SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 116
Baixar para ler offline
Oktober 2022 www.intisari-online.com
Tempe Yang
Tak Melulu Dari
Kedelai 8
Menelusuri jejak
masakan di Serat
Centhini 38
Rp
25.000,-/
Rp
26.000,-
(Luar
Jawa)
I N T M 2 2 1 0 0 1
4 Sehat 5
Sempurna,
Semboyan
Lama Tapi
Berguna
102
Menengok kembali sejarah bangsa
dari perjalanan budaya kulinernya
KULINER
NUSANTARA
MELINTASMASA
H
i
s
t
o
r
i . Biografi .
T
r
a
d
i
s
i
ME-1I
DARIKAMI
Mahandis Yoanata
Thamrin
Editor in Chief
“
Weteng ngelih, pikiran
ngalih,” kata orang Jawa.
Artinya kira-kira begini,
perut lapar bisa bikin
pikiran terlempar. Dari
zaman klasik sampai zaman ki-
wari, urusan perut selalu menjadi
salah satu indikator utama kemak-
muran. Dalam sejarah, urusan pe-
rut bisa berujung urusan politik.
Ternyata kita memiliki sede-
ret manuskrip dan prasasti yang
berkisah tentang upaya orang-
orang Mataram kuno hingga Maja-
pahit menjaga kemandirian dan
kemelimpahan pangan.
Salah satunya tentang prasasti
Panggumulan yang berasal dari ta-
hun 902. Terkait upaya pemuliaan
pangan, prasasti ini menyebutkan
pejabat-pejabat yang menjaga
lumbung padi, dan pejabat yang
mengurusi perberasan.
Pada zaman berikutnya, ada
kitab hukum yang mengatur segala
urusan dari soal pangan sampai
korupsi. Raja Hayam Wuruk,
yang bertakhta di Majapahit pada
abad ke-14, memiliki hukuman
tegas untuk pencurian bahan pa-
ngan—seperti kitab hukum Kutara
Manawa.
Saya pernah mengudap pisang
kencana di Tembi Rumah Budaya,
Yogyakarta. Sang peracik meng-
adopsi menu-menu cita rasa Jawa
dari Suluk Tambangraras—atau
Serat Centhini—yang digubah
pada awal abad ke-19.
Apakah pisang kencana ini
sama racikannya dengan pisang
kencana pada masa karya sastra
itu digubah? Pertanyaan itu tidak
begitu penting buat saya. Namun,
sajian ini telah menggugah ke-
ingintahuan pencicipnya tentang
apa itu kisah Serat Centhini.
Barangkali, kegemaran wisata
kuliner kita selama ini tidak didu-
kung pengetahuan soal sejarah
pangan Nusantara. Kuliner telah
tumbuh menjadi sebuah industri
wisata yang menjalar-jalar. Ironis-
nya, pada saat bersamaan kita ke-
hilangan kedaulatan pangan. Kita
hidup kenyang, tetapi makanan
kita tidak memakmurkan.
Bagi saya, menyusuri sejarah
kuliner sungguh menarik karena
rasa memiliki ikatan panjang
dengan geografis—dan rasa ter-
bentuk karena pengalaman. Dari
pangan pula kita bisa berkenalan
dengan cerita histori kota.
3
OKTOBER2022
CERITAKEDAULATAN
PANGANNUSANTARA
Founders P.K Ojong (1920-1980),
Jakob Oetama (1931-2020)
Group Director Dahlan Dahi
Deputy Group Director Harry Kristianto
Group Editorial Director Didi Kaspi Kasim
Editorial Office
Gedung Gridnetwork
Perkantoran Kompas Gramedia
Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora
Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270
Phone: (021) 5309699/ 5369799
Faks: (021) 5320607
E-mail: intisari@gridnetwork.id
Advertising
Gedung Gridnetwork
Perkantoran Kompas Gramedia
Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora
Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270
Phone: (021) 5309699/ 5369799
E-mail: iklangrid@gridnetwork.id
Marketing Communication
Gedung Gridnetwork
Perkantoran Kompas Gramedia
Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora
Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270
Phone: (021) 5309699/ 5369799
E-mail: marcomm@gridnetwork.id
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi majalah ini tanpa
izin tertulis dari Intisari. Intisari berhak
mengumumkan dan memperbanyak tanpa
perlu persetujuan/izin penulis, fotografer,
dan ilustrator, termasuk mengalihwujudkan
kembali dalam format digital atau nondigital
yang merupakan bagian dari majalah Intisari.
Brand Director Agung Wibawanto
Video Business Development & Partnership
Director Fitriana S. Pangaribuan
Strategic Audience Analysis Director
Asti Krismardiyanti
Account Director Kurnyawati
Account Manager Adisty Sugiharianti
Account Executive Hardiansyah, Hasan
Kholilurrachman
Marketing Director Marisa Thara W.
Marketing Manager Dinda Adiasa
Marketing Executive
Hestia Melani Melano, M. Essa Luthfani
Marketing Communication Director
Rizky Latanza
Marketing Communication Executive
Ferinnadya Annisa Putri
Editor in Chief
Mahandis Yoanata Thamrin
Editor
Thomas Tjahjo Widyasmoro
Editorial Team Yds. Agus Surono,
A.S. Rimbawana
Visual Editor Heri Cahyadi
Graphic Designer Maha Sulthan Dwi Indra
Cartographer Warsono
Intisari Online
Yoyok Prima Maulana (Managing Editor),
Ade Sulaeman (Editor), Adrie P. Saputra
Afif Khoirul M, K. Tatik Wardayati
M. Habib Asyhad,
Mentari Desiani Pramudita
Muflika Nur Fauddah, Tatik Ariyani
Editorial Secretary Elli Sihotang
Editorial
Publishing
Desain Sampul
Maha Sulthan Dwi Indra
Foto sampul
Potret penjual sate
dengan pikolan dan
pelanggannya. Foto
diambil tahun 1880.
Sumber: KITLV
Business
4
OKTOBER2022
BERANDA
Sampaikan komentar Anda ke:
M Q H E D @IntisariOnline intisari.grid.id
DIALOG
Edisi September 2022
Yap Thiam Hien, Idealisme
Dan Profesionalitas
Artikel di Intisari edisi
September 2022 berjudul “Yap
Thiem Hien, Pembela Orang-
orang Yang Membenci Kaumnya”,
sungguh sangat menarik.
Sayangnya memang pembahasan
tentang Pak Yap ini masih sangat
kurang dan tidak menggambarkan
keseluruhan perjuangan beliau
semasa hidup.
Mungkin sebagian dari kita
pernah ingat bagaimana Yap Thiam
Hien begitu gigih membela klien-
klien yang berasal dari golongan
garis keras atau saat ini sering
diistilahkan sebagai gerakan
radikal. Padahal selama ini stigma
terhadap golongan tersebut adalah
tidak menghargai toleransi. Di
sinilah Pak Yap dengan segala
kebesaran hati menunjukkan
idealisme dan profesionalitasnya.
Saat ini rasanya tak banyak
orang-orang yang meneruskan
jejak Pak Yap, terutama di bidang
penegakan hukum. Sangat
disayangkan karena justru di
masa-masa keutuhan berbangsa
terancam oleh kepentingan politik
sesaat, kita membutuhkannya.
Yusuf Suhartoyo, ucup.toyohar@
… com
5
OKTOBER2022
8/SOROTAN
Menempe yang Tidak
Melulu Pakai Kedelai
24/SOROTAN
Pecel, Cita Rasa Segala
Strata dan Masa
38/ SOROTAN
Pengetahuan Cita Rasa Jawa
dari Serat Centhini
52/SOROTAN
Terlena Gandum,
Padahal Punya Sorgum
64/SOROTAN
Serat Centhini,
Sumber Masakan Jawa
78/SOROTAN
Leuit dan Mitigasi Pangan
Kesepuhan Ciptagelar
DAFTARISI
8
MENEMPE
YANGTIDAKMELULU
PAKAIKEDELAI
6
OKTOBER2022
88/SOROTAN
Sekolah Pagesangan,
Pendidikan Berbasis
Budaya dan Pangan Lokal
102/SOROTAN
4 Sehat 5 Sempurna,
Mengoreksi Politik Pangan
dari Zaman ke Zaman
78
38
Khas
05/DIALOG 114/LENTERA
100/BULAN INI DALAM SEJARAH
7
OKTOBER2022
yangTidakMelulu
PakaiKedelai
Menempe
FOTO:
TIM
CHARACTER
BUILDING
UNIVERSITAS
BINUS
KAMPUS
MALANG
SOROTAN
8
OKTOBER2022
Sering dipandang sebelah mata sebagai
makanan rakyat biasa, tempe justru terbukti
mampu bertahan hingga ratusan tahun di dalam
menu makan harian sebagian orang Indonesia.
Inilah makanan asli Nusantara yang menjadi
wakil di dunia.
T. Tjahjo Widyasmoro
Editor Intisari
9
OKTOBER2022
Bagi Soekarno, tempe
jelas tidak buruk. Justru
tempe adalah salah satu
makanan favoritnya,
seperti ditulis dalam
Fatmawati:CatatanKecil
BersamaBungKarno.
Fakta ini juga disinggung
dalam Hariyatie-Soekarno:
TheHiddenStory:Hari
HariBersamaBungKarno,
19631967. Istri keenam
Soekarno itu bahkan
secara spesifik menyebut
tempe kesukaan suaminya
adalah tempe bacem.
“K
ita bangsa besar,
kita bukan “bangsa
tempe”, kita tidak akan
mengemis, kita tidak
akan minta-minta
apalagi jika bantuan-bantuan itu
diembel-embeli dengan syarat ini
syarat itu! Lebih baik makan gaplek
tapi merdeka, daripada makan
bestik tetapi budak...”
Begitulah kata-kata menggelegar
dari Soekarno, presiden pertama
RI, dalam pidatonya pada acara
peringatan kemerdekaan 17
Agustus 1963 di Jakarta. “Genta
Suara Revolusi Indonesia”, begitu
judulnya, kemudian menjadi salah
satu pidato yang begitu terkenal.
Bukan hanya karena Soekarno
mencoba memompakan semangat
nasionalisme Indonesia di tengah
gejolak politik dunia. Namun
seperti halnya dalam pidato-pidato
lainnya, Soekarno meninggalkan
beberapa ungkapan yang populer.
Salah satu ungkapan yang
masih sering dikenang adalah saat
Soekarno menyebut agar bangsa
kita tidak menjadi “bangsa tempe”.
Jangan “bermental tempe”. Tidak
tanggung-tanggung, nama makanan
dari fermentasi kedelai itu disebut
sampai tujuh kali selama pidato
di Gelora Bung Karno, Senayan,
Jakarta itu.
Jika kita mau memahami
konteksnya, Soekarno agaknya
mengartikan tempe sebagai
sesuatu yang lemah dan loyo. Paling
tidak begitu interpretasi Heri
Priyatmoko, dosen sejarah Fakultas
Sastra Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. “Bukan berarti tempe
itu buruk, tapi diidentikkan dengan
tempe itu lembek,” ucap Heri
seperti dikutip dari CNNIndonesia.
com (5/1/2021).
Bagi Soekarno, tempe jelas tidak
buruk. Justru tempe adalah salah
satu makanan favoritnya, seperti
ditulis dalam Fatmawati: Catatan
Kecil Bersama Bung Karno. Fakta ini
juga disinggung dalam Hariyatie-
SOROTAN
10
OKTOBER2022
FOTO-FOTO:
ARSIP
DAN
KOLEKSI
DARI
@TEMPE_BAIK
Kedelai kuning yang biasa dijadikan
sebagai bahan baku tempe
awalnya dibawa oleh para perantau
Tionghoa untuk dijadikan tahu
Soekarno: The Hidden Story: Hari
Hari Bersama Bung Karno, 1963
1967. Istri keenam Soekarno itu
bahkan secara spesifik menyebut
tempe kesukaan suaminya adalah
tempe bacem.
Dari limbah tahu
Sebagai seseorang yang lahir
dan besar di Jawa, tentu sangat
mungkin tempe menjadi makanan
yang sudah diakrabi Soekarno sejak
belia. Jejak historis menjelaskan,
tempe sudah menjadi salah satu
menu harian masyarakat Pulau
Jawa sejak abad ke-16, bahkan
mungkin lebih awal lagi.
Dalam Bunga Rampai Tempe
Indonesia, Mary Astuti menulis,
tanaman kedelai (sebagai bahan
baku tempe) setidaknya sudah
disinggung dalam legenda Sri
Tanjung yang ditulis pada abad ke-
13. Sementara kedelai dan tempe
secara khusus ada dalam Serat
Centhini yang dibuat pada 1814 oleh
Pakubuwana V.
Dalam Serat Centhini jilid
ketiga, digambarkan perjalanan
Cebolang dari candi Prambanan
menuju Pajang. Ia mampir di dusun
Tembayat di wilayah Kabupaten
11
OKTOBER2022
TEMPESANAN,TEMPEYANGMENGHIDUPI
Bukan cuma menjadi
makanan rakyat, tempe juga
terbukti dapat menghidupkan
perekonomian rakyat bahkan
sejak lebih dari 100 tahun silam.
Inilah yang terjadi di Kampung
Sanan, Malang, Jawa Timur.
Sejak awal abad ke-20, kampung
ini dikenal sebagai tempat para
pengrajin tempe Sanan atau
tempe Malang.
Sejarah tempe Sanan berawal
dari Mbah Buyut Chabibah yang
pada abad ke-19 mengawali
usaha produksi tempe. Keahlian
ini rupanya diikuti para tetangga
dan turun temurun, hingga kini
lebih dari 95 persen penghuni
Kampung Sanan hidup dari
usaha tempe. Jumlahnya saat
ini diperkirakan sekitar 2.000 KK
yang terdiri atas 500 UMKM.
Tempe Sanan semakin dikenal
luas setelah tahun 1970-an produk
warga berkembang menjadi
camilan keripik tempe. Tempe
yang dipotong tipis-tipis ini
populer sebagai camilan serta
buah tangan para wisatawan
yang berkunjung ke Malang.
Produk tempe dari Sanan terus
berkembang, bahkan sebelum
Pandemi Covid-19 total jumlah
kedelai yang diolah sudah
mencapai 40 ton per hari dengan
perputaran uang mencapai
hampir Rp1 milyar per hari.
Keberadaan tempe Sanan
Para pembuat tempe dari
Kampung Sanan di Malang.
Sudah lebih dari 100 tahun
menghidupi warga setempat.
SOROTAN
12
OKTOBER2022
Klaten dan dijamu makan siang
oleh Pangeran Bayat dengan lauk
seadanya: “…brambang jae santen
tempe … asem sambel lethokan …”.
Sambal lethok adalah masakan
berbahan dasar tempe yang telah
mengalami fermentasi lanjut.
Bahkan pada jilid 12, kedelai dan
tempe disebut bersamaan: “…
kadhele tempe srundengan…”
Menyelisik keberadaan tempe,
jelas tidak akan lepas dari bahan
baku utamanya yang paling lazim
dikenal orang yaitu kacang kedelai.
Hanya saja karena tanaman
bernama Latin phaseolus niger itu
bukan asli Nusantara, para ahli
berbeda pandangan tentang awal
mula pembudidayaannya. Kedelai
sendiri sudah dikenal di Asia Timur
sejak 3.500 tahun lalu. Hanya saja
tidak disebutkan jenisnya kedelai
hitam atau kuning.
Meski mengetahui asal-muasal
kedelai adalah Tiongkok, Mary
tidak melihat catatan tentang
perdagangan komoditas itu di Jawa.
Artinya, kedelai yang dipakai pada
pembuatan tempe generasi awal
adalah kedelai hitam. Kata dele
sendiri dalam bahasa Jawa zaman
dulu artinya hitam.
“Ada kemungkinan kedelai hitam
sudah ada di Jawa sebelum orang
Hindu datang dan kemungkinan
dibawa orang Tamil,” tulis Mary
yang pernah mengajar di Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas
Gadjah Mada.
WARGA
inilah yang membuat tim
Character Building Universitas
Bina Nusantara Kampus Malang
sedang mengupayakan agar
Kampung Sanan tercatat dalam
Warisan Budaya Tak Benda dari
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Tempe Sanan
diusulkan bersama beberapa
peninggalan budaya lain dari
Malang yaitu keramik Dinoyo,
camilan ladu, tradisi jabutan opak,
gendhing dayangan, dan ritual
metri banyu.
Tim dari Binus Malang
bekerja sejak awal 2022 untuk
mendokumentasikan peninggalan-
peninggalan budaya tersebut
dalam bentuk video, foto, serta
makalah. “Syarat pengajuan ke
Kemendibud adalah tiga hal itu.
Saat ini kami sedang dalam tahap
penyusunan makalah,” terang
Yuventia Prisca, koordinator dari
tim yang beranggotakan 4 dosen
dan 24 mahasiswa.
Salah satu temuan menarik dari
tim di Kampung Sanan adalah
pengelolaan limbah dari para
pengrajin tempe. Limbah kulit ari
kedelai bisa diolah menjadi tepung
untuk campuran pembuatan kue
brownies. Sedangkan limbah
air dari pencucian kedelai
dimanfaatkan untuk keperluan
ternak sapi. Limbah kotoran ternak
juga dimanfaatkan untuk biogas
yang membantu produksi tempe.
13
OKTOBER2022
MenempeyangTidakMeluluPakaiKedelai
FOTO:
KOLEKSI
PRIBADI
WIDA
WINARNO
Perlu dipahami juga, tempe
sebenarnya tidak harus
dibuat dari kedelai kuning
yang baru belakangan datang
atau sekitar abad ke-17.
Kedelai hitam yang sudah
ada Jawa sebelumnya, kalau
sudah direndam dan dikupas,
warnanya akan kuning juga.
Warna hitam itu sebenarnya
cuma kulit ari saja.
Ong Hok Ham dalam “Tempe
Sumbangan Jawa untuk
Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000
melontarkan hipotesis menarik
yang mengaitkan tempe dengan
keberadaan tahu hasil produksi
orang-orang Tionghoa. Tahu yang
berbahan kedelai kuning dibawa
merantau para Hoakiau ke Jawa
sejak abad ke-17. Dari limbah
kedelai itulah dihasilkan pula
tempe.
Ong berpendapat, seni memasak
ini sesungguhnya tidak terpisahkan
dari kondisi kepadatan penduduk
dan keterbatasan lahan kala itu.
Akibat kenaikan jumlah penduduk,
maka pada abad ke-19 menu hewani
akhirnya berubah menjadi tempe.
Selain itu, masih penuturan Ong,
meluasnya perkebunan kolonial
membuat wilayah hutan menciut
dan membuat para petani sebagai
kulinya, mengurangi berburu,
beternak maupun memancing.
Dampaknya, menu makanan
orang Jawa akhirnya tanpa daging.
Diperparah lagi adanya Tanam
Paksa yang makin membuat bahan
makanan seperti tempe menjadi
sangat vital sebagai penyelamat
kesehatan penduduk.
Asli Jawa
Sebagai pakar yang menggeluti
tempe selama 10 tahun, Wida
Winarno, tidak sependapat jika
tempe dikatakan berasal dari
limbah tahu. Sebab sari kedelai
dalam limbah tahu sudah diambil
untuk dikoagulasi dan kacangnya
juga sudah hancur. Beda dengan
tempe yang kedelainya masih utuh.
Wida Winarno
SOROTAN
14
OKTOBER2022
Tempe kedelai hitam. Pada
awalnya pembuatan tempe diduga
menggunakan kedelai hitam yang
sudah dibudidayakan lebih awal
di Jawa. Kedelai ini diperkirakan
dibawa oleh para pedagang Tamil.
Wida menduga, pendapat
semacam itu berasal dari
keberadaan tempe gembus yang
berasal dari limbah tahu. Sama
halnya dengan tempe gembus dari
limbah kacang tanah atau tempe
bongkrek dari limbah kelapa yang
kini sudah tidak populer karena
beracun.
Perlu dipahami juga, tempe
sebenarnya tidak harus dibuat
dari kedelai kuning yang baru
belakangan datang atau sekitar
abad ke-17. Kedelai hitam yang
sudah ada Jawa sebelumnya, kalau
sudah direndam dan dikupas,
warnanya akan kuning juga.
Warna hitam itu sebenarnya
cuma kulit ari saja. “Kecuali kalau
cucinya tidak terlalu bersih dan
kulit ari disertakan, baru akan
terlihat kurang cerah,” tutur salah
satu pendiri Indonesian Tempe
Movement, yaitu suatu gerakan
untuk memperkenalkan tempe
secara lebih luas ini.
Dalam menu keseharian kita
hari ini antara tempe dan tahu
keberadaannya kerap disandingkan
karena kesamaan bahan baku.
15
OKTOBER2022
Tempe eksperimen dari berbagai
kacang-kacangan seperti kacang
kedelai, kacang tanah, kedelai
hitam, kacang koro, kacang ijo
Padahal kalau mau dilihat
sejarahnya, asal muasal keduanya
sangat berbeda. Jika tahu jelas-jelas
dibawa oleh imigran Tiongkok,
Wida hakulyakin kalau tempe
memang asli warisan nenek moyang
kita, terutama di Jawa.
Sejauh ini bukti keberadaan
tempe di masa lalu memang selalu
merujuk kepada Serat Centhini yang
mencatat kehidupan masyarakat
Jawa sekitar abad 16. Artinya
selama sekitar 200 tahun sampai
akhirnya karya sastra klasik Jawa
itu diterbitkan (tahun 1814), tempe
sudah menjadi makanan sehari-
hari. Sampai hari ini Wida belum
menemukan literatur lain yang
mencatat lebih awal dari Centhini.
Dari catatan di Centhini itu juga
Wida bisa menolak anggapan kalau
tempe identik dengan makanan
masyarakat kelas bawah. Terbukti
dalam cerita di Centhini, tempe
disajikan kepada bangsawan
yang bertamu. Sementara dalam
tradisi di Jawa, tuan rumah selalu
berusaha menyuguhkan yang
terbaik untuk tetamunya.
Tempe begitu populer di
kalangan rakyat, karena dalam
pemahaman Wida, pada masa
kolonial, kaum pribumi umumnya
jarang mengonsumsi daging
SOROTAN
16
OKTOBER2022
hewan seperti sapi. Munculnya
peternakan-peternakan sapi di
kemudian hari tentu berhubungan
dengan pola makan orang Eropa
kala itu. Nah, dari situlah akhirnya
muncul pula anggapan sebagian
orang bahwa makan daging lebih
bergengsi. Sementara tempe jadi
makanan rakyat yang dianggap
lebih murah dan sederhana.
Padahal faktanya tidak selalu
hitam-putih. Tempe mampu
terus bertahan karena cara
pengolahannya yang gampang.
Gampang dibumbui karena
sifatnya yang berongga. Sementara
di masa lalu daging relatif susah
mengolahnya, terutama karena
alot.
Secara gizi, keberadaan tempe
juga lebih menguntungkan karena
mampu memenuhi kebutuhan
protein masyarakat kala itu. “Malah
tidak berlebihan kalau dikatakan
nilai protein tempe ini justru bisa
melebihi daging,” tutur Wida yang
selalu mengacu pada jurnal-jurnal
ilmiah jika berbicara tentang
tempe.
Jadi kata kerja
Muncul di Pulau Jawa dan
berabad-abad menjadi menu
harian, membuat tempe kedelai
seolah menjadi identik dengan
budaya kuliner suku Jawa. Pada
akhirnya makanan rakyat ini
memang menyebar ke berbagai
wilayah di Indonesia, namun
awalnya tetap mengikuti populasi
orang Jawa setempat. Resep-resep
masakan berbahan tempe juga
kebanyakan masih resep yang
berasal dari Jawa.
Menariknya, bukan hanya
tersebar, proses fermentasi dari
jamur Rhyzopus oligosporus
terhadap kacang-kacangan ini juga
terus berkembang. Tempe tidak
hanya sebatas terbuat dari kacang
kedelai. Puluhan jenis kacang-
kacangan lain juga layak dan enak
ditempekan. Sebut saja misalnya
kacang hijau, kacang tanah, kacang
koro pedang, kacang almond,
kacang tolo, kacang edamame, dll.
Perkembangan inilah akhirnya
membuat orang paham, pada
prinsipnya kacang-kacangan
apapun bisa di-tempe-kan
tergantung ketersediaannya di
daerah setempat. Soalnya adalah
tinggal bagaimana kacang tersebut
bisa disukai ragi. “Karena tempe
itu pada intinya adalah ‘beternak’
ragi atau jamur. Jadi kita makan
kacangnya sekaligus badan dari ragi
itu,” tutur Wida yang menginisiasi
Indonesian Tempe Movement
pada 2015 bersama ayahnya (Prof.
F.G. Winarno) dan putranya (Dr.
Amadeus Driando Ahnan).
Kenyataan ini pula yang
membuat Indonesia Tempe
Movement berpandangan bahwa
tempe bukan lagi kata benda,
melainkan kata kerja (menempe)
yakni proses membuat tempe
MenempeyangTidakMeluluPakaiKedelai
17
OKTOBER2022
Tempe dari kacang almond,
salah satu alternatif tempe
yang cukup populer
dari berbagai bahan. Wida sendiri
sampai tidak bisa mengingat berapa
pastinya kacang-kacangan yang
sudah berhasil ditempekan. Bukan
saja dari Indonesia, tapi juga dari
luar negeri.
Beberapa waktu lalu misalnya,
Wida mendapat tantangan untuk
menempekan beberapa kacang-
kacangan dari Ekuador yang
dibawa seorang pembuat tempe
dari negara itu. Beruntung kacang-
kacangan itu adalah jenis kacang
yang lazim dikonsumsi, sehingga
semua berhasil ditempekan.
Dengan kekayaan
biodiversitasnya, Indonesia
tentu punya banyak potensi
kacang-kacangan. Sayangnya
belum “ditaklukkan”. Perlu
pengujian lebih lanjut agar sukses
ditempekan. Maklum, beda
bahan beda pula metodenya,
mengingat proses penempean
sangat tergantung pada kadar air,
keasaman, temperatur, suhu, atau
oksigen.
Tempe juga terbukti bisa
menjadi solusi kelangkaan sumber
protein suatu daerah. Contoh
di suatu wilayah di Maluku, ada
waktu-waktu tertentu di mana
nelayan tidak bisa melaut lantaran
kendala cuaca. Kebutuhan protein
masyarakat bisa dipenuhi dari
tempe kacang merah dan kedelai
lokal yang banyak di daerah
setempat.
“Kacang merah itu besar,
tidak punya kulit ari, tapi mudah
menyerap air dan blenyek.
Jadi kadar air harus dikurangi.
SOROTAN
18
OKTOBER2022
Mutiara Kata
“Dua jalan bercabang di hutan, dan aku mengambil jalan
yang jarang dilalui, dan itu membuat semua perbedaan”
–Robert Frost, Sastrawan Amerika Serikat (1874-1963)
Rebusnya jangan lama-lama,”
tutur Wida mencontohkan salah
satu upaya Indonesian Tempe
Movement memberi nilai tambah
pada kacang-kacangan lokal.
Lebih enak tangan suami
Keyakinan bahwa tempe adalah
makanan asli Indonesia menurut
Wida juga bisa terbukti dari tidak
adanya makanan fermentasi lain di
dunia yang prosesnya mirip tempe.
Orang mungkin akan mengatakan
natto, makanan fermentasi kedelai
asal Jepang yang biasa untuk
sarapan. “Tapi natto itu starternya
berbeda,” jelas Wida.
Sudah dimulai sejak 1895
sejak artikel yang ditulis oleh
H.C. Prinsen Geerligs, ahli kimia
berkebangsaan Belanda di Jawa,
berbagai penelitian tentang tempe
terus dilakukan sampai hari ini di
berbagai tempat di dunia. Banyak
yang bisa diteliti, seperti misalnya
perbedaan kacang-kacangan
dengan manfaat kesehatannya. Bisa
pula tentang cara mempercepat
proses fermentasinya. Atau dari
sisi produk lanjutannya seperti
diekstrak antioksidannya, minyak
tempe, atau untuk keperluan
kecantikan.
Di luar dari penelitian yang
sifatnya ilmiah, Wida justru
merasakan bahwa mengolah
tempe mirip seperti sebuah
seni tersendiri. Bisa jadi karena
dalam proses penempean, kita
sebenarnya sedang bekerja bersama
mikroorganisme yang hidup.
Proses penempean bisa saja
gagal jika air untuk merendam
ternyata tidak cocok, ada gangguan
bahan-bahan kimia tertentu di
sekitar, bahkan jika ruangan yang
ternyata terlalu steril. Sensitif
sekali. “Tempe yang coba dibuat di
laboratorium sering gagal, karena
terlalu steril,” ungkap Wida.
Faktor terakhir yang mungkin
sulit dijelaskan, menurut Wida,
ternyata faktor tangan si pembuat
bisa berpengaruh. Contohnya,
tempe buatan tangan suaminya
lebih terasa enak dibanding hasil
olahan Wida sendiri. “Rasa enak
itu kan karena asam amino yang
tersusun. Asalnya dari mana? Apa
karena faktor keringat dari tangan
si pembuatnya?” Wida sendiri
hanya bisa menduga-duga.
MenempeyangTidakMeluluPakaiKedelai
19
OKTOBER2022
1815
Referensi paling awal tentang
tempe ditemukan di naskah
Serat Centhini. Kisah dalam
naskah terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Agung
(1613-1645) jadi mungkin
tempe sudah ada di Jawa
awal 1600-an.
1875
Referensi tempe
paling awal yang
diketahui oleh orang
Eropa muncul di
Javaansch-Nederduitsch
Handwoordenboek,
oleh J.F.C. Gericke dan
T. Roorda.
1895dan1896
Dua artikel yang ditulis H.C.
Prinsen Geerligs (warga Belanda
yang tinggal di Jawa) mengawali
era penelitian ilmiah tentang
tempe oleh ahli mikrobiologi
Eropa dan para ilmuwan makanan.
Artikel inilah yang pertama kali
mengeja kata tempeh.
1900
Dr. P.A. Boorsma, warga
Belanda di Jawa, melakukan
tes laboratorium dan
menerbitkan detail tentang
proses tradisional Indonesia
untuk membuat tempe kedelai.
Desember1946
Gerold Stahel, direktur Stasiun
Percobaan Pertanian di
Paramaribo, Suriname,menulis
artikel tempe berbahasa Inggris
pertama kali. Artikel ini sekaligus
yang paling awal diterbitkan di
Amerika Serikat melalui Journal of
the New York Botanical Garden.
1944
Dr. Masahiro Nakano,
murid dari Nakazawa,
memperkenalkan tempe
ke Jepang. Dia juga
menulis banyak artikel.
INFOGRAFIS
20
OKTOBER2022
1902
Resep tempe paling awal
yang dikenal di Barat
terbit dalam buku masak
berbahasa Belanda Nieuw
Volledig Oost-Indisch
Kookboek oleh Johanna
Catenius van der Meidjen.
1912
Dr. Ryoji Nakazawa, ahli
mikrobiologi, orang Jepang
pertama yang mempelajari
tempe di Taiwan. Sampel tempe
dan oncom dibawa dari Asia
Tenggara. Baru pada 1926 ia
sempat ke Jawa dan Sumatra
untuk mengumpulkan 22 sampel
