Mais conteúdo relacionado Semelhante a [MANTAP] SLIDE MATERI INTERNA-1 BATCH 3 2018.pdf (20) [MANTAP] SLIDE MATERI INTERNA-1 BATCH 3 2018.pdf7. Pathophysiology of Glucose Counterregulation in Type 1 and Type 2 Diabetes.
Philip E. Cryer, and Belinda P. Childs Diabetes Spectr
2002;15:20-27
©2002 by American Diabetes Association
8. Diabetes Melitus
Suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia
karena kelainan pada
Kerja insulin di hati
(resistensi insulin,
peningkatan produksi
glukosa hepatik) dan di
jaringan perifer ( otot
dan lemak)
Sekresi insulin oleh sel
beta pankreas
Atau keduanya
©Bimbel UKDI MANTAP
10. ©Bimbel UKDI MANTAP
Destruksi sel islet B pankreas yang secara dominan disebabkan
oleh proses autoimun (90%) dan idiopatik (10%) → insulin (-) →
glukagon plasma meningkat, sel B pankreas gagal berespon
terhadap semua stimuli insulinogenik→butuh insulin eksogen
Diabetes Melitus Tipe 1
11. ©Bimbel UKDI MANTAP
Diabetes Melitus Tipe 2
RESISTENSI INSULIN PERIFER → sel beta
masih bs kompensasi → ↑sekresi
insulin→ hiperinsulinemia → sel beta
lelah→ insulin ↓ → hiperglikemi awal
(hny saat post prandial) → insulin makin
↓ → glukosa puasa ↑ (hepar memecah
glukosa) → hiperglikemi fase lanjut →
memperberat gangguan sekresi insulin →
GLUKOTOKSISITAS dan LIPOTOKSISITAS
(krn resistensi insulin jg ↑lipolisis )→
↑FFA→ gangguan uptake glukosa ↑,
gangguan sekresi insulin↑)
12. Faktor Risiko DM tipe 2
©Bimbel UKDI MANTAP
Faktor risiko yang
tidak bisa dimodifikasi
• Ras dan etnik
• Riwayat keluarga dengan
diabetes (anak
penyandang diabetes)
• Usia > 45 tahun
• Riwayat melahirkan bayi
dengan BB lahir bayi
>4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM
gestasional (DMG)
• Riwayat lahir dengan
berat badan rendah,
kurang dari 2,5 kg
Faktor risiko yang
bisa dimodifikasi
• Berat badan lebih (IMT >
23 kg/m2)
• Kurangnya aktivitas fisik
• Hipertensi (> 140/90
mmHg)
• Dislipidemia (HDL < 35
mg/dL dan atau TG > 250
mg/dL)
• Diet dengan tinggi gula
dan rendah serat
Faktor lain yang terkait
dengan risiko diabetes
• Penderita Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS)
atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan
resistensi insulin
• Penderita sindrom
metabolik memiliki
riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
sebelumnya
• Memiliki riwayat
penyakit kardiovaskular,
seperti stroke, PJK, atau
PAD (Peripheral Arterial
Diseases)
13. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada
mereka yang mempunyai risiko DM namun
tidak menunjukkan adanya gejala DM
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun.
Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa
faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan setiap 3 tahun.
©Bimbel UKDI MANTAP
Skrining DM
1. [IMT] ≥23 kg/m2 disertai satu atau lebih faktor risiko :
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan
BBL >4 kg atau mempunyai riwayat DM gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi
untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor resiko tersebut di atas
14. What is prediabetic?
Prediabetes
Kondisi dimana
kadar gula darah
terlalu tinggi untuk
dianggap normal,
tetapi tidak cukup
tinggi untuk
dilabelkan sebagai
diabetes.
GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)
Glukosa plasma
puasa didapatkan
antara 100 – 125
mg/dL (5,6 – 6,9
mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO
gula darah 2 jam <
140 mg/dL.
TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
Pemeriksaan TTGO
didapatkan
glukosa plasma 2
jam setelah beban
antara 140 – 199
mg/dL (7,8-11,0
mmol/L)
HbA1C
A1C 5,7 – 6,4 %
©Bimbel UKDI MANTAP
Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM tipe II di Indonesia. 2011
15. Perkeni 2011
Perkeni 2015 &
ADA 2016
1. A1C ≥ 6,5%
Atau
1. Gejala klasik DM +
glukosa plasma sewaktu ≥
200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Atau
2. Gejala klasik DM +
glukosa plasma sewaktu ≥
200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Atau
2. Gejala klasik DM +
Glukosa plasma puasa ≥
126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Atau
3. Glukosa plasma puasa ≥
126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Atau
3. Glukosa plasma 2 jam
pada TTGO ≥ 200 mg/dL
(11,1 mmol/L)
4. Glukosa plasma 2 jam
pada TTGO ≥ 200 mg/dL
(11,1 mmol/L)
Diagnosis DM
Gejala lain: lemas, kesemutan,
luka sulit sembuh, gatal, mata
kabur, disfungsi ereksi, pruritus
vulva
Gejala khas DM: poliuri, polidipsi,
polifagi, dan ↓BB tanpa sebab
jelas
Bahan: darah plasma vena
(DIANJURKAN), whole blood
vena/kapiler (kriteria diagnostik
berbeda sesuai pembakuan WHO)
©Bimbel UKDI MANTAP
NB: Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam
16. • 3 hari sebelum pemeriksaan tetap
makan seperti kebiasaan sehari-hari dan
tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa
• Berpuasa minimal 8 jam (mulai malam
hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula boleh
• Diperiksa konsentrasi gula darah puasa
• Diberikan glukosa 75 gram (orang
dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak) dilarutkan dalam air 250 ml dan
diminum dalam waktu 5 menit
• Berpuasa kembali sampai pengambilan
sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
• Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah
beban glukosa
• Selama proses pemeriksaan subyek yang
diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO)
©Bimbel UKDI MANTAP
17. Prinsip Dasar Terapi Diabetes Mellitus
3
2
PELATIHAN
JASMANI
INTERVENSI FARMAKOLOGIS
4
1
EDUKASI
SMBG
5
TERAPI GIZI MEDIS
18. Kebutuhan Kalori
©Bimbel UKDI MANTAP
Perhitungan berat badan
Ideal (BBI) dengan rumus
Brocca yang dimodifikasi :
• Berat badan ideal (BBI) =
90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg
• Bagi pria dengan TB di bawah 160
cm dan wanita dibawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) =
(TB dalam cm - 100) x 1 kg
BB Normal :
BB ideal ± 10
%
Kurus : < BBI -
10 %
Gemuk : > BBI
+ 10 %
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori
• Jenis Kelamin
• Wanita sebesar 25 kal/kgBB
• Pria sebesar 30 kal/kgBB
• Umur
• Dikurangi 5% usia 40-59 tahun,
• Dikurangi 10% usia 60 -69 tahun
• Dikurangi 20% usia > 70 tahun.
• Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
• + 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
kedaaan istirahat,
• + 20% aktivitas ringan,
• + 30% aktivitas sedang,
• + 40% aktivitas berat
• + 50% aktivitas sangat berat.
• Stress metabolik
• + 10-30% tergantung berat stress metabolik
(sepsis, operasi, trauma)
• Berat Badan
• Kegemukan dikurangi sekitar 20-30%
• Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
• Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah
kalori yang diberikan paling sedikit
• 1000-1200 kkal perhari untuk wanita
• 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
Total kalori dibagi dalam 3 porsi besar untuk
makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di
antaranya
19. ©Bimbel UKDI MANTAP
3
PELATIHAN
JASMANI
Frekuensi: jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan secara
teratur 3-5 kali per minggu
Intensitas: ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)
Durasi: 30-60 menit
Jenis: latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan
bersepeda.
CONTINOUS, latihan yang dilakukan
harus terns-menerus
(berkelanjutan) selama 50-60 menit
tanpa berhenti.
RHYTHMICAL, latihan dilakukan
secara berirama dan teratur, tidak
asal-asalan.
INTERVAL, latihan yang dilakukan
sebaiknya dilaksanakan secara
berselang-seling, kadang cepat,
tetapi kadang juga lambat tetapi
tanpa berhenti. Misalnya jalan
cepat, kadang berlari, kemudian
jalan cepat lagi.
PROGRESSIVE, Arti dari tahap ini
adalah latihan dilakukan secara
bertahap dengan beban latihan
ditingkatkan secara perlahan-lahan.
ENDURANCE, merupakan latihan
ketahanan, untuk meningkatkan
kesegaran jantung dan pembuluh
darah penderita.
Untuk meningkatkan
uptake glukosa di perifer
20. ©Bimbel UKDI MANTAP
INTERVENSI
FARMAKOLOGIS
DM TIPE 2
4
Cheng A, Fantus G. Can Med Assoc J 2005;172:213–26.. Barnett A. Int J Clin Pract 2006;60:1454–70. Pérez López G, et al. Nefrologia. 2010;30:618–25.
Liver
Muscle
Pancreas
Intestines
Circulatory System
Glucose↑
FFA↑
Metformin
TZD
FFA
release
GLP-1
agonist
Insulin
release
AGI
Glucose
absorption
Intestinal
lipase inhibitor
Carbohydrates
Fat
TZD
Metformin
Blocks
Promotes
DPP-4
inhibitor
Adipose
AGI: α-glucosidase inhibitors; DPP-4: dipeptidyl peptidase-4; FFA: free fatty acid; TZD: thiazolidinedione
SU
21. SULFONILUREA
• Stimulating a receptor on the surface ß
cells closing K+ channel and opening
Ca++ channel →insulin release ↑↑
©Bimbel UKDI MANTAP
Sulphonylurea
Efficacy Safety, Tolerability and Adherence
• HbA1c reduction of 1-2%
• FPG reduction of 40-70 mg/dl
• Associated with hypoglycaemia
and weight gain.
• Precaution : long acting SU
(elderly, hepar-renal insuffisient,
cardiovascular, malnutrisi)
• Long term use NOT
RECOMMENDED
22. Sulfonylurea Length of
action
Begins of
action
Daily dose
(mg)
Route of
excretion
Glibenclamide 16 – 24h 2 – 4h 1,25 – 15 R = 50%, B = 50%
Gliclazide 10 – 24h 2 – 4h 40 – 320 R = 70%, B = 30%
Glipizide 6 – 24h 2 – 4h 2,5 – 40 R = 80%, B =20%
Chlorpramide 24 – 72h 2 – 4h 100 – 500 Renal
Tolbutamide 6 – 10h 2 – 4h 100 – 1000 Renal
Glimepiride 24h 2 – 4h 1 - 6 R = 40%, B =60%
Gliquidon 18 - 24h 2 - 4h 30 - 120 R = 5%, B = 95%
©Bimbel UKDI MANTAP
Interaksi Obat
Meningkatkan Aksi SU
• Warfarin
• Sulfonamid
• Salisilat
• Fenilbutazon
• Propranolol
• Kloramfenikol
• Ketoconazol
Interaksi Obat
Menurunkan Aksi SU
• Diuretik
• Kortikosteroid
• Kontrasepsi Oral
• Fenitoin
• Fenobarbital
• Rifampisin
23. ©Bimbel UKDI MANTAP
Glinide
Efficacy* Safety, Tolerability and Adherence
• HbA1c reduction of 0.5-1.5%
• FPG reduction of 20-60 mg/dl
• PPG reduction of 75-100
mg/dl
• Associated with weight gain
• Associated with a much lower
incidence of hypoglycemia
• Taken just before or with meals,
and the stimulation of the
pancreas is limited only to a brief
time around meals
MEGLITINIDES
(GLINID)
24. ©Bimbel UKDI MANTAP
BIGUANIDE : Metformin
Mekanisme Obat
Mempunyai efek
utama mengurangi
produksi glukosa hati
(glukoneogenesis)
Memperbaiki
ambilan glukosa
perifer.
Memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.
