4. ASI mengandung antibodi, terutama IgA,
dan bayi mendapat antibodi ibu (IgG) lewat plasenta.
Namun, keduanya tidak bertahan selamanya.
IgG akan menghilang menjelang usia 1 tahun.
5. Antibodi tersebut juga tidak dapat digunakan
untuk melawan semua penyakit.
Untuk penyakit yang berbeda, perlu antibodi yang berbeda.
Antibodi untuk cacar air berbeda dari antibodi untuk
pneumonia.
6. Jadi, meskipun ASI dapat memberikan perlindungan,
tetap saja tidak dapat menggantikan imunisasi.
8. Gejala khas autisme biasanya mulai disadari
saat anak terlambat bicara di atas usia 1 tahun.
Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan.
Akibatnya, banyak orangtua mengaitkan keduanya.
9. Kejadian autisme meningkat sejak 1979 karena kepedulian
dan kemampuan mendiagnosisnya meningkat.
Namun, tidak ada lonjakan tidak proporsional
sejak diperkenalkan vaksin MMR pada tahun 1988.
11. Pada 2004, Institute of Medicine (IOM) menganalisis
semua penelitian yang melaporkan hubungan
antara vaksin MMR dengan autisme.
Hasilnya, semua penelitian tersebut cacat secara metodologis.
Artinya, tidak terbukti ada hubungan antara
vaksin MMR dengan autisme.
13. Vaksin sangat aman.
Hampir semua efek sampingnya ringan dan sementara, misal
nyeri bekas suntikan, bengkak, atau demam ringan.
14. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
yang mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi
sebagian besar bersifat koinsidens.
15. Risiko yang akan ditanggung
jika anak terkena penyakit langsung tanpa imunisasi
akan jauh lebih besar dibanding manfaat vaksin.
16. MITOS 4
Banyak penyakit yang sudah hilang
sebelum adanya vaksin berkat meningkatnya
higienitas dan sanitasi.
17. Berdasar data, pernyataan ini salah.
Di Canada, sanitasi dalam keadaan baik sejak 1990,
kasus meningitis Hib adalah 2000 kasus per tahun.
Setelah program imunisasi, turun menjadi 52 kasus, mayoritas
pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi.
18. Tahun 1974, di Inggris, karena ketakutan
pada efek samping vaksin pertusis,
cakupan imunisasi pertusis menurun drastis.
Ini diikuti dengan wabah pertusis pada tahun 1978
dengan 100.000 kasus dan 36 kematian.
19. Di waktu yang sama,
cakupan imunisasi pertusis di Jepang menurun.
Ini menyebabkan lonjakan kasus pertusis,
dari 393 kasus tanpa kematian menjadi 13.000 kasus
dengan 41 kematian pada tahun 1979.
20. Pengalaman ini jelas membuktikan bahwa
tanpa imunisasi penyakit tidak akan menghilang
dan akan kembali lagi saat program imunisasi dihentikan.
22. Dalam kejadian luar biasa (KLB),
jumlah anak sakit yang pernah diimunisasi lebih banyak
daripada yang sakit dan belum diimunisasi.
Penjelasannya sebagai berikut.
23. Pertama:
Tidak ada vaksin yang 100% efektif.
Efektivitas kebanyakan vaksin pada anak adalah 85-95%,
tergantung respon individu.
24. Kedua:
Jumlah anak yang diimunisasi lebih banyak
daripada anak yang tidak diimunisasi di negara yang
menjalankan program imunisasi.
25. Misalnya, di sekolah dengan 1000 murid .
Ada 25 murid belum diimunisasi campak sama sekali,
sisanya telah diimunisasi campak 2 kali.
26. Ketika semua murid terpapar campak,
25 murid yang tidak diimunisasi menderita campak.
Dari kelompok yang sudah diimunisasi, 50 murid sakit.
28. Padahal jika dihitung dari efek proteksi,
imunisasi memberikan efek proteksi (975-25)/975 = 94,8%,
sedangkan yang tidak diimunisasi mendapatkan proteksi
sebesar 0/25 = 0%.
29. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak diimunisasi
akan sakit campak, sedangkan hanya 5,2% murid yang
diimunisasi terkena campak.
Jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.