SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 211
BAB I PENDAHULUAN


A. Pengantar Isi Tulisan

            Hukum itu ada dan berlaku dalam masyarakat. Karena itu,

   sebagai salah satu masalah manusia, hukum merupakan suatu

   permasalahan yang senantiasa dihadapi umat manusia dimana dan

   dalam waktu kapanpun. Berkaitan dengan itu, Harolp J. Berman,

   mengtakan hukum itu adalah:

   "One of the deepest concern of all civilized men every where".1

           Sebagai suatu permasalahan yang paling dalam bagi setiap

   manusia yang berperadaban dimanapun juga).

          Proses kehidupan hukum menampakan diri dalam berbagai

   bentuk, baik dalam bentuk peraturan yang tertulis, tidak tertulis,

   lembaga-lembaga hukum maupun sebagai proses yang tumbuh

   dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan hukum tidak

   tertulis itu adalah hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat sebagai

   salah satu bagian dari hukum pada umumnya akan merupakan

   sebuah      permasalahan        juga     dan    senantiasa      sebagai      suatu

   permasalahan yang selalu dihadapi oleh bangsa dan negara kita,

1 Harolp J. Berman, Talks on American Law, Voice of America Forum Lectures, Washington,
1973, hal.3.



                                                                                  1
apalagi dalam kerangka pembangunan nasional. Oleh sebagian

sarjana, hukum adat dipandang sebagai salah satu kebanggan

nasional yang dimiliki bangsa Indonesia, karena dari hukum adat

dapat dilihat bentuk dan wajah kepribadian bangsa. Sehubungan

dengan itu M. Nasroen, mengatakan:

      Bahwa        keasanggupan          bangsa      Indonesia        dalam     soal

kebudayaan, ternyata dari hukum adat ini adalah tinggi mutunya

dalam mengatur ketatanegaraan dan mengatur budi pekerti dan

pergaulan hidup manusia. Hukum adat ini adalah asli kepunyaan

dan ciptaan bangsa Indonesia sendiri.2 Akan tetapi kita harus ingat

dan sadar bahwa sekarang ini hukum adat eksistensinya dalam

suasana perubahan sosial yang sangat cepat.

      Sejak tahun 1945, dirasakan telah mulai terjadi perubahan

sosial yang cukup mencolok, bila dibandingkan dengan tahun-tahun

sebelumnya.      Hal      ini    disebabkan,        sejak     saat    itu,    proses

perkembangan masyarakat berubah dengan cepat, dari proses yang

sifatnya spontan, yaitu yang dibiarkan pada perkembangan spontan

dari faktor-faktor sosial budaya dalam masyarakat, sekarang

diarahkan pada suatu keadaan masyarakat yang dicita-citakan,


   2 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, Bulan Bintang Jakarta, 1967, hal.14



                                                                                2
yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

           Dalam perkembangan yang demikian, hukum adat senantiasa

   dipermasalahkan, yaitu mengenai bagaimana kedudukan hukum

   adat, baik kedudukannya sebagai bagian dari tata hukum Negara

   Republik Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan pembinaan

   hukum nasional dan pembangunan pada umumnya. Walaupun

   persoalan ini sudah sering diperbincangkan, kiranya untuk

   mengemukakan kembali sebagai bahan perbandingan dan bahan

   pemikiran kembali dalam mempelajari persoalan-persoalan hukum

   di negara kita, membicarakan tentang kedudukan hukum adat

   adalah suatu hal yang menarik. Sehubungan dengan itu Paul

   Scholten, mengemukakan:3 "Tot jurist wordt enkel gevormd, wie

   tolkens weer leert het ene rechtordel tegen het andere of te wegen,

   daar bij begripend daat voor beide iets te zeggen volt".

           (Hanya mereka yang telah berkali-kali belajar menimbang

   pendapat hukum yang satu terhadap pendapat hukum yang lainnya,

   dengan menyadari sepenuhnya bahwa pada keduanya pendapat

   tersebut ada sesuatu yang dapat dibenarkan, maka hanya dialah

   yang dapat menjadi seorang ahli hukum). Disamping itu bagaimana

       3 Scholten-Assers, Handleiding tot beofening van het Nederlandsch Burgelijke Recht,
Algemeen dell, we Tjeenk Wiclink Zwolle, 1934.



                                                                                     3
perkembangan hukum di negara kita, khususnya berkenaan dengan

hukum adat. Berbagai pertemuan ilmiah telah mengkontatir betapa

pentingnya     kedudukan hukum adat dalam rangka proses

pembinaan hukum nasional        dan pembangunan nasional pada

umumnya. Dalam Seminar Hukum Nasional III di Surabaya, telah

dinyatakan,    bahwa     pembinaan     hukum      nasional   harus

memperhatikan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup

dalam masyarakat (the living law). Kemudian dalam seminar

Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Jogyakarta pada

tahun 1975 telah       disimpulkan, bahwa hukum adat adalah

merupakan     salah satu sumber yang penting untuk memperoleh

bahan bagi pembangunan hukum nasional. "Adanya kelainan

penafsiran tentang pengertian hukum adat yang dimaksud oleh

UUPA yang mengakibatkan kelainan dalam menetapkan kedudukan

serta ruang lingkup dari pada hukum adat tersebut."

      Masalah tersebut bagi para pakar hukum, dalam rangka

penelitian hukum, khususnya hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat dan demi kepentingan pembinaan hukum Nasional,

maupun dalam rangka penegakan hukum serta pendidikan hukum,

sebaiknya harus memprioritaskan identifikasi dan inventarisasi



                                                              4
hukum adat pada masyarakat tertentu.

       Terhadap para sarjana yang telah mengagung-agungkan

kedudukan hukum adat padahal sudah "out of date", sebaiknya

segera meninggalkan pandangannya tersebut, sebab apabila kita

berpegang teguh pada hukum tersebut, berarti kita mundur beerapa

langkah dari gerak modernisasi, sebab hukum adat yang demikian

akan menghambat atas lajunya pembangunan nasional. Kiranya

hukum adat yang yang telah out of date itu hanyalah penting

sebagai sejarah hukum saja.

       Mereka yang terlalu mengagung-agungkan kedudukan

hukum adat, terlalu berlebihan mengingat sudah tidak sesuai lagi

dengan fakta yang sebenarnya, karena berdasarkan kenyataan skope

lingkungan kuasa hukum adat dewasa ini kian dibatasi, hal ini

berakibat tidak berperannya hukum adat dalam kehidupan          di

masyarakat yang sudah tidak terjangkau lagi oleh hukum adat.

Dengan demikian benarkah hukum adat masih mempunyai peranan

penting, bila peranannya masih ada, bagaimana peranannya

tersebut? Sebenarnya perbedaan pendapat diantara para pakar

hukum, sebab bibit pertentangannya sudah dimulai sejak jaman

kolonial, ada yang pro dan yang kontra. Sebetulnya perbedaan



                                                            5
pandangan tersebut pada masa sekarang merupakan hal yang wajar

   dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu

   hukum pada khususnya seperti apa yang                  dikatakan      oleh Paul

   Scholten tersebut di atas.

B. Konsepsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional

            Apabila kita mau menelaah berbagai permasalahan hukum

    yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat kita, dalam

    hal ini tidak bisa terlepas dari alam pikiran dan kerangka dasar

    Pembangunan Nasional yang sedang berjalan sebagai suatu

    hubungan yang bersifat interdependensi, yaitu suatu hubungan

    yang sedemikian erat dan saling menentukan antara satu dan lain,

    oleh karena itu dalam studi hukum dewasa ini perlu selalu

    dikaitkan dengan masalah-masalah pembangunan yang tercermin

    dalam "Studi Hukum Dan Pembangunan" atau dengan tumbuhnya

    suatu cabang hukum baru yang bernama "DEVELOPMENT

    LAW", atau hukum pembangunan.4

             Sebelum kita menguraikan hubungan antara hukum dan

    pembangunan terlebih dahulu akan dirumuskan apa yang

    dimaksud dengan pembangunan nasional itu, yaitu:5
4 Michael Hager, Development Law for The Developing Nations, Working Paper World peace
through law, Abijan, 1973.
5 Sondah P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Gunung Agung Jakarta, 1974, hal.2



                                                                                 6
Merupakan suatu rangkaian usaha pertumbuhan dan

perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu

bangsa, Negara dan Pemerintah, menuju modernisasi             dalam

rangka pembinaan bangsa (nation building). Rumusan           tersebut

bila dianalisa lebih lanjut akan terlihat beberapa ide pokok yang

sangat penting untuk diperhatikan tentang pembangunan, yaitu:

1. Pembangunan merupakan suatu proses, proses berarti suatu

   kegiatan yang terus menerus dilaksanakan, barang tentu proses

   itu dapat dibagi menjadi tahap-tahap tertentu yang berdiri

   sendiri (independent phase of a proces). Pentahapan itu dibuat

   berdasarkan jangka waktu, biaya atau hasil tertentu yang

   diharapkan akan diperoleh;

2. Pembangunan     merupakan       usaha   yang     secara     sadar

   dilaksanakan bila ada kegitannya yang kelihatan seperti

   pembangunan, tetapi sebenarnya tak dilaksanakan secara sadar

   dan timbul hanya secara insidentil di masyarakat, tidaklah

   dapat digolongkan kepada katagori pembangunan;

3. Pembangunan dilakukan secara berencana dan perencanaan itu

   berorientasi kepada pertumbuhan dan perubahan.

4. Pembangunan mengarah pada modernitas. Modernitas diartikan



                                                                 7
sebagai cara hidup yang baru yang lebih baik dari pada

  sebelumnya serta kemampuan untuk lebih menguasai alam

  lingkungan, dalam rangka usaha meningkatkan kemampuan

  swasembada dan mengurangi ketergantungan pada pihak lain.

  Salah satu ciri dari masyarakat yang telah mencapai tingkat

  modernitas yang tinggi ialah masyarakat itu makin dapat

  melepaskan diri dari tekanan dan kekangan alam, bahkan

  dapat menguasai alam sekelilingnya.

5. Modernitas   yang dicari melalui pembangunan itu        bersifat

  multy dimensial, artinya modernitas itu mencakup         seluruh

  aspek kehidupan bangsa dan negara, terutama aspek politik,

  ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional

  dan administrasi.

6. Kesemua hal yang telah disebutkan di atas ditujukan kepada

  usaha membina bangsa (nation building) yang terus menerus

  harus dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan

  negara yang telah ditentukan sebelumnya Pembangunan

  nasional yang dilancarkan di        negara    kita hakekatnya

  merupakan     usaha   modernisasi     dalam   berbagai   bidang

  kehidupan. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu usaha



                                                               8
transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola

kehidupan modern yang sesuai dengan kemajuan jaman dan

didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

       Pelaksanaan       pembangunan     dewasa     ini    telah

mendapat pemantapan         dengan     diberikannya landasan

operasional    oleh MPR, yaitu melalui GBHN yang isi

sebenarnya adalah Pola Umum Pembangunan Nasional yang

memuat tujuan, landasan, asas, serta perincian dari pada

bidang pembangunan yang akan diselenggarakan. Penegasan

selanjutnya diberikan      secara terperinci dan bertahap oleh

pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun untuk

berbagai tahapan, hingga       sekarang sudah      sampai pada

REPELITA V. Sehingga hal tersebut benar-benar merupakan

suatu usaha yang berencana dan terarah.

       Hukum     dalam     kaitannya dengan     kerangka   dasar

Pembangunan Nasional tersebut, mewujudkan diri dalam 2

(dua) wajah, yaitu: Disatu pihak hukum memperketatkan diri

sebagai suatu aspek dari pada pembangunan, dalam arti bahwa

hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari pada pembangunan

itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha



                                                            9
penegakan pembangunan dan pembinaannya. Sedangkan dilain

        pihak hukum itu harus dipandang sebagai "alat" (tool) dan

        sarana penunjang yang akan menentukan keberhasilan usaha-

        usaha pembangunan nasional.Tentang masalah hubungan

        hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai konsep

        yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka

        berpendapat bahwa               suasana         pembangunan sebagaimana

        dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya sekedar "as a tool

        of social control" dalam arti                sebagai       alat yang berfungsi

        mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan

        oleh Roscoe Pound, hukum juga berfungsi sebagai "as a tool

        of social engineering".6

                  Berkaitan dengan ini Sunaryati Hartono berpendapat,

        bahwa hukum itu adalah merupakan salah satu "Prasarana

        Mental" untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan

        cara     tertib    dan      teratur     tanpa     menghilangkan           martabat

        kemanusiaan dari pada anggota-anggota masyarakat, yaitu

        dikala berfungsi untuk mempercepat proses pendidikan

        masyarakat (merupakan bagian dari "social education") ke arah


6 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, 1954, hal.47.



                                                                                         10
sikap mental yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita-

       citakan. 7

                Seminar Hukum Nasional di Surabaya tahun 1974

       telah mengkonstatatir; bahwa hukum merupakan salah                    satu

       sarana penting bagi pembangunan, yaitu baik sebagai penjamin

       kepas tian       dan     ketertiban maupun sebagai alat             untuk

       mengadakan perubahan-perubahan ke arah kemajuan untuk

       membina         masyarakat yang dicita-citakan. Jadi               dengan

       demikian konsepsi tentang hukum adalah sudah beranjak jauh

       meninggalkan       konsepsi      lamanya.     Konsepsi      lama     yang

       menyatakan       "het recht hink achter de feiten aan" (hukum

       mengikuti perkembangan masyarakat) yang menurut Mochtar

       Kusumaatmadja, SH.,LL.M. sudah ditinggalkan. Oleh beliau

       ditegaskan lebih jauh         bahwa      hukum      merupakan sarana

       pembaharuan masyarakat adalah didasarkan atas                  anggapan

       bahwa        adanya keteraturan dan        ketertiban     dalam     usaha

       pembangunan atau pembaharuan yang diinginkan adalah

       mutlak. Anggapan lain hukum sebagai sarana pembaharuan,

       adalah: Bahwa hukum dalam arti kaidah atas peraturan hukum

7 Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di
Indonesia, Bina Cipta Bandung, 1972, hal.335.



                                                                              11
memang bisa          berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana

       pembangunan dalam arti pengatur arah kegiatan manusia kearah

       yang dikehendaki oleh pembangunan.

                  Kedua        fungsi      tersebut      menurut       pendapatnya

       diharapkan dapat dilakukan oleh hukum, disamping fungsinya

       yang tradisional, yaitu untuk menjamin kepastian dan

       ketertiban.8 Menurut          Satjipto Rahardjo,         SH.     sehubungan

       dengan konsep "law as a tool of social engineering"

       perkembangannya            terjadi secara lambat tapi pasti,             maka

       ungkapan "social engineering" hukum mulai masuk ke dalam

       khasanah perbendaharaan istilah di negara kita. 9

                    Salah      satu ciri penting dari penggunaan hukum

       sebagai sarana melakukan "social engineering" ini menurut

       pendapatnya, adalah: Bahwa usaha ini merupakan kegiatan

       yang berlanjut, merupakan suatu proses kecemasan yang

       sering     dialamatkan kepada           pengaturnya oleh hukum pada

       umumnya adalah            bahwa hukum           itu sering menimbulkan

       suasana       tirani     peraturan-peraturan atau penjajahan oleh


8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta Bandung, 1975, hal.5
9 Satjipto Rahardjo, Usaha Mengatur Masyarakat Secara Realistik, Kompas, Senin 17 Maret
1975.



                                                                                  12
hukum. Hal ini terjadi oleh karena hukum hanya berpegang

pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah, memaksa,

serta melarang     dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah

ketentuan yang     dibuatnya dapat dijalankan secara efektif.

Dalam keadaan demikian apakah tidak terlalu menegakkan

semboyan "manusia      untuk    hukum" dan budaya       "hukum

untuk    manusia". Berlawanan dengan ini maka apabila

pengaturan oleh hukum itu dilihat sebagai suatu proses, maka

mengandung kebijaksanaan, bahwa pengaturannya yang dibuat

oleh hukum pada suatu saat itu tidak rampung (final) sifatnya,

melainkan harus     senan tiasa diikuti seperti efektivitas dari

pengaturan    tersebut. Oleh karena itu di dalam "Social

Engineering" ini sangat penting peranan dan umpan balik

(feedback), agar pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan

kepada keadaan yang timbul di masyarakat.

        Apabila kita lihat hukum itu sebagai suatu sarana

penunjang terhadap pembangunan, maka hukum itu harus

mempunyai        suatu pola tertentu. Michael Hoger dalam

hubungan ini untuk menetralisir apa yang dinamakan dengan

"development law" atau hukum pembangunan mengemukakan,



                                                            13
bahwa yang         dimaksud "Development law", adalah: "Suatu

sistem hukum yang sensitif         terhadap    pembangunan yang

meliputi keseluruhan hukum substantif, lembaga hukum berikut

keterampilan para sarjana hukum secara sadar             dan aktif

mendukung proses pembangunan. Dalam sistem hukum ini,

development law meliputi segala tindakan dan kegiatan yang

memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga hukum,

organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum

serta segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian

problem khusus pembangunan".

        Konsepsi development law selaras dengan orientasi

baru mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A.

Vilhem Rusted yang mengatakan Hukum itu adalah "the legal

machianery in action"        yaitu sebagai    suatu kesatuan yang

mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang

tidak      tertulis,   prasarana-prasarana    seperti   Kepolisian,

Kejaksaan,       Pengadilan, Advokat dan keadaan diri pribadi

dari pada individu penegak hukum itu sendiri bahkan juga

fakultas     hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum.

Dikutif dari S Tasrif, SH., Peranan Hukum Dan Pembangunan,



                                                               14
Prisma No.6 tahun ke III, 1973, hal.3

        Hukum dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan

  menurut Michael Hoger dapat mengabdi dalam 3 (tiga)

  sektor, yaitu:

1. Hukum     sebagai alat penertib (ordening); Dalam rangka

  penertiban ini, hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi

  pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang

  mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik, iapun

  dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan

  kekuasaan.

2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan dan keharmonisan

  balancing). Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan

  keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum

  dan kepentingan perorangan.

3. Hukum sebagai katalisator; Sebagai katalisator hukum dapat

  membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan

  melalui pembaharuan hukum (law reform) dengan bantuan

  tenaga kreatif dibidang profesi hukum.Sehubungan       dengan

  konsep hukum yang dikemukakan di atas, maka pendekatan

  yang dipergunakan     pada    hukum     pada umumnya   adalah



                                                            15
bersifat sosiologis. Prosesnya dari tingkah laku dan perbuatan

orang. Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai

warga masyarakat, senantiasa mengarahkan dirinya pada suatu

keadaan yang dianggapnya wajar yang terwujud dalam pola-

pola tertentu. Dan apabila pola-pola tersebut mulai tidak dapat

menjamin kepentingan-kepentingannya, maka niscaya manusia

akan berusaha untuk merobah pola-pola tersebut. Dengan

demikian maka pola-pola yang mengatur pergaulan hidup

terbentuk melalui proses pengkaidahan yang tujuannya sangat

tergantung pada objek (pengaturan-nya)yaitu aspek hidup

pribadi dan antar pribadi. Apabila arah proses pengkaidahan

tersebut tertuju pada hubungan antar pribadi dan ketenangan

pribadi, maka proses tersebut menuju pada pembentukan

kaidah-kaidah hukum.      Proses   pengkaidahan tersebut oleh

warga masyarakat atau oleh sebagian kecil dari masyarakat

yang mempunyai kekuasaan dan wibawa. Dr.              Soerjono

Soekanto,      SH.,MA.,       Beberapa      Catatan   Tentang

Pembangunan Hukum, Majalah Hukum Dan Pembangunan

No.1 tahun 1974, hlm.40 Proses pengkaidahan yang terjadi di

atas biasanya mewujudkan hukum-hukum normatif dalam



                                                           16
bentuk peraturan-peraturan, bila pengkaidahan dilakukan dari

bawah/masyarakat akan terwujud hukum adat dan kebiasaan.

Proses    pembentukan hukum            adat dari bawah melalui

pergaulan masyarakat sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang

ingin dicapai oleh pergaulan hidup yang bersangkutan.

     Menurut pandangan seperti tersebut di atas, hukum tidak

lagi dikonsepsikan sebagai gejala normatif otonom, akan tetapi

sebagai "lembaga sosial" (social institution)yang secara riil

mempunyai kaitan dengan variabel sosial lainnya. Hukum

sebagai gejala sosial empirik dipandang sebagai sesua tu

independent     variabel yang    menimbulkan      berbagai     effek

kepada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya dan sekaligus

juga sebagai dependent variabel yang merupakan hasil dari

bermacam-macam        kekuatan    sosial    dan    suatu     proses

kemasyarakatan. Disini hukum tidak hanya dipandang sebagai

development variabel (effek) yang berproses karena meresponse

pembangunan, akan tetapi juga secara logis akan dikonsepsikan

sebagai       independent   variabel   (kausa)    yang     berfungsi

menentukan bentuk dan arah pembangunan. Soetandyo

Wignyosoebroto, Pembahasan         Prasaran Teuku Mohammad



                                                                17
Rusli;     Penelitian   Hukum     Dalam     Pembinaan      Dan

Pembahasan Hukum Nasional, Seminar Hukum Nasional III

tahun 1974 di Surabya, hal.2.

         Melihat    dan menelaah hubungan hukum             dan

pembangunan, maka wajarlah kalau hukum dilihat juga dalam

posisi logisnya sebagai     faktor yang aktif, kreatif yang ikut

memberi arah kepada pembangunan. Berpangkal tolak dari

asumsi       demikian, dapat dinyatakan bahwa hukum itu

mengandung kemampuan            untuk menertibkan effek-effek

positip kepada proses-proses sosial budaya.

