Teks tersebut membahas tentang konsep niat dalam Islam. Niat didefinisikan sebagai maksud dan tujuan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Niat harus dilakukan di dalam hati dan tidak perlu dilafalkan. Niat bertujuan untuk membedakan antara ibadah dengan perbuatan biasa serta membedakan jenis ibadah yang dilakukan."
2. Etimologi NiatEtimologi Niat
Secara bahasa niat berarti maksud dan
tujuan. Kata niat juga diartikan sebagai
‘azam (kemauan keras). Penulis kitab
Mishbahul Munir mengatakan: “Kata niat
diartikan secara umum dengan kemauan
hati untuk melakukan suatu perkara”.
3. Asy SyaikhanAsy Syaikhan
رسول سمعت : قال عنه ا رضي ب الخطا بن عمر حفص ابي المؤمنين امير عن
فمن نوى ما امرئ لكل وانما لنيات با العمل انما : يقول وسلم عليه ا صلي ا
لدنيا هجرته كانت ومن ,ورسوله ا الي فهجرته ورسوله ا الي هجرته نت كا
اليه جر ها ما الي فهجرته ينكحها اة امر او يصيبها
Dari amirul mukminin, abi hafs Umar bin AL khattab Radiallahuanhu,
dia berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda : sesungguhnya
setiap perbuatan (tergantung pada niatnya ). Dan sesungguhnya
setiap orang ( akan dibalas ) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena ( ingin mendapatkan keridhaan ) Allah
dan rasulnya, maka hijrahnya kepada ( keridhaan ) Allah dan
rasulnya. Dan siapa yang hijrahnya karena karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya ( akan bernilai sebagaimana ) yang dia niatkan.
4. Imam NawawiImam Nawawi
Secara syar’i, niat berarti keinginan kepada
sesuatu dan kemuan keras untuk
melakukan sesuatu. Sebagian ulama
menyamakan antara niat dengan ikhlas
yaitu mengikhlaskan agama hanya kepada
Allah Ta’ala. Karena maksud utama dari
niat itu sendiri adalah ibadah kepada Allah.
5. Tempat NiatTempat Niat
Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui
bahwasanya tempat niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena
sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui
orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang
tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui
apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak
bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga
engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun
engkau berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang
mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan
hatimu.
6. Tidak DilafadzkanTidak Dilafadzkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menegaskan hal yang serupa, beliau berkata,
“Tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang
menukil baik dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam
maupun salah seorang dari para sahabat
radhiallahu’anhum bahwasanya dia mengucapkan
niat sebelum takbir (takbiratul ihram, pen) dengan
lafadz-lafadz niat baik dengan suara lirih maupun
keras dan tidak pula memerintahkan hal
ini.”(Majmu’ Fatawa 22/237, Maktabah Asy
Syamilah)
7. Teladan TerbaikTeladan Terbaik
أصلى رأيتمونى كما صلوا
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad dan dikeluarkan di Irawaul Ghalil
No. 213)
8. QS 49 : 16QS 49 : 16
تِ واَا ماَا سَّ ال ف يِ ماَا مُ م لَا عَْل يَا هُ م لَّ والَا مَْل كُ م نِ ديِ بِ هَا لَّ ال نَا موُ م لِّم عَا تُ م أَا لَْل قُ م
ضِ رَْل لَْلَا ا ف يِ ماَا وَا
“Katakanlah, Apakah kamu akan
memberitahukan kepada Allah tentang
ketaatanmu, padahal Allah mengetahui apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu?”
(Qs. AL-Hujurat: 16)
9. Tidak Ada Hadits ShohihTidak Ada Hadits Shohih
Semua Ulama Mujtahid mutlak
menyatakan
Jika pendapatku berbeda dengan hadits
shohih, ikutlah hadits shohih dan buanglah
pendapatku, karena hadits shohih lah
madzhabku.
10. Imam Syafi’iImam Syafi’i
Hilyatul Auliya’, 9: 107Hilyatul Auliya’, 9: 107
Hilyatul Auliya’, 9: 107Hilyatul Auliya’, 9: 107
فِ الَا خِ بِ لِ قَْل نَّ ال لِ هَْل أَا دَا نَْل عِ هللاِ لِ سوُ م رَا نَْل عَا رُ م بَا خَا لَْل ا هاَا يَْل فِ َحَّ صَا ةٍ ص لَا أَا سَْل مَا لّ َم كُ م
ت يِ وَْل مَا دَا عَْل بَا وَا ت يِ ياَا حَا ف يِ هاَا نَْل عَا عٌ ع جِ راَا اَا أنَا فَا تُ م لَْل قُ م ماَا
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya
menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut
bertentangan dengan pendapatku, maka aku
menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik
semasa hidupku maupun sesudah matiku.”
