3. Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan
lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja
mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat
tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi
penglihatan yang termasuk "setengah melihat", "low vision", atau rabun
adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.
Definisi Anak Dengan
Hambatan Pengelihatan
4. Anak Tunanetra dikelompokan
2
1
Dikatakan buta jika anak sama
sekali tidak mampu menerima
rangsang cahaya dariluar
(visusnya = 0).
Bila anak masih mampu menerima
rangsang cahaya dari luar, tetapi
ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika
anak hanya mampu membaca headline
pada surat kabar.
blind Low vision
6. Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan dengan kecacatan
penglihatan: Definisi legal (definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan), dan Definisi edukasional
(definisi untuk tujuan pendidikan).
1. Definisi Legal
Definisi secara legal didasarkan pada hasil pengukuran
terhadap ketajaman penglihatan yang biasa dilakukan
oleh tenaga medik. Sehingga definisi ini sering disebut
juga dengan istilah definsi secara medik atau klinis.
Dikatakan legal karena sering dijadikan persyaratan
untuk menentukan sah atau tidaknya seseorang
dikatagorikan sebagai tunanetra. Dalam definisi legal,
ada dua aspek yang diukur :
a. Ketajaman penglihatan
b. Medan pandang (visual field)
Definisi Edukasional (Educationally Definition)
Definisi secara Penddikan biasa dianut (dipakai ) oleh para
pendidik untuk kebutuhan pendidikan.
1. Adapun pengertian dari Tuna Netra secara pendidikan adalah
mereka yang memiliki gangguan pada penglihatannya secara
signifikan sehingga membutuhkan pelayanan yang khusus.
2. Blind secara pendidikan adalah mereka yang memiliki atau
mengalami gangguan penglihatan dan meskipun telah di bantu
sedemikian rupa agar dapat membaca tetap sisa penglihatannya
tidak dapat digunakan untuk membaca.sehingga harus membaca
menggunakan Braille.
3. Low Vision secara Pendidikan adalah mereka yang memiliki
atau mengalami gangguan penglihatan dan sisa penglihatannya
masih dapat digunakan untuk membaca dengan memperbesar
huruf atau menggunakan alat bantu.
8. Ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam
diri anak (internal) ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk
faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama
masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan),
kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal
yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau
sesudah bayi dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai
matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga
sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma,
panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun
virus (Sutjihati Somantri,2012).
10. sekolah khusus bagi tunanetra yang disebut Sekolah Luar Biasa bagian A
(SLB/A). Akan tetapi, sebagaimana halnya di negara-negara lain, kini semakin
banyak siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum bersama- sama dengan
siswa-siswa pada umumnya dalam setting pendidikan inklusif. Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, pendidikan inklusif
tujuan pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan
tujuan bagi anak-anak lain. Tujuan itu antara lain mencakup mampu
berkomunikasi secara efektif, memiliki kompetensi sosial, mampu
bekerja, dan memiliki kemandirian pribadi. Akan tetapi, untuk dapat
mencapai tujuan-tujuan ini siswa tunanetra memerlukan intervensi
khusus program pendidikannya perlu dimodifikasi. Untuk dapat
merumuskan program pendidikan yang tepat, yang dapat memenuhi
kebutuhan pendidikan khusus anak itu, perlu dilakukan asesmen yang
tepat sehingga guru dapat melakukan penyesuaian metode pengajaran
secara tepat.
12. Kebutuhan pendidikan khusus yang diciptakan oleh ketunanetraan itu dapat dirangkum sebagai berikut
1. Kehilangan penglihatan dapat mengakibatkan terlambatnya perkembangan konsep yang
apabila tidak mendapat intervensi yang efektif, berdampak sangat buruk terhadap
perkembangann sosia, emosi, akademik, dan vokasionalnya.
2. Siswa tunanetra sering harus belajar melalui media alternative, menggunakan indera-indera
lain.
3. Siswa tunanetra sering memerlukan pengajaran individual karena pengajaran klasikal untuk
belajar keterampilan-keterampilan khusus mungkin tidak akan begitu bermakna baginya.
4. Siswa tunanetra sering membutuhkan keterampilan-keterampilan khusus serta buku materi
dan peralatan khusus untuk belajar melalui media alternative.
5. Siswa tunanetra terbatas dalam memperoleh informasi melalui belajar secara insidental
karena mereka sering tidak menyadari adanya kegiatan-kegiatan kecil yang terjadi di dalam
lingkungannya.
14. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui
sistem segregasi, yaitu suatu sistem yang secara terpisah dari anak
yang masih memiliki penglihatan yang masih bagus (tidak memiliki
kecacatan) dan integrasi atau terpadu dengan normal di sekolah-
sekolah umum lainnya. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi
meliputi sekolah khusus (SLB-A), SDL-B, dan kelas jauh. Bentuk-
bentuk keterpaduan tersebut yang dapat diikuti oleh anak-anak
tunanetra, yaitu melalui sistem integrasi yang meliputi kelas biasa
dengan adanya seorang guru konsultan, kelas biasa dengan seorang
guru kunjung, serta kelas biasa dengan guru-guru sumber dan kelas
khusus.
15. Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan
penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra
tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang
mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi,
anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk "setengah
melihat", "low vision", atau rabun adalah bagian dari kelompok anak
tunanetra.
Anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik,
dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada
sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat
ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat
pendidikannya.