Makalah ini membahas sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia, dimulai dari zaman Hindia Belanda hingga pengakuan kedaulatan Indonesia atas seluruh perairannya melalui Deklarasi Djuanda 1957 dan UU No. 4/1960. Makalah ini menjelaskan perjuangan Indonesia untuk menetapkan batas wilayah laut sesuai dengan kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan.
1. TUGAS MATA KULIAH
HUKUM LAUT DAN PPPK
PERKEMBANGAN HUKUM LAUT DI INDONESIA
Dosen pengampuh:
Luhur Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng
Nama : Wartono
NIM : 1310210005
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE
TUBAN
2022
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul perkembangan hukum laut di
Indonesia ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas [dosen] pada [hukum laut]. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang [perkembangan hukum laut di indonesia] bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada [bapak luhur moekti prayogo, S.Si., M.Eng],
selaku [dosen] [bidang mata kuliah hukum laut] yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Taiwan, 30 Desember 2021
3. HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang
Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
II.1 sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
4. BAB 1
1. Latar belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut lebih luas (dua pertiga) dari wilayah daratan (satu
pertiga). Wilayah daratan Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang di dalamnya
meliputi: perairan pedalaman, selat maupun teluk yang menjadi penghubung antar pulau-
pulau yang ada. Penetapan konvensi Jenewa tahun 1958-1960 tentang hukum laut belum
memberikan kepuasan kepada negara Indonesia dalam memberikan pengamanan secara
nasional berkenaan dengan belum terintegrasinya wilayah nasional. Hal ini dapat dilihat
salah keputusan konvensi Jenewa Tahun 1958-1960 tentang Hukum Laut Internasional
belum memberikan jaminan perlindungan terhadap seluruh wilayah laut terutama wilayah
laut di perairan pedalaman. Karena itu, pemerintah Indonesia yang pelopori dengan
Deklarasi Djuanda 1957, dilanjutkan perjuangan Menteri Luar Negeri Mochtar
Kusumaatmadja serta para diplomat Indonesia seperti Hasyim Djalal berupaya agar
kepentingan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dapat diakomodir.
Pada akhirnya perjuangan-perjuangan di atas dapat dipenuhi pada ketetapan Konvensi
Hukum Laut Ke III tahun 1982 mengakui bahwa seluruh wilayah laut termasuk perairan
pedalaman Indonesia merupakan suatu kesatuan wilayah Indonesia (wawasan nusantara)
2. Tujuan penulisan
1. Mendeskripsikan sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum laut di indonesia
5. BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia
Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan yang disebut Ordonansi laut teritorial, serta lingkungan maritim
Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku sejak
tahun 1939. Berdasarkan ordonansiini, setiap pulau baik pulau yang berukuran besar maupun pulau yang berukuran
kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri.
Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai
jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan
Indonesia.Dengan demikian wilayah perairan Indo-nesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau
bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut (Mochtar Kusumaatmadja:187)
Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya
sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan
terbentuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara satu pulau atau
bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga membawa dampak yang sangat negatif dan
merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia.
Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut
(freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi, melalui pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18
Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II), dan disusuldengan terbitnya Deklarasi Juanda
pada tanggal 13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerin-tah mengenai wilayah perairan Indonesia.
Deklarasi ini me-nyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa meman-dang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan
bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Repub-lik Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari
garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan
dengan undang-undang.
Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada tanggal 13 Desember tahun 1957 dilakukan
berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar Kusumaatma-dja, 1978:187) sebagai berikut :
1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
mempunyai sifat, dan corak tersendiri sehingga memer-lukan pengaturan tersendiri;
2. Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Repub-lik Indonesia,semua kepulauan serta laut yang terletak di
antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat;
3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercan-tum di
dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kriengen Ordonnantie” 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi de-ngan
kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia;
4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya
perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.
Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13
Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu). Adapun isi dari Perpu yang diundangkan berlakunya pada tanggal 18 Februari
1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut (Mochtar Kusuma-
atmadja, 1978:194) :
1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar;
2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasarlaut dan
tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya dengan segala kekayaan alamyang terkandung di dalamnya;
3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini;
4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama tidak
merugikan kepentingan negara pantai dan meng-ganggu keamanan serta ketertibannya.
6. Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya terdiri dari 4 pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan laut
wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air
rendah (low water line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung
ke ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan
dalam hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasio-nal (International Court of Justice) dalam perkara
sengketa perikanan Inggeris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 (lihat kasusnya dalam L.C.
Green, International Law through the Cases, 1978:325) dan kemudian dikukuhkan dalam Pasal 5 Konvensi Geneva
1958 tentang Laut Teritorial, dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam Pasal 7 Konvensi Hukum
Laut 1982.
Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua akibat :
1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan Indonesia;
2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya darilaut wilayah
ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan status ini tidak
mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah, maka Pasal 3
menyatakan bahwa perairan pedalaman tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing.
Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, maka para
petugas dilaut merasakan adanya kebutuhan atau keperluan untuk mempertegas, serta menterjemahkan ketentuan hak
lintas damai bagi kapal asing di perairan nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor
4/Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayar melalui perairan
nusantara,maka Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu
Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan Indonesia.
Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1962, dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor
4/Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas damai kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang
dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang bersifat
spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan
kapal niaga).
Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1962, adalah pelayaran untukmaksud damai yang melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia,dari laut
bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan dari laut bebas ke laut bebas.Lalu lintas kapal asing dianggap
damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, keter-tiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu
perdamaian Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan
bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau mondar mandir
tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut peraturan
pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi bagian-
bagian tertentu dari perairan pedalaman untuk sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk menjamin
kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia disyaratkan
untuk meminta izin dari Presiden Republik Indo-nesia.
Kapal perang asing yang akan melintasi perairan Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahu -an atau
notifikasi kepada Menteri/KSAL (Kepala Satuan Ang-katan Laut). Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas
permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia,dan dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang
tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi negara yang merupakan negara bendera (Flag State).
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan tentangalur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah ditetapkan
oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta kapal nelayan
atau kapal ikan harus melalui alur-alur tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran tidak perlu
memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara.Karena alur-alur pelayaran itu belum
ditetapkan pada waktu itu, maka dalam praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban pemberitahuan
ketika melintasi perairan nusantara.
Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan
menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati, karena
banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus
pencu-rian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan
menghukumnya, kebanyakan hukumannya sangat ringan, sehingga kerugian yang begitu besar, akibat pencurian ikan
di perairan nusan-tara harus ditanggung oleh bangsa dan negara.
7. Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut pada tahun 1960-an, terkait dengan berlakunya Konvensi Geneva
1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai laut teritorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas,
Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai landas
kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah
Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia yang memuat pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar
kusumatmadja, 1978:37-38) :
1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme
hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau milik
dari bangsa dan negara Republik Indonesia dan dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang bersifat
eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut
teritorial Indonesia, tetapi berbatasan dengan-nya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun
1960, hingga suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedala-man tersebut sepanjang
kemampuan teknologi Indonesia masih memungkinkan penggalian dan pengusahaannya.2. Pemerintah Indonesia
bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui perundingan.
3. Jika tidak ada perjanjian garis batas,maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-
tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah negara tetangga.
4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mem-pengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas landas
kontinen Indonesia sebagailaut lepas,demikian pula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus seba-gairuang udara
internasional.
Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara konsepsi landas
kontinen Indonesia dengan konsepsinusantara.Arti nyata konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di
dalam Pengumuman tersebut, adalah bertambahnya lagi luas daerah di bawah permukaan laut (submarine areas)
dengan jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat
di landas kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini lahir atas dorongan kebutuhan untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya mineral yang terdapat di daerah-daerah di bawah permukaan laut,
terutama di Laut Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena Indonesia dikelilingi oleh negara-negara
tetangga yang mempunyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka pemerintah Republik Indonesia perlu
menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga sebelumditemukan deposit atau
cadangan minyak dan gas bumi di landas kontinennya.
Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas Kontinen pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan
terutama untuk menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga. Misalnya
perjanjian garis batas landas kontinen antara Republik Indonesia dengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas
landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Thailand tahun
1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara dan di Laut Andaman; perjanjian antara
Republik Indonesia Thailand dan Malaysia pada tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka
bagian Utara; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia tentang penetapan garis batas dasarlaut tertentu
(Laut Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun 1973; perjanjian antara Republik Indonesia
dengan Australia tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah dasar laut tertentu (Selatan Pulau
Tanimbar dan Pulau Timor); perjanjian antara Republik Indonesia dengan India mengenai penetapan garis batas landas
kontinen tahun 1974. Semuanya ini merupakan hasil kerja dari Departemen Pertambangan, terutama Team Teknis
Landas Kontinen yang dibentuk oleh Departemen tersebut.
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana termaktup di dalam
Pengumuman Pemerintah tahun 1969 kemudian dituangkan ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan
yang dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia.
Prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas
kontinen (Geneva Convention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas kontinen Indonesia, hak-hak
berdaulat (souvereign rights), penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dengan negara-negara tetangga maupun
status hukum dari perairan yang berada di atas landas kontinen Indonesia, namun dengan tetap mengutamakan
kepentingan nasional.
Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen yang artinya pengua-saan dan
pemilikannya ada pada negara Republik Indonesia, juga negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas peneli-tian
ilmiah kelautan yang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga
dikemukakan mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat dibangun,dipelihara dan dimanfaatkan dalam
usaha melaksanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia.
8. Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang terdapat di landas kontinen terhadap gangguan pihak
ketiga, maka Pemerintah dapat menetapkan apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area) yang radiusnya 500
meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal dan atau alat lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat
ditetapkan daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah
terlarang itu di mana kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membong-kar sauh. Di landas kontinen Indonesia,
pada instalasi, kapal dan alat-alat lain di landas kontinen, maka hukum dan segala peraturan perundang-undangan
Indonesia dapat diterapkan atau diberlakukan, bahkan instalasi dan alat-alat lain yang dipergunakan untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Kepabeanan Indonesia atau daerah bea cukai,
daerah fiscal, daerah karantina dan daerah keimigrasian.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumu-man Pemerintah Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini dimaksudkan untuk
mengakomodasi perkembangan hukum laut yang selain diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai
hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah menghasilkan rancangan konvensi hukum laut baru (Draft
Convention on the Law of the Sea) yang di dalamnya memuat pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif
secara umum, juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak yang dilakukan oleh negara-negara pantai dari
berbagai kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona
200 mil, zona perikanan sejauh 200 mil (dari pantaiatau garis pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi
eksklusif.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 20 Maret 1980 yang berpedoman pada praktek negara-negara
yang telah diterima secara luas terkait dengan rezim hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE
Indonesia adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur
laut itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung dari garis pangkal sebagaimana diatur berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pe-ngertian ZEE Indonesia yang mengikuti
kecenderungan perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu, tetapi dengan tetap mengutamakan
kepentingan nasional Indonesia yang berlandaskan wawasan nusantara.
Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut,ditegaskan mengenai hak-hak berdaulat
serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai atau negara Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hak-hak
berdaulat (souvereign rights), yaitu hak-hak untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasimaupun pengelolaan
sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di dalam badan air (water column), dasar laut dan
tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga hak untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti
membangkitkan energi yang berasal dari arus laut, ombak dan gelombang laut maupun angin yang berada di dalam
jalur laut 200 mil.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak ber-daulat ini, maka Republik Indonesia juga memiliki yurisdiksi atau
kewenangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pe-manfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi
(installation) dan bangunan (structure)di jalur atau zona tersebut; juga yurisdiksi terkait dengan penelitian ilmiah ke-
lautan (marine scientific research) di ZEEI; juga yurisdiksi yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian
lingku-ngan laut (protection and preservation of the marine environ-ment).
Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagian-bagian laut tertentu ZEE Indonesia (ZEEI), tumpang tindih
(overlapping) dengan ZEE negara-negara tetangga,maka Pemerintah Republik Indonesia bersedia untukmengadakan
perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyang-kut penetapan garis batas ZEE masing-masing negara.
Selama belum tercapai kesepakatan soal garis batas tersebut, maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di
tengah-tengah antara garis pangkal laut teritorial Indonesia dengan wilayah pantai dari negara tetangga yang
bersangkutan.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut juga menegaskan bahwa sepanjang dasar laut dan tanah di
bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas kontinen Indonesia, maka hak-hak berdaulat, yurisdiksi serta kewa-
jiban-kewajiban Indonesia akan dilaksanakan menurut Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973,
perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum
internasional lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerin-tah tersebut dinyatakan bahwa status perairan ZEE
Indonesia yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya tetap ber-status sebagaiperairan internasional sehingga
di perairan tersebut tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam bidang-bidang tertentu, seperti kebebasan
untukberlayar (freedom of navigation), kebebasan untukmelakukan pener-bangan di ruang udara yang berada di atas
perairan ZEE Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan saluran pipa bawah laut di ZEE Indonesia
sesuai dengan prinsip-prinsip hukumlaut internasional yang berlaku.
Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tahun 1980, sebagaimana halnya
dengan Pengumuman Pemerintah tahun 1957 (Deklarasi Juanda), dan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia
tahun 1969, pada akhirnya dituangkan pula ke dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dinama-kan Undang-
9. Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga memiliki
kekuatan yuridis formal dan tidak sekedar suatu pengumuman dan pernyataan semata-mata.
Undang-undang itu antara lain memuat ketentuan umum yang mencakup definisi dari berbagai istilah seperti sumber
daya alam hayati, sumber daya alam non hayatidan lain-lain, pengertian ZEE Indonesia,hak-hak berdaulat, yurisdiksi
dan kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang dapat dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah
penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya (lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1983). Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan peratu-ran pelaksanaan yang berupa Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam hayati
di ZEE Indonesia.
Sumber daya alam hayati yang istilah populernya ada-lah ikan tidak mengenal batas-batas wilayah negara sesuai
dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan dengan praktek negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat
internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut inter-nasional yang melandasi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tersebut,maka sumberdaya alam hayatiyang terdapat didaerah ZEE Indonesia adalah
milik Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum
inter-nasional, misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable
Catch), besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan Indonesia (Capacity to Harvest), langkah-langkah
untuk pelaksanaan konservasi serta kesediaan Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada usaha perikanan
asing, untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang jumlah tangkapan yang diperbolehkan belum
sepenuhnya dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia.
Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khususnya di sub sektor perikanan, maka sumber daya alam hayati di
ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu sebagai potensiyang dapat dimanfaatkan secara langsung melalui
kegiatan penangkapan ikan serta sebagai pendukung sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat
fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini
berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran
yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan
sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23).
Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Repub-lik Indonesia adalah diundangkannya Undang-Undang Perika-
nan Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya
antara lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan atau pengertiannya, seperti misalnya istilah
perikanan yang artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelola-an dan pemanfaatan sumber daya ikan.
Sedang sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lain-nya.
Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara
optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau
pembudidayaan ikan. Demikian antara lain, pelbagai istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 sebab masih banyaklagi istilah yang tidak perlu diulangi (lihat Pasal 1 undang-undang
ini). Selanjutnya dalam Pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi perairan
Indonesia (laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman), sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air
lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia, maupun perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 juga mengatur tentang pengelolaan sumber daya ikan
dalam wilayah perikanan Republik Indonesia yang ditujukan bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa
Indonesia, dan untuk mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan penge-lolaan sumber daya ikan secara terpadu dan
terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa
Indonesia.
Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan ketentuan-ketentuan mengenaialat tangkap
ikan; syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran; jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis serta
ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran
dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; penebaran ikan jenis baru, pem-
budidayaan ikan dan perlindungannya.
Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan melalui usaha perikanan di dalam wilayah perikanan Repub-lik
Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warganegara Repub-lik Indonesia atau badan hukum Indonesia,dengan penge-
cualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan
inter-nasional atau hukum internasional yang berlaku. Pihak yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki
izin usaha perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun perorangan lainnya yang sifat usahanya
merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban tersebut.
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 telah dicabut berlakunya sejak diundangkannya Undang -
Undang Perikanan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 yang azas-azasnya pada
waktunya akan dibahas secara lengkap dalam Pokok Bahasan mengenai Hukum Perikanan Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tamba-han Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433).
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004, dikemukakan pelbagai macam istilah yang
terkait dengan masalah perikanan, sepertiistilah perikanan yang diartikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingku-ngannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistembisnis perikanan.
Sumber daya ikan adalah potensisemua jenis ikan. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan
sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun,termasuk kegi-
atan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan
atau mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah semua upa-ya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan ke-putusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau oto-ritas lain yang diarahkan untukmencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayatiperairan
dan tujuan yang telah disepakati.
Demikian antara lain istilah-istilah yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2004. Sedang mengenai azas pengelolaan perikanan dikemu-kakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan
berdasarkan atas azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keter-paduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian
yang berkelan-jutan. Tujuan pengelolaan perikanan adalah: a) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan
pembudidaya ikan kecil.; b) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c) mendorong perluasan dan kesempatan
kerja; d) meningkatkan keter-sediaan dan konsumsi sumber potensi ikan; e) mengoptimal-kan pengelolaan sumber
daya ikan; f) meningkatkan produk-tivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g) meningkatkan ketersediaan bahan
baku untuk industri pengolahan ikan; h)mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudi-dayaan ikan, dan
lingkungan sumber daya ikan secara opti-mal; i) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembu-didayaan ikan
dan tata ruang.
Selanjutnya mengenai ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Perikanan yang baru adalah bahwa undang-undang
ini berlaku untuk a) setiap orang, baik warganegara Indonesia maupun warganegara asing, badan hukum Indo-nesia
maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo -
nesia; b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing yang melakukan kegiatan
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-nesia; c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; d) setiap kapal perikanan
berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk
kerjasama dengan pihak asing.
Selanjutnya untuk penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan maka wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia meliputi perairan Indonesia, ZEE Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang
dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Pengelo -laan
perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan,persyaratan dan atau standarinternasional yang diterima secara umum.
Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terda-pat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 2004.
Pada bulan Desember 1985 Pemerintah Republik In-donesia mengesahkan atau meratifikasi Konvensi Hukum Laut
1982 (KHL 1982) dengan mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 sehingga
sejak waktu itu Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973
hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum positif Indonesia. Melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 1985, maka Konvensiyang isinya bersifat komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak
berlakunya lagi Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah menjadi hukum positif kita.
Walaupun KHL 1982 belumberlaku secara efektif pada waktu itu atau belum“come into force”, namun bagiIndonesia
sendiri Konvensi itu telah berlaku secara individual sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 1985. Hal ini sesuaidengan ketentuan Pasal308 ayat (2) KHL 1982 yang menyatakan bahwa bagi setiap negara
yang meratifikasi atau menyatakan aksesi pada konvensi ini setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi,
konvensi mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendeposit-an piagam ratifikasi atau aksesinya, dengan
tunduk pada ketentuan ayat (1). Ayat 1 pasal yang sama (Pasal 308, ayat 1) menyatakan bahwa Konvensi ini mulai
berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagamratifikasi atau aksesi yang ke-60.
