1.
Nomor 16 Volume VIII Juli 2010 ISSN 1693-0134
Pemanfaatan Abu Pembakaran Sampah
Sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Paving Block
Anis Artiyani
Potensi Ganyong (Canna edulis Kerr) dari Malang Selatan
Sebagai Bahan Baku Bioethanol dengan Proses Hidrolisa Asam
Faidliyah Nilna Minah
Konsep Penataan Lansekap
pada Alun-Alun dan Taman-Taman Kota Bondowoso
Y. Setyo Pramono
Analisis Isu Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air
Bendungan Lolak Kabupaten Boolang Mongondow
Propinsi Sulawesi Utara
Evy Hendriarianti
Penentuan Nilai Awal Parameter Relatif Orientasi
Foto Stereo Menggunakan Metode Singular Value Decomposition
Leo Pantimena
Pemilihan Alternatif Potensi Sumberdaya Air
di Wilayah DAS Brantas untuk Dikembangkan Menjadi
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
Deviany Kartika ; Miftahul Arifin ; Rahman Darmawan
Perencanaan Bangunan Pemecah Gelombang
(Pengaman Pantai Labuhan) di Kabupaten Sumbawa
Erni Yulianti
2. PETUNJUK UMUM BAGI PENULIS
• SSppeeccttrraa merupakan Jurnal Ilmiah
Populer Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan ITN Malang
memuat karangan asli dari para
penyumbang, baik dari dalam
maupun dari luar lingkungan
fakultas.
• Karangan dapat ditulis bahasa
Indonesia maupun dalam bahasa
Inggris.
• Semua grafik, peta, dan gambar lain
yang diperlukan dalam karangan
disebut gambar dan diberi nomor
dengan simbol angka Arab diikuti
dengan judul.
• Semua tabel dan daftar yang
diperlukan dalam karangan disebut
tabel dan diberi nomor dengan
simbol angka Arab diikuti dengan
judul yang ditulis di atas setiap tabel.
• Semua foto dalam karangan tetap
disebut foto dan diberi nomor dengan
simbol angka Arab diikuti dengan
judul yang ditulis di bawah setiap foto.
H A K D E W A N R E D A K S I
• Dewan Redaksi berhak menolak
suatu karangan yang kurang
memenuhi syarat setelah meminta
pertimbangan Dewan Redaksi
dan/atau Tenaga Ahli.
• Dewan Redaksi dapat menyesuaikan
bahasa dan/atau istilah tanpa
mengubah isi dan pengertiannya
dengan tidak memberi tahu kepada
Penulis, apabila dipandang perlu
untuk mengubah isi karangan.
• Karangan yang dimuat dalam jurnal
ini menjadi hak Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan ITN Malang,
sehingga penerbitan kembali oleh
siapapun harus meminta ijin Dewan
Redaksi.
Nomor 16 Volume VIII Juli 2010
ISSN 1693-0134
Pembina
Dekan FTSP ITN Malang
Pemimpin Umum / Penanggungjawab
Dr. Ir. Kustamar, MT.
Redaktur Pelaksana
Ir. Y. Setyo Pramono, MT.
Staf Redaksi
Dr. Ir. Lalu Mulyadi, MT.
Dr. Ir. Ibnu Sasongko, MT.
Dr. Ir. Hery Setyobudiarso, MSc.
Ir. Ibnu Hidajat P.J., MT.
Ir. J. Pradono de Deo, MT.
Alamat Redaksi
Gedung FTSP Lt. II ITN Malang
Jl. Bend. Sigura-gura No. 2 Malang
Telepon: (0341) 551431 Pes. 212
Facsimile: (0341) 553015
E-mail: spectra@ftsp.itn.ac.id
SSppeeccttrraa kembali mengupas tuntas
pelbagai pengembangan bidang ilmu
teknik sipil dan perencanaan yang
lebih beragam. Edisi ini terbit dengan
komitmen yang tetap untuk memberi
wacana ilmiah yang lebih mendalam
atas apa yang kami geluti selama ini.
Semoga penampilan SSppeeccttrraa kali ini
tetap menggema di medio 2011.
SSppeeccttrraa
3.
Nomor 16 Volume VIII Juli 2010
Pemanfaatan Abu Pembakaran Sampah
Sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Paving Block
Anis Artiyani 1
Potensi Ganyong (Canna edulis Kerr) dari Malang Selatan
Sebagai Bahan Baku Bioethanol dengan Proses Hidrolisa Asam
Faidliyah Nilna Minah 12
Konsep Penataan Lansekap
pada Alun-Alun dan Taman-Taman Kota Bondowoso
Y. Setyo Pramono 23
Analisis Isu Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air
Bendungan Lolak Kabupaten Boolang Mongondow
Propinsi Sulawesi Utara
Evy Hendriarianti 39
Penentuan Nilai Awal Parameter Relatif Orientasi
Foto Stereo Menggunakan Metode Singular Value Decomposition
Leo Pantimena 54
Pemilihan Alternatif Potensi Sumberdaya Air
di Wilayah DAS Brantas untuk Dikembangkan Menjadi
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
Deviany Kartika ; Miftahul Arifin ; Rahman Darmawan 64
Perencanaan Bangunan Pemecah Gelombang
(Pengaman Pantai Labuhan) di Kabupaten Sumbawa
Erni Yulianti 75
4. Abu Sampah Sebagai Bahan Paving Block Anis Artiyani
1
PEMANFAATAN ABU PEMBAKARAN SAMPAH
SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PEMBUATAN PAVING BLOCK
Anis Artiyani
Dosen Teknik Lingkungan FTSP ITN Malang
ABSTRAKSI
Sampah selama ini dipandang sebagai buangan yang tidak lagi
bermanfaat, sementara di sisi lain pemerintah kesulitan menangani
pengelolaan sampah secara tuntas. Akibatnya, sampah penyebab
utama timbulnya masalah lingkungan. Salah satu alternatif
pemanfaatan sampah adalah untuk pembuatan paving block.
Pemanfaatan seperti itu tidak hanya bernilai ekonomi bagi pemerintah
daerah, khususnya masyarakat, tetapi juga peningkatan pemenuhan
kebutuhan akan bahan bangunan, seperti paving block.
Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan abu pembakaran
sampah sebagai bahan alternatif pembuatan paving block dan
mengetahui alternatif komposisi yang terbaik, sehingga dapat
dihasilkan paving block dengan kualitas yang optimal.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental
dengan variasi abu pembakaran sampah 0%, 20%, 40%, 80%, dan
100% dari bagian pasir untuk menggantikan pasir sebagai agregat
halus. Dilakukan untuk 2 jenis uji kelayakan, yaitu uji penyerapan air
dan uji ketahanan aus. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) abu
pembakaran sampah memberi pengaruh baik pada sifat-sifat paving
block, (2) paving block penambahan abu pembakaran sampah yang
memenuhi syarat penyerapan air rata-rata 5% dengan kualitas optimum
pada penambahan abu pembakaran sebesar 80% dan ketahanan aus
rata-rata 55% dengan kualitas optimum pada penambahan abu
pembakaran optimum sebesar 40%.
Kata Kunci: Abu Pembakaran Sampah, Ketahanan Aus, Paving Block,
Penyerapan Air.
PENDAHULUAN
Sampah menjadi masalah lingkungan yang harus terus dicari alternatif
penyelesaiannya. Selama ini sampah dipandang sebagai buangan yang
tidak lagi bermanfaat, sementara di sisi lain pemerintah kesulitan menangani
pengelolaan sampah secara tuntas. Dari adanya kondisi ini, maka harus
dicari alternatif untuk menyelesaikan masalah yang ada, yaitu
memanfaatkan sampah secara optimal sekaligus dapat memperpanjang
umur TPA. Salah satu alternatif pemanfaatan sampah yang telah dilakukan
5. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 1-11
2
di TPA Supit Urang Malang adalah untuk pembuatan paving block. TPA
Supit Urang yang merupakan tempat timbunan sampah yang berasal dari
berbagai kegiatan masyarakat dan industri di wilayah Kota dan Kabupaten
Malang. Pemanfaatan seperti ini tidak hanya bernilai ekonomi bagi
pemerintah daerah, khususnya masyarakat, tetapi juga memenuhi
kebutuhan bahan bangunan yang semakin meningkat dalam hal ini adalah
paving block.
Meningkatnya pembangunan fisik, seperti perumahan, hotel, pusat
perbelanjaan, perkantoran, dan sarana yang lain, menyebabkan kebutuhan
bahan bangunan juga makin meningkat. Peningkatan bahan bangunan
tersebut berarti pula peningkatan dalam kuantitas dan kualitas. Salah satu
bahan bangunan yang sering digunakan adalah paving block. Paving block
digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti tempat parkir mobil di
pertokoan, maupun sebagai perkerasan jalan pada kompleks perumahan.
Agar pembangunan dapat berlangsung secara berkesinambungan,
maka pembangunan harus berwawasan lingkungan dengan menggunakan
sumber dana secara bijaksana (Otto Sumarwoto, 1992).
Pada dasarnya taraf hidup masyarakat dapat ditingkatkan melalui
upaya pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan harus tetap
dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. Strategi
pembangunan perkotaan menggariskan kebijaksanaan pembangunan
prasarana kota, yaitu: perluasan pelayanan prasarana berbiaya rendah dan
kegiatan perawatan prasarana yang terencana dan terkoordinasi.
Sesuai dengan kebijaksanaan tersebut, maka penelitian ini bermaksud
untuk menggali kebutuhan masyarakat Kota Malang, khususnya
meningkatkan perkembangan permukiman dan taraf hidup sosial ekonomi
masyarakatnya serta memperbaiki sarana transportasinya dengan
memanfaatkan potensi lokal yang ada, yaitu dengan memanfatkan abu
pembakaran sampah di TPA Supit Urang Malang untuk dijadikan material
bahan bangunan seperti paving block. Pembakaran sampah di TPA ini ini
pada awalnya dimaksudkan untuk memperkecil volume dan berat sampah
agar tidak memenuhi lingkungan yang ditempatinya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan abu pembakaran
sampah organik sebagai bahan alternatif pembuatan paving block dan
mengetahui alternatif komposisi yang terbaik, sehingga dapat dihasilkan
paving block dengan kualitas yang optimal.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Paving Block
Menurut SII-0819-88 paving block atau beton untuk lantai ialah suatu
komposisi bahan bangunan yang dibuat dari campuran semen portland atau
bahan perekat hidrolis sejenisnya, air, dan agregat dengan atau tanpa
bahan tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu beton itu.
6. Abu Sampah Sebagai Bahan Paving Block Anis Artiyani
3
Paving block adalah bahan bangunan yang dibuat dari campuran
semen, pasir dan air; sehingga karakteristiknya hampir mendekati dengan
karakteristik mortar. Mortar adalah bahan bangunan yang dibuat dari
pencampuran antara pasir dan agregat halus lainnya dengan bahan
pengikat dan air yang dalam keadaan keras mempunyai sifat-sifat seperti
batuan (Smith, 1979 dalam Malawi, 1996).
Lapis perkerasan paving block adalah jenis perkerasan lentur (flexible
pavement), dimana lapis permukaannya menggunakan unit-unit blok beton
atau segmental beton yang disusun sedemikian rupa sehingga unit-unit blok
beton tersebut saling kunci mengunci (interlocking) antara unit blok yang
satu dengan unit blok lainnya.
Paving block dapat berwarna seperti aslinya atau diberikan zat
pewarna pada komposisinya dan digunakan untuk lantai, baik di dalam
maupun di luar bangunan. Paving block untuk lantai harus mempunyai
bentuk yang sempurna, tidak terdapat retak-retak dan cacat, serta bagian
sudut dan rusuknya tidak mudah direpihkan dengan kekuatan tangan.
Klasifikasi Paving Block
Klasifikasi dari paving block didasarkan atas bentuk, tebal, kekuatan
dan warna antara lain, yaitu:
Ada beberapa macam bentuk dari paving block yang diproduksi,
namun secara garis besar bentuk paving block dapat dibedakan atas:
Klasifikasi berdasarkan bentuk
1. Paving block bentuk segiempat (rectangular)
2. Paving block bentuk segibanyak
Pemakaian dari bentuk paving block disesuaikan dengan keperluan.
Untuk keperluan konstruksi perkerasan pada jalan dengan lalulintas sedang
sampai berat (misalnya: jalan raya, kawasan industri, jalan umum lainnya),
karenanya penggunaan paving block bentuk segiempat lebih cocok.
Kuipers (1984) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa pemakaian
bentuk segiempat untuk lalulintas sedang dan berat lebih cocok karena sifat
pengunciannya yang konstan serta mudah dicungkil apabila sewaktu-waktu
akan diadakan perbaikan. Untuk keperluan konstruksi ringan (misalnya:
trotoar plaza, tempat parkir, jalan lingkungan) dapat dipakai bentuk
segiempat maupun segibanyak.
Paving block yang diproduksi secara umum mempunyai ketebalan 60
mm, 80 mm, dan 100 mm. Pemakaian dari masing-masing ketebalan paving
block disesuaikan dengan kebutuhan sebagai berikut:
Klasifikasi Berdasarkan Ketebalan
7. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 1-11
4
1. Paving block dengan ketebalan 60 mm diperuntukkan bagi beban
lalulintas ringan yang frekuensinya terbatas pada pejalan kaki dan
kadang-kadang sedang.
2. Paving block dengan ketebalan 80 mm, diperuntukkan bagi beban
lalulintas sedang yang frekuensinya terbatas pada pick up, truck,
dan bus.
3. Paving block dengan ketebalan 100 mm. diperuntukkan bagi beban
lalulintas berat, antara lain: crane, loader, dan alat berat lainnya.
Paving block dengan ketebalan 100 mm ini sering dipergunakan di
kawasan industri dan pelabuhan.
Klasifikasi paving block ini bukan berdasarkan dimensi, mengingat
banyaknya variasi bentuk dari paving block. Dimensi paving block untuk
bentuk rectangular berkisar antara 105 mm x 210 mm. Shackel (1980)
dalam penelitiannya yang berkaitan dengan dimensi menyimpulkan bahwa
perubahan dalam dimensi paving block tidak terlalu berpengaruh pada
penampilannya sebagai perkerasan untuk kepentingan lalulintas.
