JURNAL SKRIPSI_DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN_FADHIL NUGROHO ADI_SEJARAH
1. DI BAWAH BAYANG-BAYANG KEKUASAAN :
PEMANFAATAN DALANG WAYANG PURWA
DALAM PROPAGANDA POLITIK DI KOTA SEMARANG 1986-1998
Oleh: Fadhil Nugroho Adi
A. Pendahuluan
Pada masa Orde Lama di Indonesia yang terhitung sejak tahun 1945, yakni
pada kepemimpinan Soekarno, seni pedalangan telah hidup dan tumbuh dalam
masyarakat. Pertunjukan wayang kulit mulai banyak digarap oleh para mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi. Pada masa tersebut dibuka beberapa kursus
pedalangan seperti kursus pedhalangan Himpunan Siswa Budaya pada tahun 1953
di Yogyakarta dengan guru R.M. Sri Handayakusuma, Susilaatmaja, dan Pringga
Satata dengan 14 orang mahasiswa1
dan Ngesti Budhaya di Semarang yang
didirikan pada tahun 1958.2
Kepemimpinan Ir. Soekarno juga menghasilkan
Kongres Pedalangan Indonesia yang berlangsung dari tanggal 23 hingga 28
Agustus 1958 di Perang Wedanan Kompleks Kraton Mangkunegaran, Surakarta.3
Berbagai partai politik pada saat itu, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI)
tampak memperlihatkan perhatian yang semakin besar terhadap peranan potensial
dalang di dalam menggerakkan rakyat untuk tujuan-tujuan kepartaian. 4
Pada masa
yang sama, setelah Gerakan 30 September 1965 gagal dilakukan dan berlanjut
1 Sri Mulyono, Wayang Asal-Usul, Filsafat, dan Masa Depannya (Jakarta:
Gunung Agung, 1978)., hlm. 99.
2Wawancara dengan Ki KRT Suparno Hadiatmodjo, 21 Desember 2013.
3Ibid., hlm. 110.
4Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang di Balik Wayang (Jakarta: PT
Temprint, 1987), hlm. 219.
2. dengan pembersihan oknum-oknum PKI, hal yang sama juga terjadi di kalangan
dalang. Mereka yang tidak terbunuh atau lolos dari penangkapan kemudian
dikenai larangan bermain selama jangka waktu tertentu. Seluruh dalang juga
diwajibkan untuk mendaftarkan diri, melaporkan rencana pergelarkan hingga
menyerahkan sinopsis lakon yang hendak dipergelarkan.5
Dominasi pemerintah
begitu kentara sejak peristiwa G 30 S tersebut. Hingga kemudian dimulainya Orde
Baru pada tahun 1966, dominasi pemerintah terhadap seniman khususnya dalang
menjadi semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan organisasi
Himpunan Kebaktian Dalang, organisasi dalang pertama pada masa Orde Baru,
yang didirikan atas hasil konferensi 80-an peserta pada 18 dan 19 Desember 1966
di Surakarta.6
Latar waktu pada masa Orde Baru merupakan perpaduan dari kondisi
sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Pada masa Orde Baru, yang penulis
kaji dari tahun 1986, banyak mengisyaratkan nuansa pembungkaman media massa
baik cetak maupun elektronik. Dalang yang bertugas sebagai pembawa pesan-
pesan moral dalam setiap pergelaran sudah tentu menerima perlakuan yang sama.
Kreativitas dalang lebih diawasi dan dikontrol pemerintah.7
pada masa Orde Baru
pertunjukan wayang kulit dimanfaatkan sebagai alat komunikasi untuk
menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Pesan-pesan pembangunan yang
dimaksud antara lain ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pertahanan
nasional, dan administrasi.8
Pekan Wayang Indonesia pertama yang dilangsungkan
pada tahun 1969 juga menghasilkan beberapa keputusan yang salah satunya
menjadikan pertunjukan wayang sebagai mass media guna menyukseskan
REPELITA.9
Pembentukan Lembaga Pembinaan Seni Pedalangan Indonesia
5 Ibid., hlm. 220.
6 Ibid., hlm. 223.
7“Wayang Kritik: Kesenian Tradisionil yang Hampir Punah”, Sinar
Harapan, 28 September 1980.
8Kanti Walujo, Peranan Dalang Dalam Menyampaikan Pesan
Pembangunan (Jakarta: Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika
Departemen Penerangan RI, 1994), hlm. 25.
9 Sri Mulyono, op. cit., hlm. 127.
3. (GANASIDI) pada tanggal 7 Desember 1969 memperlihatkan keterlibatan
pemerintah tehadap seni pedalangan berikutnya. Lembaga yang berpusat di
Semarang ini memiliki Sad Satya Dharma atau program dalang yang salah
satunya menekankan fungsi dalang sebagai abdi negara yang harus
mengutamakan kepentingan nasional dan berkiblat kepada Garis Kebijakan
Pemerintah Republik Indonesia.10
Kooptasi atas wayang banyak dilakukan terkait
upaya Orde Baru untuk memaksakan dan menjaga otoritas sosial dan politik.
Wayang menjadi salah satu tempat produksi bentuk baru informasi negara.11
Pada tanggal 24 Juli 1986, yang sekaligus sebagai objek temporal
permulaan kajian, diselenggarakan Sarasehan Dalang Seluruh Indonesia. Pada
sarasehan tersebut, tema yang diambil adalah untuk meningkatkan peranan
dhalang pewayangan guna menyuseskan Pemilu tahun 1987 dalam rangka
memantapkan demokrasi Pancasila. Dalam sarasehan tersebut juga ditegaskan
bahwa pertunjukan wayang kulit harus mampu mendekatkan aspirasi
pembangunan yang terus berkembang dengan melakonkan cerita-cerita wayang
tertentu.12
Sementara keterkaitan Semarang sebagai objek spasial penelitian
disebabkan Kota Semarang merupakan ibu kota sekaligus pusat administrasi
pemerintahan provinsi Jawa Tengah. Segala kebijakan bersumber dari Kota
Semarang yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Jawa Tengah.Secara
tidak langsung, cengkeraman otoritas terhadap berbagai aspek kehidupan –
termasuk dalang- juga bersumber dari kewenangan birokrat yang berpusat di Kota
Semarang.
Proses komunikasi antara dalang dengan audience merupakan perwujudan
dari komunikasi massa. Hal ini sejalan dengan pendapat Drs. M.O. Palapah bahwa
komunikasi massa adalah pernyataan manusia yang ditujukan kepada massa.