Pilihan pertama pada
kebanyakan kasus DM tipe II
25. ©Bimbel UKDI MANTAP
Metformin
Efficacy* Safety, Tolerability and
Adherence
Contraindications Advantages
• HbA1c : 1-2%
• FPG reduction
of 40-70 mg/dl
• Associated with
diarrhea and
abdominal
discomfort
• Lactic acidosis if
improperly
prescribed
• Renal
insufficiency
• Liver failure
• Heart failure
• Severe
gastrointestinal
disease
• Do not cause
hypoglycaemia
when used as
mono-therapy
• Do not cause
weight gain;
may contribute
to weight loss
26. ©Bimbel UKDI MANTAP
TIAZOLIDINEDION
Tiazolidinedion (pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma
(PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi Insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidinedion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas III-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidinedion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala
27. ©Bimbel UKDI MANTAP
Thiazolidinediones
Efficacy* Safety, Tolerability and
Adherence
Contraindications Advantages
• HbA1c
reduction of
0.5-1.5%
• FPG reduction
of 20-55 mg/dl
• Associated with
weight gain and
edema
• Contraindicated
in patients with
abnormal liver
function
• Warnings
regarding risk of
fractures
• May exacerbate
or precipitate
congestive heart
failure
• Liver disease,
heart failure or
history of heart
disease
• Pregnancy and
breast feeding
• Reduced levels
of LDL-
cholesterol and
increased level
of HDL-
cholesterol
28. α-GLUCOSIDASE INHIBITOR : Acarbose
Act by
inhibiting
disaccharidas
es in the
small bowel
Delay
enzymatic
digestion of
complex
carbohydrate
→delay
absortion →
gradual flux
in of glucose
concetration
in portal
vessels
Reducing
postprandial
hyperglycemi
a (HbA1c:
0,5%)
Side effects:
Significant
carbohydrate
malabsorptio
n →
flatulence,
abdominal
bloating and
diarrhoea
Reduced the
starting dose
of 50 mg/day
and
maintenance
50-100 mg
each meal
Take each
dose with
the first bite
of each main
meal.
©Bimbel UKDI MANTAP
29. Carbohydrate
absorption
Duodenum Jejunum Ileum
Without acarbose
With acarbose
Jejunum
Ileum
Jejunum
Ileum
Without acarbose With acarbose
Carbohydrate
absorption
Carbohydrate
Acarbose delays carbohydrate absorption
©Bimbel UKDI MANTAP
Intestinal carbohydrate
absorption is retarded
by -glucosidase
inhibition
1. Lower pp blood glucose
increase
2. Carbohydrates come into
lower intestinal sections
and induce there the
release of the intestinal
hormone GLP-1
30. Slide 44
DPP- 4 inhibitors and GLP1 Agonist
Drucker DJ et al. Nature 2006;368:1696–705. Idris I, et al. Diabetes Obes Metab 2007;9:153–65. Barnett A. Int J Clin Pract 2006;60:1454–70. Gallwitz B, et
al. Diabetes Obes Metab 2010;12:1–11.
DPP-4: dipetidyl peptidase-4; GI: gastrointestinal; GIP:glucose-dependent insulinotropic polypeptide; GLP-1: glucagon-like peptide
Increases and prolongs
GLP-1 effect on α-cells
Increases and prolongs GLP-1
and GIP effects on β-cells
Food intake
Stomach
GI tract
Intestine
α-cells
Pancreas
Glucose-dependent
insulin secretion
β-cells
DPP-4
inhibitor
Glucose-dependent
glucagon secretion
Incretins
(GLP-1, GIP)
DPP-4
* GIP does not inhibit glucagon secretion by α-cells
Improve Incretin
Activity and Correct the
Insulin:Glucagon Ratio
Sitagliptin, Vildagliptin, Saxagliptin, Linagliptin (DPP IV-Inhibitor)
Exenatide, Liraglutide (GLP 1 Agonist )
31. Slide 45
DPP-4 inhibitors
DPP-4 inhibitors
Efficacy* Safety, Tolerability and Adherence
• HbA1c reduction of 0.5-
1%
• FPG reduction of 20
mg/dl
• PPG reduction of 45-55
mg/dl
• Generally well tolerated
• Low risk of hypoglycemia
• Not associated with weight gain
• Upper respiratory tract infection
has been reported in clinical
studies
• Most require only once daily
administration
Ahrèn B. Expert Opin Emerg Drugs 2008;13:593–607. Gallwitz B, et al. Diabetes Obes Metab 2010;12:1–11. Amori RE, et al. JAMA 2007;298:194–206.
Saxagliptin, FDA’s Endocrinologic and Metabolic Drugs Advisory Committee Briefing Document for April 2009 Meeting: NDA 22-350. Available at:
http://www.fda.gov/OHRMS/DOCKETS/ac/09/briefing/2009-4422b1-02-Bristol.pdf. (accessed Nov 2010). Aschner P, et al. Diabetes Care 2006;29:2632–7.
* Efficacy depends on existing blood glucose levels
32. ©Bimbel UKDI MANTAP
Renal Handling of Glucose:
Sodium Glucose Co-transporter-2 Inhibitor
Pada individu normal, glukosa akan
direabsorbsi pada tubulus proksimal
renal dengan bantuan SGLT-2
Kontraindikasi pada gagal ginjal
berat dan ketoasidosis diabetikum
Contoh obat: Canaglifozin,
Empaglifozin, Dapaglifozin,
Ipraglifozin
Mekanisme Aksi: Menghambat Sodium-Glucose Co-Transporter 2 pada
ginjal → reabsorbsi glukosa
33. ©Bimbel UKDI MANTAP
SGLT-2 Inhibitor
Efficacy* Side Effects Contraindications Advantages
• HbA1c : 0.7-0.8
%
• Urinary Tract
Infection
• Orthostatic
Hypotension
• Dehydration
(especially in
elderly)
• Fractures
(Canaglifozin)
• Diabetic
Ketoacidosis
• Renal
insufficiency
• Diabetic
Ketoacidosis
• Do not cause
hypoglycaemia
when used as
mono-therapy
or with
metformin
• Do not cause
weight gain;
may contribute
to weight loss
• May cause
decrease of
blood pressure
34. ©Bimbel UKDI MANTAP
Kelas Obat Mekanisme Aksi Efek Fisiologis Keuntungan Kerugian
Sulfonilurea
Penutupan kanal
kalium pada
membran sel β-
pankreas
↑ sekresi
insulin
- ↓ risiko
mikrovaskular
- Murah
- Hipoglikemia
- ↑ berat badan
- Lini pertama pada pasien non-obese
Meglitinides
(Glinid)
Penutupan kanal
kalium pada
membran sel β-
pankreas
↑ sekresi
insulin
- ↓ puncak GD2JPP
- Dosis fleksibel
- Hipoglikemia
- ↑ berat badan
Biguanides
Aktivasi AMP-
kinase
- ↓ produksi
glukosa hepar
- ↑ sensitivitas
insulin
- Risiko hioglikemia
minimal
- ↓ risiko
kardiovaskular
- Murah
- Efek samping GI (diare, nyeri perut)
- Defisiensi vitamin B12
- Kontraindikasi: CKD, asidosis, dehidrasi,
hipoksia
- Risiko asidosis laktat
- Lini pertama pada pasien obese
TZDs
Aktivasi nuclear
transcription
factor PPAR-γ
↑ sensitivitas
insulin
- Risiko hipoglikemia
minimal
- ↑ kolesterol HDL
- ↓ trigliserida
(pioglitazone)
- ↓ risiko
kardiovaskular
(pioglitazone)
- ↑ berat badan
- Retensi cairan
- Fraktur
- ↑ kolesterol LDL (rosiglitazone)
Kontraindikasi: edema, gagal jantung
ɑ-glucosidase
inhibitor
Menghambat
enzim ɑ-
glucosidase
intestinal
Menghabat
absorbs
karbohidrat
- Risio hipoglikemia
minimal
- ↓ puncak GD2JPP
- Nonsistemik
- Efikasi terhadap penurunan HbA1C
tidak terlalu menonjol
- Efek samping GI (diare, flatulensi)
35. ©Bimbel UKDI MANTAP
Kelas Obat Mekanisme Aksi Efek Fisiologis Keuntungan
Kerugian
DPP-4 inhibitor
Menghambat
aktivitas DPP-4 →
meningkatkan
konsentrasi
incretin (GLP-1)
- ↑ sekresi
insulin
- ↓ sekresi
glucagon
- Risiko hioglikemia
minimal
- Dapat ditoleransi
dengan baik
- Efek dermatologis terkait imun
(angioedema, urtikaria, dll)
- Pankreatitis akut (?)
GLP-1 receptor
agonist
Aktivasi reseptor
GLP-1
- ↑ sekresi
insulin
- ↓ sekresi
glucagon
- Menghambat
pengosongan
labung
- ↑ rasa cepat
kenyang
setelah makan
- Risiko hioglikemia
minimal
- ↓ berat badan
- ↓ puncak GD2JPP
- ↓ risiko
kardiovaskular
- Efek samping GI (mual, muntah, diare)
- ↑ heart rate
- Pakreatitis akut (?)
- Hiperplasi sel-C tiroid
- Sediaan injeksi sehingga membutuhkan
pelatihan
Insulin
Aktivasi reseptor
insulin
- ↑ ambilan
glukosa
- ↓ produksi
glukosa hepar
- Menghambat
ketogenesis
- Respon universal
- ↓ risiko
mikrovaskular
- Hipoglikemia
- ↑ berat badan
- Sediaan injeksi sehingga membutuhkan
pelatihan
SGLT-2 Inhibitor
Menghambat
Sodium-Glucose
Co-Transporter 2
pada ginjal
reabsorbsi
glukosa pada
ginjal
- Risiko
hipoglikemia
minimal
- Menurunkan
berat badan dan
tekanan darah
- Infeksi Saluran Kemih
- Hipotensi ortostatik
- Dehidrasi
- Fraktur
- KAD
36. Waktu Penggunaan OHO
©Bimbel UKDI MANTAP
• Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan
• Glinid : sebelum/sesaat sebelum makan
• Acarbose : bersama makan pada suapan pertama
• DPP IV inh : Sebelum /bersama makan
• Metformin : pada sebelum/saat/sesudah makan
• Tiazolidinedion : tidak bergantung pada jadwal makan
37. <7% 7-8% 8-9% >9% 9-10% >10%
Kadar HbA1c
GHS
Gaya Hidup Sehat
•Penurunan BB
•Mengatur diit
•Latihan Jasmani
teratur
GHS
+
Monoterapi
Met, SU, AGI,
Glinid, TZD,
DPP-IV inh
GHS
+
Kombinasi
2 obat
Met, SU, AGI,
Glinid, TZD,
DPP-IV inh
GHS
+
Kombinasi
3 obat
Met, SU, AGI,
Glinid, TZD,
DPP-IV inh
GHS
+
Kombinasi
2 obat
Met, SU,
AGI, Glinid,
TZD
+
Basal
Insulin
GHS
+
Insulin
Intensif
Catatan
1. Dinyatakan gagal bila dengan
terapi 2-3 bulan tidak mencapai
target HbA1c <7%
2. Bila tidak ada pemeriksaan
HbA1c dapat digunakan
pemeriksaan glukosa darah.
