1. BAB I PENDAHULUAN
A. Pengantar Isi Tulisan
Hukum itu ada dan berlaku dalam masyarakat. Karena itu,
sebagai salah satu masalah manusia, hukum merupakan suatu
permasalahan yang senantiasa dihadapi umat manusia dimana dan
dalam waktu kapanpun. Berkaitan dengan itu, Harolp J. Berman,
mengtakan hukum itu adalah:
"One of the deepest concern of all civilized men every where".1
Sebagai suatu permasalahan yang paling dalam bagi setiap
manusia yang berperadaban dimanapun juga).
Proses kehidupan hukum menampakan diri dalam berbagai
bentuk, baik dalam bentuk peraturan yang tertulis, tidak tertulis,
lembaga-lembaga hukum maupun sebagai proses yang tumbuh
dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan hukum tidak
tertulis itu adalah hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat sebagai
salah satu bagian dari hukum pada umumnya akan merupakan
sebuah permasalahan juga dan senantiasa sebagai suatu
permasalahan yang selalu dihadapi oleh bangsa dan negara kita,
1 Harolp J. Berman, Talks on American Law, Voice of America Forum Lectures, Washington,
1973, hal.3.
1
2. apalagi dalam kerangka pembangunan nasional. Oleh sebagian
sarjana, hukum adat dipandang sebagai salah satu kebanggan
nasional yang dimiliki bangsa Indonesia, karena dari hukum adat
dapat dilihat bentuk dan wajah kepribadian bangsa. Sehubungan
dengan itu M. Nasroen, mengatakan:
Bahwa keasanggupan bangsa Indonesia dalam soal
kebudayaan, ternyata dari hukum adat ini adalah tinggi mutunya
dalam mengatur ketatanegaraan dan mengatur budi pekerti dan
pergaulan hidup manusia. Hukum adat ini adalah asli kepunyaan
dan ciptaan bangsa Indonesia sendiri.2 Akan tetapi kita harus ingat
dan sadar bahwa sekarang ini hukum adat eksistensinya dalam
suasana perubahan sosial yang sangat cepat.
Sejak tahun 1945, dirasakan telah mulai terjadi perubahan
sosial yang cukup mencolok, bila dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini disebabkan, sejak saat itu, proses
perkembangan masyarakat berubah dengan cepat, dari proses yang
sifatnya spontan, yaitu yang dibiarkan pada perkembangan spontan
dari faktor-faktor sosial budaya dalam masyarakat, sekarang
diarahkan pada suatu keadaan masyarakat yang dicita-citakan,
2 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, Bulan Bintang Jakarta, 1967, hal.14
2
3. yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam perkembangan yang demikian, hukum adat senantiasa
dipermasalahkan, yaitu mengenai bagaimana kedudukan hukum
adat, baik kedudukannya sebagai bagian dari tata hukum Negara
Republik Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan pembinaan
hukum nasional dan pembangunan pada umumnya. Walaupun
persoalan ini sudah sering diperbincangkan, kiranya untuk
mengemukakan kembali sebagai bahan perbandingan dan bahan
pemikiran kembali dalam mempelajari persoalan-persoalan hukum
di negara kita, membicarakan tentang kedudukan hukum adat
adalah suatu hal yang menarik. Sehubungan dengan itu Paul
Scholten, mengemukakan:3 "Tot jurist wordt enkel gevormd, wie
tolkens weer leert het ene rechtordel tegen het andere of te wegen,
daar bij begripend daat voor beide iets te zeggen volt".
(Hanya mereka yang telah berkali-kali belajar menimbang
pendapat hukum yang satu terhadap pendapat hukum yang lainnya,
dengan menyadari sepenuhnya bahwa pada keduanya pendapat
tersebut ada sesuatu yang dapat dibenarkan, maka hanya dialah
yang dapat menjadi seorang ahli hukum). Disamping itu bagaimana
3 Scholten-Assers, Handleiding tot beofening van het Nederlandsch Burgelijke Recht,
Algemeen dell, we Tjeenk Wiclink Zwolle, 1934.
3
4. perkembangan hukum di negara kita, khususnya berkenaan dengan
hukum adat. Berbagai pertemuan ilmiah telah mengkontatir betapa
pentingnya kedudukan hukum adat dalam rangka proses
pembinaan hukum nasional dan pembangunan nasional pada
umumnya. Dalam Seminar Hukum Nasional III di Surabaya, telah
dinyatakan, bahwa pembinaan hukum nasional harus
memperhatikan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup
dalam masyarakat (the living law). Kemudian dalam seminar
Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Jogyakarta pada
tahun 1975 telah disimpulkan, bahwa hukum adat adalah
merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh
bahan bagi pembangunan hukum nasional. "Adanya kelainan
penafsiran tentang pengertian hukum adat yang dimaksud oleh
UUPA yang mengakibatkan kelainan dalam menetapkan kedudukan
serta ruang lingkup dari pada hukum adat tersebut."
Masalah tersebut bagi para pakar hukum, dalam rangka
penelitian hukum, khususnya hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat dan demi kepentingan pembinaan hukum Nasional,
maupun dalam rangka penegakan hukum serta pendidikan hukum,
sebaiknya harus memprioritaskan identifikasi dan inventarisasi
4
5. hukum adat pada masyarakat tertentu.
Terhadap para sarjana yang telah mengagung-agungkan
kedudukan hukum adat padahal sudah "out of date", sebaiknya
segera meninggalkan pandangannya tersebut, sebab apabila kita
berpegang teguh pada hukum tersebut, berarti kita mundur beerapa
langkah dari gerak modernisasi, sebab hukum adat yang demikian
akan menghambat atas lajunya pembangunan nasional. Kiranya
hukum adat yang yang telah out of date itu hanyalah penting
sebagai sejarah hukum saja.
Mereka yang terlalu mengagung-agungkan kedudukan
hukum adat, terlalu berlebihan mengingat sudah tidak sesuai lagi
dengan fakta yang sebenarnya, karena berdasarkan kenyataan skope
lingkungan kuasa hukum adat dewasa ini kian dibatasi, hal ini
berakibat tidak berperannya hukum adat dalam kehidupan di
masyarakat yang sudah tidak terjangkau lagi oleh hukum adat.
Dengan demikian benarkah hukum adat masih mempunyai peranan
penting, bila peranannya masih ada, bagaimana peranannya
tersebut? Sebenarnya perbedaan pendapat diantara para pakar
hukum, sebab bibit pertentangannya sudah dimulai sejak jaman
kolonial, ada yang pro dan yang kontra. Sebetulnya perbedaan
5
6. pandangan tersebut pada masa sekarang merupakan hal yang wajar
dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
hukum pada khususnya seperti apa yang dikatakan oleh Paul
Scholten tersebut di atas.
B. Konsepsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional
Apabila kita mau menelaah berbagai permasalahan hukum
yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat kita, dalam
hal ini tidak bisa terlepas dari alam pikiran dan kerangka dasar
Pembangunan Nasional yang sedang berjalan sebagai suatu
hubungan yang bersifat interdependensi, yaitu suatu hubungan
yang sedemikian erat dan saling menentukan antara satu dan lain,
oleh karena itu dalam studi hukum dewasa ini perlu selalu
dikaitkan dengan masalah-masalah pembangunan yang tercermin
dalam "Studi Hukum Dan Pembangunan" atau dengan tumbuhnya
suatu cabang hukum baru yang bernama "DEVELOPMENT
LAW", atau hukum pembangunan.4
Sebelum kita menguraikan hubungan antara hukum dan
pembangunan terlebih dahulu akan dirumuskan apa yang
dimaksud dengan pembangunan nasional itu, yaitu:5
4 Michael Hager, Development Law for The Developing Nations, Working Paper World peace
through law, Abijan, 1973.
5 Sondah P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Gunung Agung Jakarta, 1974, hal.2
6
7. Merupakan suatu rangkaian usaha pertumbuhan dan
perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu
bangsa, Negara dan Pemerintah, menuju modernisasi dalam
rangka pembinaan bangsa (nation building). Rumusan tersebut
bila dianalisa lebih lanjut akan terlihat beberapa ide pokok yang
sangat penting untuk diperhatikan tentang pembangunan, yaitu:
1. Pembangunan merupakan suatu proses, proses berarti suatu
kegiatan yang terus menerus dilaksanakan, barang tentu proses
itu dapat dibagi menjadi tahap-tahap tertentu yang berdiri
sendiri (independent phase of a proces). Pentahapan itu dibuat
berdasarkan jangka waktu, biaya atau hasil tertentu yang
diharapkan akan diperoleh;
2. Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar
dilaksanakan bila ada kegitannya yang kelihatan seperti
pembangunan, tetapi sebenarnya tak dilaksanakan secara sadar
dan timbul hanya secara insidentil di masyarakat, tidaklah
dapat digolongkan kepada katagori pembangunan;
3. Pembangunan dilakukan secara berencana dan perencanaan itu
berorientasi kepada pertumbuhan dan perubahan.
4. Pembangunan mengarah pada modernitas. Modernitas diartikan
7
8. sebagai cara hidup yang baru yang lebih baik dari pada
sebelumnya serta kemampuan untuk lebih menguasai alam
lingkungan, dalam rangka usaha meningkatkan kemampuan
swasembada dan mengurangi ketergantungan pada pihak lain.
Salah satu ciri dari masyarakat yang telah mencapai tingkat
modernitas yang tinggi ialah masyarakat itu makin dapat
melepaskan diri dari tekanan dan kekangan alam, bahkan
dapat menguasai alam sekelilingnya.
5. Modernitas yang dicari melalui pembangunan itu bersifat
multy dimensial, artinya modernitas itu mencakup seluruh
aspek kehidupan bangsa dan negara, terutama aspek politik,
ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional
dan administrasi.
6. Kesemua hal yang telah disebutkan di atas ditujukan kepada
usaha membina bangsa (nation building) yang terus menerus
harus dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan
negara yang telah ditentukan sebelumnya Pembangunan
nasional yang dilancarkan di negara kita hakekatnya
merupakan usaha modernisasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu usaha
8
9. transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola
kehidupan modern yang sesuai dengan kemajuan jaman dan
didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pelaksanaan pembangunan dewasa ini telah
mendapat pemantapan dengan diberikannya landasan
operasional oleh MPR, yaitu melalui GBHN yang isi
sebenarnya adalah Pola Umum Pembangunan Nasional yang
memuat tujuan, landasan, asas, serta perincian dari pada
bidang pembangunan yang akan diselenggarakan. Penegasan
selanjutnya diberikan secara terperinci dan bertahap oleh
pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun untuk
berbagai tahapan, hingga sekarang sudah sampai pada
REPELITA V. Sehingga hal tersebut benar-benar merupakan
suatu usaha yang berencana dan terarah.
