu penghancuran
gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, kejadian tersebut
dihubungkan dengan fundamentalisme. Sementara di Indonesia terjadi peristiwa bom
bunuh diri di berbagai tempat. tempat seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kedutaan
Besar Australia di Jakarta, dan lain sebagainya.
Motif dari berbagai peristiwa terorisme tadi mewujudkan betapa toleransi harus menjadi
pola komunikasi antar warga. Terlepas dari perbedaan agama, suku, etnis, budaya dan
Negara juga status sosial. Dengan sikap toleran inilah diharapkan terciptanya kerukunan
antar warga yang relasinya akan menciptakan dunia yang damai. Perdamaian dengan
tidak pertumpah darahan. Perdamaian dengan tidak adanya kelompok yang merasa di
marjinalkan. Untuk itu penulis rasa perlunya memahami toleransi sebagai sebuah jalan
menuju perdamaian yang diharapkan tadi. Meski perlu disadari benturan-benturan
peradaban memang tak dapat disangkal secara empiris. Peristiwa itu tidak jauh dari
fundamentalisme agama yaitu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan dengan
dilandasi fanatisme agama yang berlebihan.
Perang Salib (1069-1291) merupakan perang antar umat Kristen Eropa dengan umat
Islam yang memperebutkan Yerussalem/Palestina. Perang Salib berlangsung hinggga
tujuh kali (Perang Salib VII tahun 1270-1291) status Yerusalem/Palestina tidak berubah,
yaitu tetap dikuasai umat Islam. Bahkan kedudukan Barat/Kristen di Syira dan Palestina
16. hilang. Keuntungan dari peperangan itu, Barat menjadi mengenal dan memanfaatkan
kebudayaan umat Islam yang sudah lebih tinggi daripada yang mereka miliki saati itu.
Selain itu, hubungan dagang Asia-Eropa menjadi lebuh hidup dan berkembang.
Sebenarnya kita harus benar-benar peka terhadap hubungan agama dan Negara ini
bahkan banyak kalangan tidak setuju terhadap partai-partai berbasis agama. Kenapa?
Karena justru saat ini agama dijadikan alat politik (dan sangat sering diperalat politisi)
untuk mencapai tujuan, bahkan bilapun itu harus dengan menghalalkan segala cara.
Makanya jangan heran kalau kemurnian dan kesucian agama ini justru semakin
menghilang dan tercemar. Agama seharusnya menawarkan apa yang tidak bisa diberikan
dunia, bukan justru ikut-ikutan dan bahkan diperalat. Secara dasariah agama itu baik
adanya, para pelakunya yang justru harus koreksi diri.
Untuk meminimalkan konflik antar umat beragama dapat dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Tidak memperdebatkan segi perbedaan dalam agama
2. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan agama berbeda
3. Membuat orientasi pendidikan pada pengembangan aspek pemahaman agama
yang bersifat universal
4. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi
yang berbudi pekerti
5. Menghindari jauh-jauh sifat egoisme dalam beragama yang mengklaim mereka
paling benar
17. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia tidak
bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama sebagai hal
tersebut, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masing-masing keyakinan
mempunyai dasar ataupun pedoman sesuai dengan keyakinannya. Pancasila khususnya
Sila ke-1 menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sudah jelas dan tidak diragukan
lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu ada.
Manusia adalah makhluk beragama dan bernegara. Agama memberikan nilai-nilai moral,
norma pelajaran tentang tanggung jawab individu dan sosial serta memberi petunjuk
mencapai kebaikan setelah kematian. Sedangkan dari negara manusia mendapat jaminan
ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupanya didunia.
Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan negara diIndonesia,
kedua komponen Indonesia tersebut seyogyanya mengedepankan cara-cara diologis
manakala terjadi persisihan pandangan antara kelompok masyarakat sipil dengan negara.
Untuk menompang tumbuhnya budaya dialog tersebut negara bisa menyediakan
fasilitas-fasilitas demokrasi, kebebasan pers, kebebasan beroeganisasi, serta
meningkatkan fasilitas publik guna menampung opini warga.