tempe kedelai dan oncom.
KIPRAHTEMPE
DIPENTAS
DUNIA
1931
Informasi bahasa Inggris
pertama tentang tempe muncul
di Vagetables of the Dutch East
Indies, oleh J.J. Ochse (hal.
391). Proses pembuatannya
digambarkan detail dan dikatakan
jamur yang digunakan adalah
Aspergillus oryzae.
April1946
Perusahaan pembuat tempe
pertama di Eropa yakni Eerste
Nederlandse Tempe Industrie
(ENTI), didirikan pasangan
asal Belanda dengan nama
belakang Wedding. Namun
informasinya tidak terlalu jelas.
SUMBER: HISTORY OF TEMPEH AND TEMPEH PRODUCTS, SOYINFO CENTER 2022
KiprahTempediPentasDunia
21
OKTOBER2022
Agustus1980
Island Spring (di
Vashon, Washington)
memperkenalkan
“Burger Tempe”
komersial pertama
di dunia.
Juni1979
Farm Foods (di Lanark,
Ontario, Kanada) mulai
membuat dan menjual
tempe. Pembuatnya,
Susan dan Alan Brown yang
belajar dari The Farm di
Summertown, Tennessee.
1950
Van Veen dan Schaefer
adalah orang pertama yang
mengeja kata “tempe” dalam
artikel berbahasa Inggris.
Sengaja ditambahkan huruf
“h” untuk mencegah kata
diucapkan “temp.”
1958
Penelitian ilmiah tentang
tempe di Amerika Serikat
dimulai oleh Bwee Hwa
YAP dari Indonesia yang
bekerja dengan Dr. Keith H.
Steinkraus, ahli mikrobiologi
terkemuka di Cornell
University, New York.
INFOGRAFIS
22
OKTOBER2022
Awal1979
Setidaknya ada 13 toko
tempe komersial di
Amerika Serikat, 1 di
Kanada, dan 4 di Eropa
(semuanya di Belanda)
(Shurtleff & Aoyagi 1979,
hlm. 148-149)
1969Juni
Wang, Ruttle dan Hesseltine
pertama kali menemukan
senyawa antibakteri dalam
tempe yang dibuat dari
kultur jamur.
1961
Toko tempe pertama di
Amerika Utara, Joy of Java
Tempe, dibuka oleh Mary
Otten di Albany California.
Toko lain menyusul di Los
Angeles pada 1962.
Mei1964
Penggunaan kantong dan tabung
plastik berlubang untuk wadah
fermentasi tempe pertama kali
diperkenalkan Martinelli dan
Hesseltine dalam sebuah artikel
di jurnal Food Technology. Ide ini
kemudian berkembang di para
pembuat tempe tradisional di Jawa.
KiprahTempediPentasDunia
23
OKTOBER2022
CitaRasa
SegalaStrata
danMasa
Pecel,
FOTO:
KITLV;
PEWARNA:
MAHA
SULTHAN
SOROTAN
24
OKTOBER2022
Dalam tradisi kuliner Nusantara sepertinya tidak
mengenal ketat perbedaan selera elite dengan
rakyat biasa dan tidak ada pula perbedaan
signifikan waktu untuk memakan atau meminum
sesuatu. Ini terlihat makanan yang disukai oleh raja
juga makanan yang disukai oleh rakyat jelata lihat
saja rawon, lelawar, hingga pecel.
Ary Budiyanto
Peneliti dan pencicip makanan.
Antropologi UB Malang.
25
OKTOBER2022
Walaupun begitu
mekanisme Faucaultian
ini tak sepenuhnya
ada disadari dalam diri
masyarakat kolonial
semuanya. Ini dikarenakan
intensi mereka belajar
mengkonsumsi budaya Tuan
Kolonialnya bisa saja karena
urusan yang biasa pula
yakni ekplorasi selera.
P
ada zaman Jawa Kuno
ada bahan makanan yang
hanya boleh disajikan dan
dimakan untuk Raja yakni
Rajamangsa. Namun ini
hanya merujuk pada hidangan
yang diolah dari bahan khusus
dan belum ada bukti teks larangan
untuk mengonsumsi hidangan ala
Rajamangsa ini. Sehingga lebih
patut ditafsir sebagai hidangan
yang dimasak dan memakai bahan
khusus yang menjadi kegemaran
Raja, Rajamangsa.
Resep Kraton Yogyakarta, Kraton
Cirebon, dan bahkan resep Kartini
bersaudara di masa kolonial pun
tampak tak ada bedanya makanan
di lingkungan priyayi dan rakyat
biasa. Meski tampak jelas bahwa
kaum priyayi masa kolonial
memang memandang lebih cita-
rasa Eropa. Suatu hal yang wajar
dalam mentalitas kolonial bangsa
yang menginginkan kesamaan
derajat dengan cara mengkonsumsi
kebudayaan patronnya, terutama
gaya hidup dan apa yang
dimakannya.
Dalam bahasa Homi Bhabha
masyarakat kolonial akan selalu
berkomunikasi untuk kesetaraan
dalam the act of mimicry.
Sebagaimana dia berkomentar
tentang kondisi dirinya yang
seorang Parsi di tengah-tengah
Hindu dan Islam serta bayangan
Kolonial Inggris di India tempat dia
tinggal, bahwa (indentitas budaya)
orang Parsi adalah “their sense of a
negotiated cultural identity.”
Makananpun jika ditinjau di
bawah aras kesadaran pelaku
sejarah kolonial ini tentu saja
adalah medan perebutan politik
identitas rasial yang nyata
sebagaimana Protschky (2008) dan
Ann Laura Stoler (1995) tunjukkan.
Walaupun begitu mekanisme
Faucaultian ini (yakni ada
kesadaran akan peniruan untuk
pengakuan pihak liyan baik
mimicry atau dengan mockery) tak
sepenuhnya ada disadari dalam diri
masyarakat kolonial semuanya.
Ini dikarenakan intensi (jw.
karep/keinginan) mereka belajar
mengkonsumsi budaya Tuan
Kolonialnya bisa saja karena urusan
yang biasa pula yakni ekplorasi
selera. Selain itu ada juga survival
SOROTAN
26
OKTOBER2022
FOTO:
SAJIAN
SEDAP
Pecel Madiun, bisa dikatakan sebagai
pecel dengan toping yang amat
lengkap, terutama dari protein hewani.
knowledge untuk bertahan hidup
dengan menguasai keterampilan
memasak ini agar bisa bekerja di
rumah tangga para juragan di masa
itu.
Tidak ada pretensi yang sangat
politis sebagaimana pengamat
poskolonial masa kini seperti
tulisan Protschky (2008) dan
Ann Laura Stoler (1995). Atas
dasar itulah kenapa Kartini
dan saudaranya mengenalkan
keterampilan hidup di zamannya
buat para wanita baik dari kalangan
priyayi kecil maupun rakyat biasa.
Selain itu fenomena terbitnya
buku-buku seri masakan (dan buku
“how to” yang populer lainnya) yang
beredar berkat penerbit semacam
Tan Koen Swie Kediri dan lainnya
memberikan gambaran bahwa
hal itu jauh dari kecendurungan
penguasaan nalar kolonialis pada
koloninya.
Karena di pengantar buku-
buku populer ini ada kata-kata
agar pembaca bisa mengambil
peluang menambah penghasilan
dan menciptakan kerja dari
keterampilan memasak ini,
27
OKTOBER2022
Salah satu pedagang
beraneka macam
makanan di Batavia
FOTO:
KITLV;
PEWARNA:
MAHA
SULTHAN
khususnya untuk para kaum putri.
Selain tentu saja menjadikan suami
senang dan bangga.
Hanya saja memang bagi para
politisi dan penguasa yang pandai
memanipulasi “keadaaan alamiah”
ini menjadi komoditas politis
mereka menjadikan situasi yang
biasa-biasa saja ini menjadi tidak
lagi biasa. Simak saja penelitian
Wulandari “Pecel, A Political
Communication Semiotic Analysis of
Javanese Traditional Food As a Dish
for Indonesian Politicians”(2020)
bagaimana pecel dipolitisasi
untuk agenda kepentingan politik
penguasaan mereka atas subjeknya
dengan memainkan makna-makna
simbolis yang sudah ada dan
kemudian memanipulasinya.
Wulandari melihat sejak
Sukarno dan terutama di masa
pemilu presiden 2014 dan 2019
para politisi memberikan makna
politis pada hidangan ini. Para
politisi itu menikmati pecel
sayur di beberapa tempat di Jawa
dalam kampanyenya mencitrakan
kedekatan mereka pada rakyat
melalui hidangan sejuta umat yang
murah meriah serta menyehatkan.
Meskipun sebenarnya pecel tidak
lagi semurah di kampung dan desa
bila kita nikmati di kota.
Tidak ada penerus
Sebagai makanan biasa, pecel
sayur ini pada mulanya tak ada nilai
SOROTAN
28
OKTOBER2022
Meski kontraproduktif
karena kandungan lemak
di gorengan dan jerohan
yang nikmat ini menjadi
ancaman yang menggoda
bagi mereka yang kolestrol
tinggi. Penyajian pecel
yang paling kuno dengan
pincuk dari daun pisang
kluthuk atau pun daun jati
hingga sekarang masih
menjadi penyajian yang
paling nikmat.
spesifik secara kultural maupun
medik dalam menikmatinya.
Makan pecel adalah tindakan
menikmati sajian pecel dengan
puas dan nikmat.
Baru pada masa modern setelah
kesadaran akan gizi dan vitamin
hingga jargon mengandung
serat alami yang penuh vitamin
diwacanakan, maka kuliner pecel
menjadi salah satu primadona ikon
ambasador kuliner hijauan kaya
serat dengan nutrisi papan atas
yang murah meriah.
Itu pun dengan catatan bila kita
menikmati pecelnya bukan ala
pecel Madiun dengan berbagai
toping menggodanya. Sebab, di
warung pecel ala Madiun dari sejak
penulis kecil hingga kini pecel
sayurnya masih hadir bersama-
sama dengan komplet lauk protein
seperti tampilan hidangan pecel
Jawa kuno. Lelaukan toping nasi
pecel di penjaja kota lainnya
tidaklah sekomplet Madiun.
Namun, kini semua pecel yang
sudah mapan di tempat, semi atau
permanen, sudah menyajikan
beragam lauk. Ini barangkali
masalah space jualan yang dulu saat
masih keliling digendong ruang
display lauk sangatlah terbatas atau
tingkat ekonomi daerahnya.
Meskipun dengan catatan bahwa
pecel Madiun yang dijajakan
keliling sejak dari dulu konsisten
dengan ragam lauk jerohannya.
Protein hewaninya semacam
empal, jerohan (babat, iso, paru,
koyor), cingur, didih, dan sate-
satean telur puyuh dan usus ayam
yang menggoda selera.
Meski kontraproduktif karena
kandungan lemak di gorengan dan
jerohan yang nikmat ini menjadi
ancaman yang menggoda bagi
mereka yang kolestrol tinggi.
Penyajian pecel yang paling kuno
dengan pincuk dari daun pisang
kluthuk atau pun daun jati hingga
sekarang masih menjadi penyajian
yang paling nikmat.
Dari Centhini (selesai 1814) pecel
sudah tersebar di hampir seluruh
pulau Jawa dalam artian menu
pecel ayamnya dan pecel sayurnya.
Kini bisa dipastikan bahwa pecel
29
OKTOBER2022
Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa
sayur ini telah tersebar di mana ada
etnis Jawa Tengahan dan Timuran
berada.
Persebaran suatu resep dan cita
rasa kuliner yang paling efektif
biasanya mengikuti mobilitas
dan perpindahan penduduk bisa
dikarenakan perang dan bencana
alam (gunung meletus, paceklik,
banjir, dsb), masa ekonomi yang
sulit sehingga ganti usaha di tempat
asal maupun wilayah baru misal
pada masa Malaise 1920 (lihat
Boomgaard & Brown, 2000);
disusul pada masa ekonomi sulit
1950an; masa sulit setelah G-30-
S-PKI 1965; dan krismon 1998
telah mencatat adanya fenomena
ramainya ekonomi informal
berbasis kuliner ini yang tumbuh di
perkotaan.
Dari wawancara beberapa
warung makan legendaris di Kudus,
Surabaya, Madiun, Jakarta, dan
Malang menunjukkan mereka
eksis di sekitar tahunan yang sama
yakni di zaman Jepang 1940-an,
Orla 1950-an, dan setelah 1960-an
(masuk ke Orba). Nenek Penulis
juga pernah usaha warung makan
di masa Jepang di Kudus namun tak
ada yang meneruskan.
Ada adagium klasik generasi
para penjaja makanan sebelum
reformasi dan booming kesuksesan
dunia kuliner semenjak munculnya
acara kulineran yang diusung
oleh Bondan Winarno di RCTI
tahun 90-an. Adagium itu adalah
untuk anak-anak yang sejatinya
akan menjadi penerus bisnis dan
menjaga warisan resep-resep sajian
mereka. Bunyi adagium itu adalah:
“Wis le/nduk sekolaho sing duwur,
golek kerjo sing mapan, dadi PNS
ajo koyo mbah lan bapa ibu mu,
rekoso.” Artinya “Sudahlah anak-
anaku sekolahlah yang tinggi, cari
kerja yang mapan, jadi PNS, jangan
seperti simbah dan bapak-ibumu,
berat hidupnya (sebagai penjual
makanan)”.
Sehingga tak heran para penjual
jalanan dan warungan ini sering
kali tidak ada penerusnya, resep
itu pun hilang atau pindah tangan
ke para pekerja yang dulu ikut sang
penjual. Resep ini pun sering kali
tidak lagi “otentik” dikarenakan
mereka belajar dari meniru bukan
dari pengajaran langsung.
Jadi dengan situasi khasanah
kuliner di masyarakat seperti ini,
maka hanya menunggu seleksi
alam sajalah warung-warung
yang tumbuh ini akan menjadi
bermutasi, menjadi legenda, atau
punah.
Bukan resep asli
Peperangan di mana pasukan
dan para disersi yang memiliki
mobilitas tinggi ini kemudian
tersebar ke berbagai daerah, baik
nantinya menetap ataupun kembali
ke daerah asal. Mereka inilah yang
juga membawa selera dan cita rasa
mereka.
SOROTAN
30
OKTOBER2022
FOTO:
KITLV;
PEWARNA:
MAHA
SULTHAN
Menjemur kacang tanah di
pekarangan rumah. Foto
diambil tahun 1920-1930-an
Perang Diponegoro (1825-
1830) ataupun perang Revolusi
zaman kemerdekaan 1945-1949,
yang membuat para penduduk
terdampak ikut pindah dan
menetap ke daerah baru atau
hanya mengungsi sementara
ikut membawa pula tersebarnya
kuliner-kuliner semacam pecel ini.
Mereka pulalah yang kemudian
hari mengubah tampilan dan
citarasa masakan asal mereka
karena harus beradaptasi dengan
ketersediaan bahan baku dan selera
lokalnya masing-masing. Masa
perang dan ekonomi sulit inilah
yang mempengaruhi bahan baku
naik terutama gula merah dan
kacang tanahnya yang membuat
penjaja berkreasi menambah
ketela atau ubi atau kentang atau
campuran salah satu atau duanya
untuk membuat sambel pecelnya
ini.
Racikan bumbu pecel yang
bertahan lalu menjadi genre bumbu
pecel yang khas lokal. Selain
peperangan, di masa tenang dan
pembangunan, kemajuan teknologi
transportasi yang semakin mudah
dan murah pun membuat mobilitas
para penjaja makanan ini terdifusi
31
OKTOBER2022
Pecel lele masakan yang umumnya
dijual oleh perantauan asal
Pekalongan. Memiliki penggemar
sendiri terutama di tingkat kaki lima.
FOTO:
SAJIAN
SEDAP
dan berevolusi.
Selain itu berbagai resep dan
hidangan berbagai etnis dari dan
wilayah satu ke wilayah lain ini
terdifusi pula melalui buku-buku
resep yang marak dibuat oleh
para penulis resep makanan yang
dicetak dan diterbitkan di tiap
zaman. Bahkan para penulis resep
inilah yang sebenarnya membuat
resep-resep baru atas nama
hidangan lama ataupun lokal.
Resep-resep itu muncul
dikarenakan apa yang mereka tulis
dalam buku-buku mereka ini sering
kali adalah usaha meniru cita rasa
yang mereka cicip dalam ingatan
lidah mereka. Bukan resep ‘asli’
dari hidangan yang mereka cicip di
suatu tempat makan, karena resep
itu adalah “rahasia perusahaan”.
Jadi, resep-resep dalam buku
resep yang diperjualbelikan itu
adalah resep replika, yang mencoba
mencapai rasa yang mirip dengan
memori cecapan mereka. Namun
demikian, dalam dunia kuliner,
resep-resep tersebut sama sahnya
dengan resep “aslinya”, apalagi
bila resep hidangan itu menjadi
terkenal.
Sepertinya hanya bumbu
pecel Madiun yang sebagian
besar bumbunya tidak memakai
terasi dan kencur serta dimasak
khas dengan menyangrai bumbu
utamanya yakni cabe rawit, daun
jeruk, dan bawang putih (?) di atas
cobek tanah. Lalu kacang tanahnya
oleh sebagaian besar penjual pecel
SOROTAN
32
OKTOBER2022
Madiun ini dikupas terlebih dahulu
kulit arinya lalu disangrai (kini
tak jarang ada yang digoreng atau
bahkan dioven).
Semua bahan itu lalu ditumbuk
dengan garam, gula merah, dan
asam jawa. Hingga pada tahun-
tahun 90-an akhir, cita rasa bumbu
pecel Madiun pada mulanya
cenderung pedas dan gurih (asin)
kini pun tak jarang yang bercita
rasa lebih manis dan tidak terlalu
pedas atau malah pedas banget.
Namun demikian bumbu pecel
madiun masih konsisten dengan
tekstur yang masir tidak terlalu
berminyak.
Sementara itu, umumnya bumbu
pecel ala Jawa Timuran dan
Tengahan lainnya, kacang tanahnya
digoreng dengan kulit arinya lalu
bumbu-bumbu penyedap lainnya
praktis digoreng semua (bawang
putih, terasi, dan cabe). Setelah
bumbu ditumbuk halus, maka
dicampurkan dan ditumbuk lagi
bersama kacang goreng yang telah
ditumbuk bersama gula merah,
garam, dan asam jawa hingga
menemukan rasanya yang pas
selera sang pembuat.
Persentase campuran bumbu,
gula merah, garam, dan kacang
menjadi pembeda cita rasa bumbu-
bumbu pecel ini. Itulah makanya
bumbu pecel madiun tampak lebih
“cerah” dan tidak begitu berminyak
dibanding dengan bumbu pecel
lainnya yang berminyak dan
berwana gelap karena gorengan
kacang dengan kulit arinya.
Walaupun, gelap tidaknya juga
kadang karena penggunaan jenis
dan kematangan gula merahnya.
Beberapa inovasi untuk
mempergurih bumbu pecel ini
kadang juga dicampur dengan
biji mete selain yang umum
menggunakan kemiri, wijen,
ataupun biji-bjian gurih lainnya
yang ada di sekitar. Menikmati
sajian satu pincuk pecel ini
menurut ahli gizi memiliki
kandungan energi sebesar 243
kilokalori, protein 11,14 gram,
karbohidrat 31,72 gram, lemak
12,53 gram, kalsium 267 miligram,
fosfor 333 miligram, dan zat besi
3,54 miligram.
Selain itu di dalam pecel juga
terkandung vitamin A sebanyak
10.978 IU, vitamin B1 0,28 miligram
dan vitamin C 212 miligram. Hasil
tersebut didapat dari melakukan
penelitian terhadap 100 gram pecel,
dengan jumlah yang dapat dimakan
sebanyak 100 % (godam64, 2012).
Jual dua menu
Kini secara umum hanya dua
macam pecel yang diketahui yakni
pecel sayur dan pecel lele. Pecel
ayam masih tersisa di pojok-
pojok desa yang masih memiliki
adat ritual selamatan ala Jawa.
Sementara kuluban, urapan,
trancam, bersama tumpang
dan lotek telah menjadi spesies
Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa
33
OKTOBER2022
tersendiri terpisahkan dengan
pepecelan ala pecel ayam Jawa
Kuno dan juga dengan rerujakan
dan lelawaran.
Saat ini, pecel sayur dan pecel
lele telah menjadi dominan dan
menjadi entitas tersendiri. Pecel
lele dan pecel sayur masih memiliki
makna hidangan yang disajikan
dengan disiram sambel hanya saja
bumbunya berbeda, pecel sayur
dengan sambel kacang tanah dan
pecel lele dengan sambel bawang-
cabe-tomat ala sambal bajak.
Kedua pecel ini jelas berbeda
dengan pecel ayam maupun pecel
lele jadul ala keraton dan pecak
betawi yang dominan santan atau
kelapa.
Ada perbedaan lain dalam
penjajaan pecel lele dan pecel sayur
ini, pecel lele yang kebanyakan dari
orang Lamongan lebih dominan
dijajakan oleh para bapak. Sebab,
mereka ini harus memasang
tenda dan peralatan dapur yang
kompleks. Sejak awal mengada,
pecel lele ini sangat maskulin,
mereka menjajakannya dengan
menetap, mengakuisisi bahkan
mengkoloni ruang-ruang pejalan
kaki di perkotaan. Meskipun pada
praktiknya tak jarang sang istri juga
ikut melayani pembeli ataupun
memegang peran sebagai kasir.
Ini berbeda dengan penjaja pecel
sayur yang masa awal terlahirnya
selalu dijajakan keliling oleh ibu-
ibu mbok bakul pecel. Mereka
menggendong bakul/rinjing dan
menyunggi tampah di atas kepala
dengan tas atau ember berisi
jerigen air dan lain sebagainya
keliling menyusuri jalan kampung
atau gang-gang di kota.
Saat memutuskan menjadi
warung kaki lima yang semi
permanen mereka biasa buka di
rumah atau di pojok jalan kampung.
Di masa kekinian, terutama di
pusat kuliner pecel seperti Madiun,
Blitar, dan Kediri, mereka sekarang
menetap menempel di tempat
dalam zona aman seperti rumah
sendiri atau warung semi permanen
yang aman dari Satpol PP.
Proses menetap di ruang kota ini
sering kali terjadi setelah seleksi
alam sekian lama jualan secara
berkeliling. Penjual pecel di Jawa
Tengahan di tahun 80-90an masih
banyak yang juga menyediakan
sajian pasangan sejati pecel
sayurnya yakni: rujak.
Rujak cingur dan rujak buah,
cemeding (campuran bumbu pecel
dan bumbu rujak plus kucuran
jeruk nipis), serta rujak plecing
(dengan sayur dominan kangkung
kulub dan sambal terasi, gula
jawa, asam, dan jeruk nipis), atau
brambang asem (yang sudah sangat
jarang ditemui; dengan sayuran
kulub daun ubi dan bumbu seperti
plecing namun plus bawang merah)
adalah kekhasan dari para penjaja
pecel keliling ini.
Tak ketinggalan pecel ini
SOROTAN
34
OKTOBER2022
ditemani lontong atau nasi dan
ditemani lauk didih (dari darah
ayam atau sapi; evolusi lelawaran?)
yang kini semakin jarang ditemui,
tempe mendol, tahu dan tempe
goreng serta warna-wani gorengan
lainnya. Jika sang penjual ini
sempat, biasanya tersedia juga
bermacam-macam jerohan seperti
babat, iso, dan paru seperti sajian
pecel khas di Madiun dan Ponorogo.
Jadi, bilamana pecel lele adalah
maskulin maka penjaja pecel
sayur ini sangat feminim karena
kebanyakan penjajanya adalah ibu-
ibu yang luwes menjelajah gang-
gang di perkampungan dan kota.
Namun kisah dan kreasi evolutif
kedua pecel ini ternyata belum
berhenti. Apalagi orang masih
banyak yang bingung bila ingin
membeli pecel sayur namun yang
ditemukan adalah penjual pecel
lele. Sebaliknya jika masuk ke
warung pecel sayur pun orang
masih juga tanya menu pecel lele.
Tidak semua orang tahu dan
paham beda warung pecel lele dan
pecel sayur apalagi generasi muda
dari luar Jawa. Demand menu
yang berulang-ulang ini rupanya
menginsipirasi warung pecel lele
di dekat Grand City Surabaya
yang menjual dua menu ini
Pedagang satai di Pulau Jawa
yang sedang melayani pelanggan.
Foto diambil pada awal abad 20
FOTO:
KITLV;
PEWARNA:
MAHA
SULTHAN
Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa
35
OKTOBER2022
sekaligus. Kisah ini dari Dhahana
Adi (Penulis buku - Archivist -
Surabaya Memory) yang akan
memberikan senyum kuliner yang
mengenyangkan.
Pengalaman ini baru saja dialami
Dhahana Adi ketika makan siang di
salah satu warung dekat Grand City
bersama teman. Singkatnya,
Penjual : Pesan apa Mas?
Saya : Nasi lele ama tempe
Mas, tiga bungkus
Penjual : Pecel atau sambelan?
Saya : Pecel mas
Akhirnya kami kembali ke Grand
City untuk menikmati pecel lele ini
sambil jaga stan pameran. Begitu
tas kresek dibuka, saya sempat
heran kok kami dikasih peyek? Ah
biarin, paling ada teman yang beli,
mungkin penggemar peyek, batin
saya.
Ternyata, begitu bungkusan nasi
dibuka, kami mendapati nasi pecel
lele yang tak biasa. Yakni nasi putih,
lalapan (komplit seperti kita makan
penyetan), lele goreng, tahu goreng,
tempe goreng, sayuran pecel/kulub,
bumbu pecel yang ditaruh dalam
plastik, sambal penyetan yang juga
diplastik. Saya kira bungkusan saya
saja yang seperti itu, ternyata dua
lainnya sama persis, Wow! Pecel lele
era baru. Ternyata miskomunikasi
malah menciptakan menu baru.
Aah, indahnya kuliner Nusantara.
Meskipun “tragedi” membawa
nikmat pesan bungkus pecel ini
terlihat unik dan baru namun
kisah Dhahana Adi ini adalah
murni karena miskomunikasi
dan mungkin juga sudah biasa
pelanggan di warung itu mendapat
pesanan campuran ini. Sehingga
karena ragu dengan pesanannya
maka sang penjual menyimpulkan
untuk mencampur saja. Lagipula
pecel sayur dan juga rujak cingur ini
juga dulunya sudah biasa memakai
toping lauk apa saja.
Selain itu pecel sayur ini cocok-
cocok saja dicampur dengan
kuliner berkuah, tentu saja rujak
cingur yang intinya juga pecel
pastinya akan cocok-cocok saja bila
dicampur dengan lodeh-lodehan
apalagi kuah berdaging.
Fusi masakan
Sejak SD di Kudus penulis selalu
makan siang di warung dekat
sekolahan. Warung sederhana
berdinding gedeg bambu, yang
menjual es buah, pecel, lodeh
dan sup dengan berbagai cemilan
gorengan. Penulis selalu memesan
pecel dengan lodeh dan lauk
tambahan gorengan bakwan sayur/
weci dengan segelas es kelapa sirup
frambos. Kalau diingat tidak hanya
penulis yang memesan makan
campur-campur begini.
Jadi apabila kini media dan
kumpulan youtuber foodvlogger
hype mengulas dan memberitakan
fenomena Rujak Soto Banyuwangi
(CNN Indonesia, 2019), Pecel
Rawon Surabaya (Dyodoran, 2021),
SOROTAN
36
OKTOBER2022
Pecel Penyetan (pecel sayur plus
penyetan) atau kini mulai ditengok
menu campur kuno Tepo (lontong)
Lodeh Pecel di Jabung Ponorogo
(Kang Pardi, 2020), sebenarnya
itu lumrah dan alamiah terjadi di
warung-warung Jawa yang selalu
menyediakan sajian berbagai
masakan.
Dari sini bisa dikatakan bahwa
kebiasaan pelangganlah yang
kadang-kadang berperan penting
dalam terjadinya fusi masakan
sehingga menjadi hidangan hibrid
yang unik. Selanjutnya sajian hibrid
ini menjadi signature dish suatu
warung lalu bilamana viral dan
laris maka akan cepat ditiru ke para
penjual yang bergenre sama.
Apalagi bila kuliner itu kemudian
diangkat publik menjadi ikon
daerah. Adalah warung makan,
dengan demikian, yang sejatinya
menjadi tempat inkubasi alamiah
dari munculnya hidangan-hidangan
hibrid ini.
Jikalau kita cermati menu
campuran atau hibrid antara soto
dan pecel (atau rujak cingur) pada
dasarnya adalah -setelah kita
pilah-pilah bahan-bahannya dan
hanya tersisa kuahnya- cita rasa
kuah kaldu soto yang berempah
itu bertemu dengan bumbu (pecel)
kacangnya. Pertemuan soto dengan
sambal kacang sudah terjadi lama
dalam Coto Makassar dan Soto
Banyumasan (Soto Sokaraja, Soto
Purworejo, Soto Purbalingga, Soto
Banyumas) yang dalam bahasa
daerah Banyumasan soto ini
dikenal dengan nama genre soto
yang khas: sroto.
Mutiara Kata
“Jangan menunggu. Waktu tidak akan pernah tepat”
–Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis (1769 - 1821)
dikatakan bahwa kebiasaan
pelangganlah yang kadang-
kadang berperan penting
dalam terjadinya fusi
masakan sehingga menjadi
hidangan hibrid yang unik.
Selanjutnya sajian hibrid ini
menjadi signature dish suatu
warung lalu bilamana viral
dan laris maka akan cepat
ditiru ke para penjual yang
bergenre sama.
Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa
37
OKTOBER2022
Pengetahuan
CitaRasaJawa
dariSerat
Centhini
FOTO:
A.S.
RIMBAWANA
SOROTAN
38
OKTOBER2022
Bagi sebagian masyarakat awam, Serat Centhini
dianggap sebagai kitab sanggama masyarakat
Jawa. Itu tidak keliru, tetapi ternyata karya
sastra ini juga menyimpan kekayaan yang
begitu luas tentang pengetahuan di Jawa pada
masa silam. Salah satu pengetahuan yang
termaktub di dalam manuskrip itu adalah
tentang makanan.
A.S. Rimbawana
Reporter Intisari
39
OKTOBER2022
Sayang narasi tentang
makanan dalam Serat
Centhini ini jarang
diketahui orang. Memang,
kisah makanan memang
tidak gamblang tersusun
dalam resep. Akan tetapi,
hal itu tidak menyurutkan
sumbangsih Serat
Centhini dalam ilmu
pangan di Indonesia.
S
erat Centhini, karya sastra
Jawa klasik ini, memang
mengisahkan berbagai
hal, antara lain kesenian,