         Kalau kita lihat secara sepihak, hukum dalam posisinya

sebagai dependent variabel, adalah jelas bahwa hukum itu

adalah hasil kristalisasi dari berbagai kekuatan sosial yang ada

dalam masyarakat yang juga secara nyata        dapat    memberi

bentuk dan menentukan wujud terhadap sesuatu hukum yang

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena ada

perbedaan dalam hal berbagai hubungan dan kekuatan sosial

ini, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya,

terlihat adanya perbedaan antara hukum dalam masyarakat yang

satu dengan hukum yang berlaku di masyarakat lainnya, karena



                                                            18
kesemuanya tergantung pada hal tersebut. Setiap bangsa dan

suku bangsa mempunyai hukumnya sendiri-sendiri, Von

Savigny (1779-1861) dari mazhab "Historiscke Rechtskhule

mengatakan:Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit

dem volke.(ukum itu tidak diciptakan, dia adalah dan timbul

dengan rakyat) Konsep hukum yang demikian sebenarnya

sudah cukup lama tumbuh dan berkembang dikalangan para ahli

hukum kita. M.M. Djojodogoeno telah menegaskan bahwa:

Hukum itu bukan suatu rangkaian ugeran (norma) akan

tetapi suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu adalah

pengugeran    (normering) yang     berarti     pembatasan dari

tingkah laku dan perbuatan orang dalam hubungannya dengan

pamrih. Karya tersebut bermaksud menyelenggarakan tata yang

adil. Djojodigoena, Reorientasi Hukum Dan Hukum Adat,

Universitas Pres Yogjakarta, 1958, hal.4-14).Bahwa      hukum

selaku rangkaian ugeran (norma),         isi     sesungguhnya

merupakan hal yang tegas dan statis. Sedangkan kenyataannya

hukum itu merupakan suatu proses yang terus tumbuh sesuai

dengan pertumbuhan jamannya.Djojodigoeno, Kuliah Hukum

Adat 1961-1962, Badan      Penerbit Gajah Mada Yogyakarta,



                                                           19
1962, hal.18).Pandangan itu kemudian dipertegasnya kembali

dalam salah satu karyanya yang ditulis untuk Universitas

Nijmegen tahun 1971, ia menyatakan:"een onophandelijk zich

vernieuwend proces van Normeringen door een gemeenschap,

rechts streeksoof door middel van here gezagsorganis, van de

voor xakelijke      verhoudingen relevantse handelenen en

gedragingen van here leden, de zin heeft orde, gerechtigheid en

gezamelijke welvoortte funderen en te order houden". Nat is

de Recht? Ones de dard van het Recht als social proces van

normeringen, Untag, University             Press,   Jakarta, 1971,

hal.24.Hukum itu adalah suatu proses pengkaidahan yang terus

menerus mengadakan pembaharuan yang dilakukan oleh

masyarakat baik secara langsung maupun dengan perantaraan

alat-alat kekuasaannya       tentang   perbuatan dalam hubungan

pamrih   dan tingkah         laku dari anggota-anggotanya, yang

mempunyai arti untuk memberi dasar untuk mempertahankan

ketertiban, keadilan dan kesejahteraan bersama.Berangkat dari

uraian-uraian     tersebut      di      atas    kiranya   dapatlah

disimpulkan:Bahwa        dalam         masyarakat yang     sedang

membangun        sebagai halnya Negara Republik Indonesia,



                                                              20
hukum haruslah berorientasi kemasa depan (forward looking)

bukan berorientasi kemasa lampau (backward looking) seperti

dalam masyarakat sebelum kemerdekaan, segala pemikiran

tentang hukum harus dikaitkan        dengan    kerangka dasar

Pembangunan Nasional, sehingga segala studi tentang hukum

harus   benar-benar merupakan studi yang menunjang pada

pembangunan nasional.Dalam negara yang sedang membangun

seperti "Indonesia" hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-

upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada

yang telah dicapai sebelumnya, menghadapi kenyataan seperti

ini, peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka

mewujudkan        tujuan   pembangunan     sebagaimana     telah

ditetapkan. Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekadar

sebagai alat pengendalian sosial social control) saja, melainkan

lebih   dari itu, yaitu melakukan        upaya-upaya      untuk

menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan

cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat

sebagaimana dicita-citakan.   Dengan perkataan      lain, fungsi

hukum disini adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat,

berarti hukum digunakan untuk mengarahkan pada pola-pola



                                                            21
tertentu sesuai yang dikehendaki dengan menciptakan pola-

pola baru. Juga berarti mengubah atau bahkan menghapuskan

kekuasaan lama yang        sudah    tidak sesuai lagi     dengan

perkembangan jaman. Dari fungsi hukum tersebut yang serasi

dengan masyarakat yang sedang membangun. Karena dalam

pembangunan itu terdapat hal-hal yang harus dipelihara serta

dilindungi, dilain pihak hukum diperlukan untuk menciptakan

pola-pola yang sesuai dengan pembangunan                dan agar

perubahan yang diakibatkan oleh            pembangunan tersebut

berjalan dengan tertib dan teratur. Otje Salman, _Pelaksanaan

Hukum Waris Di Daerah Cirebon Dilihat Dari Hukum Waris

Adat Dan Hukum Waris Islam, Disertasi Unpad, Bandung,

1992, hal.1-2.Begitu pula dengan Ismail Saleh, mengemukakan

ada tiga dimensi pembangunan hukum nasional yang patut

mendapat perhatian yaitu dimensi pemeliharaan, dimensi

pembaharuan dan dimensi penciptaan. Tatanan hukum adalah

harus tetap dipelihara sekalipun     sudah tidak   sesuai   lagi,

sepanjang tatanan hukum baru belum dapat diciptakan. Hal itu

untuk   mencegah      timbulnya    kekosongan    undang-undang.

Sementara      itu,    usaha       untuk     meningkatkan    dan



                                                             22
menyempurnakan tatanan hukum yang ada dilakukan untuk

bagian-bagian tertentu yang tidak cocok dan tidak sesuai lagi

dengan keadaan. Dimensi itu diperlukan agar tatanan hukum

yang ada tidak perlu dibongkar keseluruhannya. Dimensi

penciptaan berarti dimensi dinamika dan kreatifitas, pada

dimensi   ini   diciptakan   perangkat   peraturan   perundang-

undangan yang baru, yang sebelumnya memang belum pernah

ada. Dimensi ini digunakan untuk menghadapi tuntutan

kemajuan jaman.

      Hamid S Attamimi lebih mengarah hukum              sebagai

alat pengubah masyarakat atau social modification. Namun

lebih lanjut dikemukakan bahwa itu tidak berarti bahwa

kodifikasi hukum     ke dalam berbagai kitab undang-undang

tidak penting atau tidak perlu, tetapi pengubah masyarakat

kearah cita-cita bangsa adalah lebih penting, lebih diperlukan.

Hamid S Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia,

Pidato Pengukuhan Guru Besar UI, 1989.Upaya kodifikasi

hukum tersebut, sesungguhnya bermaksud mengganti            tata

hukum yang kini berlaku       yang   dibuat    oleh pemerintah

kolonial dengan tata hukum baru yang                 benar-benar



                                                            23
mencerminkan        kesadaran hukum masyarakat.         Berkaitan

     dengan usaha ini, timbul masalah, sistem hukum yang mana

     yang menjadi      kesadaran       hukum   masyarakat, yang dapat

     menjadi sumber utama pembentukan hukum nasional. Hal ini

     disebabkan, karena       hingga saat ini terdapat 3 (tiga) sistem

     hukum yang mempengaruhi atau merupakan sumber dari tata

     hukum positip Indonesia, yaitu sistem hukum adat, sistem

     hukum Islam dan sistem hukum Barat. Mura P. Hutagalung,

     Hukum Islam Dalam Era             Pembangunan, Jakarta, Ind Hill,

     1985, hal.112.

C. Konsepsi Mengenai Pembinaan Hukum Nasional

       Pengertian     pembinaan hukum nasional secara        sederhana

  haruslah   diartikan       sebagai     rangkaian   kegiatan   untuk

  memperkembangkan           hukum kearah terbentuknya suatu tata

  hukum nasional. Konsepsi ini didasarkan pada suatu pemikiran,

  bahwa setiap      negara     yang merdeka dan berdaulat        harus

  mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang politik

  maupun dalam bidang perdata yang mencerminkan kepribadian

  jiwa maupun pandangan hidup bangsa tersebut.

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 1977,hal.57.



                                                                  24
dan lihat juga Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum

Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit

Univer sitas Indonesia, Jakarta, 1975, hal18.

Sebelum kita membicarakan tentang pelaksanaan dan usaha dalam

pembinaan hukum nasional, terlebih dahulu perlu untuk dikemukakan

beberapa pandangan tentang maksud hukum nasional itu sendiri. Para

pakar hukum mempunyai berbagai           pandangan tentang arti dari

hukum nasional. Koesno, menyebutkan ada 3 (tiga) aliran pandangan

yaitu:

1. Memandang dari segi pembuatan/pembentukannya;

2. Memandang dari segi jiwa/isinya;

3. Memandang dari segi asal-usul pembuatannya.

Aliran pertama melihat pengertian hukum nasional dari segi formal;

hukum nasional adalah apa yang dibentuk atau         ditetapkan oleh

pembentuk undang-undang yang nasional. Aliran        kedua   melihat

pentingnya hukum nasional dari segi

isinya, yakni hukum yang berisi bahan yang ada dan hidup di dalam

diri bangsa Indonesia sendiri baik yang bersifat idiil maupun yang

bersifat riil.

Aliran    ketiga melihat pengertian hukum nasional dari segi asal-



                                                                25
usulnya yang dibedakan:

a. Dalam arti dasar-dasar yang menjiwai isinya;

b. Dalam arti pembentukannya.

Bilamana      isi dari hukum atau perundang-undangan                yang

bersangkutan dijiwai oleh politik hukum yang nasional, maka itu

adalah hukum nasional. Bilamana hukum atau perundang-undangan

itu   dibentuk oleh pembentuk undang-undang            atau   hukum dari

pemerintah kolonial, maka itu adalah hukum kolonial.

Hukum nasional adalah hukum atau           perundang-undangan       yang

dibentuk    oleh pembentuk atau      hukum     dalam     arti Pemerintah

Nasional.

Pandangan yang lain tentang Hukum Nasional dikemukakan oleh

Hidjaxie Kartawidjaja, dengan memberikan rumusan sebagai berikut:

Hukum nasional ialah suatu bentuk hukum yang berlaku di Indonesia

yang memiliki ciri-ciri syarat seperti di bawah ini:

1. Memiliki kepribadian sendiri, yang sesuai dengan kepribadian

bangsa Indonesia.

2. Mengutamakan kesatuan dan persatuan hukum.

3. Isinya atau jiwanya harus sesuai dan seirama dengan kesadaran

serta hajat hidup hukum bangsa Indonesia.



                                                                     26
4. Harus berlandaskan pada dan tidak boleh bertentangan dengan

dasar falsafah negara Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945.

Mohammad Hidjaxie Kertowidjojo, Pembentuk Hukum            Nasional;

Suatu Sumbangan Pikiran Atas Perintah LIPI, 1973; dikutip dalam

Iman Sudiyat, Pembaharuan Hukum dan Hukum Yang Hidup Dalam

Masyarakat, Proceding Seminar Hukum Nasional III,

1974, hal.3

Pembinaan hukum nasional ini perlu untuk dilaksanakan di negara

kita, menurut Tengku Mohammad Radie ada beberapa hal yang

memberi arti kepada soal pembangunan hukum tersebut. Pertama

alasan psykologis politik, untuk melepaskan diri dari ikatan masa

lampau yang berbau kolonial, dalam rangka menciptakan identitas

bangsa yang merdeka, sebab adanya hasrat untuk mengganti tata

hukum      warisan   penjajah dengan    menonjol pada setiap bangsa,

terutama      melalui     perjuangan.      Karena     janggal   untuk

mempertahankan hukum kuasa penjajahan dan menjadikannya suatu

tata hukum nasional.

Alasan lain (kedua) agaknya lebih rasional, ialah bahwa acapkali dan

dalam banyak hal hukum di masa lampau tidak cocok lagi dengan

kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bangsa yang melekat dari aspek



                                                                  27
pertumbuhannya. Setelah kemerdekaan

yang banyak mengalami perubahan-perubahan. Dengan berpegang

pada pandangan bahwa hukum refleksi dari keadaan masyarakat pada

suatu masa tertentu, maka sukarlah untuk mempertahankan hukum

lama untuk suasana kehidupan baru bilamana dikehendaki hukum

baru dapat memberikan tanggapan yang tepat kepada kebutuhan

masyarakat pada zaman yang telah berubah.

Dimasa yang silam para pakar hukum sangat cenderung untuk

berorientasi kemasa lampau, sehingga hukum kita semakin jauh

ketinggalan dari perkembangan masyarakat dibidang sosial, politik

dan ekonomi yang kebanyakan berorientasi kemasa depan, untuk

menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan masyarakat, hukum

tidak hanya harus diperbaharui, akan tetapi pembaharuan hukum perlu

untuk dipercepat. Pembaharuan hukum yang dipercepat ini penting

bila hukum nasional itu hendak merupakan hukum yang fungsional,

yaitu   hukum   yang dapat   menjadi prasarana dalam pelaksanaan

pembangunan nasional pada umumnya.

Usaha pembinaan hukum nasional bukanlah merupakan suatu

tindakan yang mudah, sehubungan dengan adanya keaneka ragaman

peraturan hukum, baik peninggalan penjajah maupun yang dibentuk



                                                               28
pada masa transisi. Untuk menyalurkan kegiatan dalam pembinaan

hukum nasional, tahun 1956          PERSAHI           telah memajukan

permohonan kepada Menteri Kehakiman agar dibentuk panitia negara

pembinaan hukum nasional. Subekti, op.cit. hal.40

Permohonan itu menghasilkan Keputusan Presiden tanggal 30 Maret

1958    No.107   tahun   1958   mengenai      pembentukan       Lembaga

Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang bertugas membantu

pemerintah secara giat dan penuh daya cipta dalam lapangan

hukum dengan tujuan mencapai Tata Hukum Nasional. Lembaga ini

berkedudukan langsung di bawah Perdana                Menetri    dengan

beranggotakan    para ahli hukum, wakil-wakil golongan           teoritis,

politisi dan para praktisi. Soesanto      Tirtoprodjo, LPHN, Majalah

Hukum dan Masyarakat No. Kongres I, Jakarta, 1961, hal.221.

Usaha yang harus dilaksanakan lembaga ini, adalah:

   a. Menyiapkan penyusunan perundangan yang selaras dengan

       keadaan dan kepentingan negara, rakyat serta dengan cita-cita

       hukum dan Pancasila yang terkandung dalam UUD 1945.

   b. Mengusahakan terjemahan buku yang penting dalam lapangan

       hukum ke dalam bahasa Indonesia.

   c. Menyelenggarakan     peristilahan    nasional    dalam    lapangan



                                                                     29
perundang-undangan.

Dengan keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 kembali

ke UUD 1945, LPHN dibentuk kembali dengan Keppres tanggal 6

Mei 1961 No.194 tahun 1961 yang berkedudukan di bawah

departemen Kehakiman, dengan tugas:

   a. Melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional yang dikehendaki

      oleh MPRS;

   b. Menyiapkan      rancangan      perundangan     nasional      untuk

      menggantikan      peraturan   yang   tidak sesuai   dengan    tata

      hukum nasional;

   c. Menyelenggarakan segala sesuatu untuk menyusun keteraturan

      dalam perundang-undangan.

Kemudian dengan Ketetapan Presiden No.282 tahun 1964 dibentuk

suatu LPHN gaya baru yang bertugas melaksanakan Pembinaan

Hukum Nasional, sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana dikehendaki

oleh MPRS dengan tujuan untuk         mencapai     tujuan tata hukum

nasional berdasarkan Pancasila, yaitu dengan:

         1. Menyiapkan rancangan peraturan-peraturan perundang-

            undangan yang berpedoman kepada:

   a. Ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Tap MPR.



                                                                     30
b. Kebijaksanaan politik Menteri Kehakiman dalam ketetapan

      hukum nasional.

             2. Mengadakan   riset   dan dokumentasi serta   segala

               sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan

               Perundangan. Kedudukan      lembaga   ini kemudian

               lebih disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden

               tanggal 24 Juli 1965 No.184 tahun 1965. Selanjutnya

               dengan SK Menteri Kehakiman No. YS.4/3/7 tahun

               1975 mengenai susunan organ dan tata kerja

               Departemen Kehakiman,        nama LPHN dirubah

               menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional, dalam

               pasal 616 disebutkan bahwa BPHN mempunyai tugas

               menyelenggarakan pengembangan hukum nasional

               berdasar kan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

               Menteri Kehakiman.

     Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada pasal 616 BPHN

berfungsi:

a. Membina penyelenggaraan pertemuan ilmiah bidang hukum;

b. Membina penelitian dan pengembangan hukum nasional;

c. Membina penyusunan naskah rancangan undang-undang dan



                                                               31
kodifikasi;

d. Membina pusat dokumentasi perpustakaan dan publikasi hukum

(pasal 617).

Sekitar tahun 1972 BPHN setelah mempelajari asas-asas hukum

yang    kerap dikalangan rakyat       Indonesia,     mengadakan rapat

"hearing"      dengan   golongan   terkemuka   dan    berbagai lapisan

masyarakat. Dari pertemuan tersebut telah berhasil merumuskan asas-

asas tata hukum nasional sebagai berikut:

1. Dasar pokok hukum nasional Indonesia adalah Pancasila;

2. Hukum nasional bersifat:

a. Pengayoman;

b. Gotong-royong

c. Kekeluargaan;

d. Toleransi;

e. Anti kolonialisme, imprealisme, dan feodalisme.

3. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.

4. Selain hukum tertulis diakui hukum tidak tertulis sepanjang tidak

menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia;

5. Hakim membimbing perkembangan hukum (homogenitas) yang

selaras luasnya dan dalam hukum kekeluargaan kearah sistem



                                                                  32
parental.

6. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat

mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum

Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara

Pidana).

7. Untuk pembangunan       masyarakat sosialis Indonesia diusahakan

unifikasi hukum;

8. Dalam perkara pidana:

a. Hakim berwenang sekaligus memutus, baik karena jabatannya

maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan;

b. Hakim    berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut

dan .... disamping atau tanpa pidana.

9. Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk

menjadi warga yang bermanfaat bagi masyarakat.

10. Dalam bidang hukum acara perdata diarahkan jaminan supaya

peradilan berjalan sederhana, cepat dan murah.

11. Dalam bidang      hukum acara pidana diadakan ketentuan yang

merupakan jaminan kuat untuk mencegah:

a. .... tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan lebih lama dari

yang benar-benar diperlukan.



                                                               33
b. Penggeledahan, penyitaan, pembaharuan surat                dilakukan

sewenang-wenang. Untuk        menghimpun      berbagai     pemikiran

masalah-masalah hukum dalam rangka pembinaan hukum nasional

LPHN       telah menyelenggarakan beberapa kali seminar Hukum

Nasional    bekerja   sama   dengan   PERSAHI,     Fakultas     Hukum

Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Unair, dan lain sebagainya.

Dasar asas-asas hukum Nasional yang digariskan oleh LPHN yang

mendapat dukungan sepenuhnya dari seminar Hukum Nasional ke I

sebagaimana yang terlihat dalam kesimpulannya yang menyatakan:

1. Dasar pokok hukum nasional Indonesia ialah Pancasila.

2. Hukum     Nasional sebagai alat revolusi dengan arti "Tut Wuri

Handayani" serta sebagai expresi cita-cita politik rakyat berfungsi

pengayoman dalam arti membina, mengatur, melindungi tertib

masyarkat sosialisme Indonesia, dimana dijamin keseimbangan antara

kepentingan masyarakat dan kepentingan Individu.

3. Hukum Nasional Indonesia mencrminkan sifat gotong royong,

kekeluargaan, toleransi, dan anti imprealisme, kolonialisme serta

feodalisme dalam segala bentuk.

Dalam seminar Hukum Nasional ke II di Semarang 1968 tidak

membicarakan persoalan dasar Hukum          Nasional. Tetapi pada



                                                                   34
Seminar Hukum Nasional II di Surabaya 1974 baru dijumpai kembali

kesimpulan dasar-dasar pembinaan Hukum Nasional, sebagai berikut:

1. Dasar pembinaan Hukum Nasional adalah Pancasila, UUD 1945,

dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

2. Pembinaan Hukum       Nasional meliputi seluruh hukum       positip

Indonesia, baik sipil maupun militer, baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis.

3. Penemuan dan pembentukan hukum yang hidup dalam masyarakat

adalah tugas badan-badan legislatif, eksekutif, dan peradilan dalam

bentuk peraturan perundangan,       keputusan-keputusan dan dalam

bentuk putusan-putusan hakim.

Pada bagian lain Seminar Hukum Nasional III memberikan

beberapa kesimpulan antara lain:

1. Pembinaan hukum       nasional harus memperhatikan hukum adat

yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living

law).2. Untuk itu     pendekatan     yang tepat adalah pendekatan

sosiologis yang dapat dijadikan alat untuk mengadakan analisa

sosial. Atas dasar ini dapat dilaksanakan proyeksi sosial. Oleh karena

itu dalam pembinaan hukum, penelitian hukum harus menggunakan

pendekatan yang tidak hanya bersifat ilmu hukum melainkan juga



                                                                  35
harus menggunakan pendekatan interdisipliner yang menggunakan

ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai penunjang.

3. Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-

undangan dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas.

Atas dasar skala prioritas, maka bidang-bidang hukum yang sifatnya

universal dan netral yaitu bidang-bidang hukum yang langsung

menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan perlu diprioritaskan

dalam pembentukannya.

Sedangkan bidang-bidang hukum yang sangat erat hubungannya

dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual dan kehidupan budaya

bangsa memerlukan penggarapan       yang seksama dan tidak tergesa-

gesa.

4. Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum

nasional khususnya dan pembangunan nasional umumnya, dengan

mengingat kebutuhan yang mendesak, usaha kearah          kodifikasi

dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu

secara bertahap baik      dengan undang-undang maupun dengan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).

5. Pengoperan/pengambilan hukum asing yang           sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat



                                                               36
memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional.

6. Perlu digiatkan penelitian, terutama dibidang hukum adat diseluruh

daerah untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan nyata tentang

hukum adat yang benar-benar diseluruh tanah air. Sebab kenyataan

yang hidup di daerah itulah yang patut diabtraksikan dalam norma-

norma hukum umum yang dapat diterima oleh seluruh rakyat.

  Penelitian secara menyeluruh mengenai hukum yang hidup dalam

masyarakat (the living law) yang meliputi daerah diseluruh Indonesia

ini dapat dipergunakan untuk mengadakan pemecahan persoalan

(problem solving), dengan jalan:

 a. Penemuan hukum (rechtvinding)

 b. Pembentukan hukum (rechtvorming)

 c. Pengembangan hukum (rechtsuitbouw).

7. Akselerasi   pembinaan    hukum nasional hendaknya dibarengi

dengan usaha peningkatan taraf penghidupan masyarakat           yang

relevant untuk berkonvergensi dengan bangsa (nation) lain.

8. Keterbelakangan dan pluformitas tata kehidupan masyarakat yang

pada pokoknya diakibatkan oleh kekurang lancaran komunikasi perlu

diatasi oleh ekstensifikasi pendidikan baik formal maupun non formal

dan penyuluhan hukum (legal information) secara horizontal, simultan



                                                                 37
dengan pembangunan prasarana dan sarana komunikasi.

Seminar-seminar hukum nasional, beberapa simposium        dan loka

karya tentang berbagai permasalahan     hukum,    maksudnya ialah

untuk menghimpun berbagai pendapat dan pandangan berbagai

kalangan dengan harapan dapat memberikan "input" bagi pembinaan

hukum nasional. Selain itu usaha-usaha yang dijalankan BPHN,

usaha-usaha penelitian diberbagai tempat dan daerah serta penulisan

ilmiah dibidang hukum.

Pancasila sebagai dasar hukum nasional tidak perlu dipermasalahkan

lagi, karena sudah merupakan konsensus nasional yang menyatakan

bahwa Pancasila     adalah merupakan sumber dari segala sumber

hukum. Begitu pula halnya dengan

UUD 1945 merupakan hukum dasar Tertulis dalam kehidupan

bernegara di Indonesia.