Hukum dalam kaitannya dengan kerangka dasar
Pembangunan Nasional tersebut, mewujudkan diri dalam 2
(dua) wajah, yaitu: Disatu pihak hukum memperketatkan diri
sebagai suatu aspek dari pada pembangunan, dalam arti bahwa
hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari pada pembangunan
itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha
9
10. penegakan pembangunan dan pembinaannya. Sedangkan dilain
pihak hukum itu harus dipandang sebagai "alat" (tool) dan
sarana penunjang yang akan menentukan keberhasilan usaha-
usaha pembangunan nasional.Tentang masalah hubungan
hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai konsep
yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka
berpendapat bahwa suasana pembangunan sebagaimana
dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya sekedar "as a tool
of social control" dalam arti sebagai alat yang berfungsi
mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan
oleh Roscoe Pound, hukum juga berfungsi sebagai "as a tool
of social engineering".6
Berkaitan dengan ini Sunaryati Hartono berpendapat,
bahwa hukum itu adalah merupakan salah satu "Prasarana
Mental" untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan
cara tertib dan teratur tanpa menghilangkan martabat
kemanusiaan dari pada anggota-anggota masyarakat, yaitu
dikala berfungsi untuk mempercepat proses pendidikan
masyarakat (merupakan bagian dari "social education") ke arah
6 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, 1954, hal.47.
10
11. sikap mental yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita-
citakan. 7
Seminar Hukum Nasional di Surabaya tahun 1974
telah mengkonstatatir; bahwa hukum merupakan salah satu
sarana penting bagi pembangunan, yaitu baik sebagai penjamin
kepas tian dan ketertiban maupun sebagai alat untuk
mengadakan perubahan-perubahan ke arah kemajuan untuk
membina masyarakat yang dicita-citakan. Jadi dengan
demikian konsepsi tentang hukum adalah sudah beranjak jauh
meninggalkan konsepsi lamanya. Konsepsi lama yang
menyatakan "het recht hink achter de feiten aan" (hukum
mengikuti perkembangan masyarakat) yang menurut Mochtar
Kusumaatmadja, SH.,LL.M. sudah ditinggalkan. Oleh beliau
ditegaskan lebih jauh bahwa hukum merupakan sarana
pembaharuan masyarakat adalah didasarkan atas anggapan
bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam usaha
pembangunan atau pembaharuan yang diinginkan adalah
mutlak. Anggapan lain hukum sebagai sarana pembaharuan,
adalah: Bahwa hukum dalam arti kaidah atas peraturan hukum
7 Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di
Indonesia, Bina Cipta Bandung, 1972, hal.335.
11
12. memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana
pembangunan dalam arti pengatur arah kegiatan manusia kearah
yang dikehendaki oleh pembangunan.
Kedua fungsi tersebut menurut pendapatnya
diharapkan dapat dilakukan oleh hukum, disamping fungsinya
yang tradisional, yaitu untuk menjamin kepastian dan
ketertiban.8 Menurut Satjipto Rahardjo, SH. sehubungan
dengan konsep "law as a tool of social engineering"
perkembangannya terjadi secara lambat tapi pasti, maka
ungkapan "social engineering" hukum mulai masuk ke dalam
khasanah perbendaharaan istilah di negara kita. 9
Salah satu ciri penting dari penggunaan hukum
sebagai sarana melakukan "social engineering" ini menurut
pendapatnya, adalah: Bahwa usaha ini merupakan kegiatan
yang berlanjut, merupakan suatu proses kecemasan yang
sering dialamatkan kepada pengaturnya oleh hukum pada
umumnya adalah bahwa hukum itu sering menimbulkan
suasana tirani peraturan-peraturan atau penjajahan oleh
8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta Bandung, 1975, hal.5
9 Satjipto Rahardjo, Usaha Mengatur Masyarakat Secara Realistik, Kompas, Senin 17 Maret
1975.
12
13. hukum. Hal ini terjadi oleh karena hukum hanya berpegang
pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah, memaksa,
serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah
ketentuan yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif.
Dalam keadaan demikian apakah tidak terlalu menegakkan
semboyan "manusia untuk hukum" dan budaya "hukum
untuk manusia". Berlawanan dengan ini maka apabila
pengaturan oleh hukum itu dilihat sebagai suatu proses, maka
mengandung kebijaksanaan, bahwa pengaturannya yang dibuat
oleh hukum pada suatu saat itu tidak rampung (final) sifatnya,
melainkan harus senan tiasa diikuti seperti efektivitas dari
pengaturan tersebut. Oleh karena itu di dalam "Social
Engineering" ini sangat penting peranan dan umpan balik
(feedback), agar pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan
kepada keadaan yang timbul di masyarakat.
Apabila kita lihat hukum itu sebagai suatu sarana
penunjang terhadap pembangunan, maka hukum itu harus
mempunyai suatu pola tertentu. Michael Hoger dalam
hubungan ini untuk menetralisir apa yang dinamakan dengan
"development law" atau hukum pembangunan mengemukakan,
13
14. bahwa yang dimaksud "Development law", adalah: "Suatu
sistem hukum yang sensitif terhadap pembangunan yang
meliputi keseluruhan hukum substantif, lembaga hukum berikut
keterampilan para sarjana hukum secara sadar dan aktif
mendukung proses pembangunan. Dalam sistem hukum ini,
development law meliputi segala tindakan dan kegiatan yang
memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga hukum,
organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum
serta segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian
problem khusus pembangunan".
Konsepsi development law selaras dengan orientasi
baru mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A.
Vilhem Rusted yang mengatakan Hukum itu adalah "the legal
machianery in action" yaitu sebagai suatu kesatuan yang
mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, Advokat dan keadaan diri pribadi
dari pada individu penegak hukum itu sendiri bahkan juga
fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum.
Dikutif dari S Tasrif, SH., Peranan Hukum Dan Pembangunan,
14
15. Prisma No.6 tahun ke III, 1973, hal.3
Hukum dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan
menurut Michael Hoger dapat mengabdi dalam 3 (tiga)
sektor, yaitu:
1. Hukum sebagai alat penertib (ordening); Dalam rangka
penertiban ini, hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi
pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang
mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik, iapun
dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan
kekuasaan.
2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan dan keharmonisan
balancing). Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan
keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum
dan kepentingan perorangan.
3. Hukum sebagai katalisator; Sebagai katalisator hukum dapat
membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan
melalui pembaharuan hukum (law reform) dengan bantuan
tenaga kreatif dibidang profesi hukum.Sehubungan dengan
konsep hukum yang dikemukakan di atas, maka pendekatan
yang dipergunakan pada hukum pada umumnya adalah
15
16. bersifat sosiologis. Prosesnya dari tingkah laku dan perbuatan
orang. Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai
warga masyarakat, senantiasa mengarahkan dirinya pada suatu
keadaan yang dianggapnya wajar yang terwujud dalam pola-
pola tertentu. Dan apabila pola-pola tersebut mulai tidak dapat
menjamin kepentingan-kepentingannya, maka niscaya manusia
akan berusaha untuk merobah pola-pola tersebut. Dengan
demikian maka pola-pola yang mengatur pergaulan hidup
terbentuk melalui proses pengkaidahan yang tujuannya sangat
tergantung pada objek (pengaturan-nya)yaitu aspek hidup
pribadi dan antar pribadi. Apabila arah proses pengkaidahan
tersebut tertuju pada hubungan antar pribadi dan ketenangan
pribadi, maka proses tersebut menuju pada pembentukan
kaidah-kaidah hukum. Proses pengkaidahan tersebut oleh
warga masyarakat atau oleh sebagian kecil dari masyarakat
yang mempunyai kekuasaan dan wibawa. Dr. Soerjono
Soekanto, SH.,MA., Beberapa Catatan Tentang
Pembangunan Hukum, Majalah Hukum Dan Pembangunan
No.1 tahun 1974, hlm.40 Proses pengkaidahan yang terjadi di
atas biasanya mewujudkan hukum-hukum normatif dalam
16
17. bentuk peraturan-peraturan, bila pengkaidahan dilakukan dari
bawah/masyarakat akan terwujud hukum adat dan kebiasaan.
Proses pembentukan hukum adat dari bawah melalui
pergaulan masyarakat sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang
ingin dicapai oleh pergaulan hidup yang bersangkutan.
Menurut pandangan seperti tersebut di atas, hukum tidak
lagi dikonsepsikan sebagai gejala normatif otonom, akan tetapi
sebagai "lembaga sosial" (social institution)yang secara riil
mempunyai kaitan dengan variabel sosial lainnya. Hukum
sebagai gejala sosial empirik dipandang sebagai sesua tu
independent variabel yang menimbulkan berbagai effek
kepada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya dan sekaligus
juga sebagai dependent variabel yang merupakan hasil dari
bermacam-macam kekuatan sosial dan suatu proses
kemasyarakatan. Disini hukum tidak hanya dipandang sebagai
development variabel (effek) yang berproses karena meresponse
pembangunan, akan tetapi juga secara logis akan dikonsepsikan
sebagai independent variabel (kausa) yang berfungsi
menentukan bentuk dan arah pembangunan. Soetandyo
Wignyosoebroto, Pembahasan Prasaran Teuku Mohammad
17
18. Rusli; Penelitian Hukum Dalam Pembinaan Dan
Pembahasan Hukum Nasional, Seminar Hukum Nasional III
tahun 1974 di Surabya, hal.2.
Melihat dan menelaah hubungan hukum dan
pembangunan, maka wajarlah kalau hukum dilihat juga dalam
posisi logisnya sebagai faktor yang aktif, kreatif yang ikut
memberi arah kepada pembangunan. Berpangkal tolak dari
asumsi demikian, dapat dinyatakan bahwa hukum itu
mengandung kemampuan untuk menertibkan effek-effek
positip kepada proses-proses sosial budaya.