kehidupan dan kebudayaan
Jawa, agama, botani, ritual, jamu.
Yang tak kalah menarik, manuskrip
ini juga mengisahkan tata cara dan
fungsi boga tradisional Jawa.
Manuskrip yang berjudul
asli Suluk Tambangraras itu
dibuat berdasar candrasengkala
–kronogram—”paksa suci sabda
ji” bertepatan pada 26 Suro 1742
Jawa. Dalam kalender Masehi,
itu bertepatan dengan Januari
1814. Sementara, proyek itu
tuntas pada 1823. Manuskrip ini
juga telah menghabiskan dana
sekitar 10.000 ringgit emas. Motif
penyusunan Serat Centhini adalah
untuk menghimpun segala jenis
pengetahuan di Jawa.
Penulisan Serat Centhini
dipimpin langsung oleh putra
mahkota Keraton Surakarta,
putra Pakubuwono IV (menjabat
1788–1820), Amangkunegara III
—kelak bertahkta sebagai Sunan
Pakubuwana V (menjabat 1820–
1823). Amangkunegara III tidak
sendiri. Ia ditemani oleh beberapa
pujangga keraton. Mereka adalah
Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai
Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai
Ngabehi Sastradipura.
Sebelum memulai proyek
penulisan, ketiga pujangga itu
diminta oleh Amangkunegara
III untuk untuk membekali diri
dengan berkelana ke berbagai
penjuru Jawa. Bahkan, Kyai
Ngabehi Sastradipura diminta
untuk berhaji ke Mekkah sebelum
Heri Priyatmoko
SOROTAN
40
OKTOBER2022
FOTO:
A.S.
RIMBAWANA
Pasar kini jadi salah
satu tempat orang dapat
menemukan bahan pangan.
proyek penulisan dimulai.
Maka itu, cakupan wilayah
yang dikisahkan dalam Serat
Centhini meliputi seluruh Pulau
Jawa. Daerah-daerah yang
disebutkan antara lain Banten,
Bogor, Majalengka, Cilacap,
Demak, Gunungkidul, Mataram
(Yogyakarta), Pacitan, Ponorogo,
Trenggalek, Lumajang, hingga
Banyuwangi di ujung timur Jawa.
Semula Serat Centhini ditulis
menggunakan bahasa dan aksara
Jawa, serta dibaca layaknya
tembang. Namun kini telah
diterbitkan ulang oleh beberapa
lembaga ke dalam bahasa Indonesia
dan huruf latin.
Sayang narasi tentang makanan
dalam Serat Centhini ini jarang
diketahui orang. Memang, kisah
makanan memang tidak gamblang
tersusun dalam resep. Akan
tetapi, hal itu tidak menyurutkan
sumbangsih Serat Centhini dalam
ilmu pangan di Indonesia.
Terdapat aneka ragam makanan
dalam Serat Centhini, seperti
lauk, sayuran nabati maupun
hewani, nyamikan (kudapan),
dan minuman. Saya kemudian
menghubungi Heri Priyatmoko,
41
OKTOBER2022
Jenis nyamikan (kudapan)
yang juga terdapat di
Serat Centhini.
FOTO:
A.S.
RIMBAWANA
dosen Jurusan Sejarah Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta,
untuk mengulik kekayaan Serat
Centhini. “Ada banyak sekali
jenisnya (makanan dan minuman)
karena tiga penulis Serat Centhini
melihatnya tidak hanya satu sisi,
tetapi makanan juga digunakan
pada saat ritual,” kata Heri.
Menurut Heri, dari segi
penulisan Serat Centhini juga unik.
Karena para penulis berasal dari
pihak keraton, tempat budaya Jawa
dijunjung tinggi, maka makanan
keraton mestinya juga ditulis.
Namun hal demikian tidak terjadi
di dalam Serat Centhini. Justru
yang terjadi adalah “Makanan desa
mengepung kota, benar-benar
kuliner jawa yang mana ada semua
kuliner perdesaan,” ungkap Heri.
Serat Centhini sungguh
memperlihatkan kesadaran
literasi kuliner yang masih lestari
dari serangan kekuatan asing.
Sebab pada abad ke-19, makanan-
makanan Eropa memang mulai
masuk seiring makin kuatnya
penetrasi kolonial hingga wilayah
pedalaman Jawa. Pada awal abad
ke-20, masih ditemukan blenyik,
dendeng, pecel, dan makanan itu
ada dalam Serat Centhini.
Menurutnya, itu menunjukkan
bahwa makanan para priyayi dan
jelata di Jawa tidak ada bedanya.
“Artinya, makanan itu juga disantap
oleh para bangsawan,” kata pria
SOROTAN
42
OKTOBER2022
yang tengah melanjutkan studi di
Solo itu.
Pekarangan orang Jawa
Bagi masyarakat Jawa pada
sekitar dua abad lalu belanja
pangan bukanlah suatu hal yang
terlalu merepotkan. “Ketahanan
pangannya cukup kuat. “Jadi tidak
repot mencari, apalagi impor,” kata
Heri.
Inilah salah satu hal yang
patut dicermati dalam Serat
Centhini yakni asal masyarakat
Jawa memperoleh bahan pangan.
Murdijati Gardjito dari Pusat Studi
Pangan dan Gizi, Pusat Kajian
Makanan Tradisional, UGM dalam
“Kuliner Jawa Periode Centhini,
1814–1823” (2008) pernah meneliti
hubungan Serat Centhini dengan
tempat memperoleh bahan pangan.
Dari penelitian itu, Gardjito
memperoleh hasil bahwa padi yang
lazim ditanam masyarakat yakni
jenis padi gaga. Padi gaga adalah
varietas yang ditanam di lahan
kering. Ini sangat berbeda dengan
varietas padi yang tumbuh di lahan
basah atau sawah.
Namun bila ada pembicaraan
tentang sawah, tidak ditemukan
bagaimana cara mengatur aliran
airnya. Itu tentu berlainan dengan
masa kini, ketika padi gaga sudah
jarang dikenal.
Sementara pategalan atau lahan
kering tadi acap dimiliki oleh
saban keluarga sebagai tempat
budi daya bahan pangan. Bahan
pangan tersebut terdiri atas pala
kependhem atau akar-akaran
yang umbinya tertanam di bawah
tanah. Ada pula pala gemanthung
adalah buah-buahan, serta pala
kesimpar atau buah yang berada
di permukaan tanah. Namun,
disamping pategalan ada pula
pekarangan yang juga tempat
ragam buah dan sayur-mayur
tumbuh.
Dalam Serat Centhini dikisahkan
pula tentang kolam. Fungsi kolam
adalah untuk memenuhi kebutuhan
sumber protein penduduk. Namun,
Dalam SeratCenthini
dikisahkan pula tentang
kolam. Fungsi kolam adalah
untuk memenuhi kebutuhan
sumber protein penduduk.
Namun, kolam memang
tidak dimiliki semua orang di
sekitar rumah. Bila di daerah
yang dekat aliran sungai,
ikan hanya perlu ditangkap
saja. Menurut Gardjito,
hanya ikan laut yang jarang
disebut dalam manuskrip
ini. “Kecuali berbentuk ikan
asin,” tulisnya.
43
OKTOBER2022
PengetahuanCita RasaJawadariSeratCenthini
kolam memang tidak dimiliki
semua orang di sekitar rumah.
Bila di daerah yang dekat aliran
sungai, ikan hanya perlu ditangkap
saja. Menurut Gardjito, hanya ikan
laut yang jarang disebut dalam
manuskrip ini. “Kecuali berbentuk
ikan asin,” tulisnya.
Sebagaimana kita tahu, ikan asin
lazim diupayakan di pesisir. Maka
itu, pasar menjadi kunci dalam
hal pemerolehan ikan asin serta
garam yang digunakan sebagai
bumbu masak. Sementara, pasar
tradisional juga tidak banyak
dikesankan dalam Serat Centhini.
Menurut Gardjito, orang-orang
hanya akan pergi ke pasar bila
membutuhkan empon-empon
(ragam jenis tumbuhan rimpang)
berjumlah besar, ketika hendak
digunakan hajatan misalnya.
Dengan demikian untuk memenuhi
kebutuhan hidup harian,
masyarakat Jawa hanya perlu
mengolah pategalan, kolam, sawah,
hutan, dan pekarangan di sekitar
mereka tinggal.
Pangan, ritual, kebugaran
Bagi masyarakat Jawa, makanan
selalu berkaitan erat dengan
fungsi ritual, seperti kenduri atau
sesaji. Di dalam Serat Centhini,
terdapat pula ragam kisah yang
memuat fungsi sakral makanan
ini. Makanan yang berfungsi untuk
ritual lazim terdapat dalam segala
Ikan asin, salah satu bahan
pangan dari laut yang
telah dikenal di pedalaman
Jawa dari awal abad ke-19.
FOTO:
A.S.
RIMBAWANA
SOROTAN
44
OKTOBER2022
FOTO:
A.S.
RIMBAWANA
Ragam pangan dalam
ritual pengantin Jawa.
upacara daur hidup seseorang–
lahir, menikah, wafat—, sesaji tolak
bala, musim panen, musim tanam,
dan sebagainya.
Salah satu jenis makanan yang
kerap terdapat saban upacara
adalah tumpeng. Rudy Wiratama,
dosen Jurusan Sastra Jawa UGM
berbicara di Jayadipuran Culture
and Art III yang diadakan oleh Balai
Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
DIY, 9 Juni 2022 lalu. Menurut
Rudy, saban tumpeng ini juga
mempunyai kelengkapan khusus.
“Dari bentuknya saja sudah
filosofis, mengerucut, makin ke
atas makin kecil. Ini dari bumi ke
langit, untuk melangitkan doa-doa,”
kata Rudy. Maka, saban doa dan
kesempatan khusus tumpeng punya
susunan masing-masing.
Rudy memberi contoh, untuk
kelahiran bayi pasti kelengkapan
tumpeng dengan gudangan
(urap), sambal kelapa parut dan
berlauk telur. Telur, sebagaimana
penjelasan Rudy, melambangkan
wujud persatuan manusia. “Telur
itu wiji dadi, perlambang sel
sperma dan ovum, jadi telur itu,
cikal bakal kehidupan,” ungkapnya.
Sementara, lauk akan berbeda
bila digunakan untuk syukuran
panen atau lainnya. “Itu pasti
menggunakan ayam, karena ayam
itu telur yang sudah jadi,” katanya.
Untuk upacara memule,
penghormatan kepada leluhur,
45
OKTOBER2022
Sego golong, nasi kepal yang
berbentuk bulatan. Hingga kini
masih ditemui di masyarakat
Jawa sebagai unsur ritual.
FOTO:
A.S.
RIMBAWANA
nasinya pun berbeda warna. “Ada
putih, kuning, dan wuduk,” ujarnya.
Tumpeng dari nasi putih biasanya
untuk ritus kehidupan. Ada pula
tumpeng dom sewu (bak ditusuk
seribu jarum) yang ditusuk di
sekelilingnya dengan cabai dan
bawang. “Untuk ritual penolak
bala,” katanya.
“Kalau kuning, dalam Jawa kuno
sering disebut sekul paripurna,
lama-lama jadi sekul punar, nasinya
kuning itu untuk tanda syukur,
untuk perhelatan atau pesta-pesta,”
imbuh Rudy.
Berbicara pada forum yang
sama dengan Rudy, Rendra Agusta,
filolog asal Surakarta berbicara
ihwal aspek kesehatan dalam Serat
Centhini. Orang Jawa memang
belum mengenal apotek pada
waktu itu. Namun, pekarangan
sudah menjadi “apotek” itu
sendiri dengan beragam tanaman
berkhasiat obat seperti sirih dan
berbagai obat herbal.
Jamu, ramuan yang dipercaya
sebagai racikan herbal dan
mampu menjaga kebugaran, juga
termuat dalam Serat Centhini.
Menurut Rendra, di Jawa ada yang
disebut jamu dan jampi, doa-doa
kepada Tuhan yang dirapal saban
mengonsumsi jamu. “Di Serat
SOROTAN
46
OKTOBER2022
Wedang, meskipun tidak
selalu, tetapi paling sering
dinikmati bersama gula
aren atau gula batu. Gula
pasir seperti banyak dikenal
masyarakat saat ini pada
masa itu belum populer.
Kemudian, paling tidak,
dalam menikmati wedang
terdapat dua cara. Pertama,
gula batu dilarutkan ke
dalam minuman, sehingga
menimbulkan rasa manis.
Cara lainnya yakni dengan
menikmati gula sebagai
lalaban atau dinikmati secara
terpisah dengan minuman.
Centhini tiap jamu ada jampinya
sendiri,” katanya.
Jamu lazim dibagi menjadi
empat. “Unjukan (minuman),
jamu yang diminum seperti kunir
asem. Loloh, jamu yang dimakan.
Kemudian ada pula bobok dan
boreh, racikan jamu yang ditumbuk
dan dibalurkan di kulit luar,” ujar
Rendra. Ada juga parem yang
bersifat ekstrak. “Menjadi semacam
minyak atsiri dan di Serat Centhini
cukup kompleks,” ungkap Rendra.
Ragam minuman
Mayoritas unjukan atau
minuman dalam Serat Centhini
disajikan dalam keadaan hangat
atau wedang. Berdasar nama-nama
yang disebut, antara lain wedang
belimbing wuluh, wedang kahwa,
dapat diperoleh pula informasi
mengenai bahan dan tata saji.
Bahan-bahan diperoleh
dari ekstrak dedaunan seperti
sruni dan teh. Sementara buah-
buahan terdiri atas belimbing
dan mengkudu. Untuk bebijian
digunakan kopi, cokelat, serta
berbagai macam rimpang seperti
jahe dan temulawak.
Wedang, meskipun tidak selalu,
tetapi paling sering dinikmati
bersama gula aren atau gula batu.
Gula pasir seperti banyak dikenal
masyarakat saat ini pada masa itu
belum populer. Kemudian, paling
tidak, dalam menikmati wedang
terdapat dua cara. Pertama, gula
batu dilarutkan ke dalam minuman,
sehingga menimbulkan rasa
manis. Cara lainnya yakni dengan
menikmati gula sebagai lalaban
atau dinikmati secara terpisah
dengan minuman.
Teknologi fermentasi dan
penyulingan juga telah dikenal di
Jawa. Maka, minuman beralkohol,
sebagaimana juga terdapat di
kebudayaan lain, juga disinggung
dalam Serat Centhini. Yang
menarik, disebutkan pula tata
cara dalam menenggak minuman
PengetahuanCitaRasaJawadariSeratCenthini
47
OKTOBER2022
beralkohol.
Ada sepuluh tata cara
minum, dan tiap-tiap tahapan
dilambangkan dengan
perumpamaan. Diawali dengan
perumpamaan eka padma sari,
berarti menenggak satu sloki ciu
akan bak semerbak kembang,
harum. Lalu, setelah dua tenggakan,
dwi martani, orang akan bertutur
kata dengan gamblang, tampak
sopan santun.
Selanjutnya, dalam sloki ketiga
–tri kawula busana— orang tak lagi
hirau dengan apa yang dikenakan,
entah lusuh, jelek, indah sekalipun
tak ada soal. Semua bersaudara.
Namun, memasuki sloki
keempat, di dalam Serat Centhini
menganggap, orang bakal
kehilangan kesadaran. Maka,
pada tahap ini dilambangkan
sebagaimana catur wanara rukem
–bak kawanan kera berebut makan.
Tahap tertinggi dari minum tuak
adalah dasa buta mati, bahwa tiap
peminum hanya akan siap melawan
siapa pun, bahwa ia telah lupa diri,
sebelum akhirnya akan tertidur.
Kritik atas Serat Centhini
Makanan sering membuat
kalap. Apalagi, ternyata bahwa
makanan juga disebut dalam
sebuah manuskrip Jawa yang sarat
akan muatan budaya. Maka itu,
dalam membaca Serat Centhini ada
satu hal yang tak bisa dilupakan.
Menurut Heri, hal itu ialah
konsep sak madya–secukupnya.
Meskipun konsep itu tidak
tercantum di dalam manuskrip,
Serat Centhini
FOTO:
A.S.
RIMBAWANA
SOROTAN
48
OKTOBER2022
Mutiara Kata
“Hidup adalah 10% apa yang terjadi kepada saya dan 90%
bagaimana saya bereaksi terhadapnya”
–Charles Swindoll, rohaniawan asal Amerika Serikat
tetapi menurutnya pembaca harus
memahami bahwa orang Jawa
makan sekadarnya saja.
“Tak mungkin sajian satu panci
tengkleng akan dihabiskan, konsep
sak madya harus dicermati. Kita
harus mampu membedah etika
dalam sejarah,” ujar Heri.
Selain itu, Heri juga mengatakan
bahwa Serat Centhini harus bisa
berguna bagi generasi saat ini.
Itu bisa dilakukan dengan kritik
terhadap Serat Centhini yang harus
dihidupkan kembali dengan cara-
cara modern dalam hal pengawasan
narasi.
Pertama, Serat Centhini bisa
dipakai dan dikembangkan
untuk bahan lirik lagu sembari
menumpanggelombangpopularitas
pop Jawa yang tengah naik daun.
Menurut Heri hal itu penting, sebab
narasi dalam Serat Centhini akan
mati jika hanya dibaca untuk masa
lalu. “Antikuarian itu,” kata Heri.
Kedua, Serat Centhini bisa masuk
dalam kurikulum muatan lokal
siswa jurusan tata boga. Dengan
begitu, para siswa akan diajar ragam
penyajian makanan lokal sejak dini.
“Makanan di hotel itu jangan Barat
terus,” selorohnya.
Sejak beberapa tahun terakhir
istilah gastronomi juga semakin
populer di Indonesia. Lalu, apakah
Serat Centhini termasuk dalam
kekayaan gastronomi Indonesia?
Menanggapi hal ini, menurut Heri
definisi gastronomi, sebetulnya
bukan hanya memasak tapi juga
memilih bahan, hingga menyajikan
bahan makanan. Sementara dalam
Serat Centhini hanya ada fase
penyajian, tidak ada seleksi bahan.
Kelemahan manuskrip ini
memang terletak pada resep
yang nihil. “Karena yang dipotret
memang tidak menilik dapur,
dan hanya yang terletak di meja
makan. Hanya identitas, judul, dan
nama kulinernya,” sambung Heri.
Akan tetapi, dalam pengetahuan
gastronomi Serat Centhini tetap
menyumbang pengetahuan yang
berharga. Salah satunya, dari Serat
Centhini masyarakat sekarang
tahu bahwa mana saja makanan
yang masih ada, terancam, atau
punah.
“Ini menjadi penting karena
Serat Centhini menjadi pilar dalam
ilmu gastronomi,” tandasnya.
PengetahuanCitaRasaJawadariSeratCenthini
49
OKTOBER2022
JANGANBERONGKOS,
Suatu siang ketika ingin
bertemu dengan teman di
kawasan Alun-Alun Kidul,
Yogyakarta, secara refleks saya
meminggirkan motor ketika di
depan Warung Handayani. Ya,
selain sudah saatnya makan
siang, jangan (sayur) berongkos
yang dijual warung ini selalu
ngangeni.
Warung Handayani memang
menjadi satu dari sedikit
warung yang menjual sayur
berongkos dengan cita rasa
jempolan. Bagi yang belum
kenal, sayur berongkos
merupakan masakan khas
masyarakat Jawa, khususnya
di daerah Yogyakarta. Sayur ini
merupakan menu tradisional
warisan leluhur masyarakat
Yogyakarta. Konon kabarnya,
kata brongkos diambil dari kata
brownhorst (bahasa Inggris
dan Prancis) yang artinya
masakan daging yang berwarna
cokelat. Kemudian, lidah
masyarakat Jawa melafalkan
sebagai brongkos agar mudah
diucapkan dan didengar.
Jika dilihat sekilas, tampilan
berongkos mirip dengan rawon.
Sama-sama cokelat warna
kuahnya. Biang warna ini adalah
buah keluwak atau kepayang
(ingat mabuk kepayang?).
Keluak atau kepayang adalah
pohon yang tumbuh liar. Buahnya
bulat segitiga dengan kulit tebal
dan bertekstur kasar. Sebelum
digunakan untuk masakan, buah
keluak difermentasikan di dalam
tanah terlebih dahulu.
Perbedaan kuah berongkos
dan rawon adalah jika kuah
kental berongkos menggunakan
santan, rawon tidak. Daging yang
digunakan dalam sayur berongkos
adalah daging sapi yang biasanya
dipilih yang banyak mengandung
lemak, atau dalam bahasa Jawa
disebut koyor. Bahan lain yang
dipakai adalah kulit melinjo, tahu,
dan kacang tolo.
Pada zaman dahulu, sayur
berongkos ini jarang dijual bebas
di masyarakat. Bisa jadi karena
hanya kaum ningrat atau kaum
bangsawan yang bisa menikmati
sayur ini. Soalnya, hanya hanya
mereka yang mampu membeli
daging sapi. Sayur berongkos ini
menjadi menu masakan favorit
Sultan Hamengkubuwono X.
Meskipun berongkos sering
diasosiasikan dengan Yogyakarta,
namun di beberapa kota di Jawa
Tengah seperti Demak, Solo, atau
Magelang juga bisa kita temui
berongkos. Tentu dengan versi dan
keistimewaannya masing-masing.
Kembali ke Warung Handayani
50
OKTOBER2022
DARITAHTAUNTUKRAKYAT
tadi, rasa berongkos di sini
ngangeni karena pas dengan
lidah saya yang tak menyukai rasa
pedas. Rasa khas sayur berongkos
di sini sudah hampir berusia 50
tahun. Ya, warung ini pertama kali
berjualan sejak 1975.
Awalnya sang pemilik warung,
Adijo, berjualan es campur
dengan cara berkeliling. Itu
dilakukannya sekitar tahun 1960-
an. Ketika mulai berjualan dengan
membuka warung di selatan Alun-
Alun Kidul itu, ia melengkapinya
dengan berjualan berongkos.
Jadi, jangan pula lupa
untuk memesan es
campurnya.
Saat ini
warung
Handayani dikelola oleh
keturunan anak-anak Adijo dan
istrinya Saridjem. Tidak ada
yang berubah dari resepnya.
Konon salah satu rahasia yang
dimiliki berongkos Handayani
adalah menggunakan 16
macam bumbu.
Jadi jika ke Yogya, jangan
lupa mampir ke warung ini dan
merasakan menu raja yang kini
sudah menjadi menu rakyat
biasa. (Yds)
51
OKTOBER2022
JEDA
TerlenaGandum,
PadahalPunya
Sorgum
FOTO:
UNSPLASH
SOROTAN
52
OKTOBER2022
Jauh sebelum “terbelenggu” gandum,
Nusantara sudah berkenalan dengan sorgum
yang tak jauh berbeda namun lebih ramah
tanam di sini. Sayang, politik pangan yang
menyeragamkan pada beras membuat
sorgum perlahan tersingkirkan.
Yds Agus Surono
Reporter Intisari
53
OKTOBER2022
Ironi terbaru, menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2019, konsumsi
gandum penduduk Indonesia
adalah 30,5 kilogram (kg) per
tahun per kapita penduduk.
Sedangkan, konsumsi beras
hanya sebesar 27 kg per
tahun per kapita penduduk.
Ini bukan berarti makanan
pokok rakyat Indonesia
sudah bergeser ke gandum
sebab konsumsi itu tak
melulu gandum sebagai
makanan pengenyang perut,
tapi olahan berbasis
gandum yang biasa jadi
pelengkap hidangan.
“N
egeri ini penuh
dengan ironi dalam
hal pangan,” begitu
tulis Hira Jhamtani,
aktivis lingkungan
hidup, dalam pengantar buku Susan
George, Pangan: Dari Penindasan
Sampai ke Ketahanan Pangan.”
Ironi itu dijelaskan Hira sebagai
berikut: Tanahnya subur, sumber
daya alam hayati melimpah dan
sebagian besar penduduknya hidup
dari pertanian, tapi sejak awal 2005
terbetik kabar tentang kelaparan,
rawan pangan, serta gizi buruk di
beberapa provinsi. Pemerintah
lndonesia mendapat penghargaan
dari Organisasi Pangan Dunia
(FAO) pada 1980-an karena
berhasil dalam swasembada beras,
tetapi pada 1994 lndonesia kembali
mengimpor beras dan hingga
kini isu impor beras menghantui
wacana tentang pangan.
Buku ini dicetak pada Agustus
2007, sehingga data yang ada tentu
sebelum tahun itu. Seperti berita
yang diambil dari The Jakarta Post
26 Mei 2005. Diberitakan, sekitar
332 orang menderita kekurangan
gizi di Lombok, padahal provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB), seperti
dikatakan wakil Gubernur Thamrin
Rayes, mempunyai surplus
produksi padi dan menjualnya ke
provinsi lain.
Masih dari sumber yang sama,
The Jakarta Post, 20 Juni 2005,
32 anak meninggal di NTT karena
kekurangan gizi antara Januari
hingga Juni 2005. Angka ini tiga
kali lipat dari yang dilaporkan
oleh Dinas Kesehatan setempat.
Kekurangan gizi mencakup
marasmus (kekurangan
karbohidrat) dan kwasiorkor
(kekurangan protein) atau
gabungan dari keduanya. Kondisi
ini umumnya terjadi di negara-
negara miskin di Afrika.
SOROTAN
54
OKTOBER2022
FOTO:
UNSPLASH
Gandum dalam skala bisnis
cocok di negara empat musim.
Bergeser ke Jakarta, ibukota
RI, tempat beredarnya 75%
uang dan menjadi kawasan yang
memperoleh porsi pembangunan
terbesar, ternyata ada 13 kasus
gizi buruk sementara 8.450 anak
lain mengalami rawan gizi buruk.
lroninya, “Pemerintah DKI Jakarta
mempunyai anggaran daerah
sebesar Rp14,01 triliun,” tulis Hira
yang mengutip sumber The Jakarta
Post, 17 Juni 2005.
Ironi terbaru, menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2019, konsumsi gandum
penduduk Indonesia adalah 30,5
kilogram (kg) per tahun per kapita
penduduk. Sedangkan, konsumsi
beras hanya sebesar 27 kg per
tahun per kapita penduduk. Ini
bukan berarti makanan pokok
rakyat Indonesia sudah bergeser
ke gandum sebab konsumsi itu tak
melulu gandum sebagai makanan
pengenyang perut, tapi olahan
berbasis gandum yang biasa jadi
pelengkap hidangan. Namun, yang
jelas untuk memenuhi kebutuhan
tadi, Indonesia harus mengimpor
gandum sebab kita belum bisa
membudidayakan gandum dalam
skala bisnis.
55
OKTOBER2022
Pelan tapi pasti gandum
menjadi bagian tak
terpisahkan dari pangan
keseharian kita.
FOTO:
UNSPLASH
Roti turun kasta
Gandum masuk ke Indonesia
bisa ditelisik dari kejatuhan
Presiden Sukarno. Dalam film The
Year of Living Dangerously, Billy
– salah seorang pemeran utama,
jatuh meninggal dari ketinggian
setelah membentangkan spanduk
bertuliskan, “Soekarno, Beri
Rakyatmu Makan”. Pesan ini juga
berlaku untuk penerusnya, Suharto.
Ia mewarisi kondisi ekonomi yang
hancur, salah satunya inflasi yang
mencapai 650%.
Richard Borsuk danNancy Chng
dalam buku Liem Sioe Liong’s
Salim Group, The Business Pillar of
Soeharto’s Indonesia, menuliskan
bagaimana kemudian negara-
negara Barat, khususnya AS,
membantu pemerintahan Suharto
yang baru lahir itu, khususnya
dalam hal pangan.
Pada September 1966, setelah
bertemu dengan Menteri Luar
Negeri Adam Malik, Wakil Presiden
AS Hubert Humphrey menulis
surat ke Presiden Lyndon Johnson.
Intinya, Indonesia membutuhkan
banyak beras, tidak saja dari AS
tapi juga dari Burma, Thailand,
dan Taiwan. Namun mereka
berharap banyak dari AS. Humprey
kemudian menyarankan untuk
mengirimkan gandum dan bulgur
(gandum tumbuk).
Karena tidak ada pilihan lain,
saran itu pun diterima Suharto.
SOROTAN
56
OKTOBER2022
Ia ingin mengubah pola makan
nasional dengan Jakarta sebagai
awalnya. “Jadi, roti menjadi
pengganti nasi sebagai sarapan,”
begitu tulis Borsuk dan Chng.
Gandum bantuan AS itu
digiling di Singapura karena
Indonesia belum memiliki pabrik
penggilingannya. Saat mi instan
hadir pertama kali di Indonesia
pada 1968, PT Lima Satu Sankyu,
perusahaan yang memproduksi
Supermi, harus mengimpor tepung
terigu sebagai bahan bakunya.
Baru pada 1969, The Gang Four,
julukan untuk Liem Sioe Liong,
Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad,
dan Sudwikatmono (saudara
sepupu Suharto) mendirikan pabrik
penggilingan tepung lewat PT.
Bogasari Flour Mills. Perusahaan
yang mulanya didaftarkan sebagai
PT Boga Sari ini bermodal awal Rp
500 juta.
Ada alasan tersendiri, menurut
Borsuk dan Chng, bahwa Suharto
menyetujui pembangunan
Bogasari tadi. Dalam Anggaran
Dasar perusahaan itu pada 1970
disebutkan bahwa 26 persen
keuntungan diberikan kepada
Yayasan Harapan Kita yang
DARIRELIEFBOROBUDURSAMPAI
SERATCENTHINI
Tanaman sorgum merupakan
salah satu ragam tanaman biji-
bijian yang terpahat dalam relief
Candi Borobudur. Digambarkan
tanaman ini tinggi, nyaris setinggi
tanaman pisang, sebagaimana
dengan malai menjuntai ke bawah.
Jelas bahwa tanaman ini berbeda
dengan padi yang juga tertera di
relief candi yang dibangun pada
abad ke-8 itu.
Jejak sorgum juga bisa dilihat
dari Serat Centhini. Dalam salah
satu naskahnya disebutkan,
setelah Amongraga lama di
Wanamarta kemudian dia pergi
meninggalkan istrinya hingga
sampai di Dusun Cadhuk. Di
tempat inilah mereka melihat
berbagai baham makanan yang
berada di sawah sedang berbuah.
Berbagai bahan makanan itu
antara lain semangka, kerai, timun,
kacang, kara, kecipir, lombok,
terung, jawawut, jagung ontong,
dan canthel.
Dari narasi itu terlihat area
pertanian di Jawa pada awal abad
ke-19 masih ditanami berbagai
jenis tanaman, mulai dari sayuran,
buah-buahan, hingga yang
mengandung karbohidrat. Dari
narasi tadi yang masuk sebagai
sumber karbohidrat adalah
jawawut, jagung ontong (tongkol),
dan canthel (sorgum). Pola seperti
itu sekarang dikenal sebagai
tumpang sari.
57
OKTOBER2022
TerlenaGandum,PadahalPunyaSorgum
diketuai Ibu Tien Suharto dan
Yayasan Dharma Putra milik
Kostrad. Sejarah menulis Suharto
adalah Panglima Kostrad pada 1965.
Suharto meresmikan pabrik
Bogasari di kawasan Tanjungpriok
Jakarta pada 29 November 1971.
Dalam sambutannya Suharto
mendorong masyarakat agar
terbiasa mengonsumsi makanan