GBHN berbeda dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

GHBN dibidang hukum memperlihatkan adanya           kecenderungan

yang selalu berubah untuk setiap periode pembangunan. Berikut ini

dipaparkan kebijakan hukum dalam GBHN, yaitu

sebagai berikut:

1. Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 antara lain menyebutkan



                                                               38
bahwa:

  Asas-asas pembinaan hukum nasional itu sesuai dengan GBHN dan

berlandaskan pada hukum adat yang                   tidak     menghambat

perkembangan masyarakat adil makmur.

2. Ketetapan      MPR No. IV/MPR/1973               memberikan beberapa

arahan di bidang hukum sebagai berikut:

a. Pembangunan di bidang         hukum dan negara. Hukum Indonesia

adalah berdasar atas landasan sumber tertib hukum negara yaitu cita-

cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita

hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suatu kejiwaan

serta wajah dari bangsa Indonesia yang didasarkan dalam Pancasila

dan UUD 1945.

b. Pembinaan      bidang     hukum harus mampu          mengarahkan dan

menampung       keresahan     hukum rakyat yang berkembang kearah

modernisasi menurut        tingkat-tingkat   kemajuan pembangunan di

segala bidang sehingga tercapai kepastian dan ketertiban hukum

sebagai   prasarana   yang     harus    ditujukan    kearah   peningkatan

pembinaan kesatuan bangsa sekaligus           berfungsi sebagai sarana

penunjang      perkembangan      modernisasi dan pembangunan        yang

menyeluruh, dilakukan dengan:



                                                                     39
1. Peningkatan    dan   penyempurnaan pembinaan hukum nasional

dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi      serta

unifikasi hukum dibidang-bidang

tertentu, dengan jalan memperhatikan     kesadaran hukum dalam

masyarakat.

2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga          hukum    menurut

proporsinya masing-masing.

3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak

hukum.

c. Memupuk       kesadaran hukum dalam masyarakat dan   membina

sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan

hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan UUD

1945.

3. Keputusan     MPR No.IV/MPR/1978 merumuskan tentang arah

pembangunan di bidang hukum sebagai berikut:

a. Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia

didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung

dalam Pancasila dan UUD 1945.

b. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan         agar



                                                            40
hukum        mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan             tingkat

kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah

diciptakan     ketertiban dan   kepastian   hukum   dan memperlancar

pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka ini perlu dilanjutkan usaha-

usaha untuk:

1. Peningkatan      dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional

dengan antara lain mengadakan          pembaharuan kodifikasi      dan

unifikasi hukum dibidang-bidang

tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam

masyarakat.

2. Menertibkan      badan-badan      penegak hukum sesuai dengan

fungsi dan wewenang masing-masing.

3. Meningkatkan        kemampuan      dan kewajiban aparat penegak

hukum.

4. Membina        penyelenggaraan    bantuan hukum untuk golongan

masyarakat yang kurang mampu.

c. Meningkatkan      kesadaran hukum        dalam masyarakat sehingga

menghayati hak dan kewajibannya dan           meningatkan   pembinaan

sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum,

keadilan dan      perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,



                                                                   41
ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang-Undang Dasar 1945.

d. Mengusahakan terwujudnya persatuan.

e. Dalam usaha Pembangunan Hukum Nasional perlu ditingkatkan

langkah-langkah untuk    penyusunan      per-undang-undangan yang

menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka

mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tentang bagaimana cara melaksanakan pembinaan hukum itu,

dalam hal ini masih terdapat beberapa pandangan yang berbeda.

Disatu pihak hendak menggunakan sistem kodifikasi sebagai cara

yang terbaik dalam melaksanakan pembinaan hukum nasional

tersebut. Menurut Sunaryati Hartono, selama 28

tahun hingga kini belum menghasilkan sesuatu, sehingga dapatlah

disimpulkan   bahwa kodifikasi   tidaklah   merupakan jalan   yang

paling tepat untuk mengusahakan pembaharuan hukum. Sunaryati

Hartono, Peranan Peradaban Dalam Pembinaan dan Pembaharuan

Hukum Nasional; Prasaran Dalam Seminar Hukum Nasional III,

Surabaya, 1975, hal.5.

Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa untuk pembinaan dan

pembaharuan hukum yang wajar hendaknya masyarakat dibiarkan

sendiri untuk mencari dan menemukan kaidah-kaidah hukum yang



                                                               42
paling tepat memenuhi kebutuhannya. Pendapat ini kebanyakan dari

pada para pakar hukum adat, tetapi cara yang demikian menurut

Sunaryati Hartono kurai sesuai dengan tekad kita untuk mengadakan

pembangunan yang berencana yang tidak digariskan dalam GBHN.

Jika   kedua   cara   yang disebut di   atas   masih     kurang cocok,

sehubungan dengan situasi dan kondisi sekarang, maka masih perlu

untuk dipikirkan cara yang lebih        efektip   dan efisien demi

pelaksanaan Pembinaan Hukum Nasional. Tentunya

dengan tidak mengabaikan hukum adat sebagai faktor yang ikut

menentukannya. Oleh karena itu, sesuai dengan rumusan-rumusan

yang telah dikemukakan dimuka yang paling penting adalah untuk

meletakkan dasar-dasar dari pembinaan hukum            tersebut melalui

implementasi Pancasila dan UUD 1945.

Pembaharuan hukum perlu untuk dipercepat. Pembaharuan hukum

yang dipercepat ini

penting   bila hukum nasional dapat diterima oleh seluruh lapisan

masyarakat.




                                                                   43
BAB II
  HUKUM ADAT DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

A.Corak    Berpikir  Masyarakat   Hukum   Adat   Dan
Perkembangannya
       Untuk melihat konteks hukum adat dalam dimensi

  pembangunan hukum nasional, supaya mendapat gambaran yang

  menyeluruh akan diuraikan mengenai corak hukum adat terlebih

  dahulu. Di dalam berbagai literatur sering ditemukan, bahwa dalam

  kerangka membicarakan tentang hukum adat, terlebih dahulu

  dikemukakan mengenai masyarakat hukum adat. Hal ini sangat

  penting untuk melihat aspek hukum yang dihasilkannya, karena

  corak masyarakat hukum adat satu sama lainnya            terdapat

  perbedaan.

         Ter Haar di dalam bukunya Beginselen en Stelsel van Het

  Adatrecht, memberikan unsur-unsur suatu masyarakat hukum adat,

  yaitu mempunyai penduduk, mempunyai wilayah, mempunyai

  penguasa, mempunyai kekayaan baik materil maupun immateril.

  Jadi apabila dilihat sepintas, unsur-unsur suatu masyarakat hukum

  adat ada persamaannya dengan unsur-unsur adanya suatu negara

  seperti yang tercantum dalam Convensi Montevidio. Perbedaannya

  terletak, pada syarat yang terakhir, yaitu dalam masyarakat hukum

  adat diharuskan adanya syarat     memiliki benda/kekayaan baik


                                                               44
materil maupun immateril.

         Suatu uraian yang relatif lengkap dikemukakan oleh

Hazairin, sebagai berikut:10 Masyarakat-masyarakat Hukum Adat

seperti desa di Jawa, marga                 di Sumatera Selatan, nagari di

Minangkabau, Kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan,

adalah    kesatuan-kesatuan           kemasyarakatan           yang   mempunyai

kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu

mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan

lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi

semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,

matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya

terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan

pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan

perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan.

Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.Penghidupan

mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong,

serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar.Selanjutnya

Hazairin juga menyatakan bahwa masyarakat hukum adat tersebut

terangkum dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, yaitu:


   10 Hazairin, Demokrasi Pancasila_ Rineka Cipta Jakarta, 1990,



                                                                            45
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan

bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-

undang,        dengan        memandang        dan       mengingat      dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-

hak            asal-usul    dalam       daerah-daerah      yang      bersifat

istimewa.Mengenai bentuk dari masyarakat hukum adat dasarnya

secara       teoritis   dibedakan    antara   masyarakat    hukum       adat

berdasarkan genealogis dan masyarakat hukum adat berdasarkan

teritorial.     Berdasarkan    ikatan     genealogis,   dikenal      struktur

masyarakat matrilineal, masyarakat patrilineal dan                masyarakat

bilateral,      dan     masyarakat    alternerend.Berbicara          struktur

masyarakat erat kaitannya dengan masalah untuk mengetahui

hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Hal itu

dikatakan oleh Soepomo:"bahwa untuk mengetahui hukum, maka

adalah terutama perlu diselidiki         buat waktu apabilapun dan di

daerah        manapun, sifat    dan susunan badan-badan persekutuan

hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup

sehari-hari".Jelas kiranya mengetahui suatu hukum dalam suatu

daerah perlu ditelaah mengenai struktur masyarakatnya. Perlu juga

dilihat mengenai peranan hukum dalam suatu struktur masyarakat.



                                                                         46
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh hukum itu

   dapat berfungsi dalam suatu masyarakat tertentu. Pada masyarakat

   yang corak berpikirnya masih sederhana (tradisional) peranan

   hukum lebih menonjol sebagai social control (Pengendalian sosial).

   Pengendalian sosial, secara sosiologis merupakan suatu variabel

   kuantitatif, artinya kuantitas pengendalian sosial disuatu tempat

   akan berbeda ditempat yang lain. Sebagai contoh, sistem

   pengendalian dalam suatu kelompok keluarga tertentu, mungkin

   akan berbeda dengan kelompok keluarga lainnya, demikian juga

   dilapangan birokrasi. Pengendalian sosial, kuantitasnya juga bisa

   berbeda sebagai akibat waktu pengendalian sosial itu dilaksanakan.

             Sebagai       misalnya, hampir disemua daerah di Indonesia

   ditemukan banyak sekali kasus perceraian yang jarang diselesaikan

   di pengadilan.11 Mengenai hal ini Nader dan Metzger, menjelaskan

   sebagai berikut:

           Patterns of authority seem to be central to an under
   standing of the distribution of conflict resolution in these towns.
   In both communites, husbands and wives in conflict recognize the
   authority of senior family males as well as the authority of the
   community court. However, the aithority of senior family males is
   greater in the Chiapas town than in the Oaxaca community, and
   this contrast is mirrored in the use spouses make of the court in the
   two towns ... in the Oaxaca town, limited oautority of senior family

11 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Jakarta, 1983. hal. 95



                                                                              47
males is associated with early inheritance, separate residence,
      readily available substitutes for both spouses and parent with
      respect to sex and subsistence, and the deliberate refusal of
      families to accept responsibility for mariages they have not
      arranged. The court assumes the responsibility lost or
      abandoned by the family and exercises authority over marriage
      vested in its as a representative of the State. In the Chiapas
      community, delayed inheritance, patrispon sored residence, and
      the absence of spous or parent-substitutes outside these
      relationships tend to support the authority of senior male lineals in
      the resolution of conflict between spouses. The role that the court
      plays is residuam.

           Pada masyarakat Amerika yang modern, perselisihan antara

keluarga, lebih kurang diajukan ke pengadilan apabila dibandingkan

dengan jenis-jenis perselisihan lainnya. Polisi misalnya lebih banyak

menerima laporan kejahatan diluar keluarga, kalaupun ada laporan

itu     datangnya    dari   orang lain,    dan   bahkan apabila   dimintai

keterangannya, pihak keluarga akan mengingkarinya.

           Keadaan lain dijumpai di Taiwan. Di sana pengendalian oleh

keluarga semakin pudar. Disini para petani            yang     bersengketa

megenai tanah, cenderung memilih diselesaikan oleh lembaga hukum

berdasarkan perundangan untuk             menyelesaikannya. Di Indonesia

pernah dilakukan penelitian di Minangkabau oleh P.E. de Josselin de

Jong dikatakannya, bahwa ada kecenderungan pada keluarga batih

mempunyai         rumah     tangga sendiri (berdiri sendiri). Selanjutnya




                                                                       48
dikatakan:

          The result is that members of the same suku, and even of the

same paruik, no longer live together. As a unit which lives scattered

far and wide begins to show less cohesion, the authority of the

panghulu also dimineshes, and finally the government official has to

step in.12

          Apa yang diungkapkan di atas Fakultas Hukum Universitas

Andalas Padang, pernah melakukan penelitian hasilnya sebagai

berikut:

   1. Oleh karena tertinggalnya ninik-mamak di bidang pendidikan

       formal, dibandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh anak-

       kemenakan dewasa ini, maka pengaruh ninik mamak terhadap

       anak kemenakan menjadi berkurang.

   2. Dalam         rangka terjadinya perubahan sosial,    khusus   dalam

       struktur keluarga. dimana kedudukan ayah semakin menonjol,

       pengaruh          ninik-mamakpun      semakin   berkurang    dalam

       kaumnya.

   3. Meskipun pengaruh mamak terhadap kemenakan semakin

       mundur, akibat             menonjolnya ayah dalam keluarga, namun


12 Soerjono Soekanto, ibid. hal. 98



                                                                      49
kedudukan ninik-mamak dalam kaum dan suku tetap penting,

     karena adanya kaum dan suku masih merupakan kenyataan

     dalam masyarakat Minangkabau.

  4. Selama masih utuhnya kaum dan suku sebagai organisasi

     kemasyarakatan, selama itu pula peranan ninik-mamak penting

     dalam prosedur penyelesaian sengketa secara damai di Nagari-

     nagari.

  5. Pengikut-pengikut    ninik    mamak      dalam   setiap     kegiatan

     pembangunan       maupun pelaksanaan tugas-tugas pemerintah,

     akan memperlancar jalannya pelaksanaan pembangunan maupun

     pekerjaan-pekerjaan lainnya di Nagari.

     Nyatalah apa yang diungkapkan dari kedua             hasil penelitian

tersebut, peranan ninik mamak di Minangkabau berkurang. Peranan

dalam kelurga digantikan oleh orang tuannya. Namun              demikian

dalam proses penegakan hukum, pertanan ninik mamak masih besar,

misalnya dalam proses penyelesaian sengketa diselesaikan secara

berjenjang didahului diselesaikan oleh ninik-mamak, baru kalau tidak

selesai baru diselesaikan oleh pemerintah Nagari, Camat               dan

Pengadilan.

     Masalah    lain   dalam      pengendalian   sosial     yang    perlu



                                                                      50
diketengahkan adalah masalah            stigmatisasi.Stigmatisasi terjadi

apabila perbuatan tertentu yang menyimpang, dengan sengaja

ditonjolkan keburukannya, artinya kedudukan dan peranan seseorang

yang melakukan      penyimpangan tersebut diperlakukan sedemikian

rupa, sehingga dia kehilangan identitas sosialnya. Dengan demikian

stigmatisasi dapat dikatakan:

"a process attaching visible signs of moral inferiority to persons, such

as invidious labels,     marks, brands, or publicly disemminated

information”.Masalah     ini    perlu   ditonjolkan,   karena   masalah

stigmatisasi itu prosesnya lebih berat dari pada proses dalam hukum

adat yang merupakan hukum yang masih hidup. Masalahnya

stigmatisasi sering ditujukan kepada warga masyarakat yang

melakukan pelanggaran terhadap keseimbangan kosmis, walaupun

perbuatan itu belum tentu merupakan pelanggaran yang nyata,

pelanggaran semacam demikian misalnya adalah santet. Ini terjadi

sebab di masyarakat ada yang melakukan perbuatan yang termasuk

"risk taking". Risk taking ini merupakan:"situations in which persons

who are caught in a network of conflicting claims or values choose not

deviant alternatives but rather behavioral solutions which carry risks

of deviation. Deviation then becomes merely one possible outcome



                                                                     51
of their actions, but it is not inevi table. It hinges rather on the turn of

circumstances or convergence of external factors". (Soerjono

Soekanto, ibid. hal.101)

      Risk Taking ini merupakan jalan keluar sebagai akibat adanya

kemelut dalam dirinya. Sebagai misal orang melakukan kawin lari

sebagai akibat tidak diizinkannya perkawinan           tersebut. Tentunya

kawin lari ini merupakan suatu stigma apabila memang dirasakan

merusak keseimbangan suatu keluarga. Kenyataan demikian karena

masyarakat Indonesia seperti apa            yang dikatakan Soepomo:

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita Jakarta,

1983, Alam      pikiran tradisional Indonesia (alam pikiran tradisional

Timur pada umumnya) bersifat kosmis, meliputi segala-galanya

sebagai kesatuan (totaliter). Umat manusia menurut aliran pikiran

kosmis itu adalah sebagian dari Alam,tidak ada pemisahan dengan

mahluk-mahluk lain. Segala sesuatu bercampur baur dan bersangkut

paut, segala sesuatu pengaruh         mempengaruhi. Dunia          manusia

adalah pertalian dengan segala hidup di dalam alam. Aliran pikiran

kosmis ini merupakan latar belakang hukum adat pelanggaran".

      Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa

yang mempunyai kepribadian          komuun dan kolektif. Kepribadian



                                                                        52
komuun merupakan dasar untuk mengerti hukum adat. Ciri komuun

dari masyarakat Indonesia digambarkan oleh Van Vollenhoven yang

mengatakan bahwa ciri komuun itu tidak hanya di dalam hak-hak

yang aneh yang oleh pemerintah desa diambil hak pertuanan dari

persekutuan (campur tangan         dalam jual    lepas/gadai tanah),

adakalanya pun dalam hal maro dan jual sewa tanah, hak mencabut

hak atas tanah untuk waktu yang tak tertentu guna kepentingan desa,

membagikan tanah yang kembali kepada desa kepada orang-orang

baru dan lain-lain, tidak sajapun di dalam kebiasaan kerja sama yang

ternyata    dalam   hal memiliki kandang    hewan    bersama   untuk

mencegah pencurian ternak atau lumbung-lumbung padi bersama atau

dalam hal membikin bersama dan memelkihara saluran-saluran air.

Bilamana di dalam hukum adat di Jawa dan Madura hak pengabdian

peklarangan (erfdiensbaarheid) tidak diperlukan adanmya; bilamana

seseorang dapat memiliki atau menggadai pihon-pohon yang hidup

di atas tanah orang lain, tanpa adanya hukum adat yang memberi hak

kepada si     pemilik   atau sipemegang gadai itu untuk bila perlu

menginjak tanah orang lain itu; bilamana tidak diperlukan aturan-

aturan     yang terperinci   mengenai air; bilamana tidak diperlukan

aturan-aturan yang tetap tentang perwalian-pun, tentang pewarisan



                                                                 53
yang secara mekanis dapat dilaksanakan; ini semua disebabkan oleh

karena semua hak itu dimengertikan dan dilaksanakan sedemikian

rupa   bahwa    bukan hak individu yang bertahta (semacam corak

hukum Romawi) tetapi oleh karena      kepentingan masyarakat   itu

memberati semua pemakaian barang-barang pribadi.

       Lebih-lebih pula dalam hal penghasilan dari kepala desa itu

semua berbicara secara terang tentang kewajiban memberikan barang,

bila kepala desa akan mendirikan rumah, melakukan perkawinan dan

sebagainya.

       Anggapan C. Van Vollenhoven, beberapa tahun kemudian

dikuatkan oleh F. D. Holleman, beliau dalam Inagurasinya pada

tanggal 10 Mei 1935 mengemukakan diantaranya:

Suasana keseluruhan dari hukum adat memperlihatkan watak komuun

ini. Demikianlah yang utama dalam penghidupan hukum sehari-hari

di dalam masyarakat hukum adat,         kepentingan    masyarakat;

musyawarah dari     anggota   masyarakat hukum   didalam   banyak

persoalan adalah suatu keharusan hukum, perkawinan dan banyak

hal-hal semata-mata prive adalah urusan golongan/kemasyarakatan

pada orang     Indonesia; tolong-menolong (gotong royong) diantara

warga desa di dalam sebagian besar lingkaran hukum di Indonesia



                                                               54
adalah kewajiban hukum. Komuun ini janganlah dipandang sebagai

faktor yang berdiri sendiri, tetapi lebih-lebih dalam kebalikannya

dan terutama pun dalam imbangannya dengan unsur individuil yang

tidak pernah tidak ada, pun di dalam daerah-daerah dimana ciri

komun itu sangat mencolok adanya (Sulawesi Tengah, Borneo).

      Di dalam ikatan golongan masyarakat ada sekedar diferensiasi,

dimana bagaian-bagian dari golongan dapat dilihat hanya sebagai

kebebasan individuil, tetapi para subyek hukumpun di dalam

daerah-daerah dimana hukum yang sifatnya individuil mempunyai

tempat (misalnya di Aceh, Jawa), tidak bebas sama sekali tetapi

selalu dicampuri    dengan     perasaan golongan dan kesadaran

kemasyarakatan (Gemeenschapbesef).

      R. Soepomo menggambarkan dengan jelas bagaimanakah

kepribadian   masyarakat Indonesia, beliau     menjelaskan     jiwa

perhubungan antara individu dengan masyarakat       (gemeenschap,

societas). Setelah membandingkan dengan menggambarkan karakter

hukum barat, beliau menggambarkan karakter       hukum    adat dan

masyarakat Indonesia. Hukum Barat merupakan hasil              dari

kepribadian individualistis, hasil dari jaman individualisme, dalam

mana individu merupakan pokok dan pangkal dari semua peristiwa



                                                               55
hukum di dalam masyarakat. Lain sekali halnya dalam hubungan

antara individu dengan masyarakat Indonesia dan hukum Adat.

Individu ditempatkan sebagai pangkal utama dalam masyarakat.

Masyarakatlah     mempunyai kedudukan       yang lebih utama dalam

hukum adat dan bukan individu. Individu adalah alat dari masyarakat

untuk mencapai tujuannya.

        Menurut pandangan masyarakat Indonesia, kenyataan hidup

adalah terutama ditujukan guna menjalankan kewajiban-kewajiban

untuk      masyarakat.      Kewajiban-kewajiban       kemasyarakatan

dianggapnya sebagai fungsi utama menurut kodrat dari manusia.

Adanya sifat komuun itu dibuktikan dengan adanya kekuasaan dari

desa atas tanah (seperti adanya hak ulayat desa), dengan adanya

campur tangan oleh desa pada waktu adanya pengangkatan anak,

pemeliharaan anak yang belum dewasa (kuat gawe), pertunangan,

perkawinan, perceraian, pembagian boedel dan lain-lainnya.

        Kepribadian komuun ini terdapat pula dalam kehidupan famili

(kerabat) dan keluarga. Dalam hukum famili dan                 hukum

kekeluargaan     berlaku   prinsip, bahwa    famili   dan    keluarga

(masyarakat), kesatuan sosial, kesadaran sosial merupakan hal yang

diutamakan.      Kepentingan     golongan/masyarakat        menguasai



                                                                  56
kepentingan individu, seperti ternyata     di      Minangkabau dimana

masyarakat famili itu merupakan dasar dari seluruh kehidupan rakyat

Minangkabau. Di Jawa kepentingan masyarakat keluarga              (gezin)

diutamakan seperti dalam hukum waris. Sehingga dalam hukum

adat pembagian waris bukan didasarkan pada nilai jumlah barang,

tetapi atas dasar manfaat atau nilai guna dari barang tersebut.

