Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diperingati setiap tahunnya, perlu untuk diketahui dan disadari akan hakikat kemerdekaannya. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa ini tak lebih dari kemerdekaan yang semu.
Memang 76 tahun yang lalu Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Namun pada kenyataannya, negara ini baru merdeka dari penjajahan secara fisik. Pada aspek lainnya, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, kita belum bisa dikatakan merdeka.
1. HIJRAH: KEMERDEKAAN HAKIKI
Oleh: Husni Muarif
KEMERDEKAAN
Bulan ini umat Islam memasuki tahun baru Hijrah, tahun 1443 H, dan juga bersamaan
dengan hari kemerdekaan Indonesia yang genap berusia 76 tahun yang selalu
dirayakan pada tanggal 17 Agustus. Memang 76 tahun yang lalu Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaannya. Namun pada kenyataannya, negara ini baru
merdeka dari penjajahan secara fisik. Pada aspek lainnya, seperti ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, kita belum bisa dikatakan
merdeka.
Bicara soal kemerdekaan, saya teringat dengan event Muharram yang
diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir saat tahun baru Hijriyah 1435, yang jatuh pada
tanggal 5 November 2013. Meski saya absen karena suatu hal pada acara tersebut,
namun ada pesan yang sangat membekas yang saya dapat dari peserta yang ikut
acara tersebut. Saat itu pembicaranya adalah Ust. Dwi Condro. Beliau mengatakan
dengan gaya retorikanya; “Kalau kemerdekaan Indonesia adalah tanggal 17 Agustus
1945, maka kapankah hari kemerdekaan umat Islam? Apakah umat Islam punya hari
kemerdekaan? Ada yang tahu?”
Lalu dengan tegas Ust. Dwi Condro melanjutkan; “Hari kemerdekaan umat Islam
adalah tanggal 1 Muharram! Penetapan kalender Tahun Baru Islam adalah
penetapan kemerdekaan umat Islam!”
Mengapa? Karena kemerdekaan umat Islam dimulai dari sebuah momen besar, yaitu
momen hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Mekkah ke Madinah. Penetapan
kalender Tahun Baru Islam yang ditetapkan ketika ‘Umar bin al-Khaththab menjadi
Khalifah (13-23 H/634-644 M) tentu bukan tanpa alasan, sebab ada banyak peristiwa
besar yang lain. Ada peristiwa kelahiran Nabi Muhammad, ada peristiwa Rasulullah
menerima wahyu, ada peristiwa wafatnya Rasulullah, juga peristiwa perang Badar di
mana di situ awal pertama umat Islam mendapatkan kemenangan, dst.
Hijrah dijadikan sebagai kalender Tahun Baru Islam, atas usulan ‘Ali bin Abi Thalib.
Alasan beliau, karena itulah hari di mana Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama
meninggalkan wilayah syirik. Memerdekakan umat dari sistem jahiliyyah dan
penghambaan kepada hawa nafsu, untuk kembali kepada tauhid, yaitu
penghambaan hanya kepada Allah semata. ‘Umar pun setuju. Beliau menegaskan,
bahwa hijrah itu telah memisahkan antara yang haq dengan yang batil. Antara Islam
dengan kekufuran. [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz VIII/576 dan 577]
Lalu, mengapa yang dijadikan patokan 1 Muharram, bukan 12 Rabiul Awwal? Padahal
riwayat yang paling kuat tentang peristiwa hijrah menyatakan, bahwa hijrah
dilakukan oleh Nabi dan Abu Bakar dari Makkah ke Madinah di bulan Rabiul Awwal.
[Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz VIII/575]
2. Ibn Hajar al-Asqalani, mengutip penjelasan as-Suhaili, bahwa dasar penetapan
sahabat itu merujuk pada firman Allah:
ُّقَحَأ ٍم ْوَي ِل َّوَأ ْنِم ى َوْقَّتال َلىَع َ
سِسُأ ٌد ِجْسَمل
:[التوبة ِهْيِف َم ْوُقَت ْنَأ
108
]
“Sungguh, masjid yang dibangun berdasarkan ketakwaan sejak hari pertama itu lebih
pantas dijadikan tempat engkau melaksanakan shalat di sana.” [QS at-Taubah: 108]
Para sahabat memahami, bahwa yang dimaksud “hari pertama” di dalam ayat ini
bukan hari pertama secara mutlak. Tetapi, hari pertama yang sudah definitif, yaitu
hari ketika Nabi tiba di Quba’, hari di mana Islam mendapatkan kemuliaan. Nabi
shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama juga bisa menunaikan ibadah kepada Rabb-nya
dengan aman dan tenang. Karena itu, hari yang dijadikan patokan penanggalan
adalah “hari pertama kemenangan”. [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz VIII/575-576].