Kekuatan dari paving block berkisar antara 250 kg/cm
Klasifikasi berdasarkan kekuatan
2
sampai 450
kg/cm2
bergantung dari penggunaan lapis perkerasan. Pada umumnya
paving block yang sudah banyak diproduksi memiliki kuat tekan karakteristik
antara 300 kg/cm2
sampai dengan 350 kg/cm2
.
Warna selain menampakkan keindahan juga digunakan sebagai
pembatas seperti pada tempat parkir. Warna paving block yang ada di
pasaran adalah merah, hitam dan abu-abu.
Klasifikasi berdasarkan warna
Pola Pemasangan
Dalam pelaksanaan pemasangan lapis perkerasan paving block
dipergunakan beberapa pola pemasangan paving block, yaitu:
Pola Susunan Bata (Stretcher Pattern)
Gambar1.
Pemasangan Paving Block dengan Pola Susunan Bata
8. Abu Sampah Sebagai Bahan Paving Block Anis Artiyani
5
Pola Anyaman Tikar (Basket Weave Pattern)
Gambar 2.
Penyusunan Paving Block dengan Pola Anyaman Tikar
Pola Tulang Ikan (Herringbone Pattern)
Gambar 3.
Penyusunan Paving Block dengan Pola Tulang Ikan
Dari beberapa alternatif pola pasang di atas, pemilihan pemakaian
berdasarkan alasan teknis dan non teknis. Alasan non teknis adalah untuk
mendapatkan penampilan yang baik, sedangkan alasan teknis adalah untuk
mendapatkan interlocking (penguncian) yang baik.
Shackel (1980) menyatakan bahwa paving block yang dihampar
dengan pola tulang ikan mengembangkan secara penuh daya penguncinya
dan daya tahan terhadap beban hingga 70 KN serta mempunyai penampilan
yang lebih baik jika dibandingkan dengan pola hampar lain.
Syarat Mutu Paving Block
Paving block harus mempunyai bentuk yang sempurna, tidak terdapat
retak-retak dan cacat, dan tidak mudah direpihkan dengan kekuatan tangan.
Sifat Tampak
Bergantung dari persetujuan antara pemakai dan produsen. Sampai
saat ini ada beberapa macam bentuk, yaitu kacangan, antik, bata, tiga
berlian, dan segi enam.
Bentuk dan Ukuran
9. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 1-11
6
Gambar 4.
Berbagai Macam Bentuk Paving Block
Kekuatan fisik paving block dapat dilihat pada Tabel 1. di bawah ini:
Sifat Fisik
Tabel 1.
Persyaratan Kekuatan Fisik Paving Block
Mutu
Kuat tekan (kg/cm
2
Penyerapan air
rata-rata (%)
)
Rata-rata Terendah
I
II
III
400
300
200
340
255
170
3
5
7
Sumber :SII 0819-83
Keuntungan Penggunaan Paving Block
Penggunaan paving block mempunyai beberapa keuntungan (Shackel,
1990), antara lain:
1. Dapat diproduksi secara massal.
Untuk mendapatkan mutu yang tinggi diperlukan tekanan pada saat
pencetakan.
2. Dari segi pelaksanaan, tidak memerlukan keahlian khusus.
Pelaksanaan jalan dengan menggunakan perkerasan paving block
jauh lebih mudah bila dibandingkan dengan bahan perkerasan
lainnya.
3. Tahan terhadap beban vertikal dan horisontal yang disebabkan oleh
rem atau percepatan kendaraan berat.
4. Pemeliharaannya mudah.
10. Abu Sampah Sebagai Bahan Paving Block Anis Artiyani
7
Bahan Pembuat Paving Block
Semen yang digunakan untuk pembuatan paving block adalah semen
portland tipe I.
Semen Portland
Agregat yang digunakan terdiri dari pasir sebagai agregat halus dan
abu batu sebagai agregat sedang (kasar). Kedua bahan ini dibeli dari toko
bahan bangunan di manapun.
Agregat
Air yang digunakan adalah air bersih (sumur atau PDAM) yang tidak
ditambahkan dengan accelerator.
Air
Bahan alternatif yang digunakan untuk menggantikan pasir sebagai
agregat halus adalah abu bakaran sampah yang diperoleh dari pembakaran
sampah di TPA Supit Urang Malang. Sampah ini adalah sampah yang tidak
bisa lagi didaur ulang.
Bahan Alternatif Pengganti Pasir
METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan Penelitian
Penelitian ini adalah tentang uji kelayakan pembuatan paving block
dengan penambahan abu dari bakaran sampah yang tidak bisa lagi didaur
ulang dari TPA Supit Urang Malang.
Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan menjadi dua tahapan kegiatan, yaitu pertama
adalah proses pembuatan proses pembuatan paving block dan yang kedua
meliputi uji kelayakan paving block, sebagaimana terlihat pada Gambar 5
berikut ini:
11. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 1-11
8
Gambar 5.
Bagan Alur Pembuatan Paving Block
Adapun variasi komposisi bahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2.
Variasi Komposisi Bahan Pembuat Paving Block
No
Kode
campuran
Perbandingan agregat yang digunakan
Semen Abu Batu Pasir Abu
1 0 1 2 2 0
2 1 1 2 1,5 0,5
3 2 1 2 1 1
4 3 1 2 0,5 1,5
5 4 1 2 0 2
Dimana:
1. Kelompok 0 : Kelompok benda uji dengan penambahan abu 0% dari bagian pasir.
2. Kelompok 1 : Kelompok benda uji dengan penambahan abu 20% dari bagian pasir.
3. Kelompok 2 : Kelompok benda uji dengan penambahan abu 40% dari bagian pasir.
4. Kelompok 3 : Kelompok benda uji dengan penambahan abu 60% dari bagian pasir.
5. Kelompok 4 : Kelompok benda uji dengan penambahan abu 80% dari bagian pasir.
Kesimpulan dan Saran
Analisa Data dan Pembahasan
Test Kelayakan Paving Block
1. Tes Penyerapan Air
2. Tes Ketahanan Aus
Pembuatan Paving Block
Penentuan Komposisi Bahan
Pembuat Paving Block
Persiapan Alat dan
Bahan Penelitian
Studi Literatur
Uji Pemanfaatan Abu Pembakaran Sampah
Organik Sebagai Bahan Alternatif Pembuatan
Paving Block
12. Abu Sampah Sebagai Bahan Paving Block Anis Artiyani
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penanganan Sampah
Pada penelitian ini abu sampah yang digunakan berasal dari abu
pembakaran sampah di TPA Supit Urang Malang. Abu sampah ini
selanjutnya diayak dengan ukuran 120 mesh agar didapatkan ukuran
partikel butiran yang sama dan homogen saat diaduk dengan pasta semen.
Selanjutnya, dilakukan penjemuran, tetapi tidak di bawah sinar matahari
secara langsung selama 24 jam. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
kelembaban yang diakibatkan oleh tanah.
Hasil dan Pembahasan Uji Kelayakan Paving Block
Setelah paving block yang dibuat dengan variasi penambahan abu
telah berumur 28 hari, kemudian dilakukan uji kelayakan penyerapan air dan
ketahanan aus.
Uji Penyerapan Air Paving Block
Tabel 3.
Hasil Pengujian Penyerapan Air Paving Block
Perbandingan Agregat yang Digunakan Penyerapan
Rata-rata (%)Semen Abu batu Pasir Abu
1 2 2 0 3.11
1 2 1,5 0,5 5.07
1 2 1 1 5.28
1 2 0,5 1,5 5.84
1 2 0 2 5.78
Dalam uji kelayakan paving, semakin rendah nilai absorbsi
(penyerapan air) yang dimiliki oleh paving, maka semakin bagus mutu
paving tersebut. Data tabel 3 menunjukkan penambahan bahan abu
pembakaran sampah kenaikan nilai absorsi tertinggi mencapai 87,78% yakni
pada penambahan abu pembakaran sebesar 80% dari 3,11% menjadi
5,84%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa abu sampah memiliki daya resap
yang lebih tinggi dari pasir. Sifat fisik pasir yang keras dan juga sudah lama
terendam di air menyebabkan porinya kedap air, sehingga sulit baginya
untuk menyerap air lagi. Sedangkan pada abu pembakaran sampah, masih
memungkinkan pori-porinya terisi oleh air. Apalagi jika setelah ikatan semen
mengeras, abu sampah akan menyusut volumenya.
13. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 1-11
10
Uji Ketahanan Aus Paving Block
Tabel 4.
Hasil Pengujian Ketahanan Aus
Perbandingan Agregat yang Digunakan Keausan
Rata-rata (%)Semen Abu Batu Pasir Abu
1 2 2 0 56.20
1 2 1,5 0,5 55.80
1 2 1 1 55.35
1 2 0,5 1,5 55.54
1 2 0 2 57.00
Nilai keausan adalah selisih berat sebelum dan sesudah dilakukan
percobaan keausan pada suatu benda uji dibandingkan dengan berat awal
benda uji. Semakin kecil nilai keausan yang dimiliki oleh suatu benda uji,
maka benda uji tersebut dikatakan tahan terhadap sifat aus. Penambahan
abu pembakaran sampah pada campuran paving dapat menurunkan nilai
keausan sebesar 0,85% pada penambahan abu pembakaran optimum
sebesar 40% yang menghasilkan nilai keausan sebesar 55,35%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada dosis tertentu, bahan abu pembakaran sampah
dapat memperkuat paving untuk menahan aus. Penurunan nilai keausan ini
disebabkan rongga dalam paving memerlukan butiran abu yang kecil yang
dapat masuk ke dalam rongga tersebut sampai pada kadar yang dibutuhkan
untuk mengisi kesenjangan antar agregat.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pemanfaatan abu pembakaran sampah organik
sebagai bahan alternatif pembuatan paving block dan mengetahui alternatif
komposisi yang terbaik sehingga dapat dihasilkan paving block dengan
kualitas yang optimal, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggunaan abu pembakaran sampah sebagai bahan alternatif
pembuatan paving block memberi pengaruh baik pada sifat-sifat
paving block yang dihasilkan.
2. Paving block dengan penambahan abu pembakaran sampah yang
memenuhi syarat adalah pada penambahan abu pembakaran
sampah yang menghasilkan penyerapan rata-rata sebesar 5% dan
tingkat keausan rata-rata lebih dari 55%.
14. Abu Sampah Sebagai Bahan Paving Block Anis Artiyani
11
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1971. Semen Portland. Cetakan Kedua. Yayasan Dana Normalisasi
Indonesia.
________. 1982. Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI).
Hackle, B. 1980. Performance of Interlocking Block Pavement Under Accelerated
Trafficing. Proceeding of First International.
Kuipers, B.J. 1984. Commonsense Reasoning about Causality: Deriving Behavior
from Structure. Artificial Intelligence 24: 169-203.
Sumarwoto, Otto. 1992. Analisa Dampak Lingkungan yang Berwawasan
Lingkungan.
PLPG UNILA. 2009. Teknologi Paving Block.
SII.0819-88. Definisi Paving Block.
Smith, 1979 dalam Malawi, 1996 dalam Soemarno. 2000. Pengelolan Kesuburan
Tanah dan Bahan Organik. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Malang:
Universitas Brawijaya.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito.
15. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 12-22
12
POTENSI GANYONG (Canna edulis Kerr)
DARI MALANG SELATAN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETHANOL
DENGAN PROSES HIDROLISA ASAM
Faidliyah Nilna Minah
Dosen Teknik Kimia FTI ITN Malang
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi ganyong dari wilayah
Kabupaten Malang, terutama daerah Malang Selatan sebagai bahan
baku bioethanol yang bernilai ekonomis. Penelitian diawali dengan
merubah pati ganyong menjadi glukosa melalui proses hidrolisa asam,
dimana proses hidrolisa yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
konsentrasi dan jenis asam terhadap kadar glukosa yang dihasilkan
dari tepung ganyong. Untuk menghasilkan kualitas ethanol yang tinggi,
maka dapat digunakan metode penelitian dengan menggunakan
perbedaan jenis katalis dan konsentrasi asam, dimana jenis katalis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah HCl dan HNO3 dengan
konsentrasi 1,5%-7,5%. Dari penelitian didapatkan hasil bahwa jenis
dan konsentrasi asam sangat berpengaruh terhadap kadar glukosa
yang dihasilkan dari tepung ganyong, dimana semakin besar
konsentrasi asam, maka pH larutan tersebut juga akan makin menurun.
Kadar glukosa tertinggi sebesar 86,65 diperoleh pada penggunaan
katalis asam HCl dengan konsentrasi 6%, sedangkan pada HNO3
dengan konsentrasi 6% dihasilkan kadar glukosa sebesar 87,20;
sedangkan waktu fermentasi yang optimum untuk HCl dan HNO3
adalah 12 hari, dimana dari hasil fermentasi diperoleh kadar ethanol
sebesar 12,87% dengan penggunaan HCl dan 14,57% dengan
penggunaan HNO3.
Kata Kunci: Tepung Ganyong, Hidrolisis, Glukosa, Fermentasi,
Bioethanol.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini telah berkembang pemanfaatan ethanol sebagai bahan bakar
alternatif yang selanjutnya dapat diproses menjadi bioethanol. Bioethanol
dapat dibuat dari bahan-bahan bergula atau bahan berpati seperti tebu, nira
nipah, sagu, sorgum, ubi kayu, ubi jalar, ganyong, dll. Bahan-bahan tersebut
banyak tersedia di Indonesia, sehingga sangat berpeluang untuk digunakan
sebagai energi alternatif. Bioethanol sangat berpotensi dikembangkan di
16. Ganyong Sebagai Bahan Baku Bioethanol Faidliyah Nilna Minah
13
Indonesia, karena didukung oleh potensi lahan yang luas, sumberdaya
manusia (petani), keanekaragaman hayati, dan sumberdaya alam yang
melimpah.
Bahan yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai penghasil
sumber karbohidrat adalah umbi ganyong. Ganyong (Canna edulis Kerr)
adalah tanaman yang cukup potensial sebagai sumber karbohidrat, maka
sudah sepatutnya dikembangkan. Tanaman ini sangat berpotensi
dikembangkan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terutama di daerah
Malang yang sejuk karena pada dasarnya tanaman ini sangat mudah
tumbuh. Hasilnya, selain dapat digunakan untuk penganekaragaman menu
rakyat, juga mempunyai aspek yang penting sebagai bahan dasar industri.