      Djojodiguno, memandang hukum sebagai paguyuban, artinya

sebagai   satu jenis hidup bersama, dimana manusia          memandang

sesamanya manusia sebagai tujuan, dalam perkataan Kant sebagai

Selbstzweek; dimana perhubungan manusia               dengan sesamanya,

manusia tidak terwujud dalam perkataan kepentingan laba rugi,

melainkan sebagai perhubungan dimana manusia menghadapi

sesamanya, manusia dengan segala sentimennya, sebagai cinta,

simpati dan sebagainya yang baik dan             kurang baik.   Seabagai

perbandingan dalam lapangan hukum barat, dapat digambarkan

hukum barat selalu bercorakkan patembayan, jadi ada hubungan

pamrih.

      Kepribadian komuun , apabila dilihat dalam kehidupan sehari-

hari indikasinya bahwa bangsa Indonesia (masyarakat hukum adat)

mempunyai corak kehidupan            kolektif.       Kesatuan sosialnya



                                                                     57
mempunyai ciri atau tanda bahwa jiwa, perbuatan dan tingkah laku

dari individu (oknum, manusia perseorangan) dalam masyarakat itu

dikuasai oleh norma-norma dari kesatuan-kesatuan sosial yang ada

dilingkungannya. Kekuatan normatif dari masyarakat mempengaruhi,

menentukan      kejiwaan, perbuatan,          tingkah laku orang-perorang.

Artinya kehidupan individu itu, tidak terlepas dari pada kehidupan

masyarakatnya.

        Kehidupan     kolektif      adalah     suatu     kehidupan    dimana

menempatkan individu mempunyai keterikatan dengan masyarakat

dilingkungannya.      Kolektivisme ini dikenal berbagai            bentuknya,

yaitu    kolektifitas keluarga, kolektifitas bangsa, kolektivitas ras,

kolektivitas    masyarakat      umum,     kolektivitas    umat       manusia,

kolektivitas gereja      atau    lain   perseketuan agama        dan lain-lain

kolektivitas sesuai dengan kepentingan dalam lingkungannya.

        Dalam    suatu     masyarakat        yang   kolektif,     kepentingan

individu    sama sekali tidak terhambat perkembangannya                 untuk

menjadi "persoonlijkheid", sebabnya yang menentukan sifat kolektif

itu bukan nilai individu, bukan persoonlijkheidnya individu, tetapi

eratnya ikatan individu terhadap lingkungan sosialnya,                 tingkat

partisipasi individu kepada kepentingan umum.



                                                                          58
Sifat komuun dengan sifat kolektifitis atau individualistis

memberi alasan bahwa yang disebut komuun itu pada hakekatnya

adalah sama dengan kolektif, kepentingan masyarakat, kepentingan

bersama, berbakti kepada kepentingan          umum yang diutamakan,

bukan kepentingan perseorangan, kemakmuran masyarakatlah yang

diutamakan (sesuai dengan penjelasan resmi Pasal 33 UUD 1945).

Sehingga dapat dikatakan bangsa Indonesia ditinjau dari sudut

ilmu Sosiologi mempunyai sifat, karakter, kepribadian kolektif.

Kenyataan ini juga diperjelas oleh J. Prins yang mengatakan unsur

kolektif adalah unsur yang utama dalam adat, semua masyarakat

adat itu adalah komunalistis, anti individualistis.

      Corak kepribadian masyarakat Indonesia juga didasarkan atas

faham kekeluargaan. Dalam pembukaan UUD 1945 ditolak aliran

perseorangan    (individualisme),    yang    diterima      adalah     aliran

kekeluargaan. Oleh karena itu UUD 1945 harus juga mengandung

sistem kekeluargaan.

      Selanjutnya      bahwa    negara Indonesia        berdasarkan    atas

kekeluargaan yang sifatnya ke luar, yaitu dalam rangka hubungan

antar negara dan ke dalam dalam memupuk kebersamaan. Timbul

suatu pertanyaan, apakah aliran kekeluargaan sama dengan aliran



                                                                        59
kolektifistis?

      Aliran kekeluargaan menjiwai Pasal 33 UUD 1945, yaitu Pasal

asas sosial ekonomi, jiwa kekeluargaan merupakan hal yang penting

sehingga harus dimasukkan dalam UUD negara. Kenyataan ini

membawa konsekuensi dalam konstitusi RIS        dan UUDS 1950.

dikatakan bahwa ekonomi Indonesia tidak berdasarkan ekonomi

liberal, bahkan bertentangan dengan liberalisme. Perekonomian

berdasar atas dasar demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala

orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan

menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau

tampuk produksi jatuh ketangan perorangan yang berkuasa, maka

akan menimbulkan monopoli, sehingga hilanglah sifat kolektivisme

dan kekeluargaannya.

      Asas kekeluargaan mencerminkan, bahwa segala akibat yang

ditimbulkan merupakan tanggung jawab bersama (kolektif), mencari

dan menemukan jalan bersama yang dapat menjamin kemajuan bagi

setiap anggota. Adanya sifat bersama yang memenuhi syarat-syarat

tersebut harus diutamakan, apalagi kalau dikalangan rakyat sendiri

telah ada tradisi yang dapat disesuaikan dengan paham baru. Bentuk

ini adalah sangat penting, karena sudah cukup dikenal rakyat dan



                                                              60
dapat berjalan diberbagai macam kegiatan rakyat, seperti pertanian,

perikanan   dan   lain-lain.   Ekonomi   yang   bertentangan dengan

ekonomi aliran liberal itu adalah ekonomi kolektif atau berpahamkan

kekeluargaan, kebersamaan.

      Dengan demikian, apabila ditinjau dari sudut pandang ilmu

sosiologi, kekeluargaan berhakekat, berisi, sama dengan kolektif,

kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran

orang seorang.

      Mohamad Hatta, mengatakan bahwa kita mendirikan negara,

yaitu atas dasar gotong royong dan hasil bersama. Supaya negara

yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan sebab sebaiknya

setiap negara tidak mesti takut mengeluarkan suara, dan diberi hak

berkumpul dan lain-lainnya.

      Istilah kekeluargaan itupun juga adalah gotong        royong,

demikian juga sebaliknya. Gotong royong dipakai sebagai sinonim

dengan kekeluargaan dan juga kolektif, yaitu       dasarnya adalah

mengutamakan kemakmuran masyarakat.

      Mengenai ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, adalah merupakan ketentuan yang

mengilhami dan dorongan lahirnya Undang-Undang No.5 tahun



                                                                61
1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No.4

tahun 1960/Prp, tentang Perairan Indonesia dan Undang-Undang

tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda tahun 1958. Mochtar

Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum

Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Seminar,

BPHN, 22-24 Mei 1995, Jakarta.

      Setelah kita melihat corak berpikir masyarakat         Indonesia

seperti apa yang diuraikan di atas, timbul suatu pertanyaan apakah

corak demikian masih dikenal dalam alam masyarakat Indonesia.

Kalam melihat kehidupan pedesaan, setidaknya masyarakat yang

belum heterogen, ciri corak kehidupan yang demikian masih dapat

dilihat dengan jelas. Namun apabila melihat kehidupan masyarakat

yang sudah heterogen, seperti adanya dampak dari pembangunan

disektor industri,   akibat sosialisasi   dan   lain sebagainya, corak

kehidupan komuun, kolektif, gotong royong, kekeluargaan masih

dapat dilihat? Untuk mengulas ini perlu hati-hati. Harus dilihat dulu

asas-asas yang tercermin dalam corak-corak kehidupan tadi. Mungkin

saja corak konkret seperti apa yang digambarkan di atas akan sulit

ditemukan, tetapi apabila kita pahamkan dari sudut asasnya, maka

dapat melihatnya dari kaca mata yang objektif.



                                                                  62
Yang mungkin terjadi sebagai akibat banyaknya             intensitas

interaksi antara satu sama lainnya, maka      yang    mungkin timbul

adalah   degradasi   nilai. Hal   itu   disebabkan   oleh faktor-faktor

industrialisasi, perubahan struktur masyarakat dan lain sebagainya

seperti apa yang diuraikan di atas. Sebagai adanya perubahan tadi,

kepribadian komuun, kolektif dan gotong royong tidak hilang

dengan individualisasi. Sifat-sifat itu tetap merupakan hal yang

utama walaupun telah terjadi modernisasi.

      Sifat saling membantu, sifat gotong royong pada masyarakat

perkotaan misalnya, walupun menampakan kehidupan                    yang

heterogen    dan telah terjadi proses        individualisasi,      wujud

kebersamaannya tetap ada namun bentuknya terjadi pengalihan,

seperti dalam bentuk kerja bayaran. Pekerjaan desa untuk kepala

desa dibayar dengan uang, tetapi walaupun demikian belum ada

suatu masyarakat dimana watak-watak tadi hilang sama sekali.

      Kalau dikaitkan dengan struktur masyarakat yang ada               di

Indonesia, individualisasi juga terjadi, seperti     dalam masyarakat

Minangkabau. Proses Individualisasi ini terjadi sebagai akibat sistem

matriachat bergeser dan didesak oleh sistem kolektif atas dasar

keluarga.   Kehidupan      kelurga menempatkan        hubungan yang



                                                                      63
harmonis antara ayah dengan               anak menunjukkan bergesernya

kehidupan matriachat ke arah kehidupan keluarga yang dampak

hukumnya juga berlainan.

         Begitu     melalui      yurisprudensi, banyak       sekali    putusan

Mahkamah Agung yang membawa ke arah kesatuan, sehingga

corak-corak       dalam       suatu   struktur   masyarakt     dirubah    dan

disesuaikan dengan sistem negara kesatuan. Untuk mengantisipasi

degradasi tadi, maka perlu dicarikan suatu wadah untuk menampung

agar nilai-nilai yang baik tidaklah musnah.

         Kalau gotong royong dihubungkan dengan kerja sama dalam

arti sosiologis, maka setidaknya ada 4 (empat) bentuk kerja sama,

yaitu:

  1. Kerja        sama    yang spontan atau serta     merta     (spontaneous

  cooperation)

  2. Kerja sama          sebagai hasil perintah atasan       atau     penguasa

  (directed cooperation)

  3. Bentuk kerja sama atas dasar hukum (contractual cooperation)

  4. Kerja        sama     sebagai unsur dari sistem sosial (traditional

  cooperation).

         Mengenai corak berpikir dalam masyarakat hukum adat, F.D.



                                                                           64
Holleman mengemukakan, bahwa corak berpikir       masyarakat adat

adalah mempunyai pola pemikiran magis religius       particeperent

cosmis, komunal, konkret, dan kontant. Apa yang dikemukakan

oleh Holleman tersebut juga telah disinggung oleh van Vollenhoven

dengan membandingkannya dengan       sistem hukum Barat. Sistem

hukum adat, lembaga-lembaga dan kaidah-kaidah hukumnya oleh van

Vollenhoven digambarkan    selalu dikaitkan dengan hal-hal diluar

jangkauan manusia. Sedangkan lembaga dan kaidah hukum Barat

digambarkannya asal saja menguntungkan,     material dan indivual,

maka sudah     merupakan ciri-ciri lembaga hukum Barat. yang

melihatnya dari sudut sosiologis antropologis dalam hubungannya


B. Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional

         Pemikiran baru tentang hukum adat sangat berkembang,

  terutama dikalangan para pakar hukum. Pemikiran baru itu timbul

  sebagai akibat antara lain, baik karena perkembangan yang cepat

  dari hukum adat itu sendiri maupun perkembangan yang cukup

  cepat dalam bidang ilmu hukum itu sendiri. Setelah kemerdekaan,

  susul menyusul terjadi perkembangan-perkembangan di bidang

   politik, dan sosial masyarakat. Dalam pewrkembangan tersebut

  tidak jarang disertai kepincangan-kepincangan tentang nilai yang


                                                              65
berlaku selama ini. Maka perlu adanya suatu penilaian baru

terhadap hukum adat Penilaian baru tersebut dalam rangka tujuan

untu segera terbentuknya suatu hukum nasional yang jelas, tegas

yang tidak saja sesuai dengan rangka keadilan masyarakat, akan

tetapi terutama dapat menciptakan kepastian hukum sebesar

mungkin. (Bustanul Arifin, Hukum Adat; Seminar Hukum Nasional

III,).

         Sebelum membahas konsepsi hukum adat dalam rangka

pembinaan hukum nasional, terlebih dahulu akan dikembangkan

beberapa rumusan hukum adat dari para pakar hukum. Secara

singkat dari Djojodiguno, ialah sebagai hukum yang tidak

bersumber pada peraturan. Djojodiguno, _Asas-Asas Hukum

Adat,_ Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada Yogjakarta, 1964,

hal.7,

         Rumusan seminar hukum adat dan pembinaan hukum

nasional adalah sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis

dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang

disana-sini mengandung unsur agama. Hukum adat adalah meru-

pakan hukum yang tidak tertulis akan tetapi didukung oleh "rasa

ketaatan" dan "kepatuhan" yang luar biasa dari masyarakat dimana



                                                            66
hukum itu berlaku. Agar mendapat gambaran yang jelas tentang

  hukum adat, akan dikemukakan beberapa rumusan yang sedikit

  agak lengkap, yaitu:

  1. R. Soepomo:

              Mengemukakan Hukum Adat adalah sebagai sinonim

      dari hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislatif

      (Unstatutary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di

      badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan

      sebagainya), hukum yang dibuat oleh hakim (judge made law),

      hukum yang hidup      sebagai   peraturan   kebiasaan   yang

      dipertahankan hidup, baik dikota-kota maupun didesa-desa

      (Customary law). Dalam bukunya Kedudukan Hukum Adat

      Dikemudian Hari.

2. R.M. Soeripto:

         Hukum adat adalah semua aliran-aliran (peraturan-peratu-

   ran) adat tingkah laku yang bersifat hukum disegala         segi

   kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis

   yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota

    masyarakat yang bersifat hukum oleh karena ada kesadarn dan

   perasaan   keadilan   umum,   bahwa     aturan-aturan/peraturan-



                                                               67
peraturan itu harus dipertahankan oleh para petugas hukum dan

   petugas masyarakat dengan upaya pemaksa atau ancaman

   hukuman (sanksi). R.M. Soeripto, kum Adat dan Undang-Undang

    Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, hal. 2

   3. Surojo Wignjodipuro:

      Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersum-

ber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta

meliputi peraturan tingkah laku manusia dalamkehidupan sehari-

hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa

ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum

(sanksi). Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum

Adat, Alumni Bandung, 1973, hal.5.

4. Hardjito Notopuro:

      Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan

dengan ciri-ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat

dalam    menyelenggarakan    tata    keadilan   dan   kesejahteraan

masyarakat dan bersifat kekeluargaan Hardjito Notopuro, Tentang

Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan Dalam Hukum Nasional,

Majalah Hukum Nasional No.14 tahun 1969, hal.49.




                                                               68
5. Bushar Muhammad:

      Hukum adat itu terutama hukum yang mengatur tingkah laku

manusia Indonesia, dalam hubungan satu sama lain, baik yang

merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan yang benar-benar

hidup di masyarakat, adat karena dianut dan dipertahankan oleh

anggota-anggota    masyarakat      itu,    maupun   yang     merupakan

keseluruhan    peraturan-peraturan        yang mengenai     sanksi atas

pelanggaran yang      ditetapkan    dalam keputusan-keputusan      para

penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa

memberi keputusan dalam masyarakat adat itu), yaitu dalam

keputusan lurah, Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala

adat, Hakim. Bushar Muhammad, Penghulu Hukum Adat, Balai Buku

Ichtiar Jakarta, 1961, hal.30.

      Beranjak dari beberapa rumusan tentang hukum adat, dapat

dilihat adanya satu kesatuan pandangan mengenai pengertian dari

hukum adat, hukum adat sebagai hukum yang                  hidup dalam

masyarakat (the living law). Konsepsi tentang "the living law"

untuk pertama kali dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dalam

bukunya Grunlegung der sosiologie des rechts 1913. Sebagai reaksi

terhadap pandangan pada ilmu hukum yang bersifat legalistis yang



                                                                    69
terlalu mengutamakan      peraturan hukum     yang termuat dalam

peraturan perundangan dan terlalu mengabaikan tumbuhnya gejala-

gejala hukum di masyarakat. Penggunaan istilah teh living law

lazimnya dipergunakan untuk menunjukan berbagai macam hukum

yang tumbuh dan        berkembang dengan sendirinya di dalam

masyarakat.

      Hukum adat sebagai "the living law" merupakan pola hidup

kemasyarakatan tanpa dimana hukum itu berproses dan sekaligus

juga merupakan hasil dari pada proses kemasyarakatan yang

merupakan sumber dan dasar dari pada hukum tersebut. Tumbuhnya

hukum secara langsung dari landasan pokoknya, yaitu kesadaran

hukum masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia.

Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena menjelmakan

perasaan hukum yang nyata dari rakyat R. Soepomo, loc.cit. hal.5.

      Hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup

yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya

merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku

Surojo Wignjodipuro, op.cit.hal.81.

      Hukum adat tidak hanya bersemboyan dalam hati nurani

orang Indonesia yang menjadi warga negara Republik Indonesia



                                                                70
disegala penjuru nusantara saja, tetapi tersebar luas seperti ke gugusan

kepulauan Filipina dan Taiwan disebelah utara, di Pulau Madagaskar

dan berbatas disebelah timur seperti di kepulauan Poska.

      Hukum adat sebagai hukum Indonesia mempunyai corak yang

khas tersendiri, berbeda dengan sistem hukum yang dianut di negara

barat. Sekalipun hukum adat bersifat tradisional yang berarti sangat

terikat pada tradisi-tradisi lama yang diwariskan oleh nenek moyang

mereka. Namun kita tidak boleh menarik kesimpulan secara tergesa-

gesa bahwa hukum adat itu pantang berubah. Kelekatannya sedikit

memang agak ironi, karena antara "tradisi dan perubahan" adalah

merupakan dua kutub yang bertolak belakang. Sebab tradisi

menghendaki kelangsungan secara apa adanya tanpa perubahan

sedikitpun, sedangkan perubahan tidak menghendaki secara turuZ

temurun dalam keadaan yang itu - itu juga, akan tetapi dalam setiap

waktu segala-galanya perlu untuk berubah dan diperbaharui.

      Hukum     adat disamping sifatnya yang "tradisionil"         juga

mempunyai corak "dapat berubah" dan "mempunyai kesanggupan

untuk menyesuaikan diri"Van Dijk, _Pengantar Hukum Adat

Indonesia, Sumur Bandung, 1964, hal.12 atau menurut Djojodigoeno

mempunyai      sifat   yag   plastisch   dan   dinamik.    Djojodiguno,



                                                                    71
_Menyandera Hukum Adat, Yayasan Ponds Universiteit Gadjah

Mada, Yogyakarta, 1950, hal.8

      Hukum bersifat hidup, dinamis bilamana ia dapat mengikuti

perkembangan masyarakat, pasti membutuhkan perubahan dasar-dasar

hukum sepanjang jalannya sejarah. Hukum bersifat plastis bilamana

dalam pelaksanaannya dapat diperhatikan hal-hal yang tersendiri.

Perubahan dilakukan dengan cara menghapuskan dan mengganti

peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba tapi perubahanpun

dapat terjadi oleh karena pengaruh kejadian, keadaan perikehidupan

yang silih berganti, Sedang kesanggupannya untuk menyesuaikan

diri oleh karena bentuknya hukum adat itu tidak tertulis dan tidak

terkodifikasir, maka dengan sifat elastisitasnya yang luas sewaktu-

waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru.

      Sifat-sifat hukum adat menurut Koesnoe, bahwa hukum adat

itu berubah-ubah selaras dengan perkembangan         masyarkat dan

rakyat, karena sebagai pernyataan rasa keadilan dan kepatutan

rakyat, perkembangan hukum adat sejalan dan secepat         dengan

 perkembangan kehidupan rakyat dalam masyarakat.

      Hukum adat tumbuh dan berakar dari pada kenyataan-

kenyataan hidup dalam masyarakat, karena proses pengkaidahannya



                                                                   72
tidak tergantung pada penguasaa       masyarakat. Sesuai dengan

fitrahnya sendiri menurut Soepomo hukum adat terus-menerus dalam

keadaantumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hal

demikian seperti ditegaskan oleh Djojodigoeno dalam prasarannya

pada seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional, bahwa

pelaksanaannya hukum adat sama sekali tidak terikat oleh ugeran-

ugeran (norma-norma) hukum yang ada. Sehingga jelas bahwa

hukum bukan rangkaian ugeran (norma) melainkan prosese yang

tidak ada henti-hentinya. Djojodiguno, _Kedudukan Dan Peranan

Hukum      Adat   Dalam Pembinaan Hukum Nasional,_ Prasaran

Seminar Hukum Nasional di Surabaya, 1975.

        Demikian pula hal di atas sudah lama ditandaskan oleh Van

Vollenhoven mengatakan:"adat recht een verschijusel is der almaar

strom     mende samenleving,    met   andare versc hijnselen      in

rustelaase wissel werking, van stuw is tegen stuw" (hukum itu adalah

suatu gejala daripada pergaulan hidup yang selalu bergejolak, dalam

keadaan dorong-mendorong dengan gejala-gejala lainnya, kesemua

ini tak ada henti-hentinya dalam keadaan saling mempengaruhi).

        Pada bagian lain ia menggambarkan proses perkembangan

hukum adat dengan menyatakan hukum adat itu "on wikkelt zich



                                                                 73
gestading", atau mengalami perkembangan terus-menerus. Hukum

adat menurut pandangannya terdiri atas tiga bagian, yaitu "het of

ster verde" (bagian yang sudah mulai ditinggalkan), "het heden daag

seke" (bagian yang baru berbentuk). Van Vollenhoven, Miskeningen

van Het Adatrecht, hal.60

      Khusus mengenai perubahan dalam hukum adat, tertulis

secara tegas dalam pepatah hukum (recht odajien) dari Minangkabau

yang berbunyi :

  Sekali air gadang

  Sekali tapias beranjak

  Sekali raja berganti

  Sekali adat berubah

      Menurut lampiran A ketetapan MPRS          No.II/MPRS/1960

paragraf 402 no.34 dan no.35 mengenai pembinaan hukum nasional

kita antara lain menentukan, behwa pembangunan hukum nasional

harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat

yang tidak menghambat       perkembangan    masyarakat adil    dan

makmur. Kemudian di dalam Keppres R.I No.11 tahun 1974 tentang

Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua             (REPELITA II),

1974/75-1978/79, lampiran bagian III Bab 27 hukum dinyatakan



                                                               74
dengan     jelas   dan   tegas   dalam   "Pendahuluannya",   bahwa

pembangunan bidang hukum dilaksanakan berlandaskan GBHN

yang menegaskan :

Pembangunan di bidang hukum dalam kegiatan hukum Indonesia

adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum negara yaitu

cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan

cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi

suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia yang didapatkan

dalam Pancasila dan UUD 1945.