Kalau kita lihat secara sepihak, hukum dalam posisinya
sebagai dependent variabel, adalah jelas bahwa hukum itu
adalah hasil kristalisasi dari berbagai kekuatan sosial yang ada
dalam masyarakat yang juga secara nyata dapat memberi
bentuk dan menentukan wujud terhadap sesuatu hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena ada
perbedaan dalam hal berbagai hubungan dan kekuatan sosial
ini, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya,
terlihat adanya perbedaan antara hukum dalam masyarakat yang
satu dengan hukum yang berlaku di masyarakat lainnya, karena
18
19. kesemuanya tergantung pada hal tersebut. Setiap bangsa dan
suku bangsa mempunyai hukumnya sendiri-sendiri, Von
Savigny (1779-1861) dari mazhab "Historiscke Rechtskhule
mengatakan:Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit
dem volke.(ukum itu tidak diciptakan, dia adalah dan timbul
dengan rakyat) Konsep hukum yang demikian sebenarnya
sudah cukup lama tumbuh dan berkembang dikalangan para ahli
hukum kita. M.M. Djojodogoeno telah menegaskan bahwa:
Hukum itu bukan suatu rangkaian ugeran (norma) akan
tetapi suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu adalah
pengugeran (normering) yang berarti pembatasan dari
tingkah laku dan perbuatan orang dalam hubungannya dengan
pamrih. Karya tersebut bermaksud menyelenggarakan tata yang
adil. Djojodigoena, Reorientasi Hukum Dan Hukum Adat,
Universitas Pres Yogjakarta, 1958, hal.4-14).Bahwa hukum
selaku rangkaian ugeran (norma), isi sesungguhnya
merupakan hal yang tegas dan statis. Sedangkan kenyataannya
hukum itu merupakan suatu proses yang terus tumbuh sesuai
dengan pertumbuhan jamannya.Djojodigoeno, Kuliah Hukum
Adat 1961-1962, Badan Penerbit Gajah Mada Yogyakarta,
19
20. 1962, hal.18).Pandangan itu kemudian dipertegasnya kembali
dalam salah satu karyanya yang ditulis untuk Universitas
Nijmegen tahun 1971, ia menyatakan:"een onophandelijk zich
vernieuwend proces van Normeringen door een gemeenschap,
rechts streeksoof door middel van here gezagsorganis, van de
voor xakelijke verhoudingen relevantse handelenen en
gedragingen van here leden, de zin heeft orde, gerechtigheid en
gezamelijke welvoortte funderen en te order houden". Nat is
de Recht? Ones de dard van het Recht als social proces van
normeringen, Untag, University Press, Jakarta, 1971,
hal.24.Hukum itu adalah suatu proses pengkaidahan yang terus
menerus mengadakan pembaharuan yang dilakukan oleh
masyarakat baik secara langsung maupun dengan perantaraan
alat-alat kekuasaannya tentang perbuatan dalam hubungan
pamrih dan tingkah laku dari anggota-anggotanya, yang
mempunyai arti untuk memberi dasar untuk mempertahankan
ketertiban, keadilan dan kesejahteraan bersama.Berangkat dari
uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapatlah
disimpulkan:Bahwa dalam masyarakat yang sedang
membangun sebagai halnya Negara Republik Indonesia,
20
21. hukum haruslah berorientasi kemasa depan (forward looking)
bukan berorientasi kemasa lampau (backward looking) seperti
dalam masyarakat sebelum kemerdekaan, segala pemikiran
tentang hukum harus dikaitkan dengan kerangka dasar
Pembangunan Nasional, sehingga segala studi tentang hukum
harus benar-benar merupakan studi yang menunjang pada
pembangunan nasional.Dalam negara yang sedang membangun
seperti "Indonesia" hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-
upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada
yang telah dicapai sebelumnya, menghadapi kenyataan seperti
ini, peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka
mewujudkan tujuan pembangunan sebagaimana telah
ditetapkan. Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekadar
sebagai alat pengendalian sosial social control) saja, melainkan
lebih dari itu, yaitu melakukan upaya-upaya untuk
menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan
cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat
sebagaimana dicita-citakan. Dengan perkataan lain, fungsi
hukum disini adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat,
berarti hukum digunakan untuk mengarahkan pada pola-pola
21
22. tertentu sesuai yang dikehendaki dengan menciptakan pola-
pola baru. Juga berarti mengubah atau bahkan menghapuskan
kekuasaan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman. Dari fungsi hukum tersebut yang serasi
dengan masyarakat yang sedang membangun. Karena dalam
pembangunan itu terdapat hal-hal yang harus dipelihara serta
dilindungi, dilain pihak hukum diperlukan untuk menciptakan
pola-pola yang sesuai dengan pembangunan dan agar
perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan tersebut
berjalan dengan tertib dan teratur. Otje Salman, _Pelaksanaan
Hukum Waris Di Daerah Cirebon Dilihat Dari Hukum Waris
Adat Dan Hukum Waris Islam, Disertasi Unpad, Bandung,
1992, hal.1-2.Begitu pula dengan Ismail Saleh, mengemukakan
ada tiga dimensi pembangunan hukum nasional yang patut
mendapat perhatian yaitu dimensi pemeliharaan, dimensi
pembaharuan dan dimensi penciptaan. Tatanan hukum adalah
harus tetap dipelihara sekalipun sudah tidak sesuai lagi,
sepanjang tatanan hukum baru belum dapat diciptakan. Hal itu
untuk mencegah timbulnya kekosongan undang-undang.
Sementara itu, usaha untuk meningkatkan dan
22
23. menyempurnakan tatanan hukum yang ada dilakukan untuk
bagian-bagian tertentu yang tidak cocok dan tidak sesuai lagi
dengan keadaan. Dimensi itu diperlukan agar tatanan hukum
yang ada tidak perlu dibongkar keseluruhannya. Dimensi
penciptaan berarti dimensi dinamika dan kreatifitas, pada
dimensi ini diciptakan perangkat peraturan perundang-
undangan yang baru, yang sebelumnya memang belum pernah
ada. Dimensi ini digunakan untuk menghadapi tuntutan
kemajuan jaman.
Hamid S Attamimi lebih mengarah hukum sebagai
alat pengubah masyarakat atau social modification. Namun
lebih lanjut dikemukakan bahwa itu tidak berarti bahwa
kodifikasi hukum ke dalam berbagai kitab undang-undang
tidak penting atau tidak perlu, tetapi pengubah masyarakat
kearah cita-cita bangsa adalah lebih penting, lebih diperlukan.
Hamid S Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia,
Pidato Pengukuhan Guru Besar UI, 1989.Upaya kodifikasi
hukum tersebut, sesungguhnya bermaksud mengganti tata
hukum yang kini berlaku yang dibuat oleh pemerintah
kolonial dengan tata hukum baru yang benar-benar
23
24. mencerminkan kesadaran hukum masyarakat. Berkaitan
dengan usaha ini, timbul masalah, sistem hukum yang mana
yang menjadi kesadaran hukum masyarakat, yang dapat
menjadi sumber utama pembentukan hukum nasional. Hal ini
disebabkan, karena hingga saat ini terdapat 3 (tiga) sistem
hukum yang mempengaruhi atau merupakan sumber dari tata
hukum positip Indonesia, yaitu sistem hukum adat, sistem
hukum Islam dan sistem hukum Barat. Mura P. Hutagalung,
Hukum Islam Dalam Era Pembangunan, Jakarta, Ind Hill,
1985, hal.112.
C. Konsepsi Mengenai Pembinaan Hukum Nasional
Pengertian pembinaan hukum nasional secara sederhana
haruslah diartikan sebagai rangkaian kegiatan untuk
memperkembangkan hukum kearah terbentuknya suatu tata
hukum nasional. Konsepsi ini didasarkan pada suatu pemikiran,
bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus
mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang politik
maupun dalam bidang perdata yang mencerminkan kepribadian
jiwa maupun pandangan hidup bangsa tersebut.
Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 1977,hal.57.
24
25. dan lihat juga Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum
Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit
Univer sitas Indonesia, Jakarta, 1975, hal18.
Sebelum kita membicarakan tentang pelaksanaan dan usaha dalam
pembinaan hukum nasional, terlebih dahulu perlu untuk dikemukakan
beberapa pandangan tentang maksud hukum nasional itu sendiri. Para
pakar hukum mempunyai berbagai pandangan tentang arti dari
hukum nasional. Koesno, menyebutkan ada 3 (tiga) aliran pandangan
yaitu:
1. Memandang dari segi pembuatan/pembentukannya;
2. Memandang dari segi jiwa/isinya;
3. Memandang dari segi asal-usul pembuatannya.
Aliran pertama melihat pengertian hukum nasional dari segi formal;
hukum nasional adalah apa yang dibentuk atau ditetapkan oleh
pembentuk undang-undang yang nasional. Aliran kedua melihat
pentingnya hukum nasional dari segi
isinya, yakni hukum yang berisi bahan yang ada dan hidup di dalam
diri bangsa Indonesia sendiri baik yang bersifat idiil maupun yang
bersifat riil.
Aliran ketiga melihat pengertian hukum nasional dari segi asal-
25
26. usulnya yang dibedakan:
a. Dalam arti dasar-dasar yang menjiwai isinya;
b. Dalam arti pembentukannya.
Bilamana isi dari hukum atau perundang-undangan yang
bersangkutan dijiwai oleh politik hukum yang nasional, maka itu
adalah hukum nasional. Bilamana hukum atau perundang-undangan
itu dibentuk oleh pembentuk undang-undang atau hukum dari
pemerintah kolonial, maka itu adalah hukum kolonial.
Hukum nasional adalah hukum atau perundang-undangan yang
dibentuk oleh pembentuk atau hukum dalam arti Pemerintah
Nasional.
Pandangan yang lain tentang Hukum Nasional dikemukakan oleh
Hidjaxie Kartawidjaja, dengan memberikan rumusan sebagai berikut:
Hukum nasional ialah suatu bentuk hukum yang berlaku di Indonesia
yang memiliki ciri-ciri syarat seperti di bawah ini:
1. Memiliki kepribadian sendiri, yang sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia.
2. Mengutamakan kesatuan dan persatuan hukum.
3. Isinya atau jiwanya harus sesuai dan seirama dengan kesadaran
serta hajat hidup hukum bangsa Indonesia.
26
27. 4. Harus berlandaskan pada dan tidak boleh bertentangan dengan
dasar falsafah negara Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945.
Mohammad Hidjaxie Kertowidjojo, Pembentuk Hukum Nasional;
Suatu Sumbangan Pikiran Atas Perintah LIPI, 1973; dikutip dalam
Iman Sudiyat, Pembaharuan Hukum dan Hukum Yang Hidup Dalam
Masyarakat, Proceding Seminar Hukum Nasional III,
1974, hal.3
Pembinaan hukum nasional ini perlu untuk dilaksanakan di negara
kita, menurut Tengku Mohammad Radie ada beberapa hal yang
memberi arti kepada soal pembangunan hukum tersebut. Pertama
alasan psykologis politik, untuk melepaskan diri dari ikatan masa
lampau yang berbau kolonial, dalam rangka menciptakan identitas
bangsa yang merdeka, sebab adanya hasrat untuk mengganti tata
hukum warisan penjajah dengan menonjol pada setiap bangsa,
terutama melalui perjuangan. Karena janggal untuk
mempertahankan hukum kuasa penjajahan dan menjadikannya suatu
tata hukum nasional.
Alasan lain (kedua) agaknya lebih rasional, ialah bahwa acapkali dan
dalam banyak hal hukum di masa lampau tidak cocok lagi dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bangsa yang melekat dari aspek
27
28. pertumbuhannya. Setelah kemerdekaan
yang banyak mengalami perubahan-perubahan. Dengan berpegang
pada pandangan bahwa hukum refleksi dari keadaan masyarakat pada
suatu masa tertentu, maka sukarlah untuk mempertahankan hukum
lama untuk suasana kehidupan baru bilamana dikehendaki hukum
baru dapat memberikan tanggapan yang tepat kepada kebutuhan
masyarakat pada zaman yang telah berubah.
Dimasa yang silam para pakar hukum sangat cenderung untuk
berorientasi kemasa lampau, sehingga hukum kita semakin jauh
ketinggalan dari perkembangan masyarakat dibidang sosial, politik
dan ekonomi yang kebanyakan berorientasi kemasa depan, untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan masyarakat, hukum
tidak hanya harus diperbaharui, akan tetapi pembaharuan hukum perlu
untuk dipercepat. Pembaharuan hukum yang dipercepat ini penting
bila hukum nasional itu hendak merupakan hukum yang fungsional,
yaitu hukum yang dapat menjadi prasarana dalam pelaksanaan
pembangunan nasional pada umumnya.