Produksi bioethanol dari ganyong (Canna edulis Kerr) diproses dengan cara
hidrolisa, untuk menguraikan pati menjadi glukosa, yang kemudian
dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan khamir saccharomyces
cereviceae hingga menghasilkan ethanol.
Hidrolisa adalah suatu proses antara reaktan dengan air agar suatu
senyawa pecah terurai. Pada reaksi hidrolisa pati dengan air, air akan
menyerang pati pada ikatan 1-4 α glukosida menghasilkan dextrin, sirup,
atau glukosa yang bergantung pada derajat pemecahan rantai polisakarida
dalam pati. Reaksinya merupakan reaksi order satu jika digunakan air yang
berlebih, sehingga perubahan reaktan dapat diabaikan. Reaksi antara air
dan pati ini berlangsung sangat lambat, sehingga diperlukan bantuan
katalisator untuk memperbesar kereaktifan air. Katalisator ini bisa berupa
asam maupun enzim. Katalisator asam yang biasa digunakan adalah asam
klorida, asam nitrat, dan asam sulfat. Dalam industri pada umumnya
digunakan asam klorida sebagai katalisator. Pemilihan ini didasarkan bahwa
garam yang terbentuk setelah penetralan hasil merupakan garam yang tidak
berbahaya, yaitu garam dapur. Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi
hidrolisa pati adalah suhu reaksi, waktu reaksi, pencampuran pereaksi,
konsentrasi katalisator, dan kadar suspensi.
Penelitian tentang bioethanol didahului oleh peneliti seperti:
• Bioethanol dengan proses hidrolisis asam oleh Lili Suraya Eka Putri
(2008) yang menggunakan katalis asam HCl, HNO3, dan H2SO4
dengan konsentrasi 3% - 7%, sehingga didapatkan hasil yang
paling optimum untuk menghasilkan glukosa paling tinggi dengan
jenis asam HNO3 pada konsentrasi 7% dengan kadar glukosa
sebesar 48090 ppm menggunakan suhu operasi ±1200
• Pengaruh hidrolisa asam pada proses sakarifikasi pati limbah kulit
pisang terhadap kualitas bioethanol oleh Ahmad Zakaria (2006)
yang menggunakan katalis asam HCl dan HNO
C dalam
waktu 1 jam.
3 pada konsentrasi
7% - 10% dengan volume 80 ml serta perbandingan bahan dan air
sebesar 1 : 4 dan kondisi operasi hidrolisis 1050
C-1200
C, sehingga
didapatkan hasil yang paling optimum pada HCl dan HNO3 dengan
17. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 12-22
14
konsentrasi 10% sebesar 13,0335% dan HCl sedangkan 13,9200%
untuk HNO3
• Bioetanol fuel grade talas oleh Endah Retno (2006) yang
menggunakan penambahan NaOH untuk menetralkan pH pada
glukosa hasil hidrolisis.
.
Dalam penelitian ini umbi ganyong dikonversi terlebih dahulu menjadi
tepung sebelum dihidrolisis dengan suhu operasi ± 1050
C dalam waktu 1
jam, sedangkan pada penelitian Lili Suraya Eka Putri bahan baku (umbi
ganyong) direbus terlebih dahulu sebelum kemudian dihidrolisis dengan
suhu operasi ± 1200
C dalam waktu 1 jam. Asam akan memecah molekul
pati secara acak menjadi glukosa. Pati yang telah mengalami perlakuan
hidrolisis asam akan lebih mudah difermentasi menjadi ethanol. Semakin
besar hasil hidrolisis pati menjadi glukosa diharapkan semakin besar pula
ethanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Melihat hasil penelitian
sebelumnya masih bervariasi, maka penelitian tentang hidrolisa tepung pati
ganyong masih sangat perlu dilakukan. Dengan penelitian ini diharapkan
dapat menemukan solusi untuk mengetahui jenis katalis asam yang
optimum dalam menghidrolisis pati menjadi glukosa.
Rumusan Masalah
Pembuatan bioethanol dari ganyong dengan proses hidrolisis asam
dan fermentasi sangat dipengaruhi oleh faktor antara lain: jenis katalis
asam, konsentrasi katalis asam, dan waktu optimal dalam proses
fermentasi; sehingga penelitian tentang hidrolisa pati ganyong dengan
variasi jenis dan konsentrasi asam perlu dilakukan untuk mengetahui hasil
yang optimal dalam rangka menyiapkan bahan baku untuk menghasilkan
bioethanol dengan kadar yang tinggi.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi dan jenis asam terhadap kadar glukosa yang dihasilkan dari
tepung ganyong dengan proses hidrolisis asam. Selain itu, manfaat dari
penelitian ini antara lain memberikan alternatif sumber energi yang
dihasilkan dari pengolahan ganyong secara anaerob, meningkatkan
produksi bioethanol dalam negeri, serta hasil bioethanol dapat mengurangi
pencemaran lingkungan dan meningkatkan nilai ekonomis dari ganyong.
LANDASAN TEORI
Tepung Ganyong
Gayong adalah sejenis umbi-umbian yang dapat dimakan setelah
direbus. Apabila dijadikan tepung atau pati dapat dipakai sebagai campuran
18. Ganyong Sebagai Bahan Baku Bioethanol Faidliyah Nilna Minah
15
berbagai makanan yang enak seperti kue. Yang dimaksud dengan tepung
ganyong adalah tepung yang dibuat langsung dari umbinya yang sudah tua
dan baik (tidak ada tanda-tanda kebusukan). Tepung ganyong dapat dibuat
dengan cara mencuci bersih umbi ganyong, iris tipis kemudian dikeringkan
hingga kering dan mudah dipatahkan. Selanjutnya, ditumbuk dan diayak
untuk dijadikan tepung ganyong (http//www.ristek.go.id. 20 Januari 2011).
Hidrolisis
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air
untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan
proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya
yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa, dan glukosa.
Hidrolisis berlawanan dengan hidrasi yang merupakan penambahan
elemen-elemen air pada ikatan ganda, tetapi tidak terkait dengan
fragmentasi molekul, dimana molekul tidak terpecah menjadi dua senyawa
baru.
Untuk mengubah pati menjadi gula diperlukan proses hidrolisis melalui
reaksi sebagai berikut:
O
CH2OH
OH
OH
OH
O
CH3
O
OH
OH
O
O
CH2OH
OH
O
CH2OH
OH
OO
O
CH2OH
OH
O
CH2OH
OH
OO
OH OH OH OH OH
O
CH2OH
OH
O
CH2OH
OH
OO
O
CH2OH
OH
O
CH2OH
OH
OO
OH OH OH OH
O
CH2OH
OH
OH
OH
OH
n
n
Alpha amylaseAmylo gluko aldose
Pati
Glukosa
Alpha amylase
Gambar 1.
Reaksi Hidrolisa Enzim dan Asam
19. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 12-22
16
Pada reaksi hidrolisis pati dengan air, reaksi antara air dan pati ini
berlangsung sangat lambat, sehingga diperlukan bantuan katalisator untuk
memperbesar kereaktifan air. Hidrolisis pati ini dapat dilakukan dengan
katalis asam, kombinasi asam dan enzim, serta kombinasi enzim dan enzim
(http//www.wordpress.com. 20 Januari 2011).
Hidrolisis Asam
Dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan
dengan asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu dan
menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa.
Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain
adalah asam sulfat (H2SO4
Hidrolisis asam pekat merupakan teknik yang sudah dikembangkan
cukup lama. Braconnot di tahun 1819 pertama menemukan bahwa selulosa
bisa dikonversi menjadi gula yang dapat difermentasi dengan menggunakan
asam pekat. Hidrolisis asam pekat menghasilkan gula yang tinggi
dibandingkan dengan hidrolisis asam encer, dengan demikian akan
menghasilkan ethanol yang lebih tinggi. Hidrolisis asam pekat dapat
dilakukan pada suhu rendah. Namun demikian, konsentrasi asam yang
digunakan sangat tinggi (30%-70%). Proses ini juga sangat korosif karena
adanya pengenceran dan pemanasan asam. Proses ini membutuhkan
peralatan yang metal yang mahal atau dibuat secara khusus. Recovery
asam juga membutuhkan energi yang besar. Di sisi lain, jika menggunakan
asam sulfat, dibutuhkan proses netralisasi yang menghasilkan limbah
gypsum/kapur yang sangat banyak. Dampak lingkungan yang kurang baik
dari proses ini membatasi penggunaan asam perklorat dalam proses ini.
Hidrolisis asam pekat juga membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan
yang tinggi, dimana hal ini mengurangi ketertarikan untuk komersialisasi
proses ini.
), asam perklorat, dan asam klorida (HCl). Asam
sulfat merupakan asam yang paling banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk
hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi hidrolisis
asam pekat dan hidrolisis asam encer.
Kelemahan dari hidrolisis asam encer adalah degradasi gula hasil
dalam reaksi hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak
diinginkan. Degradasi gula dan produk samping ini tidak hanya akan
mengurangi hasil panen gula, tetapi juga dapat menghambat pembentukan
ethanol pada tahap fermentasi selanjutnya. Beberapa senyawa inhibitor
yang dapat terbentuk selama proses hidrolisis asam encer adalah furfural, 5-
hydroxymethylfurfural (HMF), asam levulinik (levulinic acid), asam asetat
(acetic acid), asam format (formic acid), asam uronat (uronic acid), asam 4-
hydroxybenzoic, asam vanilik (vanilic acid), vanillin, phenol,
cinnamaldehyde, formaldehida (formaldehyde), dan beberapa senyawa lain.
20. Ganyong Sebagai Bahan Baku Bioethanol Faidliyah Nilna Minah
17
Fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan
anaerobik (tanpa oksigen). Gula adalah bahan yang umum dalam
fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah ethanol, asam laktat,
dan hidrogen. Akan tetapi, beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan
dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai bahan
yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan ethanol dalam
bir, anggur, dan minuman beralkohol lainnya. Proses fermentasi oleh
saccharomyces cereviceae ditunjukkan dengan reaksi sebagai berikut:
C6H12O6
yeast
2 C2H5OH + 2CO2
Glukosa etanol karbondioksida
Gambar 2.
Reaksi Glukosa Menjadi Etanol
Bioethanol adalah ethanol (alkohol) yang dibuat/direkayasa dari
biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi).
Bioetanol tidak berwarna dan tidak berasa, tetapi memiliki bau yang khas.
Bioetanol dikenal sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan, karena
bersih dari emisi bahan pencemar.
Bahan baku bioetanol antara lain adalah sebagai berikut (Paramida,
2010):
• Bahan berpati berupa: singkong, atau ubi kayu, ubi jalar, tepung
sagu, biji jagung, biji sorgum,gandum kentang, ganyong, garut,
umbi dahlia, kulit pisang dan lain-lain.
• Bahan bergula, berbentuk molasess (tetes tebu), nira tebu, nila
kelapa, nila batang sorgum manis, nira aren (enau), nira nipah,
gewang, nira lontar dan lain-lain.
• Bahan berselulosa, berupa limbah logging, limbah pertanian seperti
jerami padi, ampas tebu, jenggel (tongkol) jagung, onggok (limbah
tapioka), batang pisang, serbuk gergaji (grajen) dan lain-lain.
Sebagai bahan bakar, umumnya penggunaan bioethanol masih dalam
bentuk campuran dengan bensin pada konsentrasi 10% (E – 10), yaitu 10%
bioetanol dan 90% bensin. Campuran bioethanol dalam bensin itu dikenal
dengan istilah gasohol. Penambahan ethanol dalam bensin disamping dapat
menambah volume BBM, juga dapat meningkatkan nilai oktan bensin.
Selain itu, penambahan ethanol dalam bensin dapat berfungsi sebagai
pengganti MTBE (Methyl tertiary buthyl ether) yang digunakan sebagai
bahan aditif dalam bensin (Hambali dkk 2007).
21. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 12-22
18
Tepung
ganyong
Hidrolisis Fermentasi
Air dan
HCl,HNO3
T = 105-120o
C
Ethanol
Saccaromyces
cereviceae, urea dan
NPK
METODOLOGI
Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk ethanol dari
pati ganyong (Canna edulis Ker) adalah metode eksperimen atau
percobaan. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan optimasi jenis
serta konsentrasi katalis asam yang harus digunakan pada proses hidrolisa
pati, sehingga dapat dihasilkan kualitas ethanol yang paling tinggi dari
proses fermentasi.
Variabel Penelitian
• Jenis bahan : tepung ganyong
• Suhu proses hidrolisis : 1050
• Waktu hidrolisis : 1 jam
C
• Jenis katalis asam : HCl dan HNO
• Konsentrasi : 1,5%; 3%; 4,5%; 6%; dan 7,5%
3
• Suhu proses fermentasi : 280
C
Diagram Alir Penelitian
Gambar 3.
Diagram Alir Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dapat ditunjukkan bahwa hubungan antara
konsentrasi asam dan pH hidrolisis berbanding terbalik, dimana semakin
besar konsentrasi asam, maka pH awal proses hidrolisis akan semakin kecil,
sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Hal ini sesuai dengan kenyataan
bahwa jika konsentrasi asam dalam larutan makin besar, maka pH larutan
tersebut juga akan makin menurun/kecil. Hal ini disebabkan semakin besar
konsentrasi asam, maka konsentrasi ion hidrogen (H+) juga akan semakin
besar, dimana nilai pH bergantung pada nilai H+ yang sesuai dengan teori
atau rumus berikut:
22. Ganyong Sebagai Bahan Baku Bioethanol Faidliyah Nilna Minah
19
Gambar 4.
Grafik Hubungan Antara Konsentrasi Asam dengan pH Awal Proses Hidrolisis
Selain hal tersebut di atas, dari hasil penelitian juga didapatkan hasil
kadar glukosa hasil hidrolisis dengan katalis asam HCl pada konsentrasi
1,5%; 3%; 4,5%; 6%; 7,5% berturut-turut adalah 85,10%; 85,90%; 86,25%;
86,65%; dan 86,15%. Sedangkan kadar glukosa yang didapat dari proses
hidrolisis dengan katalis asam HNO3 pada konsentrasi 1,5%; 3%; 4,5%; 6%;
7,5% berturut-turut adalah sebesar 85,30%; 86,10%; 86,80%; 87,20%; dan
86,85%. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini:
Gambar 5.