      Sekali air meluap tempat pemandian bergeser, sekali raja

berganti maka sekali pula adat berubah. Akan tetapi perubahan-

perubahan dalam hukum adat tersebut katanya selalu terjadi secara

tidak sadar (onbewist). Hukum adat berkembang terus, keputusan-

keputusan adat menimbulkan hukum Van Vollenhoven, Jilid II,

hal.389.

Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak berbeda isinya

dengan hukum adat pada waktu sekarang, karena hukum adat selalu

menunjukkan perkembangan. Van Vollenhoven, Ibid hal.233

Jika dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan

hukum adat, padahal hukum itu sudah mati maka penetapan itu



                                                               75
akan sia-sia belaka, sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas

bahwa adat itu harus diganti pada hal desa-desa, di ladang-ladang dan

di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakimpun akan

sia-sia belaka. Dikutip dari Soediman Kartohadiprodjo, Hukum

Nasional Beberapa Catatan, Binacipta Bandung, 1971, hal.8

      Menurut       Mochtar Kusumaatmadja, cara      berpikir   seperti

tersebut di atas ternyata terdapat dalam alam pikiran bangsa Indonesia

(dalam hukum adat). Hal itu dibuktikannya melalui penelitian dalam

pepatah Minangkabau :

Sakali air gadang

Sakali tapian beranjak

(Sekali air besar sekali tapian berkisar)

Walaupun baranjak dilapiak sa'alai juo (Walaupun berkisar masih

(tetap) ditukar yang sama) Usang-usang diperbaharui lapuak dikajanji

nan elok dipakai, nan baruak dibuang Ko sungkek menta diuleh,

panjang minta dikareh nan numpang minta disisit Adat itu berubah

mengikuti keadaan masyarakat. Perubahan itu bukan sembarang

perubahan melainkan (harus) tetap ada hubungannya dengan

(keadaan) yang lama. Agar hukum adat itu tetap muda maka harus

disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan. (Alam pikiran



                                                                   76
hukum adat tidak menolak perubahan). Konsep yang diuraikan di atas

hanya melihat hukum adat dari bentuk dan struktur semata, yaitu

sebagai suatu hukum yang telah tertulis dengan berbagai macam

sifatnya. Disamping itu juga hukum adat adalah merupakan jenis

hukum tidak tertulis yang tertentu yang mempunyai dasar pemikiran

yang spesifik yang secara prinsipil berbeda dari pada               segala

macam      hukum    tidak     tertulis    lainnya,    menurut   Soediman

Kartohadiprodjo hukum adat bukan karena bentuknya tidak tertulis,

melainkan hukum adat tersusun dengan dasar pikiran hukum adat

tidak hanya terbatas dari segi strukturnya saja, akan tetapi harus

dilihat secara keseluruhan.

Diantara    beberapa    pemikiran        tentang     hukum   adat   dapat

dikembangkan antara lain :

1. Moh. Koesnoe

Sebagai guru besar di Universitas Katolik Hijmejar Belanda,

memberikan kuliah tentang, Pengantar Hukum Adat                 Indonesia

(introduction into Indonesia adat law).

Beliau memberikan ceramah yang berjudul "musyawarah, een wijze

van volkskesluitvorming volgens het adatrecht" (musyawarah, suatu

cara dari pembentukan keputusan rakyat menurut



                                                                      77
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1
Jaja perk. adat lengkap  1

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Makalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vikaMakalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vikamuel sihombing
 
RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr. H. ZAINUDIN ALI,M.A)
RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr.  H. ZAINUDIN ALI,M.A)RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr.  H. ZAINUDIN ALI,M.A)
RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr. H. ZAINUDIN ALI,M.A)BaraWisnu
 
Pengertian Dan Penjelasan Tentang Konstitusi
Pengertian Dan Penjelasan Tentang KonstitusiPengertian Dan Penjelasan Tentang Konstitusi
Pengertian Dan Penjelasan Tentang KonstitusiAbitian Priya
 
PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)
PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)
PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)Adinda siti Hapsoh
 
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...Yani Antariksa
 
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...Ir. Soekarno
 
Strategi memperkuat ideologi pancasila
Strategi memperkuat ideologi pancasilaStrategi memperkuat ideologi pancasila
Strategi memperkuat ideologi pancasilaSaafroedin Bahar
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)noidmedia virtual
 
Implementasi nilai2 uud 1945 Jambi laksma TNI DR Yani Antariksa
Implementasi nilai2 uud 1945   Jambi laksma TNI DR Yani AntariksaImplementasi nilai2 uud 1945   Jambi laksma TNI DR Yani Antariksa
Implementasi nilai2 uud 1945 Jambi laksma TNI DR Yani AntariksaYani Antariksa
 
Teori konstitusi
Teori konstitusiTeori konstitusi
Teori konstitusiMeehawk
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 
Makalah : Pancasila Sebagai Sistem Hukum
Makalah : Pancasila Sebagai Sistem HukumMakalah : Pancasila Sebagai Sistem Hukum
Makalah : Pancasila Sebagai Sistem HukumRiyanto Kasnuri
 

Mais procurados (20)

Fungsi Filsafat Hukum
Fungsi Filsafat HukumFungsi Filsafat Hukum
Fungsi Filsafat Hukum
 
Makalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vikaMakalah sosiologi hukum vika
Makalah sosiologi hukum vika
 
RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr. H. ZAINUDIN ALI,M.A)
RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr.  H. ZAINUDIN ALI,M.A)RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr.  H. ZAINUDIN ALI,M.A)
RESUME SOSIALOGI HUKUM (PROF.Dr. H. ZAINUDIN ALI,M.A)
 
Pengertian Dan Penjelasan Tentang Konstitusi
Pengertian Dan Penjelasan Tentang KonstitusiPengertian Dan Penjelasan Tentang Konstitusi
Pengertian Dan Penjelasan Tentang Konstitusi
 
Dialektika hukum
Dialektika hukumDialektika hukum
Dialektika hukum
 
PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)
PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)
PPT teori dan hukum konstitusi (Hakikat Konstitusi)
 
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN(PERMASALA...
IMPLEMENTASI PANCASILA, UUD NRI TH 1945, DAN SISTEM KETATANEGARAAN (PERMASALA...
 
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI AMANDEMEN KE V UNDANG-UND...
 
Teori teori hukum konstitusi
Teori teori hukum konstitusiTeori teori hukum konstitusi
Teori teori hukum konstitusi
 
Strategi memperkuat ideologi pancasila
Strategi memperkuat ideologi pancasilaStrategi memperkuat ideologi pancasila
Strategi memperkuat ideologi pancasila
 
Jurnal konstitusi
Jurnal konstitusiJurnal konstitusi
Jurnal konstitusi
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
 
Implementasi nilai2 uud 1945 Jambi laksma TNI DR Yani Antariksa
Implementasi nilai2 uud 1945   Jambi laksma TNI DR Yani AntariksaImplementasi nilai2 uud 1945   Jambi laksma TNI DR Yani Antariksa
Implementasi nilai2 uud 1945 Jambi laksma TNI DR Yani Antariksa
 
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisiplinerKebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
 
Isu-Isu Hukum dan Konstitusi Kontemporer
Isu-Isu Hukum dan Konstitusi KontemporerIsu-Isu Hukum dan Konstitusi Kontemporer
Isu-Isu Hukum dan Konstitusi Kontemporer
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Teori konstitusi
Teori konstitusiTeori konstitusi
Teori konstitusi
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 
Paradigma hukum
Paradigma hukumParadigma hukum
Paradigma hukum
 
Makalah : Pancasila Sebagai Sistem Hukum
Makalah : Pancasila Sebagai Sistem HukumMakalah : Pancasila Sebagai Sistem Hukum
Makalah : Pancasila Sebagai Sistem Hukum
 

Semelhante a Jaja perk. adat lengkap 1

Semelhante a Jaja perk. adat lengkap 1 (20)

Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
 
Legislations
LegislationsLegislations
Legislations
 
Legislations
LegislationsLegislations
Legislations
 
Makalah pancasila
Makalah pancasilaMakalah pancasila
Makalah pancasila
 
KONSTITUSI NKRI
KONSTITUSI NKRIKONSTITUSI NKRI
KONSTITUSI NKRI
 
Legislations sahril
Legislations sahrilLegislations sahril
Legislations sahril
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
 
Antropologi hukum umk cabang raha
Antropologi hukum umk cabang rahaAntropologi hukum umk cabang raha
Antropologi hukum umk cabang raha
 
Sumber historis, sosiologis, politis pancasila sebagai dasar negara
Sumber historis, sosiologis, politis pancasila sebagai dasar negaraSumber historis, sosiologis, politis pancasila sebagai dasar negara
Sumber historis, sosiologis, politis pancasila sebagai dasar negara
 
Makalah p2
Makalah p2Makalah p2
Makalah p2
 
Tema : POLTRANAS
Tema : POLTRANASTema : POLTRANAS
Tema : POLTRANAS
 
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilakuFilsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
Filsafat ilmu aturan dan hukum berperilaku
 
Makalah pancasila
Makalah pancasilaMakalah pancasila
Makalah pancasila
 
Makalah pancasila
Makalah pancasilaMakalah pancasila
Makalah pancasila
 
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakatHukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
 
Jenis Jenis lapangan Hukum
Jenis Jenis lapangan HukumJenis Jenis lapangan Hukum
Jenis Jenis lapangan Hukum
 
Demokrasi Indonesia
Demokrasi IndonesiaDemokrasi Indonesia
Demokrasi Indonesia
 
Tugas2_Pancasila_HendroGunawan.pdf
Tugas2_Pancasila_HendroGunawan.pdfTugas2_Pancasila_HendroGunawan.pdf
Tugas2_Pancasila_HendroGunawan.pdf
 
