SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 9
Baixar para ler offline
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                 NOMOR 20 TAHUN 2001
                                      TENTANG
                   PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
                     TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

                            DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                                   PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan
   negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
   secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
   pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan
   memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara
   adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor
   31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk
   Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
   Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara R        epublik
   Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi,
   Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
   Lembaran Negara Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
   Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);

                                      Dengan persetujuan bersama

                       DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                           dan
                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN
1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

                                                   Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:

1.   Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum
     dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.

2.   Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya
     diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung
     menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum
     Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:


                                                   Pasal 5
     (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
         atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
         250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
         a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
              maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
              sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
         b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
              dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
              jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
    dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
    dimaksud dalam ayat (1).

                                             Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
    tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
    paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
    a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
         putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
    b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
         perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
         maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
         perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
    atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
    dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

                                                Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
    atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
    350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
    a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
        bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang
        dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
        perang;
    b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
        sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
    c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
        atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
        membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
    d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
        Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
        perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan
    barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
    membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c,
    dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

                                           Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.

                                            Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

                                               Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja:
  a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
      surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
      berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
  b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
      dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
  c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
      dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
     Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau
     pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
     250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
     menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
     diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
     menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

                                                  Pasal 12
     Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
     paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
     rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
     a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
          atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
          atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
     b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
          diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
          atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
     c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
          janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
          diadili;
     d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
          untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
          diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
          diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
     e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
          orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
          seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
          untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
     f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta,
          menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
          lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
          kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
          merupakan utang;
     g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
          menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
          padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
     h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
          menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
          peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa
          perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
     i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
          turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
          untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

3.   Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal
     12 C, yang berbunyi sebagai berikut:

                                                 Pasal 12 A
     (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal
         6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana
         korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
     (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
         sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
         dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

                                                   Pasal 12 B
     (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
         apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
         dengan ketentuan sebagai berikut:
         a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
              gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
         b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
              gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
     (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
         adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
          rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

                                                Pasal 12 C
     (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
         melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
     (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
         gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
         diterima.
     (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
         kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima
         atau milik negara.
     (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
         penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang
         tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4.   Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi
     sebagai berikut:

                                                  Pasal 26 A
     Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-
     undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
     dapat diperoleh dari :
     a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
         elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
     b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar
         yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
         benda fisik a papun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
         suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

5.   Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan
     sebagai berikut:
     a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada
         ayat (2) frasa yang berbunyi quot;keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
         baginyaquot; diubah menjadi quot;pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
         menyatakan bahwa dakwaan tidak terbuktiquot;, sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai
         berikut:
                                                 Pasal 37
         (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
              korupsi.
         (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
              maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
              bahwa dakwaan tidak terbukti.

     b.   Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan
          penyempurnaan kata quot;dapatquot; pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat
          (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2),
          dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:

                                                Pasal 37 A
          (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri
              atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
              hubungan dengan perkara yang didakwakan.
          (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
              penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana
              dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
              terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
          (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau
              perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
              Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
              Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut
              umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

6.   Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan
     Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

                                                  Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di
     sidang pengadilan.

                                                 Pasal 38 B
     (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
         31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal
         12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
         didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
     (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam
         ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh
         juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta
         benda tersebut dirampas untuk negara.
     (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut
         umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
     (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak
         pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat m        embacakan pembelaannya dalam perkara
         pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
     (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan
         terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
     (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara
         pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
         harus ditolak oleh hakim.

                                                Pasal 38 C
     Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat
     harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang
     belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka
     negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

7.   Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang
     berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga
     keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:

                                             BAB VI A
                                       KETENTUAN PERALIHAN

                                                Pasal 43 A
     (1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
         Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
         Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan
         ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan
         dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
         Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
     (2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
         Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
         Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya
         Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
     (3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan
         diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
         Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana
         korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.

8.   Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi
     sebagai berikut:
                                                Pasal 43 B
     Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415,
     Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab
     Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
     Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
     Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
     untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana
     (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana
     telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
     Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,
     dinyatakan tidak berlaku.
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                          Disahkan di Jakarta
                                                    pada tanggal 21 Nopember 2001
                                                  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                  ttd
                                                   MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO


               LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
PENJELASAN
                                        ATAS
                           UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                  NOMOR 20 TAHUN 2001
                                      TENTANG
                   PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
                     TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSII.