Tapi kapan itu?
Para sahabat akhirnya menetapkan 1 Muharram sebagai “hari pertama” di tahun
baru. Karena, itu merupakan hari pertama, di bulan pertama, setelah kemenangan
yang mereka dapatkan pada Bai’at Aqabah II.
Bai’at yang menandai penyerahan kekuasaan (istilam al-hukm) dari kaum Anshar
kepada Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama. Bai’at Nushrah wa Man’ah, yaitu
sumpah setia untuk memberikan pertolongan dan perlindungan kepada Nabi dan
agamanya.
Karena Bai’at Aqabah II ini terjadi di pertengahan bulan Dzulhijjah, maka awal bulan
berikutnya, yaitu 1 Muharram ditetapkan sebagai "hari pertama” kemenangan itu.
Hijrahnya Nabi saw. dari Makkah ke Madinah tersebut merupakan peristiwa yang
sangat penting yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat yang awalnya
tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan
menegakkan tatanan masyarakat yang Islami dalam sebuah negara, berubah menjadi
umat yang terbaik nan mulia (Khairu Ummah), kuat dan disegani, serta sangat
istimewa. Oleh karena itu tatkala mendiskusikan tentang penanggalan Islam, Khalifah
(Amirul Mukminin) sayyidina ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyatakan:
والباطل الحق بين فرق مهاجرته فإن ،هللا رسول لمهاجرة نؤرخ بل
“Bahkan kita akan menghitung penanggalan berdasarkan hijrahnya Rasulullah,
sesungguhnya hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.” [Ibnu Al-
Atsiir, Al-Kamil]
Itulah banyaknya alasan kenapa momen hijrah ini dipilih, namun yang terpenting
adalah tonggak pertama berdirinya sebuah negara. Negara yang menerapkan Islam
secara Kaffah. Memerdekakan umat “keluar dari darul kufur ke Darul Islam.”
3. DARUL ISLAM VS DARUL KUFUR
Berbicara tentang Darul Islam dan Darul Kufur selalu mendapatkan relevansinya.
Sebab, memang dua istilah tersebut erat kaitannya dengan peristiwa besar Hijrahnya
Rasululloh Saw. dari Mekah ke kota Yastrib yang kemudian dirubah menjadi Madinah
oleh Rosululloh Saw. Di mana sejak saat itu kaum Muslimin memiliki sebuah Negara
Islam (Madinah) yang menjaga Ajaran Islam dan kaum Muslimin serta non-
Muslim/Kafir Dzimmi, serta menjadi Pusat Pengembangan Dakwah Islam ke seluruh
penjuru Bumi Alloh Swt.
Sebuah Institusi Sunnah Rosul yang didirikan dan dipimpin langsung oleh Nabi Saw.
dan dilanjutkan oleh para sahabat Beliau. Mulai saat itu, wilayah di dunia terbagi
menjadi dua: wilayah yang diperintah dengan hukum-hukum Islam dan
kekuasaannya berada di tangan kaum Muslimin, dan wilayah yang tidak diperintah
dengan hukum-hukum Islam dan kekuasaannya tidak berada di bawah kaum
Muslimin.
Wilayah pertama disebut dengan Darul Islam/Madinah pimpinan Rosululloh dan para
Kholifahnya, dan yang kedua disebut dengan Darul Kufur, atau Darul Harbi, atau
Darus Syirki atau Makkah Jahiliyyah pimpinan Abu Jahal, sebagai salah satu
contohnya saat itu. [As-Syafi’i, Muhammad bin Idris, al-Umm, Dar al-Ma’rifah,
Baerut, Cet. II, 1393 H. Juz IV, hal. 270-271]
DEFINISI DARUL ISLAM DAN DARUL KUFUR
Para fuqaha dan penulis Muslim, baik dulu maupun kini, cukup banyak yang telah
membahas masalah ini. al-Kasani (w 587 H), dari Mazhab Hanafi, menyebut-nyebut
bahwa Darul Kufur akan menjadi Darul Islam bilamana hukum-hukum Islam nampak
di sana. Para ulama Hanafi sendiri berbeda pendapat dengan sebab apa Darul Islam
berubah menjadi Darul Kufur. Abu Hanifah mengatakan: “Darul Islam tidak dapat
berubah statusnya menjadi Darul Kufur kecuali dengan sebab tiga perkara. Pertama,
tampaknya hukum-hukum kufur. Kedua, berdempetan dengan Darul Kufur. Ketiga,
tidak ada lagi seorang Muslim atau Dzimmi yang memiliki jaminan keamanan oleh
kaum Muslim sendiri.”
Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan: “Darul Islam dapat berubah
menjadi Darul Kufur hanya dengan nampaknya hukum-hukum kufur” [Al-Kasani,
‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad, Badai’ as-Shanai’ fi Tartib as-Syarai’, Juz
VII, hal. 130]. Ibn Abidin mengatakan: “Pendapat inilah (Abu Yusuf dan Muhammad)
yang sesuai dengan qiyas” [Ibn ‘Abid Muhammad ‘Alauddin Afandi, Hasyiyah Radd
al-Mukhtar, Dar al-Fikr, Beirut, 2000 M, Juz IV, hal. 175].
Sa’di Abu Jaib, menyebut bahwa: Darul Kufur menurut Syafi’iyah adalah negeri-
negeri kaum Kafir yang tidak ada perjanjian damai dengan kaum Muslim. Sedangkan
Darul Islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslimin, seperti
Baghdad, atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah, atau ditaklukkan secara
4. paksa seperti Khaibar… Atau ditaklukkan secara damai dan tanah menjadi milik kaum
Muslimin, sementara kaum Kafir membayar jizyah [Sa’di Abu Jayb, al-Qamus al-Fiqhi,
hal. 84 -dikutip dari al-Jihad wa al-Qital, Jilid I, hal. 663].
Al-‘Allamah Abdullah bin Abdil Bari (w. 1271 H), mengutip dari Imam Ibn Hajar al-
Haitami al-Makki di dalam Tuhfatul Mujtaj, menyatakan bahwa negeri-negeri yang
dikuasi oleh kaum Kafir dari negeri-negeri Islam statusnya tetap sebagai Darul Islam,
meski nampak seperti Darul Kufur [Al-Qanuji, Shiddiq Hasan Khan, Al-‘Ibrah bima Ja’a
fi al-Ghazw wa as-Syahadah wa al-Hijrah, hal. 240 - dikutip dari al-Jihad wa al-Qital,
Op.Cit., Jilid I, hal. 664]. as-Syirbini (di dalam Mughni al-Muhtaj menjelaskan bahwa
tempat tinggal seorang Muslim di Darul Harbi adalah Darul Islam, karena dia haram
meninggalkannya [As-Syirbini, Muhammad al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, Juz IV, hal.
239].
Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa patokan dalam menentukan status Dar
adalah dengan adanya kekuasaan dan pemberlakukan hukum. Jika kedua-duanya
Islam, maka Dar tersebut adalah Darul Islam. Jika tidak, maka Darul Harbi [Az-Zuhaili,
Dr. Wahbah, Atsar al-Harb, hal. 155 - dikutip dari al-Jihad wa al-Qital, Jilid I, hal.
667].
Sementara itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam as-Syakhshiyyah al-
Islamiyyah, dalam kaitannya menghukumi sebuah Dar, menyatakan harus melihat
dua perkara. Pertama, diatur dengan Islam. Kedua, keamanan di tangan kaum
Muslim, maksudnya dengan kekuasaan kaum Muslim [An-Nabhani, Taqiyuddin, as-
Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Darul Ummah, Beirut 3003, Cet. V, Juz II, hal. 250. Lihat:
Muqaddimah ad-Dustur, Juz I, hal. 9-12.].
Alasannya, karena fakta sebuah negeri (Dar) dinyatakan sebagai Islam atau kufur
adalah dengan melihat hukum yang diterapkan dan keamanan yang ada di negeri
tersebut, mengingat keamanan merupakan bagian dari konsekuensi diterapkannya
hukum [An-Nabhani, Op.Cit. Juz II, hal. 251].