Makalah.docx
Makalah.docxMakalah.docx
Makalah.docx
 
Htn
HtnHtn
Htn
 

Jaja perk. adat lengkap 1

  • 1. BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Isi Tulisan Hukum itu ada dan berlaku dalam masyarakat. Karena itu, sebagai salah satu masalah manusia, hukum merupakan suatu permasalahan yang senantiasa dihadapi umat manusia dimana dan dalam waktu kapanpun. Berkaitan dengan itu, Harolp J. Berman, mengtakan hukum itu adalah: "One of the deepest concern of all civilized men every where".1 Sebagai suatu permasalahan yang paling dalam bagi setiap manusia yang berperadaban dimanapun juga). Proses kehidupan hukum menampakan diri dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk peraturan yang tertulis, tidak tertulis, lembaga-lembaga hukum maupun sebagai proses yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan hukum tidak tertulis itu adalah hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat sebagai salah satu bagian dari hukum pada umumnya akan merupakan sebuah permasalahan juga dan senantiasa sebagai suatu permasalahan yang selalu dihadapi oleh bangsa dan negara kita, 1 Harolp J. Berman, Talks on American Law, Voice of America Forum Lectures, Washington, 1973, hal.3. 1
  • 2. apalagi dalam kerangka pembangunan nasional. Oleh sebagian sarjana, hukum adat dipandang sebagai salah satu kebanggan nasional yang dimiliki bangsa Indonesia, karena dari hukum adat dapat dilihat bentuk dan wajah kepribadian bangsa. Sehubungan dengan itu M. Nasroen, mengatakan: Bahwa keasanggupan bangsa Indonesia dalam soal kebudayaan, ternyata dari hukum adat ini adalah tinggi mutunya dalam mengatur ketatanegaraan dan mengatur budi pekerti dan pergaulan hidup manusia. Hukum adat ini adalah asli kepunyaan dan ciptaan bangsa Indonesia sendiri.2 Akan tetapi kita harus ingat dan sadar bahwa sekarang ini hukum adat eksistensinya dalam suasana perubahan sosial yang sangat cepat. Sejak tahun 1945, dirasakan telah mulai terjadi perubahan sosial yang cukup mencolok, bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan, sejak saat itu, proses perkembangan masyarakat berubah dengan cepat, dari proses yang sifatnya spontan, yaitu yang dibiarkan pada perkembangan spontan dari faktor-faktor sosial budaya dalam masyarakat, sekarang diarahkan pada suatu keadaan masyarakat yang dicita-citakan, 2 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, Bulan Bintang Jakarta, 1967, hal.14 2
  • 3. yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Dalam perkembangan yang demikian, hukum adat senantiasa dipermasalahkan, yaitu mengenai bagaimana kedudukan hukum adat, baik kedudukannya sebagai bagian dari tata hukum Negara Republik Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan pembinaan hukum nasional dan pembangunan pada umumnya. Walaupun persoalan ini sudah sering diperbincangkan, kiranya untuk mengemukakan kembali sebagai bahan perbandingan dan bahan pemikiran kembali dalam mempelajari persoalan-persoalan hukum di negara kita, membicarakan tentang kedudukan hukum adat adalah suatu hal yang menarik. Sehubungan dengan itu Paul Scholten, mengemukakan:3 "Tot jurist wordt enkel gevormd, wie tolkens weer leert het ene rechtordel tegen het andere of te wegen, daar bij begripend daat voor beide iets te zeggen volt". (Hanya mereka yang telah berkali-kali belajar menimbang pendapat hukum yang satu terhadap pendapat hukum yang lainnya, dengan menyadari sepenuhnya bahwa pada keduanya pendapat tersebut ada sesuatu yang dapat dibenarkan, maka hanya dialah yang dapat menjadi seorang ahli hukum). Disamping itu bagaimana 3 Scholten-Assers, Handleiding tot beofening van het Nederlandsch Burgelijke Recht, Algemeen dell, we Tjeenk Wiclink Zwolle, 1934. 3
  • 4. perkembangan hukum di negara kita, khususnya berkenaan dengan hukum adat. Berbagai pertemuan ilmiah telah mengkontatir betapa pentingnya kedudukan hukum adat dalam rangka proses pembinaan hukum nasional dan pembangunan nasional pada umumnya. Dalam Seminar Hukum Nasional III di Surabaya, telah dinyatakan, bahwa pembinaan hukum nasional harus memperhatikan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Kemudian dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Jogyakarta pada tahun 1975 telah disimpulkan, bahwa hukum adat adalah merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan bagi pembangunan hukum nasional. "Adanya kelainan penafsiran tentang pengertian hukum adat yang dimaksud oleh UUPA yang mengakibatkan kelainan dalam menetapkan kedudukan serta ruang lingkup dari pada hukum adat tersebut." Masalah tersebut bagi para pakar hukum, dalam rangka penelitian hukum, khususnya hukum adat yang berlaku dalam masyarakat dan demi kepentingan pembinaan hukum Nasional, maupun dalam rangka penegakan hukum serta pendidikan hukum, sebaiknya harus memprioritaskan identifikasi dan inventarisasi 4
  • 5. hukum adat pada masyarakat tertentu. Terhadap para sarjana yang telah mengagung-agungkan kedudukan hukum adat padahal sudah "out of date", sebaiknya segera meninggalkan pandangannya tersebut, sebab apabila kita berpegang teguh pada hukum tersebut, berarti kita mundur beerapa langkah dari gerak modernisasi, sebab hukum adat yang demikian akan menghambat atas lajunya pembangunan nasional. Kiranya hukum adat yang yang telah out of date itu hanyalah penting sebagai sejarah hukum saja. Mereka yang terlalu mengagung-agungkan kedudukan hukum adat, terlalu berlebihan mengingat sudah tidak sesuai lagi dengan fakta yang sebenarnya, karena berdasarkan kenyataan skope lingkungan kuasa hukum adat dewasa ini kian dibatasi, hal ini berakibat tidak berperannya hukum adat dalam kehidupan di masyarakat yang sudah tidak terjangkau lagi oleh hukum adat. Dengan demikian benarkah hukum adat masih mempunyai peranan penting, bila peranannya masih ada, bagaimana peranannya tersebut? Sebenarnya perbedaan pendapat diantara para pakar hukum, sebab bibit pertentangannya sudah dimulai sejak jaman kolonial, ada yang pro dan yang kontra. Sebetulnya perbedaan 5
  • 6. pandangan tersebut pada masa sekarang merupakan hal yang wajar dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya seperti apa yang dikatakan oleh Paul Scholten tersebut di atas. B. Konsepsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional Apabila kita mau menelaah berbagai permasalahan hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat kita, dalam hal ini tidak bisa terlepas dari alam pikiran dan kerangka dasar Pembangunan Nasional yang sedang berjalan sebagai suatu hubungan yang bersifat interdependensi, yaitu suatu hubungan yang sedemikian erat dan saling menentukan antara satu dan lain, oleh karena itu dalam studi hukum dewasa ini perlu selalu dikaitkan dengan masalah-masalah pembangunan yang tercermin dalam "Studi Hukum Dan Pembangunan" atau dengan tumbuhnya suatu cabang hukum baru yang bernama "DEVELOPMENT LAW", atau hukum pembangunan.4 Sebelum kita menguraikan hubungan antara hukum dan pembangunan terlebih dahulu akan dirumuskan apa yang dimaksud dengan pembangunan nasional itu, yaitu:5 4 Michael Hager, Development Law for The Developing Nations, Working Paper World peace through law, Abijan, 1973. 5 Sondah P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Gunung Agung Jakarta, 1974, hal.2 6
  • 7. Merupakan suatu rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara dan Pemerintah, menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Rumusan tersebut bila dianalisa lebih lanjut akan terlihat beberapa ide pokok yang sangat penting untuk diperhatikan tentang pembangunan, yaitu: 1. Pembangunan merupakan suatu proses, proses berarti suatu kegiatan yang terus menerus dilaksanakan, barang tentu proses itu dapat dibagi menjadi tahap-tahap tertentu yang berdiri sendiri (independent phase of a proces). Pentahapan itu dibuat berdasarkan jangka waktu, biaya atau hasil tertentu yang diharapkan akan diperoleh; 2. Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilaksanakan bila ada kegitannya yang kelihatan seperti pembangunan, tetapi sebenarnya tak dilaksanakan secara sadar dan timbul hanya secara insidentil di masyarakat, tidaklah dapat digolongkan kepada katagori pembangunan; 3. Pembangunan dilakukan secara berencana dan perencanaan itu berorientasi kepada pertumbuhan dan perubahan. 4. Pembangunan mengarah pada modernitas. Modernitas diartikan 7
  • 8. sebagai cara hidup yang baru yang lebih baik dari pada sebelumnya serta kemampuan untuk lebih menguasai alam lingkungan, dalam rangka usaha meningkatkan kemampuan swasembada dan mengurangi ketergantungan pada pihak lain. Salah satu ciri dari masyarakat yang telah mencapai tingkat modernitas yang tinggi ialah masyarakat itu makin dapat melepaskan diri dari tekanan dan kekangan alam, bahkan dapat menguasai alam sekelilingnya. 5. Modernitas yang dicari melalui pembangunan itu bersifat multy dimensial, artinya modernitas itu mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara, terutama aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan administrasi. 6. Kesemua hal yang telah disebutkan di atas ditujukan kepada usaha membina bangsa (nation building) yang terus menerus harus dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara yang telah ditentukan sebelumnya Pembangunan nasional yang dilancarkan di negara kita hakekatnya merupakan usaha modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu usaha 8
  • 9. transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola kehidupan modern yang sesuai dengan kemajuan jaman dan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelaksanaan pembangunan dewasa ini telah mendapat pemantapan dengan diberikannya landasan operasional oleh MPR, yaitu melalui GBHN yang isi sebenarnya adalah Pola Umum Pembangunan Nasional yang memuat tujuan, landasan, asas, serta perincian dari pada bidang pembangunan yang akan diselenggarakan. Penegasan selanjutnya diberikan secara terperinci dan bertahap oleh pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun untuk berbagai tahapan, hingga sekarang sudah sampai pada REPELITA V. Sehingga hal tersebut benar-benar merupakan suatu usaha yang berencana dan terarah. Hukum dalam kaitannya dengan kerangka dasar Pembangunan Nasional tersebut, mewujudkan diri dalam 2 (dua) wajah, yaitu: Disatu pihak hukum memperketatkan diri sebagai suatu aspek dari pada pembangunan, dalam arti bahwa hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari pada pembangunan itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha 9
  • 10. penegakan pembangunan dan pembinaannya. Sedangkan dilain pihak hukum itu harus dipandang sebagai "alat" (tool) dan sarana penunjang yang akan menentukan keberhasilan usaha- usaha pembangunan nasional.Tentang masalah hubungan hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai konsep yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa suasana pembangunan sebagaimana dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya sekedar "as a tool of social control" dalam arti sebagai alat yang berfungsi mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe Pound, hukum juga berfungsi sebagai "as a tool of social engineering".6 Berkaitan dengan ini Sunaryati Hartono berpendapat, bahwa hukum itu adalah merupakan salah satu "Prasarana Mental" untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara tertib dan teratur tanpa menghilangkan martabat kemanusiaan dari pada anggota-anggota masyarakat, yaitu dikala berfungsi untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat (merupakan bagian dari "social education") ke arah 6 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, 1954, hal.47. 10
  • 11. sikap mental yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita- citakan. 7 Seminar Hukum Nasional di Surabaya tahun 1974 telah mengkonstatatir; bahwa hukum merupakan salah satu sarana penting bagi pembangunan, yaitu baik sebagai penjamin kepas tian dan ketertiban maupun sebagai alat untuk mengadakan perubahan-perubahan ke arah kemajuan untuk membina masyarakat yang dicita-citakan. Jadi dengan demikian konsepsi tentang hukum adalah sudah beranjak jauh meninggalkan konsepsi lamanya. Konsepsi lama yang menyatakan "het recht hink achter de feiten aan" (hukum mengikuti perkembangan masyarakat) yang menurut Mochtar Kusumaatmadja, SH.,LL.M. sudah ditinggalkan. Oleh beliau ditegaskan lebih jauh bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat adalah didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan yang diinginkan adalah mutlak. Anggapan lain hukum sebagai sarana pembaharuan, adalah: Bahwa hukum dalam arti kaidah atas peraturan hukum 7 Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bina Cipta Bandung, 1972, hal.335. 11
  • 12. memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti pengatur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan. Kedua fungsi tersebut menurut pendapatnya diharapkan dapat dilakukan oleh hukum, disamping fungsinya yang tradisional, yaitu untuk menjamin kepastian dan ketertiban.8 Menurut Satjipto Rahardjo, SH. sehubungan dengan konsep "law as a tool of social engineering" perkembangannya terjadi secara lambat tapi pasti, maka ungkapan "social engineering" hukum mulai masuk ke dalam khasanah perbendaharaan istilah di negara kita. 9 Salah satu ciri penting dari penggunaan hukum sebagai sarana melakukan "social engineering" ini menurut pendapatnya, adalah: Bahwa usaha ini merupakan kegiatan yang berlanjut, merupakan suatu proses kecemasan yang sering dialamatkan kepada pengaturnya oleh hukum pada umumnya adalah bahwa hukum itu sering menimbulkan suasana tirani peraturan-peraturan atau penjajahan oleh 8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta Bandung, 1975, hal.5 9 Satjipto Rahardjo, Usaha Mengatur Masyarakat Secara Realistik, Kompas, Senin 17 Maret 1975. 12
  • 13. hukum. Hal ini terjadi oleh karena hukum hanya berpegang pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah, memaksa, serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Dalam keadaan demikian apakah tidak terlalu menegakkan semboyan "manusia untuk hukum" dan budaya "hukum untuk manusia". Berlawanan dengan ini maka apabila pengaturan oleh hukum itu dilihat sebagai suatu proses, maka mengandung kebijaksanaan, bahwa pengaturannya yang dibuat oleh hukum pada suatu saat itu tidak rampung (final) sifatnya, melainkan harus senan tiasa diikuti seperti efektivitas dari pengaturan tersebut. Oleh karena itu di dalam "Social Engineering" ini sangat penting peranan dan umpan balik (feedback), agar pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan kepada keadaan yang timbul di masyarakat. Apabila kita lihat hukum itu sebagai suatu sarana penunjang terhadap pembangunan, maka hukum itu harus mempunyai suatu pola tertentu. Michael Hoger dalam hubungan ini untuk menetralisir apa yang dinamakan dengan "development law" atau hukum pembangunan mengemukakan, 13
  • 14. bahwa yang dimaksud "Development law", adalah: "Suatu sistem hukum yang sensitif terhadap pembangunan yang meliputi keseluruhan hukum substantif, lembaga hukum berikut keterampilan para sarjana hukum secara sadar dan aktif mendukung proses pembangunan. Dalam sistem hukum ini, development law meliputi segala tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga hukum, organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum serta segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian problem khusus pembangunan". Konsepsi development law selaras dengan orientasi baru mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rusted yang mengatakan Hukum itu adalah "the legal machianery in action" yaitu sebagai suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat dan keadaan diri pribadi dari pada individu penegak hukum itu sendiri bahkan juga fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum. Dikutif dari S Tasrif, SH., Peranan Hukum Dan Pembangunan, 14
  • 15. Prisma No.6 tahun ke III, 1973, hal.3 Hukum dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan menurut Michael Hoger dapat mengabdi dalam 3 (tiga) sektor, yaitu: 1. Hukum sebagai alat penertib (ordening); Dalam rangka penertiban ini, hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik, iapun dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan. 2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan dan keharmonisan balancing). Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum dan kepentingan perorangan. 3. Hukum sebagai katalisator; Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (law reform) dengan bantuan tenaga kreatif dibidang profesi hukum.Sehubungan dengan konsep hukum yang dikemukakan di atas, maka pendekatan yang dipergunakan pada hukum pada umumnya adalah 15
  • 16. bersifat sosiologis. Prosesnya dari tingkah laku dan perbuatan orang. Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai warga masyarakat, senantiasa mengarahkan dirinya pada suatu keadaan yang dianggapnya wajar yang terwujud dalam pola- pola tertentu. Dan apabila pola-pola tersebut mulai tidak dapat menjamin kepentingan-kepentingannya, maka niscaya manusia akan berusaha untuk merobah pola-pola tersebut. Dengan demikian maka pola-pola yang mengatur pergaulan hidup terbentuk melalui proses pengkaidahan yang tujuannya sangat tergantung pada objek (pengaturan-nya)yaitu aspek hidup pribadi dan antar pribadi. Apabila arah proses pengkaidahan tersebut tertuju pada hubungan antar pribadi dan ketenangan pribadi, maka proses tersebut menuju pada pembentukan kaidah-kaidah hukum. Proses pengkaidahan tersebut oleh warga masyarakat atau oleh sebagian kecil dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wibawa. Dr. Soerjono Soekanto, SH.,MA., Beberapa Catatan Tentang Pembangunan Hukum, Majalah Hukum Dan Pembangunan No.1 tahun 1974, hlm.40 Proses pengkaidahan yang terjadi di atas biasanya mewujudkan hukum-hukum normatif dalam 16
  • 17. bentuk peraturan-peraturan, bila pengkaidahan dilakukan dari bawah/masyarakat akan terwujud hukum adat dan kebiasaan. Proses pembentukan hukum adat dari bawah melalui pergaulan masyarakat sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang ingin dicapai oleh pergaulan hidup yang bersangkutan. Menurut pandangan seperti tersebut di atas, hukum tidak lagi dikonsepsikan sebagai gejala normatif otonom, akan tetapi sebagai "lembaga sosial" (social institution)yang secara riil mempunyai kaitan dengan variabel sosial lainnya. Hukum sebagai gejala sosial empirik dipandang sebagai sesua tu independent variabel yang menimbulkan berbagai effek kepada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya dan sekaligus juga sebagai dependent variabel yang merupakan hasil dari bermacam-macam kekuatan sosial dan suatu proses kemasyarakatan. Disini hukum tidak hanya dipandang sebagai development variabel (effek) yang berproses karena meresponse pembangunan, akan tetapi juga secara logis akan dikonsepsikan sebagai independent variabel (kausa) yang berfungsi menentukan bentuk dan arah pembangunan. Soetandyo Wignyosoebroto, Pembahasan Prasaran Teuku Mohammad 17
  • 18. Rusli; Penelitian Hukum Dalam Pembinaan Dan Pembahasan Hukum Nasional, Seminar Hukum Nasional III tahun 1974 di Surabya, hal.2. Melihat dan menelaah hubungan hukum dan pembangunan, maka wajarlah kalau hukum dilihat juga dalam posisi logisnya sebagai faktor yang aktif, kreatif yang ikut memberi arah kepada pembangunan. Berpangkal tolak dari asumsi demikian, dapat dinyatakan bahwa hukum itu mengandung kemampuan untuk menertibkan effek-effek positip kepada proses-proses sosial budaya. Kalau kita lihat secara sepihak, hukum dalam posisinya sebagai dependent variabel, adalah jelas bahwa hukum itu adalah hasil kristalisasi dari berbagai kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang juga secara nyata dapat memberi bentuk dan menentukan wujud terhadap sesuatu hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena ada perbedaan dalam hal berbagai hubungan dan kekuatan sosial ini, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, terlihat adanya perbedaan antara hukum dalam masyarakat yang satu dengan hukum yang berlaku di masyarakat lainnya, karena 18
  • 19. kesemuanya tergantung pada hal tersebut. Setiap bangsa dan suku bangsa mempunyai hukumnya sendiri-sendiri, Von Savigny (1779-1861) dari mazhab "Historiscke Rechtskhule mengatakan:Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke.(ukum itu tidak diciptakan, dia adalah dan timbul dengan rakyat) Konsep hukum yang demikian sebenarnya sudah cukup lama tumbuh dan berkembang dikalangan para ahli hukum kita. M.M. Djojodogoeno telah menegaskan bahwa: Hukum itu bukan suatu rangkaian ugeran (norma) akan tetapi suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu adalah pengugeran (normering) yang berarti pembatasan dari tingkah laku dan perbuatan orang dalam hubungannya dengan pamrih. Karya tersebut bermaksud menyelenggarakan tata yang adil. Djojodigoena, Reorientasi Hukum Dan Hukum Adat, Universitas Pres Yogjakarta, 1958, hal.4-14).Bahwa hukum selaku rangkaian ugeran (norma), isi sesungguhnya merupakan hal yang tegas dan statis. Sedangkan kenyataannya hukum itu merupakan suatu proses yang terus tumbuh sesuai dengan pertumbuhan jamannya.Djojodigoeno, Kuliah Hukum Adat 1961-1962, Badan Penerbit Gajah Mada Yogyakarta, 19
  • 20. 1962, hal.18).Pandangan itu kemudian dipertegasnya kembali dalam salah satu karyanya yang ditulis untuk Universitas Nijmegen tahun 1971, ia menyatakan:"een onophandelijk zich vernieuwend proces van Normeringen door een gemeenschap, rechts streeksoof door middel van here gezagsorganis, van de voor xakelijke verhoudingen relevantse handelenen en gedragingen van here leden, de zin heeft orde, gerechtigheid en gezamelijke welvoortte funderen en te order houden". Nat is de Recht? Ones de dard van het Recht als social proces van normeringen, Untag, University Press, Jakarta, 1971, hal.24.Hukum itu adalah suatu proses pengkaidahan yang terus menerus mengadakan pembaharuan yang dilakukan oleh masyarakat baik secara langsung maupun dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya tentang perbuatan dalam hubungan pamrih dan tingkah laku dari anggota-anggotanya, yang mempunyai arti untuk memberi dasar untuk mempertahankan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan bersama.Berangkat dari uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapatlah disimpulkan:Bahwa dalam masyarakat yang sedang membangun sebagai halnya Negara Republik Indonesia, 20
  • 21. hukum haruslah berorientasi kemasa depan (forward looking) bukan berorientasi kemasa lampau (backward looking) seperti dalam masyarakat sebelum kemerdekaan, segala pemikiran tentang hukum harus dikaitkan dengan kerangka dasar Pembangunan Nasional, sehingga segala studi tentang hukum harus benar-benar merupakan studi yang menunjang pada pembangunan nasional.Dalam negara yang sedang membangun seperti "Indonesia" hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya- upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada yang telah dicapai sebelumnya, menghadapi kenyataan seperti ini, peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan sebagaimana telah ditetapkan. Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekadar sebagai alat pengendalian sosial social control) saja, melainkan lebih dari itu, yaitu melakukan upaya-upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan. Dengan perkataan lain, fungsi hukum disini adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berarti hukum digunakan untuk mengarahkan pada pola-pola 21
  • 22. tertentu sesuai yang dikehendaki dengan menciptakan pola- pola baru. Juga berarti mengubah atau bahkan menghapuskan kekuasaan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Dari fungsi hukum tersebut yang serasi dengan masyarakat yang sedang membangun. Karena dalam pembangunan itu terdapat hal-hal yang harus dipelihara serta dilindungi, dilain pihak hukum diperlukan untuk menciptakan pola-pola yang sesuai dengan pembangunan dan agar perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan tersebut berjalan dengan tertib dan teratur. Otje Salman, _Pelaksanaan Hukum Waris Di Daerah Cirebon Dilihat Dari Hukum Waris Adat Dan Hukum Waris Islam, Disertasi Unpad, Bandung, 1992, hal.1-2.Begitu pula dengan Ismail Saleh, mengemukakan ada tiga dimensi pembangunan hukum nasional yang patut mendapat perhatian yaitu dimensi pemeliharaan, dimensi pembaharuan dan dimensi penciptaan. Tatanan hukum adalah harus tetap dipelihara sekalipun sudah tidak sesuai lagi, sepanjang tatanan hukum baru belum dapat diciptakan. Hal itu untuk mencegah timbulnya kekosongan undang-undang. Sementara itu, usaha untuk meningkatkan dan 22
  • 23. menyempurnakan tatanan hukum yang ada dilakukan untuk bagian-bagian tertentu yang tidak cocok dan tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dimensi itu diperlukan agar tatanan hukum yang ada tidak perlu dibongkar keseluruhannya. Dimensi penciptaan berarti dimensi dinamika dan kreatifitas, pada dimensi ini diciptakan perangkat peraturan perundang- undangan yang baru, yang sebelumnya memang belum pernah ada. Dimensi ini digunakan untuk menghadapi tuntutan kemajuan jaman. Hamid S Attamimi lebih mengarah hukum sebagai alat pengubah masyarakat atau social modification. Namun lebih lanjut dikemukakan bahwa itu tidak berarti bahwa kodifikasi hukum ke dalam berbagai kitab undang-undang tidak penting atau tidak perlu, tetapi pengubah masyarakat kearah cita-cita bangsa adalah lebih penting, lebih diperlukan. Hamid S Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar UI, 1989.Upaya kodifikasi hukum tersebut, sesungguhnya bermaksud mengganti tata hukum yang kini berlaku yang dibuat oleh pemerintah kolonial dengan tata hukum baru yang benar-benar 23
  • 24. mencerminkan kesadaran hukum masyarakat. Berkaitan dengan usaha ini, timbul masalah, sistem hukum yang mana yang menjadi kesadaran hukum masyarakat, yang dapat menjadi sumber utama pembentukan hukum nasional. Hal ini disebabkan, karena hingga saat ini terdapat 3 (tiga) sistem hukum yang mempengaruhi atau merupakan sumber dari tata hukum positip Indonesia, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Mura P. Hutagalung, Hukum Islam Dalam Era Pembangunan, Jakarta, Ind Hill, 1985, hal.112. C. Konsepsi Mengenai Pembinaan Hukum Nasional Pengertian pembinaan hukum nasional secara sederhana haruslah diartikan sebagai rangkaian kegiatan untuk memperkembangkan hukum kearah terbentuknya suatu tata hukum nasional. Konsepsi ini didasarkan pada suatu pemikiran, bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang politik maupun dalam bidang perdata yang mencerminkan kepribadian jiwa maupun pandangan hidup bangsa tersebut. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 1977,hal.57. 24
  • 25. dan lihat juga Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit Univer sitas Indonesia, Jakarta, 1975, hal18. Sebelum kita membicarakan tentang pelaksanaan dan usaha dalam pembinaan hukum nasional, terlebih dahulu perlu untuk dikemukakan beberapa pandangan tentang maksud hukum nasional itu sendiri. Para pakar hukum mempunyai berbagai pandangan tentang arti dari hukum nasional. Koesno, menyebutkan ada 3 (tiga) aliran pandangan yaitu: 1. Memandang dari segi pembuatan/pembentukannya; 2. Memandang dari segi jiwa/isinya; 3. Memandang dari segi asal-usul pembuatannya. Aliran pertama melihat pengertian hukum nasional dari segi formal; hukum nasional adalah apa yang dibentuk atau ditetapkan oleh pembentuk undang-undang yang nasional. Aliran kedua melihat pentingnya hukum nasional dari segi isinya, yakni hukum yang berisi bahan yang ada dan hidup di dalam diri bangsa Indonesia sendiri baik yang bersifat idiil maupun yang bersifat riil. Aliran ketiga melihat pengertian hukum nasional dari segi asal- 25