berbahan olahan gandum. “Kalau
dulu roti dan kue-kue dari tepung
terigu hanya merupakan makanan
golongan yang berpunya saja,
sekarang telah menjadi bahan
makanan masyarakat yang lebih
luas dan tampaknya juga lebih
praktis. Lagi pula bahan makanan
dari tepung terigu termasuk
bernilai gizi yang tinggi,” kata
Suharto dalam Berita Industri
tahun 1972 seperti dikutip historia.
id.
Borsuk dan Chng melanjutkan,
sejak itu Indonesia pun terbiasa
dengan gandum dan konsumsi mi
instan Indonesia terbesar kedua
di dunia setelah Tiongkok. Kiwari,
menyadari ketergantungan pada
gandum (dan beras tentunya),
Kementan menggalakkan
penanaman sorgum sebagai bahan
pokok pengganti dan memperkuat
alternatif pangan lokal seperti
singkong dan umbi-umbian.
“Kebutuhan bahan impor seperti
gandum dapat disubstitusi dengan
sorgum yang sangat cocok untuk
dikembangan di Indonesia. Pangan
lokal dapat menyelamatkan
dari krisis pangan,” kata Kepala
Biro Humas dan Informasi
Publik Kementan, Kuntoro Boga
Andri.
Banyak nama lokal
Sorgum sejatinya sudah
dikenal di masyarakat Indonesia
sejak lama. Buku Sorgum, Benih
Leluhur untuk Masa Depan sudah
menggambarkan hal itu. Buku
karangan Ahmad Arif, wartawan
Kompas, itu dalam pengantarnya
menjelaskan bahwa Nusantara
sudah mengenal sorgum (Sorgum
bicolor) sejak lama. Setidak-
tidaknya tanaman seperti sorgum,
jawawut, padi, dan sagu terpahat di
relief Candi Borobudur, Magelang,
Jawa Tengah.
Di Flores Timur malah makan
sorgum menjadi ritual sebelum
bisa makan beras. “Walaupun kita
sekarang sudah tanam padi, kalau
tidak tanam sorgum, tidak bisa
panen padi,” kata Yohanes Manue
Hurit, tokoh adat Desa Ile Padung,
Kecamatan Lewolema, Flores
Timur dalam buku Ahmad Arif tadi.
Ritual tadi tak lepas dari cerita
tentang benih pertama di Flores
Timur. Alkisah, musim hujan tiba.
Semak belukar dan rerumputan
telah dibersihkan. Namun tak
ada benih yang bisa ditanam.
Tujuh bersaudara kebingungan
di tengah-tengah ladang yang
kosong. Kebingungan berakhir
SOROTAN
58
OKTOBER2022
FOTO:
UNSPLASH
Tanamam sorgum di AS.
ketika Tonu Wujo, satu-satunya
anak perempuan dalam keluarga itu
berujar, “Saya ini benih.”
Dari keenam saudara tadi, hanya
si bungsu yang kuasa menebaskan
parang ke leher saudarinya itu.
Kemudian sesuai pesan, tubuh
Tonu Wujo dipotong-potong
menjadi beberapa bagian dan
disebar ke segala penjuru mata
angin. Kedua tangan dikubur di
arah timur dan barat; kedua kaki
di utara dan selatan; sedangkan
kepala, jantung, dan hatinya
ditanam di tengah ladang. Sesuai
wasiat Tonu Wujo, mereka
kemudian pulang dan baru boleh
kembali ke ladang setelah tujuh
hari.
Pada hari kedelapan, enam
saudara tadi kembali ke ladang dan
menemukan aneka jenis tanaman
tumbuh subur, mulai padi, jagung,
jawawut, sorgum, mentimun,
labu, dan berbagai umbi-umbian.
“Sebelum pengorbanan Tonu
Wujo ini, di sini hanya ada umbi-
umbian. Belum ada biji-bijian,” kata
Klemens Ama Koten, petani dan
pendiri Kelompok Toni Sorgum
59
OKTOBER2022
Sorgum sebagai
sumber karbohidrat.
FOTO:
SORGUM:
BENIH
LELUHUR
UNTUK
MASA
DEPAN
Ado Bera, Desa Ratu Lodong,
Kecamatan Tanjungbunga, Flores
Timur.
Kisah Tonu Wujo tadi
menunjukkan bahwa sorgum tak
hanya sumber pangan, melainkan
bagian dari budaya masyarakat
Flores, NTT. Meski ada sorgum asli
dari NTT, yakni Sorgum timorense,
namun sorgum budidaya (Sorgum
bicolor) bukan tanaman asli Flores,
atau bahkan Nusantara. “Tanaman
sorgum, seperti yang dikenal saat
ini, dan dikisahkan dalam narasi
Tonu Wujo di Nusa Tenggara
Timur, memiliki riwayat yang jauh
lebih panjang, sepanjang perjalanan
leluhur manusia modern (Homo
sapiens) dari benua tua, Afrika,”
tulis Ahmad Arif.
Dari Afrika (Yayasan Kehati
dalam “Lembar Fakta Sorgum”
menuliskan dari Ethiopia, wilayah
yang dikenal dengan tanduk
Afrika), sorgum menyebar ke Afrika
Timur, Afrika Barat, dan Afrika
Utara. Lantas melompat ke benua
Asia, termasuk Indonesia. Tidak
diketahui pasti kapan sorgum
masuk ke Indonesia, namun
sorgum merupakan salah satu jenis
makanan yang tertera pada relief
SOROTAN
60
OKTOBER2022
Dengan luasnya penyebaran
sorgum, tak heran kalau dia
memiliki banyak nama lokal.
Di Afrika Barat dikenal dengan
great millet dan guinea, di
Afrika Selatan disebut kafir, di
Sudan dikenal dengan durra,
sedang bagian timur Afrika
mengenalnya sebagai mtana.
Begitu juga di beberapa
daerah di Indonesia, seperti
cantel di Jawa Tengah dan
Yogyakarta, gandrung di Jawa
Barat, dan batari di kalangan
Melayu. Sementara di Flores,
nama lokal untuk sorgum
antara lain watar belolong
(jagung tinggi) dan watar
solor (jagung solor).
Candi Borobudur yang dibangun
pada abad ke-8.
Dengan luasnya penyebaran
sorgum, tak heran kalau dia
memiliki banyak nama lokal. Di
Afrika Barat dikenal dengan great
millet dan guinea, di Afrika Selatan
disebut kafir, di Sudan dikenal
dengan durra, sedang bagian
timur Afrika mengenalnya sebagai
mtana. Begitu juga di beberapa
daerah di Indonesia, seperti cantel
di Jawa Tengah dan Yogyakarta,
gandrung di Jawa Barat, dan batari
di kalangan Melayu. Sementara di
Flores, nama lokal untuk sorgum
antara lain watar belolong (jagung
tinggi) dan watar solor (jagung
solor).
(Jagung di sini bukan mengacu
ke jagung Zea mays yang banyak
dikenal. Mengacu ke Denys
Lombard dalam bukunya Nusa
Silang Jawa: Jaringan Asia, jagung
digunakan untuk menyebut jawa
agung, atau jawa yang besar. Jawa
sendiri merupakan penjelasan
untuk biji-bijian, salah satunya
jawawut. Pada masa lalu jawawut
merupakan jenis tanaman biji-
bijian yang banyak ditemukan di
Jawa. Keberadaan jagung sendiri di
Indonesia baru pada 1800-an. Tidak
jelas siapa yang membawa jagung,
namun jauh sebelum itu Nusantara
sudah mengenal budi daya sorgum
dan jawawut selain padi.)
Tanaman unta
Sorgum masuk ke Nusantara
secara luas lewat orang India di
era perdagangan laut. Dari barat
kemudian meluas ke Indonesia
timur. Namun, sorgum kerap
tertukar dengan jagung (Zea mays).
Sorgum memang tak setua jawawut
atau padi ladang di Nusantara,
tetapi setidak-tidaknya ia telah
dibawa di fase awal perdagangan
TerlenaGandum,PadahalPunyaSorgum
61
OKTOBER2022
Ketika Orde Baru
menempatkan beras
sebagai satu-satunya
pangan pokok dan sumber
pangankarbohidratlainnya
sebagai tambahan saja,
pelan tapi pasti sorgum
terpinggirkan. Program
swasembada pangan yang
memprioritaskan tanaman
padi membuat lahan
sorgum beralih fungsi
untuk menanam padi,
jagung, dan kedelai.
India bersamaan dengan teknik
padi sawah, sekitar abad ke-4
atau sekitar 12 abad lebih awal
sebelum kedatangan jagung. Jadi,
dalam banyak narasi lama Jawa,
penyebutan jagung sering kali
merujuk ke sorgum, bukan Zea
mays.
Di masa kolonial Belanda,
sorgum menjadi salah satu jenis
tanaman penting di Nusantara
meski tidak dibudidayakan secara
besar-besaran. Seperti yang dicatat
Georg Eberhard Rumphius, sorgum
telah tumbuh di mana-mana di
tanah Hindia Belanda, akan tetapi
pada umumnya hanya ditanam di
pinggir ladang. Pada saat itu sorgum
tak lagi menjadi sumber pangan
manusia, tapi untuk “pestisida
alami” bagi tanaman padi dari
serangan burung. “Karena alasan
itu, mereka menyebutnya sebagai
ibu padi,” begitu tulis Ahmad Arif.
Thomas Stamford Raffles juga
mencatat dalam History of Java
tentang cukup populernya sorgum
di tanah Jawa. Tanaman ini
banyak ditemui tak jauh dari pusat
kota di daerah-daerah. Sorgum
dimanfaatkan tak hanya sebagai
pangan, namun juga difermentasi
sebagai bahan minuman keras.
Sebagai minuman keras, sorgum
mengalahkan jawawut dan jali
yang telah lama dibudidayakan dan
dikonsumsi masyarakat tradisional.
Setelah kemerdekaan, tanaman
sorgum masih populer. Jejaknya
bisa dilihat, misalnya, dalam
Mustikarasa, buku tentang ragam
bahan pangan dan resep masakan di
seluruh daerah di Indonesia. Buku
itu menyebutkan cantel (sorgum)
merupakan salah satu makanan
utama di daerah Yogyakarta,
terutama di Kulon Progo.
Dibandingkan jagung, cantel lebih
tahan kekeringan. Ia hanya butuh
air yang ada di dalam tanah saja.
Sementara untuk menghasilkan
buah yang tua, ia butuh waktu tiga
bulan.
Di awal berkuasanya Orde
Baru, tahun 1970-an, sorgum
masih mendapat tempat di lahan
SOROTAN
62
OKTOBER2022
Mutiara Kata
“Waktu terbaik untuk menanam pohon adalah 20 tahun
yang lalu. Waktu terbaik kedua adalah sekarang”
–Peribahasa Cina
pertanian di Jawa. Salah satu pusat
budi daya sorgum yang terluas di
Jawa berada di Kabupaten Demak,
Jawa Tengah. Dikembangkan sejak
1973, sorgum ditanam di lahan
seluas 896 hektare dengan produksi
829 ton. Sampai musim panen
1995 Kabupaten Demak masih
menghasilkan sorgum dari lahan
seluas 9.597 hektare. Produksi per
hektare mencapai 34,61 kuintal
dengan harga sorgum kering saat
itu Rp300 per kilogram.
Ketika Orde Baru menempatkan
beras sebagai satu-satunya
pangan pokok dan sumber pangan
karbohidrat lainnya sebagai
tambahan saja, pelan tapi pasti
sorgum terpinggirkan. Program
swasembada pangan yang
memprioritaskan tanaman padi
membuat lahan sorgum beralih
fungsi untuk menanam padi,
jagung, dan kedelai. Bahkan ketika
Revolusi Hijau diterapkan secara
masif di Orde Baru, bibit padi lokal
pun menghilang satu per satu.
Era Reformasi mencoba
mengoreksi ketergantungan
beras. Terlebih dunia mengalami
krisis energi. Pada 2012 – 2013
pemerintah Indonesia pernah
melirik kembali pangan lokal,
di antaranya sorgum, sebagai
alternatif bahan makanan
dan energi (penghasil etanol).
Sayangnya, upaya yang dilakukan
itu hanya bersifat sporadis tanpa
dukungan kebijakan nasional yang
kuat. Sorgum makin dilupakan,
bahkan tidak diperhitungkan
sebagai sumber pangan di
Indonesia.
Padahal, sebagai sumber pangan,
sorgum memiliki kandungan
nutrisi yang cukup lengkap, yaitu
kalori, protein, lemak, karbohidrat,
kalsium, zat besi, fosfor, dan
vitamin B1. Sorgum dikenal kaya
serat, antioksidan, gluten free, dan
indeks glikemiknya lebih rendah
daripada beras sehingga cocok
dikonsumsi penderita diabetes.
Jadi, ada harapan di sorgum
yang sudah lama dikenal untuk
mewujudkan swasembada pangan.
Tak sekadar swasembada beras.
Apalagi sorgum tetap bisa tumbuh
subur dan panen ketika jagung dan
padi gagal panen. Tak berlebihan
kalau di Afrika sorgum dikenal
sebagai “tanaman unta”.
TerlenaGandum,PadahalPunyaSorgum
63
OKTOBER2022
SOROTAN
Di Rumah Budaya Tembi yang dirancang
dengan konsep nuansa alam desa, para tamu
disajikan aneka makanan dan minuman khas
Jawa. Sebagian menu sajian diangkat dari
khazanah masakan Jawa yang terekam dalam
Serat Centhini. Disebut sebagai ensiklopedi
budaya Jawa, Serat Centhini merekam sekitar
400 jenis makanan dan minuman.
AI. Heru Kustara
Penulis
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari
edisi Agustus 2008.
64
OKTOBER2022
Sumber
MasakanJawa
Serat
Centhini,
65
OKTOBER2022
Sebagian besar menu
sajian Restoran Pulau
Segaran memang diangkat
dari khazanah masakan
Jawa yang terekam dalam
SeratCenthini. Boleh jadi,
pilihan itu supaya inline
dengan nuansa ndeso-nya
penginapan yang terdiri
atas enam buah rumah kuno
tradisional Jawa, yang ditata
begitu harmonis dengan latar
belakang persawahan padi
organik dan pemandangan
Gunung Merapi.
P
antas saja Serat Centhini
disebut ensiklopedi budaya
Jawa. Manuskrip ini berisi
pengetahuan tentang
keagamaan, kesenian,
ramalan, sulap, bahkan seksualitas
ala Jawa. Tapi bukan cuma itu.
Pustaka buatan tahun 1814, terdiri
atas 12 jilid itu ternyata juga
menjadi sumber informasi tentang
berbagai jenis makanan dan
minuman tradisional Jawa, yang
sebagian masih kita kenal.
“Ini namanya nasi apa, Mas?”
“Ini sega wuduk punar,” kata I
Made Bawa.
“Lo, apa bedanya dengan nasi
kuning seperti yang kita kenal
sekarang?”
“Enggak ada bedanya karena sega
wuduk punar itu tidak lain istilah
Jawa untuk menyebut nasi kuning,”
terang Made.
Dari penampilan dan rasanya,
sega wuduk punar memang tidak
berbeda dengan nasi kuning
yang biasa dibuat khusus untuk
mereka yang sedang berulang
tahun. Nasinya berwarna kuning
dan rasanya gurih. Lauk-pauknya
macam-macam. Ada perkedel
kentang, sambal kering tempe,
abon sapi, irisan telur dadar, sambal
goreng ati-ampela, kerupuk udang,
plus lalapan timun, pete, dan daun
kemangi.
Sega wuduk punar menjadi
salah satu menu yang disajikan
oleh Restoran Pulau Segaran di
Rumah Budaya Tembi. Made adalah
hospitality manager Rumah Budaya
Tembi, semacam resort sederhana
yang dirancang dengan konsep
bernuansa alam desa. Lokasi
penginapan yang mulai dibuka
Maret 2008 itu terletak di Jln.
Parangtritis Km 8,4, Desa Tembi,
Timbulharjo, Sewon, Bantul,
Yogyakarta.
“Tembi House of Culture
didirikan dengan latar belakang
bahwa di Bantul sampai saat ini
belum ada penginapan semacam
resort. Ini proyek pertama,
menghadirkan penginapan
SOROTAN
66
OKTOBER2022
Restoran Pulau Segaran
menyediakan beraneka macam
masakan yang didasarkan pada
naskah dalam Serat Centhini
bersuasana desa atau ndeso khas
Yogyakarta,” kata Alex Listyadi,
general manager Tembi House of
Culture. “Bukan resort mewah, tapi
rumah penginapan yang terletak
di desa,” sambung Maudy Richir,
public relation manager Rumah
Budaya Tembi.
Sebagian besar menu sajian
Restoran Pulau Segaran memang
diangkat dari khazanah masakan
Jawa yang terekam dalam Serat
Centhini. Boleh jadi, pilihan itu
supaya in line dengan nuansa ndeso-
nya penginapan yang terdiri atas
enam buah rumah kuno tradisional
Jawa, yang ditata begitu harmonis
dengan latar belakang persawahan
padi organik dan pemandangan
Gunung Merapi.
Selain sega wuduk punar,
disajikan pula secara bergantian
paket nasi berupa sega pulen
lengkap dengan jangan bening,
gudhangan, pitik panggang, dan
sambel terasi. Juga sega akas
komplet dengan lauk pauk dan
sayurnya, begitu pun sega tumpeng
megana. Lalu nasi rames dan sega
golong dengan sayur dan lauknya
jangan kluwih, empal sapi, dan
sambal tomat.
67
OKTOBER2022
Rumah Budaya Tembi juga
menyediakan homestay
dengan nuansa pedesaan
Di luar itu disediakan makanan
ala carte dengan berbagai jenis
pilihan sayur seperti jangan lodeh,
jangan brongkos, jangan bobor,
jangan turi, dsb. Lauk-pauknya
bisa dipilih empal ragi, ulam bebek
(daging bebek), serundeng gundel
dhili, sate kambing, dan lainnya.
“Pacitan (penganan) dan
minumannya ada gemblong, lemet,
ketan madu ditemani minuman
wedang kahwa (kopi), wedang jahe
lalap gendhis kelapa (minuman jahe
yang diminum sembari menggigit
gula merah), atau serbat kopi alias
kopi tubruk,” tutur Made.
Ratusan jumlahnya
Berbagai jenis makanan dan
minuman dalam Serat Centhini
memang hanya disebutkan
namanya, tidak diuraikan bahan
maupun cara membuatnya.
Maklum, pustaka itu bukan buku
resep masakan, melainkan berisi
berbagai ilmu pengetahuan yang
dikemas dalam kisah asmara dan
pengembaraan.
Cuplikannya, “Tambangraras
telah diijabkan dengan Syekh
Amongraga oleh penghulu
Basarodin. Malam harinya,
Amongraga memberi wejangan
atau nasihat soal keagamaan,
SOROTAN
68
OKTOBER2022
khususnya makna salat, kepada
Tambangraras. Wejangan itu
juga didengar oleh pelayan
Tambangraras, bernama Centhini.
Wejangan disampaikan hingga
subuh. Setelah melaksanakan salat
subuh berjamaah, mereka kembali
ke pendopo rumah Ki Bayi Panurta
(orangtua Tambangraras). Pagi
itu mereka menyantap antara lain
nasi tumpeng, sega goreng, dan
sega rames, beserta lauk-pauk
berupa daging betutu. Setelah itu
dihidangkan minuman wedang
serbat dan kopi”. Penggalan kisah
ini dipetik dan diterjemahkan
dari Pupuh 360 Tembang
Dhandhanggula bait ke-71 pada
Serat Centhini jilid 6.
Di dalam Serat Centhini terekam
tidak kurang 400 jenis makanan
dan minuman. “Aneka nasi ada 40
jenis, sayur 31 jenis, sayur daging 33
jenis, lauk pauk 150 jenis, sambal
46 jenis, minuman 20 jenis, dan
penganan ada 70-an jenis,” kata
Suwandi Suryakusuma, sarjana
sastra Jawa lulusan Fakultas
Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Contohnya, Suwandi menyebut
beberapa jenis sega (nasi), misalnya
sega bubur, sega wuduk punar, sega
pulen, sega akas, sega lemes, sega
liwet, sega golong, atau sega lodhoh.
69
OKTOBER2022
SeratCenthini,SumberMasakanJawa
Lauk pauk yang disebut-
sebut dalam Serat Centhini
tak kurang banyak macam
ragamnya. Misalnya, abon
remus, antigan pindhang
(telur pindang), dhendheng
ragi, dhendheng balur,
dadar ledre, empal kisi
penthul, pepesan ambra
abrit, bothok semayi,
gorengan glathik, lentri
dan lainnya.
Istilah sega lemes, sega akas, dan
sega liwet sendiri ada dalam Serat
Centhini jilid 1 Pupuh 32 Tembang
Kinanthi bait ke-26: “Sambel goreng
kring ywa kantun, .... sega lemes
sega akas, liwet pitik jago biri.”
Dikisahkan, Raden Jayengresmi
atau Amongraga bersama kedua
abdinya, Gathak dan Ghatuk,
meninggalkan daerah Giri yang
diserang oleh pasukan Surabaya
(utusan Mataram). Mereka
melarikan diri ke daerah Tuban,
singgah ke beberapa desa di
wilayah itu. Di Desa Panuata,
Jayengresmi dipersilakan melihat
sisa-sisa Istana Parwata. Lalu oleh
Lurah Desa Parwata, lewat anak
perempuannya bernama Rara
Surendra, Jayengresmi dijamu
hidangan berupa buah-buahan
(jambu dersana, manggis, kepel,
kokosan, rambutan, dll.), makanan
(sega lemes, sega akas, sega liwet),
lauk pauk, sayuran, dan minuman
(wedang kahwa/kopi gula tebu,
wedang ran blimbing wuluh).
Tempe dan gelatik goreng
Terekam dalam Serat Centhini,
aneka sayur atau jangan. Menurut
catatan Suwandi, jangan menir,
jangan asem, jangan bobor, jangan
loncom, jangan cupang, jangan
padhamara, misalnya, disebut
dalam Serat Centhini jilid 6 Pupuh
357 Tembang Mijil bait ke-427 -
428.
Ada juga aneka sayur berbahan
daging, antara lain besengek wader,
besengek pitik, sesengek tawon,
opor bebek, opor banyak, opor
landak, opor trenggiling yang dapat
dijumpai dalam Serat Centhini jilid
6 Pupuh 357 Tembang Mijil bait
ke-436: “Besengek wader besengek
tempe pitik, lan besengek tawon,
trinil turlek ...,” Macam-macam
masakan itu muncul dalam upacara
panggih (bertemunya pengantin
pria dan wanita di pelaminan)
antara Syekh Amongraga dan Ni
Tambangraras. Besengek berkuah
santan, tidak pedas. Rasanya gurih.
Menyoal tempe, makanan khas
Indonesia itu ternyata sudah
dikenal di zaman itu. “Kadhele
tempe srundengan, lombok kenceng
lawan petis, gadhon rempah yem
SOROTAN
70
OKTOBER2022
Suasana yang asri membuat
para pengunjung Rumah
Budaya Tempi merasakan
kedamaian hidup di desa
manjangan, gorengan empal Ian
gangsir, barongkos lawan masin,
krupuk miwah sambel balur”
(Tembang Sinom 42, 43). Kutipan
itu diambil dari Serat Centhini jilid
12 yang menggambarkan perjalanan
Amongraga alias Jayengresmi
di Dusun Bustam. Di tempat ini
mereka dijamu oleh Ki Arsengbudi
dengan berbagai makanan, salah
satunya tempe kedelai.
Lauk pauk yang disebut-sebut
dalam Serat Centhini tak kurang
banyak macam ragamnya. Misalnya,
abon remus, antigan pindhang
(telur pindang), dhendheng ragi,
dhendheng balur, dadar ledre, empal
kisi penthul, pepesan ambra abrit,
bothok semayi, gorengan glathik,
lentri dan lainnya.
Sambel gocek bumbu
jempol
Untuk urusan sambal, tak kurang
dari 46 jenis disebut Centhini.
Ada sambel jagung, sambel jinten,
sambel dhele balur kacang, sambel
trancam congor, sambel ulek trasi
abrit, sambel windu bubuk wijen,
sambel lethok, sambel cempaluk,
71
OKTOBER2022
Sega wuduk punar yang tak lain
adalah nasi kuning, menjadi salah
satu masakan yang tertulis di
Serat Centhini
sambel kluwak, atau sambel
gocek. “Tapi kami baru coba bikin
beberapa, yaitu sambel santen
kacang lan kedhele, sambel ulek
trasi abrit (merah - Red.), sambel
urang (udang - Red.), sambel kukus,
sambel tomat, sambel kluwak, dan
sambel gocek,” kata Made.
Semua sambal bikinan Restoran
Pulau Segaran itu mudah
dibayangkan bahannya. Pasti mak
nyus pula rasanya, kecuali sambel
gocek. Ya, sambel gocek memang
bukan sambal. Materinya cabai,
tapi, “Bumbunya jempol,” celetuk
Mbah Joyo sembari terkekeh.
Gocek artinya pegang. Jadi, sambel
gocek ya cabai rawit yang dipegang
dan diceplus saat makan tempe
mendoan atau tahu isi.
Pustaka kuno itu juga mencatat
sekitar 70-an macam penganan.
Ada criping kaspa, jenang grendul,
ketan madu, lemet, atau ondhe-
ondhe. Sebagai teman menyantap
penganan, terekam 20-an jenis
minuman seperti semelak, srebat,
wedang kahwa, beras kencur,
wedang sridhenta, wedang blimbing
wuluh gula aren, wedang teh gula
batu, wedang ron sruni, dan banyak
lagi.
SOROTAN
72
OKTOBER2022
Biar menarik dan tidak
membosankan, Serat
Chentinidikemas dalam
bentuk cerita asmara dan
pengembaraan. Tokoh
utamanya antara lain
Syekh Amongraga, putra
Sunan Giri, dan istrinya,
Ni Tambangraras, putri
sulung Kepala Perdikan
Wonomarto, Kabupaten
Mojokerto, dan Ni Centhini,
pelayan setianya.
Berbagai jenis makanan dan
minuman itu sampai saat ini masih
dikenal dan diolah oleh masyarakat.
“Tapi banyak juga yang sudah tidak
dikenali, entah namanya, bahannya,
atau cara membuatnya. Seperti
balebed, limpek, rempah grigit,
srundeng mariyos, sambel kunci,
atau jalabiya” kata Suwandi.
Pekerjaan yang tersulit tentu
melacak kembali nama-nama
makanan dan minuman tersebut
dalam serat itu. Untuk itu Suwandi
memanfaatkan berbagai sumber
pustaka, salah satunya Bausastra
Jawa alias kamus bahasa Jawa.
“Setelah di-cross-check, kadang
makanan atau minuman itu hanya
beda nama. Misalnya, srebat kopi
di Serat Centhini ternyata kopi
tubruk di zaman sekarang,” ungkap
Suwandi.
Khazanah kuliner Jawa
beruntung memiliki bahan rujukan
yang berharga. Meski akan lebih
baik lagi jika jenis masakan maupun
minuman (yang kini langka)
di dalam pustaka kuno itu bisa
“dihidupkan” kembali, sehingga
makin memperkaya khazanah
kuliner Nusantara.
Kisah asmara dan
pengembaraan
Serat Centhini atau Suluk
Tambangraras-Amongraga
digubah atas kehendak KGPAA
Amengkunegara, putra mahkota
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana
IV, yang kemudian bertahta
pada 1820-1823 sebagai Sunan
Pakubuwana V di Keraton
Surakarta (Munarsih, Serat
Centhini Warisan Sastra Dunia,
2005). Pustaka ini dikarang dengan
tujuan untuk menghimpun dan
melestarikan segala macam ilmu
pengetahuan di Pulau Jawa. Tak
heran kalau pustaka ini tebal sekali,
terdiri atas 12 jilid dengan 4.200
halaman folio. Tulisannya berupa
tulisan tangan (manuskrip) dalam
huruf Jawa Hanacaraka.
Biar menarik dan tidak
membosankan, Serat Chentini
dikemas dalam bentuk cerita
asmara dan pengembaraan. Tokoh
utamanya antara lain Syekh
SeratCenthini,SumberMasakanJawa
73
OKTOBER2022
Amongraga, putra Sunan Giri,
dan istrinya, Ni Tambangraras,
putri sulung Kepala Perdikan
Wonomarto, Kabupaten Mojokerto,
dan Ni Centhini, pelayan setianya.
Setelah dinikahkan, selama
40 hari siang dan malam Syekh
Amongraga memberikan wejangan
terus-menerus tentang falsafah
agama Islam kepada istrinya,
Tambangraras. Selama itu pula
Centhini ikut mendengarkan
dengan penuh perhatian segala
wejangan Amongraga. Karena
itu pustaka ini lalu dinamai Serat
Centhini. Nama Centhini lebih
mudah diucapkan daripada nama
Tambangraras (Munarsih, 2005).
Kisahnya dituangkan dalam rupa
puisi Jawa, tepatnya dirangkai
dalam berbagai tembang macapat
dan tengahan. Disebutkan, ke-12
jilid Serat Centhini itu memuat
798 pupuh (semacam bab tapi tidak
persis demikian). “Satu pupuh bisa
terdiri atas sekian pada (bait). Ada
yang 10, 15, 17, bahkan ada yang
sampai ratusan pada,” kata Mbah
Joyo (80), panggilan akrab Joyo
Sumarto, sesepuh Rumah Budaya
Tembi, yang setiap selapanan (35
hari) tampil memimpin pergelaran
tembang macapat yang diambil dari
Serat Centhini di rumah budaya itu.
Tim penulis Serat Centhini yang
dipimpin sendiri oleh KGPAA
Amengkunegara melibatkan tiga
orang punggawa keraton yang
berurusan dengan tulis-menulis
(kepujanggaan), yaitu Kyai Ngabehi
Rangga Sutrasna, Kyai Ngabehi
Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi
Dalam Centhini ada salah satu
sambal bernama sambel gocek
alias cabe rawit yang dipegang
oleh tangan.
FOTO:
TANUSHREE_RAO_UNSPLASH
SOROTAN
74
OKTOBER2022
Mutiara Kata
“Bagaimana saya akan hidup hari ini untuk menciptakan
hari esok yang menjadi komitmen saya?”
-Anthony Robbins, Penulis dari Amerika Serikat
Sastradipura. Rangga Sutrasna
diminta menjelajahi separuh tanah
Jawa sebelah timur (Surakarta
- Banyuwangi), sedangkan
Yasadipura II diutus merambah
separuh tanah Jawa sebelah barat,
mulai Surakarta sampai Anyer.
Sedangkan Sastradipura, pencinta
bahasa Arab dan ilmu keislaman,
ditugaskan naik haji dan tinggal
di Mekah untuk memperdalam
pengetahuan tentang Islam.
Nah, saat menjelajah tanah Jawa,
kedua penulis yang ditugaskan itu
singgah di berbagai tempat dan
bertemu dengan berbagai tokoh
atau orang. “Setiap kali singgah,
mereka dijamu bermacam jenis
makanan maupun minuman di
sejumlah tempat,” kata Suwandi.
Lalu, menurut Suwandi yang juga
salah satu punggawa Yayasan
Tembi, data berbagai jenis makanan
dan minuman itu kemudian dipakai
sebagai bahan cerita dalam Serat
Centhini.
Tempe yang dibuat pada masa
Serat Centhini ditulis diduga adalah
tempe yang terbuat dari kedelai
hitam, mengingat kedelai kuning
belum ada di Pulau Jawa
SeratCenthini,SumberMasakanJawa
75
OKTOBER2022
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf
majalah INTISARI 202210.pdf