Grafik Hubungan antara Konsentrasi Asam dengan Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis
23. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 12-22
20
Dari hasil tersebut dapat dilihat kecenderungan kadar glukosa yang
didapatkan dari hasil proses hidrolisis tepung ganyong dengan katalis asam
HNO3 dan HCl pada konsentrasi 1,5%-6% cenderung meningkat seiring
dengan kenaikan konsentrasi katalis, tetapi pada konsentrasi HNO3 dan HCl
7,5% kadar glukosa yang dihasilkan dari hasil hidrolisis menurun. Hal ini
disebabkan pada konsentrasi 6% baik HCL maupun HNO3 telah mencapai
titik optimum terjadinya proses hidrolisa, dimana pada titik ini kesetimbangan
rasio antara ion H+ pada asam dan ion OH- pada air memecah pati dan
membentuk glukosa telah menunjukkan batas maksimal. Dengan demikian,
pada konsentrasi asam 7,5% baik HCl maupun HNO3 mengalami
penurunan kadar glukosa yang disebabkan jumlah ion OH- dari air semakin
sedikit.
Gambar 6.
Grafik Hubungan antara Waktu fermentasi dengan Kadar Etanol Hasil Fermnetasi
Penelitian ini mengambil kadar glukosa tertinggi yang dihasilkan dari
keseluruhan proses hidrolisis untuk kemudian dilakukan proses yang lebih
lanjut, yaitu fermentasi. Fermentasi dilakukan selama12 hari dan selama
proses fermentasi berjalan, dilakukan pengambilan sampel pada hari ke-0,
ke-3, ke-6, ke-9, dan hari ke-12. Dari kedua katalis yang digunakan, yaitu
HCl dan HNO3, ternyata kadar ethanol yang terbaik diperoleh dengan
menggunakan katalis HNO3
Pada gambar 6 di atas dapat terlihat bahwa kadar ethanol dengan
menggunakan katalis HNO
. Hal ini disebabkan oleh Saccaromyces
cereviceae yang membutuhkan nutrisi cukup penting. Nutrisi yang
dibutuhkan yaitu karbon, hidrogen, fosfor, kalsium sulfur, besi, dan
magnesium.
3 lebih tinggi dibandingkan dengan yang
24. Ganyong Sebagai Bahan Baku Bioethanol Faidliyah Nilna Minah
21
menggunakan katalis HCl. Hal ini dikarenakan HNO3 memiliki kandungan
yang dibutuhkan oleh saccaromyces cereviceae dalam pertumbuhannya.
Selain itu, kadar glukosa yang dihasilkan juga terlihat lebih tinggi
dibandingkan dengan katalis HCl. Semakin tinggi glukosa yang diperoleh
pada proses hidrolisis, maka kadar ethanol yang dihasilkan juga semakin
tinggi. Hal ini disebabkan karena banyaknya bahan (glukosa) yang
difermentasikan, sehingga diperoleh kadar ethanol yang dihasilkan juga
lebih tinggi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan:
• Konsentrasi asam sangat berpengaruh terhadap pH larutan.
Semakin tinggi konsentrasi asam, maka akan semakin rendah pula
pH larutan sebelum dan setelah di-hidrolisis.
• Hasil kadar glukosa terbaik pada proses hidrolisis terdapat pada
jenis asam HNO3
• Hasil fermentasi terbaik terdapat pada jenis asam HNO
dengan konsentrasi asam sebesar 6% sebesar
87,20%, sedangkan jenis asam HCl dengan konsentrasi asam
sebesar 6% sebesar 86,65%.
3 dengan
waktu fermentasi 12 hari diperoleh kadar sebesar 14,57%.
DAFTAR PUSTAKA
Annonymous. canna-edulis. http//www.id.wikipedia.org. 20 Januari 2011.
___________. etanol. http//www.id.wikipedia.org. 20 Januari 2011.
___________. fermentasi. http//www.id.wikipedia.org. 20 Januari 2011.
___________. glukosa. http//www.id.wikipedia.org. 10 Januari 2011.
___________. saccharomycess_cereviceae. http//www.id.wikipedia.org. 10 Januari
2011.
___________. Tepung Ganyong. http//www.ristek.go.id. 20 Januari 2011.
___________. Kandungan gizi umbi-umbian. http//www.dikawiwit06.blogspot.com.
17 September 2011.
___________. aneka anaman semusim. http//www.kulinologi.biz 14 April 2011.
___________. www.digilib.uns.ac.id.
___________. www.lipi.go.id/Bioetanol.
___________. www.scribd.com/fermentasi.
___________. www.scribd.com/hidrolisis_pati_Fazza.
Bukabi. Umbi Ganyong. http//www.wordpress..com. 2 Februari 2009.
Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Entjo, Sukarsa. 2010. Tanaman Ganyong. http//www.bbp2_lembang.info. 25
Agustus 2011.
Hambali, Erliza, dkk. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
25. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 12-22
22
Indah, Sri. 2009. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Glukosa dari Pati Jagung
dengan Proses Hidrolisa dengan Kapasitas 1200 ton/tahun. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Isroi. Hidrolisa Asam. http//www.wordpress.com. 20 Januari 2011.
______. Hidrolisa enzim. http//www.wordpress.com. 20 Januari 2011.
Paramida, Nia Rizki. 2010. Tepung Ganyong. 7 Oktober 2010.
Prihandana, Rama dkk. 2007. Bioetanol Ubi Kayu: Bahan Bakar Masa Depan.
Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
Putri, Utami Yudi. 2009. Peningkatan Mutu Pati Ganyong Melalui Perbaikan Proses
Produksi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rahmayanti, Dian. 2010. Pemodelan dan Optimasi Hidrolisa Pati Menjadi Glukosa
dengan Metode Artificial Neural Network-Genetic Algorith. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Retno, Endah, dkk. 2006. Bioethanol Fuel Grade Talas. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Sudarmadji, Slamet. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Edisi Ke-4. Yogyakarta: Liberty.
Surraya, Lili, dkk. 2008. Konversi Pati Ganyong Menjadi Bioethanol melalui
Hidrolisis Asam dan Fermentasi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah.
Yanie, Noviae Sandrie. 2008. Pembuatan Bioethanol dari Kulit Singkong Melalui
Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Zakaria, Ahmad. 2006. Pengaruh Hidrolisa Asam pada Proses Sakarifikasi Pati
Limbah Kulit Pisang Terhadap Kualitas Bioethanol. , Serpong: Institut
Teknologi Indonesia.
26. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
23
KONSEP PENATAAN LANSEKAP
PADA ALUN-ALUN DAN TAMAN-TAMAN KOTA BONDOWOSO
Y. Setyo Pramono
Dosen Program Studi Arsitektur FTSP ITN Malang
ABSTRAKSI
Taman dan Alun-alun Kota secara umum memiliki peranan untuk: (1)
identitas kota, (2) pelestarian plasma nutfah, (3) penahan dan
penyaring partikel padat dari udara, (4) penyerap dan penjerap partikel
timbal, (5) penyerap dan penjerap debu semen, (6) peredam
kebisingan, (7) pengurang bahaya hujan asam, (8) penyerap karbon-
monoksida, (9) penyerap karbon-dioksida dan penghasil oksigen, (10)
penahan angin, (11) penyerap dan penapis bau, (12) mengatasi
penggenangan, (13) mengatasi intrusi air laut, (14) ameliorasi iklim,
serta (15) pelestarian air tanah.
Sejalan dengan adanya program revitalisasi elemen lansekap Alun-alun
dan Taman-taman Kota Bondowoso berdasar pada fungsinya sebagai
ruang terbuka hijau skala kota serta peningkatan peran Alun-alun
sebagai identitas dan landmark kota dengan kualitas visual (vista) yang
memadai, maka diperlukan upaya penataan ruang terbuka hijau kota -
dalam hal ini adalah Alun-alun dan Taman-taman Kota - yang memiliki
identitas sekaligus menjadi landmark kota sesuai dengan
perkembangan aktivitas masyarakat yang ada sekarang ini.
Metoda analisis yang dipakai dalam penataan Alun-alun dan Taman-
taman Kota Bondowoso Kabupaten Bondowoso mencakup metoda
yang dipakai untuk menganalisis aspek-aspek urgensitas, kesesuaian
lahan, kualitas visual, sosial, serta teknis lensekap. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rencana penataan elemen lansekap pada tapak
Taman-taman Kota dan kawasan Alun-alun Kota Bondowoso lebih
ditujukan untuk meningkatkan peran kawasan, yaitu dengan
mempertegas eksistensi dan keberadaannya sebagai ruang terbuka
hijau utama di pusat kota.
Kata Kunci: Elemen Lansekap, Taman Kota, Alun-alun Kota, Bondowoso.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Bondowoso yang merupakan Ibukota Kabupaten Bondowoso
berjarak 36 km sebelah Utara Kota Jember dan 30 km sebelah Selatan Kota
Besuki. Kota Bondowoso terletak pada titik temu 3 (tiga) jaringan jalan
regional, yaitu antara Jember-Bondowoso, Situbondo-Bondowoso, dan
27. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
24
Besuki-Bondowoso. Fungsi Kota Bondowoso adalah sebagai pusat
pelayanan fasilitas pendidikan, kesehatan, pusat pemerintahan, akomodasi
pariwisata, dan simpul jasa distribusi bagi wilayah lain di sekitarnya. Hal ini
menjadikan Kota Bondowoso menjadi berkembang dan memunginkan untuk
lebih berkembang. Perkembangan Kota Bondowoso dari waktu ke waktu
harus diimbangi dengan ketersediaan ruang terbuka hijau untuk membentuk
suasana perkotaan yang ramah lingkungan. Ruang terbuka hijau dimaksud
berupa Taman-taman Kota dengan Alun-alun Kota sebagai pusat ruang
terbuka hijau kota yang pada gilirannya dapat mendukung fungsi Kota
Bondowoso sebagai pusat pelayanan.
Dalam menyusun konsep penataan Taman-taman dan Alun-alun Kota
tersebut harus memperhatikan semua fungsi dan kegunaannya, antara lain
sebagai: taman kota, olahraga, rekreasi, paru-paru kota, konservasi flora-
fauna, kesehatan lingkungan, keamanan, resapan air, dan sebagainya.
Taman dan Alun-alun Kota sebagai bagian dari ruang terbuka hijau kota,
menurut penjelasan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002,
berfungsi sebagai: (1) filter udara, (2) sirkulasi daur oksigen perkotaan, (3)
sebagai daerah tangkapan air, yaitu daerah peresapan air yang menampung
air hujan, serta (4) penyeimbang ekosistem kota, yaitu dengan memulihkan
daya dukung alam; sedangkan manfaatnya adalah: (1) ekologis, yaitu
sebagai penyeimbang ekosistem kota; (2) sosial ekonomi, yaitu sebagai
tempat berolahraga dan rekreasi; (3) edukatif, yaitu sebagai tempat
penelitian vegetasi dan belajar; serta (4) estetika, yaitu memberikan/
menambah keindahan lingkungan kota.
Dengan demikian, Taman-taman Kota dan Alun-alun kota, secara
umum, memiliki peranan untuk: (1) identitas kota, (2) pelestarian plasma
nutfah, (3) penahan dan penyaring partikel padat dari udara, (4) penyerap
dan penjerap partikel timbal, (5) penyerap dan penjerap debu semen, (6)
peredam kebisingan, (7) pengurang bahaya hujan asam, (8) penyerap
karbon-monoksida, (9) penyerap karbon-dioksida dan penghasil oksigen,
(10) penahan angin, (11) penyerap dan penapis bau, (12) mengatasi
penggenangan, (13) mengatasi intrusi air laut, (14) ameliorasi iklim, serta
(15) pelestarian air tanah.
Lokasi kegiatan penyusunan konsep penataan Taman-taman dan
Alun-alun Kota Bondowoso adalah:
• Alun-alun Kota yang terletak di pusat pemerintahan Kabupaten
Bondowoso (Kota Bondowoso).
• Taman-taman kota, meliputi: (a) Taman Batas Kabupaten di
Kecamatan Prajekan, (b) Taman Batas Kota di Kecamatan
Tenggarang, (c) Taman Batas Kota di Kecamatan Curahdami, dan
(d) Taman Batas Kota di Pancoran.
28. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
25
Batasan Perencanaan
Penyusunan konsep penataan Taman-taman Kota dan Alun-alun Kota
Bondowoso dibatasi pada:
• Konsep penataan lansekap yang terdiri dari elemen lunak dan
keras (soft and hardware landscaping), sehingga tidak termasuk
elemen sculpture yang berupa tugu atau patung.
• Bangunan, gedung, dan elemen fisik lain yang pada saat ini ada di
dalam atau di sekitar taman dan alun-alun kota tidak termasuk
dalam konteks perencanaan, namun menjadi dasar pertimbangan
dalam penetapan konsep penataan lansekapnya.
• Kondisi eksisting geometrik jalan dan/atau pedestrian tidak
termasuk dalam konteks perencanaan, namun menjadi dasar
penyesuaian dalam penetapan konsep bentuk dan fungsi tanaman.
Permasalahan
Kondisi Alun-alun dan Taman-taman Kota Bondowoso di Kabupaten
Bondowoso secara umum kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari:
• Perkembangan aktivitas publik di Alun-alun sebagai landmark kota.
• Degradasi keanekaragaman vegetasi untuk mencapai identitas
ruang luar (ruang terbuka hijau) pusat kota.
• Perlunya penataan elemen lansekap untuk pengembangan kualitas
visual (vista).
• Belum terlihatnya ornamentasi vocal point di Alun-alun dan Taman-
taman Kota serta perlunya peningkatan pedestrian quality.
• Keharmonisan konsepsi Alun-alun Kabupaten di Jawa.
• Kurangnya perawatan dan pemeliharaan unsur-unsur lansekap,
terutama tanaman.
METODOLOGI
Metode Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu data
lapangan dan data instansional. Data-data lapangan berupa:
1. Data Fisik Tapak Perencanaan:
• Kondisi topografi, yaitu ketinggian, kelerengan, dan luas area.
• Kondisi tanah (tekstur, kesuburan, pH, dan jenis tanah),
kesesuaian vegetasi (maskot tanaman), serta kesesuaian
geometrik jalan dan pedestrian.
2. Data Lingkungan Sekitar:
• Kondisi bangunan, gedung, dan elemen fisik lainnya.
• Kondisi dan potensi sosio-kultural, sosio-ekonomi, dan sosio-
kemasyarakatan penduduk setempat.
29. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
26
Sedangkan data instansional berupa:
• Data tata guna lahan kawasan.