  • 26. usulnya yang dibedakan: a. Dalam arti dasar-dasar yang menjiwai isinya; b. Dalam arti pembentukannya. Bilamana isi dari hukum atau perundang-undangan yang bersangkutan dijiwai oleh politik hukum yang nasional, maka itu adalah hukum nasional. Bilamana hukum atau perundang-undangan itu dibentuk oleh pembentuk undang-undang atau hukum dari pemerintah kolonial, maka itu adalah hukum kolonial. Hukum nasional adalah hukum atau perundang-undangan yang dibentuk oleh pembentuk atau hukum dalam arti Pemerintah Nasional. Pandangan yang lain tentang Hukum Nasional dikemukakan oleh Hidjaxie Kartawidjaja, dengan memberikan rumusan sebagai berikut: Hukum nasional ialah suatu bentuk hukum yang berlaku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri syarat seperti di bawah ini: 1. Memiliki kepribadian sendiri, yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. 2. Mengutamakan kesatuan dan persatuan hukum. 3. Isinya atau jiwanya harus sesuai dan seirama dengan kesadaran serta hajat hidup hukum bangsa Indonesia. 26
  • 27. 4. Harus berlandaskan pada dan tidak boleh bertentangan dengan dasar falsafah negara Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Mohammad Hidjaxie Kertowidjojo, Pembentuk Hukum Nasional; Suatu Sumbangan Pikiran Atas Perintah LIPI, 1973; dikutip dalam Iman Sudiyat, Pembaharuan Hukum dan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat, Proceding Seminar Hukum Nasional III, 1974, hal.3 Pembinaan hukum nasional ini perlu untuk dilaksanakan di negara kita, menurut Tengku Mohammad Radie ada beberapa hal yang memberi arti kepada soal pembangunan hukum tersebut. Pertama alasan psykologis politik, untuk melepaskan diri dari ikatan masa lampau yang berbau kolonial, dalam rangka menciptakan identitas bangsa yang merdeka, sebab adanya hasrat untuk mengganti tata hukum warisan penjajah dengan menonjol pada setiap bangsa, terutama melalui perjuangan. Karena janggal untuk mempertahankan hukum kuasa penjajahan dan menjadikannya suatu tata hukum nasional. Alasan lain (kedua) agaknya lebih rasional, ialah bahwa acapkali dan dalam banyak hal hukum di masa lampau tidak cocok lagi dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bangsa yang melekat dari aspek 27
  • 28. pertumbuhannya. Setelah kemerdekaan yang banyak mengalami perubahan-perubahan. Dengan berpegang pada pandangan bahwa hukum refleksi dari keadaan masyarakat pada suatu masa tertentu, maka sukarlah untuk mempertahankan hukum lama untuk suasana kehidupan baru bilamana dikehendaki hukum baru dapat memberikan tanggapan yang tepat kepada kebutuhan masyarakat pada zaman yang telah berubah. Dimasa yang silam para pakar hukum sangat cenderung untuk berorientasi kemasa lampau, sehingga hukum kita semakin jauh ketinggalan dari perkembangan masyarakat dibidang sosial, politik dan ekonomi yang kebanyakan berorientasi kemasa depan, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan masyarakat, hukum tidak hanya harus diperbaharui, akan tetapi pembaharuan hukum perlu untuk dipercepat. Pembaharuan hukum yang dipercepat ini penting bila hukum nasional itu hendak merupakan hukum yang fungsional, yaitu hukum yang dapat menjadi prasarana dalam pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya. Usaha pembinaan hukum nasional bukanlah merupakan suatu tindakan yang mudah, sehubungan dengan adanya keaneka ragaman peraturan hukum, baik peninggalan penjajah maupun yang dibentuk 28
  • 29. pada masa transisi. Untuk menyalurkan kegiatan dalam pembinaan hukum nasional, tahun 1956 PERSAHI telah memajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman agar dibentuk panitia negara pembinaan hukum nasional. Subekti, op.cit. hal.40 Permohonan itu menghasilkan Keputusan Presiden tanggal 30 Maret 1958 No.107 tahun 1958 mengenai pembentukan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang bertugas membantu pemerintah secara giat dan penuh daya cipta dalam lapangan hukum dengan tujuan mencapai Tata Hukum Nasional. Lembaga ini berkedudukan langsung di bawah Perdana Menetri dengan beranggotakan para ahli hukum, wakil-wakil golongan teoritis, politisi dan para praktisi. Soesanto Tirtoprodjo, LPHN, Majalah Hukum dan Masyarakat No. Kongres I, Jakarta, 1961, hal.221. Usaha yang harus dilaksanakan lembaga ini, adalah: a. Menyiapkan penyusunan perundangan yang selaras dengan keadaan dan kepentingan negara, rakyat serta dengan cita-cita hukum dan Pancasila yang terkandung dalam UUD 1945. b. Mengusahakan terjemahan buku yang penting dalam lapangan hukum ke dalam bahasa Indonesia. c. Menyelenggarakan peristilahan nasional dalam lapangan 29
  • 30. perundang-undangan. Dengan keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945, LPHN dibentuk kembali dengan Keppres tanggal 6 Mei 1961 No.194 tahun 1961 yang berkedudukan di bawah departemen Kehakiman, dengan tugas: a. Melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional yang dikehendaki oleh MPRS; b. Menyiapkan rancangan perundangan nasional untuk menggantikan peraturan yang tidak sesuai dengan tata hukum nasional; c. Menyelenggarakan segala sesuatu untuk menyusun keteraturan dalam perundang-undangan. Kemudian dengan Ketetapan Presiden No.282 tahun 1964 dibentuk suatu LPHN gaya baru yang bertugas melaksanakan Pembinaan Hukum Nasional, sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana dikehendaki oleh MPRS dengan tujuan untuk mencapai tujuan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila, yaitu dengan: 1. Menyiapkan rancangan peraturan-peraturan perundang- undangan yang berpedoman kepada: a. Ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Tap MPR. 30
  • 31. b. Kebijaksanaan politik Menteri Kehakiman dalam ketetapan hukum nasional. 2. Mengadakan riset dan dokumentasi serta segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan Perundangan. Kedudukan lembaga ini kemudian lebih disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden tanggal 24 Juli 1965 No.184 tahun 1965. Selanjutnya dengan SK Menteri Kehakiman No. YS.4/3/7 tahun 1975 mengenai susunan organ dan tata kerja Departemen Kehakiman, nama LPHN dirubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional, dalam pasal 616 disebutkan bahwa BPHN mempunyai tugas menyelenggarakan pengembangan hukum nasional berdasar kan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada pasal 616 BPHN berfungsi: a. Membina penyelenggaraan pertemuan ilmiah bidang hukum; b. Membina penelitian dan pengembangan hukum nasional; c. Membina penyusunan naskah rancangan undang-undang dan 31
  • 32. kodifikasi; d. Membina pusat dokumentasi perpustakaan dan publikasi hukum (pasal 617). Sekitar tahun 1972 BPHN setelah mempelajari asas-asas hukum yang kerap dikalangan rakyat Indonesia, mengadakan rapat "hearing" dengan golongan terkemuka dan berbagai lapisan masyarakat. Dari pertemuan tersebut telah berhasil merumuskan asas- asas tata hukum nasional sebagai berikut: 1. Dasar pokok hukum nasional Indonesia adalah Pancasila; 2. Hukum nasional bersifat: a. Pengayoman; b. Gotong-royong c. Kekeluargaan; d. Toleransi; e. Anti kolonialisme, imprealisme, dan feodalisme. 3. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis. 4. Selain hukum tertulis diakui hukum tidak tertulis sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia; 5. Hakim membimbing perkembangan hukum (homogenitas) yang selaras luasnya dan dalam hukum kekeluargaan kearah sistem 32
  • 33. parental. 6. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana). 7. Untuk pembangunan masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi hukum; 8. Dalam perkara pidana: a. Hakim berwenang sekaligus memutus, baik karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan; b. Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan .... disamping atau tanpa pidana. 9. Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang bermanfaat bagi masyarakat. 10. Dalam bidang hukum acara perdata diarahkan jaminan supaya peradilan berjalan sederhana, cepat dan murah. 11. Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan yang merupakan jaminan kuat untuk mencegah: a. .... tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan lebih lama dari yang benar-benar diperlukan. 33
  • 34. b. Penggeledahan, penyitaan, pembaharuan surat dilakukan sewenang-wenang. Untuk menghimpun berbagai pemikiran masalah-masalah hukum dalam rangka pembinaan hukum nasional LPHN telah menyelenggarakan beberapa kali seminar Hukum Nasional bekerja sama dengan PERSAHI, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Unair, dan lain sebagainya. Dasar asas-asas hukum Nasional yang digariskan oleh LPHN yang mendapat dukungan sepenuhnya dari seminar Hukum Nasional ke I sebagaimana yang terlihat dalam kesimpulannya yang menyatakan: 1. Dasar pokok hukum nasional Indonesia ialah Pancasila. 2. Hukum Nasional sebagai alat revolusi dengan arti "Tut Wuri Handayani" serta sebagai expresi cita-cita politik rakyat berfungsi pengayoman dalam arti membina, mengatur, melindungi tertib masyarkat sosialisme Indonesia, dimana dijamin keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan Individu. 3. Hukum Nasional Indonesia mencrminkan sifat gotong royong, kekeluargaan, toleransi, dan anti imprealisme, kolonialisme serta feodalisme dalam segala bentuk. Dalam seminar Hukum Nasional ke II di Semarang 1968 tidak membicarakan persoalan dasar Hukum Nasional. Tetapi pada 34
  • 35. Seminar Hukum Nasional II di Surabaya 1974 baru dijumpai kembali kesimpulan dasar-dasar pembinaan Hukum Nasional, sebagai berikut: 1. Dasar pembinaan Hukum Nasional adalah Pancasila, UUD 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. 2. Pembinaan Hukum Nasional meliputi seluruh hukum positip Indonesia, baik sipil maupun militer, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 3. Penemuan dan pembentukan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tugas badan-badan legislatif, eksekutif, dan peradilan dalam bentuk peraturan perundangan, keputusan-keputusan dan dalam bentuk putusan-putusan hakim. Pada bagian lain Seminar Hukum Nasional III memberikan beberapa kesimpulan antara lain: 1. Pembinaan hukum nasional harus memperhatikan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).2. Untuk itu pendekatan yang tepat adalah pendekatan sosiologis yang dapat dijadikan alat untuk mengadakan analisa sosial. Atas dasar ini dapat dilaksanakan proyeksi sosial. Oleh karena itu dalam pembinaan hukum, penelitian hukum harus menggunakan pendekatan yang tidak hanya bersifat ilmu hukum melainkan juga 35
  • 36. harus menggunakan pendekatan interdisipliner yang menggunakan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai penunjang. 3. Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang- undangan dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas. Atas dasar skala prioritas, maka bidang-bidang hukum yang sifatnya universal dan netral yaitu bidang-bidang hukum yang langsung menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan perlu diprioritaskan dalam pembentukannya. Sedangkan bidang-bidang hukum yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual dan kehidupan budaya bangsa memerlukan penggarapan yang seksama dan tidak tergesa- gesa. 4. Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum nasional khususnya dan pembangunan nasional umumnya, dengan mengingat kebutuhan yang mendesak, usaha kearah kodifikasi dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu secara bertahap baik dengan undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU). 5. Pengoperan/pengambilan hukum asing yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat 36
  • 37. memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional. 6. Perlu digiatkan penelitian, terutama dibidang hukum adat diseluruh daerah untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan nyata tentang hukum adat yang benar-benar diseluruh tanah air. Sebab kenyataan yang hidup di daerah itulah yang patut diabtraksikan dalam norma- norma hukum umum yang dapat diterima oleh seluruh rakyat. Penelitian secara menyeluruh mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang meliputi daerah diseluruh Indonesia ini dapat dipergunakan untuk mengadakan pemecahan persoalan (problem solving), dengan jalan: a. Penemuan hukum (rechtvinding) b. Pembentukan hukum (rechtvorming) c. Pengembangan hukum (rechtsuitbouw). 7. Akselerasi pembinaan hukum nasional hendaknya dibarengi dengan usaha peningkatan taraf penghidupan masyarakat yang relevant untuk berkonvergensi dengan bangsa (nation) lain. 8. Keterbelakangan dan pluformitas tata kehidupan masyarakat yang pada pokoknya diakibatkan oleh kekurang lancaran komunikasi perlu diatasi oleh ekstensifikasi pendidikan baik formal maupun non formal dan penyuluhan hukum (legal information) secara horizontal, simultan 37
  • 38. dengan pembangunan prasarana dan sarana komunikasi. Seminar-seminar hukum nasional, beberapa simposium dan loka karya tentang berbagai permasalahan hukum, maksudnya ialah untuk menghimpun berbagai pendapat dan pandangan berbagai kalangan dengan harapan dapat memberikan "input" bagi pembinaan hukum nasional. Selain itu usaha-usaha yang dijalankan BPHN, usaha-usaha penelitian diberbagai tempat dan daerah serta penulisan ilmiah dibidang hukum. Pancasila sebagai dasar hukum nasional tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena sudah merupakan konsensus nasional yang menyatakan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum. Begitu pula halnya dengan UUD 1945 merupakan hukum dasar Tertulis dalam kehidupan bernegara di Indonesia. GBHN berbeda dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. GHBN dibidang hukum memperlihatkan adanya kecenderungan yang selalu berubah untuk setiap periode pembangunan. Berikut ini dipaparkan kebijakan hukum dalam GBHN, yaitu sebagai berikut: 1. Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 antara lain menyebutkan 38
  • 39. bahwa: Asas-asas pembinaan hukum nasional itu sesuai dengan GBHN dan berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil makmur. 2. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 memberikan beberapa arahan di bidang hukum sebagai berikut: a. Pembangunan di bidang hukum dan negara. Hukum Indonesia adalah berdasar atas landasan sumber tertib hukum negara yaitu cita- cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suatu kejiwaan serta wajah dari bangsa Indonesia yang didasarkan dalam Pancasila dan UUD 1945. b. Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung keresahan hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai kepastian dan ketertiban hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan: 39
  • 40. 1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu, dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. 2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing. 3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum. c. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945. 3. Keputusan MPR No.IV/MPR/1978 merumuskan tentang arah pembangunan di bidang hukum sebagai berikut: a. Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. b. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar 40
  • 41. hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka ini perlu dilanjutkan usaha- usaha untuk: 1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi dan unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. 2. Menertibkan badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. 3. Meningkatkan kemampuan dan kewajiban aparat penegak hukum. 4. Membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat yang kurang mampu. c. Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga menghayati hak dan kewajibannya dan meningatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, 41
  • 42. ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang-Undang Dasar 1945. d. Mengusahakan terwujudnya persatuan. e. Dalam usaha Pembangunan Hukum Nasional perlu ditingkatkan langkah-langkah untuk penyusunan per-undang-undangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tentang bagaimana cara melaksanakan pembinaan hukum itu, dalam hal ini masih terdapat beberapa pandangan yang berbeda. Disatu pihak hendak menggunakan sistem kodifikasi sebagai cara yang terbaik dalam melaksanakan pembinaan hukum nasional tersebut. Menurut Sunaryati Hartono, selama 28 tahun hingga kini belum menghasilkan sesuatu, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa kodifikasi tidaklah merupakan jalan yang paling tepat untuk mengusahakan pembaharuan hukum. Sunaryati Hartono, Peranan Peradaban Dalam Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional; Prasaran Dalam Seminar Hukum Nasional III, Surabaya, 1975, hal.5. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa untuk pembinaan dan pembaharuan hukum yang wajar hendaknya masyarakat dibiarkan sendiri untuk mencari dan menemukan kaidah-kaidah hukum yang 42
  • 43. paling tepat memenuhi kebutuhannya. Pendapat ini kebanyakan dari pada para pakar hukum adat, tetapi cara yang demikian menurut Sunaryati Hartono kurai sesuai dengan tekad kita untuk mengadakan pembangunan yang berencana yang tidak digariskan dalam GBHN. Jika kedua cara yang disebut di atas masih kurang cocok, sehubungan dengan situasi dan kondisi sekarang, maka masih perlu untuk dipikirkan cara yang lebih efektip dan efisien demi pelaksanaan Pembinaan Hukum Nasional. Tentunya dengan tidak mengabaikan hukum adat sebagai faktor yang ikut menentukannya. Oleh karena itu, sesuai dengan rumusan-rumusan yang telah dikemukakan dimuka yang paling penting adalah untuk meletakkan dasar-dasar dari pembinaan hukum tersebut melalui implementasi Pancasila dan UUD 1945. Pembaharuan hukum perlu untuk dipercepat. Pembaharuan hukum yang dipercepat ini penting bila hukum nasional dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. 43
  • 44. BAB II HUKUM ADAT DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL A.Corak Berpikir Masyarakat Hukum Adat Dan Perkembangannya Untuk melihat konteks hukum adat dalam dimensi pembangunan hukum nasional, supaya mendapat gambaran yang menyeluruh akan diuraikan mengenai corak hukum adat terlebih dahulu. Di dalam berbagai literatur sering ditemukan, bahwa dalam kerangka membicarakan tentang hukum adat, terlebih dahulu dikemukakan mengenai masyarakat hukum adat. Hal ini sangat penting untuk melihat aspek hukum yang dihasilkannya, karena corak masyarakat hukum adat satu sama lainnya terdapat perbedaan. Ter Haar di dalam bukunya Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht, memberikan unsur-unsur suatu masyarakat hukum adat, yaitu mempunyai penduduk, mempunyai wilayah, mempunyai penguasa, mempunyai kekayaan baik materil maupun immateril. Jadi apabila dilihat sepintas, unsur-unsur suatu masyarakat hukum adat ada persamaannya dengan unsur-unsur adanya suatu negara seperti yang tercantum dalam Convensi Montevidio. Perbedaannya terletak, pada syarat yang terakhir, yaitu dalam masyarakat hukum adat diharuskan adanya syarat memiliki benda/kekayaan baik 44
  • 45. materil maupun immateril. Suatu uraian yang relatif lengkap dikemukakan oleh Hazairin, sebagai berikut:10 Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.Penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar.Selanjutnya Hazairin juga menyatakan bahwa masyarakat hukum adat tersebut terangkum dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, yaitu: 10 Hazairin, Demokrasi Pancasila_ Rineka Cipta Jakarta, 1990, 45
  • 46. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang- undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak- hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.Mengenai bentuk dari masyarakat hukum adat dasarnya secara teoritis dibedakan antara masyarakat hukum adat berdasarkan genealogis dan masyarakat hukum adat berdasarkan teritorial. Berdasarkan ikatan genealogis, dikenal struktur masyarakat matrilineal, masyarakat patrilineal dan masyarakat bilateral, dan masyarakat alternerend.Berbicara struktur masyarakat erat kaitannya dengan masalah untuk mengetahui hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Hal itu dikatakan oleh Soepomo:"bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah manapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari".Jelas kiranya mengetahui suatu hukum dalam suatu daerah perlu ditelaah mengenai struktur masyarakatnya. Perlu juga dilihat mengenai peranan hukum dalam suatu struktur masyarakat. 46
  • 47. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh hukum itu dapat berfungsi dalam suatu masyarakat tertentu. Pada masyarakat yang corak berpikirnya masih sederhana (tradisional) peranan hukum lebih menonjol sebagai social control (Pengendalian sosial). Pengendalian sosial, secara sosiologis merupakan suatu variabel kuantitatif, artinya kuantitas pengendalian sosial disuatu tempat akan berbeda ditempat yang lain. Sebagai contoh, sistem pengendalian dalam suatu kelompok keluarga tertentu, mungkin akan berbeda dengan kelompok keluarga lainnya, demikian juga dilapangan birokrasi. Pengendalian sosial, kuantitasnya juga bisa berbeda sebagai akibat waktu pengendalian sosial itu dilaksanakan. Sebagai misalnya, hampir disemua daerah di Indonesia ditemukan banyak sekali kasus perceraian yang jarang diselesaikan di pengadilan.11 Mengenai hal ini Nader dan Metzger, menjelaskan sebagai berikut: Patterns of authority seem to be central to an under standing of the distribution of conflict resolution in these towns. In both communites, husbands and wives in conflict recognize the authority of senior family males as well as the authority of the community court. However, the aithority of senior family males is greater in the Chiapas town than in the Oaxaca community, and this contrast is mirrored in the use spouses make of the court in the two towns ... in the Oaxaca town, limited oautority of senior family 11 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Jakarta, 1983. hal. 95 47
  • 48. males is associated with early inheritance, separate residence, readily available substitutes for both spouses and parent with respect to sex and subsistence, and the deliberate refusal of families to accept responsibility for mariages they have not arranged. The court assumes the responsibility lost or abandoned by the family and exercises authority over marriage vested in its as a representative of the State. In the Chiapas community, delayed inheritance, patrispon sored residence, and the absence of spous or parent-substitutes outside these relationships tend to support the authority of senior male lineals in the resolution of conflict between spouses. The role that the court plays is residuam. Pada masyarakat Amerika yang modern, perselisihan antara keluarga, lebih kurang diajukan ke pengadilan apabila dibandingkan dengan jenis-jenis perselisihan lainnya. Polisi misalnya lebih banyak menerima laporan kejahatan diluar keluarga, kalaupun ada laporan itu datangnya dari orang lain, dan bahkan apabila dimintai keterangannya, pihak keluarga akan mengingkarinya. Keadaan lain dijumpai di Taiwan. Di sana pengendalian oleh keluarga semakin pudar. Disini para petani yang bersengketa megenai tanah, cenderung memilih diselesaikan oleh lembaga hukum berdasarkan perundangan untuk menyelesaikannya. Di Indonesia pernah dilakukan penelitian di Minangkabau oleh P.E. de Josselin de Jong dikatakannya, bahwa ada kecenderungan pada keluarga batih mempunyai rumah tangga sendiri (berdiri sendiri). Selanjutnya 48
  • 49. dikatakan: The result is that members of the same suku, and even of the same paruik, no longer live together. As a unit which lives scattered far and wide begins to show less cohesion, the authority of the panghulu also dimineshes, and finally the government official has to step in.12 Apa yang diungkapkan di atas Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, pernah melakukan penelitian hasilnya sebagai berikut: 1. Oleh karena tertinggalnya ninik-mamak di bidang pendidikan formal, dibandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh anak- kemenakan dewasa ini, maka pengaruh ninik mamak terhadap anak kemenakan menjadi berkurang. 2. Dalam rangka terjadinya perubahan sosial, khusus dalam struktur keluarga. dimana kedudukan ayah semakin menonjol, pengaruh ninik-mamakpun semakin berkurang dalam kaumnya. 3. Meskipun pengaruh mamak terhadap kemenakan semakin mundur, akibat menonjolnya ayah dalam keluarga, namun 12 Soerjono Soekanto, ibid. hal. 98 49
  • 50. kedudukan ninik-mamak dalam kaum dan suku tetap penting, karena adanya kaum dan suku masih merupakan kenyataan dalam masyarakat Minangkabau. 4. Selama masih utuhnya kaum dan suku sebagai organisasi kemasyarakatan, selama itu pula peranan ninik-mamak penting dalam prosedur penyelesaian sengketa secara damai di Nagari- nagari. 5. Pengikut-pengikut ninik mamak dalam setiap kegiatan pembangunan maupun pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, akan memperlancar jalannya pelaksanaan pembangunan maupun pekerjaan-pekerjaan lainnya di Nagari. Nyatalah apa yang diungkapkan dari kedua hasil penelitian tersebut, peranan ninik mamak di Minangkabau berkurang. Peranan dalam kelurga digantikan oleh orang tuannya. Namun demikian dalam proses penegakan hukum, pertanan ninik mamak masih besar, misalnya dalam proses penyelesaian sengketa diselesaikan secara berjenjang didahului diselesaikan oleh ninik-mamak, baru kalau tidak selesai baru diselesaikan oleh pemerintah Nagari, Camat dan Pengadilan. Masalah lain dalam pengendalian sosial yang perlu 50
  • 51. diketengahkan adalah masalah stigmatisasi.Stigmatisasi terjadi apabila perbuatan tertentu yang menyimpang, dengan sengaja ditonjolkan keburukannya, artinya kedudukan dan peranan seseorang yang melakukan penyimpangan tersebut diperlakukan sedemikian rupa, sehingga dia kehilangan identitas sosialnya. Dengan demikian stigmatisasi dapat dikatakan: "a process attaching visible signs of moral inferiority to persons, such as invidious labels, marks, brands, or publicly disemminated information”.Masalah ini perlu ditonjolkan, karena masalah stigmatisasi itu prosesnya lebih berat dari pada proses dalam hukum adat yang merupakan hukum yang masih hidup. Masalahnya stigmatisasi sering ditujukan kepada warga masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap keseimbangan kosmis, walaupun perbuatan itu belum tentu merupakan pelanggaran yang nyata, pelanggaran semacam demikian misalnya adalah santet. Ini terjadi sebab di masyarakat ada yang melakukan perbuatan yang termasuk "risk taking". Risk taking ini merupakan:"situations in which persons who are caught in a network of conflicting claims or values choose not deviant alternatives but rather behavioral solutions which carry risks of deviation. Deviation then becomes merely one possible outcome 51
  • 52. of their actions, but it is not inevi table. It hinges rather on the turn of circumstances or convergence of external factors". (Soerjono Soekanto, ibid. hal.101) Risk Taking ini merupakan jalan keluar sebagai akibat adanya kemelut dalam dirinya. Sebagai misal orang melakukan kawin lari sebagai akibat tidak diizinkannya perkawinan tersebut. Tentunya kawin lari ini merupakan suatu stigma apabila memang dirasakan merusak keseimbangan suatu keluarga. Kenyataan demikian karena masyarakat Indonesia seperti apa yang dikatakan Soepomo: Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita Jakarta, 1983, Alam pikiran tradisional Indonesia (alam pikiran tradisional Timur pada umumnya) bersifat kosmis, meliputi segala-galanya sebagai kesatuan (totaliter). Umat manusia menurut aliran pikiran kosmis itu adalah sebagian dari Alam,tidak ada pemisahan dengan mahluk-mahluk lain. Segala sesuatu bercampur baur dan bersangkut paut, segala sesuatu pengaruh mempengaruhi. Dunia manusia adalah pertalian dengan segala hidup di dalam alam. Aliran pikiran kosmis ini merupakan latar belakang hukum adat pelanggaran". Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mempunyai kepribadian komuun dan kolektif. Kepribadian 52