11. Syaikh Al UtsaiminSyaikh Al Utsaimin
Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah berkisah: “Betapa eloknya cerita tentang
seorang, sebagian orang telah bercerita kepadaku tentangnya, “Ada
seseorang yang berada di masjidil haram telah lama ia ingin mendirikan
shalat, ketika iqamah dikumandangkan iapun berkata, “Ya Allah, aku
berniat akan menunaikan shalat dzuhur empat rakaat karena Mu dibelakang
imam Masjidil Haram.” Namun tatkala ia hendak mengangkat kedua
tangannya untuk takbiratul ihram,ada orang yang berkata kepada si
pengucap niat, “Tunggu dulu masih ada yang tersisa!” Pengucap niat
menjawab,”Apa yang tersisa?”Dia berkata, “Katakanlah (dalam ucapan
niatmu) pada hari ini, pada tanggal ini, pada bulan ini, pada tahun ini
sampai engkau tidak abaikan satupun ini dan itu”. Maka si pengucap niat
terheran-heran. Pada hakekatnya pelajaran penting dari kisah ini adalah
rasa heran si pengucap niat. Penegur berkata, “Bukankah engkau tahu
Allah Maha Mengetahui apa yang engkau maksudkan dalam hatimu?”
Pengucap niat menjawab, “Tentu Allah tahu apa yang terlintas dalam
jiwamu” “Tidakkah engkau tahu bahwa Allah maha mengetahui jumlah
bilangan rakaat dan waktu-waktunya?” Si pengucap niat pun terdiam.
Karena dia meyadari tentang hal ini bahwa niat itu tempatnya di hati.”
12. Fungsi NiatFungsi Niat
1. Untuk membedakan amalan itu ibadah ataupun adat dan
perbuatan biasa. Misal : mandi , mandi ini adalah hal biasa, namun jika
dilakukan dengan niat ibadah , maka mandi ini akan bernilai ibadah,
misal mandi wajib, mandi sebelum ihram, mandi sebelum sholat jum’at,
begitu juga orang berkumur-kumur kemudian mencuci muka dan
tangan dan mengusap kepala serta kaki, kalo dilakukan setelah
bangun tidur dengan tujuan supaya bersih maka ini adalah hal biasa
bukan ibadah, namun jika di lakukan dengan niat wudhu maka bernilai
ibadah dsb.
2. Untuk membedakan amalan satu dengan yang lainnya, Misalnya:
orang menjamak sholat dhuhur dan ashar, keduanya dilakukan dalam
satu waktu & sama-sama 4raka’at, maka untuk membedakan ini sholat
dhuhur & itu sholat ashar adalah dengan niat, atau misalnya : kita
masuk masjid kemudian kita sholat 2 raka’at, ada kemungkinan kita
melakukan sholat tahiyatul masjid atau sholat sunnah qobliyah
(sunnah rawatib) untuk membedakannya adalah dengan niat dsb.
13. 4 Varian Ibadah4 Varian Ibadah
1. Iklash yang sesuai dengan syariat
2. Iklash namun tidak sesuai syariat
3. Sesuai syariat tetapi tidak iklash
4. Tidak iklash dan tidak sesuai dengan
syariat,
14. QS Al Bayyinah 98:5QS Al Bayyinah 98:5
“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus.”
15. QS An Nisa 4 : 114QS An Nisa 4 : 114
هِ تهيِ ؤِْت نُؤ فَ ن وِْت سَ ن فَ ن هِ ِهـلَّ ال تِ ضتاَ ن رِْت مَ ن ءَ ن غتاَ ن تِ بِْت ا كَ ن لِ َذَٰ ن لِْت عَ ن فِْت يَ ن م نَ ن وَ ن
متاًا ظهيِ عَ ن راًا جِْت أَ ن
Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala
yang besar.