10 Wawan Susetya, Dhalang, Wayang, dan Gamelan (Yogyakarta: Narasi,
2007), hlm.29.
11 Marshall Alexander Clark, Wayang Mbeling : Sastra Indonesia Menjelang
Akhir Orde Baru (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2008), hlm. 24.
12S. Haryanto, Pratinimba Adhiluhung (Jakarta: Djambatan, 1988), hlm.
227.
4. Bentuk-bentuk komunikasi massa antara lain jurnalistik, public relations,
penerangan, propaganda, agitasi, advertising, public speaking, publicity,
pertunjukan, komunikasi internasional, dan lain sebagainya.13
Sementara itu
pesan-pesan “titipan” pemerintah atau kelompok tertentu yang diselipkan ke
dalam pementasan wayang kulit identik dengan bentuk komunikasi massa
propaganda. Propaganda dapat dianggap sebagai suatu kampanye yang dengan
sengaja mengajak dan membimbing untuk memengaruhi atau membujuk orang
guna menerima suatu pandangan, sentimen, idea atau nilai.14
Propaganda
bertujuan untuk menanamkan “komunikasi subyektif”, bukan “komunikasi
obyektif”. Qualter memberikan definisinya tentang propaganda sebagai berikut.
Propaganda is the deliberate attempt by some individual or groups to
form, control or alter the attitudes of other groups by the use of the
instruments of communication with the intention that in any given
situation the reaction of those so influenced will be that desired by the
propagandist.15
Propaganda adalah usaha yang disengaja oleh beberapa individu atau
kelompok untuk membentuk, mengontrol atau mengubah sikap dari
kelompok lain dengan menggunakan instrumen komunikasi dengan
penemuan bahwa dalam situasi tertentu reaksi dari mereka akan
dipengaruhi sebagaimana yang diinginkan oleh propagandis.
Teknik komunikasi yang dipergunakan dalam propaganda adalah teknik
bandwagon, yakni suatu cara persuasi dengan cara generalisasi untuk
memengaruhi gerakan massa dengan mengatakan bahwa apa yang dikemukakan
oleh komunikator telah diterima oleh seluruh masyarakat. Teknik bandwagon
bertujuan merangsang komunikannya dengan jalan agar mengikuti sikap pendapat
dan tingkah laku orang terbanyak (mayoritas).16
13 Sunarjo, Djoenaesih S, Sunarjo,Himpunan Istilah Komunikasi
(Yogyakarta: Liberty, 1981) hlm. 41.
14Ibid.,hlm. 68.
15Santoso Sastropoetro, Propaganda Salah Satu Bentuk Komunikasi
Massa (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hlm. 30.
16Sunarjo, Djoenaesih S, Sunarjo, op. cit., hlm. 10.
5. B. Dalang Dalam Lingkaran Propaganda Politik Orde Baru
Dalam beberapa dekade, sejak kemerdekaan Indonesia hingga pergantian tampuk
kepemimpinan yang dipegang oleh Presiden Soeharto, dalang, melalui pergelaran
wayang kulitnya, telah menjadi medium yang “empuk” untuk menyampaikan
pesan-pesan sosial dan politik. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno,
semua partai politik paham untuk memanfaatkan pergelaran wayang kulit untuk
tujuan propaganda. Partai-partai tersebut mengidentifikasikan dirinya sebagai
Pandawa “yang berada dalam pihak yang benar” dalam ceritera Mahabharata.17
Pada tahun 1948, model-model propaganda politik pada era Soekarno juga
tampak dalam penciptaan wayang gaya baru yang dinamakan Wayang Pancasila.
Wayang ini diciptakan oleh Suharsono Hadisuseno, seorang pegawai Penerangan
RI dari Yogyakarta mengacu pada tokoh-tokoh Wayang Purwa. Hanya saja,
Wayang Pancasila lebih dipergunakan untuk menyajikan cerita-cerita yang
berhubungan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan
Belanda dan peristiwa-peristiwa kemerdekaan RI. Adapun tujuan pergelaran
Wayang Pancasila adalah untuk memberikan penerangan mengenai falsafah
Pancasila, Undang-Undang Dasar serta Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN).18
Lebih lanjut, pada tanggal 23-28 Agustus 1958 diselenggarakan
Kongres Pedalangan Indonesia yang berlokasi di Surakarta sekaligus
menyempurnakan lembaga pewayangan “Panunggaling Dalang Republik
Indonesia” (PADRI) yang didirikan pada 6 Desember 1953.19
17Ibid., hlm. 23. Lihat juga Soedarsono, Seni Pertunjukan Dari Perspektif
Politik, Sosial, dan Ekonomi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003),
hlm. 213-225.
18Wayang Purwa pada Wayang Pancasila diberi baju, celana panjang dan
menggunakan peci tentara dan menyandang pistol. Nama-nama tokoh wayang
merupakan nama sindiran, seperti tokoh Jendral Spoor dari tentara Kerajaan
Belanda dinamai Senopati Rata Dahana. Lihat S. Haryana, op. cit, hlm. 122.
19Hampir semua dalang di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi anggota
PADRI. Kursus pedalangan di berbagai kota seperti Kendal, Pekalongan,
Semarang, dan sebagainya, mulai bermunculan. Lihat Sri Mulyono, op. cit., hlm.
111.
6. Orientasi yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan dalang sebagai
guru bagi masyarakat20
mendorong dibentuknya Lembaga Pembina Seni
Pedalangan Indonesia (Ganasidi) yang disahkan pada hari terakhir Konferensi
Seni Pedalangan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang diselenggarakan di
Semarang pada tanggal 10 hingga 12 Juli 1969. Ganasidi menghimpun seluruh
dalang bahkan siapa pun yang memiliki keterikatan dengan seni pedalangan,
dengan syarat : Warga Negara Indonesia, tidak termasuk anggota organisasi
terlarang, dan tidak terlibat dalam Gerakan 30 September.21
Tujuan dibentuknya
Ganasidi adalah untuk membina mutu pedalangan sebagai sarana pendidikan dan
bimbingan watak yang berjiwa Pancasila.22
Kemudian dari Ganasidi pula lahir apa
yang dinamakan dengan Sad Satya Darma Dalang yang menjadi pokok-pokok
pedoman dalang di seluruh Indonesia.