Rata-rata glukosa darah sehari
dikonversikan ke HbA1c menurut
kriteria ADA 2010
KONSENSUS PERKENI 2011
38. ©Bimbel UKDI MANTAP
MODIFIKASI GAYA HIDUP SEHAT
HbA1C < 7.5 %
Dalam 3 bulan
HbA1C > 7 %
Monoterapi* dengan salah
satu di bawah ini
• Metformin
• Agonis GLP-1
• Penghambat DPP-
IV
• Penghambat
glucosidase alfa
• Penghambat SGLT-
2**
• Tiazolidinidion
• Sulfonilurea
• Glinid
Jika HbA1C belum
mencapai sasaran
dalam 3 bulan,
tambahkan obat ke 2
(kombinasi 2 obat)
• Agonis GLP-1
• Penghambat
DPP-IV
• Tiazolidinidion
• Penghambat
SGLT-2**
• Insulin Basal
• SU/Glinid
• Kolesevelam**
• Bromokriptin-QR
• Penghambat
Glukosidase
Alfa
Kombinasi 2 obat* dengan
mekanisme kerja yang berbeda
Jika HbA1C belum
mencapai sasaran dalam 3
bulan, tambahkan obat ke 3
(kombinasi 3 obat)
Metformin
atau
obat
lini
pertama
yang
lain
• Agonis GLP-1
• Penghambat
DPP-IV
• Tiazolidinidion
• Penghambat
SGLT-2**
• Insulin Basal
• SU/Glinid
• Kolesevelam**
• Bromokriptin-
QR
• Penghambat
Glukosidase
Alfa
Jika HbA1C belum mencapai
sasaran dalam 3 bulan, mulai
terapi insulin atau intensifikasi
terapi insulin
Metformin
atau
obat
lini
pertama
yang
lain
Obat
lini
kedua
Kombinasi 3 obat
HbA1C ≥ 7.5 %
+ monoterapi
dalam 3 bulan
HbA1C > 7 %
HbA1C ≥ 9 %
Kombinasi 2 obat
Kombinasi 3 obat
Gejala (-) Gejala (+)
Insulin + Obat Lain
Tambahkan Insulin atau
Intensifikasi Insulin
Keterangan
*Obat yang terdaftar,
pemilihan dan
penggunaannya disarankan
mempertimbangkan faktor
keuntungan, kerugian, dan
kebersediaan sesuai tabel 11
** Penghambat SGLT-2,
kolesevelam belum tersedia di
Indonesia dan Bromokriptin
QR umumnya digunakan
pada terapi tumor hipofisis
KONSENSUS PERKENI 2015
39. INDIKASI INSULIN
Penurunan berat
badan yang cepat
Hiperglikemia berat
yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia
hiperosmolar
nonketotik
Hiperglikemia dengan
asidosis laktat
Gagal dengan
kombinasi OHO dosis
optimal
Stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar,
IMA, stroke)
Kehamilan dengan
DM/diabetes melitus
gestasional yang tidak
terkendali denagn
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal
dan hati yang berat
Kontraindikasi dan atau
alergi terhadap OHO.
©Bimbel UKDI MANTAP
Efek Samping
• Hipoglikemia
• Reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau
resistensi insulin
• Penambahan berat badan
• Hipokalemia
HbA1c > 10%
GDP > 250 mg/dl
GDS > 300 mg/dl
40. ©Bimbel UKDI MANTAP
Target : GD PP
Kerja Pendek :
30-45 menit
sebelum makan
Kerja Cepat :
5-15 menit
sebelum makan
Target :
GD Basal
Kerja Panjang :
1x malam
sebelum tidur
ATAU
2x malam dan pagi
43. ©Bimbel UKDI MANTAP
PERKENI
2011
PERKENI
2015
ADA
2016
IMT 18,5-<23 kg/m2 18,5-<23 kg/m2
GDP < 100 mg/dl 80-130 mg/dl 80-130 mg/dl
GD2JPP < 140 mg/dl < 180 mg/dl < 180 mg/dl
HbA1c < 7% < 7% < 7%
SBP ≤ 130 mmHg < 140 mmHg
DBP ≤ 80 mmHg < 90 mmHg
LDL < 100 mg/dl
(< 70 mg/dl bila
dengan resiko KV)
< 100 mg/dl
(< 70 mg/dl bila
dengan resiko KV)
HDL L : >40, P : > 50
TG <150
KRITERIA PENGENDALIAN DM
44. Komplikasi
DM
•Ketoasidosis diabetik
•Hiperosmolar non ketotik
•Hipoglikemia
Akut:
•Makroangiopati: Pembuluh koroner, vaskular perifer, vaskular otak
•Mikroangiopati: kapiler retina, kapiler renal, Neuropati
•Cardiomyopathy (DCM-diabetic cardiomyopathy) Lipotoxicity, glucose toxicity, ROS
•Rentan infeksi (immunocompromised)
•Disfungsi Ereksi hiperglikemia berefek langsung menurunkan produksi NO & meningkatkan
mediator vasokonstriksi
•Diabetic foot: makro (vaskular perifer) + mikro (longstanding peripheral neuropathy)
Kronik:
©Bimbel UKDI MANTAP
KOMPLIKASI KRONIK DM
Diabetic
retinopathy
Mikrovaskuler
Diabetic
Nephropathy
Mikrovaskuler
Cardiovascular
disease
Makrovaskuler
Stroke
Makrovaskuler
Diabetic
neuropati
Mikrovaskuler
Diabetic Foot
Kombinasi
Vaskulopati dan
neuropati
45. • Keadaan dimana kadar
glukosa darah < 70 mg/dl
Trias whipple untuk
hipoglikemia secara umum:
• 1. Gejala yang konsisten
dengan hipoglikemia
• 2. Kadar glukosa plasma
rendah
• 3. Gejala mereda setelah
kadar glukosa plasma
meningkat.
Klasifikasi klinis Manifestasi
Ringan Simtomatis, bs diatasi
sendiri, gang aktivitas -
Sedang Simtomatis, bs diatasi
sendiri, gang aktivitas +
Berat Sering asimtomatik, tdk
bs mengatasi sendiri.
Variasi:
-Butuh org lain tp tdk
perlu tx parenteral
-Perlu tx parenteral
-Disertai koma atau
kejang
©Bimbel UKDI MANTAP
HIPOGLIKEMIA
46. ©Bimbel UKDI MANTAP
ETIOLOGI
• Kelebihan dosis obat,
terutama insulin atau obat
hipoglikemia oral yaitu
sulfonilurea.
• Asupan makan tidak
adekuat jumlah kalori
atau waktu makan tidak
tepat.
• Kegiatan jasmani
berlebihan.
GEJALA KLINIS
• Rasa gemetar
• Perasaan lapar
• Pusing
• Keringat dingin
• Jantung berdebar
• Gelisah
• Penurunan kesadaran
bahkan sampai koma
dengan atau tanpa kejang
47. TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA
(PPK Puskesmas KMK/514/2015)
TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA
(EIMED PAPDI 2009)
1. Berikan larutan dekstrose 40% sebanyak
2 flakon (=50 mL) bolus intra vena.
2. Berikan cairan dekstrose 10 % per infus 6
jam perkolf.
Periksa GDS setiap satu jam
GDS < 50 mg/dL → bolus D 40% 50 mL IV.
GDS <100 mg/dL → bolus D 40% 25 mL IV.
GDS 100–200 mg /dL → tanpa bolus D 40%.
GDS > 200 mg/dL → pertimbangan
menurunkan kecepatan drip D 10%.
•Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali
berturut–turut, pemantauan GDS setiap 2
jam, dengan protokol sesuai diatas, bila GDs
>200 mg/dL pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %.
•Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali
berturut-turut, protokol hipoglikemi
dihentikan.
©Bimbel UKDI MANTAP
50. Kriteria Diagnosis
Glukosa darah
>250 mg/dl
pH arteri <7.3
HCO3 <15 mEq/L
(rendah)
Ketosis (Ketonuria,
Ketonemia)
↑ anion gap
Gejala Klinis
Napas Kussmaul, dehidrasi, syok,
napas bau aseton
Bila pasien koma, pikirkan sebab
lain (uremia, trauma, alkohol)
Pencetus: infeksi, AMI, stroke, pankreatitis akut, steroid,
menghentikan atau ↓dosis insulin
Trias: hiperglikemia, asidosis, ketosis
©Bimbel UKDI MANTAP
DIABETIK KETOASIDOSIS
51. Trias: hiperglikemia, hiperosmolar,
dehidrasi
KRITERIA DIAGNOSIS (ADA)
• Glukosa darah >600 mg/dl
• Osmolaritas serum efektif ≥320
mOSm/kg
• Dehidrasi hingga (8-12) L dengan
peningkatan BUN
• pH arteri ≥7.3
• HCO3 ≥15 mEq/L
• Ketonuria minimal, ketonemia (-)
• Gangguan kesadaran
©Bimbel UKDI MANTAP
HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE (HHS)
52. ©Bimbel UKDI MANTAP
Low-dose insulin infusion protocols decrease plasma glucose concentration at a rate of 50–75
mg · dl−1 · h−1. If plasma glucose does not decrease by 50–75 mg from the initial value in the
first hour, the insulin infusion should be increased every hour until a steady glucose decline is
achieved
53. ©Bimbel UKDI MANTAP
DIABETIK NEFROPATI
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan
kadar albumin >30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari
3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan,
tanpa penyebab albuminuria lainnya.
PERKENI 2011
Urin 24 jam
(mg/24 jam)
Urin dlm waktu tertentu
(µg/menit)
Urin sewaktu
(µg/mg kreatinin)
Normal < 30 < 20 < 30
Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299
Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300
PERKENI 2015
Klasifikasi nefropati diabetik tidak lagi menggunakan istilah ‘mikroalbuminuria’ dan
makroalbuminuria’ tetapi albuminuria saja. Nefropati diabetik dibagi atas albuminuria
persisten pada level 30-299mg/24 jam dan albuminuria persisten pada level ≥300mg/24 jam.
Penapisan dilakukan:
• Segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
• Jika albuminuria <30 mg/24 jam dilakukan evaluasi
ulang setiap tahun.
54. ©Bimbel UKDI MANTAP
▪ Optimalisasi kontrol glukosa untuk
mengurangi resiko ataupun menurunkan
progresi nefropati.
▪ Optimalisasi kontrol hipertensi untuk
mengurangi resiko ataupun menurunkan
progresi nefropati.
▪ Pengurangan diet protein pada diet pasien
diabetes dengan penyakit ginjal kronik tidak
direkomendasikan karena tidak mengubah
kadar glikemik, resiko kejadian
kardiovaskuler, atau penurunan GFR.
▪ Terapi dengan penghambat ACE atau obat
penyekat reseptor angiotensin II tidak
diperlukan untuk pencegahan primer.
▪ Terapi Penghambat ACE atau Penyekat
Reseptor Angiotensin II diberikan pada
pasien tanpa kehamilan dengan
albuminuria sedang (30-299 mg/24 jam)
dan albuminuria berat (>300 mg/24 jam).
▪ Perlu dilakukan monitoring terhadap
kadar serum kreatinin dan kalium
serum pada pemberian penghambat
ACE, penyekat reseptor angiotensin II,
atau diuretik lain.
▪ Diuretik, Penyekat Kanal Kalsium, dan
Penghambat Beta dapat diberikan
sebagai terapi tambahan ataupun
pengganti pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi penghambat ACE dan
Penyekat Reseptor Angiotensin II.
▪ Apabila serum kreatinin ≥2,0 mg/dL
sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan.
▪ Pertimbangkan konsultasi ke ahli
nefrologi apabila kesulitan dalam
menentukan etiologi, manajemen
penyakit, ataupun gagal ginjal stadium
lanjut.
TATALAKSANA DIABETIK NEFROPATI
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Perkeni. 2015
55. • Kelainan tungkai kaki
bawah akibat diabetes
melitus yang tidak
terkontrol.
• Kaki diabetes dapat
disebabkan oleh:
✓ gangguan pembuluh
darah
(makroangiopati)
✓ gangguan
persarafan
(neuropati)
✓ infeksi
©Bimbel UKDI MANTAP
KAKI DIABETIK
57. ©Bimbel UKDI MANTAP
Bila terdapat gejala klaudikasio atau melemahnya
nadi dorsalis pedis → Pemeriksaan Ankle
Brachial Index (ABI)
58. Management
of Foot Ulcers
Metabolic
Control
Infection
Control
Vascular
Control
Mechanic
Control
Education
control
Wound
Control
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkeni. 2015
1
2
3
4
5
©Bimbel UKDI MANTAP
6
Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi
dan nekrosis secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk
kontrol infeksi, dengan konsep TIME:
o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
o Moisture Balance (menjaga kelembaban)
o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan
metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa
darah, lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.
Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda
klinis infeksi harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif
(adanya kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap
namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi).
Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vaskular
(dengan operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada
keadaan ulkus iskemik.
Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada
kaki, karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus,
sehingga harus dihindari. Mengurangi tekanan merupakan hal
sangat penting dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan
kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan
untuk mengurangi tekanan.
Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik.
Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan edukasi
mengenai perawatan kaki secara mandiri.