Usaha pembinaan hukum nasional bukanlah merupakan suatu
tindakan yang mudah, sehubungan dengan adanya keaneka ragaman
peraturan hukum, baik peninggalan penjajah maupun yang dibentuk
28
29. pada masa transisi. Untuk menyalurkan kegiatan dalam pembinaan
hukum nasional, tahun 1956 PERSAHI telah memajukan
permohonan kepada Menteri Kehakiman agar dibentuk panitia negara
pembinaan hukum nasional. Subekti, op.cit. hal.40
Permohonan itu menghasilkan Keputusan Presiden tanggal 30 Maret
1958 No.107 tahun 1958 mengenai pembentukan Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang bertugas membantu
pemerintah secara giat dan penuh daya cipta dalam lapangan
hukum dengan tujuan mencapai Tata Hukum Nasional. Lembaga ini
berkedudukan langsung di bawah Perdana Menetri dengan
beranggotakan para ahli hukum, wakil-wakil golongan teoritis,
politisi dan para praktisi. Soesanto Tirtoprodjo, LPHN, Majalah
Hukum dan Masyarakat No. Kongres I, Jakarta, 1961, hal.221.
Usaha yang harus dilaksanakan lembaga ini, adalah:
a. Menyiapkan penyusunan perundangan yang selaras dengan
keadaan dan kepentingan negara, rakyat serta dengan cita-cita
hukum dan Pancasila yang terkandung dalam UUD 1945.
b. Mengusahakan terjemahan buku yang penting dalam lapangan
hukum ke dalam bahasa Indonesia.
c. Menyelenggarakan peristilahan nasional dalam lapangan
29
30. perundang-undangan.
Dengan keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 kembali
ke UUD 1945, LPHN dibentuk kembali dengan Keppres tanggal 6
Mei 1961 No.194 tahun 1961 yang berkedudukan di bawah
departemen Kehakiman, dengan tugas:
a. Melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional yang dikehendaki
oleh MPRS;
b. Menyiapkan rancangan perundangan nasional untuk
menggantikan peraturan yang tidak sesuai dengan tata
hukum nasional;
c. Menyelenggarakan segala sesuatu untuk menyusun keteraturan
dalam perundang-undangan.
Kemudian dengan Ketetapan Presiden No.282 tahun 1964 dibentuk
suatu LPHN gaya baru yang bertugas melaksanakan Pembinaan
Hukum Nasional, sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana dikehendaki
oleh MPRS dengan tujuan untuk mencapai tujuan tata hukum
nasional berdasarkan Pancasila, yaitu dengan:
1. Menyiapkan rancangan peraturan-peraturan perundang-
undangan yang berpedoman kepada:
a. Ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Tap MPR.
30
31. b. Kebijaksanaan politik Menteri Kehakiman dalam ketetapan
hukum nasional.
2. Mengadakan riset dan dokumentasi serta segala
sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan
Perundangan. Kedudukan lembaga ini kemudian
lebih disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden
tanggal 24 Juli 1965 No.184 tahun 1965. Selanjutnya
dengan SK Menteri Kehakiman No. YS.4/3/7 tahun
1975 mengenai susunan organ dan tata kerja
Departemen Kehakiman, nama LPHN dirubah
menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional, dalam
pasal 616 disebutkan bahwa BPHN mempunyai tugas
menyelenggarakan pengembangan hukum nasional
berdasar kan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Menteri Kehakiman.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada pasal 616 BPHN
berfungsi:
a. Membina penyelenggaraan pertemuan ilmiah bidang hukum;
b. Membina penelitian dan pengembangan hukum nasional;
c. Membina penyusunan naskah rancangan undang-undang dan
31
32. kodifikasi;
d. Membina pusat dokumentasi perpustakaan dan publikasi hukum
(pasal 617).
Sekitar tahun 1972 BPHN setelah mempelajari asas-asas hukum
yang kerap dikalangan rakyat Indonesia, mengadakan rapat
"hearing" dengan golongan terkemuka dan berbagai lapisan
masyarakat. Dari pertemuan tersebut telah berhasil merumuskan asas-
asas tata hukum nasional sebagai berikut:
1. Dasar pokok hukum nasional Indonesia adalah Pancasila;
2. Hukum nasional bersifat:
a. Pengayoman;
b. Gotong-royong
c. Kekeluargaan;
d. Toleransi;
e. Anti kolonialisme, imprealisme, dan feodalisme.
3. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.
4. Selain hukum tertulis diakui hukum tidak tertulis sepanjang tidak
menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia;
5. Hakim membimbing perkembangan hukum (homogenitas) yang
selaras luasnya dan dalam hukum kekeluargaan kearah sistem
32
33. parental.
6. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat
mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum
Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara
Pidana).
7. Untuk pembangunan masyarakat sosialis Indonesia diusahakan
unifikasi hukum;
8. Dalam perkara pidana:
a. Hakim berwenang sekaligus memutus, baik karena jabatannya
maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan;
b. Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut
dan .... disamping atau tanpa pidana.
9. Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk
menjadi warga yang bermanfaat bagi masyarakat.
10. Dalam bidang hukum acara perdata diarahkan jaminan supaya
peradilan berjalan sederhana, cepat dan murah.
11. Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan yang
merupakan jaminan kuat untuk mencegah:
a. .... tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan lebih lama dari
yang benar-benar diperlukan.
33
34. b. Penggeledahan, penyitaan, pembaharuan surat dilakukan
sewenang-wenang. Untuk menghimpun berbagai pemikiran
masalah-masalah hukum dalam rangka pembinaan hukum nasional
LPHN telah menyelenggarakan beberapa kali seminar Hukum
Nasional bekerja sama dengan PERSAHI, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Unair, dan lain sebagainya.
Dasar asas-asas hukum Nasional yang digariskan oleh LPHN yang
mendapat dukungan sepenuhnya dari seminar Hukum Nasional ke I
sebagaimana yang terlihat dalam kesimpulannya yang menyatakan:
1. Dasar pokok hukum nasional Indonesia ialah Pancasila.
2. Hukum Nasional sebagai alat revolusi dengan arti "Tut Wuri
Handayani" serta sebagai expresi cita-cita politik rakyat berfungsi
pengayoman dalam arti membina, mengatur, melindungi tertib
masyarkat sosialisme Indonesia, dimana dijamin keseimbangan antara
kepentingan masyarakat dan kepentingan Individu.
3. Hukum Nasional Indonesia mencrminkan sifat gotong royong,
kekeluargaan, toleransi, dan anti imprealisme, kolonialisme serta
feodalisme dalam segala bentuk.
Dalam seminar Hukum Nasional ke II di Semarang 1968 tidak
membicarakan persoalan dasar Hukum Nasional. Tetapi pada
34
35. Seminar Hukum Nasional II di Surabaya 1974 baru dijumpai kembali
kesimpulan dasar-dasar pembinaan Hukum Nasional, sebagai berikut:
1. Dasar pembinaan Hukum Nasional adalah Pancasila, UUD 1945,
dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
2. Pembinaan Hukum Nasional meliputi seluruh hukum positip
Indonesia, baik sipil maupun militer, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis.
3. Penemuan dan pembentukan hukum yang hidup dalam masyarakat
adalah tugas badan-badan legislatif, eksekutif, dan peradilan dalam
bentuk peraturan perundangan, keputusan-keputusan dan dalam
bentuk putusan-putusan hakim.
Pada bagian lain Seminar Hukum Nasional III memberikan
beberapa kesimpulan antara lain:
1. Pembinaan hukum nasional harus memperhatikan hukum adat
yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living
law).2. Untuk itu pendekatan yang tepat adalah pendekatan
sosiologis yang dapat dijadikan alat untuk mengadakan analisa
sosial. Atas dasar ini dapat dilaksanakan proyeksi sosial. Oleh karena
itu dalam pembinaan hukum, penelitian hukum harus menggunakan
pendekatan yang tidak hanya bersifat ilmu hukum melainkan juga
35
36. harus menggunakan pendekatan interdisipliner yang menggunakan
ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai penunjang.
3. Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-
undangan dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas.
Atas dasar skala prioritas, maka bidang-bidang hukum yang sifatnya
universal dan netral yaitu bidang-bidang hukum yang langsung
menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan perlu diprioritaskan
dalam pembentukannya.
Sedangkan bidang-bidang hukum yang sangat erat hubungannya
dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual dan kehidupan budaya
bangsa memerlukan penggarapan yang seksama dan tidak tergesa-
gesa.
4. Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum
nasional khususnya dan pembangunan nasional umumnya, dengan
mengingat kebutuhan yang mendesak, usaha kearah kodifikasi
dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu
secara bertahap baik dengan undang-undang maupun dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).
5. Pengoperan/pengambilan hukum asing yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat
36
37. memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional.
6. Perlu digiatkan penelitian, terutama dibidang hukum adat diseluruh
daerah untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan nyata tentang
hukum adat yang benar-benar diseluruh tanah air. Sebab kenyataan
yang hidup di daerah itulah yang patut diabtraksikan dalam norma-
norma hukum umum yang dapat diterima oleh seluruh rakyat.
Penelitian secara menyeluruh mengenai hukum yang hidup dalam
masyarakat (the living law) yang meliputi daerah diseluruh Indonesia
ini dapat dipergunakan untuk mengadakan pemecahan persoalan
(problem solving), dengan jalan:
a. Penemuan hukum (rechtvinding)
b. Pembentukan hukum (rechtvorming)
c. Pengembangan hukum (rechtsuitbouw).
7. Akselerasi pembinaan hukum nasional hendaknya dibarengi
dengan usaha peningkatan taraf penghidupan masyarakat yang
relevant untuk berkonvergensi dengan bangsa (nation) lain.
8. Keterbelakangan dan pluformitas tata kehidupan masyarakat yang
pada pokoknya diakibatkan oleh kekurang lancaran komunikasi perlu
diatasi oleh ekstensifikasi pendidikan baik formal maupun non formal
dan penyuluhan hukum (legal information) secara horizontal, simultan
37
38. dengan pembangunan prasarana dan sarana komunikasi.
Seminar-seminar hukum nasional, beberapa simposium dan loka
karya tentang berbagai permasalahan hukum, maksudnya ialah
untuk menghimpun berbagai pendapat dan pandangan berbagai
kalangan dengan harapan dapat memberikan "input" bagi pembinaan
hukum nasional. Selain itu usaha-usaha yang dijalankan BPHN,
usaha-usaha penelitian diberbagai tempat dan daerah serta penulisan
ilmiah dibidang hukum.
Pancasila sebagai dasar hukum nasional tidak perlu dipermasalahkan
lagi, karena sudah merupakan konsensus nasional yang menyatakan
bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber
hukum. Begitu pula halnya dengan
UUD 1945 merupakan hukum dasar Tertulis dalam kehidupan
bernegara di Indonesia.
GBHN berbeda dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
GHBN dibidang hukum memperlihatkan adanya kecenderungan
yang selalu berubah untuk setiap periode pembangunan. Berikut ini
dipaparkan kebijakan hukum dalam GBHN, yaitu
sebagai berikut:
1. Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 antara lain menyebutkan
38
39. bahwa:
Asas-asas pembinaan hukum nasional itu sesuai dengan GBHN dan
berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil makmur.
2. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 memberikan beberapa
arahan di bidang hukum sebagai berikut:
a. Pembangunan di bidang hukum dan negara. Hukum Indonesia
adalah berdasar atas landasan sumber tertib hukum negara yaitu cita-
cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita
hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suatu kejiwaan
serta wajah dari bangsa Indonesia yang didasarkan dalam Pancasila
dan UUD 1945.
b. Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan
menampung keresahan hukum rakyat yang berkembang kearah
modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di
segala bidang sehingga tercapai kepastian dan ketertiban hukum
sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana
penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh, dilakukan dengan:
39
40. 1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional
dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta
unifikasi hukum dibidang-bidang
tertentu, dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam
masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut
proporsinya masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak
hukum.
c. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina
sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan
hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan UUD
1945.