19. KHOTIMAHKHOTIMAH
Do your best, Be the best,Do your best, Be the best,
Allah will take care of the restAllah will take care of the rest
Doddy Al Jambary 0818 884 844Doddy Al Jambary 0818 884 844
2ABED4A62ABED4A6 jambary67@gmail.comjambary67@gmail.com
slideshare.net/Aljambaryslideshare.net/Aljambary
www.cordova.co.idwww.cordova.co.id
مَّل هُ لَّل ال كَءا نَءا حءاَءا بْاَن سُ مَّل هُ لَّل ال كَءا نَءا حءاَءا بْاَن سُ
كَءا دِي مْاَن حَءا بِي وَءاكَءا دِي مْاَن حَءا بِي وَءا
تَءا نْاَن أَءا لَّل إِي هَءا إلِي لَءا نْاَن أَءا دُ هَءا شْاَن أَءاتَءا نْاَن أَءا لَّل إِي هَءا إلِي لَءا نْاَن أَءا دُ هَءا شْاَن أَءا
َءا َءاَءا َءا
Notas do Editor
Rasulullah SAW mengeluarkan Hadist diatas ( asbab Al-wurud ) nya adalah untuk menjawab pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya rasulullah SAW. dari mekkah ke madinah. Yang diikuti oleh sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu salah seorang laki-laki yang turut berhijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan Islam melainkan hendak menikah dengan seorang wanita yang bersama Ummu Qais. Wanita itu rupanya telah bertekad akan turut hiijrah. Sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di mekkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini ditempat tujuan hijrahnya rasulullah SAW. yakni madinah, sehingga laki-laki itupun ikut hijrah ke madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan kepada rasulullah SAW, apakah hijrah dengan motif itu diterima ( maqbul ) atau tidak, rasulullah SAW menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadis diatas.[2]
Dalam beberapa hadis banyak kita jumpai hadis yang mengandung perintah untuk berbuat ( amal ) kebaikan, menjaga, menggunakan, memanfaatkan, waktu sebaik-baiknya. Agar waktu yang telah terlewatkan tidak terbuang secara sia-sia karena kita tanpa menggunakan waktu sebagaimana mestinya.selain itu kita juga harus tahu bahwa setiap amal perbuatan yang kita lakukan baik kecil maupun besar pasti juga akan mendapat ganjaran yang pantas sesuai dengan apa yang telah kita kerjakan.
(Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Hal. 30)
Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu’anhum bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)
Bagaimana memantapkan hati? adakah contoh dari beliau SAW?
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[1]
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[2]
Imam Syafi’i juga berkata,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[3]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”[4]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[5]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[6]
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”[7]
Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 18). Kita sepakati bersama bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebaik-baik perkataan dibanding perkataan si fulan.
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).
Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”[8]
Semoga kata-kata Imam Syafi’i di atas menjadi teladan bagi kita dalam berilmu dan beramal. Tidak membuat kita jadi fanatik dan taklid buta pada suatu madzhab. Boleh saja kita menjadikan madhzab Syafi’i sebagai jalan mudah dalam memahami hukum Islam. Namun ingat, ketika pendapat madzhab bertentangan dengan dalil, maka dahulukanlah dalil. Jadi kita tidak diajarkan cuma sekedar fanatik.
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Majmu’ Al Fatawa, 20: 211.
[2] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[3] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.
[4] Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35.
[5] Hilyatul Auliya’, 9: 107.
[6] Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35.
[7] I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.
[8] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih
Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah berkisah: “Betapa eloknya cerita tentang seorang, sebagian orang telah bercerita kepadaku tentangnya, “Ada seseorang yang berada di masjidil haram telah lama ia ingin mendirikan shalat, ketika iqamah dikumandangkan iapun berkata,
اللهم إني نويت أن أصلي الظهر أربع ركعات لله تعالى ، خلف إمام المسجد الحرام
“Ya Allah, aku berniat akan menunaikan shalat dzuhur empat rakaat karena Mu dibelakang imam Masjidil Haram.”
Namun tatkala ia hendak mengangkat kedua tangannya untuk takbiratul ihram,ada orang yang berkata kepada si pengucap niat,
“Tunggu dulu masih ada yang tersisa!”
Pengucap niat menjawab,”Apa yang tersisa?”
Dia berkata, “Katakanlah (dalam ucapan niatmu) pada hari ini, pada tanggal ini, pada bulan ini, pada tahun ini sampai engkau tidak abaikan satupun ini dan itu”. Maka si pengucap niat terheran-heran. Pada hakekatnya pelajaran penting dari kisah ini adalah rasa heran si pengucap niat.
Penegur berkata, “Bukankah engkau tahu Allah Maha Mengetahui apa yang engkau maksudkan dalam hatimu?”
Pengucap niat menjawab, “Tentu Allah tahu apa yang terlintas dalam jiwamu”
“Tidakkah engkau tahu bahwa Allah maha mengetahui jumlah bilangan rakaat dan waktu-waktunya?” Si pengucap niat pun terdiam. Karena dia meyadari tentang hal ini bahwa niat itu tempatnya di hati.”(Majmu’ Fatwa Wa Rasail Ibni Utsaimin 12/366, Maktabah Asy Syamilah).