1. PERSPEKTIF POLITIK HUKUM DAMPAK UU
23/2014 TERHADAP PENGELOLAAN
SUMBER DAYA HUTAN
Rikardo Simarmata
(Fak. Hukum Univ. Gadjah Mada)
Disampaikan pada Workshop Implikasi UU No. 23 Tahun
2014
Pusat Kebijakan Strategis Kementerian Lingkungan
Hidup&Kehutanan, 2 November 2015
2. Politik hukum
Membicarakan pengaruh politik terhadap proses
pembuatan beserta isi peraturan hukum, namun
bukan sebaliknya
Perspektif politik hukum diperlukan karena:
1) Hukum bukan entitas otonom atau sistem tertutup
yang dapat menyelesaikan masalahnya sendiri
2) Politik tidak bisa dipisahkan dari hukum karena
politik pada dasarnya adalah usaha untuk
menentukan peraturan-peraturan yang akan
mengatur perilaku warga
3) Proses hukum ditentukan oleh konsep dan
struktur politik. Hukum, sedikit banyak adalah alat
politik (Daniel S. Lev, 1990).
Politik hukum dengan memeriksa teks, bukan
proses pembuatan peraturan hukum. Tidak
komprehensif karena hanya menyangkut
ketentuan mengenai urusan pemerintahan
khususnya bidang kehutanan
3. Muatan UU No. 23/2014
Hubungan pemerintah pusat dan daerah
Penegasan konsep proses terbentuknya
pemerintahan dalam negara kesatuan bahwa
pemerintah nasional lah yang pertama dibentuk,
untuk selanjutnya membentuk daerah
Pemerintah nasional/pemerintah pusat memiliki
kekuasaan pemerintahan yang ditransfer kepada
daerah untuk diselenggarakan melalui
desentralisasi, dekonsentrasi atau tugas
pembantuan. Dengan kata lain urusan
pemerintahan yang dimiliki daerah, berasal dari
pemerintah pusat (presiden)
Karena kekuasaan pemerintahan berasal dari
pemerintah pusat maka pelaksanaanya di
daerah perlu diawasi dan dibina oleh pemerintah
pusat
4. Muatan UU No. 23/2014
Hubungan pemerintah pusat dengan
daerah
Dalam negara kesatuan
kekuasaan hanya di tangan
pemerintah nasional. Pemerintah
daerah merupakan bagian
integral dari pemerintah nasional.
Sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan maka tanggung
jawab terakhir penyelenggaraan
pemerintahan ada pada
pemerintah pusat
5. Muatan UU No. 23/2014
Pembagian urusan pemerintahan
Penyelenggaraan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan
dibagi antara pemerintah pusat dan
daerah provinsi, kecuali
pengelolaan Tahura diserahkan
daerah kab/pemkot (Ps. 14 ayat 1)
Kebijakan daerah (Perda, Perkada,
Keputusan kepala daerah harus
bersesuaian dengan NSPK, jika
tidak akan dibatalkan (Ps. 17 ayat
3)
Selain urusan pemerintahan wajib
dan konkuren, ada urusan
pemerintahan umum yang menjadi
kewenangan presiden
6. Muatan UU No. 23/2014
Pembagian urusan pemerintahan
Daerah provinsi mendapat
limpahan kewenangan hanya
untuk hutan produksi dan
lindung. Pelaksanaan
pemanfaatan hasil hutan hanya
untuk hasil hutan bukan kayu
(Lampiran)
Daerah kabupaten/kota tidak
dilimpahi kewenangan dalam
urusan kehutanan
(perencanaan dan
pengelolaan) kecuali
pengelolaan Tahura (Lampiran)
7. Muatan UU No. 23/2014
Pelaksanaan urusan pemerintahan
Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, mendapat
limpahan kewenangan dari
Presiden dalam melakukan
pengawasan dan pembinaan
kewenangan daerah. Dengan
demikian Gubernur secara
hirarkis berada di bawah
Presiden
8. Muatan UU No. 23/2014
Otonomi daerah
Daerah merupakan
masyarakat hukum yang
berwenang mengatatur dan
mengurus dirinya sesuai
aspirasi dan kepentingan
masyarakat
Keseimbangan: pemerintah
pusat memperhatikan
kearifan lokal sementara
kebijakan daerah
memperhatikan kepentingan
9. Kesimpulan tafsir atas UU
23/2014
Ada nuansa menonjolkan
kendali pemerintah pusat
dalam soal pembagian urusan
pemerintahan dan relasi
antara pemerintah pusat
dengan daerah
Apa penjelasan perspektif
politik untuk muatan UU No.