3. Keputusan MPR No.IV/MPR/1978 merumuskan tentang arah
pembangunan di bidang hukum sebagai berikut:
a. Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia
didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945.
b. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar
40
41. hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat
kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah
diciptakan ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar
pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka ini perlu dilanjutkan usaha-
usaha untuk:
1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional
dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi dan
unifikasi hukum dibidang-bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam
masyarakat.
2. Menertibkan badan-badan penegak hukum sesuai dengan
fungsi dan wewenang masing-masing.
3. Meningkatkan kemampuan dan kewajiban aparat penegak
hukum.
4. Membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan
masyarakat yang kurang mampu.
c. Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga
menghayati hak dan kewajibannya dan meningatkan pembinaan
sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum,
keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
41
42. ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
d. Mengusahakan terwujudnya persatuan.
e. Dalam usaha Pembangunan Hukum Nasional perlu ditingkatkan
langkah-langkah untuk penyusunan per-undang-undangan yang
menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka
mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tentang bagaimana cara melaksanakan pembinaan hukum itu,
dalam hal ini masih terdapat beberapa pandangan yang berbeda.
Disatu pihak hendak menggunakan sistem kodifikasi sebagai cara
yang terbaik dalam melaksanakan pembinaan hukum nasional
tersebut. Menurut Sunaryati Hartono, selama 28
tahun hingga kini belum menghasilkan sesuatu, sehingga dapatlah
disimpulkan bahwa kodifikasi tidaklah merupakan jalan yang
paling tepat untuk mengusahakan pembaharuan hukum. Sunaryati
Hartono, Peranan Peradaban Dalam Pembinaan dan Pembaharuan
Hukum Nasional; Prasaran Dalam Seminar Hukum Nasional III,
Surabaya, 1975, hal.5.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa untuk pembinaan dan
pembaharuan hukum yang wajar hendaknya masyarakat dibiarkan
sendiri untuk mencari dan menemukan kaidah-kaidah hukum yang
42
43. paling tepat memenuhi kebutuhannya. Pendapat ini kebanyakan dari
pada para pakar hukum adat, tetapi cara yang demikian menurut
Sunaryati Hartono kurai sesuai dengan tekad kita untuk mengadakan
pembangunan yang berencana yang tidak digariskan dalam GBHN.
Jika kedua cara yang disebut di atas masih kurang cocok,
sehubungan dengan situasi dan kondisi sekarang, maka masih perlu
untuk dipikirkan cara yang lebih efektip dan efisien demi
pelaksanaan Pembinaan Hukum Nasional. Tentunya
dengan tidak mengabaikan hukum adat sebagai faktor yang ikut
menentukannya. Oleh karena itu, sesuai dengan rumusan-rumusan
yang telah dikemukakan dimuka yang paling penting adalah untuk
meletakkan dasar-dasar dari pembinaan hukum tersebut melalui
implementasi Pancasila dan UUD 1945.
Pembaharuan hukum perlu untuk dipercepat. Pembaharuan hukum
yang dipercepat ini
penting bila hukum nasional dapat diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat.
43
44. BAB II
HUKUM ADAT DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
A.Corak Berpikir Masyarakat Hukum Adat Dan
Perkembangannya
Untuk melihat konteks hukum adat dalam dimensi
pembangunan hukum nasional, supaya mendapat gambaran yang
menyeluruh akan diuraikan mengenai corak hukum adat terlebih
dahulu. Di dalam berbagai literatur sering ditemukan, bahwa dalam
kerangka membicarakan tentang hukum adat, terlebih dahulu
dikemukakan mengenai masyarakat hukum adat. Hal ini sangat
penting untuk melihat aspek hukum yang dihasilkannya, karena
corak masyarakat hukum adat satu sama lainnya terdapat
perbedaan.
Ter Haar di dalam bukunya Beginselen en Stelsel van Het
Adatrecht, memberikan unsur-unsur suatu masyarakat hukum adat,
yaitu mempunyai penduduk, mempunyai wilayah, mempunyai
penguasa, mempunyai kekayaan baik materil maupun immateril.
Jadi apabila dilihat sepintas, unsur-unsur suatu masyarakat hukum
adat ada persamaannya dengan unsur-unsur adanya suatu negara
seperti yang tercantum dalam Convensi Montevidio. Perbedaannya
terletak, pada syarat yang terakhir, yaitu dalam masyarakat hukum
adat diharuskan adanya syarat memiliki benda/kekayaan baik
44
45. materil maupun immateril.
Suatu uraian yang relatif lengkap dikemukakan oleh
Hazairin, sebagai berikut:10 Masyarakat-masyarakat Hukum Adat
seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di
Minangkabau, Kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan,
adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi
semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,
matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya
terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan
pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan
perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan.
Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.Penghidupan
mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong,
serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar.Selanjutnya
Hazairin juga menyatakan bahwa masyarakat hukum adat tersebut
terangkum dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, yaitu:
10 Hazairin, Demokrasi Pancasila_ Rineka Cipta Jakarta, 1990,
45
46. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-
undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-
hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.Mengenai bentuk dari masyarakat hukum adat dasarnya
secara teoritis dibedakan antara masyarakat hukum adat
berdasarkan genealogis dan masyarakat hukum adat berdasarkan
teritorial. Berdasarkan ikatan genealogis, dikenal struktur
masyarakat matrilineal, masyarakat patrilineal dan masyarakat
bilateral, dan masyarakat alternerend.Berbicara struktur
masyarakat erat kaitannya dengan masalah untuk mengetahui
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Hal itu
dikatakan oleh Soepomo:"bahwa untuk mengetahui hukum, maka
adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di
daerah manapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan
hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup
sehari-hari".Jelas kiranya mengetahui suatu hukum dalam suatu
daerah perlu ditelaah mengenai struktur masyarakatnya. Perlu juga
dilihat mengenai peranan hukum dalam suatu struktur masyarakat.
46
47. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh hukum itu
dapat berfungsi dalam suatu masyarakat tertentu. Pada masyarakat
yang corak berpikirnya masih sederhana (tradisional) peranan
hukum lebih menonjol sebagai social control (Pengendalian sosial).
Pengendalian sosial, secara sosiologis merupakan suatu variabel
kuantitatif, artinya kuantitas pengendalian sosial disuatu tempat
akan berbeda ditempat yang lain. Sebagai contoh, sistem
pengendalian dalam suatu kelompok keluarga tertentu, mungkin
akan berbeda dengan kelompok keluarga lainnya, demikian juga
dilapangan birokrasi. Pengendalian sosial, kuantitasnya juga bisa
berbeda sebagai akibat waktu pengendalian sosial itu dilaksanakan.
Sebagai misalnya, hampir disemua daerah di Indonesia
ditemukan banyak sekali kasus perceraian yang jarang diselesaikan
di pengadilan.11 Mengenai hal ini Nader dan Metzger, menjelaskan
sebagai berikut:
Patterns of authority seem to be central to an under
standing of the distribution of conflict resolution in these towns.
In both communites, husbands and wives in conflict recognize the
authority of senior family males as well as the authority of the
community court. However, the aithority of senior family males is
greater in the Chiapas town than in the Oaxaca community, and
this contrast is mirrored in the use spouses make of the court in the
two towns ... in the Oaxaca town, limited oautority of senior family
11 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Jakarta, 1983. hal. 95
47
48. males is associated with early inheritance, separate residence,
readily available substitutes for both spouses and parent with
respect to sex and subsistence, and the deliberate refusal of
families to accept responsibility for mariages they have not
arranged. The court assumes the responsibility lost or
abandoned by the family and exercises authority over marriage
vested in its as a representative of the State. In the Chiapas
community, delayed inheritance, patrispon sored residence, and
the absence of spous or parent-substitutes outside these
relationships tend to support the authority of senior male lineals in
the resolution of conflict between spouses. The role that the court
plays is residuam.
Pada masyarakat Amerika yang modern, perselisihan antara
keluarga, lebih kurang diajukan ke pengadilan apabila dibandingkan
dengan jenis-jenis perselisihan lainnya. Polisi misalnya lebih banyak
menerima laporan kejahatan diluar keluarga, kalaupun ada laporan
itu datangnya dari orang lain, dan bahkan apabila dimintai
keterangannya, pihak keluarga akan mengingkarinya.
Keadaan lain dijumpai di Taiwan. Di sana pengendalian oleh
keluarga semakin pudar. Disini para petani yang bersengketa
megenai tanah, cenderung memilih diselesaikan oleh lembaga hukum
berdasarkan perundangan untuk menyelesaikannya. Di Indonesia
pernah dilakukan penelitian di Minangkabau oleh P.E. de Josselin de
Jong dikatakannya, bahwa ada kecenderungan pada keluarga batih
mempunyai rumah tangga sendiri (berdiri sendiri). Selanjutnya
48
49. dikatakan:
The result is that members of the same suku, and even of the
same paruik, no longer live together. As a unit which lives scattered
far and wide begins to show less cohesion, the authority of the
panghulu also dimineshes, and finally the government official has to
step in.12
Apa yang diungkapkan di atas Fakultas Hukum Universitas
Andalas Padang, pernah melakukan penelitian hasilnya sebagai
berikut:
1. Oleh karena tertinggalnya ninik-mamak di bidang pendidikan
formal, dibandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh anak-
kemenakan dewasa ini, maka pengaruh ninik mamak terhadap
anak kemenakan menjadi berkurang.
2. Dalam rangka terjadinya perubahan sosial, khusus dalam
struktur keluarga. dimana kedudukan ayah semakin menonjol,
pengaruh ninik-mamakpun semakin berkurang dalam
kaumnya.
3. Meskipun pengaruh mamak terhadap kemenakan semakin
mundur, akibat menonjolnya ayah dalam keluarga, namun
12 Soerjono Soekanto, ibid. hal. 98
49
50. kedudukan ninik-mamak dalam kaum dan suku tetap penting,
karena adanya kaum dan suku masih merupakan kenyataan
dalam masyarakat Minangkabau.
4. Selama masih utuhnya kaum dan suku sebagai organisasi
kemasyarakatan, selama itu pula peranan ninik-mamak penting
dalam prosedur penyelesaian sengketa secara damai di Nagari-
nagari.
5. Pengikut-pengikut ninik mamak dalam setiap kegiatan
pembangunan maupun pelaksanaan tugas-tugas pemerintah,
akan memperlancar jalannya pelaksanaan pembangunan maupun
pekerjaan-pekerjaan lainnya di Nagari.
Nyatalah apa yang diungkapkan dari kedua hasil penelitian
tersebut, peranan ninik mamak di Minangkabau berkurang. Peranan
dalam kelurga digantikan oleh orang tuannya. Namun demikian
dalam proses penegakan hukum, pertanan ninik mamak masih besar,
misalnya dalam proses penyelesaian sengketa diselesaikan secara
berjenjang didahului diselesaikan oleh ninik-mamak, baru kalau tidak
selesai baru diselesaikan oleh pemerintah Nagari, Camat dan
Pengadilan.