59. kelainan metabolisme lipid yg ditandai dgn ↑kolesterol
total, LDL, TG, serta ↓HDL
DISLIPIDEMIA
Dislipidemia primer:
kelainan genetik→ dislipid moderat
ec hiperkolesterolemia poligenik
dan dislipidemia kombinasi familial
Dislipidemia sekunder:
disebabkan penyakit lain seperti
DM, hipotiroidisme, peny hati
obstruktif, SN, obat (progestin,
steroid anabolik, kortikosteroid,
beta blocker) ©Bimbel UKDI MANTAP
60. Pemeriksaan
1. skrining: dewasa >20 tahun
2. Cara: kol total, LDL, HDL tdk perlu
puasa. TG harus puasa 12-16 jam.
Kadar LDL dpt dihitung dengan
rumus Friedewald
Rumus ini hny berlaku bila kadar TG
<400 mg/dl
LDL-C =
Total Cholesterol – (HDL-C +
TG/5)
ATP III CLASSIFICATION
LDL Cholesterol – Primary Target of Therapy
< 100 Optimal
100-129 Near optimal/above optimal
130-159 Borderline high
160-189 High
≥190 Very high
Total Cholesterol
<200 Desirable
200-239 Borderline high
≥240 High
HDL Cholesterol
<40 Low
≥60 High
Triglycerides
<150 Normal
150-199 Borderline high
200-499 High
≥500 Very high
©Bimbel UKDI MANTAP
64. Lifestyle Interventions aimed to:
Lower LDL-C Increase HDL-C Lower TG
Reduce dietary saturated fat
Increase dietary fiber
Reduce total amount of dietary carbohydrate
Reduce alcohol intake
Increase habitual physical activity
Reduce excessive body weight
Quit smoking
Reiner Z, et al. EHJ;2011:32:1769-1818
Lifestyle Intervention
65. Dr.Sarma@works
Dr.Sarma@works
1. Reduce hepatic cholesterol synthesis (HMG CoA),
2. lowering intracellular cholesterol,
3. Upregulation of LDL receptor → ↑ removal apo E-B containing lipoprot. from the liver
4. ↑ the uptake of non-HDL from circulation.
LDL receptor–mediated
hepatic uptake of LDL
and VLDL remnants
Serum VLDL remnants
Serum LDL-C
Cholesterol
synthesis
LDL receptor
(B–E receptor)
synthesis
Intracellular
Cholesterol
Apo B
Apo E
Apo B
Systemic Circulation
Hepatocyte
LDL
Serum IDL
VLDLR
VLDL
HMGCoA
HMG-CoA (3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A) reductase inhibitors
STATIN – MECHANISM OF ACTION
66. High-Intensity Statin
Therapy
Moderate-Intensity Stain
Therapy
Low-Intensity Statin
Therapy
LDL–C ↓ ≥50% ; ↓ TG LDL–C ↓ 30% to <50% LDL–C ↓ <30%
Atorvastatin (40†)–80 mg
Rosuvastatin 20 (40) mg
Atorvastatin 10 (20) mg
Rosuvastatin (5) 10 mg
Simvastatin 20–40 mg‡
Pravastatin 40 (80) mg
Lovastatin 40 mg
Fluvastatin XL 80 mg
Fluvastatin 40 mg bid
Pitavastatin 2–4 mg
Simvastatin 10 mg
Pravastatin 10–20 mg
Lovastatin 20 mg
Fluvastatin 20–40 mg
Pitavastatin 1 mg
Stone NJ, et al. J Am Coll Cardiol. 2013: doi:10.1016/j.jacc.2013.11.002. Available at:
http://content.onlinejacc.org/article.aspx?articleid=1770217. Accessed November 13, 2013.
Lifestyle modification remains a critical component of ASCVD risk reduction, both prior to and in concert with the use of cholesterol
lowering drug therapies.
Statins/doses that were not tested in randomized controlled trials (RCTs) reviewed are listed in italics
†Evidence from 1 RCT only: down-titration if unable to tolerate atorvastatin 80 mg in IDEAL
‡Initiation of or titration to simvastatin 80 mg not recommended by the FDA due to the increased risk of myopathy, including rhabdomyolysis.
Intensity of Statin Therapy
67. Current Overview of Statin-Induced
Muscle Side Effects
Pasternak Use and Safety of Statins. J AM Coll Cardiol 2002;40:567-72.
Classification of Muscle Adverse Events with Statins
Condition Definitions (ACC/AHA NHLBI)
Myopathy
Myalgia
Myositis
(may also be
called Myopathy)
Rhabdomyolysis
Disease of the muscles, which may be acquired or inherited
• Muscle ache or weakness without increases in creatine kinase levels
• Common complaint is muscle aches or joint pain
• Incidence of complaints is generally reported as about 5% with statins
• Some patients have mild-to-moderate elevations of CK without muscle
complaints
• Muscle aches, soreness or weakness and associated with elevated
creatine kinase levels, generally < 10 x ULN
• Incidence - rare with statins
• Most likely to occur in persons who have complex medical problems and/or
who are taking multiple medications
• Muscle symptoms with marked CK elevations (typically substantially
greater than 10 x ULN) and with creatinine elevation (usually with brown
urine and urinary myoglobin)
• Incidence - very rare
• Without clinical intervention, rhabdomyolysis can be life-threatening
68. ➢ Common side effects
➢ Headache, Myalgia,
Fatigue, GI intol. Flu-
like symptoms
➢ Myopathy occurs in 0.2 to
0.4% of patients
• Rare cases of
Rhabdomyolysis
• Who uses statins in
impaired renal
function
• combining statins with
fibrates
➢ Muscle toxicity requires the
discontinuation of statin
➢Increase in liver enzymes – serious
problems are very rare → Occurs in 0.5
to 2.5% of cases in dose-dependent
manner
69. CHOLESTEROL ABSORPTION INHIBITOR –
MECHANISM OF ACTION
Ezetimibe selectively inhibits absorption of cholesterol at the brush
border membrane in the intestinal lumen.
©Bimbel UKDI MANTAP
Dietary cholesterol
Production in liver Absorption from intestine
Bloodstream
LDL-C
VLDL
Cholesterol
synthesis
Biliary cholesterol
Chylomicrons
Fecal sterols and neutral sterols
70. Gall Bladder
LDL Receptors
VLDL and LDL removal
Cholesterol 7- hydroxylase
Conversion of cholesterol to BA
BA Secretion
Liver
BA Excretion
Terminal Ileum
Bile Acid
Enterohepatic Circulation
Reabsorption of
bile acids
LDL-C
BA=Bile acid, LDL-C=Low density lipoprotein cholesterol,
VLDL=Very low density lipoprotein
BILE ACID SEQUESTRANT – MECHANISM OF ACTION
Efek samping: rasa kembung,
flatulensi, konstipasi, menghambat
absorbsi vit K
72. ©Bimbel UKDI MANTAP
NICOTINIC ACID MECHANISM OF ACTION
Decreased hepatic production of VLDL and uptake of apolipoprotein A-1 results in
reduced LDL cholesterol levels and increased HDL cholesterol levels
HDL
Serum VLDL
results in reduced
lipolysis to LDL
Serum LDL
VLDL
VLDL
secretion
Apo B
Hepatocyte Systemic Circulation
Mobilization of FFA
TG
synthesis
VLDL
LDL
FFA=Free fatty acid, HDL=High density lipoprotein, LDL=Low density
lipoprotein, TG=Triglyceride, VLDL=Very low density lipoprotein
Source: McKenney JM. Selecting Successful Lipid-lowering Treatments presentation, 2002.
Available at http://www.lipidsonline.org/slides/slide01.cfm?tk=23&dpg=14
Apo B
Efek samping: keluhan kulit (ruam,
pruritus, flushing), keluhan GI, DM, dan
keluhan muskuloskeletal
73. Kelas Obat Senyawa Mekanisme Aksi Efek Fisiologis Keterangan
HMG-CoA
reductase
inhibitor
Statin
Menghambat enzim HMG-CoA
reductase → menurunkan sintesis
kolesterol hepar
↓ LDL-C 18-55%
↑ HDL-C 5-15%
↓ TG 7-30%
Efek samping: miopati,
peningkatan enzim
hepar, DM onset baru,
gangguan memori
Inhibitor
absorbsi
kolesterol
Ezetimibe
Menghambat absorbsi kolesterol dari
diet dan kolesterol dari empedu tanpa
mempengaruhi absorbsi nutrisi larut
lemak
↓ LDL-C 16-18%
Lini kedua setelah
statin → kombinasi
ezetimibe + statin
Bile acid
sequestrant
Kolestiramin
Kolesevelam
Kolestipol
- Meghambat sirkulasi enterohepatic
dari asam empedu
- Meningkatkan perubahan kolesterol
menjadi asam empedu di hati
↓ LDL-C 18-25%
Efek samping: rasa
kembung, flatulensi,
konstipasi,
menghambat absorbsi
vit K
Fibrat
Gemfibrozil
Fenofibrat
- ↓ regulasi apoC-III → ↑ aktivitas
lipoprotein lipase → ↑ katabolisme TG
- ↑ regulasi apoA-I dan apoA-II → ↑
konsentrasi HDL-C
↓ TG 25-40%
↑ HDL-C
Efek samping: miopati,
peningkatan enzim
hepar, kolelithiasis
Risiko miopati
gemfibrozil + statin >
fenofibrat + statin
Asam nikotinat Niasin
- Menghambat mobilisasi asam lemak
bebas dari perifer ke hepar→ ↓
sintesis TG dan VLDL
- ↑ produksi apoA-I di hepar → ↑
HDL-C
↓ TG 20-40%
↓ LDL-C 15-18%
↑ HDL-C 15-35%
Efek samping: keluhan
kulit (ruam, pruritus,
flushing), keluhan GI,
DM, dan keluhan
muskuloskeletal
©Bimbel UKDI MANTAP
74. Patient Instructions
& Counseling
STATINS
• Usually administered in the evening
because most hepatic cholesterol
production occurs during the night
• Atorvastatin may be given any time of
the day because of its longer half-life
• You may take this medicine with or
without food
©Bimbel UKDI MANTAP
FIBRATES
• Gemfibrozil should be taken twice daily 30 minutes
before meals
• Fenofibrate can be taken with food once daily
• Monitor muscle toxicity, especially when used with
statins
BILE ACID RESIN
• Cholestyramin: take it with the largest
meal
• Titrate dose slowly to avoid GI side effect
• The powder cannot be used in dry form. It
can be mixed with water, fruit juice, milk,
& with food such as thin soup or with milk
in breakfast cereal until completely
dissolved. The patient must drink this
mixture right away
• Counsel patient to rinse the glass with
liquid to ensure ingestion of all resin
• Increase fluid intake
• Dose other drugs 1 hour before or 4 hours
after resin
75. ©Bimbel UKDI MANTAP
METABOLIC SYNDROME
Terkumpulnya berbagai faktor risiko metabolik pada seseorang, yang memberikan
peningkatan risiko untuk terjadinya kelainan kardiovaskular, DM tipe 2 dll.