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

1. Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx
1.  Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx1.  Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx
1. Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx
IAARD/Bogor, Indonesia
 
BAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdf
BAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdfBAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdf
BAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdf
LamatokanAryes2
 
Masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
Masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde BaruMasa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
Masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
Kiki Evi Wahyuliana
 
SMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budi
SMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budiSMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budi
SMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budi
sekolah maya
 
Bab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baru
Bab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baruBab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baru
Bab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baru
Dini Rohmah
 

Mais procurados (20)

Dampak kebijakan pemerintah pada Masa Orde Baru
Dampak kebijakan pemerintah pada Masa Orde Baru Dampak kebijakan pemerintah pada Masa Orde Baru
Dampak kebijakan pemerintah pada Masa Orde Baru
 
1. Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx
1.  Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx1.  Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx
1. Format Penulisan Buku Bungarampai 26 Juli 2022.pptx
 
BAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdf
BAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdfBAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdf
BAB 5 Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia.pdf
 
Analisis PUISI
Analisis PUISIAnalisis PUISI
Analisis PUISI
 
Republik Maluku Selatan
Republik Maluku SelatanRepublik Maluku Selatan
Republik Maluku Selatan
 
Masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
Masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde BaruMasa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
Masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
 
Kliping proklamasi kemerdekaan
Kliping proklamasi kemerdekaanKliping proklamasi kemerdekaan
Kliping proklamasi kemerdekaan
 
SMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budi
SMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budiSMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budi
SMK-MAK kelas10 smk seni musik non klasik budi
 
Analisis kesalahan berbahasa tataran fonologi
Analisis kesalahan berbahasa tataran fonologiAnalisis kesalahan berbahasa tataran fonologi
Analisis kesalahan berbahasa tataran fonologi
 
Biografi bung tomo
Biografi bung tomoBiografi bung tomo
Biografi bung tomo
 
Ppt sejarah
Ppt sejarahPpt sejarah
Ppt sejarah
 
Bab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baru
Bab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baruBab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baru
Bab ii pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin ke orde baru
 
Bahasa indonesia - alur (plot)
Bahasa indonesia - alur (plot)Bahasa indonesia - alur (plot)
Bahasa indonesia - alur (plot)
 
West papua tabloid 2nd Edition
West papua tabloid 2nd Edition West papua tabloid 2nd Edition
West papua tabloid 2nd Edition
 
Teks Berita ( Bahasa Indonesia )
Teks Berita ( Bahasa Indonesia )Teks Berita ( Bahasa Indonesia )
Teks Berita ( Bahasa Indonesia )
 
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY. “W” DENGAN ASFI...
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY. “W” DENGAN ASFI...MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY. “W” DENGAN ASFI...
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY. “W” DENGAN ASFI...
 
Masa orde lama periode tahun 1959 1966
Masa orde lama periode tahun 1959 1966Masa orde lama periode tahun 1959 1966
Masa orde lama periode tahun 1959 1966
 
Sejarah organisasi pemuda
Sejarah organisasi pemuda Sejarah organisasi pemuda
Sejarah organisasi pemuda
 
Panduan penilaian ppk
Panduan penilaian ppkPanduan penilaian ppk
Panduan penilaian ppk
 
MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PERIODE 2009 – 2014 DAN PEMERINTAH...
MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PERIODE 2009 – 2014 DAN PEMERINTAH...MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PERIODE 2009 – 2014 DAN PEMERINTAH...
MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PERIODE 2009 – 2014 DAN PEMERINTAH...
 

Semelhante a majalah INTISARI 202210.pdf

02-23-TIMES-2015-compatible
02-23-TIMES-2015-compatible02-23-TIMES-2015-compatible
02-23-TIMES-2015-compatible
alinda21
 
02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatible02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatible
alinda21
 
02-22-TIMES-2015-compatible
02-22-TIMES-2015-compatible02-22-TIMES-2015-compatible
02-22-TIMES-2015-compatible
alinda21
 
suara karya sabtu 25 April 2015
suara karya sabtu 25 April 2015suara karya sabtu 25 April 2015
suara karya sabtu 25 April 2015
suarakarya
 

Semelhante a majalah INTISARI 202210.pdf (18)

02-23-TIMES-2015-compatible
02-23-TIMES-2015-compatible02-23-TIMES-2015-compatible
02-23-TIMES-2015-compatible
 
Portofolio Trie Marnita Purba
Portofolio Trie Marnita PurbaPortofolio Trie Marnita Purba
Portofolio Trie Marnita Purba
 
02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatible02-30-TIMES-2015-compatible
02-30-TIMES-2015-compatible
 
02-22-TIMES-2015-compatible
02-22-TIMES-2015-compatible02-22-TIMES-2015-compatible
02-22-TIMES-2015-compatible
 
Tropika
TropikaTropika
Tropika
 
suara karya sabtu 25 April 2015
suara karya sabtu 25 April 2015suara karya sabtu 25 April 2015
suara karya sabtu 25 April 2015
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
 
Edisi 3
Edisi 3Edisi 3
Edisi 3
 
Selamatkan kretek
Selamatkan kretekSelamatkan kretek
Selamatkan kretek
 
LOLOS PROPOSAL UTY CEL COMPETITION (WIRAUSAHA MUDA)
LOLOS PROPOSAL UTY CEL COMPETITION (WIRAUSAHA MUDA)LOLOS PROPOSAL UTY CEL COMPETITION (WIRAUSAHA MUDA)
LOLOS PROPOSAL UTY CEL COMPETITION (WIRAUSAHA MUDA)
 
Company profile legend tren
Company profile legend trenCompany profile legend tren
Company profile legend tren
 
Company profile legend tren
Company profile legend trenCompany profile legend tren
Company profile legend tren
 
Tabloid reformata edisi 142 agustus 2011
Tabloid reformata edisi 142 agustus 2011Tabloid reformata edisi 142 agustus 2011
Tabloid reformata edisi 142 agustus 2011
 
Selasar Edisi 06
Selasar Edisi 06Selasar Edisi 06
Selasar Edisi 06
 
T3 s1p4
T3 s1p4T3 s1p4
T3 s1p4
 
Tabloid reformata edisi 136 february 2011
Tabloid reformata edisi 136 february 2011Tabloid reformata edisi 136 february 2011
Tabloid reformata edisi 136 february 2011
 