I.   UMUM
     Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
     (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
     Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang
     berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak
     pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal i i           n
     disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun
     1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang
     Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum
     untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31
     Tahun 1999.
     Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga
     tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
     masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan
     demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain
     penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
     Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam
     memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
     1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
     Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk,
     dirumuskan bahwa mengenai quot;petunjukquot; selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
     terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
     atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas
     pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
     teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
     dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
     tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
     berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
     makna.
     Ketentuan mengenai quot;pembuktian terbalikquot; perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31
     Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat quot;premium
     remidiumquot; dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
     dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
     Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan
     perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang
     Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
     Pasal 12 Undang-undang ini.
     Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta
     benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan
     memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut
     diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap
     terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya
     untuk mewakili negara.
     Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara
     dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta
     rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak
     pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
     Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam
     Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

II. PASAL DEMI PASAL
    Pasal I
    Angka 1
    Pasal 2 ayat (2)
    Yang dimaksud dengan quot;keadaan tertentuquot; dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan
    alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana
alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi
dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan quot;penyelenggara negaraquot; dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian quot;penyelenggara
negaraquot; tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan quot;advokatquot; adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf I
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 12 A
Cukup jelas
Pasal 12 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan quot;gratifikasiquot; dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 C
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 26 A
Huruf a
Yang dimaksud dengan quot;disimpan secara elektronikquot; misalnya data yang disimpan dalam mikro film,
Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
Yang dimaksud dengan quot;alat optik atau yang serupa dengan ituquot; dalam ayat ini tidak terbatas pada data
penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan
faksimili.
Huruf b
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 37
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa.
Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang
mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan
menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief
wettelijk).
Pasal 37 A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 38 A
Cukup jelas
Pasal 38 B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta
benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan
kepada hakim dengan pertimbangan prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena
dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti
terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.
Pasal 38 C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga
berasal dari tindak pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam
hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli
warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan
tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya
Undang-undang tersebut.
Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas


         TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4150

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
Perbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhap
Perbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhapPerbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhap
Perbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhapElanda Harviyata
 
Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019
Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019
Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019PengacaraBalikpapanY
 
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaAndy Susanto
 
Apa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKORApa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKORRatri nia
 
Pasal pasal
Pasal pasalPasal pasal
Pasal pasalumum
 
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaAndy Susanto
 
Kuhp bab-xii-pemalsuan-surat
Kuhp bab-xii-pemalsuan-suratKuhp bab-xii-pemalsuan-surat
Kuhp bab-xii-pemalsuan-suratKiki Nurhasanah
 
Presentasi seminar money laundering
Presentasi seminar money launderingPresentasi seminar money laundering
Presentasi seminar money launderingTri Pamungkas
 
Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...
Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...
Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...Dyana Anggraini
 

Mais procurados (14)

Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
 
Perbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhap
Perbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhapPerbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhap
Perbandingan antara uu korupsi dengan kuhp dan kuhap
 
Audit Investigatif Dengan Menganalisis Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Audit Investigatif Dengan Menganalisis Unsur Perbuatan Melawan HukumAudit Investigatif Dengan Menganalisis Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Audit Investigatif Dengan Menganalisis Unsur Perbuatan Melawan Hukum
 
Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019
Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019
Ruu kuhp Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana agustus 2019
 
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
 
Materi delik dalam kuhp
Materi delik dalam kuhpMateri delik dalam kuhp
Materi delik dalam kuhp
 
Apa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKORApa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKOR
 
Uu 02 1952
Uu 02 1952Uu 02 1952
Uu 02 1952
 
Pasal pasal
Pasal pasalPasal pasal
Pasal pasal
 
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
 
Kuhp bab-xii-pemalsuan-surat
Kuhp bab-xii-pemalsuan-suratKuhp bab-xii-pemalsuan-surat
Kuhp bab-xii-pemalsuan-surat
 
Uu 11 1980
Uu 11 1980Uu 11 1980
Uu 11 1980
 
Presentasi seminar money laundering
Presentasi seminar money launderingPresentasi seminar money laundering
Presentasi seminar money laundering
 
Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...
Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...
Hbl 6, dyana anggraini, hapzi ali, tindak pidana pencucian uang, universitas ...
 

Destaque (20)

Lo Romanos
Lo RomanosLo Romanos
Lo Romanos
 
Uu 38 2000
Uu 38 2000Uu 38 2000
Uu 38 2000
 
UU 14 - 2008 Keterbukaan Informasi Publik
UU 14 - 2008 Keterbukaan Informasi PublikUU 14 - 2008 Keterbukaan Informasi Publik
UU 14 - 2008 Keterbukaan Informasi Publik
 