80. Goiter Non Toxic
(No Hyperthyroidism present)
Diffuse Nodule
Uninodular Multinodular
Goiter
berdasarkan
pemeriksaan
klinis
©Bimbel UKDI MANTAP
Goiter Toxic
(Hyperthyroidism present)
Diffuse
(graves)
Nodule
Uninodular
(toxic adenoma)
Multinodular
(toxic multinodular
goiter)
Endemic goiter/simple goiter
(defisiensi yodium) → Local Prevalence > 5-10%
Sporadic goiter
(faktor lingkungan/genetik)
83. TIROTOKSIKOSIS:
Manifestasi klinis kelebihan
hormon tiroid yg beredar dalam
sirkulasi
HYPERTHYROIDISM:
Tirotoksikosis yg diakibatkan oleh
kelenjar tiroid yg hiperaktif
(radioactive neck-uptake ↑)
PENYEBAB TIROTOKSIKOSIS
Hipertiroidiesm
e primer
Tirotoksikosis
tanpa
hipertiroidisme
Hipertiroidisme
sekunder
Peny Graves
Gondok
multinodular
toksik
Adenoma toksik
Karsinoma tiroid
Struma ovarii
(ektopik)
Mutasi TSHr gen
Hormon tiroid
ekstrogen
berlebih
(faktisia)
Tiroidits
subakut (viral
atau De
Quervain)
Destruksi
kelenjar:
amiodaron,
radiasi,
adenoma, infark
TSH-secreting
tumor
Tirotoksikosis
gestasi (trim 1)
Resistensi
hormon tiroid
©Bimbel UKDI MANTAP
Tirotoksikosis
Hipertiroid
Inflamasi
Ingesti
TIROTOKSIKOSIS DAN HIPERTIROIDISME
87. ©Bimbel UKDI MANTAP
GRAVES DISEASE
(Parry’s disease / Basedow’s disease)
thyroid stimulating
immunoglobulin (TSI)
- limphosit (IgG)
Antibodi berikatan
dengan reseptor TSH
(TRAb)
- Menghasilkan T3 & T4
- Diffuse growth
88. 1. Signs & symptoms hyperthyroid
2. Thyroid dermopathy
pretibial myxedema, indurated plak,
orange-skin appearance
3. Thyroid acropachy
manifests as clubbing finger
©Bimbel UKDI MANTAP
MANIFESTASI KLINIS
89. ©Bimbel UKDI MANTAP
4. Graves ophtalmopathy
- Wide palpebral aperture
(Dalrymple’s sign)
- Lid lag (von Graefe’s sign)
- Staring or frigthened expressions
- Infrequent blinking (Stellwag’s
sign)
- Absence of forehead wringkling on
upward (Joffroy’s sign)
- Inability to keep converged
(Mobius’ sign)
- Diplopia
- Swelling of orbital contents and
puffiness of the lids
- Chemosis, corneal
injection/ulceration
- Exophthalmus
- Decreased visual acuity, retinal
edema/hemorrhages, optic nerve
damage
Proptosis may be quantitated with an
hartel exophthalmometer, an
instrument that measures the position
of the globes in relation to the lateral
orbital rim.
90. THYROID EXAM
• Diffuse toxic goiter,
less symetric.
• Thrills and bruits are
important but often
absent.
• Thrills (palpable) and
bruits (audible) sign of
turbulence associated
with an increased rate
of flow through turtuos
vessel.
CARDIAC MANIFESTATION
• Tachycardia
• Atrial fibrillation
• LVH and strain on ECG
• Premature atrial/ventricular
contractions
• Congestive heart failure
• Angina with/without coronary
artery disease
• Myocardial infarction
• Resistance to some drug effects
(digoxin)
• Residual cardiomegaly
• Systolic BP ↑ Diastolic BP ↓
• Pulse pressure 50-80 mmHg
©Bimbel UKDI MANTAP
91. Anamnesis dan Pemeriksaan Jasmani
Pemeriksaan laboratorium
TSH menurun
FT4
meningkat
T3 – T3
Toksikosis
Sidik tiroid
Graves:
Uptake iodine
meningkat
(hot nodule)
Tiroiditis:
uptake
rendah
USG
Kurang ada
manfaat
BAJAH
Tidak biasa
dilakukan
(hanya kalau
disertai nodul
dingin)
©Bimbel UKDI MANTAP
DIAGNOSIS GRAVES DISEASE
93. KELOMPOK OBAT EFEK KETERANGAN
Thioamide
- Propiltiuurasil (PTU)
- Metimazol
- Karbimazol
• Menghambat fungsi TPO
(Thyroid Peroxidase)
• Menurunkan oksidasi
dan organifikasi iodide
• Menghambat coupling
iodotirosine
• (+) PTU menghambat
konversi T4→T3 di
perifer
• Obat jangka pendek prabedah/praRAI
• Metimazol lebih disukai dari PTU karena
bekerja lebih cepat dan lebih sedikit efek
samping
• Efek samping :
- Minor : gatal, rash, demam, mual, muntah dll
- Major : Kerusakan liver (>> PTU), vasculitis
(>> PTU), agranulositosis, anemia aplastic
Beta blocker
-Propranolol
-Metoprolol
-Atenolol
-Nadolol
• Mengurangi dampak
hormon tiroid pd
jaringan
• Propanolol dosis tinggi
(>160 mg/hari)
menghambat konversi
T4→T3
Obat tambahan, kdg obat tunggal pd tiroiditis
Bahan mengandung iodin
-Kalium iodida
-Sol lugol
-Na ipodat
-Asam iopanoat
-Iodine Radioactive
Therapy
• Menghambat keluarnya
T4 dan T3
• Menghambat produksi
T4 dan T3 serta produksi
T3 ekstratiroidal
• Persiapan tiroidektomi.
• Pd krisis tiroid.
• Bukan utk pengobatan rutin
©Bimbel UKDI MANTAP
Monitor terapi : T4, T3, TSH
94. ©Bimbel UKDI MANTAP
PTU MMI
• 300 mg daily in 3 divided
doses.
• Severe hyperthyroidism or very
large goiters, initial dosage may
be increased to 400 mg/day, up
to 600 to 900 mg/day.
• The maintenance dosage is 100
to 150 mg/day.
• 15 to 30 mg/day as a single
dose.
• 15 mg/day for mild hyperthyroidism
• 30-40 mg/day for moderately
hyperthyroidism.
• 60 mg/day for severe
hyperthyroidism.
• The daily dose is divided into 3
doses administered every 8
hours.
• The maintenance dose is 5-15
mg/day
Duration of action from 12 to 24 h Duration of action even longer
PO peak serum concentrations
occurring in one hour
Side effects of are less clearly
related to dose.
Side effects are dose-related
95. Hyperthyroidism: Adjunctive Therapy
©Bimbel UKDI MANTAP
Iodine:
Severe
Hyperthyroidism
• Inhibits thyroid hormone
synthesis/release,
• Decrease the vascularity
of the thyroid gland
• Should not be used for
long-term therapy , Will
delay
131
I
• SSKI (50 mg iodide/drop)
• Lugol’s Solution (5-10%
KI, 8 mg iodide/drop)
Beta
Blockers:
For
palpitations,
Afib
with
RVR
• Propranolol, 40-200 mg
dalam 4 dosis
• Atenolol 25-50 mg sekali
sehari
96. ©Bimbel UKDI MANTAP
KRISIS TIROID / THYROID STORM
• Precipitatants in hyperthyroid
patients: surgery, sepsis, iodine
loads, post-partum
• Endocrine emergency (Mortality 20-
50%)
Hyperthermia
Mental status change
Cardiovascular colapse
A clinical diagnosis at the end of a
hyperthryoid continuum
97. ©Bimbel UKDI MANTAP
• rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan cairan lain) dan kalori
(glukosa), vitamin, oksigen, obat sedasi, kompres es
UMUM
• Memblok sintesis hormon baru :
PTU dosis besar loading 600-1000 mg diikuti 200 mg PTU/4 jam
dengan dosis sehari total 1000-1500 mg
• Memblok keluarnya hormon :
sol lugol 10 gtt/6-8 jam atau SSKI (larutan kalium iodida jenuh) 5
gtt/6 jam
• Menghambat konversi perifer dari T4→T3 :
propranolol, ipodat, beta blocker dan/atau kortikosteroid
KOREKSI
HIPERTIROIDISME
• Pemberian hidrokortison dosis stress (100 mg/8 jam) atau
deksametason 2mg/6 jam (karena ada defisiensi steroid relatif
akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4).
HIDROKORTISON
DOSIS STRESS
• Asetaminofen, hindari aspirin
ANTIPIRETIK
• Infeksi, trauma tiroid, obat dll
Tx Faktor Pencetus
TATALAKSANA KRISIS TIROID (PAPDI, 2009)
98. Definition:
• Deficiency of thyroid hormone
Causes:
• Primary (TSH high) ~95%
• Secondary (TSH low) ~5%
Relatively common:
• 2% adult women, 0.2% adult men
• >60: 6% adult women; 2% adult men
• May be higher in select groups
©Bimbel UKDI MANTAP
HIPOTIROID
99. • Onset : Usually Gradual
• ± Goiter
• Risk Factors: Age >60, female, history of thyroid
disease, history of radiotherapy to head/neck,
family history of thyroid disease, lithium or
amiodarone therapy.
©Bimbel UKDI MANTAP
Pasien dengan hipotiroid bisa saja
mengalami gejala fisik dan mental
yang tidak spesifik
• Kelelahan/ mengantuk
• Mudah kedinginan
• Kram otot
• Mengalami kenaikan berat badan meskipun
diet dan berolahraga
• Depresi
• Konstipasi
• Periode menstruasi yang abnormal dan/atau
masalah kesuburan
• Rambut atau kuku yang tipis dan rapuh dan/
atau kulit kering
• Muka, tangan dan kaki bengkak
• Nyeri otot
• Libido menurun
SIGN & SYMPTOM
100. Myxedema
©Bimbel UKDI MANTAP
The term myxedema refers to the
thickened, nonpitting edematous
changes to the soft tissues of patients
in a markedly hypothyroid state.
102. Autoimmune destruction of thyroid
tissue
– High titers of anti-thyroid antibodies
– Lymphocytic Infiltration of thyroid gland,
fibrosis
©Bimbel UKDI MANTAP
AUTOIMMUNE THYROIDITIS
(Hashimoto’s, Chronic Lymphocytic)
Normal Hashimoto’s Thyroiditis
103. Replace with
levo-thyroxine
(L-T4)
Monitor thyroid
function tests every
6-8 weeksuntil
steady dose is achieved;
goal is to
normalize TSH in
most cases
©Bimbel UKDI MANTAP
TATALAKSANA HIPOTIROIDISME
Pilihan pertama, dapat dipakai
untuk Tx koma miksedema,
aman untuk ibu hamil
Dosis rumatan :
100-200 mcg PO 1/hr
Dosis awal :
50-100 mcg PO 1 x/hari
dinaikkan 25-50 mcg/3-4mgg
s/d eutiroid dan kadar TSH normal
Lansia / Kardiovaskuler :
dosis awal 25-50 mcg PO 1x/hari
dinaikkan 25 mcg/4mgg
s/d eutiroid dan TSH normal
104. Wanita usia lanjut, infeksi, obat,
paparan lingkungan (paparan
udara dingin), keadaan terkait
metabolik.
Tanda & gejala : riwayat
hipotiroid lama, hipotermi berat
(<270C), bradikardi, gagal nafas,
penurunan kesadaran
©Bimbel UKDI MANTAP
KOMA MIKSEDEMA / KRISIS MYXEDEMA
105. INTRAVENA
• Levothyroxine
bolus awal 200-500 mkg IV/via
NG, rumatan 100-200 mkg/hari IV
/ via NG
• Liothyronine (lebih cepat)
bolus 50 mkg IV pelan dilanjutkan
25 mkg IV/ 8jam sampai
membaik, kemudian 25 mkg/ 12
jam atau 5-20 mkg IV pelan/4-12
jam (umumnya 12 jam)
ORAL
• kasus ringan
• mulai dosis kecil dinaikkan pelan
pelan
©Bimbel UKDI MANTAP
Pemberian IV : hati hati pada PJK . Monitor detak jantung, hentikan bila aritmia
PEMBERIAN PENGOBATAN TIROID PADA KOMA MIKSEDEMA
109. ©Bimbel UKDI MANTAP
Primary hyperparathyroidism is one
of the most common endocrine
disorders, and it is an important
cause of hypercalcemia.
In patients with primary
hyperparathyroidism, serum PTH
levels are inappropriately elevated
for the level of serum calcium,
whereas PTH levels are low to
undetectable in hypercalcemia
because of nonparathyroid disease
The frequency of the various
parathyroid lesions underlying the
hyperfunction is as follows:
• Adenoma 75-80%
• Primary hyperplasia (diffuse or nodular)
10-15%
• Parathyroid carcinoma < 5%
Primary hyperparathyroidism is
usually a disease of adults and is
more common in women than in
men by a ratio of nearly 3:1.
HIPERPARATIROID PRIMER
110. ©Bimbel UKDI MANTAP
The signs and symptoms of hyperparathyroidism reflect the combined effects of increased PTH
secretion and hypercalcemia.