Menurut Dr. Khair Haikal, di dalam kitabnya al-Jihad wa al-Qital, pendapat an-
Nabhani inilah pendapat yang paling kuat. Beliau mengemukakan alasan yang pada
intinya, pendapat inilah yang sesuai dengan realitas Darul Islam dan Darul Kufur pada
masa kekuasaan Nabi Saw., di mana pada mulanya satu-satunya Darul Islam adalah
Madinah, sebagai satu-satunya wilayah yang keamanannya independen di tangan
kaum Muslimin dan hukumnya adalah hukum Islam. Adapun Makkah saat itu (meski
ada kaum Muslim di sana) adalah Darul Kufur. Baru berubah menjadi Darul Islam saat
berada di bawah kekuasaan Nabi Saw. dan hukum yang mengatur adalah hukum
Islam, yakni setelah Fathu Makkah [Lihat: Jilid I, hal. 669 -671].
5. HAKIKAT HIJRAH DALAM KONTEKS KEKINIAN
Hakikat hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad Rasulullah Saw. adalah mengubah
tatanan perilaku (sistem/peraturan hidup) kufur jahiliyyah menjadi tatanan perilaku
(sistem) Islami dan mengubah masyarakat kufur jahiliyah menjadi masyarakat Islam
yang berkepribadian Islam (ber-syakhsiyyah Islamiyyah: berpola pikir Islam dan
berpola sikap Islam) dan berperadaban tinggi yang menjadi Khairu Ummah yang
menebar rahmah dan berkah bagi dunia dan alam semesta. Sehingga benar-benar
terwujudlah kemerdekaan hakiki dan kebangkitan hakiki.
Hakikat hijrah Rasulullah Saw. pun adalah kemerdekaan hakiki yakni mengubah Darul
kufur menjadi Darul Islam yang hanya mengadopsi dan menerapkan sistem Islam
secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dan menyebarluaskan risalah Islam ke
segala penjuru dunia dengan dakwah dan jihad yang diemban oleh Daulah Islam
(khilafah). Hingga Islam menguasai 2/3 dunia dan menjadi mercusuar dunia selama
lebih dari 13 abad lamanya sejak Rasulullah Saw. mendirikan Daulah Islam yang
pertama di Madinah dan yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin,
Khilafah Umayyah, Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah.
Saat ini, kita umat Islam pasca runtuhnya Khilafah Islam pada tahun 1924 M yang
berpusat di Turki benar-benar kini makin pecah berkeping-keping menjadi lebih dari
50 negara kecil dalam bentuk negara bangsa (nation state) -dengan paham kufur
nasionalismenya- yang tak lebih adalah penjara besar bagi umat Islam, dan kian
terpuruknya umat Islam dalam segala bidang kehidupan serta makin terbelenggu
oleh sistem kufur jahiliyah demokrasi-kapitalisme-sekulerisme hingga kita umat Islam
kian sangat dalam terbelenggu dalam lilitan dan cengkraman gurita hegemoni
penjajahan kapitalisme global asing dan aseng.
Sehingga jelas, urgensi sekarang adalah merefleksikan peristiwa hijrah Nabi saw.
sekaligus introspeksi terhadap kehidupan yang sekarang kita jalani. Sesungguhnya
kita sekarang berada dalam kehidupan yang tidak Islami. Hukum dan keamanannya
bukan di bawah otoritas Islam. Karena itu, merenungi kembali peristiwa hijrah Nabi
saw. dan merekonstruksinya untuk kebaikan peradaban pada masa yang akan datang
adalah jalan mulia yang harus ditempuh. Jalan itu adalah merekonstruksi esensi
terpenting hijrah yakni sebuah transfromasi masyarakat. Perubahan masyarakat dari
jahiliyah menjadi masyarakat Islam, atau kalau di masa sekarang, dari sistem
kapitalisme menuju sistem Islam.
HIJRAH HARUS MENGHASILKAN PERUBAHAN HAKIKI KE ARAH ISLAM
Yang perlu dipersiapkan sekarang dari hijrah adalah dengan dakwah untuk
perubahan sistem kehidupan. Mewujudkan sistem Islam, yakni Darul Islam, sama
artinya dengan usaha mewujudkan Khilafah yang telah dijanjikan. Sehingga perlunya
penguatan dakwah, perjuangan, dan pengorbanan. Aktualisasi hijrah dalam konteks
sekarang harus dimaknai dengan perjuangan untuk melanjutkan kembali kehidupan
Islam dalam ranah individu, masyarakat, dan negara.