Kooptasi pemerintah begitu kentara pada dekade 1970-an, terutama ketika
para elit birokrasi baik di tingkat pusat atau daerah menitipkan pesan-pesan
pembangunan maupun program pemerintah lainnya kepada para dalang dalam
berbagai kesempatan. Pada pemilu pertama era Orde Baru, pada tahun 1971,
banyak dalang lokal yang dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye pemilu, dan
ada yang menjadi populer sesuai dengan tingkat wilayah pentasnya. Dampak yang
lebih luas lagi adalah ketika kerjasama antara aparat pemerintah dan dalang
semakin erat. Dalang memandang setiap himbauan pemerintah sebagai “perintah
yang tidak mungkin dibantah”. Akibatnya, dalam setiap pergelaran wayang kulit,
dalang menonjolkan dan memperbanyak pesan-pesan maupun program-program
pemerintah secara vulgar dan berlebihan. Situasi ini direformasi oleh
penggarapan Pakeliran Padat yang menjadi respon atas pakeliran semalam
suntuk yang dirasa mulai mengalami pendangkalan mutu karena sarat dengan
pesanan, humor, sehingga tidak terlihat adanya kesesuaian antara cerita dengan
20Kaum elit baru mulai tertarik dengan peran dalang sebagai guru. Lihat
Victoria M. Clara Van Groenandael, op. cit., hlm. 228.
21Butir ini dimuat dalam buku stensilan bertajuk Dwi Warsa Ganasidi
yang terbit dalam rangka ulang tahun kedua Ganasidi. Ibid., hlm. 229.
22Kanti Walujo, op. cit., hlm. 125.
7. pergelaran. Oleh sebab itu pakeliran padat bertujuan mengembalikan fungsi
pakeliran sebagai sajian estetis dan artistik.23
Akan tetapi dengan kemunculan
pakeliran padat tidak berarti “titipan” kepada para dalang untuk menyampaikan
propaganda politik berangsur mencair. Menjelang pemilihan umum 1977, di
Sitinggil selatan kompleks keraton Surakarta, pergelaran wayang yang
diselenggarakan dalam minggu pertama sejak diresmikan sebagai waktu
dimulainya kampanye pemilu, memunculkan fakta baru. Lakon yang dipilih untuk
ditampilkan adalah lakon Ringin Kencana yang sengaja ditulis untuk pemilu.
Lakon Ringin Kencana menjadi “metafor” bagi lambang Golkar (pohon beringin),
yang secara harafiah berarti “Beringin Emas”. Pergelaran tersebut dipandang
sebagai pernyataan dukungan keraton terhadap Golkar secara terbuka.24
C. Teknik Penyampaian Propaganda Pembangunan Oleh Dalang
Dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan terdapat tiga cara yang umum
dipergunakan, antara lain :
a) Melok, yaitu penyampaian pesan pembangunan yang bersifat vulgar, wadhag,
jelas, tanpa perlu mengemas dalam bentuk bahasa pedalangan. Dalang dapat
langsung mengemukakan pesan pembangunan sesuai dengan nama
programnya. Dalam adegan jejer pertama, apabila dalang menyampaikan
pesan pembangunan secara melok akan menurunkan nilai estetika dan
melanggar konvensi pedalangan. Cara penyampaian pesan secara melok dapat
dilakukan pada adegan limbukan dan gara-gara.
b) Medhang miring yaitu penyampaian pesan pembangunan dengan bahasa
pedalangan namun masih ada unsur-unsur melok-nya. Jadi sifatnya setengah
melok. Penyampaian pesan pembangunan dalam janturan, pocapan, dan
sulukan sebaiknya dilakukan dengan cara ini dan cara nyampar pikolih.
23Bambang Murtiyoso, dkk., Pertumbuhan dan Perkembangan Seni
Pertunjukan Wayang (Surakarta: Citra Etnika Surakarta, 2004), hlm. 35-38.
24Victoria M. Clara Van Groenandael, op. cit., hlm. 204.
8. c) Nyampar pikolih yaitu penyampaian pesan pembangunan dengan kemasan
bahasa seni pedalangan. Pesan ini disampaikan secara halus, bersifat implisit
dengan tidak terlihat unsur-unsur wadhag-nya. Pada jejer pertama,
penyampaian pesan pembangunan dengan cara ini amatlah tepat.25
Selain itu penyampaian pesan-pesan pembangunan dapat pula dilakukan
melalui lakon-lakon pewayangan yang sengaja dibuat untuk kepentingan tersebut
ataupun melalui gara-gara dan limbukan. Lakon-lakon yang memiliki pesan-
pesan pembangunan secara eksplisit semisal pada lakon dengan repertoar
mBangun dan kridha. Untuk repertoar mBangun dapat dijumpai lakon-lakon
seperti mBangun Candi Sapta Rengga dan mBangun Taman Maerakaca. Adapun
lakon garapan antara lain mBangun Ngastina, Semar mBangun Kahyangan,
Semar mBangun Gedhong Kencana, Semar mBangun Klampis Ireng. Sementara
itu untuk repertoar kridha dapat ditemukan melalui lakon Gathutkaca Kridha,
Bima Kridha, dan Narayana Kridha Brata.26
D. Dalang Sebagai Media Penyebarluasan Propaganda Politik
Pada awal dekade 90-an, Kota Semarang cukup beruntung memiliki sosok
Walikota Soetrisno Soeharto yang dikenal mencintai setiap hal yang berhubungan
dengan estetika, yang diwujudkannya antara lain melalui penataan taman kota dan
kegiatan berkesenian. Penyelesaian kasus Kali Tapak yang cukup menghebohkan
warga Kota Semarang, diakhirinya dengan mementaskan wayang kulit bersama
dalang Ki Anom Suroto di Dukuh Tapak Kelurahan Tugurejo pada 21 Oktober
1991.27
Senada dengan kecintaannya terhadap seni, pada periode awal
kepemimpinan Soetrisno Soeharto, sempat terbersit keresahan atau keluhan para
pecinta seni tentang kota Semarang yang dianggap lahan gersang untuk menjadi
25Moehadi, et. al., “Laporan Akhir Penelitian tentang Potensi Pergelaran
Wayang Purwa dalam Pembangunan” (Laporan Penelitian Kerjasama Bappeda
Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra Undip 1994/1995), hlm. 117-118.
26Ibid., hlm. 118-119. Lakon-lakon pedalangan lain akan diuraikan lebih
rinci dalam bab berikutnya.