Primary hyperparathyroidism has been traditionally associated with a constellation of symptoms
that included "painful bones, renal stones, abdominal groans, and psychic moans".
• Bone disease includes bone pain
secondary to fractures of bones
weakened by osteoporosis or osteitis
fibrosa cystica.
• Nephrolithiasis (renal stones) occurs
in 20% of newly diagnosed patients,
with attendant pain and obstructive
uropathy. Chronic renal insufficiency
and a variety of abnormalities in renal
function are found, including polyuria
and secondary polydipsia.
• Gastrointestinal disturbances
include constipation, nausea, peptic
ulcers, pancreatitis, and gallstones.
• Central nervous system alterations
include depression, lethargy, and
eventually seizures.
• Neuromuscular abnormalities
include complaints of weakness and
fatigue.
• Cardiac manifestations include
aortic or mitral valve calcifications (or
both).
111. ©Bimbel UKDI MANTAP
Caused by any condition associated with
a chronic depression in the serum
calcium level because low serum
calcium leads to compensatory
overactivity of the parathyroid
glands.
Renal failure is by far the most
common cause of secondary
hyperparathyroidism although a number
of other diseases, including inadequate
dietary intake of calcium, steatorrhea,
and vitamin D deficiency, may also
cause this disorder.
HIPERPARATIROID SEKUNDER
112. PTH deficiency results in hypocalcemia
- Primary hypoparathyroid:
inadequate PTH activity
Low PTH with a concomitant low
calcium level
- Secondary hypoparathyroid: a
physiologic state in which PTH levels
are low in response to a primary
process that causes hypercalcemia
Low PTH and serum calcium level is
elevated
- Pseudohypoparathyroidism: A rare
familial disorders with target tissue
resistance to PTH. PTH concentration
is elevated as a result of resistance to
PTH caused by mutations in the PTH
receptor system
©Bimbel UKDI MANTAP
HIPOPARATIROID
113. ©Bimbel UKDI MANTAP
The classic findings on physical examination of
patients with neuromuscular irritability
are Chvostek sign and Trousseau sign.
The hallmark of hypocalcemia is tetany, which is
characterized by neuromuscular irritability, resulting
from decreased serum ionized calcium concentration.
These findings can range from circumoral numbness or
paresthesias (tingling) of the distal extremities and to
life-threatening laryngospasm and generalized
seizures.
MANIFESTASI KLINIS HIPOPARATIROID
114. The mainstay of treatment is a
combination of oral calcium with
pharmacological doses of vitamin
D or its potent analogues.
Phosphate restriction in diet may
also be useful with or without
aluminum hydroxide gel to lower
serum phosphate level.
©Bimbel UKDI MANTAP
TATALAKSANA HIPOPARATIROID
Emergency Tetany
Calcium should be given
parenterally till adequate
serum calcium level is
obtained and then vitamin D
supplementation with oral
calcium should be initiated.
117. Definisi:
kondisi volume urin yg
banyak (>3L/hr) karena
gangguan resorbsi air oleh
ginjal yg disebabkan :
- ↓sekresi ADH oleh
hipofisis posterior
(DI sentral) ;
atau
- gangguan respon ginjal
terhadap ADH
(DI nefrogenik)
©Bimbel UKDI MANTAP
DIABETES INSIPIDUS
SS: poliuria, polidipsia, dehidrasi,
gejala hipernatremia Fisiologi ADH
118. Idiopatik
Kongenital: defek pada gen ADH, DIDMOAD
syndrome (resesif autosomal: DI, DM, atrofi optik, dan
tuli/Wolfram’s synd)
Tumor: kraniofaringioma, metastasis, tumor
hipofisis
Trauma: hipofisektomi, head injury
Infiltrasi: histiositosis, sarkoidosis
Vaskular: Sheehan’s syndrome
Infeksi: meningoensefalitits
Inherited
Metabolik: ↓Kalium, ↑kalsium
Obat: litium, demeklosiklim
CKD
Post uropati obstruktif
©Bimbel UKDI MANTAP
ETIOLOGI
119. Patient is deprived of all water intake until
dehydration (defined by weight loss of at least 2% of body
weight and rise in plasma osmolality above 300
mOsm/kg) is achieved. UO, BP and urine
osmolality are then measured every 2 hours.
Normally after water deprivation, a decrease in UO
(because ADH is stimulated by increased osmolality) and
an increase in urine osmolality is expected to occur. In
patients with DI, UO remains high and urine
diluted.
Subcutaneous injection of ADH and measurement
of urine and plasma osmolarity. Patients with
nephrogenic DI lack the ability to concentrate
urine after the administration of ADH.
©Bimbel UKDI MANTAP
1
2
DIAGNOSIS : WATER DEPRIVATION TEST
120. INTERPRETASI WATER DEPRIVATION TEST
Normal Osmolalitas urin >600 mOsm/kg
(kemampuan mengkonsentrasi urin normal)
Polidipsia primer/psikogenik Urin terkonsentrasi, tapi kemampuan
mengkonsentrasikan urin masih kurang dr normal >400-
600 mOsm/kg
Diabetes insipidus Osmolalitas urin <400 mOsm/kg
(kemampuan mengkonsentrasi urin rendah)
DI sentral Osmolalitas urin NAIK >600 mOsm/kg
SETELAH pemberian desmopressin
DI nefrogenik Osmolalitas urin TIDAK NAIK
SETELAH pemberian desmopressin
©Bimbel UKDI MANTAP
121. DI CENTRAL
• DESMOPRESSIN (DDAVP)
A synthetic analog is superior
to native AVP because :
1. It has longer duration of
action (8-10 h vs 2-3 h)
2. More potent
3. Its antidiuretic activity is
3000 times greater than its
pressor activity
©Bimbel UKDI MANTAP
TREATMENT
DI NEPHROGENIC
• Provision of adequate fluids
& calorie
• Low sodium diet
• Diuretic
• High dose of DDAVP
• Correction of underlying
disease
• Drugs (Indomethacin,
Chlorprooramide, Clofibrate
& Carbamazepine)
123. ADRENAL CORTEX. The three
tissue layers secrete, in the same
order, the following corticosteroids:
©Bimbel UKDI MANTAP
1. Mineralocorticoids (zona glomerulosa only),
which act on the kidneys to control electrolyte
balance. The principal mineralocorticoid is
aldosterone, which promotes Na retention and K
excretion by the kidneys.
2. Glucocorticoids (mainly zona fasciculata),
especially cortisol (hydrocortisone);
corticosterone is a less potent relative.
Glucocorticoids stimulate fat and protein
catabolism, gluconeogenesis, and the release of
fatty acids and glucose into the blood. This helps
the body adapt to stress and repair damaged
tissues. Glucocorticoids also have an
antiinflammatory effect and are widely used in
ointments to relieve swelling and other signs of
inflammation. Long-term secretion, however,
suppresses the immune system.
3. Sex steroids (mainly zona reticularis), including
weak androgens and smaller amounts of
estrogens. Androgens control many aspects of
male development and reproductive physiology. The
principal adrenal androgen is
dehydroepiandrosterone (DHEA) (de-HY-dro-
EPee- an-DROSS-tur-own). DHEA has weak
hormonal effects in itself, but more importantly, other
tissues convert it to the more potent androgen,
testosterone. This source is relatively
unimportant in men because the testes produce so
much more testosterone than this. In women,
however, the adrenal glands meet about 50% of the
total androgen requirement.
124. • Cushing’s syndrome:
chronic glucocorticoid excess.
The commonest cause is steroid
tx. Endogenous cases are much
rarer: 85% are due to ↑ACTH, of
these a pituitary adenoma
(Cushing’s disease) is the
commonest cause.
• Cushing’s disease:
pituitary gland releases too
much adrenocorticotropic
hormone (ACTH). Cushing's
disease is caused by a tumor or
excess growth of the pituitary
gland.
©Bimbel UKDI MANTAP
CUSHING SYNDROME
126. • ACTH-independent (↓ACTH due to
negative feedback)
– (Factitious): iatrogenik
– Unilateral
• Adrenal adenoma (10%)
• Adrenal carcinoma (5%)
– Bilateral
• Macronodular Hyperplasia
(AIMAH) (<2%)
• Primary pigmented Micronodular
Adrenal disease (PPNAD) (<2%)
• McCune Albright Syndrome
(<2%)
Cushing’s Syndrome
Etiology
• ACTH-dependent (↑ACTH)
– Pituitary (Cushing’s Disease)
• Microadenomas (95%)
• Macroadenomas (5%)
– Ectopic ACTH or CRH
• Small cell lung ca
• Carcinoids: lung, pancreas,
thymus
©Bimbel UKDI MANTAP
130. ©Bimbel UKDI MANTAP
Addison disease is adrenocortical
insufficiency due to the
destruction or dysfunction of the
entire adrenal cortex.
It affects both glucocorticoid and
mineralocorticoid function.
The onset of disease usually occurs
when 90% or more of both adrenal
cortices are dysfunctional or
destroyed.
Idiopathic autoimmune Addison disease tends to be more common
in females and children.
The most common age in adults is 30-50 years, but the disease
could present earlier in patients with: polyglandular autoimmune
syndromes, congenital adrenal hyperplasia (CAH), or if onset is due to a
disorder of long-chain fatty acid metabolism.
ADDISON’S DISEASE
132. Pemeriksaan Penunjang
Rapid ACTH stimulation test/Cosyntropin test
©Bimbel UKDI MANTAP
(1) an increase in the baseline
cortisol value of 7 mcg/dL or
more
(2) the value must rise to 20
mcg/dL or more in 30 or 60
minutes, establishing normal
adrenal glucocorticoid
function.
In patients with Addison disease,
both cortisol and aldosterone
show MINIMAL or NO CHANGE in
response to ACTH.
133. ©Bimbel UKDI MANTAP
ADRENAL CRISIS
SIGNS AND SYMPTOMS :
1. Fatigue, lack of energy, weight loss
2. Low blood pressure, postural
dizziness and hypotension
(≥20 mmHg drop in BP from supine
to standing position), dizziness,
collapse, in severe cases
hypovolaemic shock
3. Abdominal pain, tenderness and
guarding, nausea, vomiting (in
particular in primary adrenal
insufficiency), history of weight loss
4. Fever
5. Confusion, somnolence, in severe
cases delirium or coma
Sudden, severe worsening of adrenal
insufficiency symptoms is called
adrenal crisis. If the person has
Addison’s disease, this worsening can
also be called an Addisonian crisis.
134. ©Bimbel UKDI MANTAP
LABORATORY STUDIES
•Serum chemistry: Abnormalities are present in
as many as 56% of patients. Hyponatremia is
common (although not diagnostic);
hyperkalemia, metabolic acidosis, and
hypoglycemia also may be present. However, the
absence of laboratory abnormalities does not
exclude the diagnosis of adrenal crisis.
•Serum cortisol: Less than 20 mcg/dL in severe
stress or after ACTH stimulation is indicative of
adrenal insufficiency.
•ACTH test (diagnostic): Determine baseline
serum cortisol, then administer ACTH 250 mcg
intravenous push (IVP), and then draw serum
cortisol 30 and 60 minutes after ACTH
administration. An increase of less than 9 mcg/dL
is considered diagnostic of adrenal insufficiency.
•CBC: Anemia (mild and nonspecific),
lymphocytosis, and eosinophilia (highly
suggestive) may be present.