6. Dengan kata lain, aktualisasi hijrah sekarang harus diwujudkan dengan cara berjuang
menegakkan kembali kekuasaan Islam yang akan menjamin pelaksanaan hukum
hijrah itu sendiri. Sebab, hijrah dalam konteks berpindahnya kaum muslim dari darul
kufur menuju Darul Islam hanya bisa ditegakkan jika di tengah-tengah kaum Muslim
telah tegak kekuasaan Islam. Hanya dengan itu, kaum Muslim bisa berpindah (hijrah)
dari sebuah kondisi dan negeri yang kufur menuju kondisi negeri yang Islami.
Jika kita bercermin pada perubahan yang dilakukan oleh Baginda Rasulullah saw.,
maka beliau melakukan perubahan yang nyata di kota Makkah, dengan perubahan
yang paling mendasar. Landasannya akidah Islam. Islam benar-benar dijadikan dasar
oleh Rasulullah saw. dalam visi dan misi perubahan yang beliau lakukan. Selama
kurang lebih 13 tahun Rasulullah saw. menancapkan pondasi pemikiran dasar
perubahan tersebut.
Rasulullah saw. menghujamkan akidah Islam sebagai dasar perubahan. Pemikiran
yang paling dasar ini menggambarkan visi-misi hidup seorang Muslim. Dari mana ia
berasal; akan ke mana dia setelah terjadi kematian; lalu apa yang harus dilakukan. Ini
adalah pemikiran dasar (akidah Islam).
Islam adalah pranata masyarakat yang dibangun atas dasar akidah yang jelas. Akidah
“Laa ilaah illalLah Muhammad Rasulullah”. Kalimat ini menjadi asas yang bersifat
pemikiran terhadap Islam sebagai ideologi kehidupan (fikratun kulliyatun yanbatsiqu
anha nizham), yakni bahwa di balik alam semesta dan kehidupan ini ada Allah yang
menciptakan yang ada dari ketiadaan. Artinya pula, di sana tidak ada Rabb selain
Allah.
Perubahan yang dilakukan Rasulullah saw. adalah perubahan yang bersifat inqilabi
(revolusioner). Artinya, bukan perubahan yang bersifat parsial dan tadarruj
(bertahap).
Hal demikian karena kerusakan yang terjadi di Makkah saat itu realitasnya adalah
kerusakan yang sitemik. Kebobrokan terjadi di berbagai sisi kehidupan yang saling
kait-mengkait. Isalm memandang kondisi tersebut dengan zaman jahiliyah atau
kebodohan. Kerusakan masyarakat mulai dari akidah, kehidupan bermuamalah,
bidang hokum, adat-istiadat, dan sisi kehidupan bermasyarakat lainnya.
Dalam konteks kekinian, kerusakan yang terjadi ini bersifat sistemik dan ideologis.
Karena itu perubahan yang dilakukan pun sejatinya adalah perubahan yang bersifat
sistemik dan ideologis pula.
HIJRAH MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN HAKIKI
Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diperingati
setiap tahunnya, perlu untuk diketahui dan disadari akan hakikat kemerdekaannya.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa ini tak lebih dari
kemerdekaan yang semu.
Dalam aspek ideologi, kita masih menerapkan ideologi yang dibawa oleh penjajah ke
negeri ini, yaitu ideologi kapitalisme liberal.
7. Dalam aspek politik, diadopsi sistem demokrasi, yang meniscayakan hak untuk
membuat hukum/undang-undang di tangan manusia, baik melalui DPR maupun
Presiden. Mereka bisa membuat aturan yang aturan itu justru menyusahkan dan
menimbulkan kedzaliman bagi rakyatnya. Sistem demokrasi juga hanya
menghasilkan elit politik yang bermoral rusak, berperilaku korup, meraih jabatan
hanya untuk memperkaya diri, serta berjuang untuk kepentingan kelompoknya dan
para oligarki.
Demikian juga dalam aspek ekonomi. Praktik liberalisasi ekonomi dan pengelolaan
sumberdaya alam berjalan dengan masif. Para pemilik modal atau kapitalis dapat
dengan leluasa menjarah semua sumberdaya alam negeri ini dengan dalih investasi.
UU Cipta Kerja yang sangat pro-investor ibarat karpet merah bagi para kapitalis
untuk mengeruk dan menguasai sumberdaya alam milik rakyat.