27“Pak Tris Menata Kota”, dalam Bambang Sadono, op.cit., hlm. 87.
9. media guna mengembangkan seni budaya (tradisional maupun modern).28
Keresahan tersebut tampaknya terjawab ketika Wali Kota Soetrisno Soeharto
memprogramkan pementasan wayang kulit di sembilan kecamatan. Keputusan ini
diambil dalam sarasehan bertema “Peran Dalang dalam Memantaptingkatkan
Persatuan dan Kesatuan Bangsa demi Suksesnya Sidang Umum MPR 1993”.
Pentas rutin yang digelar di sembilan kecamatan tersebut tidak bertujuan untuk
menghidupi para dalang tetapi dimaksudkan untuk mengembangkan moral pejabat
dan masyarakat lewat pertunjukkan wayang. Kesempatan pentas di kecamatan
tersebut diharapkan sebagai wadah sambung rasa antara Muspida dengan camat
dan lurah serta masyarakat setempat. Oleh sebab itu, dalang dan seniman yang
tampil harus memahami tujuan diadakannya pementasan tersebut yakni
membentuk sikap dan mental para pejabat dan rakyat.29
Gubernur Soewardi, yang menjabat dari 1993 hingga 1998, juga memiliki
perhatian terhadap seni pedalangan. Bagi Gubernur Soewardi, pementasan
wayang kulit sangat strategis untuk media informasi. Sebab lewat kesenian itu
bisa diselipkan pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat. Kesenian wayang
kulit mulai rutin dilakukan sebulan sekali tiap malem pitulasan di halaman kantor
gubernur. Gubernur selalu mengecek, baik menyangkut lakon, dalang, maupun
teknis penyelenggaraan. Salah satu organisasi yang turut andil dalam
penyelenggaraan rutin pentas wayang kulit adalah Panitia Tetap (Pantap)
Apresiasi dan Pengembangan Seni Pewayangan sejak tahun 1989. Dampak besar
dari pentas wayang ini adalah tingginya minat remaja untuk menyaksikan secara
langsung.30
Pemilihan tanggal tujuh belas atau pitulas sebagai tanggal
28Istiati Soetomo, “Pak Wali Layak Dibanggakan”, dalam Bambang
Sadono, op. cit., hlm. 33.
29“Wali Kota Programkan Pentas Wayang Kulit di 9 Kecamatan”, Suara
Merdeka, 10 Oktober 1992. Sayangnya, penulis tidak memperoleh informasi lebih
lanjut mengenai implementasi dari kebijakan wali kota ini. Baik melalui Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Semarang, Kantor Arsip Kota Semarang,
maupun hasil penelusuran dari berbagai sumber, data yang berkaitan dengan
kebijakan tersebut tetap tidak ditemukan.
30“Lewat Wayang Kulit Gubernur Padukan Tuntunan dan Tontonan,”
Suara Merdeka, 9 Februari 1996. Dalam HUT ke-21 KORPRI, pergelaran wayang
10. penyelenggaraan pergelaran wayang disebabkan atas tujuan pewarisan semangat
kejuangan di kalangan generasi muda. Dari pergelaran malem pitulasan ini
Gubernur Soewardi menganggap pesan pemerintah mampu disampaikan para
dalang. Pesan-pesan tersebut diharap dapat diserap oleh para lurah yang
menyaksikan atau mendengar melalui TVRI atau RRI31
untuk berikutnya
disampaikan ke masyarakat di lingkungannya.32
“Kuningisasi” yang radikal
pernah diterapkan ke dalam pergelaran wayang menjelang pemilu tahun 1997, di
bawah pemerintahan Gubernur Soewardi.33
Hal ini terlihat pada pementasan
wayang dua kelir dengan atribut serba kuning, mulai dari dialog dalang, kursi,
karpet, serta pakaian para dalang dan kru-nya.34
Kemudian dalam bidang pemasyarakatan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4). P-4 yang diterbitkan melalui TAP MPR Nomor
II/MPR/1978 merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara bagi setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah dan dilaksanakan secara bulat
dan utuh.35
P-4 bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi pelaksanaan
penghayatan dan pengamalan Pancasila. Selain itu P-4 juga dijadikan sebagai
penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara.36
Dalam
memasyarakatkan dan membudayakan P-4, ada banyak cara digalakkan baik yang
kulit ditampilkan di Gradika Bhakti Praja. Lihat “Wayang Kulit di Gradika Bhakti
Praja”, Suara Merdeka, 28 November 1992.
31Selain pagelaran malem pitulasan, pergelaran serupa juga rutin
diselenggarakan di RRI Semarang setiap Sabtu pertama. Lihat “Pergelaran
Wayang Kulit Berhadiah”, Suara Merdeka, 6 Januari 1996.
32“Gubernur Soewardi: Saya Terharu Melihat Kesenian Tradisional”,
Suara Merdeka, 3 Februari 1996.
33M. Jazuli, op. cit., hlm. 201.
34 Jaka Rianto, “Interaksi Seni Pertunjukan Wayang dan Politik”, Jurnal
Universitas Negeri Yogyakarta, hlm. 7, diunduh pada 12 Agustus 2014.
35 Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa).
11. berasal dari Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (B-P7) pusat maupun daerah. Selain melalui lomba-
lomba37
, permainan simulasi P-438
, pola pendukung pembelajaran 25 jam,
penataran pelatih kader Pancasila39
, pemasyarakatan P-4 juga dilakukan melalui
sarasehan dengan pihak-pihak terkait yang diharapkan mampu menjadi agen yang
nantinya juga kembali memasyarakatkan P-4 ke khalayak umum. Salah satu agen
pemasyarakatan P-4 adalah para seniman, yang ditatar untuk menjadi penyuluh P-
4. Sebagai misal, penyelenggaraan Sarasehan Seniman dan Seniwati yang
dilaksanakan per-wilayah pembantu Gubernur Jawa Tengah yang bertempat di
Aula Sasana Krida Wiyata Kabupaten Pekalongan. Para peserta sarasehan ada
yang berasal dari kantor Depdikbud, staf Pertunjukan Rakyat Kantor Deppen Kota
Semarang, hingga Ketua Bidang Pembinaan Masyarakat dan Seni Budaya DPD II
Golkar Kodya Semarang.40
Sejak tahun 1989, dalang turut berperan dalam pemasyarakatan dan
pembudayaan P-4. Keterlibatan ini dapat dilihat dalam Daftar Penatar P-4
angkatan LI (51) tahun 1988/1989, Biro Pendidikan DPD I Ganasidi Provinsi
36Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia
Pancakarsa).