Masalah lain dalam pengendalian sosial yang perlu
50
51. diketengahkan adalah masalah stigmatisasi.Stigmatisasi terjadi
apabila perbuatan tertentu yang menyimpang, dengan sengaja
ditonjolkan keburukannya, artinya kedudukan dan peranan seseorang
yang melakukan penyimpangan tersebut diperlakukan sedemikian
rupa, sehingga dia kehilangan identitas sosialnya. Dengan demikian
stigmatisasi dapat dikatakan:
"a process attaching visible signs of moral inferiority to persons, such
as invidious labels, marks, brands, or publicly disemminated
information”.Masalah ini perlu ditonjolkan, karena masalah
stigmatisasi itu prosesnya lebih berat dari pada proses dalam hukum
adat yang merupakan hukum yang masih hidup. Masalahnya
stigmatisasi sering ditujukan kepada warga masyarakat yang
melakukan pelanggaran terhadap keseimbangan kosmis, walaupun
perbuatan itu belum tentu merupakan pelanggaran yang nyata,
pelanggaran semacam demikian misalnya adalah santet. Ini terjadi
sebab di masyarakat ada yang melakukan perbuatan yang termasuk
"risk taking". Risk taking ini merupakan:"situations in which persons
who are caught in a network of conflicting claims or values choose not
deviant alternatives but rather behavioral solutions which carry risks
of deviation. Deviation then becomes merely one possible outcome
51
52. of their actions, but it is not inevi table. It hinges rather on the turn of
circumstances or convergence of external factors". (Soerjono
Soekanto, ibid. hal.101)
Risk Taking ini merupakan jalan keluar sebagai akibat adanya
kemelut dalam dirinya. Sebagai misal orang melakukan kawin lari
sebagai akibat tidak diizinkannya perkawinan tersebut. Tentunya
kawin lari ini merupakan suatu stigma apabila memang dirasakan
merusak keseimbangan suatu keluarga. Kenyataan demikian karena
masyarakat Indonesia seperti apa yang dikatakan Soepomo:
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita Jakarta,
1983, Alam pikiran tradisional Indonesia (alam pikiran tradisional
Timur pada umumnya) bersifat kosmis, meliputi segala-galanya
sebagai kesatuan (totaliter). Umat manusia menurut aliran pikiran
kosmis itu adalah sebagian dari Alam,tidak ada pemisahan dengan
mahluk-mahluk lain. Segala sesuatu bercampur baur dan bersangkut
paut, segala sesuatu pengaruh mempengaruhi. Dunia manusia
adalah pertalian dengan segala hidup di dalam alam. Aliran pikiran
kosmis ini merupakan latar belakang hukum adat pelanggaran".
Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang mempunyai kepribadian komuun dan kolektif. Kepribadian
52
53. komuun merupakan dasar untuk mengerti hukum adat. Ciri komuun
dari masyarakat Indonesia digambarkan oleh Van Vollenhoven yang
mengatakan bahwa ciri komuun itu tidak hanya di dalam hak-hak
yang aneh yang oleh pemerintah desa diambil hak pertuanan dari
persekutuan (campur tangan dalam jual lepas/gadai tanah),
adakalanya pun dalam hal maro dan jual sewa tanah, hak mencabut
hak atas tanah untuk waktu yang tak tertentu guna kepentingan desa,
membagikan tanah yang kembali kepada desa kepada orang-orang
baru dan lain-lain, tidak sajapun di dalam kebiasaan kerja sama yang
ternyata dalam hal memiliki kandang hewan bersama untuk
mencegah pencurian ternak atau lumbung-lumbung padi bersama atau
dalam hal membikin bersama dan memelkihara saluran-saluran air.
Bilamana di dalam hukum adat di Jawa dan Madura hak pengabdian
peklarangan (erfdiensbaarheid) tidak diperlukan adanmya; bilamana
seseorang dapat memiliki atau menggadai pihon-pohon yang hidup
di atas tanah orang lain, tanpa adanya hukum adat yang memberi hak
kepada si pemilik atau sipemegang gadai itu untuk bila perlu
menginjak tanah orang lain itu; bilamana tidak diperlukan aturan-
aturan yang terperinci mengenai air; bilamana tidak diperlukan
aturan-aturan yang tetap tentang perwalian-pun, tentang pewarisan
53
54. yang secara mekanis dapat dilaksanakan; ini semua disebabkan oleh
karena semua hak itu dimengertikan dan dilaksanakan sedemikian
rupa bahwa bukan hak individu yang bertahta (semacam corak
hukum Romawi) tetapi oleh karena kepentingan masyarakat itu
memberati semua pemakaian barang-barang pribadi.
Lebih-lebih pula dalam hal penghasilan dari kepala desa itu
semua berbicara secara terang tentang kewajiban memberikan barang,
bila kepala desa akan mendirikan rumah, melakukan perkawinan dan
sebagainya.
Anggapan C. Van Vollenhoven, beberapa tahun kemudian
dikuatkan oleh F. D. Holleman, beliau dalam Inagurasinya pada
tanggal 10 Mei 1935 mengemukakan diantaranya:
Suasana keseluruhan dari hukum adat memperlihatkan watak komuun
ini. Demikianlah yang utama dalam penghidupan hukum sehari-hari
di dalam masyarakat hukum adat, kepentingan masyarakat;
musyawarah dari anggota masyarakat hukum didalam banyak
persoalan adalah suatu keharusan hukum, perkawinan dan banyak
hal-hal semata-mata prive adalah urusan golongan/kemasyarakatan
pada orang Indonesia; tolong-menolong (gotong royong) diantara
warga desa di dalam sebagian besar lingkaran hukum di Indonesia
54
55. adalah kewajiban hukum. Komuun ini janganlah dipandang sebagai
faktor yang berdiri sendiri, tetapi lebih-lebih dalam kebalikannya
dan terutama pun dalam imbangannya dengan unsur individuil yang
tidak pernah tidak ada, pun di dalam daerah-daerah dimana ciri
komun itu sangat mencolok adanya (Sulawesi Tengah, Borneo).
Di dalam ikatan golongan masyarakat ada sekedar diferensiasi,
dimana bagaian-bagian dari golongan dapat dilihat hanya sebagai
kebebasan individuil, tetapi para subyek hukumpun di dalam
daerah-daerah dimana hukum yang sifatnya individuil mempunyai
tempat (misalnya di Aceh, Jawa), tidak bebas sama sekali tetapi
selalu dicampuri dengan perasaan golongan dan kesadaran
kemasyarakatan (Gemeenschapbesef).
R. Soepomo menggambarkan dengan jelas bagaimanakah
kepribadian masyarakat Indonesia, beliau menjelaskan jiwa
perhubungan antara individu dengan masyarakat (gemeenschap,
societas). Setelah membandingkan dengan menggambarkan karakter
hukum barat, beliau menggambarkan karakter hukum adat dan
masyarakat Indonesia. Hukum Barat merupakan hasil dari
kepribadian individualistis, hasil dari jaman individualisme, dalam
mana individu merupakan pokok dan pangkal dari semua peristiwa
55
56. hukum di dalam masyarakat. Lain sekali halnya dalam hubungan
antara individu dengan masyarakat Indonesia dan hukum Adat.
Individu ditempatkan sebagai pangkal utama dalam masyarakat.
Masyarakatlah mempunyai kedudukan yang lebih utama dalam
hukum adat dan bukan individu. Individu adalah alat dari masyarakat
untuk mencapai tujuannya.
Menurut pandangan masyarakat Indonesia, kenyataan hidup
adalah terutama ditujukan guna menjalankan kewajiban-kewajiban
untuk masyarakat. Kewajiban-kewajiban kemasyarakatan
dianggapnya sebagai fungsi utama menurut kodrat dari manusia.
Adanya sifat komuun itu dibuktikan dengan adanya kekuasaan dari
desa atas tanah (seperti adanya hak ulayat desa), dengan adanya
campur tangan oleh desa pada waktu adanya pengangkatan anak,
pemeliharaan anak yang belum dewasa (kuat gawe), pertunangan,
perkawinan, perceraian, pembagian boedel dan lain-lainnya.
Kepribadian komuun ini terdapat pula dalam kehidupan famili
(kerabat) dan keluarga. Dalam hukum famili dan hukum
kekeluargaan berlaku prinsip, bahwa famili dan keluarga
(masyarakat), kesatuan sosial, kesadaran sosial merupakan hal yang
diutamakan. Kepentingan golongan/masyarakat menguasai
56
57. kepentingan individu, seperti ternyata di Minangkabau dimana
masyarakat famili itu merupakan dasar dari seluruh kehidupan rakyat
Minangkabau. Di Jawa kepentingan masyarakat keluarga (gezin)
diutamakan seperti dalam hukum waris. Sehingga dalam hukum
adat pembagian waris bukan didasarkan pada nilai jumlah barang,
tetapi atas dasar manfaat atau nilai guna dari barang tersebut.
Djojodiguno, memandang hukum sebagai paguyuban, artinya
sebagai satu jenis hidup bersama, dimana manusia memandang
sesamanya manusia sebagai tujuan, dalam perkataan Kant sebagai
Selbstzweek; dimana perhubungan manusia dengan sesamanya,
manusia tidak terwujud dalam perkataan kepentingan laba rugi,
melainkan sebagai perhubungan dimana manusia menghadapi
sesamanya, manusia dengan segala sentimennya, sebagai cinta,
simpati dan sebagainya yang baik dan kurang baik. Seabagai
perbandingan dalam lapangan hukum barat, dapat digambarkan
hukum barat selalu bercorakkan patembayan, jadi ada hubungan
pamrih.
Kepribadian komuun , apabila dilihat dalam kehidupan sehari-
hari indikasinya bahwa bangsa Indonesia (masyarakat hukum adat)
mempunyai corak kehidupan kolektif. Kesatuan sosialnya
57
58. mempunyai ciri atau tanda bahwa jiwa, perbuatan dan tingkah laku
dari individu (oknum, manusia perseorangan) dalam masyarakat itu
dikuasai oleh norma-norma dari kesatuan-kesatuan sosial yang ada
dilingkungannya. Kekuatan normatif dari masyarakat mempengaruhi,
menentukan kejiwaan, perbuatan, tingkah laku orang-perorang.
Artinya kehidupan individu itu, tidak terlepas dari pada kehidupan
masyarakatnya.
Kehidupan kolektif adalah suatu kehidupan dimana
menempatkan individu mempunyai keterikatan dengan masyarakat
dilingkungannya. Kolektivisme ini dikenal berbagai bentuknya,
yaitu kolektifitas keluarga, kolektifitas bangsa, kolektivitas ras,
kolektivitas masyarakat umum, kolektivitas umat manusia,
kolektivitas gereja atau lain perseketuan agama dan lain-lain
kolektivitas sesuai dengan kepentingan dalam lingkungannya.
Dalam suatu masyarakat yang kolektif, kepentingan
individu sama sekali tidak terhambat perkembangannya untuk
menjadi "persoonlijkheid", sebabnya yang menentukan sifat kolektif
itu bukan nilai individu, bukan persoonlijkheidnya individu, tetapi
eratnya ikatan individu terhadap lingkungan sosialnya, tingkat
partisipasi individu kepada kepentingan umum.