Hutan, perkebunan skala besar, pembangkit listrik, tambang mineral dan batubara
serta tambang migas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan seharusnya
dikelola oleh negara atas nama rakyat, senyatanya sekarang telah menjadi milik asing
atau investor. Rakyat tidak punya kesempatan untuk menikmati keuntungan dari
berlimpahnya sumberdaya alam yang dimiliki.
Liberalisasi juga terjadi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dan kesehatan
nasional. Dengan adanya Sistem Jaminan Sosial nasional (SJSN), negara tak lagi
sepenuhnya bertanggung jawab atas tersedianya layanan kesehatan. Melalui BPJS
Kesehatan –yang sejatinya tak berbeda dengan asuransi kesehatan– rakyat sendiri
yang harus bertanggung jawab untuk mengadakan layanan kesehatan bagi dirinya.
Dalam aspek sosial budaya, penjajahan juga berlangsung sangat intens. Budaya-
budaya impor dengan leluasa masuk ke negeri ini hampir tanpa filter. Budaya asing
tersebut kemudian memunculkan sikap individualistis, materialistis, pola pikir
sekular, hedonis, permisif, dan cenderung apriori terhadap agama.
Dalam aspek hukum, sudah ratusan tahun negara ini menggunakan sistem hukum
buatan yang ditinggalkan oleh penjajah, baik dalam ranah pidana maupun tata usaha
negara. Rencana Revisi KUHP (RKUHP) yang sedang ramai diperbincangkan di DPR
pun disusun masih dengan kerangka yang tak jauh beda dengan KUHP warisan
Belanda.
Oleh karena itu, agar bangsa ini bisa bebas dari pengaruh penjajah, maka harus
dilakukan perubahan. Agar kita bisa mengubah itu semua, tentu harus ada ikhtiar
maksimal oleh bangsa Indonesia sendiri. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT
(Lihat: QS ar-Ra’d [13]: 11).
Terdapat tiga hal yang mutlak harus disadari agar ikhtiar tersebut dapat mencapai
tujuannya. Pertama: Memahami bahwa kondisi sekarang adalah kondisi yang rusak
atau tidak diharapkan. Kedua: Memahami kondisi ideal yang diharapkan atau yang
dicita-citakan. Ketiga: Memahami bagaimana proses perubahan harus dilakukan,
agar kekuasaan itu digunakan untuk melayani umat (ri’ayah su’unil ummah).
8. BELAJAR DARI KEGAGALAN
Pengalaman masa lalu bangsa ini telah memberikan kita banyak sekali pelajaran.
Berbagai upaya perubahan akhirnya berujung pada kegagalan. Proses perubahan dari
Orde Lama ke Orde Baru dan dari Orde Baru ke Orde Reformasi terbukti tidak bisa
mewujudkan perubahan sebagaimana yang diharapkan. Harapan membuncah waktu
negara ini mengalami reformasi yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto.
Namun, setelah lebih dari 20 tahun pasca reformasi, bukannya kebaikan dan
kesejahteraan yang berhasil diwujudkan. yang terjadi justru sebaliknya. Politik kita
semakin oportunistik. Ekonomi kita semakin liberal. Tatanan sosial kita semakin
individualistis dan hedonis. Kesenjangan juga semakin tinggi. Ketidakadilan hukum
tetap saja terjadi.
Pelajarannya, ternyata agar perubahan itu betul-betul bisa mewujudkan perubahan
yang hakiki, tidak cukup hanya bermodalkan semangat atau kesadaran akan adanya
fakta kedzaliman atau kerusakan semata. Juga diperlukan kesadaran mengenai ke
mana perubahan itu harus diarahkan.
Inilah yang disebut sebagai kesadaran ideologis. Rakyat tidak hanya menyadari
pentingnya mengganti orang dan sistem yang rusak, tetapi juga memahami bahwa
sistem pengganti yang baik dan seharusnya diperjuangkan itu hanyalah sistem yang
diturunkan oleh Zat Yang Mahabaik. Itulah sistem Islam.
Rasulullah saw. telah mencontohkan kita bagaimana melakukan sebuah proses
perubahan yang hakiki. Sejak beliau diutus menjadi rasul, aktivitas utama beliau
adalah dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Beliau mengajak masyarakat agar
mau menerapkan aturan Allah SWT dan bahkan siap memperjuangkannya. Dakwah
yang dilakukan Rasulullah saw. tidak semata berorientasi pada perubahan individual,
tetapi berorientasi perubahan sistemik. Mengubah sistem sistem politik, sistem
hukum, sistem ekonomi, dan sistem sosial budaya yang jahiliyah menuju sistem Islam
yang sempurna.