• Data sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi).
• Data iklim (temperatur, curah hujan, angin, dan kelembaban).
Data-data diperoleh dengan cara observasi, wawancara, serta
penelusuran dokumen. Observasi terutama untuk memperoleh data-data
eksisting melalui teknik pemotretan, aktualisasi peta/gambar, dan
pengukuran. Wawancara dan penelusuran dokumen lebih banyak dipakai
untuk memperoleh data instansional.
Metoda Analisis
Metoda analisis yang dipakai dalam penataan Alun-alun dan Taman-
taman Kota Bondowoso Kabupaten Bondowoso mencakup metoda yang
dipakai untuk menganalisis aspek-aspek urgensitas, kesesuaian lahan,
kualitas visual, sosial, serta teknis lensekap, yaitu:
Untuk menganalisis urgensi Alun-alun dan Taman-taman Kota, maka
perlu meninjau kondisi eksisting untuk ditelaah eksistensinya sesuai dengan
perkembangan aktivitas yang ada. Selain itu, diperlukan analisis terhadap
konteks pengadaan elemen-elemen lansekap dalam kaitannya dengan
upaya meningkatkan kualitas visual di kawasan Alun-alun dan Taman-taman
Kota.
Analisis Urgensitas
Analisis kesesuaian lahan untuk penataan Alun-alun dan Taman Kota
didasarkan atas pertimbangan topografi, geologi, hidrologi serta kesesuaian
geometrik jaringan jalan dan pedestrian dengan melihat sistem sirkulasi dan
tingkat aksesibilitas.
Analisis Kesesuaian Lahan
Analisis arsitektural mencakup pemrograman terhadap aspek-aspek
yang merupakan faktor penentu rancangan tapak. Aspek-aspek ini meliputi:
fungsi, pelaku, aktivitas, elemen lansekap (keras dan lunak), serta kualitas
visual (struktur ruang, pola tata hijau, sirkulasi, dan preservasi). Keseluruhan
aspek fisik tersebut senantiasa dikaitkan dengan kondisi sosial (sosio-
kultural, sosio-ekonomi, sosio-politik, sosio-kemasyarakatan, dan sosio-
ekologi) masyarakat di wilayah perencanaan.
Analisis Arsitektural
30. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
27
GAMBARAN WILAYAH STUDI
Gambaran Umum Bondowoso
Wilayah Kabupaten Bondowoso sebagai lingkup wilayah di atas
wilayah perencanaan (Kota Bondowoso) terdiri dari 21 wilayah Kecamatan,
dimana 4 di antaranya masuk ke dalam wilayah perencanaan (Kota
Bondowoso), terletak pada posisi geografis 70
50’10” – 70
56’41” Lintang
Selatan dan 1130
48’27” – 1130
Lingkup wilayah perencanaan adalah Kota Bondowoso yang
merupakan Ibukota Kabupaten Bondowoso serta secara administratif
mencakup 4 (empat) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Bondowoso,
Curahdami, Tegalampel, dan dengan luas wilayah keseluruhan adalah
sebesar 3.448,05 Ha.
48’26” Bujur Timur. Kabupaten Bondowoso
berada pada titik temu 3 (tiga) jaringan jalan regional potensial, yaitu antara
Jember-Bondowoso, Situbondo-Bondowoso, dan Besuki-Bondowoso.
Batas wilayah Kota Bondowoso adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Tegalampel Kabupaten Bondowoso
Sebelah Selatan : Kecamatan Bondowoso Kabupaten Bondowoso
Sebelah Barat : Kecamatan Curahdami Kabupaten Bondowoso
Sebelah Timur : Kecamatan Tenggarang Kabupaten Bondowoso
Sebagian besar wilayah Kota Bondowoso terletak pada lahan yang
datar. Secara umum kemiringan lahan berkisar antara 0% - 15% dan tidak
menunjukkan perbedaan ketinggian yang cukup mencolok. Ketinggian lahan
berkisar antara 73 – 253 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kota
Bondowoso sebagian besar memiliki jenis tanah alluvial dengan jenis
bebatuan alluvium.
Di wilayah Kota Bondowoso terdapat beberapa sungai dan saluran
yang bermuara di sisi Timur kota. Pada umumnya sungai-sungai tersebut
dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kepentingan penduduk setempat,
seperti untuk mengairi sawah dan pembuangan air hujan. Sungai-sungai
yang melintasi wilayah Kota Bondowoso adalah Sungai Deluang, Sungai
Sampeyan, Sungai Mayang, Sungai Bedadung, dan Sungai Mrawan.
Gambaran Khusus Wilayah Studi
Alun-alun Kota merupakan peninggalan jaman kolonial Belanda yang
di sekitarnya terdapat perkantoran Pemerintah Kabupaten dan fasilitas
pelengkap lainnnya. Alun-alun kota merupakan landmark kota atau
identitas/ciri pusat kota.
Alun-alun Kota
Alun-alun Kota Bondowoso terletak di pusat Kota Bondowoso yang
merupakan wilayah administratif Kecamatan Bondowoso dan berada relatif
di tengah bagian wilayah kota, sehingga memiliki letak yang strategis karena
dapat dijangkau dengan mudah dari seluruh wilayah kota. Alun-alun Kota
31. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
28
Bondowoso berada di wilayah Kelurahan Dabasah yang pada saat ini
didominasi oleh kegiatan perdagangan dan pusat pemerintahan dengan
intensitas yang tinggi.
Alun-alun Kota Bondowoso diapit oleh 4 (empat) jalan arteri dan
kolektor sekunder, masing-masing adalah:
Sebelah Utara : Jalan Letnan Karsono
Sebelah Selatan : Jalan Letnan Amir Kusman
Sebelah Barat : Jalan Letnan Sutarman
Sebelah Timur : Jalan Jaksa Agung Suprapto
Bangunan-bangunan yang berada di sekitar Alun-alun dan sekaligus
menjadi pelingkupnya adalah: Pendopo Kabupaten, Kantor Bank Jatim,
Sekolahan, Kantor Pegadaian, dan Kantor Pramuka di sisi Utara; Kantor
Bupati dan Sekretariat Kabupaten, Kantor KONI, dan Monumen Gerbong
Maut di sisi Selatan; Masjid Jami’, Gedung Olahraga, Kantor Koramil, dan
Sekolahan di sisi Barat; serta Lembaga Pemasyarakatan dan Kantor Pos di
sisi Timur. Bangunan gedung yang berada di dalam lahan Alun-alun adalah
Stasiun Radio Mahardika, Pusat Informasi Produk Unggulan Kabupaten,
dan Paseban.
Taman-taman Kota Bondowoso yang menjadi obyek perencanaan
sebanyak 4 (empat) buah, dimana merupakan taman batas kota/kabupaten
yang sekaligus menyatu dengan elemen gerbang, yaitu: (1) Taman Batas
Kabupaten di Kecamatan Prajekan, (2) Taman Batas Kota di Kecamatan
Tenggarang, (3) Taman Batas Kota di Kecamatan Curahdami, dan (4)
Taman Batas Kota di Pancoran.
Taman-taman Kota
Berdasarkan tolok ukur kebersihan, kerapian, dan tingkat kesuburan
tanaman yang menjadi elemen utama lansekap, maka kondisi taman-taman
kota tersebut adalah: (1) cukup terawat, yaitu taman batas kabupaten di
Kecamatan Prajekan, serta (2) kurang terawat, yaitu taman batas kota di
Kecamatan Tenggarang, di Kecamatan Curahdami, dan di Pancoran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep Dasar Penataan Ruang Terbuka Hijau Kota
Landmark Kota adalah salah satu tanda fisik di kawasan perkotaan
yang dapat memberikan informasi bagi pengamat pada suatu jarak tertentu.
Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) unsur penting dalam landmark kota,
yaitu: (1) tanda fisik yang merupakan obyek yang dapat ditangkap dan
dinikmati dengan indera secara mudah, (2) informasi yang memberikan
gambaran dengan cepat dan pasti tentang suatu obyek, sehingga dapat
Konsepsi Landmark Kota
32. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
29
memberikan image fisik dan non fisik, serta (3) obyek dapat dikenali dan
dilihat dengan nyaman pada suatu jarak tertentu.
Kriteria perencanaan suatu obyek landmark kota adalah: (1) unik
(unique), yaitu tuntutan harus memiliki unsur yang mudah diingat
(memorable), dimana unsur tersebut memiliki karakter fisik yang lain dari
obyek di sekitarnya; (2) teridentifikasi (identified), yaitu tuntutan harus
mudah dikenali oleh masyarakat umum, sehingga gampang diingat; (3)
memiliki bentuk (shape), yaitu adalah tuntutan harus memiliki bentuk yang
jelas atau bentang yang relatif lebar, dimana salah satunya dapat dicapai
dengan adanya kekontrasan dengan lingkungan di sekitarnya sebagai latar
belakang; (4) letak (location), yaitu tuntutan harus mudah dinikmati oleh
pancaindera dari jarak jauh maupun jarak dekat, di dalam maupun di luar
obyek; (5) nilai (meaning), yaitu tuntutan harus memiliki nilai dalam suatu
lingkungan atau kawasan perkotaan, dimana nilai tersebut dapat berupa
nilai historis maupun nilai estetis.
Kualitas visual (vista) adalah mutu baik buruknya suatu obyek yang
dinilai dengan penglihatan. Kualitas visual elemen fisik perkotaan ditentukan
suatu pengalaman visual terhadap elemen kota yang menampilkan
penonjolan kekontrasan fisik dengan lingkungan di sekitarnya. Kekontrasan
tersebut dapat dicapai dengan penonjolan obyek terhadap lingkungannya
secara latar belakang (background) maupun latar muka (foreground). Dalam
konteks Alun-alun dan Taman-taman Kota, maka vista merupakan
pemandangan yang natural dan diperkuat dengan penampilan karakter
topografis, sehingga merupakan elemen ruang terbuka hijau kota yang
memberikan gambaran batasan daerah/kawasan (edges).
Konsepsi Kualitas Visual (Vista)
Kriteria perencanaan untuk mencapai suatu kualitas visual (vista)
mengacu pada: (1) harmonis (harmony), yaitu keselarasan obyek dengan
lingkungan di sekitarnya secara kontekstual, yaitu keterkaitannya dengan
identitas kota, kehidupan masyarakat, sejarah, dan budayanya; (2) ekspresi
(expressiveness), yaitu gambaran visual yang terkait dengan fungsi-fungsi
sosial, status dan kesan masyarakat, termasuk pula pemakaian warna dan
bahan bangunan; (3) aksesibilitas (accessibility), yaitu unsur perencanaan
sistem sirkulasi yang menyangkut pencapaian menuju dan meninggalkan
obyek, sehingga terkait dengan perletakan elemen pada area welcome node
melalui sistem pencahayaan, orientasi, warna, simbol, maupun sculpture; (4)
penunjang kegiatan (activity support), yaitu tuntutan yang harus mampu
menampung segala aktivitas yang ada melalui penyediaan wadah kegiatan
yang fungsional; (5) sudut pandang (view), yaitu tuntutan harus mudah
dinikmati oleh pancaindera dari jarak dan sudut pandang tertentu – baik dari
dalam maupun dari luar obyek – sehingga dapat dikenali dan dilihat dengan
nyaman pada suatu jarak tertentu; (6) unsur alam (nature), yaitu pemakaian
unsur alam – sebagai unsur yang paling bersahabat dengan manusia –
33. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
30
untuk memperoleh kesan menyatu dan manusiawi melalui pertimbangan
kondisi topografi, vegetasi, air, klimatologi, dan garis langit; serta (7)
pemeliharaan (maintenance), yaitu arahan untuk tetap mempertahankan
kualitas obyek melalui usaha-usaha pemeliharaan dan perawatan yang
memadai.
Tanaman (vegetasi) merupakan elemen lansekap utama yang hidup
dan terus berkembang. Fungsi tanaman tidak hanya mengandung nilai
estetika saja, namun juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan
yang terkait dengan faktor iklim. Di iklim tropis, seperti Indonesia umumnya
dan Bondowoso pada khususnya, dikenal 2 (dua) macam tanaman ditinjau
dari masa daunnya, yaitu: (1) tanaman berdaun gugur (decidous plants)
yang berubah bentuk maupun warna daun sesuai dengan musimnya, serta
(2) tanaman berdaun hijau sepanjang tahun (evergreen connivers) yang
berdaun lebat dan berbunga sepanjang tahun.
Konsepsi Tata Hijau (Vegetasi)
Kriteria untuk mencapai kualitas tata hijau mengacu pada fungsinya
dalam perencanaan lansekap, yaitu: (1) kontrol pandangan (visual control),
yaitu fungsi tanaman untuk menahan silau yang ditimbulkan oleh sinar
matahari, lampu jalan, dan sinar lampu kendaraan pada jalan raya,
bangunan, ruang luar, dan hal-hal yang kurang menyenangkan; (2)
pembatas fisik (physical barrier), yaitu fungsi tanaman yang dipakai sebagai
penghalang dan pengarah pergerakan (sirkulasi) manusia dan kendaraan
melalui pengaturan jarak tanam dan tinggi tanaman; (3) pengendali iklim
(climate control), yaitu fungsi tanaman yang dipakai sebagai pengontrol iklim
terhadap: (a) radiasi matahari dan suhu, (b) pengendali angin, (c)
pengendali suara, serta (d) penyaring udara; (4) pencegah erosi (erossion
control), yaitu fungsi tanaman sebagai pencegah erosi dan penguat tanah
akibat proses pembentukan tanah, cut and fill, dan penggalian tanah; (5)
habitat satwa (wildlife habitats), yaitu fungsi tanaman sebagai sumber
makanan dan tempat kehidupan hewan, sehingga secara tidak langsung
dapat membantu kelestarian hidupnya; serta (6) nilai estetika (aesthetic
values), yaitu fungsi tanaman meningkatkan nilai estetika lingkungan yang
diperoleh dari perpaduan antara warna tanaman (daun, batang, bunga),
bentuk fisik tanaman (tajuk, cabang, batang), tekstur tanaman (karakter
percabangan, massa daun), skala tanaman (proporsi besaran, tinggi-
rendah), serta komposisi tanaman (variasi, aksentuasi, keseimbangan,
kesederhanaan, urutan).