58
59. Sifat komuun dengan sifat kolektifitis atau individualistis
memberi alasan bahwa yang disebut komuun itu pada hakekatnya
adalah sama dengan kolektif, kepentingan masyarakat, kepentingan
bersama, berbakti kepada kepentingan umum yang diutamakan,
bukan kepentingan perseorangan, kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan (sesuai dengan penjelasan resmi Pasal 33 UUD 1945).
Sehingga dapat dikatakan bangsa Indonesia ditinjau dari sudut
ilmu Sosiologi mempunyai sifat, karakter, kepribadian kolektif.
Kenyataan ini juga diperjelas oleh J. Prins yang mengatakan unsur
kolektif adalah unsur yang utama dalam adat, semua masyarakat
adat itu adalah komunalistis, anti individualistis.
Corak kepribadian masyarakat Indonesia juga didasarkan atas
faham kekeluargaan. Dalam pembukaan UUD 1945 ditolak aliran
perseorangan (individualisme), yang diterima adalah aliran
kekeluargaan. Oleh karena itu UUD 1945 harus juga mengandung
sistem kekeluargaan.
Selanjutnya bahwa negara Indonesia berdasarkan atas
kekeluargaan yang sifatnya ke luar, yaitu dalam rangka hubungan
antar negara dan ke dalam dalam memupuk kebersamaan. Timbul
suatu pertanyaan, apakah aliran kekeluargaan sama dengan aliran
59
60. kolektifistis?
Aliran kekeluargaan menjiwai Pasal 33 UUD 1945, yaitu Pasal
asas sosial ekonomi, jiwa kekeluargaan merupakan hal yang penting
sehingga harus dimasukkan dalam UUD negara. Kenyataan ini
membawa konsekuensi dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950.
dikatakan bahwa ekonomi Indonesia tidak berdasarkan ekonomi
liberal, bahkan bertentangan dengan liberalisme. Perekonomian
berdasar atas dasar demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala
orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau
tampuk produksi jatuh ketangan perorangan yang berkuasa, maka
akan menimbulkan monopoli, sehingga hilanglah sifat kolektivisme
dan kekeluargaannya.
Asas kekeluargaan mencerminkan, bahwa segala akibat yang
ditimbulkan merupakan tanggung jawab bersama (kolektif), mencari
dan menemukan jalan bersama yang dapat menjamin kemajuan bagi
setiap anggota. Adanya sifat bersama yang memenuhi syarat-syarat
tersebut harus diutamakan, apalagi kalau dikalangan rakyat sendiri
telah ada tradisi yang dapat disesuaikan dengan paham baru. Bentuk
ini adalah sangat penting, karena sudah cukup dikenal rakyat dan
60
61. dapat berjalan diberbagai macam kegiatan rakyat, seperti pertanian,
perikanan dan lain-lain. Ekonomi yang bertentangan dengan
ekonomi aliran liberal itu adalah ekonomi kolektif atau berpahamkan
kekeluargaan, kebersamaan.
Dengan demikian, apabila ditinjau dari sudut pandang ilmu
sosiologi, kekeluargaan berhakekat, berisi, sama dengan kolektif,
kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang seorang.
Mohamad Hatta, mengatakan bahwa kita mendirikan negara,
yaitu atas dasar gotong royong dan hasil bersama. Supaya negara
yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan sebab sebaiknya
setiap negara tidak mesti takut mengeluarkan suara, dan diberi hak
berkumpul dan lain-lainnya.
Istilah kekeluargaan itupun juga adalah gotong royong,
demikian juga sebaliknya. Gotong royong dipakai sebagai sinonim
dengan kekeluargaan dan juga kolektif, yaitu dasarnya adalah
mengutamakan kemakmuran masyarakat.
Mengenai ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, adalah merupakan ketentuan yang
mengilhami dan dorongan lahirnya Undang-Undang No.5 tahun
61
62. 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No.4
tahun 1960/Prp, tentang Perairan Indonesia dan Undang-Undang
tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda tahun 1958. Mochtar
Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Seminar,
BPHN, 22-24 Mei 1995, Jakarta.
Setelah kita melihat corak berpikir masyarakat Indonesia
seperti apa yang diuraikan di atas, timbul suatu pertanyaan apakah
corak demikian masih dikenal dalam alam masyarakat Indonesia.
Kalam melihat kehidupan pedesaan, setidaknya masyarakat yang
belum heterogen, ciri corak kehidupan yang demikian masih dapat
dilihat dengan jelas. Namun apabila melihat kehidupan masyarakat
yang sudah heterogen, seperti adanya dampak dari pembangunan
disektor industri, akibat sosialisasi dan lain sebagainya, corak
kehidupan komuun, kolektif, gotong royong, kekeluargaan masih
dapat dilihat? Untuk mengulas ini perlu hati-hati. Harus dilihat dulu
asas-asas yang tercermin dalam corak-corak kehidupan tadi. Mungkin
saja corak konkret seperti apa yang digambarkan di atas akan sulit
ditemukan, tetapi apabila kita pahamkan dari sudut asasnya, maka
dapat melihatnya dari kaca mata yang objektif.
62
63. Yang mungkin terjadi sebagai akibat banyaknya intensitas
interaksi antara satu sama lainnya, maka yang mungkin timbul
adalah degradasi nilai. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor
industrialisasi, perubahan struktur masyarakat dan lain sebagainya
seperti apa yang diuraikan di atas. Sebagai adanya perubahan tadi,
kepribadian komuun, kolektif dan gotong royong tidak hilang
dengan individualisasi. Sifat-sifat itu tetap merupakan hal yang
utama walaupun telah terjadi modernisasi.
Sifat saling membantu, sifat gotong royong pada masyarakat
perkotaan misalnya, walupun menampakan kehidupan yang
heterogen dan telah terjadi proses individualisasi, wujud
kebersamaannya tetap ada namun bentuknya terjadi pengalihan,
seperti dalam bentuk kerja bayaran. Pekerjaan desa untuk kepala
desa dibayar dengan uang, tetapi walaupun demikian belum ada
suatu masyarakat dimana watak-watak tadi hilang sama sekali.
Kalau dikaitkan dengan struktur masyarakat yang ada di
Indonesia, individualisasi juga terjadi, seperti dalam masyarakat
Minangkabau. Proses Individualisasi ini terjadi sebagai akibat sistem
matriachat bergeser dan didesak oleh sistem kolektif atas dasar
keluarga. Kehidupan kelurga menempatkan hubungan yang
63
64. harmonis antara ayah dengan anak menunjukkan bergesernya
kehidupan matriachat ke arah kehidupan keluarga yang dampak
hukumnya juga berlainan.
Begitu melalui yurisprudensi, banyak sekali putusan
Mahkamah Agung yang membawa ke arah kesatuan, sehingga
corak-corak dalam suatu struktur masyarakt dirubah dan
disesuaikan dengan sistem negara kesatuan. Untuk mengantisipasi
degradasi tadi, maka perlu dicarikan suatu wadah untuk menampung
agar nilai-nilai yang baik tidaklah musnah.
Kalau gotong royong dihubungkan dengan kerja sama dalam
arti sosiologis, maka setidaknya ada 4 (empat) bentuk kerja sama,
yaitu:
1. Kerja sama yang spontan atau serta merta (spontaneous
cooperation)
2. Kerja sama sebagai hasil perintah atasan atau penguasa
(directed cooperation)
3. Bentuk kerja sama atas dasar hukum (contractual cooperation)
4. Kerja sama sebagai unsur dari sistem sosial (traditional
cooperation).
Mengenai corak berpikir dalam masyarakat hukum adat, F.D.
64
65. Holleman mengemukakan, bahwa corak berpikir masyarakat adat
adalah mempunyai pola pemikiran magis religius particeperent
cosmis, komunal, konkret, dan kontant. Apa yang dikemukakan
oleh Holleman tersebut juga telah disinggung oleh van Vollenhoven
dengan membandingkannya dengan sistem hukum Barat. Sistem
hukum adat, lembaga-lembaga dan kaidah-kaidah hukumnya oleh van
Vollenhoven digambarkan selalu dikaitkan dengan hal-hal diluar
jangkauan manusia. Sedangkan lembaga dan kaidah hukum Barat
digambarkannya asal saja menguntungkan, material dan indivual,
maka sudah merupakan ciri-ciri lembaga hukum Barat. yang
melihatnya dari sudut sosiologis antropologis dalam hubungannya
B. Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional
Pemikiran baru tentang hukum adat sangat berkembang,
terutama dikalangan para pakar hukum. Pemikiran baru itu timbul
sebagai akibat antara lain, baik karena perkembangan yang cepat
dari hukum adat itu sendiri maupun perkembangan yang cukup
cepat dalam bidang ilmu hukum itu sendiri. Setelah kemerdekaan,
susul menyusul terjadi perkembangan-perkembangan di bidang
politik, dan sosial masyarakat. Dalam pewrkembangan tersebut
tidak jarang disertai kepincangan-kepincangan tentang nilai yang
65
66. berlaku selama ini. Maka perlu adanya suatu penilaian baru
terhadap hukum adat Penilaian baru tersebut dalam rangka tujuan
untu segera terbentuknya suatu hukum nasional yang jelas, tegas
yang tidak saja sesuai dengan rangka keadilan masyarakat, akan
tetapi terutama dapat menciptakan kepastian hukum sebesar
mungkin. (Bustanul Arifin, Hukum Adat; Seminar Hukum Nasional
III,).
Sebelum membahas konsepsi hukum adat dalam rangka
pembinaan hukum nasional, terlebih dahulu akan dikembangkan
beberapa rumusan hukum adat dari para pakar hukum. Secara
singkat dari Djojodiguno, ialah sebagai hukum yang tidak
bersumber pada peraturan. Djojodiguno, _Asas-Asas Hukum
Adat,_ Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada Yogjakarta, 1964,
hal.7,
Rumusan seminar hukum adat dan pembinaan hukum
nasional adalah sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang
disana-sini mengandung unsur agama. Hukum adat adalah meru-
pakan hukum yang tidak tertulis akan tetapi didukung oleh "rasa
ketaatan" dan "kepatuhan" yang luar biasa dari masyarakat dimana
66
67. hukum itu berlaku. Agar mendapat gambaran yang jelas tentang
hukum adat, akan dikemukakan beberapa rumusan yang sedikit
agak lengkap, yaitu:
1. R. Soepomo:
Mengemukakan Hukum Adat adalah sebagai sinonim
dari hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislatif
(Unstatutary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di
badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan
sebagainya), hukum yang dibuat oleh hakim (judge made law),
hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan hidup, baik dikota-kota maupun didesa-desa
(Customary law). Dalam bukunya Kedudukan Hukum Adat
Dikemudian Hari.
2. R.M. Soeripto:
Hukum adat adalah semua aliran-aliran (peraturan-peratu-
ran) adat tingkah laku yang bersifat hukum disegala segi
kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis
yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota
masyarakat yang bersifat hukum oleh karena ada kesadarn dan
perasaan keadilan umum, bahwa aturan-aturan/peraturan-
67
68. peraturan itu harus dipertahankan oleh para petugas hukum dan
petugas masyarakat dengan upaya pemaksa atau ancaman
hukuman (sanksi). R.M. Soeripto, kum Adat dan Undang-Undang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, hal. 2
3. Surojo Wignjodipuro:
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersum-
ber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta
meliputi peraturan tingkah laku manusia dalamkehidupan sehari-
hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa
ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum
(sanksi). Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat, Alumni Bandung, 1973, hal.5.