Ketika Rasulullah saw. mengubah masyarakat dari jahiliyah menjadi Islam, maka yang
Beliau lakukan adalah menerapkan Islam secara kaffah dengan menegakkan Daulah
Islam. Daulah Islam inilah yang secara efektif dapat menerapkan syariah Islam
secara kaffah sekaligus mampu menyingkirkan berbagai sistem dan kehidupan
jahiliah.
Karena itu, jika ingin agar perubahan tersebut berhasil, tidak ada cara lain selain
melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu melakukan dakwah
dan amar makru nahi mungkar. Tidak cukup hanya dengan mengganti orang yang
memegang amanah kekuasaan, tetapi juga mengganti sistem rusak yang selama ini
menjadi landasan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Sistem pengganti ini
tidak lain adalah sistem Islam.
9. CITA-CITA KEMERDEKAAN HAKIKI
Khalifah keempat Sayyidina ‘Ali Karamallahu wajhah mengatakan "Tingginya cita-cita
(impian) dan kuatnya semangat adalah bagian dari iman." Semakin tinggi tingkat
keimanannya berarti semakin tinggi cita-citanya. Untuk menggapai cita-cita
kemerdekaan hakiki dari hijrah, maka dibutuhkan keimanan yang merupakan modal
utama untuk bangkit. Keimanan menjadi sumber penggerak perubahan, asas berpikir
dan bertindak, serta penuntun ke arah yang benar. Arah perubahan yang dituntun
oleh keimanan akan secara pasti berada pada jalur yang tepat. Dengan keimanan
akan mampu menilai suatu pemikiran rusak yang harus ditinggalkan serta menilai
sesuatu pemikiran baik yang harus diperjuangkan.
Allah SWT berfirman:
َةَْ
ْحَ
ر َ
نوُ
جْ
رَي َ
كِئَلْ
ُوأ ِ
هَّلال ِ
يلِبَ
س ِ
ِف اوُ
دَ
اهَ
جَ
و اوُ
رَ
اجَ
ه َ
ينِ
ذَّلاَ
و اوُنَ
آم َ
ينِ
ذَّلا َّ
نِإ
ورُ
فَ
غ ُهَّلالَ
و ِ
هَّلال
يمِ
حَ
ر .
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah [2]: 218)
ِ
هَّلال ِ
يلِبَ
س ِ
ِف ْ
ر ِ
اجَ
هُي ْ
نَ
مَ
و
ًةَ
عَ
سَ
و اً
ريِثَ
كاً
مَ
غاَ
رُ
م ِ
ضْ
َرْ
اْل ِ
ِف ْ
دَِ
َي
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisaa' [4]: 100)
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khaththab ra., ia berkata bahwa ia
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
ِ
اهلل إىل ُهُتَ
رْ
جِ
ه ْ
تَناَ
ك ْ
نَ
مَف ىَ
وَن ما ٍ
امريء ِّ
لُ
كِل اَّ
َّنِإو ِ
اتَّيِّبالن الَ
اْلعم اََّ
إَّن
ُتَ
رْ
جِ
ه ْ
تَناَ
ك ْ
نَ
وم ِ
هِلْ
وُ
سَ
ور ِ
اهلل إىل ُهُتَ
رْ
جِ
هف ِ
هِلوُ
سَ
ور
هاُبْيِ
صُي اَيْنُ
دِل ُه
ٍ
أةرام أو
ِ
إليه َ
رَ
اجَ
ه ما إىل ُهُتَ
رْ
جِ
هف اَ
هُ
حِ
كْنَي
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari
dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
(HR. Bukhari, No. 1 dan Muslim, No. 1907, [dan Hadits ke-1 Arba'in Nawawi: Amal
Tergantung Niat])
10. Untuk itu keimanan ini membutuhkan khidmat dan niat yang kuat dalam berhijrah,
menggapai kemenangan, untuk mewujudkan cita-cita tinggi yaitu Islam yang kaffah.
Berjuang untuk satu tujuan yaitu mengharapkan rahmat Allah SWT.
Semoga perjuangan dakwah ini mendapatkan pertolongan dari Allah untuk
menyambut datangnya bisyarah Rasulullah yaitu Khilafah.
Wallahu a’lam bishawaab.