37 Keputusan Kepala BP-7 Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor
431/196/1995 tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Lomba Dalang,
Waranggono serta Sarasehan Seniman dan Penatar P-4 Kabupaten Pati tahun
1995/1996, Arsip Provinsi Jawa Tengah. Lomba ini diselenggarakan untuk
pemasyarakatan dan pembudayaan P-4 melalui jalur kesenian tradisional sehingga
perlu melestarikan kelangsungannya dengan mengadakan lomba dalang dan
waranggono.
38Surat Dinas Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Daerah Tingkat I Jawa Tengah kepada
Kepala BP7 Kabupaten/Kodya Dati II se Jawa Tengah, 20 Nopember 1996, Arsip
Provinsi Jawa Tengah.
39Surat Dinas Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Daerah Tingkat I Jawa Tengah kepada
bupati/walikotamadia Kepala Daerah Tingkat II se-Jawa Tengah, 1 April 1996,
Arsip Provinsi Jawa Tengah.
40Surat Dinas B.P7 DATI II Semarang kepada Kepala Kantor Deppen
Kodya Semarang, Ketua DPD II Golkar Kodya Semarang, dan Kepala Kantor
Depdikbud Kodya Semarang, 15 Januari 1996, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
12. Jawa Tengah melalui R. Djoko Suranto, SH, menjadi salah satu penatar bersama
dengan perwakilan instansi-instansi lain, termasuk perwakilan dari DPD Golkar.41
Dalam Jawaban Questioner Evaluasi Pembudayaan P-4 di Dati II Se-Jawa Tengah
Tahun 1995/1996 oleh BP7 tanggal 2 April 1996 juga diungkap bahwa gara-gara
P-4 dan wayang kulit menjadi salah satu jenis seni budaya yang selama ini
dimanfaatkan sebagai media pembudayaan P-4 di daerah responden dan dibina
langsung oleh Ganasidi.42
Hal yang sama berlaku pula dalam Sarasehan Dalang
Indonesia yang diselenggarakan di TMII, 8-11 Februari 1996. Dalam sarasehan
tersebut, disampaikan bahwa fungsi seni pedalangan harus menyentuh aspek-
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Para dalang harus
memiliki keseragaman gaya, dengan materi bertumpu kepada sepemahaman
seperti yang terbungkus dalam P-4. Sarasehan ini mempola pemahaman pikiran
para dalang tentang P-4. Diharapkan dalam membawa misi P-4 para dalang tidak
merusak pertunjukan wayang.43
Di wilayah Kota Semarang sendiri pernah
dilangsungkan pergelaran wayang kulit di Kelurahan Wonotingal, Kecamatan
Semarang Selatan, dengan dalang Ki Ngasiran Gondo Sugito.44
Kelurahan
Wonotingal mulai masuk dalam daftar desa atau kelurahan pelopor P-4 tingkat
Pratama tanggal 18 Desember 1988 dengan nomor registrasi
41Anggota Golkar yang juga menjadi penatar antara lain Gatot Hadianto
Prabowo, Sekretaris DPD II Golkar Kab. Purbalingga. Lihat Daftar Penatar P-4
angkatan LI (51) tahun 1988/1989 Lampiran Keputusan Kepala BP-7 propinsi
Dati I Jawa Tengah tanggal 23 Maret 1989, Arsip Provinsi Jawa Tengah. Prof.
Drs. Suwadji Bustoni, MSc dari GANASIDI Jateng juga pernah menjadi
pembicara dalam sarasehan P-4 yang mengambil judul “Peranan
Seniman/Seniwati dalam Menghadapi Abad 21 (Era Globalisasi)”. Lihat Laporan
Sarasehan Seniman dan Seniwati Tingkat Pembantu Gubernur Jawa Tengah
wilayah Pekalongan tahun 1997, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
42Jawaban Questioner Evaluasi Pembudayaan P-4 di Dati II Se-Jawa
Tengah Tahun 1995/1996 oleh BP7 tanggal 2 April 1996, Arsip Provinsi Jawa
Tengah.
43“Wayang, Antara Tontonan dan Tuntunan”, Suara Merdeka, 10 Februari
1996.
44“Pentas Wayang Kulit di Wonotingal”, Suara Merdeka, 6 November
1992.
13. 413.1.05/0839/88413.1.05/0839/88.45
Namun demikian belum ditemukan
keterangan lebih lanjut apakah ada keterkaitan antara pergelaran wayang kulit
yang diselenggarakan pada tahun 1992 tersebut dengan peran kelurahan
Wonotingal sebagai kelurahan pelopor P-4. Akan tetapi jelas bahwa wayang
benar-benar diakui sebagai salah satu media pemasyarakatan dan pembudayaan P-
4 yang strategis hingga di akhir tahun 1998.46
E. Simpulan
Wayang Kulit Purwa merupakan suatu medium propaganda yang potensial,
karena memiliki beberapa unsur seni yang juga potensial, yaitu :
1. Seni Drama.
Melalui seni drama dapat dihayati dan diketahui makna kefalsafahan yang
mendalam dari setiap lakon yang dipergelarkan. Mayoritas penonton atau
pendengar pergelaran selalu menekankan pilihan pada “bagaimana jalan cerita
yang disampaikan”, bukan “apa cerita yang disampaikan”. Oleh sebab itu dalang
berperan besar dalam menyisipkan pesan-pesan propaganda. Pesan-pesan tersebut
dapat disosialisasikan secara baik dalam janturan, pocapan, dan dialog antar
tokoh. Adegan limbukan dan gara-gara yang sering dinanti juga tak luput dari
target sosialisasi. Lakon-lakon baru juga dicipta untuk memperkaya media
propaganda, seperti Semar Mbabar Jatidiri, Rama Tambak, Ringin Kencana,
Kalingga Bawana, dan lainnya.
2. Seni Sastra
Seni sastra yang didengar dari bahasa pedalangan, ketika disimak dengan benar,
akan tampak kehalusan dan keindahannya. Demikian halnya dengan unggah-
ungguh dalam penggunaan bahasa, misalnya bahasa ngoko untuk bahasa setingkat
45Daftar Desa /Kelurahan Pelopor P-4 Kotamadya Dati II Semarang,
1988, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
46 Poin E (Seni Budaya) dalam Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan
Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 Di Daerah Tingkat II Se-Jawa Tengah
Tahun 1997/1998, BP7 Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun 1997/1998,
Arsip Provinsi Jawa Tengah.