23/2014 yang demikian?
Pengaturan urusan kehutanan
selalu merupakan tarik
menarik kepentingan
pemerintah pusat dan daerah
10. Kisah dekade 50an s/d 70an
(1)
Sejak tahun 1950 sampai dengan 1969,
daerah berwenang memberikan hak
pengusahaan hutan. Masing-masing:
gubernur maksimal 10.000 ha dan
bupati/walikota maksimal 5.000 ha (small-
scale logging/kapersil)
Di Kalimatan Timur, pada dekade 50an awal
kewenangan tersebut diberikan kepada eks
kerajaan (daerah swapraja, daerah istimewa)
Bahkan setelah Keadaan Darurat
diberlakukan pada tahun 1958 dan UU No.
5/1967 diberlakukan, kewenangan tersebut
masih belum dihapuskan
11. Kisah dekade 50an s/d 70an
(2)
Faktor baru bergabungnya negara-negara
serikat dan merespon pemberontakan
sejumlah daerah, memaksa pemerintah
pusat membagi kewenangan urusan
kehutanan kepada daerah
Kampanye nasionalisme dengan menolak
investasi asing dalam bidang kehutanan
menjadi faktor penguat
Produk hukum yang menjadi buah dari
proses dan struktur politik tersebut adalah PP
No. 64/1957 ttg Penyerahan sebagian dari
urusan pemerintah pusat dilapangan
perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat
kepada daerah-daerah swatantra tingkat I
swatantra tingkat I
12. Kisah dekade 50an s/d 70an (3)
Koalisi pemilik HPH skala besar, Direktorat
Jenderal Kehutanan dan para petinggi militer,
mengkampanyekan sentralisasi pengurusan
bidang kehutanan lewat pemberlakuan UU
No. 5/1967 dan PP No. 21/1970 ttg Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan
Hasil Hutan
Argumen yg dikampanyekan oleh koalisasi
tersebut untuk men-sentralisasi bidang
kehutanan bahwa untuk keperluan
konservasi hutan, sentralisasi lebih efektif
dari desentralisasi
Alasan sesungguhnya dibalik agenda politik
tersebut adalah kekawatiran bahwa
pendapatan yang besar dari sektor
kehutanan dapat melahirkan akumulasi
ekonomi&politik yg signifikan di luar Jakarta
(Manning 1971; Magenda 1991; Jemadu
1996).
13. Penjelasan konteks politik UU No.
23/2014
Daerah memiliki bargaining
position dan Pemerintah Pusat
mempertimbangkannya dalam
pembuatan produk hukum
Pemerintah Pusat membuat
produk hukum sebagai bagian dari
‘meredakan’ gejolak di daerah
Aktor-aktor di pusat
memperjuangkan penghapusan
desentralisasi dengan alasan
sistem sentralistik lebih baik
14. Tantangan UU No. 23/2014
Bagaimana mewujudkan hak
mengurus dan mengatur diri sendiri
dalam bidang kehutanan dengan
sentralisme?
Ketidakharmonisan dengan UU No.
6/2014 yang bersemangat melakukan
devolusi (transfer of power)
Tidak seimbangnya jumlah SDM
dengan luasan kawasan hutan yang
harus diurus