Diagnostic measures should
never delay prompt treatment of
a suspected adrenal crisis! There
are no adverse consequences of initiating life-saving
hydrocortisone treatment and diagnosis can be safely
and formally established once the patient has
clinically recovered
135. ©Bimbel UKDI MANTAP
MANAGEMENT :
1. Administer hydrocortisone: Immediate bolus injection of 100 mg
hydrocortisone intravenously or intramuscularly followed by continuous
intravenous infusion of 200 mg hydrocortisone per 24 hours (alternatively,
50 mg hydrocortisone per intravenous or intramuscular injection every 6 h)
2. Rehydrate with rapid intravenous infusion of 1000 mL of isotonic saline
infusion within the first hour, followed by further intravenous rehydration as
required (usually 4-6 L in 24 h; monitor for fluid overload in case of renal
impairment and in elderly patients)
3. Contact an endocrinologist for urgent review of the patient, advice on further
tapering of hydrocortisone, and investigation of the underlying cause of the
disease, including the diagnosis of primary versus secondary adrenal
insufficiency
3. Tapering of hydrocortisone can be started after clinical recovery guided by an
endocrinologist; in patients with primary adrenal insufficiency, mineralocorticoid
replacement must be initiated (starting dose 100 μg fludrocortisone once daily)
as soon as the daily glucocorticoid dose is below 50 mg of hydrocortisone
every 24 hours
136. DISEASES OF THE ADRENAL MEDULLA
©Bimbel UKDI MANTAP
The adrenal medulla is
developmentally, functionally,
and structurally distinct from
the adrenal cortex. It is
composed of specialized
neural crest (neuroendocrine)
cells, termed chromaffin cells,
and their supporting
(sustentacular) cells. The
adrenal medulla is the major
source of catecholamines
(epinephrine, norepinephrine)
in the body.
137. Pheochromocytomas are
neoplasms composed of
chromaffin cells, which
synthesize and release
catecholamines and in
some instances peptide
hormones. It is important to
recognize these tumors
because they are a rare
cause of surgically
correctable hypertension.
©Bimbel UKDI MANTAP
PHEOCHROMOCYTOMA
The classic history of a patient
with a pheochromocytoma
includes spells characterized
by headaches, palpitations,
and diaphoresis in association
with severe hypertension.
These 4 characteristics
together are strongly
suggestive of a
pheochromocytoma. In the
absence of these 3 symptoms
and hypertension, the
diagnosis may be excluded.
138. PULMONOLOGI
COPD Asma TB Pneumonia
Bronkiektasis Atelektasis Efusi pleura Flu Burung
Lung abscess Lung cancer
Occupational
Lung Disease
©Bimbel UKDI MANTAP
139. ©Bimbel UKDI MANTAP
Bronkitis kronik (Dx Klinis)
Kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-
kurangnya 2 tahun berturut -
turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.
Emfisema (Dx Patologis)
Suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli.
(kerusakan permukaan
pertukaran gas pada paru)
COPD
KEY POINT :
• Persistent airflow
limitation
• Progressive
• Chronic inflammatory
• Noxious particles or
gases
CHRONIC OBSTRUCTIVE LUNG DISEASE
141. ©Bimbel UKDI MANTAP
• Pursed - lips breathing
• Barrel chest (diameter AP dan transversal sebanding)
• Penggunaan otot bantu napas
• Hipertropi otot bantu napas
• Pelebaran sela iga
• Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
• Penampilan pink puffer atau blue bloater
Inspeksi
• Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Palpasi
• Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Perkusi
• Suara vesikuler N, atau melemah
• Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
• Ekspirasi memanjang
• bunyi jantung terdengar jauh
Auskultasi
PEMERIKSAAN FISIK
143. Pemeriksaan Lanjutan
• Spirometri (FEV1/FVC < 0,70 post bronchodilator)
• Radiologi: Foto thorax PA dan lateral
©Bimbel UKDI MANTAP
Emfisema:
Hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma
mendatar, jantung menggantung
Bronkitis kronik :
Normal/
Corakan bronkovaskuler
bertambah pada 21 % kasus
144. ©Bimbel UKDI MANTAP
Kriteria PPOK stabil:
• Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
• Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
• Dahak jernih tidak berwarna
• Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
• Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
• Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Prescribe
Treatment
•Pharmacologic
•Non-pharmacologic
•Rehabilitation
•Exercise training
•Nutrition
counseling
•education
•Oxygen therapy
•Surgical interventions
MANAGE STABLE COPD
145. III: Severe
II: Moderate
I: Mild
▪FEV1/FVC < 70%
▪FEV1 > 80% predicted
▪ FEV1/FVC < 70%
▪ 50% < FEV1 < 80%
predicted
▪ FEV1/FVC < 70%
▪ 30% < FEV1 <
50% predicted
▪ FEV1/FVC < 70%
▪ FEV1 < 30%
predicted
Add regular treatment with one or more long-acting
bronchodilators (when needed); Add rehabilitation
Add inhaled glucocorticosteroids if
repeated exacerbations
Active reduction of risk factor(s); influenza vaccination*)
Addshort-acting bronchodilator (when needed)
Add long term
oxygenif chronic
respiratory failure.
Consider surgical
treatments
©Bimbel UKDI MANTAP
IV: Very Severe
Vaksinasi influenza :
1 dosis setiap tahun
146. Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
©Bimbel UKDI MANTAP
Most
common
causes of
exacerbations
•Infection of the
tracheobronchial tree
•Air pollution
•In 1/3 of severe
exacerbations cause
cannot be identified
MANAGE EXACERBATIONS COPD
147. Lung Function Tests
• PEF < 100 L/min. or FEV1 < 1 L = severe
exacerbation
Arterial Blood Gas
• PaO2 < 60 mmHg and/or SaO2 < 90%
with or without PaCO2 < 50 mmHg when
breathing room air = respiratory failure
• PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 < 70 mmHg and
ph < 7.3 = life-threatening episode
Chest x-ray
• Look for complications
• Pneumonia
• Alternative diagnoses
ECG
• Right ventricular hypertrophy
• Arrhythmias
• Ischemia
Sputum
• Culture/sensitivity
Comprehensive Metabolic Profile
• Assess for electrolyte disturbances,
diabetes
• Albumin to assess nutrition
• Whole blood may identify polycythemia
(hematocrit > 55%), anemia, or
leukocytosis
GOLD Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention
©Bimbel UKDI MANTAP
ASSESMENT OF SEVERITY
148. THERAPEUTIC EXCACERBATION COMPONENT
OF HOSPITAL MANAGEMENT
Controlled oxygen therapy
• Administer enough to maintain PaO2 > 60 mmHG or SaO2 88-92%
• Monitor patient closely for CO2 retention or acidosis
Bronchodilators (inhaled)
• Increase doses or frequency
• Combine ß2 agonists and anticholinergics
• Use spacers or air-driven nebulizers
• In GOLD Report 2017, IV methylxanthine (aminophylline) are not recomended due to increased
side effect profiles.
Antibiotics
• IF breathlessness and cough are increased AND sputum is purulent and increased in volume
• Choice of antibiotics should reflect local antibiotic sensitivity for the following microbes:
S.pneumoniae, H. Influenza, M. catarrhalis
Glucocorticosteroids (oral or IV)
• Recommended as an addition to bronchodilator therapy
• If baseline FEV1 < 50% predicted : 30-40 mg oral prednisolone x 10 days OR nebulized budesonide
©Bimbel UKDI MANTAP
149. ©Bimbel UKDI MANTAP
* Pseudomonas risk factors:
- Frequent administration of antibiotics (4 or
more courses over the past year)
- Recent hospitalization (2 or more days'
duration in the past 90 days)
- Isolation of Pseudomonas during a
previous hospitalization
- Severe underlying COPD (FEV1 <50 percent
predicted)
Reproduced with permission from: Sethi, S,
Murphy, TF. Acute exacerbations of chronic
bronchitis: New developments concerning
microbiology and pathophysiology--impact on
approaches to risk stratification and therapy.
Infect Dis Clin N Am 2004; 18:861. Illustration
used with permission of Elsevier Inc. All rights
reserved. Copyright © 2004 Elsevier Inc.
154. Avoid exposure to
personal and second-
hand tobacco smoke
Avoid contact with furry
animals
Reduce pollen exposure Reduce exposure
to house dust mite
Avoid sensitizers and irritants
(dust and fumes) which aggravate
or cause asthma, especially in the
workplace
Avoid food and
beverages containing
preservatives
Avoid drugs that aggravate asthma
such as beta-blockers (including eye
drops) and aspirin and non-steroidal
anti-inflammatory drugs
©Bimbel UKDI MANTAP
ASTHMA TREATMENT :
PREVENTATIVE/AVOIDANCE MEASURES
155. Take when necessary
Cause BRONCHODILATATION
symptoms acutely – cough
wheeze/tightness
(A) RELIEVERS :
Act only on airway smooth muscle spasm
Take regularly, even when well
Relieve
mucosal
swelling
secretions
irritability of
smooth
muscle
(B) CONTROLLERS :
underlying INFLAMMATION and/or cause
prolonged bronchodilatation
ASTHMA TREATMENT :
PHARMACOTHERAPY
160. • Oksigen:
– Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen ≥
90% dan dipantau dengan oksimetri.
• Agonis beta-2:
– Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang
menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat,
efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat
gawat (bukti A).
– Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi (bukti B) dan sebaiknya diberikan
sebelum pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di
rumah sakit (bukti A) dan perbaikan faal paru (APE dan VEP1) (bukti B).
– Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada
pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring).
– Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan
atau intramuskular.
– Bila dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-
6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9%
atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan
aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya; untuk
mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara drip
dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam.
©Bimbel UKDI MANTAP
161. • Glukokortikosteroid
– Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan
asma derajat manapun kecuali serangan ringan (bukti A), terutama jika:
• Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
• Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan kortikosteroid oral
• Serangan asma berat
– Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral
lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat
diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan
pemberian intravena. Glukokortikosteroid oral membutuhkan paling tidak 4 jam
untuk tercapai perbaikan klinis.
– Analisis meta menunjukkan glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80 mg
(single dose) atau 300-400 mg hidrokortison (divided dose) atau ekivalennya adalah
adekuat untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200
mg hidrokortison sudah adekuat (bukti B).
– Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 7-14 hari (dewasa) 3-5
hari (anak) . Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam
waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu selama pasien
masih dalam pengobatan inhalasi kortikosteroid (bukti B).
©Bimbel UKDI MANTAP
162. • Antibiotik
– Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia,
bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam.
– Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan
bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit/
gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
• Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram
positif dan atipik; yaitu makrolid , golongan kuinolon dan alternatif amoksisilin/
amoksisilin dengan asam klavulanat.
©Bimbel UKDI MANTAP
164. Exposure to TB
No infection
(70-90%)
Infection
(10-30%)
Latent TB (90%)
-never TB disease
-NOT infectious
TB disease (10%)
-5% within 2yrs
-5% years later
Untreated
50% die within 2
yrs
Treated
Cured
©Bimbel UKDI MANTAP
PERJALANAN ALAMIAH TB
165. Gejala Klinis Pasien TB
• Gejala utama pasien TB paru
• Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih.
• Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan
• Dahak bercampur darah,
• batuk darah,
• sesak nafas,
• badan lemas,
• nafsu makan menurun,
• berat badan menurun,
• malaise,
• berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik,
• demam meriang lebih dari satu bulan.
©Bimbel UKDI MANTAP
PENEMUAN PASIEN TB
• S (sewaktu):
dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang,
suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi):
dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari
kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa
dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
• S (sewaktu):
dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi.
Pemeriksaan
dahak mikroskopis
langsung
168. a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV
©Bimbel UKDI MANTAP
KLASIFIKASI TB
169. Tuberkulosis Paru
• TB yang terjadi pada parenkim
(jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena
adanya lesi pada jaringan paru.
• Limfadenitis TB di rongga dada
(hilus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat
gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru.
• Pasien yang menderita TB paru
dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru.
Tuberkulosis Ekstraparu
• TB yang terjadi pada organ selain
paru, misalnya: pleura, kelenjar
limfe, abdomen, saluran kencing,
kulit, sendi, selaput otak dan
tulang.
• Diagnosis TB ekstra paru dapat
ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau
klinis.
©Bimbel UKDI MANTAP
LOKASI ANATOMI
170. 1) PASIEN BARU TB : adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari
28 dosis).
2) PASIEN YANG PERNAH DIOBATI TB : adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
•Pasien kambuh (relaps): adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap
dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-
benar kambuh atau karena reinfeksi).
•Pasien yang diobati kembali setelah gagal (failure): adalah pasien TB yang pernah diobati dan
dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
•Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah
diobati lebih dari satu bulan dan berhenti lebih dari dua bulan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
•Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
©Bimbel UKDI MANTAP
RIWAYAT PENGOBATAN SEBELUMNYA
171. •Resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
Mono resistan (TB
MR):
•Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama SELAIN
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Poli resistan (TB
PR):
•Resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
Multi drug resistan
(TB MDR):
•TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
Extensive drug
resistan (TB XDR):
•Resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap
OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat)
atau metode fenotip (konvensional).