Uu 07 2000
Uu 07 2000Uu 07 2000
Uu 07 2000
 
Uu 20 2000
Uu 20 2000Uu 20 2000
Uu 20 2000
 
Uu 27 2000
Uu 27 2000Uu 27 2000
Uu 27 2000
 
Uu 13 2000
Uu 13 2000Uu 13 2000
Uu 13 2000
 
Uu 31 2000
Uu 31 2000Uu 31 2000
Uu 31 2000
 
Uu 05 2000
Uu 05 2000Uu 05 2000
Uu 05 2000
 
Uu 28 2000
Uu 28 2000Uu 28 2000
Uu 28 2000
 
Uu 02 2001
Uu 02 2001Uu 02 2001
Uu 02 2001
 
Rspo International Declaration
Rspo International DeclarationRspo International Declaration
Rspo International Declaration
 
Uu 10 2001
Uu 10 2001Uu 10 2001
Uu 10 2001
 
Uu 23 2000 Pjls
Uu 23 2000 PjlsUu 23 2000 Pjls
Uu 23 2000 Pjls
 
Uu 18 2000
Uu 18 2000Uu 18 2000
Uu 18 2000
 
Uu 06 1982
Uu 06 1982Uu 06 1982
Uu 06 1982
 
Uu 30 2002
Uu 30 2002Uu 30 2002
Uu 30 2002
 
Uu 37 2000
Uu 37 2000Uu 37 2000
Uu 37 2000
 
Ruu Pplh 1 Sep.10.00 Wib B
Ruu Pplh 1 Sep.10.00 Wib BRuu Pplh 1 Sep.10.00 Wib B
Ruu Pplh 1 Sep.10.00 Wib B
 
Kode Etik Profesi Kepolisian Ri
Kode Etik Profesi Kepolisian RiKode Etik Profesi Kepolisian Ri
Kode Etik Profesi Kepolisian Ri
 

Semelhante a Uu 20 2001

Undang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsiUndang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsimapjmakassar
 
UU Nomor 20 Tahun 2001.pdf
UU Nomor 20 Tahun 2001.pdfUU Nomor 20 Tahun 2001.pdf
UU Nomor 20 Tahun 2001.pdfdeddy63
 
UU No 20 tahun 2001 ttg Pemberantasan Tipikor
UU No 20 tahun 2001  ttg Pemberantasan TipikorUU No 20 tahun 2001  ttg Pemberantasan Tipikor
UU No 20 tahun 2001 ttg Pemberantasan TipikorMas Kris
 
Uu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 ta
Uu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 taUu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 ta
Uu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 taIndonesia Anti Corruption Forum
 
UU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiUU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiKacung Abdullah
 
Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)
Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)
Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)intelnvidia277
 
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999Muhammad Sirajuddin
 
Bacaan antikorupsi gratifikasi ppih
Bacaan antikorupsi gratifikasi ppihBacaan antikorupsi gratifikasi ppih
Bacaan antikorupsi gratifikasi ppihrickygunawan84
 
PEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptx
PEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptxPEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptx
PEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptxPidsusKejariKabMalan
 
Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...
Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...
Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...Idik Saeful Bahri
 
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).pptGratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).pptssuser13b72c
 
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).pptGratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).pptDavidLumbanGaol2
 
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...Idik Saeful Bahri
 
Soal Adelin Lis Versi Riau
Soal Adelin Lis Versi RiauSoal Adelin Lis Versi Riau
Soal Adelin Lis Versi RiauPeople Power
 

Semelhante a Uu 20 2001 (20)

Undang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsiUndang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
 
UU Nomor 20 Tahun 2001.pdf
UU Nomor 20 Tahun 2001.pdfUU Nomor 20 Tahun 2001.pdf
UU Nomor 20 Tahun 2001.pdf
 
UU No 20 tahun 2001 ttg Pemberantasan Tipikor
UU No 20 tahun 2001  ttg Pemberantasan TipikorUU No 20 tahun 2001  ttg Pemberantasan Tipikor
UU No 20 tahun 2001 ttg Pemberantasan Tipikor
 
Uu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 ta
Uu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 taUu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 ta
Uu nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu nomor 31 ta
 
UU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiUU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU RI No. 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 
Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)
Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)
Uu no. 31 th. 1999 (pemberantas korupsi)
 
Uu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi
Uu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsiUu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi
Uu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi
 
uu311999.pdf
uu311999.pdfuu311999.pdf
uu311999.pdf
 
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
 
Anti korupsi ta
Anti korupsi taAnti korupsi ta
Anti korupsi ta
 
Bacaan antikorupsi gratifikasi ppih
Bacaan antikorupsi gratifikasi ppihBacaan antikorupsi gratifikasi ppih
Bacaan antikorupsi gratifikasi ppih
 
PEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptx
PEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptxPEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptx
PEMAHAMAN TINDAK PIDANA KORUPSI.pptx
 
Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...
Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...
Pendidikan anti korupsi - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful B...
 