Dodol pisang nangka
Dodol pisang nangkaDodol pisang nangka
Dodol pisang nangka
 
Rpp Kelas VI SD
Rpp Kelas VI SDRpp Kelas VI SD
Rpp Kelas VI SD
 

majalah INTISARI 202210.pdf

  • 1. Oktober 2022 www.intisari-online.com Tempe Yang Tak Melulu Dari Kedelai 8 Menelusuri jejak masakan di Serat Centhini 38 Rp 25.000,-/ Rp 26.000,- (Luar Jawa) I N T M 2 2 1 0 0 1 4 Sehat 5 Sempurna, Semboyan Lama Tapi Berguna 102 Menengok kembali sejarah bangsa dari perjalanan budaya kulinernya KULINER NUSANTARA MELINTASMASA H i s t o r i . Biografi . T r a d i s i ME-1I
  • 2.
  • 3. DARIKAMI Mahandis Yoanata Thamrin Editor in Chief “ Weteng ngelih, pikiran ngalih,” kata orang Jawa. Artinya kira-kira begini, perut lapar bisa bikin pikiran terlempar. Dari zaman klasik sampai zaman ki- wari, urusan perut selalu menjadi salah satu indikator utama kemak- muran. Dalam sejarah, urusan pe- rut bisa berujung urusan politik. Ternyata kita memiliki sede- ret manuskrip dan prasasti yang berkisah tentang upaya orang- orang Mataram kuno hingga Maja- pahit menjaga kemandirian dan kemelimpahan pangan. Salah satunya tentang prasasti Panggumulan yang berasal dari ta- hun 902. Terkait upaya pemuliaan pangan, prasasti ini menyebutkan pejabat-pejabat yang menjaga lumbung padi, dan pejabat yang mengurusi perberasan. Pada zaman berikutnya, ada kitab hukum yang mengatur segala urusan dari soal pangan sampai korupsi. Raja Hayam Wuruk, yang bertakhta di Majapahit pada abad ke-14, memiliki hukuman tegas untuk pencurian bahan pa- ngan—seperti kitab hukum Kutara Manawa. Saya pernah mengudap pisang kencana di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Sang peracik meng- adopsi menu-menu cita rasa Jawa dari Suluk Tambangraras—atau Serat Centhini—yang digubah pada awal abad ke-19. Apakah pisang kencana ini sama racikannya dengan pisang kencana pada masa karya sastra itu digubah? Pertanyaan itu tidak begitu penting buat saya. Namun, sajian ini telah menggugah ke- ingintahuan pencicipnya tentang apa itu kisah Serat Centhini. Barangkali, kegemaran wisata kuliner kita selama ini tidak didu- kung pengetahuan soal sejarah pangan Nusantara. Kuliner telah tumbuh menjadi sebuah industri wisata yang menjalar-jalar. Ironis- nya, pada saat bersamaan kita ke- hilangan kedaulatan pangan. Kita hidup kenyang, tetapi makanan kita tidak memakmurkan. Bagi saya, menyusuri sejarah kuliner sungguh menarik karena rasa memiliki ikatan panjang dengan geografis—dan rasa ter- bentuk karena pengalaman. Dari pangan pula kita bisa berkenalan dengan cerita histori kota. 3 OKTOBER2022 CERITAKEDAULATAN PANGANNUSANTARA
  • 4. Founders P.K Ojong (1920-1980), Jakob Oetama (1931-2020) Group Director Dahlan Dahi Deputy Group Director Harry Kristianto Group Editorial Director Didi Kaspi Kasim Editorial Office Gedung Gridnetwork Perkantoran Kompas Gramedia Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270 Phone: (021) 5309699/ 5369799 Faks: (021) 5320607 E-mail: intisari@gridnetwork.id Advertising Gedung Gridnetwork Perkantoran Kompas Gramedia Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270 Phone: (021) 5309699/ 5369799 E-mail: iklangrid@gridnetwork.id Marketing Communication Gedung Gridnetwork Perkantoran Kompas Gramedia Jl. Gelora VII RT. 2 RW. 2 Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 10270 Phone: (021) 5309699/ 5369799 E-mail: marcomm@gridnetwork.id Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi majalah ini tanpa izin tertulis dari Intisari. Intisari berhak mengumumkan dan memperbanyak tanpa perlu persetujuan/izin penulis, fotografer, dan ilustrator, termasuk mengalihwujudkan kembali dalam format digital atau nondigital yang merupakan bagian dari majalah Intisari. Brand Director Agung Wibawanto Video Business Development & Partnership Director Fitriana S. Pangaribuan Strategic Audience Analysis Director Asti Krismardiyanti Account Director Kurnyawati Account Manager Adisty Sugiharianti Account Executive Hardiansyah, Hasan Kholilurrachman Marketing Director Marisa Thara W. Marketing Manager Dinda Adiasa Marketing Executive Hestia Melani Melano, M. Essa Luthfani Marketing Communication Director Rizky Latanza Marketing Communication Executive Ferinnadya Annisa Putri Editor in Chief Mahandis Yoanata Thamrin Editor Thomas Tjahjo Widyasmoro Editorial Team Yds. Agus Surono, A.S. Rimbawana Visual Editor Heri Cahyadi Graphic Designer Maha Sulthan Dwi Indra Cartographer Warsono Intisari Online Yoyok Prima Maulana (Managing Editor), Ade Sulaeman (Editor), Adrie P. Saputra Afif Khoirul M, K. Tatik Wardayati M. Habib Asyhad, Mentari Desiani Pramudita Muflika Nur Fauddah, Tatik Ariyani Editorial Secretary Elli Sihotang Editorial Publishing Desain Sampul Maha Sulthan Dwi Indra Foto sampul Potret penjual sate dengan pikolan dan pelanggannya. Foto diambil tahun 1880. Sumber: KITLV Business 4 OKTOBER2022 BERANDA
  • 5. Sampaikan komentar Anda ke: M Q H E D @IntisariOnline intisari.grid.id DIALOG Edisi September 2022 Yap Thiam Hien, Idealisme Dan Profesionalitas Artikel di Intisari edisi September 2022 berjudul “Yap Thiem Hien, Pembela Orang- orang Yang Membenci Kaumnya”, sungguh sangat menarik. Sayangnya memang pembahasan tentang Pak Yap ini masih sangat kurang dan tidak menggambarkan keseluruhan perjuangan beliau semasa hidup. Mungkin sebagian dari kita pernah ingat bagaimana Yap Thiam Hien begitu gigih membela klien- klien yang berasal dari golongan garis keras atau saat ini sering diistilahkan sebagai gerakan radikal. Padahal selama ini stigma terhadap golongan tersebut adalah tidak menghargai toleransi. Di sinilah Pak Yap dengan segala kebesaran hati menunjukkan idealisme dan profesionalitasnya. Saat ini rasanya tak banyak orang-orang yang meneruskan jejak Pak Yap, terutama di bidang penegakan hukum. Sangat disayangkan karena justru di masa-masa keutuhan berbangsa terancam oleh kepentingan politik sesaat, kita membutuhkannya. Yusuf Suhartoyo, ucup.toyohar@ … com 5 OKTOBER2022
  • 6. 8/SOROTAN Menempe yang Tidak Melulu Pakai Kedelai 24/SOROTAN Pecel, Cita Rasa Segala Strata dan Masa 38/ SOROTAN Pengetahuan Cita Rasa Jawa dari Serat Centhini 52/SOROTAN Terlena Gandum, Padahal Punya Sorgum 64/SOROTAN Serat Centhini, Sumber Masakan Jawa 78/SOROTAN Leuit dan Mitigasi Pangan Kesepuhan Ciptagelar DAFTARISI 8 MENEMPE YANGTIDAKMELULU PAKAIKEDELAI 6 OKTOBER2022
  • 7. 88/SOROTAN Sekolah Pagesangan, Pendidikan Berbasis Budaya dan Pangan Lokal 102/SOROTAN 4 Sehat 5 Sempurna, Mengoreksi Politik Pangan dari Zaman ke Zaman 78 38 Khas 05/DIALOG 114/LENTERA 100/BULAN INI DALAM SEJARAH 7 OKTOBER2022
  • 9. Sering dipandang sebelah mata sebagai makanan rakyat biasa, tempe justru terbukti mampu bertahan hingga ratusan tahun di dalam menu makan harian sebagian orang Indonesia. Inilah makanan asli Nusantara yang menjadi wakil di dunia. T. Tjahjo Widyasmoro Editor Intisari 9 OKTOBER2022
  • 10. Bagi Soekarno, tempe jelas tidak buruk. Justru tempe adalah salah satu makanan favoritnya, seperti ditulis dalam Fatmawati:CatatanKecil BersamaBungKarno. Fakta ini juga disinggung dalam Hariyatie-Soekarno: TheHiddenStory:Hari HariBersamaBungKarno, 19631967. Istri keenam Soekarno itu bahkan secara spesifik menyebut tempe kesukaan suaminya adalah tempe bacem. “K ita bangsa besar, kita bukan “bangsa tempe”, kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak...” Begitulah kata-kata menggelegar dari Soekarno, presiden pertama RI, dalam pidatonya pada acara peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1963 di Jakarta. “Genta Suara Revolusi Indonesia”, begitu judulnya, kemudian menjadi salah satu pidato yang begitu terkenal. Bukan hanya karena Soekarno mencoba memompakan semangat nasionalisme Indonesia di tengah gejolak politik dunia. Namun seperti halnya dalam pidato-pidato lainnya, Soekarno meninggalkan beberapa ungkapan yang populer. Salah satu ungkapan yang masih sering dikenang adalah saat Soekarno menyebut agar bangsa kita tidak menjadi “bangsa tempe”. Jangan “bermental tempe”. Tidak tanggung-tanggung, nama makanan dari fermentasi kedelai itu disebut sampai tujuh kali selama pidato di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta itu. Jika kita mau memahami konteksnya, Soekarno agaknya mengartikan tempe sebagai sesuatu yang lemah dan loyo. Paling tidak begitu interpretasi Heri Priyatmoko, dosen sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. “Bukan berarti tempe itu buruk, tapi diidentikkan dengan tempe itu lembek,” ucap Heri seperti dikutip dari CNNIndonesia. com (5/1/2021). Bagi Soekarno, tempe jelas tidak buruk. Justru tempe adalah salah satu makanan favoritnya, seperti ditulis dalam Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Fakta ini juga disinggung dalam Hariyatie- SOROTAN 10 OKTOBER2022
  • 11. FOTO-FOTO: ARSIP DAN KOLEKSI DARI @TEMPE_BAIK Kedelai kuning yang biasa dijadikan sebagai bahan baku tempe awalnya dibawa oleh para perantau Tionghoa untuk dijadikan tahu Soekarno: The Hidden Story: Hari Hari Bersama Bung Karno, 1963 1967. Istri keenam Soekarno itu bahkan secara spesifik menyebut tempe kesukaan suaminya adalah tempe bacem. Dari limbah tahu Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jawa, tentu sangat mungkin tempe menjadi makanan yang sudah diakrabi Soekarno sejak belia. Jejak historis menjelaskan, tempe sudah menjadi salah satu menu harian masyarakat Pulau Jawa sejak abad ke-16, bahkan mungkin lebih awal lagi. Dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, Mary Astuti menulis, tanaman kedelai (sebagai bahan baku tempe) setidaknya sudah disinggung dalam legenda Sri Tanjung yang ditulis pada abad ke- 13. Sementara kedelai dan tempe secara khusus ada dalam Serat Centhini yang dibuat pada 1814 oleh Pakubuwana V. Dalam Serat Centhini jilid ketiga, digambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang. Ia mampir di dusun Tembayat di wilayah Kabupaten 11 OKTOBER2022
  • 12. TEMPESANAN,TEMPEYANGMENGHIDUPI Bukan cuma menjadi makanan rakyat, tempe juga terbukti dapat menghidupkan perekonomian rakyat bahkan sejak lebih dari 100 tahun silam. Inilah yang terjadi di Kampung Sanan, Malang, Jawa Timur. Sejak awal abad ke-20, kampung ini dikenal sebagai tempat para pengrajin tempe Sanan atau tempe Malang. Sejarah tempe Sanan berawal dari Mbah Buyut Chabibah yang pada abad ke-19 mengawali usaha produksi tempe. Keahlian ini rupanya diikuti para tetangga dan turun temurun, hingga kini lebih dari 95 persen penghuni Kampung Sanan hidup dari usaha tempe. Jumlahnya saat ini diperkirakan sekitar 2.000 KK yang terdiri atas 500 UMKM. Tempe Sanan semakin dikenal luas setelah tahun 1970-an produk warga berkembang menjadi camilan keripik tempe. Tempe yang dipotong tipis-tipis ini populer sebagai camilan serta buah tangan para wisatawan yang berkunjung ke Malang. Produk tempe dari Sanan terus berkembang, bahkan sebelum Pandemi Covid-19 total jumlah kedelai yang diolah sudah mencapai 40 ton per hari dengan perputaran uang mencapai hampir Rp1 milyar per hari. Keberadaan tempe Sanan Para pembuat tempe dari Kampung Sanan di Malang. Sudah lebih dari 100 tahun menghidupi warga setempat. SOROTAN 12 OKTOBER2022
  • 13. Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …”. Sambal lethok adalah masakan berbahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Bahkan pada jilid 12, kedelai dan tempe disebut bersamaan: “… kadhele tempe srundengan…” Menyelisik keberadaan tempe, jelas tidak akan lepas dari bahan baku utamanya yang paling lazim dikenal orang yaitu kacang kedelai. Hanya saja karena tanaman bernama Latin phaseolus niger itu bukan asli Nusantara, para ahli berbeda pandangan tentang awal mula pembudidayaannya. Kedelai sendiri sudah dikenal di Asia Timur sejak 3.500 tahun lalu. Hanya saja tidak disebutkan jenisnya kedelai hitam atau kuning. Meski mengetahui asal-muasal kedelai adalah Tiongkok, Mary tidak melihat catatan tentang perdagangan komoditas itu di Jawa. Artinya, kedelai yang dipakai pada pembuatan tempe generasi awal adalah kedelai hitam. Kata dele sendiri dalam bahasa Jawa zaman dulu artinya hitam. “Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di Jawa sebelum orang Hindu datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil,” tulis Mary yang pernah mengajar di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. WARGA inilah yang membuat tim Character Building Universitas Bina Nusantara Kampus Malang sedang mengupayakan agar Kampung Sanan tercatat dalam Warisan Budaya Tak Benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tempe Sanan diusulkan bersama beberapa peninggalan budaya lain dari Malang yaitu keramik Dinoyo, camilan ladu, tradisi jabutan opak, gendhing dayangan, dan ritual metri banyu. Tim dari Binus Malang bekerja sejak awal 2022 untuk mendokumentasikan peninggalan- peninggalan budaya tersebut dalam bentuk video, foto, serta makalah. “Syarat pengajuan ke Kemendibud adalah tiga hal itu. Saat ini kami sedang dalam tahap penyusunan makalah,” terang Yuventia Prisca, koordinator dari tim yang beranggotakan 4 dosen dan 24 mahasiswa. Salah satu temuan menarik dari tim di Kampung Sanan adalah pengelolaan limbah dari para pengrajin tempe. Limbah kulit ari kedelai bisa diolah menjadi tepung untuk campuran pembuatan kue brownies. Sedangkan limbah air dari pencucian kedelai dimanfaatkan untuk keperluan ternak sapi. Limbah kotoran ternak juga dimanfaatkan untuk biogas yang membantu produksi tempe. 13 OKTOBER2022 MenempeyangTidakMeluluPakaiKedelai
  • 14. FOTO: KOLEKSI PRIBADI WIDA WINARNO Perlu dipahami juga, tempe sebenarnya tidak harus dibuat dari kedelai kuning yang baru belakangan datang atau sekitar abad ke-17. Kedelai hitam yang sudah ada Jawa sebelumnya, kalau sudah direndam dan dikupas, warnanya akan kuning juga. Warna hitam itu sebenarnya cuma kulit ari saja. Ong Hok Ham dalam “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000 melontarkan hipotesis menarik yang mengaitkan tempe dengan keberadaan tahu hasil produksi orang-orang Tionghoa. Tahu yang berbahan kedelai kuning dibawa merantau para Hoakiau ke Jawa sejak abad ke-17. Dari limbah kedelai itulah dihasilkan pula tempe. Ong berpendapat, seni memasak ini sesungguhnya tidak terpisahkan dari kondisi kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan kala itu. Akibat kenaikan jumlah penduduk, maka pada abad ke-19 menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Selain itu, masih penuturan Ong, meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang Jawa akhirnya tanpa daging. Diperparah lagi adanya Tanam Paksa yang makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk. Asli Jawa Sebagai pakar yang menggeluti tempe selama 10 tahun, Wida Winarno, tidak sependapat jika tempe dikatakan berasal dari limbah tahu. Sebab sari kedelai dalam limbah tahu sudah diambil untuk dikoagulasi dan kacangnya juga sudah hancur. Beda dengan tempe yang kedelainya masih utuh. Wida Winarno SOROTAN 14 OKTOBER2022
  • 15. Tempe kedelai hitam. Pada awalnya pembuatan tempe diduga menggunakan kedelai hitam yang sudah dibudidayakan lebih awal di Jawa. Kedelai ini diperkirakan dibawa oleh para pedagang Tamil. Wida menduga, pendapat semacam itu berasal dari keberadaan tempe gembus yang berasal dari limbah tahu. Sama halnya dengan tempe gembus dari limbah kacang tanah atau tempe bongkrek dari limbah kelapa yang kini sudah tidak populer karena beracun. Perlu dipahami juga, tempe sebenarnya tidak harus dibuat dari kedelai kuning yang baru belakangan datang atau sekitar abad ke-17. Kedelai hitam yang sudah ada Jawa sebelumnya, kalau sudah direndam dan dikupas, warnanya akan kuning juga. Warna hitam itu sebenarnya cuma kulit ari saja. “Kecuali kalau cucinya tidak terlalu bersih dan kulit ari disertakan, baru akan terlihat kurang cerah,” tutur salah satu pendiri Indonesian Tempe Movement, yaitu suatu gerakan untuk memperkenalkan tempe secara lebih luas ini. Dalam menu keseharian kita hari ini antara tempe dan tahu keberadaannya kerap disandingkan karena kesamaan bahan baku. 15 OKTOBER2022
  • 16. Tempe eksperimen dari berbagai kacang-kacangan seperti kacang kedelai, kacang tanah, kedelai hitam, kacang koro, kacang ijo Padahal kalau mau dilihat sejarahnya, asal muasal keduanya sangat berbeda. Jika tahu jelas-jelas dibawa oleh imigran Tiongkok, Wida hakulyakin kalau tempe memang asli warisan nenek moyang kita, terutama di Jawa. Sejauh ini bukti keberadaan tempe di masa lalu memang selalu merujuk kepada Serat Centhini yang mencatat kehidupan masyarakat Jawa sekitar abad 16. Artinya selama sekitar 200 tahun sampai akhirnya karya sastra klasik Jawa itu diterbitkan (tahun 1814), tempe sudah menjadi makanan sehari- hari. Sampai hari ini Wida belum menemukan literatur lain yang mencatat lebih awal dari Centhini. Dari catatan di Centhini itu juga Wida bisa menolak anggapan kalau tempe identik dengan makanan masyarakat kelas bawah. Terbukti dalam cerita di Centhini, tempe disajikan kepada bangsawan yang bertamu. Sementara dalam tradisi di Jawa, tuan rumah selalu berusaha menyuguhkan yang terbaik untuk tetamunya. Tempe begitu populer di kalangan rakyat, karena dalam pemahaman Wida, pada masa kolonial, kaum pribumi umumnya jarang mengonsumsi daging SOROTAN 16 OKTOBER2022
  • 17. hewan seperti sapi. Munculnya peternakan-peternakan sapi di kemudian hari tentu berhubungan dengan pola makan orang Eropa kala itu. Nah, dari situlah akhirnya muncul pula anggapan sebagian orang bahwa makan daging lebih bergengsi. Sementara tempe jadi makanan rakyat yang dianggap lebih murah dan sederhana. Padahal faktanya tidak selalu hitam-putih. Tempe mampu terus bertahan karena cara pengolahannya yang gampang. Gampang dibumbui karena sifatnya yang berongga. Sementara di masa lalu daging relatif susah mengolahnya, terutama karena alot. Secara gizi, keberadaan tempe juga lebih menguntungkan karena mampu memenuhi kebutuhan protein masyarakat kala itu. “Malah tidak berlebihan kalau dikatakan nilai protein tempe ini justru bisa melebihi daging,” tutur Wida yang selalu mengacu pada jurnal-jurnal ilmiah jika berbicara tentang tempe. Jadi kata kerja Muncul di Pulau Jawa dan berabad-abad menjadi menu harian, membuat tempe kedelai seolah menjadi identik dengan budaya kuliner suku Jawa. Pada akhirnya makanan rakyat ini memang menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, namun awalnya tetap mengikuti populasi orang Jawa setempat. Resep-resep masakan berbahan tempe juga kebanyakan masih resep yang berasal dari Jawa. Menariknya, bukan hanya tersebar, proses fermentasi dari jamur Rhyzopus oligosporus terhadap kacang-kacangan ini juga terus berkembang. Tempe tidak hanya sebatas terbuat dari kacang kedelai. Puluhan jenis kacang- kacangan lain juga layak dan enak ditempekan. Sebut saja misalnya kacang hijau, kacang tanah, kacang koro pedang, kacang almond, kacang tolo, kacang edamame, dll. Perkembangan inilah akhirnya membuat orang paham, pada prinsipnya kacang-kacangan apapun bisa di-tempe-kan tergantung ketersediaannya di daerah setempat. Soalnya adalah tinggal bagaimana kacang tersebut bisa disukai ragi. “Karena tempe itu pada intinya adalah ‘beternak’ ragi atau jamur. Jadi kita makan kacangnya sekaligus badan dari ragi itu,” tutur Wida yang menginisiasi Indonesian Tempe Movement pada 2015 bersama ayahnya (Prof. F.G. Winarno) dan putranya (Dr. Amadeus Driando Ahnan). Kenyataan ini pula yang membuat Indonesia Tempe Movement berpandangan bahwa tempe bukan lagi kata benda, melainkan kata kerja (menempe) yakni proses membuat tempe MenempeyangTidakMeluluPakaiKedelai 17 OKTOBER2022
  • 18. Tempe dari kacang almond, salah satu alternatif tempe yang cukup populer dari berbagai bahan. Wida sendiri sampai tidak bisa mengingat berapa pastinya kacang-kacangan yang sudah berhasil ditempekan. Bukan saja dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri. Beberapa waktu lalu misalnya, Wida mendapat tantangan untuk menempekan beberapa kacang- kacangan dari Ekuador yang dibawa seorang pembuat tempe dari negara itu. Beruntung kacang- kacangan itu adalah jenis kacang yang lazim dikonsumsi, sehingga semua berhasil ditempekan. Dengan kekayaan biodiversitasnya, Indonesia tentu punya banyak potensi kacang-kacangan. Sayangnya belum “ditaklukkan”. Perlu pengujian lebih lanjut agar sukses ditempekan. Maklum, beda bahan beda pula metodenya, mengingat proses penempean sangat tergantung pada kadar air, keasaman, temperatur, suhu, atau oksigen. Tempe juga terbukti bisa menjadi solusi kelangkaan sumber protein suatu daerah. Contoh di suatu wilayah di Maluku, ada waktu-waktu tertentu di mana nelayan tidak bisa melaut lantaran kendala cuaca. Kebutuhan protein masyarakat bisa dipenuhi dari tempe kacang merah dan kedelai lokal yang banyak di daerah setempat. “Kacang merah itu besar, tidak punya kulit ari, tapi mudah menyerap air dan blenyek. Jadi kadar air harus dikurangi. SOROTAN 18 OKTOBER2022
  • 19. Mutiara Kata “Dua jalan bercabang di hutan, dan aku mengambil jalan yang jarang dilalui, dan itu membuat semua perbedaan” –Robert Frost, Sastrawan Amerika Serikat (1874-1963) Rebusnya jangan lama-lama,” tutur Wida mencontohkan salah satu upaya Indonesian Tempe Movement memberi nilai tambah pada kacang-kacangan lokal. Lebih enak tangan suami Keyakinan bahwa tempe adalah makanan asli Indonesia menurut Wida juga bisa terbukti dari tidak adanya makanan fermentasi lain di dunia yang prosesnya mirip tempe. Orang mungkin akan mengatakan natto, makanan fermentasi kedelai asal Jepang yang biasa untuk sarapan. “Tapi natto itu starternya berbeda,” jelas Wida. Sudah dimulai sejak 1895 sejak artikel yang ditulis oleh H.C. Prinsen Geerligs, ahli kimia berkebangsaan Belanda di Jawa, berbagai penelitian tentang tempe terus dilakukan sampai hari ini di berbagai tempat di dunia. Banyak yang bisa diteliti, seperti misalnya perbedaan kacang-kacangan dengan manfaat kesehatannya. Bisa pula tentang cara mempercepat proses fermentasinya. Atau dari sisi produk lanjutannya seperti diekstrak antioksidannya, minyak tempe, atau untuk keperluan kecantikan. Di luar dari penelitian yang sifatnya ilmiah, Wida justru merasakan bahwa mengolah tempe mirip seperti sebuah seni tersendiri. Bisa jadi karena dalam proses penempean, kita sebenarnya sedang bekerja bersama mikroorganisme yang hidup. Proses penempean bisa saja gagal jika air untuk merendam ternyata tidak cocok, ada gangguan bahan-bahan kimia tertentu di sekitar, bahkan jika ruangan yang ternyata terlalu steril. Sensitif sekali. “Tempe yang coba dibuat di laboratorium sering gagal, karena terlalu steril,” ungkap Wida. Faktor terakhir yang mungkin sulit dijelaskan, menurut Wida, ternyata faktor tangan si pembuat bisa berpengaruh. Contohnya, tempe buatan tangan suaminya lebih terasa enak dibanding hasil olahan Wida sendiri. “Rasa enak itu kan karena asam amino yang tersusun. Asalnya dari mana? Apa karena faktor keringat dari tangan si pembuatnya?” Wida sendiri hanya bisa menduga-duga. MenempeyangTidakMeluluPakaiKedelai 19 OKTOBER2022
  • 20. 1815 Referensi paling awal tentang tempe ditemukan di naskah Serat Centhini. Kisah dalam naskah terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) jadi mungkin tempe sudah ada di Jawa awal 1600-an. 1875 Referensi tempe paling awal yang diketahui oleh orang Eropa muncul di Javaansch-Nederduitsch Handwoordenboek, oleh J.F.C. Gericke dan T. Roorda. 1895dan1896 Dua artikel yang ditulis H.C. Prinsen Geerligs (warga Belanda yang tinggal di Jawa) mengawali era penelitian ilmiah tentang tempe oleh ahli mikrobiologi Eropa dan para ilmuwan makanan. Artikel inilah yang pertama kali mengeja kata tempeh. 1900 Dr. P.A. Boorsma, warga Belanda di Jawa, melakukan tes laboratorium dan menerbitkan detail tentang proses tradisional Indonesia untuk membuat tempe kedelai. Desember1946 Gerold Stahel, direktur Stasiun Percobaan Pertanian di Paramaribo, Suriname,menulis artikel tempe berbahasa Inggris pertama kali. Artikel ini sekaligus yang paling awal diterbitkan di Amerika Serikat melalui Journal of the New York Botanical Garden. 1944 Dr. Masahiro Nakano, murid dari Nakazawa, memperkenalkan tempe ke Jepang. Dia juga menulis banyak artikel. INFOGRAFIS 20 OKTOBER2022
  • 21. 1902 Resep tempe paling awal yang dikenal di Barat terbit dalam buku masak berbahasa Belanda Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek oleh Johanna Catenius van der Meidjen. 1912 Dr. Ryoji Nakazawa, ahli mikrobiologi, orang Jepang pertama yang mempelajari tempe di Taiwan. Sampel tempe dan oncom dibawa dari Asia Tenggara. Baru pada 1926 ia sempat ke Jawa dan Sumatra untuk mengumpulkan 22 sampel tempe kedelai dan oncom. KIPRAHTEMPE DIPENTAS DUNIA 1931 Informasi bahasa Inggris pertama tentang tempe muncul di Vagetables of the Dutch East Indies, oleh J.J. Ochse (hal. 391). Proses pembuatannya digambarkan detail dan dikatakan jamur yang digunakan adalah Aspergillus oryzae. April1946 Perusahaan pembuat tempe pertama di Eropa yakni Eerste Nederlandse Tempe Industrie (ENTI), didirikan pasangan asal Belanda dengan nama belakang Wedding. Namun informasinya tidak terlalu jelas. SUMBER: HISTORY OF TEMPEH AND TEMPEH PRODUCTS, SOYINFO CENTER 2022 KiprahTempediPentasDunia 21 OKTOBER2022
  • 22. Agustus1980 Island Spring (di Vashon, Washington) memperkenalkan “Burger Tempe” komersial pertama di dunia. Juni1979 Farm Foods (di Lanark, Ontario, Kanada) mulai membuat dan menjual tempe. Pembuatnya, Susan dan Alan Brown yang belajar dari The Farm di Summertown, Tennessee. 1950 Van Veen dan Schaefer adalah orang pertama yang mengeja kata “tempe” dalam artikel berbahasa Inggris. Sengaja ditambahkan huruf “h” untuk mencegah kata diucapkan “temp.” 1958 Penelitian ilmiah tentang tempe di Amerika Serikat dimulai oleh Bwee Hwa YAP dari Indonesia yang bekerja dengan Dr. Keith H. Steinkraus, ahli mikrobiologi terkemuka di Cornell University, New York. INFOGRAFIS 22 OKTOBER2022
  • 23. Awal1979 Setidaknya ada 13 toko tempe komersial di Amerika Serikat, 1 di Kanada, dan 4 di Eropa (semuanya di Belanda) (Shurtleff & Aoyagi 1979, hlm. 148-149) 1969Juni Wang, Ruttle dan Hesseltine pertama kali menemukan senyawa antibakteri dalam tempe yang dibuat dari kultur jamur. 1961 Toko tempe pertama di Amerika Utara, Joy of Java Tempe, dibuka oleh Mary Otten di Albany California. Toko lain menyusul di Los Angeles pada 1962. Mei1964 Penggunaan kantong dan tabung plastik berlubang untuk wadah fermentasi tempe pertama kali diperkenalkan Martinelli dan Hesseltine dalam sebuah artikel di jurnal Food Technology. Ide ini kemudian berkembang di para pembuat tempe tradisional di Jawa. KiprahTempediPentasDunia 23 OKTOBER2022
  • 25. Dalam tradisi kuliner Nusantara sepertinya tidak mengenal ketat perbedaan selera elite dengan rakyat biasa dan tidak ada pula perbedaan signifikan waktu untuk memakan atau meminum sesuatu. Ini terlihat makanan yang disukai oleh raja juga makanan yang disukai oleh rakyat jelata lihat saja rawon, lelawar, hingga pecel. Ary Budiyanto Peneliti dan pencicip makanan. Antropologi UB Malang. 25 OKTOBER2022
  • 26. Walaupun begitu mekanisme Faucaultian ini tak sepenuhnya ada disadari dalam diri masyarakat kolonial semuanya. Ini dikarenakan intensi mereka belajar mengkonsumsi budaya Tuan Kolonialnya bisa saja karena urusan yang biasa pula yakni ekplorasi selera. P ada zaman Jawa Kuno ada bahan makanan yang hanya boleh disajikan dan dimakan untuk Raja yakni Rajamangsa. Namun ini hanya merujuk pada hidangan yang diolah dari bahan khusus dan belum ada bukti teks larangan untuk mengonsumsi hidangan ala Rajamangsa ini. Sehingga lebih patut ditafsir sebagai hidangan yang dimasak dan memakai bahan khusus yang menjadi kegemaran Raja, Rajamangsa. Resep Kraton Yogyakarta, Kraton Cirebon, dan bahkan resep Kartini bersaudara di masa kolonial pun tampak tak ada bedanya makanan di lingkungan priyayi dan rakyat biasa. Meski tampak jelas bahwa kaum priyayi masa kolonial memang memandang lebih cita- rasa Eropa. Suatu hal yang wajar dalam mentalitas kolonial bangsa yang menginginkan kesamaan derajat dengan cara mengkonsumsi kebudayaan patronnya, terutama gaya hidup dan apa yang dimakannya. Dalam bahasa Homi Bhabha masyarakat kolonial akan selalu berkomunikasi untuk kesetaraan dalam the act of mimicry. Sebagaimana dia berkomentar tentang kondisi dirinya yang seorang Parsi di tengah-tengah Hindu dan Islam serta bayangan Kolonial Inggris di India tempat dia tinggal, bahwa (indentitas budaya) orang Parsi adalah “their sense of a negotiated cultural identity.” Makananpun jika ditinjau di bawah aras kesadaran pelaku sejarah kolonial ini tentu saja adalah medan perebutan politik identitas rasial yang nyata sebagaimana Protschky (2008) dan Ann Laura Stoler (1995) tunjukkan. Walaupun begitu mekanisme Faucaultian ini (yakni ada kesadaran akan peniruan untuk pengakuan pihak liyan baik mimicry atau dengan mockery) tak sepenuhnya ada disadari dalam diri masyarakat kolonial semuanya. Ini dikarenakan intensi (jw. karep/keinginan) mereka belajar mengkonsumsi budaya Tuan Kolonialnya bisa saja karena urusan yang biasa pula yakni ekplorasi selera. Selain itu ada juga survival SOROTAN 26 OKTOBER2022
  • 27. FOTO: SAJIAN SEDAP Pecel Madiun, bisa dikatakan sebagai pecel dengan toping yang amat lengkap, terutama dari protein hewani. knowledge untuk bertahan hidup dengan menguasai keterampilan memasak ini agar bisa bekerja di rumah tangga para juragan di masa itu. Tidak ada pretensi yang sangat politis sebagaimana pengamat poskolonial masa kini seperti tulisan Protschky (2008) dan Ann Laura Stoler (1995). Atas dasar itulah kenapa Kartini dan saudaranya mengenalkan keterampilan hidup di zamannya buat para wanita baik dari kalangan priyayi kecil maupun rakyat biasa. Selain itu fenomena terbitnya buku-buku seri masakan (dan buku “how to” yang populer lainnya) yang beredar berkat penerbit semacam Tan Koen Swie Kediri dan lainnya memberikan gambaran bahwa hal itu jauh dari kecendurungan penguasaan nalar kolonialis pada koloninya. Karena di pengantar buku- buku populer ini ada kata-kata agar pembaca bisa mengambil peluang menambah penghasilan dan menciptakan kerja dari keterampilan memasak ini, 27 OKTOBER2022
  • 28. Salah satu pedagang beraneka macam makanan di Batavia FOTO: KITLV; PEWARNA: MAHA SULTHAN khususnya untuk para kaum putri. Selain tentu saja menjadikan suami senang dan bangga. Hanya saja memang bagi para politisi dan penguasa yang pandai memanipulasi “keadaaan alamiah” ini menjadi komoditas politis mereka menjadikan situasi yang biasa-biasa saja ini menjadi tidak lagi biasa. Simak saja penelitian Wulandari “Pecel, A Political Communication Semiotic Analysis of Javanese Traditional Food As a Dish for Indonesian Politicians”(2020) bagaimana pecel dipolitisasi untuk agenda kepentingan politik penguasaan mereka atas subjeknya dengan memainkan makna-makna simbolis yang sudah ada dan kemudian memanipulasinya. Wulandari melihat sejak Sukarno dan terutama di masa pemilu presiden 2014 dan 2019 para politisi memberikan makna politis pada hidangan ini. Para politisi itu menikmati pecel sayur di beberapa tempat di Jawa dalam kampanyenya mencitrakan kedekatan mereka pada rakyat melalui hidangan sejuta umat yang murah meriah serta menyehatkan. Meskipun sebenarnya pecel tidak lagi semurah di kampung dan desa bila kita nikmati di kota. Tidak ada penerus Sebagai makanan biasa, pecel sayur ini pada mulanya tak ada nilai SOROTAN 28 OKTOBER2022
  • 29. Meski kontraproduktif karena kandungan lemak di gorengan dan jerohan yang nikmat ini menjadi ancaman yang menggoda bagi mereka yang kolestrol tinggi. Penyajian pecel yang paling kuno dengan pincuk dari daun pisang kluthuk atau pun daun jati hingga sekarang masih menjadi penyajian yang paling nikmat. spesifik secara kultural maupun medik dalam menikmatinya. Makan pecel adalah tindakan menikmati sajian pecel dengan puas dan nikmat. Baru pada masa modern setelah kesadaran akan gizi dan vitamin hingga jargon mengandung serat alami yang penuh vitamin diwacanakan, maka kuliner pecel menjadi salah satu primadona ikon ambasador kuliner hijauan kaya serat dengan nutrisi papan atas yang murah meriah. Itu pun dengan catatan bila kita menikmati pecelnya bukan ala pecel Madiun dengan berbagai toping menggodanya. Sebab, di warung pecel ala Madiun dari sejak penulis kecil hingga kini pecel sayurnya masih hadir bersama- sama dengan komplet lauk protein seperti tampilan hidangan pecel Jawa kuno. Lelaukan toping nasi pecel di penjaja kota lainnya tidaklah sekomplet Madiun. Namun, kini semua pecel yang sudah mapan di tempat, semi atau permanen, sudah menyajikan beragam lauk. Ini barangkali masalah space jualan yang dulu saat masih keliling digendong ruang display lauk sangatlah terbatas atau tingkat ekonomi daerahnya. Meskipun dengan catatan bahwa pecel Madiun yang dijajakan keliling sejak dari dulu konsisten dengan ragam lauk jerohannya. Protein hewaninya semacam empal, jerohan (babat, iso, paru, koyor), cingur, didih, dan sate- satean telur puyuh dan usus ayam yang menggoda selera. Meski kontraproduktif karena kandungan lemak di gorengan dan jerohan yang nikmat ini menjadi ancaman yang menggoda bagi mereka yang kolestrol tinggi. Penyajian pecel yang paling kuno dengan pincuk dari daun pisang kluthuk atau pun daun jati hingga sekarang masih menjadi penyajian yang paling nikmat. Dari Centhini (selesai 1814) pecel sudah tersebar di hampir seluruh pulau Jawa dalam artian menu pecel ayamnya dan pecel sayurnya. Kini bisa dipastikan bahwa pecel 29 OKTOBER2022 Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa
  • 30. sayur ini telah tersebar di mana ada etnis Jawa Tengahan dan Timuran berada. Persebaran suatu resep dan cita rasa kuliner yang paling efektif biasanya mengikuti mobilitas dan perpindahan penduduk bisa dikarenakan perang dan bencana alam (gunung meletus, paceklik, banjir, dsb), masa ekonomi yang sulit sehingga ganti usaha di tempat asal maupun wilayah baru misal pada masa Malaise 1920 (lihat Boomgaard & Brown, 2000); disusul pada masa ekonomi sulit 1950an; masa sulit setelah G-30- S-PKI 1965; dan krismon 1998 telah mencatat adanya fenomena ramainya ekonomi informal berbasis kuliner ini yang tumbuh di perkotaan. Dari wawancara beberapa warung makan legendaris di Kudus, Surabaya, Madiun, Jakarta, dan Malang menunjukkan mereka eksis di sekitar tahunan yang sama yakni di zaman Jepang 1940-an, Orla 1950-an, dan setelah 1960-an (masuk ke Orba). Nenek Penulis juga pernah usaha warung makan di masa Jepang di Kudus namun tak ada yang meneruskan. Ada adagium klasik generasi para penjaja makanan sebelum reformasi dan booming kesuksesan dunia kuliner semenjak munculnya acara kulineran yang diusung oleh Bondan Winarno di RCTI tahun 90-an. Adagium itu adalah untuk anak-anak yang sejatinya akan menjadi penerus bisnis dan menjaga warisan resep-resep sajian mereka. Bunyi adagium itu adalah: “Wis le/nduk sekolaho sing duwur, golek kerjo sing mapan, dadi PNS ajo koyo mbah lan bapa ibu mu, rekoso.” Artinya “Sudahlah anak- anaku sekolahlah yang tinggi, cari kerja yang mapan, jadi PNS, jangan seperti simbah dan bapak-ibumu, berat hidupnya (sebagai penjual makanan)”. Sehingga tak heran para penjual jalanan dan warungan ini sering kali tidak ada penerusnya, resep itu pun hilang atau pindah tangan ke para pekerja yang dulu ikut sang penjual. Resep ini pun sering kali tidak lagi “otentik” dikarenakan mereka belajar dari meniru bukan dari pengajaran langsung. Jadi dengan situasi khasanah kuliner di masyarakat seperti ini, maka hanya menunggu seleksi alam sajalah warung-warung yang tumbuh ini akan menjadi bermutasi, menjadi legenda, atau punah. Bukan resep asli Peperangan di mana pasukan dan para disersi yang memiliki mobilitas tinggi ini kemudian tersebar ke berbagai daerah, baik nantinya menetap ataupun kembali ke daerah asal. Mereka inilah yang juga membawa selera dan cita rasa mereka. SOROTAN 30 OKTOBER2022
  • 31. FOTO: KITLV; PEWARNA: MAHA SULTHAN Menjemur kacang tanah di pekarangan rumah. Foto diambil tahun 1920-1930-an Perang Diponegoro (1825- 1830) ataupun perang Revolusi zaman kemerdekaan 1945-1949, yang membuat para penduduk terdampak ikut pindah dan menetap ke daerah baru atau hanya mengungsi sementara ikut membawa pula tersebarnya kuliner-kuliner semacam pecel ini. Mereka pulalah yang kemudian hari mengubah tampilan dan citarasa masakan asal mereka karena harus beradaptasi dengan ketersediaan bahan baku dan selera lokalnya masing-masing. Masa perang dan ekonomi sulit inilah yang mempengaruhi bahan baku naik terutama gula merah dan kacang tanahnya yang membuat penjaja berkreasi menambah ketela atau ubi atau kentang atau campuran salah satu atau duanya untuk membuat sambel pecelnya ini. Racikan bumbu pecel yang bertahan lalu menjadi genre bumbu pecel yang khas lokal. Selain peperangan, di masa tenang dan pembangunan, kemajuan teknologi transportasi yang semakin mudah dan murah pun membuat mobilitas para penjaja makanan ini terdifusi 31 OKTOBER2022
  • 32. Pecel lele masakan yang umumnya dijual oleh perantauan asal Pekalongan. Memiliki penggemar sendiri terutama di tingkat kaki lima. FOTO: SAJIAN SEDAP dan berevolusi. Selain itu berbagai resep dan hidangan berbagai etnis dari dan wilayah satu ke wilayah lain ini terdifusi pula melalui buku-buku resep yang marak dibuat oleh para penulis resep makanan yang dicetak dan diterbitkan di tiap zaman. Bahkan para penulis resep inilah yang sebenarnya membuat resep-resep baru atas nama hidangan lama ataupun lokal. Resep-resep itu muncul dikarenakan apa yang mereka tulis dalam buku-buku mereka ini sering kali adalah usaha meniru cita rasa yang mereka cicip dalam ingatan lidah mereka. Bukan resep ‘asli’ dari hidangan yang mereka cicip di suatu tempat makan, karena resep itu adalah “rahasia perusahaan”. Jadi, resep-resep dalam buku resep yang diperjualbelikan itu adalah resep replika, yang mencoba mencapai rasa yang mirip dengan memori cecapan mereka. Namun demikian, dalam dunia kuliner, resep-resep tersebut sama sahnya dengan resep “aslinya”, apalagi bila resep hidangan itu menjadi terkenal. Sepertinya hanya bumbu pecel Madiun yang sebagian besar bumbunya tidak memakai terasi dan kencur serta dimasak khas dengan menyangrai bumbu utamanya yakni cabe rawit, daun jeruk, dan bawang putih (?) di atas cobek tanah. Lalu kacang tanahnya oleh sebagaian besar penjual pecel SOROTAN 32 OKTOBER2022
  • 33. Madiun ini dikupas terlebih dahulu kulit arinya lalu disangrai (kini tak jarang ada yang digoreng atau bahkan dioven). Semua bahan itu lalu ditumbuk dengan garam, gula merah, dan asam jawa. Hingga pada tahun- tahun 90-an akhir, cita rasa bumbu pecel Madiun pada mulanya cenderung pedas dan gurih (asin) kini pun tak jarang yang bercita rasa lebih manis dan tidak terlalu pedas atau malah pedas banget. Namun demikian bumbu pecel madiun masih konsisten dengan tekstur yang masir tidak terlalu berminyak. Sementara itu, umumnya bumbu pecel ala Jawa Timuran dan Tengahan lainnya, kacang tanahnya digoreng dengan kulit arinya lalu bumbu-bumbu penyedap lainnya praktis digoreng semua (bawang putih, terasi, dan cabe). Setelah bumbu ditumbuk halus, maka dicampurkan dan ditumbuk lagi bersama kacang goreng yang telah ditumbuk bersama gula merah, garam, dan asam jawa hingga menemukan rasanya yang pas selera sang pembuat. Persentase campuran bumbu, gula merah, garam, dan kacang menjadi pembeda cita rasa bumbu- bumbu pecel ini. Itulah makanya bumbu pecel madiun tampak lebih “cerah” dan tidak begitu berminyak dibanding dengan bumbu pecel lainnya yang berminyak dan berwana gelap karena gorengan kacang dengan kulit arinya. Walaupun, gelap tidaknya juga kadang karena penggunaan jenis dan kematangan gula merahnya. Beberapa inovasi untuk mempergurih bumbu pecel ini kadang juga dicampur dengan biji mete selain yang umum menggunakan kemiri, wijen, ataupun biji-bjian gurih lainnya yang ada di sekitar. Menikmati sajian satu pincuk pecel ini menurut ahli gizi memiliki kandungan energi sebesar 243 kilokalori, protein 11,14 gram, karbohidrat 31,72 gram, lemak 12,53 gram, kalsium 267 miligram, fosfor 333 miligram, dan zat besi 3,54 miligram. Selain itu di dalam pecel juga terkandung vitamin A sebanyak 10.978 IU, vitamin B1 0,28 miligram dan vitamin C 212 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram pecel, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 % (godam64, 2012). Jual dua menu Kini secara umum hanya dua macam pecel yang diketahui yakni pecel sayur dan pecel lele. Pecel ayam masih tersisa di pojok- pojok desa yang masih memiliki adat ritual selamatan ala Jawa. Sementara kuluban, urapan, trancam, bersama tumpang dan lotek telah menjadi spesies Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa 33 OKTOBER2022
  • 34. tersendiri terpisahkan dengan pepecelan ala pecel ayam Jawa Kuno dan juga dengan rerujakan dan lelawaran. Saat ini, pecel sayur dan pecel lele telah menjadi dominan dan menjadi entitas tersendiri. Pecel lele dan pecel sayur masih memiliki makna hidangan yang disajikan dengan disiram sambel hanya saja bumbunya berbeda, pecel sayur dengan sambel kacang tanah dan pecel lele dengan sambel bawang- cabe-tomat ala sambal bajak. Kedua pecel ini jelas berbeda dengan pecel ayam maupun pecel lele jadul ala keraton dan pecak betawi yang dominan santan atau kelapa. Ada perbedaan lain dalam penjajaan pecel lele dan pecel sayur ini, pecel lele yang kebanyakan dari orang Lamongan lebih dominan dijajakan oleh para bapak. Sebab, mereka ini harus memasang tenda dan peralatan dapur yang kompleks. Sejak awal mengada, pecel lele ini sangat maskulin, mereka menjajakannya dengan menetap, mengakuisisi bahkan mengkoloni ruang-ruang pejalan kaki di perkotaan. Meskipun pada praktiknya tak jarang sang istri juga ikut melayani pembeli ataupun memegang peran sebagai kasir. Ini berbeda dengan penjaja pecel sayur yang masa awal terlahirnya selalu dijajakan keliling oleh ibu- ibu mbok bakul pecel. Mereka menggendong bakul/rinjing dan menyunggi tampah di atas kepala dengan tas atau ember berisi jerigen air dan lain sebagainya keliling menyusuri jalan kampung atau gang-gang di kota. Saat memutuskan menjadi warung kaki lima yang semi permanen mereka biasa buka di rumah atau di pojok jalan kampung. Di masa kekinian, terutama di pusat kuliner pecel seperti Madiun, Blitar, dan Kediri, mereka sekarang menetap menempel di tempat dalam zona aman seperti rumah sendiri atau warung semi permanen yang aman dari Satpol PP. Proses menetap di ruang kota ini sering kali terjadi setelah seleksi alam sekian lama jualan secara berkeliling. Penjual pecel di Jawa Tengahan di tahun 80-90an masih banyak yang juga menyediakan sajian pasangan sejati pecel sayurnya yakni: rujak. Rujak cingur dan rujak buah, cemeding (campuran bumbu pecel dan bumbu rujak plus kucuran jeruk nipis), serta rujak plecing (dengan sayur dominan kangkung kulub dan sambal terasi, gula jawa, asam, dan jeruk nipis), atau brambang asem (yang sudah sangat jarang ditemui; dengan sayuran kulub daun ubi dan bumbu seperti plecing namun plus bawang merah) adalah kekhasan dari para penjaja pecel keliling ini. Tak ketinggalan pecel ini SOROTAN 34 OKTOBER2022
  • 35. ditemani lontong atau nasi dan ditemani lauk didih (dari darah ayam atau sapi; evolusi lelawaran?) yang kini semakin jarang ditemui, tempe mendol, tahu dan tempe goreng serta warna-wani gorengan lainnya. Jika sang penjual ini sempat, biasanya tersedia juga bermacam-macam jerohan seperti babat, iso, dan paru seperti sajian pecel khas di Madiun dan Ponorogo. Jadi, bilamana pecel lele adalah maskulin maka penjaja pecel sayur ini sangat feminim karena kebanyakan penjajanya adalah ibu- ibu yang luwes menjelajah gang- gang di perkampungan dan kota. Namun kisah dan kreasi evolutif kedua pecel ini ternyata belum berhenti. Apalagi orang masih banyak yang bingung bila ingin membeli pecel sayur namun yang ditemukan adalah penjual pecel lele. Sebaliknya jika masuk ke warung pecel sayur pun orang masih juga tanya menu pecel lele. Tidak semua orang tahu dan paham beda warung pecel lele dan pecel sayur apalagi generasi muda dari luar Jawa. Demand menu yang berulang-ulang ini rupanya menginsipirasi warung pecel lele di dekat Grand City Surabaya yang menjual dua menu ini Pedagang satai di Pulau Jawa yang sedang melayani pelanggan. Foto diambil pada awal abad 20 FOTO: KITLV; PEWARNA: MAHA SULTHAN Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa 35 OKTOBER2022
  • 36. sekaligus. Kisah ini dari Dhahana Adi (Penulis buku - Archivist - Surabaya Memory) yang akan memberikan senyum kuliner yang mengenyangkan. Pengalaman ini baru saja dialami Dhahana Adi ketika makan siang di salah satu warung dekat Grand City bersama teman. Singkatnya, Penjual : Pesan apa Mas? Saya : Nasi lele ama tempe Mas, tiga bungkus Penjual : Pecel atau sambelan? Saya : Pecel mas Akhirnya kami kembali ke Grand City untuk menikmati pecel lele ini sambil jaga stan pameran. Begitu tas kresek dibuka, saya sempat heran kok kami dikasih peyek? Ah biarin, paling ada teman yang beli, mungkin penggemar peyek, batin saya. Ternyata, begitu bungkusan nasi dibuka, kami mendapati nasi pecel lele yang tak biasa. Yakni nasi putih, lalapan (komplit seperti kita makan penyetan), lele goreng, tahu goreng, tempe goreng, sayuran pecel/kulub, bumbu pecel yang ditaruh dalam plastik, sambal penyetan yang juga diplastik. Saya kira bungkusan saya saja yang seperti itu, ternyata dua lainnya sama persis, Wow! Pecel lele era baru. Ternyata miskomunikasi malah menciptakan menu baru. Aah, indahnya kuliner Nusantara. Meskipun “tragedi” membawa nikmat pesan bungkus pecel ini terlihat unik dan baru namun kisah Dhahana Adi ini adalah murni karena miskomunikasi dan mungkin juga sudah biasa pelanggan di warung itu mendapat pesanan campuran ini. Sehingga karena ragu dengan pesanannya maka sang penjual menyimpulkan untuk mencampur saja. Lagipula pecel sayur dan juga rujak cingur ini juga dulunya sudah biasa memakai toping lauk apa saja. Selain itu pecel sayur ini cocok- cocok saja dicampur dengan kuliner berkuah, tentu saja rujak cingur yang intinya juga pecel pastinya akan cocok-cocok saja bila dicampur dengan lodeh-lodehan apalagi kuah berdaging. Fusi masakan Sejak SD di Kudus penulis selalu makan siang di warung dekat sekolahan. Warung sederhana berdinding gedeg bambu, yang menjual es buah, pecel, lodeh dan sup dengan berbagai cemilan gorengan. Penulis selalu memesan pecel dengan lodeh dan lauk tambahan gorengan bakwan sayur/ weci dengan segelas es kelapa sirup frambos. Kalau diingat tidak hanya penulis yang memesan makan campur-campur begini. Jadi apabila kini media dan kumpulan youtuber foodvlogger hype mengulas dan memberitakan fenomena Rujak Soto Banyuwangi (CNN Indonesia, 2019), Pecel Rawon Surabaya (Dyodoran, 2021), SOROTAN 36 OKTOBER2022
  • 37. Pecel Penyetan (pecel sayur plus penyetan) atau kini mulai ditengok menu campur kuno Tepo (lontong) Lodeh Pecel di Jabung Ponorogo (Kang Pardi, 2020), sebenarnya itu lumrah dan alamiah terjadi di warung-warung Jawa yang selalu menyediakan sajian berbagai masakan. Dari sini bisa dikatakan bahwa kebiasaan pelangganlah yang kadang-kadang berperan penting dalam terjadinya fusi masakan sehingga menjadi hidangan hibrid yang unik. Selanjutnya sajian hibrid ini menjadi signature dish suatu warung lalu bilamana viral dan laris maka akan cepat ditiru ke para penjual yang bergenre sama. Apalagi bila kuliner itu kemudian diangkat publik menjadi ikon daerah. Adalah warung makan, dengan demikian, yang sejatinya menjadi tempat inkubasi alamiah dari munculnya hidangan-hidangan hibrid ini. Jikalau kita cermati menu campuran atau hibrid antara soto dan pecel (atau rujak cingur) pada dasarnya adalah -setelah kita pilah-pilah bahan-bahannya dan hanya tersisa kuahnya- cita rasa kuah kaldu soto yang berempah itu bertemu dengan bumbu (pecel) kacangnya. Pertemuan soto dengan sambal kacang sudah terjadi lama dalam Coto Makassar dan Soto Banyumasan (Soto Sokaraja, Soto Purworejo, Soto Purbalingga, Soto Banyumas) yang dalam bahasa daerah Banyumasan soto ini dikenal dengan nama genre soto yang khas: sroto. Mutiara Kata “Jangan menunggu. Waktu tidak akan pernah tepat” –Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis (1769 - 1821) dikatakan bahwa kebiasaan pelangganlah yang kadang- kadang berperan penting dalam terjadinya fusi masakan sehingga menjadi hidangan hibrid yang unik. Selanjutnya sajian hibrid ini menjadi signature dish suatu warung lalu bilamana viral dan laris maka akan cepat ditiru ke para penjual yang bergenre sama. Pecel,CitaRasaSegalaStratadanMasa 37 OKTOBER2022
  • 39. Bagi sebagian masyarakat awam, Serat Centhini dianggap sebagai kitab sanggama masyarakat Jawa. Itu tidak keliru, tetapi ternyata karya sastra ini juga menyimpan kekayaan yang begitu luas tentang pengetahuan di Jawa pada masa silam. Salah satu pengetahuan yang termaktub di dalam manuskrip itu adalah tentang makanan. A.S. Rimbawana Reporter Intisari 39 OKTOBER2022
  • 40. Sayang narasi tentang makanan dalam Serat Centhini ini jarang diketahui orang. Memang, kisah makanan memang tidak gamblang tersusun dalam resep. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan sumbangsih Serat Centhini dalam ilmu pangan di Indonesia. S erat Centhini, karya sastra Jawa klasik ini, memang mengisahkan berbagai hal, antara lain kesenian, kehidupan dan kebudayaan Jawa, agama, botani, ritual, jamu. Yang tak kalah menarik, manuskrip ini juga mengisahkan tata cara dan fungsi boga tradisional Jawa. Manuskrip yang berjudul asli Suluk Tambangraras itu dibuat berdasar candrasengkala –kronogram—”paksa suci sabda ji” bertepatan pada 26 Suro 1742 Jawa. Dalam kalender Masehi, itu bertepatan dengan Januari 1814. Sementara, proyek itu tuntas pada 1823. Manuskrip ini juga telah menghabiskan dana sekitar 10.000 ringgit emas. Motif penyusunan Serat Centhini adalah untuk menghimpun segala jenis pengetahuan di Jawa. Penulisan Serat Centhini dipimpin langsung oleh putra mahkota Keraton Surakarta, putra Pakubuwono IV (menjabat 1788–1820), Amangkunegara III —kelak bertahkta sebagai Sunan Pakubuwana V (menjabat 1820– 1823). Amangkunegara III tidak sendiri. Ia ditemani oleh beberapa pujangga keraton. Mereka adalah Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Sastradipura. Sebelum memulai proyek penulisan, ketiga pujangga itu diminta oleh Amangkunegara III untuk untuk membekali diri dengan berkelana ke berbagai penjuru Jawa. Bahkan, Kyai Ngabehi Sastradipura diminta untuk berhaji ke Mekkah sebelum Heri Priyatmoko SOROTAN 40 OKTOBER2022
  • 41. FOTO: A.S. RIMBAWANA Pasar kini jadi salah satu tempat orang dapat menemukan bahan pangan. proyek penulisan dimulai. Maka itu, cakupan wilayah yang dikisahkan dalam Serat Centhini meliputi seluruh Pulau Jawa. Daerah-daerah yang disebutkan antara lain Banten, Bogor, Majalengka, Cilacap, Demak, Gunungkidul, Mataram (Yogyakarta), Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Lumajang, hingga Banyuwangi di ujung timur Jawa. Semula Serat Centhini ditulis menggunakan bahasa dan aksara Jawa, serta dibaca layaknya tembang. Namun kini telah diterbitkan ulang oleh beberapa lembaga ke dalam bahasa Indonesia dan huruf latin. Sayang narasi tentang makanan dalam Serat Centhini ini jarang diketahui orang. Memang, kisah makanan memang tidak gamblang tersusun dalam resep. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan sumbangsih Serat Centhini dalam ilmu pangan di Indonesia. Terdapat aneka ragam makanan dalam Serat Centhini, seperti lauk, sayuran nabati maupun hewani, nyamikan (kudapan), dan minuman. Saya kemudian menghubungi Heri Priyatmoko, 41 OKTOBER2022
  • 42. Jenis nyamikan (kudapan) yang juga terdapat di Serat Centhini. FOTO: A.S. RIMBAWANA dosen Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, untuk mengulik kekayaan Serat Centhini. “Ada banyak sekali jenisnya (makanan dan minuman) karena tiga penulis Serat Centhini melihatnya tidak hanya satu sisi, tetapi makanan juga digunakan pada saat ritual,” kata Heri. Menurut Heri, dari segi penulisan Serat Centhini juga unik. Karena para penulis berasal dari pihak keraton, tempat budaya Jawa dijunjung tinggi, maka makanan keraton mestinya juga ditulis. Namun hal demikian tidak terjadi di dalam Serat Centhini. Justru yang terjadi adalah “Makanan desa mengepung kota, benar-benar kuliner jawa yang mana ada semua kuliner perdesaan,” ungkap Heri. Serat Centhini sungguh memperlihatkan kesadaran literasi kuliner yang masih lestari dari serangan kekuatan asing. Sebab pada abad ke-19, makanan- makanan Eropa memang mulai masuk seiring makin kuatnya penetrasi kolonial hingga wilayah pedalaman Jawa. Pada awal abad ke-20, masih ditemukan blenyik, dendeng, pecel, dan makanan itu ada dalam Serat Centhini. Menurutnya, itu menunjukkan bahwa makanan para priyayi dan jelata di Jawa tidak ada bedanya. “Artinya, makanan itu juga disantap oleh para bangsawan,” kata pria SOROTAN 42 OKTOBER2022
  • 43. yang tengah melanjutkan studi di Solo itu. Pekarangan orang Jawa Bagi masyarakat Jawa pada sekitar dua abad lalu belanja pangan bukanlah suatu hal yang terlalu merepotkan. “Ketahanan pangannya cukup kuat. “Jadi tidak repot mencari, apalagi impor,” kata Heri. Inilah salah satu hal yang patut dicermati dalam Serat Centhini yakni asal masyarakat Jawa memperoleh bahan pangan. Murdijati Gardjito dari Pusat Studi Pangan dan Gizi, Pusat Kajian Makanan Tradisional, UGM dalam “Kuliner Jawa Periode Centhini, 1814–1823” (2008) pernah meneliti hubungan Serat Centhini dengan tempat memperoleh bahan pangan. Dari penelitian itu, Gardjito memperoleh hasil bahwa padi yang lazim ditanam masyarakat yakni jenis padi gaga. Padi gaga adalah varietas yang ditanam di lahan kering. Ini sangat berbeda dengan varietas padi yang tumbuh di lahan basah atau sawah. Namun bila ada pembicaraan tentang sawah, tidak ditemukan bagaimana cara mengatur aliran airnya. Itu tentu berlainan dengan masa kini, ketika padi gaga sudah jarang dikenal. Sementara pategalan atau lahan kering tadi acap dimiliki oleh saban keluarga sebagai tempat budi daya bahan pangan. Bahan pangan tersebut terdiri atas pala kependhem atau akar-akaran yang umbinya tertanam di bawah tanah. Ada pula pala gemanthung adalah buah-buahan, serta pala kesimpar atau buah yang berada di permukaan tanah. Namun, disamping pategalan ada pula pekarangan yang juga tempat ragam buah dan sayur-mayur tumbuh. Dalam Serat Centhini dikisahkan pula tentang kolam. Fungsi kolam adalah untuk memenuhi kebutuhan sumber protein penduduk. Namun, Dalam SeratCenthini dikisahkan pula tentang kolam. Fungsi kolam adalah untuk memenuhi kebutuhan sumber protein penduduk. Namun, kolam memang tidak dimiliki semua orang di sekitar rumah. Bila di daerah yang dekat aliran sungai, ikan hanya perlu ditangkap saja. Menurut Gardjito, hanya ikan laut yang jarang disebut dalam manuskrip ini. “Kecuali berbentuk ikan asin,” tulisnya. 43 OKTOBER2022 PengetahuanCita RasaJawadariSeratCenthini
  • 44. kolam memang tidak dimiliki semua orang di sekitar rumah. Bila di daerah yang dekat aliran sungai, ikan hanya perlu ditangkap saja. Menurut Gardjito, hanya ikan laut yang jarang disebut dalam manuskrip ini. “Kecuali berbentuk ikan asin,” tulisnya. Sebagaimana kita tahu, ikan asin lazim diupayakan di pesisir. Maka itu, pasar menjadi kunci dalam hal pemerolehan ikan asin serta garam yang digunakan sebagai bumbu masak. Sementara, pasar tradisional juga tidak banyak dikesankan dalam Serat Centhini. Menurut Gardjito, orang-orang hanya akan pergi ke pasar bila membutuhkan empon-empon (ragam jenis tumbuhan rimpang) berjumlah besar, ketika hendak digunakan hajatan misalnya. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan hidup harian, masyarakat Jawa hanya perlu mengolah pategalan, kolam, sawah, hutan, dan pekarangan di sekitar mereka tinggal. Pangan, ritual, kebugaran Bagi masyarakat Jawa, makanan selalu berkaitan erat dengan fungsi ritual, seperti kenduri atau sesaji. Di dalam Serat Centhini, terdapat pula ragam kisah yang memuat fungsi sakral makanan ini. Makanan yang berfungsi untuk ritual lazim terdapat dalam segala Ikan asin, salah satu bahan pangan dari laut yang telah dikenal di pedalaman Jawa dari awal abad ke-19. FOTO: A.S. RIMBAWANA SOROTAN 44 OKTOBER2022
  • 45. FOTO: A.S. RIMBAWANA Ragam pangan dalam ritual pengantin Jawa. upacara daur hidup seseorang– lahir, menikah, wafat—, sesaji tolak bala, musim panen, musim tanam, dan sebagainya. Salah satu jenis makanan yang kerap terdapat saban upacara adalah tumpeng. Rudy Wiratama, dosen Jurusan Sastra Jawa UGM berbicara di Jayadipuran Culture and Art III yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY, 9 Juni 2022 lalu. Menurut Rudy, saban tumpeng ini juga mempunyai kelengkapan khusus. “Dari bentuknya saja sudah filosofis, mengerucut, makin ke atas makin kecil. Ini dari bumi ke langit, untuk melangitkan doa-doa,” kata Rudy. Maka, saban doa dan kesempatan khusus tumpeng punya susunan masing-masing. Rudy memberi contoh, untuk kelahiran bayi pasti kelengkapan tumpeng dengan gudangan (urap), sambal kelapa parut dan berlauk telur. Telur, sebagaimana penjelasan Rudy, melambangkan wujud persatuan manusia. “Telur itu wiji dadi, perlambang sel sperma dan ovum, jadi telur itu, cikal bakal kehidupan,” ungkapnya. Sementara, lauk akan berbeda bila digunakan untuk syukuran panen atau lainnya. “Itu pasti menggunakan ayam, karena ayam itu telur yang sudah jadi,” katanya. Untuk upacara memule, penghormatan kepada leluhur, 45 OKTOBER2022
  • 46. Sego golong, nasi kepal yang berbentuk bulatan. Hingga kini masih ditemui di masyarakat Jawa sebagai unsur ritual. FOTO: A.S. RIMBAWANA nasinya pun berbeda warna. “Ada putih, kuning, dan wuduk,” ujarnya. Tumpeng dari nasi putih biasanya untuk ritus kehidupan. Ada pula tumpeng dom sewu (bak ditusuk seribu jarum) yang ditusuk di sekelilingnya dengan cabai dan bawang. “Untuk ritual penolak bala,” katanya. “Kalau kuning, dalam Jawa kuno sering disebut sekul paripurna, lama-lama jadi sekul punar, nasinya kuning itu untuk tanda syukur, untuk perhelatan atau pesta-pesta,” imbuh Rudy. Berbicara pada forum yang sama dengan Rudy, Rendra Agusta, filolog asal Surakarta berbicara ihwal aspek kesehatan dalam Serat Centhini. Orang Jawa memang belum mengenal apotek pada waktu itu. Namun, pekarangan sudah menjadi “apotek” itu sendiri dengan beragam tanaman berkhasiat obat seperti sirih dan berbagai obat herbal. Jamu, ramuan yang dipercaya sebagai racikan herbal dan mampu menjaga kebugaran, juga termuat dalam Serat Centhini. Menurut Rendra, di Jawa ada yang disebut jamu dan jampi, doa-doa kepada Tuhan yang dirapal saban mengonsumsi jamu. “Di Serat SOROTAN 46 OKTOBER2022
  • 47. Wedang, meskipun tidak selalu, tetapi paling sering dinikmati bersama gula aren atau gula batu. Gula pasir seperti banyak dikenal masyarakat saat ini pada masa itu belum populer. Kemudian, paling tidak, dalam menikmati wedang terdapat dua cara. Pertama, gula batu dilarutkan ke dalam minuman, sehingga menimbulkan rasa manis. Cara lainnya yakni dengan menikmati gula sebagai lalaban atau dinikmati secara terpisah dengan minuman. Centhini tiap jamu ada jampinya sendiri,” katanya. Jamu lazim dibagi menjadi empat. “Unjukan (minuman), jamu yang diminum seperti kunir asem. Loloh, jamu yang dimakan. Kemudian ada pula bobok dan boreh, racikan jamu yang ditumbuk dan dibalurkan di kulit luar,” ujar Rendra. Ada juga parem yang bersifat ekstrak. “Menjadi semacam minyak atsiri dan di Serat Centhini cukup kompleks,” ungkap Rendra. Ragam minuman Mayoritas unjukan atau minuman dalam Serat Centhini disajikan dalam keadaan hangat atau wedang. Berdasar nama-nama yang disebut, antara lain wedang belimbing wuluh, wedang kahwa, dapat diperoleh pula informasi mengenai bahan dan tata saji. Bahan-bahan diperoleh dari ekstrak dedaunan seperti sruni dan teh. Sementara buah- buahan terdiri atas belimbing dan mengkudu. Untuk bebijian digunakan kopi, cokelat, serta berbagai macam rimpang seperti jahe dan temulawak. Wedang, meskipun tidak selalu, tetapi paling sering dinikmati bersama gula aren atau gula batu. Gula pasir seperti banyak dikenal masyarakat saat ini pada masa itu belum populer. Kemudian, paling tidak, dalam menikmati wedang terdapat dua cara. Pertama, gula batu dilarutkan ke dalam minuman, sehingga menimbulkan rasa manis. Cara lainnya yakni dengan menikmati gula sebagai lalaban atau dinikmati secara terpisah dengan minuman. Teknologi fermentasi dan penyulingan juga telah dikenal di Jawa. Maka, minuman beralkohol, sebagaimana juga terdapat di kebudayaan lain, juga disinggung dalam Serat Centhini. Yang menarik, disebutkan pula tata cara dalam menenggak minuman PengetahuanCitaRasaJawadariSeratCenthini 47 OKTOBER2022
  • 48. beralkohol. Ada sepuluh tata cara minum, dan tiap-tiap tahapan dilambangkan dengan perumpamaan. Diawali dengan perumpamaan eka padma sari, berarti menenggak satu sloki ciu akan bak semerbak kembang, harum. Lalu, setelah dua tenggakan, dwi martani, orang akan bertutur kata dengan gamblang, tampak sopan santun. Selanjutnya, dalam sloki ketiga –tri kawula busana— orang tak lagi hirau dengan apa yang dikenakan, entah lusuh, jelek, indah sekalipun tak ada soal. Semua bersaudara. Namun, memasuki sloki keempat, di dalam Serat Centhini menganggap, orang bakal kehilangan kesadaran. Maka, pada tahap ini dilambangkan sebagaimana catur wanara rukem –bak kawanan kera berebut makan. Tahap tertinggi dari minum tuak adalah dasa buta mati, bahwa tiap peminum hanya akan siap melawan siapa pun, bahwa ia telah lupa diri, sebelum akhirnya akan tertidur. Kritik atas Serat Centhini Makanan sering membuat kalap. Apalagi, ternyata bahwa makanan juga disebut dalam sebuah manuskrip Jawa yang sarat akan muatan budaya. Maka itu, dalam membaca Serat Centhini ada satu hal yang tak bisa dilupakan. Menurut Heri, hal itu ialah konsep sak madya–secukupnya. Meskipun konsep itu tidak tercantum di dalam manuskrip, Serat Centhini FOTO: A.S. RIMBAWANA SOROTAN 48 OKTOBER2022
  • 49. Mutiara Kata “Hidup adalah 10% apa yang terjadi kepada saya dan 90% bagaimana saya bereaksi terhadapnya” –Charles Swindoll, rohaniawan asal Amerika Serikat tetapi menurutnya pembaca harus memahami bahwa orang Jawa makan sekadarnya saja. “Tak mungkin sajian satu panci tengkleng akan dihabiskan, konsep sak madya harus dicermati. Kita harus mampu membedah etika dalam sejarah,” ujar Heri. Selain itu, Heri juga mengatakan bahwa Serat Centhini harus bisa berguna bagi generasi saat ini. Itu bisa dilakukan dengan kritik terhadap Serat Centhini yang harus dihidupkan kembali dengan cara- cara modern dalam hal pengawasan narasi. Pertama, Serat Centhini bisa dipakai dan dikembangkan untuk bahan lirik lagu sembari menumpanggelombangpopularitas pop Jawa yang tengah naik daun. Menurut Heri hal itu penting, sebab narasi dalam Serat Centhini akan mati jika hanya dibaca untuk masa lalu. “Antikuarian itu,” kata Heri. Kedua, Serat Centhini bisa masuk dalam kurikulum muatan lokal siswa jurusan tata boga. Dengan begitu, para siswa akan diajar ragam penyajian makanan lokal sejak dini. “Makanan di hotel itu jangan Barat terus,” selorohnya. Sejak beberapa tahun terakhir istilah gastronomi juga semakin populer di Indonesia. Lalu, apakah Serat Centhini termasuk dalam kekayaan gastronomi Indonesia? Menanggapi hal ini, menurut Heri definisi gastronomi, sebetulnya bukan hanya memasak tapi juga memilih bahan, hingga menyajikan bahan makanan. Sementara dalam Serat Centhini hanya ada fase penyajian, tidak ada seleksi bahan. Kelemahan manuskrip ini memang terletak pada resep yang nihil. “Karena yang dipotret memang tidak menilik dapur, dan hanya yang terletak di meja makan. Hanya identitas, judul, dan nama kulinernya,” sambung Heri. Akan tetapi, dalam pengetahuan gastronomi Serat Centhini tetap menyumbang pengetahuan yang berharga. Salah satunya, dari Serat Centhini masyarakat sekarang tahu bahwa mana saja makanan yang masih ada, terancam, atau punah. “Ini menjadi penting karena Serat Centhini menjadi pilar dalam ilmu gastronomi,” tandasnya. PengetahuanCitaRasaJawadariSeratCenthini 49 OKTOBER2022
  • 50. JANGANBERONGKOS, Suatu siang ketika ingin bertemu dengan teman di kawasan Alun-Alun Kidul, Yogyakarta, secara refleks saya meminggirkan motor ketika di depan Warung Handayani. Ya, selain sudah saatnya makan siang, jangan (sayur) berongkos yang dijual warung ini selalu ngangeni. Warung Handayani memang menjadi satu dari sedikit warung yang menjual sayur berongkos dengan cita rasa jempolan. Bagi yang belum kenal, sayur berongkos merupakan masakan khas masyarakat Jawa, khususnya di daerah Yogyakarta. Sayur ini merupakan menu tradisional warisan leluhur masyarakat Yogyakarta. Konon kabarnya, kata brongkos diambil dari kata brownhorst (bahasa Inggris dan Prancis) yang artinya masakan daging yang berwarna cokelat. Kemudian, lidah masyarakat Jawa melafalkan sebagai brongkos agar mudah diucapkan dan didengar. Jika dilihat sekilas, tampilan berongkos mirip dengan rawon. Sama-sama cokelat warna kuahnya. Biang warna ini adalah buah keluwak atau kepayang (ingat mabuk kepayang?). Keluak atau kepayang adalah pohon yang tumbuh liar. Buahnya bulat segitiga dengan kulit tebal dan bertekstur kasar. Sebelum digunakan untuk masakan, buah keluak difermentasikan di dalam tanah terlebih dahulu. Perbedaan kuah berongkos dan rawon adalah jika kuah kental berongkos menggunakan santan, rawon tidak. Daging yang digunakan dalam sayur berongkos adalah daging sapi yang biasanya dipilih yang banyak mengandung lemak, atau dalam bahasa Jawa disebut koyor. Bahan lain yang dipakai adalah kulit melinjo, tahu, dan kacang tolo. Pada zaman dahulu, sayur berongkos ini jarang dijual bebas di masyarakat. Bisa jadi karena hanya kaum ningrat atau kaum bangsawan yang bisa menikmati sayur ini. Soalnya, hanya hanya mereka yang mampu membeli daging sapi. Sayur berongkos ini menjadi menu masakan favorit Sultan Hamengkubuwono X. Meskipun berongkos sering diasosiasikan dengan Yogyakarta, namun di beberapa kota di Jawa Tengah seperti Demak, Solo, atau Magelang juga bisa kita temui berongkos. Tentu dengan versi dan keistimewaannya masing-masing. Kembali ke Warung Handayani 50 OKTOBER2022