Resistan Rifampisin
(TB RR):
©Bimbel UKDI MANTAP
HASIL PEMERIKSAAN UJI KEPEKAAN OBAT
172. ©Bimbel UKDI MANTAP
OAT Lini Pertama
Golongan 5: obat
yang belum jelas
manfaatnya dalam
pengobatan TB
resisten obat
Clofazimine (Cfz),
Linezolid (Lzd),
Amoxicilin/Clavulan
ate (Amx/Clv),
Thioacetazone
(Thz),
Imipenem/Cilastati
n (Ipm/Cln),
Isoniazid dosis
tinggi (H),
Clarithromycin
(Clr), Bedaquilin
(Bdq)
OAT untuk TB MDR
173. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
©Bimbel UKDI MANTAP
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan
obat sisipan (HRZE)
Kategori Anak : 2HRZ/4HR
179. a. Kehamilan
• Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali golongan
Aminoglikosida seperti streptomisin atau
kanamisin karena dapat menimbulkan
ototoksik pada bayi (permanent ototoxic)
dan dapat menembus barier placenta
• Pemberian Piridoksin 50 mg/hari
dianjurkan pada ibu hamil yang
mendapatkan pengobatan TB
• Pemberian vitamin K 10mg/hari juga
dianjurkan apabila Rifampisin digunakan
pada trimester 3 kehamilan menjelang
partus.
b. Ibu menyusui dan bayinya
• Pada prinsipnya pengobatan TB pada
ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua
jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
• Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB
kepada bayinya.
• Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai
dengan berat badannya.
©Bimbel UKDI MANTAP
TATALAKSANA TB PADA KONDISI KHUSUS
180. ©Bimbel UKDI MANTAP
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
• Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi
hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut.
• Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal
d. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
• Paduan OAT yang diberikan pada
prinsipnya sama dengan paduan OAT
bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat
kadar gula darah terkontrol
• Apabila kadar gula darah tidak
terkontrol, maka lama pengobatan
dapat dilanjutkan sampai 9 bulan
• Hati hati efek samping dengan
penggunaan Etambutol karena pasien
DM sering mengalami komplikasi
kelainan pada mata
• Perlu diperhatikan penggunaan
Rifampisin karena akan mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes
(sulfonilurea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
• Perlu pengawasan sesudah pengobatan
selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
181. ©Bimbel UKDI MANTAP
e. Pasien TB dengan gangguan ginjal
• Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada
pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2
HRZE/4 HR.
• H dan R diekskresi melalui empedu
sehingga tidak perlu dilakukan perubahan
dosis.
• Dosis Z dan E harus disesuaikan karena
diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian
3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15
mg/kg BB.
• Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan
Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah
terjadinya neuropati perifer.
• Hindari penggunaan Streptomisin dan
apabila harus diberikan, dosis yang
digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu
dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap
kali pemberian dan kadar dalam darah
harus selalu dipantau.
f. Pasien TB dengan HIV
• Penegakkan diagnosis TB paru pada
ODHA tidak terlalu berbeda dengan
orang dengan HIV negatif.
• Penegakan diagnosis TB pada umumnya
didasarkan pada pemeriksaan
mikroskopis dahak namun pada ODHA
dengan TB seringkali diperoleh hasil
dahak BTA negatif.
• Di samping itu, pada ODHA sering
dijumpai TB ekstraparu di mana
diagnosisnya sulit ditegakkan karena
harus didasarkan pada hasil
pemeriksaan klinis, bakteriologi dan
atau histologi yang didapat dari tempat
lesi
185. 1) Pasien TB dengan hepatitis akut
• Pemberian OAT pada pasien TB dengan
hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya
mengalami penyembuhan. Sebaiknya
dirujuk ke fasyankes rujukan untuk
penatalaksanaan spesialistik.
2) Pasien dengan kondisi berikut dapat
diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi
kronis
• Pembawa virus hepatitis
• Riwayat penyakit hepatitis akut
• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
• Reaksi hepatotoksis terhadap OAT
umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus
diwaspadai.
©Bimbel UKDI MANTAP
g. Pasien TB dengan kelainan hati
186. ©Bimbel UKDI MANTAP
3) Pasien TB dengan Hepatitis kronis
• Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan.
• Pirazinamid tidak boleh diberikan
• Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum
memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat
dipertimbangkan:
• 2 obat yang hepatotoksik
• 2 HRSE / 6 HR
• 9 HRE
• 1 obat yang hepatotoksik
• 2 HES / 10 HE
• Tanpa obat yang hepatotoksik
• 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon
(ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya sangat
lemah).
187. Kriteria
• Bila klinis (+) [ikterik (+), gejala mual muntah (+)] → OAT dihentikan
• Bila klinis (+) dan SGOT, SGPT ≥3 kali → OAT dihentikan
• Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan:
• Bilirubin >2 kali → OAT dihentikan
• SGOT, SGPT ≥5 kali → OAT dihentikan
• SGOT, SGPT ≥3 kali → teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan
• Hentikan OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ), berikan streptomisin dan etambutol
sambil menunggu fungsi hati membaik
• Jika keluhan dan gejala tidak hilan dan gangguan fungsi hati berat → berikan
streptomisin, etambutol, dan salah satu golongan quinolone sampai 18-24 bulan
• Jika gangguan fungsi hati teratasi → OAT dimulai kembali satu persatu, diawali dengan
rifampisin. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat diberikan. Sangat dianjurkan untuk
menghindari penggunaan pirazinamid.
©Bimbel UKDI MANTAP
h. Hepatitis Imbas Obat / Hepatitis Induced OAT
188. Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
•Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
•TB milier dengan atau tanpa meningitis
•Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
•Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing (untuk mencegah
penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan pada bronkus atau
pembuluh darah.
•Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
•IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
•Predinisolon (per oral):
•Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
•Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).
©Bimbel UKDI MANTAP
i. Pasien TB yang perlu mendapatkan kortikosteroid
189. ©Bimbel UKDI MANTAP
PNEUMONIA
Suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tidak termasuk.
Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi
bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut
pneumonitis.
190. Berdasarkan klinis dan
epidemiologis
a.Pneumonia komuniti
(community-acquired
pneumonia)
b.Pneumonia nosokomial
(hospital-acqiured
pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c.Pneumonia aspirasi
d.Pneumonia pada
penderita
Immunocompromised
©Bimbel UKDI MANTAP
Berdasarkan bakteri penyebab
a.Pneumonia bakterial/tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia.
Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang
yang peka, misalnya Klebsiella
pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita
pasca infeksi influenza.
b.Pneumonia atipikal, disebabkan
Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
c.Pneumonia virus
d.Pneumonia jamur sering
merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan
lemah (immunocompromised)
Berdasarkan predileksi infeksi
a.Pneumonia lobaris.
Sering pada pneumania
bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau
segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi
bronkus misalnya : pada
aspirasi benda asing atau
proses keganasan
b.Bronkopneumonia.
Ditandai dengan bercak-bercak
infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria
maupun virus. Sering pada bayi
dan orang tua. Jarang
dihubungkan dengan obstruksi
bronkus
c.Pneumonia interstisial
Treatment
KLASIFIKASI PNEUMONIA
191. ©Bimbel UKDI MANTAP
Berdasarkan predileksi infeksi
a.Bronkopneumonia.
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat
pada lapangan paru. Dapat disebabkan
oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang
dihubungkan dengan obstruksi bronkus
b.Pneumonia lobaris.
Sering pada pneumania bakterial, jarang
pada bayi dan orang tua. Pneumonia
yang terjadi pada satu lobus atau
segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya : pada aspirasi benda asing
atau proses keganasan
c.Pneumonia interstisial
192. Anamnesis
• Gambaran klinik biasanya ditandai dengan
• Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40 0C,
• Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan
nyeri dada.
Anamnesis juga ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab
yang berhubungan dengan faktor infeksi:
• Evaluasi faktor pasien atau predisposisi : PPOK (H. influenza), penyakit kronik (kuman jamak),
kejang/tidak sadar (aspirasi Gram negatif, anaerob), penurunan imunitas (kuman Gram negatif,
Pneumocystic carinii, CMV, Leginonella, jamur, Mycobacterium), kecanduan obat bius
(Staphylococcus)
• Lokasi infeksi : CAP (Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, M. pneumoniae), rumah jompo,
HAP (Pseudomonas, Staphylocioccus aureus, GNB)
• Usia pasien: bayi (virus), muda (M.pneumoniae), dewasa(S.pneumoniae)
• Awitan: cepat akut dengan rusty coloured sputum ( S. pneumoniae), perlahan, dengan batuk,
dahak sedikit (M.pneumoniae)
©Bimbel UKDI MANTAP
GAMBARAN KLINIS
193. Inspeksi
• bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas,
Palpasi
• fremitus dapat mengeras,
Perkusi
• redup,
Auskultasi
• terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki
basah kasar pada stadium resolusi.
©Bimbel UKDI MANTAP
Perhatikan gejala klinis yang
mengarah pada tipe kuman
penyebab:
• Awitan akut: S.pneumoniae,
Streptococcus spp, Staphylococcus,
pneumonia virus (mialgia, malaise, batuk
kering dan non produktif)
• Awitan lebih insidious: pada orang tua
atau immunocompromised, akibat kuman
oportunistik, misalnya Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman
anaerob, jamur
• Gejala atau bentuk tidak khas pada CAP
sekunder (akibat penyakit dasar paru)
ataupun HAP
• Warna, konsistensi dan jumlah sputum
penting untuk diperhatikan
PEMERIKSAAN FISIK
194. • Gambaran radiologis
– Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan
diagnosis.
– Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air
broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.
• Foto toraks → dapat sebagai petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya:
– Gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae →
sering juga diikuti dengan efusi pleura
– Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia
– Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas
kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
– Pada lobus bawah dapat terjadi infiltrat (bonkopneumonia) akibat Staphylococcus
atau bakteriemia. Pada segmen apikal lobus bawah sugestif untuk kuman aspirasi.
– Pneumonia interstitial oleh virus dan mikoplasma.
– Pembentukan kista→ pneumonia nekrotikans/supurativa, abses dan fibrosis akibat
terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S.aureus, K. pneumoniae dan kuman-
kuman anaerob
©Bimbel UKDI MANTAP
PEMERIKSAAN PENUNJANG
195. Community acquired pneumonia (CAP)
Nosocomial pneumonia
• Hospital acquired pneumonia (HAP)
• Ventilator associated pneumonia (VAP)
• Healthcare associated pneumonia (HCAP)
©Bimbel UKDI MANTAP
TIPE PNEUMONIA
197. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
• Foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif
ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 38 0C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda
konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
©Bimbel UKDI MANTAP
Berdasar kelas resikonya
– PSI/ PORT
– CURB-65
198. 1. PSI/ PORT
©Bimbel UKDI MANTAP
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang
dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah :
• 1. Skor PORT lebih dari 70
• 2. Bila skor PORT kurang < 70 maka
penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah
ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan
bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
• 3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
199. Total Score
Mortality
% Risk Level
Suggested
Site-of-
Care
0 0.6% Low Outpatient
1 2.7% Low Outpatient
2 6.8% Moderate Short
inpatient /
supervised
outpatient
3 14.0% Moderate
to High
Inpatient
4 or 5 27.8% High Inpatient /
ICU
Clinical Factor Points
C Confusion 1
U Blood urea
nitrogen > or
= 20 mg/dL
1
R Respiratory
rate > or = 30
breaths/min
1
B Systolic BP <
90 mm Hg
or Diastolic
BP < or = 60
mm Hg
1
65 Age > or = 65 1
2. CURB-65
200. Indikasi ICU CAP:
• 1 dari 2 gejala mayor
tertentu (bold merah)
• 2 dari 3 gejala minor
tertentu (bold merah)
©Bimbel UKDI MANTAP
Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan
bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik
syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan >
2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit
ginjal atau
• gagal ginjal yang membutuhkan dialisis
Kriteria Pneumonia Berat (Salah satu atau lebih)