  • 53. komuun merupakan dasar untuk mengerti hukum adat. Ciri komuun dari masyarakat Indonesia digambarkan oleh Van Vollenhoven yang mengatakan bahwa ciri komuun itu tidak hanya di dalam hak-hak yang aneh yang oleh pemerintah desa diambil hak pertuanan dari persekutuan (campur tangan dalam jual lepas/gadai tanah), adakalanya pun dalam hal maro dan jual sewa tanah, hak mencabut hak atas tanah untuk waktu yang tak tertentu guna kepentingan desa, membagikan tanah yang kembali kepada desa kepada orang-orang baru dan lain-lain, tidak sajapun di dalam kebiasaan kerja sama yang ternyata dalam hal memiliki kandang hewan bersama untuk mencegah pencurian ternak atau lumbung-lumbung padi bersama atau dalam hal membikin bersama dan memelkihara saluran-saluran air. Bilamana di dalam hukum adat di Jawa dan Madura hak pengabdian peklarangan (erfdiensbaarheid) tidak diperlukan adanmya; bilamana seseorang dapat memiliki atau menggadai pihon-pohon yang hidup di atas tanah orang lain, tanpa adanya hukum adat yang memberi hak kepada si pemilik atau sipemegang gadai itu untuk bila perlu menginjak tanah orang lain itu; bilamana tidak diperlukan aturan- aturan yang terperinci mengenai air; bilamana tidak diperlukan aturan-aturan yang tetap tentang perwalian-pun, tentang pewarisan 53
  • 54. yang secara mekanis dapat dilaksanakan; ini semua disebabkan oleh karena semua hak itu dimengertikan dan dilaksanakan sedemikian rupa bahwa bukan hak individu yang bertahta (semacam corak hukum Romawi) tetapi oleh karena kepentingan masyarakat itu memberati semua pemakaian barang-barang pribadi. Lebih-lebih pula dalam hal penghasilan dari kepala desa itu semua berbicara secara terang tentang kewajiban memberikan barang, bila kepala desa akan mendirikan rumah, melakukan perkawinan dan sebagainya. Anggapan C. Van Vollenhoven, beberapa tahun kemudian dikuatkan oleh F. D. Holleman, beliau dalam Inagurasinya pada tanggal 10 Mei 1935 mengemukakan diantaranya: Suasana keseluruhan dari hukum adat memperlihatkan watak komuun ini. Demikianlah yang utama dalam penghidupan hukum sehari-hari di dalam masyarakat hukum adat, kepentingan masyarakat; musyawarah dari anggota masyarakat hukum didalam banyak persoalan adalah suatu keharusan hukum, perkawinan dan banyak hal-hal semata-mata prive adalah urusan golongan/kemasyarakatan pada orang Indonesia; tolong-menolong (gotong royong) diantara warga desa di dalam sebagian besar lingkaran hukum di Indonesia 54
  • 55. adalah kewajiban hukum. Komuun ini janganlah dipandang sebagai faktor yang berdiri sendiri, tetapi lebih-lebih dalam kebalikannya dan terutama pun dalam imbangannya dengan unsur individuil yang tidak pernah tidak ada, pun di dalam daerah-daerah dimana ciri komun itu sangat mencolok adanya (Sulawesi Tengah, Borneo). Di dalam ikatan golongan masyarakat ada sekedar diferensiasi, dimana bagaian-bagian dari golongan dapat dilihat hanya sebagai kebebasan individuil, tetapi para subyek hukumpun di dalam daerah-daerah dimana hukum yang sifatnya individuil mempunyai tempat (misalnya di Aceh, Jawa), tidak bebas sama sekali tetapi selalu dicampuri dengan perasaan golongan dan kesadaran kemasyarakatan (Gemeenschapbesef). R. Soepomo menggambarkan dengan jelas bagaimanakah kepribadian masyarakat Indonesia, beliau menjelaskan jiwa perhubungan antara individu dengan masyarakat (gemeenschap, societas). Setelah membandingkan dengan menggambarkan karakter hukum barat, beliau menggambarkan karakter hukum adat dan masyarakat Indonesia. Hukum Barat merupakan hasil dari kepribadian individualistis, hasil dari jaman individualisme, dalam mana individu merupakan pokok dan pangkal dari semua peristiwa 55
  • 56. hukum di dalam masyarakat. Lain sekali halnya dalam hubungan antara individu dengan masyarakat Indonesia dan hukum Adat. Individu ditempatkan sebagai pangkal utama dalam masyarakat. Masyarakatlah mempunyai kedudukan yang lebih utama dalam hukum adat dan bukan individu. Individu adalah alat dari masyarakat untuk mencapai tujuannya. Menurut pandangan masyarakat Indonesia, kenyataan hidup adalah terutama ditujukan guna menjalankan kewajiban-kewajiban untuk masyarakat. Kewajiban-kewajiban kemasyarakatan dianggapnya sebagai fungsi utama menurut kodrat dari manusia. Adanya sifat komuun itu dibuktikan dengan adanya kekuasaan dari desa atas tanah (seperti adanya hak ulayat desa), dengan adanya campur tangan oleh desa pada waktu adanya pengangkatan anak, pemeliharaan anak yang belum dewasa (kuat gawe), pertunangan, perkawinan, perceraian, pembagian boedel dan lain-lainnya. Kepribadian komuun ini terdapat pula dalam kehidupan famili (kerabat) dan keluarga. Dalam hukum famili dan hukum kekeluargaan berlaku prinsip, bahwa famili dan keluarga (masyarakat), kesatuan sosial, kesadaran sosial merupakan hal yang diutamakan. Kepentingan golongan/masyarakat menguasai 56
  • 57. kepentingan individu, seperti ternyata di Minangkabau dimana masyarakat famili itu merupakan dasar dari seluruh kehidupan rakyat Minangkabau. Di Jawa kepentingan masyarakat keluarga (gezin) diutamakan seperti dalam hukum waris. Sehingga dalam hukum adat pembagian waris bukan didasarkan pada nilai jumlah barang, tetapi atas dasar manfaat atau nilai guna dari barang tersebut. Djojodiguno, memandang hukum sebagai paguyuban, artinya sebagai satu jenis hidup bersama, dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan, dalam perkataan Kant sebagai Selbstzweek; dimana perhubungan manusia dengan sesamanya, manusia tidak terwujud dalam perkataan kepentingan laba rugi, melainkan sebagai perhubungan dimana manusia menghadapi sesamanya, manusia dengan segala sentimennya, sebagai cinta, simpati dan sebagainya yang baik dan kurang baik. Seabagai perbandingan dalam lapangan hukum barat, dapat digambarkan hukum barat selalu bercorakkan patembayan, jadi ada hubungan pamrih. Kepribadian komuun , apabila dilihat dalam kehidupan sehari- hari indikasinya bahwa bangsa Indonesia (masyarakat hukum adat) mempunyai corak kehidupan kolektif. Kesatuan sosialnya 57
  • 58. mempunyai ciri atau tanda bahwa jiwa, perbuatan dan tingkah laku dari individu (oknum, manusia perseorangan) dalam masyarakat itu dikuasai oleh norma-norma dari kesatuan-kesatuan sosial yang ada dilingkungannya. Kekuatan normatif dari masyarakat mempengaruhi, menentukan kejiwaan, perbuatan, tingkah laku orang-perorang. Artinya kehidupan individu itu, tidak terlepas dari pada kehidupan masyarakatnya. Kehidupan kolektif adalah suatu kehidupan dimana menempatkan individu mempunyai keterikatan dengan masyarakat dilingkungannya. Kolektivisme ini dikenal berbagai bentuknya, yaitu kolektifitas keluarga, kolektifitas bangsa, kolektivitas ras, kolektivitas masyarakat umum, kolektivitas umat manusia, kolektivitas gereja atau lain perseketuan agama dan lain-lain kolektivitas sesuai dengan kepentingan dalam lingkungannya. Dalam suatu masyarakat yang kolektif, kepentingan individu sama sekali tidak terhambat perkembangannya untuk menjadi "persoonlijkheid", sebabnya yang menentukan sifat kolektif itu bukan nilai individu, bukan persoonlijkheidnya individu, tetapi eratnya ikatan individu terhadap lingkungan sosialnya, tingkat partisipasi individu kepada kepentingan umum. 58
  • 59. Sifat komuun dengan sifat kolektifitis atau individualistis memberi alasan bahwa yang disebut komuun itu pada hakekatnya adalah sama dengan kolektif, kepentingan masyarakat, kepentingan bersama, berbakti kepada kepentingan umum yang diutamakan, bukan kepentingan perseorangan, kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan (sesuai dengan penjelasan resmi Pasal 33 UUD 1945). Sehingga dapat dikatakan bangsa Indonesia ditinjau dari sudut ilmu Sosiologi mempunyai sifat, karakter, kepribadian kolektif. Kenyataan ini juga diperjelas oleh J. Prins yang mengatakan unsur kolektif adalah unsur yang utama dalam adat, semua masyarakat adat itu adalah komunalistis, anti individualistis. Corak kepribadian masyarakat Indonesia juga didasarkan atas faham kekeluargaan. Dalam pembukaan UUD 1945 ditolak aliran perseorangan (individualisme), yang diterima adalah aliran kekeluargaan. Oleh karena itu UUD 1945 harus juga mengandung sistem kekeluargaan. Selanjutnya bahwa negara Indonesia berdasarkan atas kekeluargaan yang sifatnya ke luar, yaitu dalam rangka hubungan antar negara dan ke dalam dalam memupuk kebersamaan. Timbul suatu pertanyaan, apakah aliran kekeluargaan sama dengan aliran 59
  • 60. kolektifistis? Aliran kekeluargaan menjiwai Pasal 33 UUD 1945, yaitu Pasal asas sosial ekonomi, jiwa kekeluargaan merupakan hal yang penting sehingga harus dimasukkan dalam UUD negara. Kenyataan ini membawa konsekuensi dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950. dikatakan bahwa ekonomi Indonesia tidak berdasarkan ekonomi liberal, bahkan bertentangan dengan liberalisme. Perekonomian berdasar atas dasar demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tampuk produksi jatuh ketangan perorangan yang berkuasa, maka akan menimbulkan monopoli, sehingga hilanglah sifat kolektivisme dan kekeluargaannya. Asas kekeluargaan mencerminkan, bahwa segala akibat yang ditimbulkan merupakan tanggung jawab bersama (kolektif), mencari dan menemukan jalan bersama yang dapat menjamin kemajuan bagi setiap anggota. Adanya sifat bersama yang memenuhi syarat-syarat tersebut harus diutamakan, apalagi kalau dikalangan rakyat sendiri telah ada tradisi yang dapat disesuaikan dengan paham baru. Bentuk ini adalah sangat penting, karena sudah cukup dikenal rakyat dan 60
  • 61. dapat berjalan diberbagai macam kegiatan rakyat, seperti pertanian, perikanan dan lain-lain. Ekonomi yang bertentangan dengan ekonomi aliran liberal itu adalah ekonomi kolektif atau berpahamkan kekeluargaan, kebersamaan. Dengan demikian, apabila ditinjau dari sudut pandang ilmu sosiologi, kekeluargaan berhakekat, berisi, sama dengan kolektif, kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Mohamad Hatta, mengatakan bahwa kita mendirikan negara, yaitu atas dasar gotong royong dan hasil bersama. Supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan sebab sebaiknya setiap negara tidak mesti takut mengeluarkan suara, dan diberi hak berkumpul dan lain-lainnya. Istilah kekeluargaan itupun juga adalah gotong royong, demikian juga sebaliknya. Gotong royong dipakai sebagai sinonim dengan kekeluargaan dan juga kolektif, yaitu dasarnya adalah mengutamakan kemakmuran masyarakat. Mengenai ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, adalah merupakan ketentuan yang mengilhami dan dorongan lahirnya Undang-Undang No.5 tahun 61
  • 62. 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No.4 tahun 1960/Prp, tentang Perairan Indonesia dan Undang-Undang tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda tahun 1958. Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Seminar, BPHN, 22-24 Mei 1995, Jakarta. Setelah kita melihat corak berpikir masyarakat Indonesia seperti apa yang diuraikan di atas, timbul suatu pertanyaan apakah corak demikian masih dikenal dalam alam masyarakat Indonesia. Kalam melihat kehidupan pedesaan, setidaknya masyarakat yang belum heterogen, ciri corak kehidupan yang demikian masih dapat dilihat dengan jelas. Namun apabila melihat kehidupan masyarakat yang sudah heterogen, seperti adanya dampak dari pembangunan disektor industri, akibat sosialisasi dan lain sebagainya, corak kehidupan komuun, kolektif, gotong royong, kekeluargaan masih dapat dilihat? Untuk mengulas ini perlu hati-hati. Harus dilihat dulu asas-asas yang tercermin dalam corak-corak kehidupan tadi. Mungkin saja corak konkret seperti apa yang digambarkan di atas akan sulit ditemukan, tetapi apabila kita pahamkan dari sudut asasnya, maka dapat melihatnya dari kaca mata yang objektif. 62
  • 63. Yang mungkin terjadi sebagai akibat banyaknya intensitas interaksi antara satu sama lainnya, maka yang mungkin timbul adalah degradasi nilai. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor industrialisasi, perubahan struktur masyarakat dan lain sebagainya seperti apa yang diuraikan di atas. Sebagai adanya perubahan tadi, kepribadian komuun, kolektif dan gotong royong tidak hilang dengan individualisasi. Sifat-sifat itu tetap merupakan hal yang utama walaupun telah terjadi modernisasi. Sifat saling membantu, sifat gotong royong pada masyarakat perkotaan misalnya, walupun menampakan kehidupan yang heterogen dan telah terjadi proses individualisasi, wujud kebersamaannya tetap ada namun bentuknya terjadi pengalihan, seperti dalam bentuk kerja bayaran. Pekerjaan desa untuk kepala desa dibayar dengan uang, tetapi walaupun demikian belum ada suatu masyarakat dimana watak-watak tadi hilang sama sekali. Kalau dikaitkan dengan struktur masyarakat yang ada di Indonesia, individualisasi juga terjadi, seperti dalam masyarakat Minangkabau. Proses Individualisasi ini terjadi sebagai akibat sistem matriachat bergeser dan didesak oleh sistem kolektif atas dasar keluarga. Kehidupan kelurga menempatkan hubungan yang 63
  • 64. harmonis antara ayah dengan anak menunjukkan bergesernya kehidupan matriachat ke arah kehidupan keluarga yang dampak hukumnya juga berlainan. Begitu melalui yurisprudensi, banyak sekali putusan Mahkamah Agung yang membawa ke arah kesatuan, sehingga corak-corak dalam suatu struktur masyarakt dirubah dan disesuaikan dengan sistem negara kesatuan. Untuk mengantisipasi degradasi tadi, maka perlu dicarikan suatu wadah untuk menampung agar nilai-nilai yang baik tidaklah musnah. Kalau gotong royong dihubungkan dengan kerja sama dalam arti sosiologis, maka setidaknya ada 4 (empat) bentuk kerja sama, yaitu: 1. Kerja sama yang spontan atau serta merta (spontaneous cooperation) 2. Kerja sama sebagai hasil perintah atasan atau penguasa (directed cooperation) 3. Bentuk kerja sama atas dasar hukum (contractual cooperation) 4. Kerja sama sebagai unsur dari sistem sosial (traditional cooperation). Mengenai corak berpikir dalam masyarakat hukum adat, F.D. 64
  • 65. Holleman mengemukakan, bahwa corak berpikir masyarakat adat adalah mempunyai pola pemikiran magis religius particeperent cosmis, komunal, konkret, dan kontant. Apa yang dikemukakan oleh Holleman tersebut juga telah disinggung oleh van Vollenhoven dengan membandingkannya dengan sistem hukum Barat. Sistem hukum adat, lembaga-lembaga dan kaidah-kaidah hukumnya oleh van Vollenhoven digambarkan selalu dikaitkan dengan hal-hal diluar jangkauan manusia. Sedangkan lembaga dan kaidah hukum Barat digambarkannya asal saja menguntungkan, material dan indivual, maka sudah merupakan ciri-ciri lembaga hukum Barat. yang melihatnya dari sudut sosiologis antropologis dalam hubungannya B. Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional Pemikiran baru tentang hukum adat sangat berkembang, terutama dikalangan para pakar hukum. Pemikiran baru itu timbul sebagai akibat antara lain, baik karena perkembangan yang cepat dari hukum adat itu sendiri maupun perkembangan yang cukup cepat dalam bidang ilmu hukum itu sendiri. Setelah kemerdekaan, susul menyusul terjadi perkembangan-perkembangan di bidang politik, dan sosial masyarakat. Dalam pewrkembangan tersebut tidak jarang disertai kepincangan-kepincangan tentang nilai yang 65
  • 66. berlaku selama ini. Maka perlu adanya suatu penilaian baru terhadap hukum adat Penilaian baru tersebut dalam rangka tujuan untu segera terbentuknya suatu hukum nasional yang jelas, tegas yang tidak saja sesuai dengan rangka keadilan masyarakat, akan tetapi terutama dapat menciptakan kepastian hukum sebesar mungkin. (Bustanul Arifin, Hukum Adat; Seminar Hukum Nasional III,). Sebelum membahas konsepsi hukum adat dalam rangka pembinaan hukum nasional, terlebih dahulu akan dikembangkan beberapa rumusan hukum adat dari para pakar hukum. Secara singkat dari Djojodiguno, ialah sebagai hukum yang tidak bersumber pada peraturan. Djojodiguno, _Asas-Asas Hukum Adat,_ Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada Yogjakarta, 1964, hal.7, Rumusan seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional adalah sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana-sini mengandung unsur agama. Hukum adat adalah meru- pakan hukum yang tidak tertulis akan tetapi didukung oleh "rasa ketaatan" dan "kepatuhan" yang luar biasa dari masyarakat dimana 66
  • 67. hukum itu berlaku. Agar mendapat gambaran yang jelas tentang hukum adat, akan dikemukakan beberapa rumusan yang sedikit agak lengkap, yaitu: 1. R. Soepomo: Mengemukakan Hukum Adat adalah sebagai sinonim dari hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (Unstatutary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang dibuat oleh hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan hidup, baik dikota-kota maupun didesa-desa (Customary law). Dalam bukunya Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari. 2. R.M. Soeripto: Hukum adat adalah semua aliran-aliran (peraturan-peratu- ran) adat tingkah laku yang bersifat hukum disegala segi kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat yang bersifat hukum oleh karena ada kesadarn dan perasaan keadilan umum, bahwa aturan-aturan/peraturan- 67
  • 68. peraturan itu harus dipertahankan oleh para petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya pemaksa atau ancaman hukuman (sanksi). R.M. Soeripto, kum Adat dan Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, hal. 2 3. Surojo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersum- ber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku manusia dalamkehidupan sehari- hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni Bandung, 1973, hal.5. 4. Hardjito Notopuro: Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri-ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan Hardjito Notopuro, Tentang Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan Dalam Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional No.14 tahun 1969, hal.49. 68
  • 69. 5. Bushar Muhammad: Hukum adat itu terutama hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia, dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan yang benar-benar hidup di masyarakat, adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu), yaitu dalam keputusan lurah, Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala adat, Hakim. Bushar Muhammad, Penghulu Hukum Adat, Balai Buku Ichtiar Jakarta, 1961, hal.30. Beranjak dari beberapa rumusan tentang hukum adat, dapat dilihat adanya satu kesatuan pandangan mengenai pengertian dari hukum adat, hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Konsepsi tentang "the living law" untuk pertama kali dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dalam bukunya Grunlegung der sosiologie des rechts 1913. Sebagai reaksi terhadap pandangan pada ilmu hukum yang bersifat legalistis yang 69
  • 70. terlalu mengutamakan peraturan hukum yang termuat dalam peraturan perundangan dan terlalu mengabaikan tumbuhnya gejala- gejala hukum di masyarakat. Penggunaan istilah teh living law lazimnya dipergunakan untuk menunjukan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat. Hukum adat sebagai "the living law" merupakan pola hidup kemasyarakatan tanpa dimana hukum itu berproses dan sekaligus juga merupakan hasil dari pada proses kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar dari pada hukum tersebut. Tumbuhnya hukum secara langsung dari landasan pokoknya, yaitu kesadaran hukum masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat R. Soepomo, loc.cit. hal.5. Hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku Surojo Wignjodipuro, op.cit.hal.81. Hukum adat tidak hanya bersemboyan dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga negara Republik Indonesia 70
  • 71. disegala penjuru nusantara saja, tetapi tersebar luas seperti ke gugusan kepulauan Filipina dan Taiwan disebelah utara, di Pulau Madagaskar dan berbatas disebelah timur seperti di kepulauan Poska. Hukum adat sebagai hukum Indonesia mempunyai corak yang khas tersendiri, berbeda dengan sistem hukum yang dianut di negara barat. Sekalipun hukum adat bersifat tradisional yang berarti sangat terikat pada tradisi-tradisi lama yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Namun kita tidak boleh menarik kesimpulan secara tergesa- gesa bahwa hukum adat itu pantang berubah. Kelekatannya sedikit memang agak ironi, karena antara "tradisi dan perubahan" adalah merupakan dua kutub yang bertolak belakang. Sebab tradisi menghendaki kelangsungan secara apa adanya tanpa perubahan sedikitpun, sedangkan perubahan tidak menghendaki secara turuZ temurun dalam keadaan yang itu - itu juga, akan tetapi dalam setiap waktu segala-galanya perlu untuk berubah dan diperbaharui. Hukum adat disamping sifatnya yang "tradisionil" juga mempunyai corak "dapat berubah" dan "mempunyai kesanggupan untuk menyesuaikan diri"Van Dijk, _Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur Bandung, 1964, hal.12 atau menurut Djojodigoeno mempunyai sifat yag plastisch dan dinamik. Djojodiguno, 71
  • 72. _Menyandera Hukum Adat, Yayasan Ponds Universiteit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1950, hal.8 Hukum bersifat hidup, dinamis bilamana ia dapat mengikuti perkembangan masyarakat, pasti membutuhkan perubahan dasar-dasar hukum sepanjang jalannya sejarah. Hukum bersifat plastis bilamana dalam pelaksanaannya dapat diperhatikan hal-hal yang tersendiri. Perubahan dilakukan dengan cara menghapuskan dan mengganti peraturan itu dengan yang lain secara tiba-tiba tapi perubahanpun dapat terjadi oleh karena pengaruh kejadian, keadaan perikehidupan yang silih berganti, Sedang kesanggupannya untuk menyesuaikan diri oleh karena bentuknya hukum adat itu tidak tertulis dan tidak terkodifikasir, maka dengan sifat elastisitasnya yang luas sewaktu- waktu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Sifat-sifat hukum adat menurut Koesnoe, bahwa hukum adat itu berubah-ubah selaras dengan perkembangan masyarkat dan rakyat, karena sebagai pernyataan rasa keadilan dan kepatutan rakyat, perkembangan hukum adat sejalan dan secepat dengan perkembangan kehidupan rakyat dalam masyarakat. Hukum adat tumbuh dan berakar dari pada kenyataan- kenyataan hidup dalam masyarakat, karena proses pengkaidahannya 72
  • 73. tidak tergantung pada penguasaa masyarakat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri menurut Soepomo hukum adat terus-menerus dalam keadaantumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hal demikian seperti ditegaskan oleh Djojodigoeno dalam prasarannya pada seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional, bahwa pelaksanaannya hukum adat sama sekali tidak terikat oleh ugeran- ugeran (norma-norma) hukum yang ada. Sehingga jelas bahwa hukum bukan rangkaian ugeran (norma) melainkan prosese yang tidak ada henti-hentinya. Djojodiguno, _Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional,_ Prasaran Seminar Hukum Nasional di Surabaya, 1975. Demikian pula hal di atas sudah lama ditandaskan oleh Van Vollenhoven mengatakan:"adat recht een verschijusel is der almaar strom mende samenleving, met andare versc hijnselen in rustelaase wissel werking, van stuw is tegen stuw" (hukum itu adalah suatu gejala daripada pergaulan hidup yang selalu bergejolak, dalam keadaan dorong-mendorong dengan gejala-gejala lainnya, kesemua ini tak ada henti-hentinya dalam keadaan saling mempengaruhi). Pada bagian lain ia menggambarkan proses perkembangan hukum adat dengan menyatakan hukum adat itu "on wikkelt zich 73
  • 74. gestading", atau mengalami perkembangan terus-menerus. Hukum adat menurut pandangannya terdiri atas tiga bagian, yaitu "het of ster verde" (bagian yang sudah mulai ditinggalkan), "het heden daag seke" (bagian yang baru berbentuk). Van Vollenhoven, Miskeningen van Het Adatrecht, hal.60 Khusus mengenai perubahan dalam hukum adat, tertulis secara tegas dalam pepatah hukum (recht odajien) dari Minangkabau yang berbunyi : Sekali air gadang Sekali tapias beranjak Sekali raja berganti Sekali adat berubah Menurut lampiran A ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 paragraf 402 no.34 dan no.35 mengenai pembinaan hukum nasional kita antara lain menentukan, behwa pembangunan hukum nasional harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur. Kemudian di dalam Keppres R.I No.11 tahun 1974 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (REPELITA II), 1974/75-1978/79, lampiran bagian III Bab 27 hukum dinyatakan 74
  • 75. dengan jelas dan tegas dalam "Pendahuluannya", bahwa pembangunan bidang hukum dilaksanakan berlandaskan GBHN yang menegaskan : Pembangunan di bidang hukum dalam kegiatan hukum Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum negara yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia yang didapatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Sekali air meluap tempat pemandian bergeser, sekali raja berganti maka sekali pula adat berubah. Akan tetapi perubahan- perubahan dalam hukum adat tersebut katanya selalu terjadi secara tidak sadar (onbewist). Hukum adat berkembang terus, keputusan- keputusan adat menimbulkan hukum Van Vollenhoven, Jilid II, hal.389. Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak berbeda isinya dengan hukum adat pada waktu sekarang, karena hukum adat selalu menunjukkan perkembangan. Van Vollenhoven, Ibid hal.233 Jika dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat, padahal hukum itu sudah mati maka penetapan itu 75
  • 76. akan sia-sia belaka, sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa adat itu harus diganti pada hal desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakimpun akan sia-sia belaka. Dikutip dari Soediman Kartohadiprodjo, Hukum Nasional Beberapa Catatan, Binacipta Bandung, 1971, hal.8 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, cara berpikir seperti tersebut di atas ternyata terdapat dalam alam pikiran bangsa Indonesia (dalam hukum adat). Hal itu dibuktikannya melalui penelitian dalam pepatah Minangkabau : Sakali air gadang Sakali tapian beranjak (Sekali air besar sekali tapian berkisar) Walaupun baranjak dilapiak sa'alai juo (Walaupun berkisar masih (tetap) ditukar yang sama) Usang-usang diperbaharui lapuak dikajanji nan elok dipakai, nan baruak dibuang Ko sungkek menta diuleh, panjang minta dikareh nan numpang minta disisit Adat itu berubah mengikuti keadaan masyarakat. Perubahan itu bukan sembarang perubahan melainkan (harus) tetap ada hubungannya dengan (keadaan) yang lama. Agar hukum adat itu tetap muda maka harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan. (Alam pikiran 76
  • 77. hukum adat tidak menolak perubahan). Konsep yang diuraikan di atas hanya melihat hukum adat dari bentuk dan struktur semata, yaitu sebagai suatu hukum yang telah tertulis dengan berbagai macam sifatnya. Disamping itu juga hukum adat adalah merupakan jenis hukum tidak tertulis yang tertentu yang mempunyai dasar pemikiran yang spesifik yang secara prinsipil berbeda dari pada segala macam hukum tidak tertulis lainnya, menurut Soediman Kartohadiprodjo hukum adat bukan karena bentuknya tidak tertulis, melainkan hukum adat tersusun dengan dasar pikiran hukum adat tidak hanya terbatas dari segi strukturnya saja, akan tetapi harus dilihat secara keseluruhan. Diantara beberapa pemikiran tentang hukum adat dapat dikembangkan antara lain : 1. Moh. Koesnoe Sebagai guru besar di Universitas Katolik Hijmejar Belanda, memberikan kuliah tentang, Pengantar Hukum Adat Indonesia (introduction into Indonesia adat law). Beliau memberikan ceramah yang berjudul "musyawarah, een wijze van volkskesluitvorming volgens het adatrecht" (musyawarah, suatu cara dari pembentukan keputusan rakyat menurut 77