11. Demikian kendati KHL 1982 belum berlaku secara internasional pada tahun 1985 sebab ketika itu jumlah ratifikasi
yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan,namun bagi Indonesia sendiri konvensi tersebut telah berlaku secara
individual. KHL baru berlaku secara internasional atau secara umum pada tanggal 16 November 1994, sebab satu
tahun sebelumnya yakni pada tanggal 16 November 1993, Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi
KHL 1982 dan mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen PBB.
Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia menin-daklanjuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
1985 mengenai pengesahan Indonesia terhadap KHL 1982, dengan mengundangkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.Undang-Undang ini selain mencabut berlakunya Undang-
Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960, juga pada dasarnya undang-undang ini menguatkan kembali dasar-dasar penga-
turan wilayah perairan Indonesia,sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, namun lebih
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982, dengan mencantumkan ketentuan-ketentuan dasar Negara
Kepulau-an (Archipelagic State), sebagaimana diatur di dalam Bab IV KHL 1982. Demikian di dalam undang-undang
ini terdapat pengertian Indonesia sebagaiNegara Kepulauan, berbagai ma-cam garis pangkal, terutama garis pangkal
lurus kepulauan yang tidak berdiri sendiri, sebab harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis -garis pangkal
lainnya, seperti garis pangkal normal, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, pelabuhan, sungai dan lain -
lainnya.
Di dalam Undang-Undang Wilayah Perairan Indonesia yang baru (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1996) juga diatur secara makro mengenai berbagai macam lintas pelayaran, seperti lintas damai, lintas transit
dan lintas alur kepulauan serta hak akses dan komunikasi (terutama yang terkait dengan kepentingan negara tetangga).
Pemerintah Republik Indonesia kemudian menindak-lanjuti ketentuan pasaldari Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1996 menyangkut garis pangkal lurus kepulauan atau garis pangkal kepulau an, dengan
mengundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 sebagai salah satu peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Pangkal dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut Natuna (lihat PP RI Nomor 61 Tahun 1998). Kendati
sifatnya tambal sulam, sebab hanya mengaturmasalah penarikan garis pangkal lurus kepulauan di wilayah Kepulauan
Natuna, namun dikeluarkannya Peraturan pemerintah tersebut dila-tarbelakangi dengan pemikiran di mana panjang
maksimal setiap garis pangkal lurus kepulauan Indonesia bisa mencapai 100 mil laut,malahan kadang-kadang (dengan
persentase tertentu) bisa mencapai maksimal 125 mil laut sehingga tidak semua pulau-pulau terluar terutama yang
terletak di sekitar laut Natuna lalu dengan sendirinya dapat dijadikan dan digunakan sebagai titik pangkal.
Tujuannya tentu tidak lain daripada mewujudkan ke-sempatan untuk memperoleh atau memiliki wilayah perairan
khususnya perairan kepulauan yang jauh lebih luas daripada kita menggunakan seluruh pulau terluar sebagai titik
pang-kal. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan KHL 1982 yang mensyaratkan Republik Indonesia untuk membuat
peta garis pangkal lurus kepulauan atau sebagai gantinya harus membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis
pangkal lurus kepulauan, maka ketentuan pasalmengenai garis pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur
di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 ditindaklanjuti lagi melalui pengundangan
Peraturan Pemerintah RI mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002
Nomor 72 ).
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah Repub-lik
Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan Indo-nesia. Dalam menarik garis pangkal kepulauan, maka dapat
dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk yang
tentu saja teluk ini terdapat pada pulau terluar, garis penutup pada sungaiatau muara sungai,garis penutup pada pela-
buhan, pada kuala, terusan dan lain-lainnya sepanjang semuanya itu berada pada suatu pulau terluar.
12. BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari hasil pemahaman yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
a. Untuk mengetahui cara-cara penetapan batas wilayah laut negara yang berdekatan
menurut UNCLOS
b. Untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan di bidang perkembangan Hukum
laut di indonesia
2. SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut penulis meminta
kritik yang membangun dari para pembaca.