4. Hardjito Notopuro:
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan
dengan ciri-ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat
dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan
masyarakat dan bersifat kekeluargaan Hardjito Notopuro, Tentang
Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan Dalam Hukum Nasional,
Majalah Hukum Nasional No.14 tahun 1969, hal.49.
68
69. 5. Bushar Muhammad:
Hukum adat itu terutama hukum yang mengatur tingkah laku
manusia Indonesia, dalam hubungan satu sama lain, baik yang
merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan yang benar-benar
hidup di masyarakat, adat karena dianut dan dipertahankan oleh
anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas
pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para
penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa
memberi keputusan dalam masyarakat adat itu), yaitu dalam
keputusan lurah, Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala
adat, Hakim. Bushar Muhammad, Penghulu Hukum Adat, Balai Buku
Ichtiar Jakarta, 1961, hal.30.
Beranjak dari beberapa rumusan tentang hukum adat, dapat
dilihat adanya satu kesatuan pandangan mengenai pengertian dari
hukum adat, hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat (the living law). Konsepsi tentang "the living law"
untuk pertama kali dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dalam
bukunya Grunlegung der sosiologie des rechts 1913. Sebagai reaksi
terhadap pandangan pada ilmu hukum yang bersifat legalistis yang
69
70. terlalu mengutamakan peraturan hukum yang termuat dalam
peraturan perundangan dan terlalu mengabaikan tumbuhnya gejala-
gejala hukum di masyarakat. Penggunaan istilah teh living law
lazimnya dipergunakan untuk menunjukan berbagai macam hukum
yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam
masyarakat.
Hukum adat sebagai "the living law" merupakan pola hidup
kemasyarakatan tanpa dimana hukum itu berproses dan sekaligus
juga merupakan hasil dari pada proses kemasyarakatan yang
merupakan sumber dan dasar dari pada hukum tersebut. Tumbuhnya
hukum secara langsung dari landasan pokoknya, yaitu kesadaran
hukum masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia.
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat R. Soepomo, loc.cit. hal.5.
Hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup
yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku
Surojo Wignjodipuro, op.cit.hal.81.
Hukum adat tidak hanya bersemboyan dalam hati nurani
orang Indonesia yang menjadi warga negara Republik Indonesia
70
71. disegala penjuru nusantara saja, tetapi tersebar luas seperti ke gugusan
kepulauan Filipina dan Taiwan disebelah utara, di Pulau Madagaskar
dan berbatas disebelah timur seperti di kepulauan Poska.
Hukum adat sebagai hukum Indonesia mempunyai corak yang
khas tersendiri, berbeda dengan sistem hukum yang dianut di negara
barat. Sekalipun hukum adat bersifat tradisional yang berarti sangat
terikat pada tradisi-tradisi lama yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka. Namun kita tidak boleh menarik kesimpulan secara tergesa-
gesa bahwa hukum adat itu pantang berubah. Kelekatannya sedikit
memang agak ironi, karena antara "tradisi dan perubahan" adalah
merupakan dua kutub yang bertolak belakang. Sebab tradisi
menghendaki kelangsungan secara apa adanya tanpa perubahan
sedikitpun, sedangkan perubahan tidak menghendaki secara turuZ
temurun dalam keadaan yang itu - itu juga, akan tetapi dalam setiap
waktu segala-galanya perlu untuk berubah dan diperbaharui.
Hukum adat disamping sifatnya yang "tradisionil" juga
mempunyai corak "dapat berubah" dan "mempunyai kesanggupan
untuk menyesuaikan diri"Van Dijk, _Pengantar Hukum Adat
Indonesia, Sumur Bandung, 1964, hal.12 atau menurut Djojodigoeno
mempunyai sifat yag plastisch dan dinamik. Djojodiguno,
71
72. _Menyandera Hukum Adat, Yayasan Ponds Universiteit Gadjah
Mada, Yogyakarta, 1950, hal.8
Hukum bersifat hidup, dinamis bilamana ia dapat mengikuti
perkembangan masyarakat, pasti membutuhkan perubahan dasar-dasar
hukum sepanjang jalannya sejarah. Hukum bersifat plastis bilamana
dalam pelaksanaannya dapat diperhatikan hal-hal yang tersendiri.
Perubahan dilakukan dengan cara menghapuskan dan mengganti
peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba tapi perubahanpun
dapat terjadi oleh karena pengaruh kejadian, keadaan perikehidupan
yang silih berganti, Sedang kesanggupannya untuk menyesuaikan
diri oleh karena bentuknya hukum adat itu tidak tertulis dan tidak
terkodifikasir, maka dengan sifat elastisitasnya yang luas sewaktu-
waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru.
Sifat-sifat hukum adat menurut Koesnoe, bahwa hukum adat
itu berubah-ubah selaras dengan perkembangan masyarkat dan
rakyat, karena sebagai pernyataan rasa keadilan dan kepatutan
rakyat, perkembangan hukum adat sejalan dan secepat dengan
perkembangan kehidupan rakyat dalam masyarakat.
Hukum adat tumbuh dan berakar dari pada kenyataan-
kenyataan hidup dalam masyarakat, karena proses pengkaidahannya
72
73. tidak tergantung pada penguasaa masyarakat. Sesuai dengan
fitrahnya sendiri menurut Soepomo hukum adat terus-menerus dalam
keadaantumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hal
demikian seperti ditegaskan oleh Djojodigoeno dalam prasarannya
pada seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional, bahwa
pelaksanaannya hukum adat sama sekali tidak terikat oleh ugeran-
ugeran (norma-norma) hukum yang ada. Sehingga jelas bahwa
hukum bukan rangkaian ugeran (norma) melainkan prosese yang
tidak ada henti-hentinya. Djojodiguno, _Kedudukan Dan Peranan
Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional,_ Prasaran
Seminar Hukum Nasional di Surabaya, 1975.
Demikian pula hal di atas sudah lama ditandaskan oleh Van
Vollenhoven mengatakan:"adat recht een verschijusel is der almaar
strom mende samenleving, met andare versc hijnselen in
rustelaase wissel werking, van stuw is tegen stuw" (hukum itu adalah
suatu gejala daripada pergaulan hidup yang selalu bergejolak, dalam
keadaan dorong-mendorong dengan gejala-gejala lainnya, kesemua
ini tak ada henti-hentinya dalam keadaan saling mempengaruhi).
Pada bagian lain ia menggambarkan proses perkembangan
hukum adat dengan menyatakan hukum adat itu "on wikkelt zich
73
74. gestading", atau mengalami perkembangan terus-menerus. Hukum
adat menurut pandangannya terdiri atas tiga bagian, yaitu "het of
ster verde" (bagian yang sudah mulai ditinggalkan), "het heden daag
seke" (bagian yang baru berbentuk). Van Vollenhoven, Miskeningen
van Het Adatrecht, hal.60
Khusus mengenai perubahan dalam hukum adat, tertulis
secara tegas dalam pepatah hukum (recht odajien) dari Minangkabau
yang berbunyi :
Sekali air gadang
Sekali tapias beranjak
Sekali raja berganti
Sekali adat berubah
Menurut lampiran A ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960
paragraf 402 no.34 dan no.35 mengenai pembinaan hukum nasional
kita antara lain menentukan, behwa pembangunan hukum nasional
harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat
yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan
makmur. Kemudian di dalam Keppres R.I No.11 tahun 1974 tentang
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (REPELITA II),
1974/75-1978/79, lampiran bagian III Bab 27 hukum dinyatakan
74
75. dengan jelas dan tegas dalam "Pendahuluannya", bahwa
pembangunan bidang hukum dilaksanakan berlandaskan GBHN
yang menegaskan :
Pembangunan di bidang hukum dalam kegiatan hukum Indonesia
adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum negara yaitu
cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan
cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi
suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia yang didapatkan
dalam Pancasila dan UUD 1945.
Sekali air meluap tempat pemandian bergeser, sekali raja
berganti maka sekali pula adat berubah. Akan tetapi perubahan-
perubahan dalam hukum adat tersebut katanya selalu terjadi secara
tidak sadar (onbewist). Hukum adat berkembang terus, keputusan-
keputusan adat menimbulkan hukum Van Vollenhoven, Jilid II,
hal.389.
Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak berbeda isinya
dengan hukum adat pada waktu sekarang, karena hukum adat selalu
menunjukkan perkembangan. Van Vollenhoven, Ibid hal.233
Jika dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan
hukum adat, padahal hukum itu sudah mati maka penetapan itu
75
76. akan sia-sia belaka, sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas
bahwa adat itu harus diganti pada hal desa-desa, di ladang-ladang dan
di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakimpun akan
sia-sia belaka. Dikutip dari Soediman Kartohadiprodjo, Hukum
Nasional Beberapa Catatan, Binacipta Bandung, 1971, hal.8
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, cara berpikir seperti
tersebut di atas ternyata terdapat dalam alam pikiran bangsa Indonesia
(dalam hukum adat). Hal itu dibuktikannya melalui penelitian dalam
pepatah Minangkabau :
Sakali air gadang
Sakali tapian beranjak
(Sekali air besar sekali tapian berkisar)
Walaupun baranjak dilapiak sa'alai juo (Walaupun berkisar masih
(tetap) ditukar yang sama) Usang-usang diperbaharui lapuak dikajanji
nan elok dipakai, nan baruak dibuang Ko sungkek menta diuleh,
panjang minta dikareh nan numpang minta disisit Adat itu berubah
mengikuti keadaan masyarakat. Perubahan itu bukan sembarang
perubahan melainkan (harus) tetap ada hubungannya dengan
(keadaan) yang lama. Agar hukum adat itu tetap muda maka harus
disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan. (Alam pikiran
76
77. hukum adat tidak menolak perubahan). Konsep yang diuraikan di atas
hanya melihat hukum adat dari bentuk dan struktur semata, yaitu
sebagai suatu hukum yang telah tertulis dengan berbagai macam
sifatnya. Disamping itu juga hukum adat adalah merupakan jenis
hukum tidak tertulis yang tertentu yang mempunyai dasar pemikiran
yang spesifik yang secara prinsipil berbeda dari pada segala
macam hukum tidak tertulis lainnya, menurut Soediman
Kartohadiprodjo hukum adat bukan karena bentuknya tidak tertulis,
melainkan hukum adat tersusun dengan dasar pikiran hukum adat
tidak hanya terbatas dari segi strukturnya saja, akan tetapi harus
dilihat secara keseluruhan.
Diantara beberapa pemikiran tentang hukum adat dapat
dikembangkan antara lain :
1. Moh. Koesnoe
Sebagai guru besar di Universitas Katolik Hijmejar Belanda,
memberikan kuliah tentang, Pengantar Hukum Adat Indonesia
(introduction into Indonesia adat law).
Beliau memberikan ceramah yang berjudul "musyawarah, een wijze
van volkskesluitvorming volgens het adatrecht" (musyawarah, suatu
cara dari pembentukan keputusan rakyat menurut
77