14. punakawan, ngoko alus yang dipergunakan orang tua kepada orang yang lebih
muda dan tinggi martabatnya, lalu bahasa tengahan (madya), bahasa krama,
krama inggil, bahasa kedaton (bahasa kratonan, untuk raja dan bawahannya),
bahasa kadewan (bahasa khusus untuk para dewa), dan bahasa bagongan
(percampuran antara bahasa kedaton dengan bahasa kadewan). Pemilihan bahasa
ini diformulasikan secara baik ke dalam pergelaran oleh Ki Dalang. Pada bagian
janturan contohnya, dalang dapat membawa imajinasi penonton dan pendengar
untuk merasakan kehidupan bernegara yang damai dan terbebas dari penjajahan.
Begitu pun ketika menyampaikan pocapan, dalang dapat menyisipkan pesan-
pesan seperti cinta Tanah Air atau kesadaran untuk menghayati dasar negara. Pada
bagian ginem, penonton dan pendengar seolah dibawa hanyut dalam cerita. Di
sinilah pesan-pesan propaganda sering disampaikan, baik dengan teknik melok,
medhang miring atau nyampar pikolih. Pada era Orde Baru, biasanya pesan-pesan
tersebut digunakan untuk mengkampanyekan Golkar dalam Pemilihan Umum,
Keluarga Berrencana (KB), modernisasi desa, penghayatan Korpri hingga
eksistensi dwifungsi ABRI.
3. Seni Suara dan Karawitan
Seni suara yang sering diperdengarkan dalam pergelaran wayang kulit
dikumandangkan secara ngerangin oleh para wiraswara (penyanyi) dan
swarawati (pesinden) serta Ki Dalang, yang diiringi dengan perpaduan bunyi
gamelan. Banyak gending-gending baru diciptakan dan diperdengarkan dalam
pergelaran wayang untuk menciptakan suasana era pembangunan pada masa
kepemimpinan Soeharto. Maestro Ki Narta Sabdha sering menciptakan gending
dengan nuansa Orde Baru yang kental, antara lain Ladrang Ambangun, Ladrang
Sensus Pertanian, dan Lancaran Identitas Jawa Tengah.
Oleh sebab itu pada masa Orde Baru pergelaran wayang kulit purwa telah
mengalami suatu tekanan yang –bagi masyarakat awam- tidak kentara. Ketakutan
pemerintah akan kebangkitan bahaya laten komunis telah menjadikan
keterbatasan ruang gerak dalam berbagai lini, begitu pun dalam pergelaran
wayang kulit purwa. Keharusan memiliki surat izin ndhalang hingga kejelasan
15. identitas sebagai dalang, bagi dalang tertentu, menjadi suatu bentuk kooptasi
pemerintah terhadap kreativitas dalang. Akan tetapi, bagai sebilah pisau yang
bermata dua, cengkeraman pemerintah kepada dalang juga menjadi ajang
sosialisasi sekunder dari “atas” ke “bawah”. Kekurangmampuan pemerintah
dalam menyampaikan kebijakan-kebijakan mendorong pemerintah mencari jalan
keluar atas kesukaran tersebut. Pemerintah menginginkan seluruh kebijakan yang
dikeluarkan dapat diterima secara baik, dan dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Ketertinggalan masyarakat dalam bidang pendidikan memacu pemerintah
untuk lebih meningkatkan penyampaian kebijakan dengan cara yang sederhana
dan mudah diterima oleh khalayak. Pada akhirnya eksistensi kesenian tradisional
yang tumbuh dan mengakar di masyarakat luas menjadi jalan pemecahan masalah
tersebut. Demikian halnya dengan wayang kulit purwa yang memiliki basis massa
besar di Jawa Tengah. Tak ayal, apa yang sudah menjadi konsensus pemerintah
masuk perlahan ke dalam setiap pergelaran. Dari lakon-lakon yang dimodifikasi
hingga lakon-lakon carangan pun berkembang demi memenuhi arah kebijakan
pemerintah. Sosialisasi KB, Repelita, modernisasi desa, pemasyarakatan P-4 dan
kebijakan lain menjadi menu harian para dalang. Efektivitas dirasakan baik oleh
para dalang, pemerintah, maupun masyarakat umum sebagai pihak yang
“terdoktrin”. Tak jarang penyampaian demi penyampaian dilakukan secara blak-
blakan di samping masih ada dalang yang memegang prinsip pakem
pedhalangan.
Semarang, sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah, menjadi locus atau
ladang yang subur untuk menyebarluaskan propaganda, karena beberapa hal
sebagai berikut. 1) Kota Semarang merupakan pusat pemerintahan Jawa Tengah,
sehingga ada upaya untuk menjadikannya sebagai the centre of Javanese culture
melalui berbagai jenis kesenian termasuk wayang kulit; dan 2) Kota Semarang
merupakan kota di luar pusat kebudayaan Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) yang
memiliki banyak penduduk dengan etnis Jawa. Pementasan wayang kulit purwa di
Kota Semarang lebih mudah disisipi unsur-unsur propaganda pemerintah, karena
16. secara geografis dan politis, pergelaran wayang kulit purwa di Semarang kurang
terikat oleh unsur-unsur pakeliran seperti janturan, pocapan, ginem, sabet,
sulukan, tembang, dhodhogan, keprakan, gendhing, gerongan, dan sindhenan.
Dialog-dialog, gending-gending sampai lakon carangan dipergunakan secara
sistematis oleh pelaku seni pedalangan. Dukungan instansi melalui pemerintah
provinsi Jawa Tengah dan Kota Semarang bersinergi untuk berpartisipasi dalam
pemasyarakatan orde pembangunan. Arus tetaplah arus. Seberapa kuat mengelak,
pada akhirnya akan terbawa juga. Demikian halnya yang dialami oleh dalang-
dalang di Semarang. Ideologi Golkar dan kuningisasi terus menjalar dan siapa pun
harus mau menerimanya. Ekspresi sosial pun tercipta. Ada sinergi antara
penguasa, seniman, dan masyarakat pendukungnya. Terlepas dari genggaman
Orde Baru, gaya pedalangan dalam era Orde Baru telah menciptakan usaha-usaha
untuk mendobrak kelanggengan yang melahirkan kreativitas. Sembari menuju
satu tujuan, satu ideologi yang menjadi poros kebersamaan saiyek saekakapti :
Pancasila.