Pengembangan kawasan Alun-alun dan Taman-taman Kota
Bondowoso dilakukan melalui upaya revitalisasi (peremajaan) elemen-
elemen lansekapnya untuk mencapai kualitas yang dituju. Revitalisasi
Konsepsi Pengembangan (Revitalisasi)
34. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
31
mengandung 3 (tiga) jenis kegiatan, yaitu: (1) memberi vitalitas baru pada
kondisi eksisting, (2) meningkatkan vitalitas yang ada sekarang, dan (3)
menghidupkan kembali vitalitas lama yang telah memudar.
Kriteria untuk mencapai revitalisasi pada elemen lansekap didasarkan
atas pertimbangan: (1) fisik sosial (social physically), yaitu fungsi ruang
terbuka hijau yang menyangkut perilaku pemakai, yaitu: wadah kegiatan
sosio-politis, sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-ekologi, dan sosio-
kemasyarakatan seluruh warga kota; (2) fisik spasial (spatial physically),
yaitu fungsi ruang terbuka hijau yang menyangkut struktur ruang dan teritori,
yaitu: sarana dan prasarana hiburan dan rekreasi, penataan fungsi
lansekap, serta pola keselarasan tata letak fungsional; (3) fisik visual (visual
physically), yaitu fungsi ruang terbuka hijau yang menyangkut estetika dan
kualitas lingkungan, yaitu: menjaga kelestarian lingkungan alam, elemen
vegetasi yang merupakan maskot kawasan/kota, elemen sculpture yang
beridentitas, dan penataan unsur lansekap yang ideal.
Analisis Penataan Alun-alun Kota Bondowoso
Urgensi Alun-alun Kota Bondowoso sesuai dengan permasalahan
yang dapat diidentifikasi sejauh ini menunjukkan adanya penurunan
vitalitasnya. Dengan demikian, urgensi meningkatkan kembali kualitas dan
fungsi Alun-alun Kota Bondowoso sebagai landmark kota yang beridentitas
dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:
Analisis Urgensitas Alun-alun Kota Bondowoso
• Preservasi fungsi lapangan upacara yang tetap dipakai untuk
kegiatan formal kepemerintahan, sekaligus dipakai sebagai area
ibadah (sholat Ied) yang merupakan luberan dari area Masjid Jami’
dan sekitarnya.
• Preservasi fungsi hutan kota sebagai ‘paru-paru’ kawasan,
sekaligus dipakai sebagai area sosio-ekologi yang merupakan
wahana ilmu pengetahuan. Apabila diperlukan, dapat pula
dilakukan pengembangan area hutan kota untuk memperbanyak
lahan ‘paru-paru’ kawasan.
• Revitalisasi pedestrian quality sebagai akses utama dalam
kawasan.
• Revitalisasi ornamentasi pada pagar pembatas Pohon Beringin
sebagai vocal point kawasan Alun-alun.
• Revitalisasi unsur penerima kawasan Alun-alun dari sisi Timur dan
Barat sebagai welcome nodes.
• Revitalisasi fungsi taman dan sabuk hijau di sisi sayap Barat dan
sisi Timur kawasan Alun-alun dengan keanekaragaman vegetasi.
• Revitalisasi fungsi taman di pojok/sudut kawasan Alun-alun dengan
penanaman jenis vegetasi yang menjadi maskot kota.
35. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
32
• Pengaturan area taman yang dirancang, dibangun, dan dikelola
oleh instansi-instansi yang ada di wilayah Kabupaten Bondowoso
sebagai bentuk kepedulian terhadap pengelolaan Alun-alun Kota
Bondowoso sebagai landmark kota yang merupakan kebanggaan
seluruh elemen masyarakat.
• Pengaturan area parkir andong wisata dengan pola on street
parking, termasuk pengaturan parkir kendaraan dengan pola on
street parking yang sama.
• Penataan open space sebagai pengembangan area kegiatan
pentas seni dan budaya, sekaligus pengembangan area kegiatan
olahraga.
• Pengaturan fasilitas penjualan aneka makanan (lesehan) dan
aneka barang (pedagang kaki lima).
Analisis kesesuaian lahan Alun-alun Kota Bondowoso didasarkan atas
pertimbangan topografi, geologi, hidrologi serta kesesuaian geometrik
jaringan jalan dan pedestrian dengan melihat sistem sirkulasi dan tingkat
aksesibilitas. Dengan demikian, dalam konteks kesesuaian lahan, maka
guna meningkatkan kembali kualitas dan fungsi Alun-alun Kota Bondowoso
dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:
Analisis Kesesuaian Lahan Alun-alun Kota Bondowoso
• Pembuatan resapan-resapan (baik secara vertikal maupun
horisontal) di area lapangan upacara untuk menanggulangi
genangan air hujan dengan mempertimbangkan catchments area
dan daya dukung resapan air tanah.
• Peningkatan sistem drainase di sekitar Alun-alun dengan menelaah
kembali saluran yang ada.
• Penataan elemen vegetasi sesuai dengan persyaratan hidupnya
berdasarkan kondisi topografi dan klimatologi setempat, baik untuk
jenis pepohonan, perdu, semak, tanaman hias, maupun tanaman
penutup tanah.
• Penataan pola penggunaan area penjualan aneka makanan
(lesehan) dan aneka barang (pedagang kaki lima) sesuai dengan
pola geometrik jalan dan pedestrian, sehingga relatif tidak
mengganggu arus lalulintas kendaraan dan manusia.
Secara khusus, upaya pembuatan resapan pada area lapangan
upacara dan peningkatan sistem drainase pada saluran eksisting menjadi
skala prioritas penanganan dalam konteks kesesuaian lahan kawasan Alun-
alun Kota Bondowoso, mengingat setiap musim hujan terjadi genangan air
yang cukup mengganggu. Berdasarkan kondisi eksisting, maka
perencanaan sistem drainase lingkungan nantinya merupakan kombinasi
antara sistem drainase konvensional dan sistem drainase berwawasan
36. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
33
lingkungan, dengan langkah-langkah teknis, di antaranya adalah sebagai
berikut:
• Debit yang akan melalui kawasan Alun-alun, meliputi: debit
buangan air kotor rumah tangga (permukiman) sekitar kawasan
Alun-alun, debit buangan air kotor non permukiman (seperti dari
masjid, sekolah, perkantoran, dsb), limpasan permukaan air hujan
(dari jalan dan area terbuka), serta resapan/infiltrasi air hujan (dari
Alun-alun dan taman).
• Desain saluran dan bangunan drainase yang direncanakan terdiri
dari: desain saluran interceptor, collector dan conveyor; bak kontrol,
grill, ambang lebar, gorong-gorong dan manhole; serta resapan air
hujan (vertikal maupun horisontal).
• Desain saluran dan bangunan drainase tersebut di atas dibuat
dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) buangan air kotor
dapat secepatnya terbuang melalui saluran konvensional (surface
drainage), (2) limpasan permukaan air hujan dan resapan air hujan
dapat dialirkan/ ditahan/ditampung dalam resapan di beberapa titik
kumpul bak-bak kontrol, serta (3) pada area lapangan upacara dan
lapangan olahraga disediakan desain resapan drainase vertikal
ataupun horisontal (sub surface drainage).
Guna mendapatkan desain rencana jaringan drainase kawasan Alun-
alun Kota Bondowoso, maka langkah-langkah yang ditempuh adalah
sebagai berikut:
• Inventarisasi dan pengukuran saluran drainase eksisting yang
bertujuan untuk mengetahui mengetahui jalur jaringan drainase
yang ada beserta kondisinya, meliputi: dimensi, keadaan fisik
(saluran dan sedimentasi), serta potensi lahan guna normalisasi
saluran, termasuk long section dan cross section masing-masing
saluran.
• Analisis hidrologi melalui tahapan sebagai berikut: (1) perhitungan
curah hujan harian maksimum, (2) perhitungan curah hujan daerah
atau curah hujan rerata harian maksimum daerah dengan
menggunakan metode Poligon Thiessen, dan (3) perhitungan curah
hujan rancangan dengan menggunakan metode Log Pearson Tipe
III.
• Perhitungan debit banjir rancangan yang terdiri dari: (1) perhitungan
debit air hujan berdasarkan data-data kemiringan tanah, jenis
tanah, kondisi iklim, curah hujan, dan luasan catchments area, serta
(2) perhitungan debit air kotor berdasarkan data jumlah air buangan
yang berasal dari penduduk dan pemakai bangunan sekitar.
• Perhitungan kapasitas saluran dan bangunan pelengkap melalui
analisis hidraulika untuk menetapkan jenis, macam, demensi,
jumlah, dan konstruksi desain masing-masing saluran dan
bangunan pelengkapnya.
37. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
34
Analisis arsitektural mencakup pemrograman terhadap aspek-aspek
yang merupakan faktor penentu rancangan tapak. Aspek-aspek ini meliputi:
fungsi, pelaku, aktivitas, elemen lansekap (keras dan lunak), serta kualitas
visual (struktur ruang, pola tata hijau, sirkulasi, dan preservasi). Keseluruhan
aspek fisik tersebut dikaitkan dengan kondisi sosial (sosio-kultural, sosio-
ekonomi, sosio-politik, sosio-kemasyarakatan dan sosio-ekologi) masyarakat
di wilayah perencanaan. Dengan demikian, dalam konteks arsitektural, guna
meningkatkan kembali kualitas dan fungsi Alun-alun Kota Bondowoso, maka
dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
Analisis Arsitektural Alun-alun Kota Bondowoso
• Pada area lapangan upacara: pembuatan resapan-resapan (baik
secara vertikal maupun horisontal) di area lapangan upacara;
penataan media tanam; serta penanaman tanaman penutup tanah
berupa rerumputan.
• Pada area hutan kota: dilakukan pemeliharaan dan perawatan
(melalui pemupukan, pembumbunan, dan pemangkasan) pada
pepohonan; pemberian label penamaan pohon (nama lokal, nama
umum, dan nama ilmiah); serta penambahan elemen hardscape
(berupa pedestrian, bangku taman, meja taman, dan lampu taman).
• Pada pedestrian utama: penataan material sirkulasi; pembuatan
bangku taman; penambahan pot tanaman; serta pembuatan
pergola untuk mengurangi sengatan sinar matahari bagi pejalan
kaki dengan tanaman hias merambat.
• Pada pagar Pohon Beringin: penambahan ornamentasi melalui
pemakaian bentuk, warna, dan tekstur yang sesuai dengan
karakteristik budaya setempat.
• Pada welcome nodes di sisi Timur dan Barat kawasan: pembuatan
gerbang penerima yang menyambung dengan pergola pedestrian di
belakangnya.
• Pada taman di sisi sayap Barat kawasan: dilakukan pemeliharaan
dan perawatan (melalui pemupukan, pembumbunan, dan
pemangkasan) pada vegetasi yang ada; penataan material
sirkulasi; peningkatan kualitas pagar; serta penambahan elemen
hardscape (pot tanaman dan lampu taman).
• Pada sabuk hijau di sisi sayap Timur kawasan: dilakukan
pemeliharaan dan perawatan (melalui pemupukan, pembumbunan,
dan pemangkasan) pada pepohonan yang ada; serta peningkatan
kualitas elemen hardscape (pagar, bangku taman, pot tanaman dan
lampu taman).
• Pada area di belakang sabuk hijau sayap Timur kawasan: dilakukan
pembuatan area taman instansi yang dalam teknisnya dirancang,
dibangun, dan dikelola oleh instansi-instansi yang ada di wilayah
Kabupaten Bondowoso (untuk mendapatkan bentuk taman yang
38. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
35
harmonis, maka perlu disusun petunjuk pelaksanaan oleh instansi
teknis terkait).
• Pada taman pojok Tenggara dan Timur Laut kawasan: dilakukan
pemeliharaan dan perawatan (melalui pemupukan, pembumbunan,
dan pemangkasan) pada tanaman hias yang ada; serta
penambahan tanaman yang menjadi maskot kota.
• Pada jalur pedestrian dan jalan di sisi Timur kawasan: pengaturan
area penjualan aneka makanan (lesehan) dan penjualan aneka
barang (kaki lima) yang ditata di sepanjang trotoir dan jalan. Model
ini dilakukan dengan pembatasan waktu penjualan (hanya sore
sampai dengan malam hari), sehingga dapat dilakukan pengaturan
airkulasi kendaraan bermotor dengan pembatasan jalur/lajur.
• Pada area di sisi Utara kawasan: pembuatan area parkir andong
wisata secara off street parkir yang yang sekaligus berfungsi
sebagai area parkir kendaraan (pada hari-hari kerja) dengan lantai
paving-block atau grass-block berpola, pot tanaman, dan pagar/
berm pembatas di sisi belakang.
• Pada area di belakang bangunan Stasiun Radio Mahardika dan
Pusat Informasi Produk Unggulan Bondowoso: pembuatan area
pentas seni dan budaya dengan penataan panggung dan area
penonton yang bersifat open theatre, berlantai grass-block.
• Pada area olahraga: peningkatan fasilitas olahraga dengan
penataan perkerasan, penataan komponen olahraga (basket dan
voli), serta penambahan bangku taman.
• Pada area open space di belakang area pentas seni-budaya dan
olahraga: diupayakan tetap berupa open space untuk
pengembangan area pentas seni-budaya dan olahraga melalui
pembuatan media tanam serta menanam tanaman penutup tanah
berupa rerumputan berpola.
Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengembalikan konsepsi
Alun-alun Kabupaten di Jawa adalah penataan kawasan Alun-alun dengan
pola simetri-asimetri, yaitu pola kesetimbangan pengaturan kelompok fungsi
kawasan Alun-alun ditinjau dari dua arah sumbu mata angin (Utara-Selatan
dan Timur-Barat) yang dilakukan melalui upaya sebagai berikut:
• Pengembangan hutan kota pada posisi Timur Laut kawasan (area
olahraga eksisting) agar simetris dengan area hutan kota eksisting
dengan kelengkapan elemen lansekap yang sama.
• Area olahraga dipindahkan ke open space di sebelah Utara
pedestrian utama memanjang arah Timur-Barat, sekaligus dapat
dipakai sebagai pengembangan area pentas seni dan budaya.
• Penataan sirkulasi pada pedestrian yang menuju ke tengah Alun-
alun dari sisi Utara kawasan dengan pola simetri terhadap bentukan
bangunan Stasiun Radio Mahardika dan Pusat Informasi Produk
Unggulan Bondowoso yang tidak simetri.
39. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
36
• Adanya pagar transparan yang ‘melindungi’ tanaman hias di sisi
kanan-kiri pedestrian utama dari kegiatan olahraga yang berada di
sebelahnya.
Analisis Penataan Taman-taman Kota
Urgensi Taman-taman Kota Bondowoso sesuai dengan permasalahan
yang dapat diidentifikasi sejauh ini sebagian besar menunjukkan adanya
penurunan kualitas. Dengan demikian, urgensi meningkatkan kualitas dan
fungsi taman sebagai ruang terbuka hijau kota dapat dilakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
Analisis Urgensitas
• Penataan kembali elemen lansekap pada Taman Batas Kabupaten
di Kecamatan Prajekan, Taman Batas Kota di Kecamatan
Tenggarang, serta Taman Batas Kota di Pancoran.
• Perencanaan ulang elemen lansekap pada Taman Batas Kota di
Kecamatan Curahdami.
Analisis kesesuaian lahan Taman-taman Kota Bondowoso didasarkan
atas pertimbangan topografi, geologi, hidrologi serta kesesuaian geometrik
jaringan jalan di sekitarnya dengan melihat sistem sirkulasi dan tingkat
aksesibilitas. Dengan demikian, dalam konteks kesesuaian lahan, guna
meningkatkan kembali kualitas dan fungsi taman-taman kota dimaksud,
maka dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
Analisis Kesesuaian Lahan
• Penataan elemen vegetasi sesuai dengan persyaratan hidupnya
berdasarkan kondisi topografi dan klimatologi setempat, baik untuk
jenis pepohonan, perdu, semak, tanaman hias, maupun tanaman
penutup tanah.
• Penataan tanaman yang menjadi maskot pada setiap lokasi taman-
taman kota.
Analisis arsitektural mencakup pemrograman terhadap aspek-aspek
yang merupakan faktor penentu rancangan tapak. Aspek-aspek ini meliputi:
fungsi, elemen lansekap (keras dan lunak), serta kualitas visual (pola tata
hijau, bentuk, warna, dan tekstur). Dengan demikian, dalam konteks
arsitektural, maka guna meningkatkan kembali kualitas dan fungsi Taman-
taman Kota Bondowoso dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai
berikut:
Analisis Arsitektural
• Pada Taman Batas Kabupaten di Kecamatan Prajekan, Taman
Batas Kota di Kecamatan Tenggarang, dan Taman Batas Kota di
Pancoran: penanaman aneka vegetasi sesuai dengan pola, bentuk,
40. Konsep Penataan Lansekap Y. Setyo Pramono
37
warna, dan tekstur yang memadai; penanaman maskot tanaman;
serta redesain elemen pagar.
• Pada Taman Batas Kota di Kecamatan Curahdami: perencanaan
ulang seluruh elemen lansekap, baik hardscape maupun softscape
dengan aneka vegetasi sesuai dengan pola, bentuk, warna, dan
tekstur yang memadai; adanya maskot tanaman; serta adanya
elemen pagar.
KESIMPULAN
Rencana Penataan Lansekap Alun-alun Kota Bondowoso
Rencana penataan elemen lansekap pada tapak kawasan Alun-alun
Kota Bondowoso lebih ditujukan untuk meningkatkan peran kawasan, yaitu
dengan mempertegas eksistensi dan keberadaan Alun-alun Kota sebagai
ruang terbuka hijau utama di pusat kota, dengan cara:
• Menjaga Alun-alun Kota Bondowoso sebagai landmark kota dengan
adanya tanda-tanda fisik yang unik, beridentitas, pada jarak
pandang yang mudah dinikmati, dan memiliki nilai tertentu.
• Meningkatkan kualitas visual Alun-alun Kota Bondowoso dengan
penataan elemen lansekap yang selaras dengan lingkungan,
ekspresif, berkesan menerima, mampu mewadahi aktivitas
masyarakat, memiliki view yang bagus, alami, dan terpelihara.
• Menata keanekaragaman vegetasi sebagai elemen utama lansekap
sesuai dengan fungsi-fungsinya melalui pemilihan bentuk, warna,
dan tekstur yang sesuai – termasuk pula adanya maskot tanaman.
• Meremajakan (revitalisasi) elemen-elemen lansekap secara fisik,
sehingga memenuhi fungsi-fungsi sosial, spasial, dan visual.
Rencana Penataan Lansekap Taman-taman Kota Bondowoso
Rencana penataan elemen lansekap pada tapak Taman-taman Kota
Bondowoso lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan, yaitu
dengan mempertegas eksistensi dan keberadaannya sebagai ruang terbuka
hijau kota, dengan cara:
• Meningkatkan kualitas visual Taman-taman Kota Bondowoso
dengan penataan elemen lansekap yang selaras dengan
lingkungan, ekspresif, berkesan menerima, mampu mewadahi
aktivitas masyarakat, memiliki view yang bagus, alami, dan
terpelihara.
• Menata kembali keanekaragaman vegetasi sebagai elemen utama
lansekap sesuai dengan fungsi-fungsinya melalui pemilihan bentuk,
warna, dan tekstur yang sesuai – termasuk pula adanya maskot
tanaman.
41. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 23-38
38
• Merencana ulang elemen-elemen lansekap secara fisik, sehingga
memenuhi fungsi spasial dan visual.
PUSTAKA ACUAN
Ashihara, Yoshinobu, 1970. Exterior Design in Architecture. Van Nostrand Reinhold
Comp.
Darmawan, Edy. 2005. Analisa Ruang Publik: Arsitektur Kota. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen PU. 2009. Penyediaan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan.
Gunadi, Sugeng, 1989. Pedoman Perencanaan Tapak dan Lingkungan. Surabaya:
Surabaya Utama Press.
Hakim, Rustam dan Hadi Utomo. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur
Lansekap: Prinsip Unsur dan Aplikasi Desain. Jakarta: Bumi Aksara.
Harjanto, Suryo Tri. 2002. Arsitektur Lansekap: Dasar-dasar Perancangan dalam
Konteks Alam dan Lingkungan. Jurnal Estetika. No.2 Vol. I. Juli-Desember
2002. Malang: Jurusan Arsitektur ITN Malang.
Lynch, Kevin. 1971. Site Planning. The MIT Press.
Seymour, M. Gold. 1980. Recreation Planning and Design. New York: Mc. Graw
Hill, Inc.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2005. Pedoman dan
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
Winslow, Margaret C. 1988. International Landscape Design. PBC International,
Inc.
42. Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air Evy Hendriarianti
39
ANALISIS ISU DEFORESTASI PADA DAERAH TANGKAPAN AIR
BENDUNGAN LOLAK KABUPATEN BOOLANG MONGONDOW
PROPINSI SULAWESI UTARA
Evy Hendriarianti
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan FTSP ITN Malang
ABSTRAKSI
Kerusakan lingkungan pada Daerah Tangkapan Air (DTA) Bendungan
Lolak mengancam keberlanjutan fungsinya, sehingga dipandang perlu
untuk membuat analisis isu deforestasi. Enam faktor utama dari aspek
sosial ekonomi (populasi penduduk, tataguna lahan, perdagangan,
infrastruktur, lemahnya hukum, serta rendahnya pengetahuan
lingkungan) secara langsung atau tidak langsung menjadi penyebab
utama menurunnya kualitas lingkungan biofisik melalui proses
perusakan lingkungan hutan (deforestasi).
Konversi kawasan hutan pada DTA Bendungan Lolak, selain untuk
lahan perkebunan, juga untuk penggembalaan ternak, penebangan liar,
dan pertambangan emas rakyat. Banyaknya praktek penyimpangan
pada konversi lahan, eksploitasi hutan (commercial logging), illegal
logging, dan pembukaan lahan yang menyebabkan kebakaran
seringkali tidak terjangkau oleh hukum. Dari hasil survey lapangan
ditemukan kegiatan penebangan kayu pada beberapa lokasi pada DTA
Bendungan Lolak.
Faktor-faktor tersebut di atas mempercepat terjadinya deforestasi yang
secara langsung dapat menyebabkan: kerusakan karena banjir, tanah
longsor, erosi tanah, sedimentasi, penurunan kualitas lahan, penurunan
sumberdaya energi, polusi udara, erosi keanekaragaman hayati
(erosion of biodiversity), serta terbentuknya lahan tandus atau gurun.
Disamping itu, dipengaruhi pula adanya kegiatan pembuangan limbah
cair hasil pengolahan emas ke tanah, lemahnya penegakan hukum
karena keterbatasan administrasi/pemerintahan, dan kegiatan pertanian
yang tidak konservatif, akan berpengaruh langsung ataupun tak
langsung pada proses terjadinya penurunan kualitas lahan di masa
yang akan datang.
Kata Kunci: Deforestasi, Degradasi Lingkungan, DTA Bendungan Lolak.
PENDAHULUAN
Munculnya fenomena bencana alam tahunan, seperti banjir, tanah
longsor, dan kekeringan merupakan suatu petunjuk dan peringatan bahwa
semua kejadian itu merupakan akibat ketidakseimbangan serta kerusakan
43. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 39-53
40
sumberdaya alam di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Untuk
mengembalikan keseimbangan kondisi alam dan menghindari hal-hal yang
dapat mengakibatkan kejadian-kejadian bencana alam, diperlukan dana
yang besar dan kesungguhan pemikiran maupun tindakan serta waktu yang
panjang.
Bendungan Lolak terletak di Desa Pindol Kecamatan Lolak Kabupaten
Bolaang Mongondow dengan tinggi bendungan 45 meter, panjang 653
meter dan memiliki volume efektif tampungan 8,767 juta m3
Kerusakan lingkungan pada DTA Bendungan Lolak mengancam
keberlanjutan fungsinya seperti disebutkan di atas. Salah satu bentuk
kerusakan lingkungan yang terkait adalah kerusakan hutan atau deforestasi.
Dengan demikian, dipandang perlu untuk membuat analisis isu deforestasi,
sehingga diharapkan bermanfaat sebagai input penyusunan upaya
pengelolaan atau konservasi hutan di DTA Bendungan Lolak.
. Bendungan
Lolak, disamping bermanfaat untuk memberikan supply air baku untuk
kebutuhan domestik, perkotaan dan industri di Ibukota Kabupaten Bolaang
Mongondow, juga untuk suplai air bersih dalam mengantisipasi
pengembangan Pelabuhan Labuhan Uki dan kawasan industri di sekitarnya,
kegiatan pariwisata, dan perikanan air tawar.
ANALISIS ISU DEFORESTASI
Enam faktor utama dari aspek sosial ekonomi yang secara langsung
atau tidak langsung menjadi penyebab utama menurunnya kualitas
lingkungan biofisik melalui proses perusakan lingkungan hutan (deforestasi).
Keenam faktor tersebut adalah: populasi penduduk, tata guna lahan,
perdagangan, infrastruktur, lemahnya hukum, serta rendahnya pengetahuan
lingkungan. Skema analisa isu deforestasi seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 1.
Skema Analisa Isu Deforestasi
44. Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air Evy Hendriarianti
41
Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Lolak pada tahun 2008 sebesar 24.948
jiwa. Jumlah rumah tangga (RT) pada tahun yang sama sebanyak 6.615 RT
dengan jumlah jiwa per RT sebesar 3.77 ∼ 4. Desa Pindol yang terdiri dari 2
dusun mempunyai jumlah penduduk pada tahun 2008 berjumlah 566 jiwa
dengan jumlah penduduk laki-laki 318 jiwa, penduduk perempuan 246 jiwa,
dan kepala keluarga sebanyak 135 KK; sedangkan Desa Totabuan
mempunyai jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 673 jiwa dengan
jumlah penduduk laki-laki 375 jiwa, penduduk perempuan 298 jiwa, dan
kepala keluarga sebanyak 159 KK.
Penduduk yang semakin meningkat menuntut ketersediaan pangan
yang semakin tinggi pula. Dari data dalam Kecamatan Lolak Dalam Angka
Tahun 2009, pertumbuhan penduduk di Kecamatan Lolak pada tahun 2005
– 2008 adalah sebagai berikut:
Gambar 2.
Grafik Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Lolak tahun 2005-2008
Selama 4 tahun telah terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar
1.704 jiwa dengan fluktuasi seperti pada Gambar 2. Tambahan jumlah
penduduk rata-rata dalam setahun mencapai 568 jiwa atau sebesar 2,41%.
Gambar 3.
Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan Lolak Tahun 2005-2008
45. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 39-53
42
Sedangkan data perkembangan jumlah penduduk untuk Desa Pindol
dan Desa Totabuan yang bersumber dari Kecamatan Lolak Dalam Angka
Tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4.
Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Pindol dan Desa Totabuan
Tahun 2005-2008
Pertumbuhan penduduk pada kedua desa selama tahun 2005 – 2008
dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Gambar 5.
Grafik Pertumbuhan Penduduk Desa Pindol dan Desa Totabuan
Tahun 2005-2008
Dari grafik tersebut di atas dapat dilihat terjadinya pola pertumbuhan
penduduk yang sama pada kedua desa, dimana Desa Pindol mempunyai
tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi (rata-rata 6,32%)
dibandingkan Desa Totabuan (rata-rata 4,99%).
Berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata yang dicapai selama tahun
2005-2008, maka diperkirakan jumlah penduduk Desa Pindol pada 5 tahun
ke depan (2015) mencapai angka 816 jiwa; sedangkan Desa Totabuan
46. Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air Evy Hendriarianti
43
diperkirakan pada tahun 2015 mempunyai jumlah penduduk sebesar 908
jiwa. Kebutuhan pangan dalam lima tahun ke depan juga akan mengalami
peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi.
Pemenuhan tuntutan ini, disamping melalui intensifikasi pertanian,
juga ekstensifikasi pertanian yang dengan sendirinya menuntut
dilakukannya konversi hutan menjadi lahan pertanian. Dari hasil survey telah
diidentifikasi terjadinya konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan
pada DTA Bendungan Lolak seperti pada Gambar 6 berikut ini:
Gambar 6.
Konversi Lahan Kawasan Hutan DTA Bendungan Lolak sebagai Lahan Pertanian
Peningkatan jumlah penduduk juga dengan sendirinya memerlukan
pasokan kayu bakar. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat untuk keperluan
pemenuhan kayu bakar secara langsung memberikan pengaruh negatif
terhadap tegakan hutan dan akhirnya terhadap hutan secara keseluruhan
(deforestasi). Kebutuhan yang lain dari manusia adalah terpenuhinya
kebutuhan protein hewani. Kebutuhan ini memunculkan peluang ekonomi
pada kegiatan peternakan, terutama hewan besar (sapi, kambing, kerbau).