Gratifikasi
GratifikasiGratifikasi
Gratifikasi
 
Kapita selekta
Kapita selektaKapita selekta
Kapita selekta
 
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).pptGratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
 
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).pptGratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
Gratifikasi_dan_Anti_Korupsi_(Tim_Penyuluh_31_Mei_2021).ppt
 
Uu perdaganngan orang
Uu perdaganngan orangUu perdaganngan orang
Uu perdaganngan orang
 
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...
Hukum pidana khusus - Tindak pidana ekonomi: tindak pidana perbankan (Idik Sa...
 
Soal Adelin Lis Versi Riau
Soal Adelin Lis Versi RiauSoal Adelin Lis Versi Riau
Soal Adelin Lis Versi Riau
 

Mais de People Power

Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019People Power
 
sahabat walhi riau by Tya
sahabat walhi riau by Tyasahabat walhi riau by Tya
sahabat walhi riau by TyaPeople Power
 
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kamparKronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kamparPeople Power
 
Kronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam seninKronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam seninPeople Power
 
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadi
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadiLangkah langkah pemetaan pengingat pribadi
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadiPeople Power
 
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013People Power
 
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013People Power
 
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...People Power
 
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012People Power
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...People Power
 
090112 konflik pulau padang potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
090112 konflik pulau padang  potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...090112 konflik pulau padang  potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
090112 konflik pulau padang potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...People Power
 
Pengelolaan Lansekap di Pulau Padang
Pengelolaan Lansekap di Pulau PadangPengelolaan Lansekap di Pulau Padang
Pengelolaan Lansekap di Pulau PadangPeople Power
 
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.People Power
 
Surat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASISurat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASIPeople Power
 
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASISurat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASIPeople Power
 

Mais de People Power (20)

Strategi advokasi
Strategi advokasiStrategi advokasi
Strategi advokasi
 
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
 
sahabat walhi riau by Tya
sahabat walhi riau by Tyasahabat walhi riau by Tya
sahabat walhi riau by Tya
 
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kamparKronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
 
Kronologis 1
Kronologis 1Kronologis 1
Kronologis 1
 
Kronologis 2
Kronologis 2Kronologis 2
Kronologis 2
 
Kronologis 4
Kronologis 4Kronologis 4
Kronologis 4
 
Kronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam seninKronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam senin
 
Kronologis 3
Kronologis 3Kronologis 3
Kronologis 3
 
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadi
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadiLangkah langkah pemetaan pengingat pribadi
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadi
 
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
 
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
 
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
 
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
 
090112 konflik pulau padang potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
090112 konflik pulau padang  potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...090112 konflik pulau padang  potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
090112 konflik pulau padang potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
 
Pengelolaan Lansekap di Pulau Padang
Pengelolaan Lansekap di Pulau PadangPengelolaan Lansekap di Pulau Padang
Pengelolaan Lansekap di Pulau Padang
 
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
 
Surat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASISurat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASI
 
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASISurat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
 

Uu 20 2001

  • 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa; b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara R epublik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); 3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851); 4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874); Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Pasal I Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut: 1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini. 2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
  • 2. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 6 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 7 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Pasal 10 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
  • 3. Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 A (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 12 B (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
  • 4. lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 12 C (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 A Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik a papun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi quot;keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginyaquot; diubah menjadi quot;pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbuktiquot;, sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut: Pasal 37 (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan kata quot;dapatquot; pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut: Pasal 37 A (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 38 A
  • 5. Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 38 B (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat m embacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim. Pasal 38 C Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. 7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: BAB VI A KETENTUAN PERALIHAN Pasal 43 A (1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini. 8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 B Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.
  • 6. Pasal II Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 21 Nopember 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Nopember 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, ttd Edy Sudibyo
  • 7. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSII. I. UMUM Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal i i n disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai quot;petunjukquot; selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan mengenai quot;pembuktian terbalikquot; perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat quot;premium remidiumquot; dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini. Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 ayat (2) Yang dimaksud dengan quot;keadaan tertentuquot; dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut
  • 8. dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Angka 2 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan quot;penyelenggara negaraquot; dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian quot;penyelenggara negaraquot; tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan quot;advokatquot; adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Huruf I Cukup jelas Angka 3 Pasal 12 A Cukup jelas Pasal 12 B Ayat (1) Yang dimaksud dengan quot;gratifikasiquot; dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 C Cukup jelas Angka 4 Pasal 26 A Huruf a Yang dimaksud dengan quot;disimpan secara elektronikquot; misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan quot;alat optik atau yang serupa dengan ituquot; dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Huruf b
  • 9. Cukup jelas Angka 5 Pasal 37 Ayat (1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination). Ayat (2) Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk). Pasal 37 A Cukup jelas Angka 6 Pasal 38 A Cukup jelas Pasal 38 B Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok. Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa. Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut. Pasal 38 C Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang tersebut. Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4150