Daftar Pustaka
Buku
Badan Pusat Statistik. 1990. Semarang Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik. 1993. Semarang Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik. 1996. Semarang Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik. 1998. Semarang Dalam Angka.
Bandem, I Made, Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Bastomi, Suwaji. 1992. Wawawan Seni. Semarang: IKIP Press.
Clark, Marshall Alexander. 2008. Wayang Mbeling : Sastra Indonesia Menjelang
Akhir Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Djajasoebrata, Alit. 1999. Shadow Theatre in Java: The Puppets, Performance
and Repertoire. Amsterdam: The Pepin Press.
Fanamie, Zainuddin. 2005. Restrukturisasi Budaya Jawa : Perspektif KGPAA MN
1. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press.
17. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta:
UI Press.
Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: PT
Temprint.
Haryanto, S. 1988. Pratinimba Adhiluhung. Jakarta: Djambatan.
Hill, David T. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
http://semarang.go.id/selayang_pandang
http://kbbi.web.id/kooptasi
Jazuli, M. 2003. Dalang, Negara, Masyarakat: Sosiologi Pedalangan. Semarang:
Limpad.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
______________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kurasawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial
di Pedesaan Jawa 1942-1945. Terjemahan Hermawan Sulistyo. Jakarta:
PT Grasindo.
Kustara, Al Heru, ed. 2009. Peranakan Tionghoa, Sebuah Perjalanan Budaya.
Jakarta: Intisari Mediatama.
Mulyono, Sri. 1978. Wayang Asal-Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta:
Gunung Agung.
Murtiyoso, Bambang, dkk. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni
Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta.
Poedjosoedarmo, Soepomo, dkk. 1986. Ragam Panggung dalam Bahasa Jawa.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Sadono, Bambang. ed. 1992. Semarang Kota Tercinta. Semarang: Citra
Almamater.
18. Sastropoetro, Santoso. 1991. Propaganda Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa.
Bandung: Penerbit Alumni.
Setiadi, Bram, Amin Pujianto. 2011. DalangKu. Jakarta: CV Cendrawasih Asri.
Setyono, Joko. ed. 1986. Dirgahayu Radio Bangsaku Sekali di Udara Tetap di
Udara. Semarang: RRI Semarang.
Soedarsono. 2003. Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soekirno. 1957. Semarang. Semarang : Djawatan Penerangan Kota Besar
Semarang.
Soetarno, Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo : ISI Press.
Sunarjo, Djoenaesih S. Sunarjo. 1981. Himpunan Istilah Komunikasi. Yogyakarta:
Liberty.
Susetya, Wawan. 2007. Dhalang, Wayang, dan Gamelan. Yogyakarta: Narasi.
Walujo, Kanti. 1994. Peranan Dalang Dalam Menyampaikan Pesan
Pembangunan. Jakarta: Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan
Grafika Departemen Penerangan RI.
Warsito, Tulus, Wahyuni Kartikasari. 2007. Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan
Relevansi Bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta:
Ombak.
Wasino. 2007. Dari Riset Hingga Tulisan Sejarah. Semarang: Unnes Press.
Wirastodipuro. 2006. Ringgit Wacucal, Wayang Kulit, Shadow Puppet. Solo: ISI
Press.
Witjaksono, Djoko Nugroho, dkk. 1995. Menyimak Budaya Jawa Tengah.
Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Provinsi
Jawa Tengah.
Laporan Penelitian
Kartodirdjo, Sartono, et.al. “Laporan Survey Pertunjukan Rakyat Tradisionil”
(Laporan Penelitian Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 1975).
19. Moehadi, et.al., “Laporan Akhir Penelitian tentang Potensi Pergelaran Wayang
Purwa dalam Pembangunan” (Laporan Penelitian Kerjasama Bappeda
Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra Undip 1994/1995).
Jurnal
Jaka Rianto, “Interaksi Seni Pertunjukan Wayang dan Politik”, Jurnal Universitas
Negeri Yogyakarta, hlm. 7, diunduh pada 12 Agustus 2014.
Sutarno, “Gaya Pedalangan Wayang Kulit Purwa Jawa serta Perubahannya”,
Jurnal Mudra Vol. 26, Nomor 1, Januari 2011.
Sutiyono, “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal Imaji,
diunduh pada 12 Agustus 2014.
Arsip
“Daftar Desa /Kelurahan Pelopor P-4 Kotamadya Dati II Semarang”, 1988, Arsip
Provinsi Jawa Tengah.
“Daftar Penatar P-4 angkatan LI (51) tahun 1988/1989 Lampiran Keputusan
Kepala BP-7 propinsi Dati I Jawa Tengah tanggal 23 Maret 1989”, Arsip
Provinsi Jawa Tengah.
Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 1989 tentang Tahun Kunjungan Wisata
Indonesia 1991.
Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 1989 tentang Dasawarsa Kebudayaan.
“Jawaban Questioner Evaluasi Pembudayaan P-4 di Dati II Se-Jawa
Tengah Tahun 1995/1996 oleh BP7 tanggal 2 April 1996”, Arsip Provinsi Jawa
Tengah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1986 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Kampanye Pemilihan Umum.
“Keputusan Kepala BP-7 Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor 431/196/1995
tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Lomba Dalang, Waranggono serta
20. Sarasehan Seniman dan Penatar P-4 Kabupaten Pati tahun 1995/1996”,
Arsip Provinsi Jawa Tengah.
“Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 Di
Daerah Tingkat II Se Jawa Tengah Tahun 1995/1996”, 1996, BP7 Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun 1995/1996, Kanwil Deppen Prov.
Jateng, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
“Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pemasyarakatan Dan Pembudayaan P4 di
Daerah Tingkat II Se Jawa Tengah Tahun 1996/1997”, 1997, BP7 Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun 1996/1997, Kanwil Deppen Prov.
Jateng, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
“Laporan Tahunan 1996/1997 Kan Deppen Kodia Semarang”, 1997, Kanwil
Deppen Prov. Jateng, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
“Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 di
Daerah Tingkat II Se-Jawa Tengah Tahun 1997/1998”, BP7 Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun 1997/1998, Arsip Provinsi Jawa
Tengah.