Kegiatan peternakan ini memerlukan padang penggembalaan yang
seringkali diperoleh dengan konversi kawasan hutan. Dengan demikian,
mudah dipahami bahwa manusia karena kebutuhan bahan pangan (demand
for food), kebutuhan bahan bakar kayu (demand for fuel wood), dan
kebutuhan protein hewani (forest grazing) akan menyebabkan pengurangan
luas hutan (deforestasi) melalui konversi kawasan hutan ataupun penurunan
kualitas tegakan hutan.
Konversi kawasan hutan pada DTA Bendungan Lolak, selain untuk
lahan perkebunan, juga untuk penggembalaan ternak, penebangan liar, dan
pertambangan emas rakyat seperti pada Gambar 7. di bawah ini.
47. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 39-53
44
Gambar 7.
Konversi Lahan Kawasan Hutan untuk Peternakan, Penebangan Kayu dan
Pertambangan
Tata Guna Lahan
Perubahan tata guna lahan terjadi karena perubahan populasi dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasarnya. Perluasan lahan pertanian,
pemukiman, dan lainnya terjadi karena tuntutan kebutuhan populasi.
Pemanfaatan potensi tanah secara langsung menurunkan kualitas
kesuburan serta menurunkan kualitas sumber air. Perubahan kualitas tanah
dan gangguan hidrologi akan menyebabkan penurunan kualitas hutan yang
selanjutnya menyebabkan pengurangan kawasan hutan.Kegiatan eksploitasi
sumberdaya mineral pada sisi lain, dalam beberapa model dan jenis
eksploitasi (batu bara, emas, tembaga, minyak di darat, dll) secara langsung
menyebabkan kerusakan dan pengurangan hutan.
Perubahan tata guna lahan DTA Bendungan Lolak saat ini telah
terlihat pada bagian hilir untuk kegiatan pertanian, peternakan, dan
penebangan kayu; sedangkan pada bagian hulu telah terjadi perubahan tata
guna lahan untuk kegiatan eksploitasi sumberdaya mineral berupa
penambangan emas rakyat. Dari hasil pemantauan di lapangan, air buangan
dari proses pengolahan emas langsung dibuang ke tanah dan meresap
dalam tanah; sedangkan pada lokasi pengolahan emas yang berada di
pinggir sungai, air buangan dari proses pengolahan dibuang melalui parit
menuju sungai, seperti pada Gambar 8.
48. Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air Evy Hendriarianti
45
(A) Pembuangan Melalui Parit (B) Pembuangan Langsung
Menuju Sungai ke Tanah
Gambar 8.
Pembuangan Air Limbah Pengolahan Emas pada DTA Bendungan Lolak
Metode pengolahan yang digunakan oleh para pelaku usaha
penambangan biji emas di bagian hulu DTA Bendungan Lolak ini adalah
amalgamasi cara langsung. Dalam metode ini semua material (biji emas,
media giling, kapur tohor, air, dan air raksa) dimasukkan secara bersama-
sama pada awal proses, sehingga proses penghalusan biji emas dan
pengikatan emas oleh air raksa terjadi secara bersamaan. Metode
amalgamasi cara langsung ini kurang efektif dengan beberapa alasan, yaitu
memerlukan jumlah air raksa relatif lebih banyak, dimana air raksa yang
digunakan cepat rusak menjadi butir-butir kecil (fouring) (Peele, 1956),
sehingga daya ikat air raksa terhadap emas kurang, dan butir-butir air raksa
yang kecil mudah terbuang bersama ampas sewaktu dilakukan pendulangan
memisahkan ampas dengan amalgam. Akibatnya, metode ini menghadapi
dua permasalahan utama, yaitu kehilangan air raksa yang cukup tinggi dan
perolehan emas yang rendah. Kehilangan air raksa dalam pengolahan biji
emas yang cukup tinggi ini bisa mencemari air sungai dan air tanah dimana
tempat pengolahan biji emas dilakukan.
Dari analisis sampel kualitas air sungai Tapa Bolonsio (pada bagian
hulu DTA) dan sungai Lolak (pada bagian hilir DTA), diperoleh hasil belum
terjadi pencemaran sungai dari aktifitas penambangan emas rakyat yang
terjadi karena kemungkinan kegiatan penambangan emas saat ini masih
belum terlalu intensif dan ekstensif. Akan tetapi, permasalahan resiko
pencemaran air sungai maupun air tanah dari kegiatan penambangan emas
rakyat ini harus tetap menjadi prioritas dalam pengelolaan sumberdaya alam
di kawasan DTA Bendungan Lolak untuk mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan seperti yang telah terjadi pada daerah lain, dimana terjadi
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari kurangnya antisipasi konservasi
lingkungan terhadap perkembangan kegiatan penambangan emas rakyat.
Perdagangan
Kebutuhan papan (perumahan) dari penduduk mendorong tumbuhnya
perdagangan kayu. Permintaan kayu ini dipenuhi oleh kegiatan eksploitasi
49. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 39-53
46
hutan secara komersial (commercial logging). Di Indonesia jutaan hektar
konsesi hutan telah diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat
pengusaha. Karena ketidak-patuhan pada hukum, maka kegiatan ini telah
menyebabkan jutaan hektar hutan menjadi rusak setiap tahun yang secara
kumulatif telah dengan nyata menimbulkan berbagai dampak kerusakan
lingkungan (banjir dsb).
Dari sumber Departemen Kehutanan (Pusat Inventarisasi dan Statistik
Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan) tahun 2002 melalui Booklet Data
dan Informasi Kehutanan Propinsi Sulawesi Utara diperoleh informasi
kawasan hutan yang ada di Propinsi Sulawesi Utara seperti pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1.
Kawasan Hutan Propinsi Sulawesi Utara
Fungsi Kawasan Luas (Ha)
Persentase
Luas
Hutan konservasi ± 518.130 32.08
Kawasan Hutan Lindung (HL) ± 341.447 21.14
Kawasan Hutan Produksi
- Hutan Produksi Terbatas (HPT)
- Hutan Produksi Tetap (HP)
- Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK)
± 755.493
± 552.573
± 168.108
± 34.812
46,78
34,21
10,41
2,16
Luas Keseluruhan ± 1.615.070 100
Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2000, Eksekutif Data dan Informasi Kehutanan tahun 2001
Kawasan Konservasi terdiri dari Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa
(SM), Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TW), Taman Hutan Raya
(THR), dan Taman Buru (TB). Hutan Konservasi adalah hutan dengan ciri
khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Di Propinsi Sulawesi Utara, Hutan Konservasi yang telah ditunjuk dan
ditetapkan adalah sejumlah 7 unit Cagar Alam, 2 unit Suaka Margasatwa, 1
unit Taman Buru, 2 unit Taman Nasional (satu diantaranya adalah Taman
Nasional Laut) dan 2 unit Taman Wisata, dimana Lahan DTA Bendungan
Lolak termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
dengan luas 287.115 Ha.
Selama kurun waktu lima tahun terakhir, produksi kayu, kayu
gergajian, dan kayu lapis di Propinsi Sulawesi Utara adalah sebagai berikut:
50. Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air Evy Hendriarianti
47
Tabel 2.
Produksi Kayu Propinsi Sulut Tahun 1996 -2001
No. Tahun
Produksi (m
3
)
Kayu Bulat Gergajian Kayu Lapis
1 96/97 101.686,16 0 0
2 97/98 329.055,26 1.292,92 0
3 98/99 107.252,12 4.287,51 0
4 99/00 71.909,00 5.021,18 0
5 2000 51.514,21 2.774,75 306,79
6 Juli 2001 945,12 0 0
7 Nasional 2000 13.798.240,05 3.020.864,27 3.711.097,26
Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2000, Eksekutif Data dan Informasi Kehutanan tahun 2001
Pada tahun 2000 kayu bulat di Sulawesi Utara ini menyumbang
sebanyak 0,37% dari total kayu bulat nasional.
Selain produksi kayu, hutan di wilayah Popinsi Sulawesi Utara juga
mempunyai produksi non kayu berupa madu. Produksi madu hasil kegiatan
perlebahan selama kurun waktu lima tahun sebanyak 186,96 ton dengan
rincian sebagai berikut:
• Tahun 1996/1997 : 50,79 ton
• Tahun 1997/1998 : 50,92 ton
• Tahun 1998/1999 : 16,43 ton
• Tahun 1999/2000 : 34,41 ton
• Tahun 2000 : 34,41 ton
Pembangunan Infrastruktur
Meningkatnya populasi menuntut penyediaan infrastruktur yang
menopang kehidupan manusia. Infrastruktur yang banyak memakan ruang
atau memiliki dampak turunan pada perusakan hutan adalah: pembangunan
jalan, pembangunan irigasi dan proyek listrik tenaga air (PLTA).
Pembangunan jalan menggunakan ruang yang cukup luas, di samping itu
juga akibat pembangunan jalan akses pada kawasan hutan seringkali
menyebabkan peningkatan tekanan kepada kawasan hutan, sehingga
akhirnya menurunkan kualitas hutan dan lebih jauh terjadi deforestasi.
Pembangunan irigasi di satu sisi menuntut ruang yang diperoleh dengan
konversi dari kawasan hutan secara langsung atau tak langsung, juga
menimbulkan percepatan pengaliran air. Pengaliran air yang dipercepat ini
merubah tata hidrologi kawasan hutan.
Akses jalan menuju DTA Bendungan Lolak melalui Desa Pindol yang
terletak 18 km dari pusat kecamatan. Akses jalan menuju Desa Pindol 85%
baik dan 15% tergolong agak rusak. Desa-desa yang akan dilalui dari arah
Utara adalah Desa Pinogaluman dan Pindol Lili. Setelah melewati pusat
Desa Pindol Lili, perjalanan selanjutnya menyeberang sungai lebar sekitar 5
51. SSppeeccttrraa Nomor 16 Volume VIII Juli 2010: 39-53
48
meter untuk menuju desa Pindol. Jalan yang menghubungkan Desa
Pinogaluman dan Pindol lebar sekitar 3 – 4 meter (bervariasi), melewati 4
jembatan. Pada lokasi tertentu sulit untuk berpapasan dua kendaraan
(misalnya truk dan kendaraan tipe lainnya). Arus lalulintas masuk dalam
kategori jarang sekali, sehingga dalam sehari sekitar 4 atau 5 kendaraan
roda 4 yang melintasi Desa Pindol. Selanjutnya dari Desa Pindol akses jalan
melalui jembatan yang baru dibangun yang melintasi Sungai Lolak untuk
selanjutnya ke arah Selatan menuju Desa Totabuan dan selanjutnya ke
Kecamatan Dumoga. Dengan demikian, jalan yang melewati Desa Pindol
menghubungkan Kecamatan Lolak dan Kecamatan Dumoga.
Sungai-sungai yang akan dilewati biasanya di waktu hujan terjadi
banjir dengan luapan air mencapai ketinggian sekitar 1-3 meter, sehingga
menyulitkan pengguna jalan.
Sungai Lolak adalah sungai paling potensial untuk dikembangkan
sebagai sumber air baku. Melihat potensi tampungan yang cukup besar, air
baku dari sungai Lolak yang telah ditampung dalam bendungan, tidak hanya
akan dapat dimanfaatkan untuk air bersih, tetapi dapat juga dimanfaatkan
juga untuk keperluan irigasi. Selain itu, luas daerah genangan waduk yang
cukup besar akan dapat mengurangi debit banjir yang saat ini sering terjadi.
Pembangunan Bendungan Lolak di Desa Pindol akan memberikan nuansa
baru bagi masyarakat setempat dan sekitarnya. Perubahan yang akan
terjadi tidak terbatas pada perubahan pemanfaatan sumberdaya alam dan
bentangan alam melalui pembangunan fisik bendungan dengan berbagai
fasilitas penunjang. Namun, kehidupan sosial, ekonomi dan budaya serta
kependudukan akan turut terpengaruh.
Lemah pada Aspek Hukum
Banyaknya praktek penyimpangan pada konversi lahan, eksploitasi
hutan (com-mercial logging), illegal logging, pembukaan lahan yang
menyebabkan kebakaran seringkali tidak terjangkau oleh hukum. Secara
umum dapat dikatakan hukum yang ada lemah secara materi atau lemah
dalam penerapannya (law enforcement) untuk melindungi lingkungan
(hutan). Kondisi ini semakin memberikan ruang yang cukup bagi terjadinya
pelanggaran baru yang diikuti oleh sikap aparat hukum yang tidak berdaya,
yang antara lain karena moral hazard.
Dari hasil survey di lapangan ditemukan kegiatan penebangan kayu
pada beberapa lokasi pada DTA Bendungan Lolak seperti terlihat pada
Gambar 9. berikut ini.
52. Deforestasi pada Daerah Tangkapan Air Evy Hendriarianti
49
Gambar 9.
Lahan Penebangan Kayu pada DTA Bendungan Lolak
Rendahnya Pengetahuan Lingkungan
Pengetahuan lingkungan yang rendah dari masyarakat dan juga
aparat hukum/pemerintah menyebabkan tidak adanya sikap antisipatif
terhadap kerusakan lingkungan (termasuk lingkungan hutan). Penduduk
yang berada di sekitar kawasan hutan, tanpa memahami bahwa telah
berbuat salah, telah melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak
lingkungannya sendiri.
Konsekuensi Deforestasi
Faktor-faktor tersebut di atas secara langsung dan atau tak langsung,
bahkan ada yang secara sinergis mempercepat terjadinya kerusakan
kualitas tegakan buatan dan mengkonversi hutan tersebut, maka terjadilah
deforestasi. Deforestasi secara langsung dapat menyebabkan kerusakan
karena banjir, tanah longsor, erosi tanah, sedimentasi, penurunan kualitas
lahan, penurunan sumberdaya energi, polusi udara, erosi keanekaragaman
hayati (erosion of biodiversity), serta terbentuknya lahan tandus atau gurun.
Deforestasi bersumber dari kenaikan jumlah penduduk. Pertumbuhan
penduduk menuntut tersedianya bahan pangan dengan permintaan
makanan yang meningkat. Pemenuhannya antara lain melalui intensifikasi
pertanian yang salah satu metodenya adalah mekanisasi. Mekanisasi yang