  • 51. DARITAHTAUNTUKRAKYAT tadi, rasa berongkos di sini ngangeni karena pas dengan lidah saya yang tak menyukai rasa pedas. Rasa khas sayur berongkos di sini sudah hampir berusia 50 tahun. Ya, warung ini pertama kali berjualan sejak 1975. Awalnya sang pemilik warung, Adijo, berjualan es campur dengan cara berkeliling. Itu dilakukannya sekitar tahun 1960- an. Ketika mulai berjualan dengan membuka warung di selatan Alun- Alun Kidul itu, ia melengkapinya dengan berjualan berongkos. Jadi, jangan pula lupa untuk memesan es campurnya. Saat ini warung Handayani dikelola oleh keturunan anak-anak Adijo dan istrinya Saridjem. Tidak ada yang berubah dari resepnya. Konon salah satu rahasia yang dimiliki berongkos Handayani adalah menggunakan 16 macam bumbu. Jadi jika ke Yogya, jangan lupa mampir ke warung ini dan merasakan menu raja yang kini sudah menjadi menu rakyat biasa. (Yds) 51 OKTOBER2022 JEDA
  • 53. Jauh sebelum “terbelenggu” gandum, Nusantara sudah berkenalan dengan sorgum yang tak jauh berbeda namun lebih ramah tanam di sini. Sayang, politik pangan yang menyeragamkan pada beras membuat sorgum perlahan tersingkirkan. Yds Agus Surono Reporter Intisari 53 OKTOBER2022
  • 54. Ironi terbaru, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, konsumsi gandum penduduk Indonesia adalah 30,5 kilogram (kg) per tahun per kapita penduduk. Sedangkan, konsumsi beras hanya sebesar 27 kg per tahun per kapita penduduk. Ini bukan berarti makanan pokok rakyat Indonesia sudah bergeser ke gandum sebab konsumsi itu tak melulu gandum sebagai makanan pengenyang perut, tapi olahan berbasis gandum yang biasa jadi pelengkap hidangan. “N egeri ini penuh dengan ironi dalam hal pangan,” begitu tulis Hira Jhamtani, aktivis lingkungan hidup, dalam pengantar buku Susan George, Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan.” Ironi itu dijelaskan Hira sebagai berikut: Tanahnya subur, sumber daya alam hayati melimpah dan sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian, tapi sejak awal 2005 terbetik kabar tentang kelaparan, rawan pangan, serta gizi buruk di beberapa provinsi. Pemerintah lndonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 1980-an karena berhasil dalam swasembada beras, tetapi pada 1994 lndonesia kembali mengimpor beras dan hingga kini isu impor beras menghantui wacana tentang pangan. Buku ini dicetak pada Agustus 2007, sehingga data yang ada tentu sebelum tahun itu. Seperti berita yang diambil dari The Jakarta Post 26 Mei 2005. Diberitakan, sekitar 332 orang menderita kekurangan gizi di Lombok, padahal provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), seperti dikatakan wakil Gubernur Thamrin Rayes, mempunyai surplus produksi padi dan menjualnya ke provinsi lain. Masih dari sumber yang sama, The Jakarta Post, 20 Juni 2005, 32 anak meninggal di NTT karena kekurangan gizi antara Januari hingga Juni 2005. Angka ini tiga kali lipat dari yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan setempat. Kekurangan gizi mencakup marasmus (kekurangan karbohidrat) dan kwasiorkor (kekurangan protein) atau gabungan dari keduanya. Kondisi ini umumnya terjadi di negara- negara miskin di Afrika. SOROTAN 54 OKTOBER2022
  • 55. FOTO: UNSPLASH Gandum dalam skala bisnis cocok di negara empat musim. Bergeser ke Jakarta, ibukota RI, tempat beredarnya 75% uang dan menjadi kawasan yang memperoleh porsi pembangunan terbesar, ternyata ada 13 kasus gizi buruk sementara 8.450 anak lain mengalami rawan gizi buruk. lroninya, “Pemerintah DKI Jakarta mempunyai anggaran daerah sebesar Rp14,01 triliun,” tulis Hira yang mengutip sumber The Jakarta Post, 17 Juni 2005. Ironi terbaru, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, konsumsi gandum penduduk Indonesia adalah 30,5 kilogram (kg) per tahun per kapita penduduk. Sedangkan, konsumsi beras hanya sebesar 27 kg per tahun per kapita penduduk. Ini bukan berarti makanan pokok rakyat Indonesia sudah bergeser ke gandum sebab konsumsi itu tak melulu gandum sebagai makanan pengenyang perut, tapi olahan berbasis gandum yang biasa jadi pelengkap hidangan. Namun, yang jelas untuk memenuhi kebutuhan tadi, Indonesia harus mengimpor gandum sebab kita belum bisa membudidayakan gandum dalam skala bisnis. 55 OKTOBER2022
  • 56. Pelan tapi pasti gandum menjadi bagian tak terpisahkan dari pangan keseharian kita. FOTO: UNSPLASH Roti turun kasta Gandum masuk ke Indonesia bisa ditelisik dari kejatuhan Presiden Sukarno. Dalam film The Year of Living Dangerously, Billy – salah seorang pemeran utama, jatuh meninggal dari ketinggian setelah membentangkan spanduk bertuliskan, “Soekarno, Beri Rakyatmu Makan”. Pesan ini juga berlaku untuk penerusnya, Suharto. Ia mewarisi kondisi ekonomi yang hancur, salah satunya inflasi yang mencapai 650%. Richard Borsuk danNancy Chng dalam buku Liem Sioe Liong’s Salim Group, The Business Pillar of Soeharto’s Indonesia, menuliskan bagaimana kemudian negara- negara Barat, khususnya AS, membantu pemerintahan Suharto yang baru lahir itu, khususnya dalam hal pangan. Pada September 1966, setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik, Wakil Presiden AS Hubert Humphrey menulis surat ke Presiden Lyndon Johnson. Intinya, Indonesia membutuhkan banyak beras, tidak saja dari AS tapi juga dari Burma, Thailand, dan Taiwan. Namun mereka berharap banyak dari AS. Humprey kemudian menyarankan untuk mengirimkan gandum dan bulgur (gandum tumbuk). Karena tidak ada pilihan lain, saran itu pun diterima Suharto. SOROTAN 56 OKTOBER2022
  • 57. Ia ingin mengubah pola makan nasional dengan Jakarta sebagai awalnya. “Jadi, roti menjadi pengganti nasi sebagai sarapan,” begitu tulis Borsuk dan Chng. Gandum bantuan AS itu digiling di Singapura karena Indonesia belum memiliki pabrik penggilingannya. Saat mi instan hadir pertama kali di Indonesia pada 1968, PT Lima Satu Sankyu, perusahaan yang memproduksi Supermi, harus mengimpor tepung terigu sebagai bahan bakunya. Baru pada 1969, The Gang Four, julukan untuk Liem Sioe Liong, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono (saudara sepupu Suharto) mendirikan pabrik penggilingan tepung lewat PT. Bogasari Flour Mills. Perusahaan yang mulanya didaftarkan sebagai PT Boga Sari ini bermodal awal Rp 500 juta. Ada alasan tersendiri, menurut Borsuk dan Chng, bahwa Suharto menyetujui pembangunan Bogasari tadi. Dalam Anggaran Dasar perusahaan itu pada 1970 disebutkan bahwa 26 persen keuntungan diberikan kepada Yayasan Harapan Kita yang DARIRELIEFBOROBUDURSAMPAI SERATCENTHINI Tanaman sorgum merupakan salah satu ragam tanaman biji- bijian yang terpahat dalam relief Candi Borobudur. Digambarkan tanaman ini tinggi, nyaris setinggi tanaman pisang, sebagaimana dengan malai menjuntai ke bawah. Jelas bahwa tanaman ini berbeda dengan padi yang juga tertera di relief candi yang dibangun pada abad ke-8 itu. Jejak sorgum juga bisa dilihat dari Serat Centhini. Dalam salah satu naskahnya disebutkan, setelah Amongraga lama di Wanamarta kemudian dia pergi meninggalkan istrinya hingga sampai di Dusun Cadhuk. Di tempat inilah mereka melihat berbagai baham makanan yang berada di sawah sedang berbuah. Berbagai bahan makanan itu antara lain semangka, kerai, timun, kacang, kara, kecipir, lombok, terung, jawawut, jagung ontong, dan canthel. Dari narasi itu terlihat area pertanian di Jawa pada awal abad ke-19 masih ditanami berbagai jenis tanaman, mulai dari sayuran, buah-buahan, hingga yang mengandung karbohidrat. Dari narasi tadi yang masuk sebagai sumber karbohidrat adalah jawawut, jagung ontong (tongkol), dan canthel (sorgum). Pola seperti itu sekarang dikenal sebagai tumpang sari. 57 OKTOBER2022 TerlenaGandum,PadahalPunyaSorgum
  • 58. diketuai Ibu Tien Suharto dan Yayasan Dharma Putra milik Kostrad. Sejarah menulis Suharto adalah Panglima Kostrad pada 1965. Suharto meresmikan pabrik Bogasari di kawasan Tanjungpriok Jakarta pada 29 November 1971. Dalam sambutannya Suharto mendorong masyarakat agar terbiasa mengonsumsi makanan berbahan olahan gandum. “Kalau dulu roti dan kue-kue dari tepung terigu hanya merupakan makanan golongan yang berpunya saja, sekarang telah menjadi bahan makanan masyarakat yang lebih luas dan tampaknya juga lebih praktis. Lagi pula bahan makanan dari tepung terigu termasuk bernilai gizi yang tinggi,” kata Suharto dalam Berita Industri tahun 1972 seperti dikutip historia. id. Borsuk dan Chng melanjutkan, sejak itu Indonesia pun terbiasa dengan gandum dan konsumsi mi instan Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Kiwari, menyadari ketergantungan pada gandum (dan beras tentunya), Kementan menggalakkan penanaman sorgum sebagai bahan pokok pengganti dan memperkuat alternatif pangan lokal seperti singkong dan umbi-umbian. “Kebutuhan bahan impor seperti gandum dapat disubstitusi dengan sorgum yang sangat cocok untuk dikembangan di Indonesia. Pangan lokal dapat menyelamatkan dari krisis pangan,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri. Banyak nama lokal Sorgum sejatinya sudah dikenal di masyarakat Indonesia sejak lama. Buku Sorgum, Benih Leluhur untuk Masa Depan sudah menggambarkan hal itu. Buku karangan Ahmad Arif, wartawan Kompas, itu dalam pengantarnya menjelaskan bahwa Nusantara sudah mengenal sorgum (Sorgum bicolor) sejak lama. Setidak- tidaknya tanaman seperti sorgum, jawawut, padi, dan sagu terpahat di relief Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Di Flores Timur malah makan sorgum menjadi ritual sebelum bisa makan beras. “Walaupun kita sekarang sudah tanam padi, kalau tidak tanam sorgum, tidak bisa panen padi,” kata Yohanes Manue Hurit, tokoh adat Desa Ile Padung, Kecamatan Lewolema, Flores Timur dalam buku Ahmad Arif tadi. Ritual tadi tak lepas dari cerita tentang benih pertama di Flores Timur. Alkisah, musim hujan tiba. Semak belukar dan rerumputan telah dibersihkan. Namun tak ada benih yang bisa ditanam. Tujuh bersaudara kebingungan di tengah-tengah ladang yang kosong. Kebingungan berakhir SOROTAN 58 OKTOBER2022
  • 59. FOTO: UNSPLASH Tanamam sorgum di AS. ketika Tonu Wujo, satu-satunya anak perempuan dalam keluarga itu berujar, “Saya ini benih.” Dari keenam saudara tadi, hanya si bungsu yang kuasa menebaskan parang ke leher saudarinya itu. Kemudian sesuai pesan, tubuh Tonu Wujo dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan disebar ke segala penjuru mata angin. Kedua tangan dikubur di arah timur dan barat; kedua kaki di utara dan selatan; sedangkan kepala, jantung, dan hatinya ditanam di tengah ladang. Sesuai wasiat Tonu Wujo, mereka kemudian pulang dan baru boleh kembali ke ladang setelah tujuh hari. Pada hari kedelapan, enam saudara tadi kembali ke ladang dan menemukan aneka jenis tanaman tumbuh subur, mulai padi, jagung, jawawut, sorgum, mentimun, labu, dan berbagai umbi-umbian. “Sebelum pengorbanan Tonu Wujo ini, di sini hanya ada umbi- umbian. Belum ada biji-bijian,” kata Klemens Ama Koten, petani dan pendiri Kelompok Toni Sorgum 59 OKTOBER2022
  • 60. Sorgum sebagai sumber karbohidrat. FOTO: SORGUM: BENIH LELUHUR UNTUK MASA DEPAN Ado Bera, Desa Ratu Lodong, Kecamatan Tanjungbunga, Flores Timur. Kisah Tonu Wujo tadi menunjukkan bahwa sorgum tak hanya sumber pangan, melainkan bagian dari budaya masyarakat Flores, NTT. Meski ada sorgum asli dari NTT, yakni Sorgum timorense, namun sorgum budidaya (Sorgum bicolor) bukan tanaman asli Flores, atau bahkan Nusantara. “Tanaman sorgum, seperti yang dikenal saat ini, dan dikisahkan dalam narasi Tonu Wujo di Nusa Tenggara Timur, memiliki riwayat yang jauh lebih panjang, sepanjang perjalanan leluhur manusia modern (Homo sapiens) dari benua tua, Afrika,” tulis Ahmad Arif. Dari Afrika (Yayasan Kehati dalam “Lembar Fakta Sorgum” menuliskan dari Ethiopia, wilayah yang dikenal dengan tanduk Afrika), sorgum menyebar ke Afrika Timur, Afrika Barat, dan Afrika Utara. Lantas melompat ke benua Asia, termasuk Indonesia. Tidak diketahui pasti kapan sorgum masuk ke Indonesia, namun sorgum merupakan salah satu jenis makanan yang tertera pada relief SOROTAN 60 OKTOBER2022
  • 61. Dengan luasnya penyebaran sorgum, tak heran kalau dia memiliki banyak nama lokal. Di Afrika Barat dikenal dengan great millet dan guinea, di Afrika Selatan disebut kafir, di Sudan dikenal dengan durra, sedang bagian timur Afrika mengenalnya sebagai mtana. Begitu juga di beberapa daerah di Indonesia, seperti cantel di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gandrung di Jawa Barat, dan batari di kalangan Melayu. Sementara di Flores, nama lokal untuk sorgum antara lain watar belolong (jagung tinggi) dan watar solor (jagung solor). Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8. Dengan luasnya penyebaran sorgum, tak heran kalau dia memiliki banyak nama lokal. Di Afrika Barat dikenal dengan great millet dan guinea, di Afrika Selatan disebut kafir, di Sudan dikenal dengan durra, sedang bagian timur Afrika mengenalnya sebagai mtana. Begitu juga di beberapa daerah di Indonesia, seperti cantel di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gandrung di Jawa Barat, dan batari di kalangan Melayu. Sementara di Flores, nama lokal untuk sorgum antara lain watar belolong (jagung tinggi) dan watar solor (jagung solor). (Jagung di sini bukan mengacu ke jagung Zea mays yang banyak dikenal. Mengacu ke Denys Lombard dalam bukunya Nusa Silang Jawa: Jaringan Asia, jagung digunakan untuk menyebut jawa agung, atau jawa yang besar. Jawa sendiri merupakan penjelasan untuk biji-bijian, salah satunya jawawut. Pada masa lalu jawawut merupakan jenis tanaman biji- bijian yang banyak ditemukan di Jawa. Keberadaan jagung sendiri di Indonesia baru pada 1800-an. Tidak jelas siapa yang membawa jagung, namun jauh sebelum itu Nusantara sudah mengenal budi daya sorgum dan jawawut selain padi.) Tanaman unta Sorgum masuk ke Nusantara secara luas lewat orang India di era perdagangan laut. Dari barat kemudian meluas ke Indonesia timur. Namun, sorgum kerap tertukar dengan jagung (Zea mays). Sorgum memang tak setua jawawut atau padi ladang di Nusantara, tetapi setidak-tidaknya ia telah dibawa di fase awal perdagangan TerlenaGandum,PadahalPunyaSorgum 61 OKTOBER2022
  • 62. Ketika Orde Baru menempatkan beras sebagai satu-satunya pangan pokok dan sumber pangankarbohidratlainnya sebagai tambahan saja, pelan tapi pasti sorgum terpinggirkan. Program swasembada pangan yang memprioritaskan tanaman padi membuat lahan sorgum beralih fungsi untuk menanam padi, jagung, dan kedelai. India bersamaan dengan teknik padi sawah, sekitar abad ke-4 atau sekitar 12 abad lebih awal sebelum kedatangan jagung. Jadi, dalam banyak narasi lama Jawa, penyebutan jagung sering kali merujuk ke sorgum, bukan Zea mays. Di masa kolonial Belanda, sorgum menjadi salah satu jenis tanaman penting di Nusantara meski tidak dibudidayakan secara besar-besaran. Seperti yang dicatat Georg Eberhard Rumphius, sorgum telah tumbuh di mana-mana di tanah Hindia Belanda, akan tetapi pada umumnya hanya ditanam di pinggir ladang. Pada saat itu sorgum tak lagi menjadi sumber pangan manusia, tapi untuk “pestisida alami” bagi tanaman padi dari serangan burung. “Karena alasan itu, mereka menyebutnya sebagai ibu padi,” begitu tulis Ahmad Arif. Thomas Stamford Raffles juga mencatat dalam History of Java tentang cukup populernya sorgum di tanah Jawa. Tanaman ini banyak ditemui tak jauh dari pusat kota di daerah-daerah. Sorgum dimanfaatkan tak hanya sebagai pangan, namun juga difermentasi sebagai bahan minuman keras. Sebagai minuman keras, sorgum mengalahkan jawawut dan jali yang telah lama dibudidayakan dan dikonsumsi masyarakat tradisional. Setelah kemerdekaan, tanaman sorgum masih populer. Jejaknya bisa dilihat, misalnya, dalam Mustikarasa, buku tentang ragam bahan pangan dan resep masakan di seluruh daerah di Indonesia. Buku itu menyebutkan cantel (sorgum) merupakan salah satu makanan utama di daerah Yogyakarta, terutama di Kulon Progo. Dibandingkan jagung, cantel lebih tahan kekeringan. Ia hanya butuh air yang ada di dalam tanah saja. Sementara untuk menghasilkan buah yang tua, ia butuh waktu tiga bulan. Di awal berkuasanya Orde Baru, tahun 1970-an, sorgum masih mendapat tempat di lahan SOROTAN 62 OKTOBER2022
  • 63. Mutiara Kata “Waktu terbaik untuk menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu. Waktu terbaik kedua adalah sekarang” –Peribahasa Cina pertanian di Jawa. Salah satu pusat budi daya sorgum yang terluas di Jawa berada di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Dikembangkan sejak 1973, sorgum ditanam di lahan seluas 896 hektare dengan produksi 829 ton. Sampai musim panen 1995 Kabupaten Demak masih menghasilkan sorgum dari lahan seluas 9.597 hektare. Produksi per hektare mencapai 34,61 kuintal dengan harga sorgum kering saat itu Rp300 per kilogram. Ketika Orde Baru menempatkan beras sebagai satu-satunya pangan pokok dan sumber pangan karbohidrat lainnya sebagai tambahan saja, pelan tapi pasti sorgum terpinggirkan. Program swasembada pangan yang memprioritaskan tanaman padi membuat lahan sorgum beralih fungsi untuk menanam padi, jagung, dan kedelai. Bahkan ketika Revolusi Hijau diterapkan secara masif di Orde Baru, bibit padi lokal pun menghilang satu per satu. Era Reformasi mencoba mengoreksi ketergantungan beras. Terlebih dunia mengalami krisis energi. Pada 2012 – 2013 pemerintah Indonesia pernah melirik kembali pangan lokal, di antaranya sorgum, sebagai alternatif bahan makanan dan energi (penghasil etanol). Sayangnya, upaya yang dilakukan itu hanya bersifat sporadis tanpa dukungan kebijakan nasional yang kuat. Sorgum makin dilupakan, bahkan tidak diperhitungkan sebagai sumber pangan di Indonesia. Padahal, sebagai sumber pangan, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap, yaitu kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, zat besi, fosfor, dan vitamin B1. Sorgum dikenal kaya serat, antioksidan, gluten free, dan indeks glikemiknya lebih rendah daripada beras sehingga cocok dikonsumsi penderita diabetes. Jadi, ada harapan di sorgum yang sudah lama dikenal untuk mewujudkan swasembada pangan. Tak sekadar swasembada beras. Apalagi sorgum tetap bisa tumbuh subur dan panen ketika jagung dan padi gagal panen. Tak berlebihan kalau di Afrika sorgum dikenal sebagai “tanaman unta”. TerlenaGandum,PadahalPunyaSorgum 63 OKTOBER2022
  • 64. SOROTAN Di Rumah Budaya Tembi yang dirancang dengan konsep nuansa alam desa, para tamu disajikan aneka makanan dan minuman khas Jawa. Sebagian menu sajian diangkat dari khazanah masakan Jawa yang terekam dalam Serat Centhini. Disebut sebagai ensiklopedi budaya Jawa, Serat Centhini merekam sekitar 400 jenis makanan dan minuman. AI. Heru Kustara Penulis Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2008. 64 OKTOBER2022
  • 66. Sebagian besar menu sajian Restoran Pulau Segaran memang diangkat dari khazanah masakan Jawa yang terekam dalam SeratCenthini. Boleh jadi, pilihan itu supaya inline dengan nuansa ndeso-nya penginapan yang terdiri atas enam buah rumah kuno tradisional Jawa, yang ditata begitu harmonis dengan latar belakang persawahan padi organik dan pemandangan Gunung Merapi. P antas saja Serat Centhini disebut ensiklopedi budaya Jawa. Manuskrip ini berisi pengetahuan tentang keagamaan, kesenian, ramalan, sulap, bahkan seksualitas ala Jawa. Tapi bukan cuma itu. Pustaka buatan tahun 1814, terdiri atas 12 jilid itu ternyata juga menjadi sumber informasi tentang berbagai jenis makanan dan minuman tradisional Jawa, yang sebagian masih kita kenal. “Ini namanya nasi apa, Mas?” “Ini sega wuduk punar,” kata I Made Bawa. “Lo, apa bedanya dengan nasi kuning seperti yang kita kenal sekarang?” “Enggak ada bedanya karena sega wuduk punar itu tidak lain istilah Jawa untuk menyebut nasi kuning,” terang Made. Dari penampilan dan rasanya, sega wuduk punar memang tidak berbeda dengan nasi kuning yang biasa dibuat khusus untuk mereka yang sedang berulang tahun. Nasinya berwarna kuning dan rasanya gurih. Lauk-pauknya macam-macam. Ada perkedel kentang, sambal kering tempe, abon sapi, irisan telur dadar, sambal goreng ati-ampela, kerupuk udang, plus lalapan timun, pete, dan daun kemangi. Sega wuduk punar menjadi salah satu menu yang disajikan oleh Restoran Pulau Segaran di Rumah Budaya Tembi. Made adalah hospitality manager Rumah Budaya Tembi, semacam resort sederhana yang dirancang dengan konsep bernuansa alam desa. Lokasi penginapan yang mulai dibuka Maret 2008 itu terletak di Jln. Parangtritis Km 8,4, Desa Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. “Tembi House of Culture didirikan dengan latar belakang bahwa di Bantul sampai saat ini belum ada penginapan semacam resort. Ini proyek pertama, menghadirkan penginapan SOROTAN 66 OKTOBER2022
  • 67. Restoran Pulau Segaran menyediakan beraneka macam masakan yang didasarkan pada naskah dalam Serat Centhini bersuasana desa atau ndeso khas Yogyakarta,” kata Alex Listyadi, general manager Tembi House of Culture. “Bukan resort mewah, tapi rumah penginapan yang terletak di desa,” sambung Maudy Richir, public relation manager Rumah Budaya Tembi. Sebagian besar menu sajian Restoran Pulau Segaran memang diangkat dari khazanah masakan Jawa yang terekam dalam Serat Centhini. Boleh jadi, pilihan itu supaya in line dengan nuansa ndeso- nya penginapan yang terdiri atas enam buah rumah kuno tradisional Jawa, yang ditata begitu harmonis dengan latar belakang persawahan padi organik dan pemandangan Gunung Merapi. Selain sega wuduk punar, disajikan pula secara bergantian paket nasi berupa sega pulen lengkap dengan jangan bening, gudhangan, pitik panggang, dan sambel terasi. Juga sega akas komplet dengan lauk pauk dan sayurnya, begitu pun sega tumpeng megana. Lalu nasi rames dan sega golong dengan sayur dan lauknya jangan kluwih, empal sapi, dan sambal tomat. 67 OKTOBER2022
  • 68. Rumah Budaya Tembi juga menyediakan homestay dengan nuansa pedesaan Di luar itu disediakan makanan ala carte dengan berbagai jenis pilihan sayur seperti jangan lodeh, jangan brongkos, jangan bobor, jangan turi, dsb. Lauk-pauknya bisa dipilih empal ragi, ulam bebek (daging bebek), serundeng gundel dhili, sate kambing, dan lainnya. “Pacitan (penganan) dan minumannya ada gemblong, lemet, ketan madu ditemani minuman wedang kahwa (kopi), wedang jahe lalap gendhis kelapa (minuman jahe yang diminum sembari menggigit gula merah), atau serbat kopi alias kopi tubruk,” tutur Made. Ratusan jumlahnya Berbagai jenis makanan dan minuman dalam Serat Centhini memang hanya disebutkan namanya, tidak diuraikan bahan maupun cara membuatnya. Maklum, pustaka itu bukan buku resep masakan, melainkan berisi berbagai ilmu pengetahuan yang dikemas dalam kisah asmara dan pengembaraan. Cuplikannya, “Tambangraras telah diijabkan dengan Syekh Amongraga oleh penghulu Basarodin. Malam harinya, Amongraga memberi wejangan atau nasihat soal keagamaan, SOROTAN 68 OKTOBER2022
  • 69. khususnya makna salat, kepada Tambangraras. Wejangan itu juga didengar oleh pelayan Tambangraras, bernama Centhini. Wejangan disampaikan hingga subuh. Setelah melaksanakan salat subuh berjamaah, mereka kembali ke pendopo rumah Ki Bayi Panurta (orangtua Tambangraras). Pagi itu mereka menyantap antara lain nasi tumpeng, sega goreng, dan sega rames, beserta lauk-pauk berupa daging betutu. Setelah itu dihidangkan minuman wedang serbat dan kopi”. Penggalan kisah ini dipetik dan diterjemahkan dari Pupuh 360 Tembang Dhandhanggula bait ke-71 pada Serat Centhini jilid 6. Di dalam Serat Centhini terekam tidak kurang 400 jenis makanan dan minuman. “Aneka nasi ada 40 jenis, sayur 31 jenis, sayur daging 33 jenis, lauk pauk 150 jenis, sambal 46 jenis, minuman 20 jenis, dan penganan ada 70-an jenis,” kata Suwandi Suryakusuma, sarjana sastra Jawa lulusan Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Contohnya, Suwandi menyebut beberapa jenis sega (nasi), misalnya sega bubur, sega wuduk punar, sega pulen, sega akas, sega lemes, sega liwet, sega golong, atau sega lodhoh. 69 OKTOBER2022 SeratCenthini,SumberMasakanJawa
  • 70. Lauk pauk yang disebut- sebut dalam Serat Centhini tak kurang banyak macam ragamnya. Misalnya, abon remus, antigan pindhang (telur pindang), dhendheng ragi, dhendheng balur, dadar ledre, empal kisi penthul, pepesan ambra abrit, bothok semayi, gorengan glathik, lentri dan lainnya. Istilah sega lemes, sega akas, dan sega liwet sendiri ada dalam Serat Centhini jilid 1 Pupuh 32 Tembang Kinanthi bait ke-26: “Sambel goreng kring ywa kantun, .... sega lemes sega akas, liwet pitik jago biri.” Dikisahkan, Raden Jayengresmi atau Amongraga bersama kedua abdinya, Gathak dan Ghatuk, meninggalkan daerah Giri yang diserang oleh pasukan Surabaya (utusan Mataram). Mereka melarikan diri ke daerah Tuban, singgah ke beberapa desa di wilayah itu. Di Desa Panuata, Jayengresmi dipersilakan melihat sisa-sisa Istana Parwata. Lalu oleh Lurah Desa Parwata, lewat anak perempuannya bernama Rara Surendra, Jayengresmi dijamu hidangan berupa buah-buahan (jambu dersana, manggis, kepel, kokosan, rambutan, dll.), makanan (sega lemes, sega akas, sega liwet), lauk pauk, sayuran, dan minuman (wedang kahwa/kopi gula tebu, wedang ran blimbing wuluh). Tempe dan gelatik goreng Terekam dalam Serat Centhini, aneka sayur atau jangan. Menurut catatan Suwandi, jangan menir, jangan asem, jangan bobor, jangan loncom, jangan cupang, jangan padhamara, misalnya, disebut dalam Serat Centhini jilid 6 Pupuh 357 Tembang Mijil bait ke-427 - 428. Ada juga aneka sayur berbahan daging, antara lain besengek wader, besengek pitik, sesengek tawon, opor bebek, opor banyak, opor landak, opor trenggiling yang dapat dijumpai dalam Serat Centhini jilid 6 Pupuh 357 Tembang Mijil bait ke-436: “Besengek wader besengek tempe pitik, lan besengek tawon, trinil turlek ...,” Macam-macam masakan itu muncul dalam upacara panggih (bertemunya pengantin pria dan wanita di pelaminan) antara Syekh Amongraga dan Ni Tambangraras. Besengek berkuah santan, tidak pedas. Rasanya gurih. Menyoal tempe, makanan khas Indonesia itu ternyata sudah dikenal di zaman itu. “Kadhele tempe srundengan, lombok kenceng lawan petis, gadhon rempah yem SOROTAN 70 OKTOBER2022
  • 71. Suasana yang asri membuat para pengunjung Rumah Budaya Tempi merasakan kedamaian hidup di desa manjangan, gorengan empal Ian gangsir, barongkos lawan masin, krupuk miwah sambel balur” (Tembang Sinom 42, 43). Kutipan itu diambil dari Serat Centhini jilid 12 yang menggambarkan perjalanan Amongraga alias Jayengresmi di Dusun Bustam. Di tempat ini mereka dijamu oleh Ki Arsengbudi dengan berbagai makanan, salah satunya tempe kedelai. Lauk pauk yang disebut-sebut dalam Serat Centhini tak kurang banyak macam ragamnya. Misalnya, abon remus, antigan pindhang (telur pindang), dhendheng ragi, dhendheng balur, dadar ledre, empal kisi penthul, pepesan ambra abrit, bothok semayi, gorengan glathik, lentri dan lainnya. Sambel gocek bumbu jempol Untuk urusan sambal, tak kurang dari 46 jenis disebut Centhini. Ada sambel jagung, sambel jinten, sambel dhele balur kacang, sambel trancam congor, sambel ulek trasi abrit, sambel windu bubuk wijen, sambel lethok, sambel cempaluk, 71 OKTOBER2022
  • 72. Sega wuduk punar yang tak lain adalah nasi kuning, menjadi salah satu masakan yang tertulis di Serat Centhini sambel kluwak, atau sambel gocek. “Tapi kami baru coba bikin beberapa, yaitu sambel santen kacang lan kedhele, sambel ulek trasi abrit (merah - Red.), sambel urang (udang - Red.), sambel kukus, sambel tomat, sambel kluwak, dan sambel gocek,” kata Made. Semua sambal bikinan Restoran Pulau Segaran itu mudah dibayangkan bahannya. Pasti mak nyus pula rasanya, kecuali sambel gocek. Ya, sambel gocek memang bukan sambal. Materinya cabai, tapi, “Bumbunya jempol,” celetuk Mbah Joyo sembari terkekeh. Gocek artinya pegang. Jadi, sambel gocek ya cabai rawit yang dipegang dan diceplus saat makan tempe mendoan atau tahu isi. Pustaka kuno itu juga mencatat sekitar 70-an macam penganan. Ada criping kaspa, jenang grendul, ketan madu, lemet, atau ondhe- ondhe. Sebagai teman menyantap penganan, terekam 20-an jenis minuman seperti semelak, srebat, wedang kahwa, beras kencur, wedang sridhenta, wedang blimbing wuluh gula aren, wedang teh gula batu, wedang ron sruni, dan banyak lagi. SOROTAN 72 OKTOBER2022
  • 73. Biar menarik dan tidak membosankan, Serat Chentinidikemas dalam bentuk cerita asmara dan pengembaraan. Tokoh utamanya antara lain Syekh Amongraga, putra Sunan Giri, dan istrinya, Ni Tambangraras, putri sulung Kepala Perdikan Wonomarto, Kabupaten Mojokerto, dan Ni Centhini, pelayan setianya. Berbagai jenis makanan dan minuman itu sampai saat ini masih dikenal dan diolah oleh masyarakat. “Tapi banyak juga yang sudah tidak dikenali, entah namanya, bahannya, atau cara membuatnya. Seperti balebed, limpek, rempah grigit, srundeng mariyos, sambel kunci, atau jalabiya” kata Suwandi. Pekerjaan yang tersulit tentu melacak kembali nama-nama makanan dan minuman tersebut dalam serat itu. Untuk itu Suwandi memanfaatkan berbagai sumber pustaka, salah satunya Bausastra Jawa alias kamus bahasa Jawa. “Setelah di-cross-check, kadang makanan atau minuman itu hanya beda nama. Misalnya, srebat kopi di Serat Centhini ternyata kopi tubruk di zaman sekarang,” ungkap Suwandi. Khazanah kuliner Jawa beruntung memiliki bahan rujukan yang berharga. Meski akan lebih baik lagi jika jenis masakan maupun minuman (yang kini langka) di dalam pustaka kuno itu bisa “dihidupkan” kembali, sehingga makin memperkaya khazanah kuliner Nusantara. Kisah asmara dan pengembaraan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga digubah atas kehendak KGPAA Amengkunegara, putra mahkota Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yang kemudian bertahta pada 1820-1823 sebagai Sunan Pakubuwana V di Keraton Surakarta (Munarsih, Serat Centhini Warisan Sastra Dunia, 2005). Pustaka ini dikarang dengan tujuan untuk menghimpun dan melestarikan segala macam ilmu pengetahuan di Pulau Jawa. Tak heran kalau pustaka ini tebal sekali, terdiri atas 12 jilid dengan 4.200 halaman folio. Tulisannya berupa tulisan tangan (manuskrip) dalam huruf Jawa Hanacaraka. Biar menarik dan tidak membosankan, Serat Chentini dikemas dalam bentuk cerita asmara dan pengembaraan. Tokoh utamanya antara lain Syekh SeratCenthini,SumberMasakanJawa 73 OKTOBER2022
  • 74. Amongraga, putra Sunan Giri, dan istrinya, Ni Tambangraras, putri sulung Kepala Perdikan Wonomarto, Kabupaten Mojokerto, dan Ni Centhini, pelayan setianya. Setelah dinikahkan, selama 40 hari siang dan malam Syekh Amongraga memberikan wejangan terus-menerus tentang falsafah agama Islam kepada istrinya, Tambangraras. Selama itu pula Centhini ikut mendengarkan dengan penuh perhatian segala wejangan Amongraga. Karena itu pustaka ini lalu dinamai Serat Centhini. Nama Centhini lebih mudah diucapkan daripada nama Tambangraras (Munarsih, 2005). Kisahnya dituangkan dalam rupa puisi Jawa, tepatnya dirangkai dalam berbagai tembang macapat dan tengahan. Disebutkan, ke-12 jilid Serat Centhini itu memuat 798 pupuh (semacam bab tapi tidak persis demikian). “Satu pupuh bisa terdiri atas sekian pada (bait). Ada yang 10, 15, 17, bahkan ada yang sampai ratusan pada,” kata Mbah Joyo (80), panggilan akrab Joyo Sumarto, sesepuh Rumah Budaya Tembi, yang setiap selapanan (35 hari) tampil memimpin pergelaran tembang macapat yang diambil dari Serat Centhini di rumah budaya itu. Tim penulis Serat Centhini yang dipimpin sendiri oleh KGPAA Amengkunegara melibatkan tiga orang punggawa keraton yang berurusan dengan tulis-menulis (kepujanggaan), yaitu Kyai Ngabehi Rangga Sutrasna, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi Dalam Centhini ada salah satu sambal bernama sambel gocek alias cabe rawit yang dipegang oleh tangan. FOTO: TANUSHREE_RAO_UNSPLASH SOROTAN 74 OKTOBER2022
  • 75. Mutiara Kata “Bagaimana saya akan hidup hari ini untuk menciptakan hari esok yang menjadi komitmen saya?” -Anthony Robbins, Penulis dari Amerika Serikat Sastradipura. Rangga Sutrasna diminta menjelajahi separuh tanah Jawa sebelah timur (Surakarta - Banyuwangi), sedangkan Yasadipura II diutus merambah separuh tanah Jawa sebelah barat, mulai Surakarta sampai Anyer. Sedangkan Sastradipura, pencinta bahasa Arab dan ilmu keislaman, ditugaskan naik haji dan tinggal di Mekah untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam. Nah, saat menjelajah tanah Jawa, kedua penulis yang ditugaskan itu singgah di berbagai tempat dan bertemu dengan berbagai tokoh atau orang. “Setiap kali singgah, mereka dijamu bermacam jenis makanan maupun minuman di sejumlah tempat,” kata Suwandi. Lalu, menurut Suwandi yang juga salah satu punggawa Yayasan Tembi, data berbagai jenis makanan dan minuman itu kemudian dipakai sebagai bahan cerita dalam Serat Centhini. Tempe yang dibuat pada masa Serat Centhini ditulis diduga adalah tempe yang terbuat dari kedelai hitam, mengingat kedelai kuning belum ada di Pulau Jawa SeratCenthini,SumberMasakanJawa 75 OKTOBER2022