“Laporan Sarasehan Seniman dan Seniwati Tingkat Pembantu Gubernur Jawa
Tengah wilayah Pekalongan tahun 1997”, 1997, Arsip Provinsi Jawa
Tengah.
“Pokok-Pokok Sambutan Kepala BP7 Propinsi Dati I Jateng pada acara
Bhinekakarya Pancakarsa tahun 1993/1994”, BP7 Propinsi Daerah Tingkat
I Jawa Tengah Tahun 1993/1994, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
“Pakem Pedhalangan Lampahan Kalingga Bawana”, Soeparno Hadiatmodjo,
Semarang, 1982.
“Surat Dinas Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila Daerah Tingkat I Jawa Tengah kepada Kepala
BP7 Kabupaten/Kodya Dati II se Jawa Tengah”, 20 Nopember 1996,
Arsip Provinsi Jawa Tengah.
“Surat Dinas Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila Daerah Tingkat I Jawa Tengah kepada
21. Bupati/Walikotamadia Kepala Daerah Tingkat II se-Jawa Tengah”, 1 April
1996, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
“Surat Dinas B.P7 DATI II Semarang kepada Kepala Kantor Deppen Kodya
Semarang, Ketua DPD II Golkar Kodya Semarang, dan Kepala Kantor
Depdikbud Kodya Semarang”, 15 Januari 1996, Arsip Provinsi Jawa
Tengah.
“Surat Gubenur Kepala Daerah Tingkat I Jateng perihal Pembudayaan P-4 melalui
Bhinekakarya Pancakarsa”, 16 Oktober 1991, Arsip Provinsi Jawa
Tengah.
Naskah Lakon Wayang Kulit Purwa Semar Mbabar Jati Diri, Tim Delapan
Pepadi Pusat, Jakarta, 1995.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan.
Rekaman Audio
Rekaman Pergelaran Wayang Kulit Lakon “Kresna Kembang” di Auditorium RRI
Semarang, 15 Februrari 1992, dalang: Ki Djoko Winarno.
Rekaman Pergelaran Wayang Kulit Lakon “Duryudana Gugur” di Auditorium
RRI Semarang, 21 Desember 1991, dalang : Ki Manteb Soedharsono.
Rekaman Pergelaran Wayang Kulit Lakon “Sesaji Raja Soya” di Auditorium RRI
Semarang, 26 Oktober 1996, dalang: Ki Kisdi.
Rekaman Pergelaran Wayang Kulit Lakon “Prabu Sanditomo” di Auditorium RRI
Semarang, 30 November 1991, dalang: Ki Tugino Hadi Purwanto.
Surat Kabar
“Wayang Kritik: Kesenian Tradisionil yang Hampir Punah”, Sinar Harapan, 28
September 1980.
22. AK Wiharyanto, “1986, Tahun Kesadaran Nasional?”, Suara Merdeka, 8 Januari
1986.
“Badan Pengkajian Kebudayaan Jateng Nanti Malam Dilantik”, Suara Merdeka, 8
Januari 1986.
“13 Buah Sajak Rendra Tidak Boleh Dibaca di Semarang”, Suara Merdeka, 8
Februari 1986.
Yohanes Sumadya, “Partisipasi Pers dalam Pembangunan Pedesaan (2)”, Suara
Merdeka, 8 Februari 1986.
“Kerawanan Menjelang Pemilu 1987: Dari yang Tak Mau Menerima Pancasila
Sebagai Satu-Satunya Azas”, Suara Merdeka, 8 Februari 1986.
“Gubernur Jateng: Hindari Kampanye yang Penuh Emosional dan Menyesatkan”,
Suara Merdeka, 9 Januari 1987.
“Mensesneg/Ketua Umum DPP Golkar : Kemenangan Golkar Dicapai Lewat
Jalan Bersih”, Suara Merdeka, 2 Maret 1987.
“Wayang Kulit Dari Waktu ke Waktu , Tanggung Jawab Kita Untuk
Melestarikannya”, Suara Merdeka, 15 Maret 1987.
“Kampanye Putaran 7 di Daerah-Daerah : PPP Hanya Inginkan Kebebasan,
Golkar Harap Pemudanya Tak “Memble” dan PDI Kembali Pawai”, Suara
Merdeka, 14 April 1987.
“Ruwatan, Sebuah Karya Kritik Sosial”, Kompas, 3 September 1990.
“Gubernur: Kesenian Tradisional Bisa Dijadikan Referensi Kultural”, Suara
Merdeka, 5 Oktober 1992.
“Wali Kota Programkan Pentas Wayang Kulit di 9 Kecamatan”, Suara Merdeka ,
10 Oktober 1992.
“Pentas Wayang Kulit di Wonotingal”, Suara Merdeka, 6 November 1992.
“Per Maret 2013 Semarang Tambah 7 Kecamatan”, Suara Merdeka, 28
November 1992.
“Wayang Kulit di Gradika Bhakti Praja”, Suara Merdeka, 28 November 1992.
“Merasa Diingkari Pengusaha: Warga Dukuh Tapak Tetap Gugat Rp 1,9 Miliar”,
Suara Merdeka, 13 Desember 1991.
23. “Ketua Tim Asistensi TP4C: Pemohon Kami Usulkan Ikut Penataran P4”, 5
Suara Merdeka, Januari 1996.
“Masih Ada WNA yang Belum Mengurus Pewarganegaraan”, Suara Merdeka, 6
Januari 1996.
“Lewat Wayang Kulit Gubernur Padukan Tuntunan dan Tontonan”, Suara
Merdeka, 9 Februari 1996.
“Kampanye Golkar Dimeriahkan Artis”, Suara Merdeka, 4 Mei 1997.
“Perubahan Iklim Demokrasi Belum Akan Muncul Pada Tahun 1996”, Suara
Merdeka, 8 Januari 1996.
FS Swantoro, “Menguatnya Politik Aliran dan Pemilu 1997”, Suara Merdeka, 23
Januari 1996.
“Pergelaran Wayang Kulit Berhadiah”, Suara Merdeka, 6 Januari 1996.
“Gubernur Soewardi: Saya Terharu Melihat Kesenian Tradisional”, Suara
Merdeka, 3 Februari 1996.
“Ki Manteb Nanti Malam di Pucanggading”, Suara Merdeka, 29 Mei 1996.
Suara Merdeka, 2-4 Mei 1997.
“Gugatan Penguningan : Tak Ada Instruksi Gubernur”, Suara Merdeka, 12 Mei
1997.