Pemerintah melakukan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan (IP4T) untuk menyelesaikan klaim tenurial di kawasan hutan. Namun, peraturan dan pedoman pelaksanaannya dinilai kurang memadai karena tidak menjelaskan definisi, kriteria objek inventarisasi, dan penyelesaian masalah-masalah kompleks seperti hutan adat. IP4T perlu dilaksanakan secara hati
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
Abdul wahib situmorang - presentasi IP4T
1. CATATAN KRITIS TENTANG INISIATIF
PEMERINTAH MELAKUKAN INVENTARISASI
PENGUASAAN, PEMILIKAN, PEMANFAATAN
DAN PENGGUNAAN LAHAN TERUTAMA (IP4T)
DI DALAM KAWASAN HUTAN
Dr. Abdul Wahib Situmorang
15-16 September 2015, FGD IP4T
Pusat Kebijakan Stretegis LHK
2. • Realita di tingkat tapak menunjukan tidak semua kawasan hutan yang
ditunjuk oleh pemerintah bebas klaim, terutama klaim yang berasal dari
masyarakat lokal dan masyarakat adat
• Satu dekade terakhir, tumpah tindih terjadi lebih dari dua lapis dengan
masuknya pendatang ke kawasan hutan, baik di dalam kawasan yang telah
diberikan izin atau di dalam kawasan hutan negara.
• Tingginya harga komoditi kelapa sawit dan tambang, ini mendorong
“pemodal” dan kelompok masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan,
berusaha dan mengambil sumberdaya yang ada.
• Tidak dipungkiri banyak pemukiman masuk di dalam kawasan hutan dan ini
divalidasi oleh hasil inventarisasi desa di sekitar dan di dalam kawasan
hutan oleh BPS dan Kemenhut.
• Keempat fenomena di atas banyak terjadi di dalam kawasan hutan
LATAR BELAKANG
3. SOLUSI-KEBIJAKAN
• Pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri
Dalam Negeri RI, Menteri Kehutanan RI, Menteri
Pekerjaan Umum RI dan Kepala BPN RI Nomor 79 Tahun
2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17-PRT/M/2014,
8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah di dalam Kawasan Hutan
• Diharapkan bisa menangani masalah klaim tenurial di
dalam kawasan hutan yang akan dilakukan oleh
Pemerintah
4. CATATAN KRITIS #
1 • Komposisi keangotaan. Keanggotaan IP4T-satu unit kerja yang melakukan
tugas inventarisai penguasaan, pemilikan, pengunaan dan pemanfaatan tanah
di kawasan hutan-didominasi oleh lembaga pemerintah. Keanggotaan ini akan
lebih kuat dan saling melengkapi apabila memasukan kelompok masyarakat
sipil, akademisi dan tokoh masyarakat.
• Dasarnya adalah keanggotaan tidak hanya mempertimbangkan jabatan-
melekat kewenangan dijabatan tersebut- tetapi juga pengetahuan atas
masalah tenurial di dalam kawasan hutan, solusi berbasis lokal ditautkan
dengan aturan nasional dan kemampuan komunikasi dengan berbagai
kelompok atau pemohon nantinya
• Definisi. Baik di peraturan bersama dan juga di Juklak peraturan bersama, apa
yang dimaksud dengan penguasaan, pengunaan, pemanfaatan dan pemilikan
sangat abstrak. Pemilikan-hubungan hukum terdaftar atau tidak terdaftar,
penguasaan hubungan hukum, pengunaan-wujud tutuoan permukaan bumi
alami atau kegiatan manusia dan pemanfaatan-mendapatkan nilai tambah
tanpa mengubah fisik penggunaan tanahnya
• Karena ketiadaan definisi tersebut, peraturan bersama dan juklak juga gagal
menjelaskan kriteria dari masing-masing kategori objek yang akan di
inventarisasi. Padahal, ini diperlukan agar semua orang mengerti dan paham
dan tidak menimbulkan pertanyaan apalagi interpretasi yang beragam
5. CATATAN KRITIS #
2
• Data Fisik. Tidak ada juga penjelasan lebih jauh “apa yang dimaksud dengan
data fisik dan data yuridis serta bentuknya” di dalam peraturan bersama dan
Juklaknya sendiri. Dengan kata lain, data fisik apa dan dasar yuridis apa saja
yang akan dikumpulkan dan mengapa itu yang dipilih.
• Fungsi lindung dan konservasi. Peraturan bersama dan Juklak juga tidak
memberikan penjelasan dan jalan keluar bagaimana jalan keluarnya apabila
tanah tersebut berada di satu bentang alam yang berfungsi menjaga hidrologi,
longsor, banjir atau habitat spesies yang dilindungi dan hampir punah
• Hutan adat. Peraturan bersama dan Juklak tidak menjelaskan berdasarkan
Undang-undang kehutanan pengakuan hutan adat melalui Perda dan apabila
berada di dalam kawasan hutan konservasi perlu mendapatkan persetujuan
DPR. Bagaimana peraturan bersama menjawab isu ini? Apakah ini
dilemparkan kembali ke KLHK untuk menjawab permasalahan ini? Jika iya,
prosesnya tidak ada yang berbeda sesungguhnya
• Ruang Kelola dan “rimbo sekampung” masyarakat. Peraturan bersama dan
Juklak tidak menjelaskan bagaimana rekomendasi menyelesaikan satu
kawasan milik masyarakat lokal atau adat di dalam kawasan hutan, diberi izin
ke pelaku usaha dan kemudian “dirambah” oleh para pendatang. Kasus ini
banyak terjadi di Jambi, Sumatera Selatan dan Riau
6. PRA-SYARAT #1
• Pelaksanaan IP4T tidak hanya melakukan inventarisasi
fisik dan yuridis. Lalu diverifikasi dengan
membandingkan antara peta kawasan hutan dengan
peta penggunaan tanah saat ini. Hasilnya diberikan
kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
untuk diproses pelepasan kawasan hutan melalui tata
batas dan pengkuhan kawasan hutan atau revisi RTRW.
• Kalau ini dilakukan, IP4T tidak banyak berarti karena BPS
dan Kementerian Kehutanan telah mengidentifikasi
pemukiman di dalam kawasan hutan dan telah di-
overlay ke dalam peta kawasan hutan. Belum lagi peta
kawasan adat dan sejumlah peta konflik yang dibuat
oleh berbagai pihak
7. PRA-SYARAT #2
• Terhadap pendatang di dalam kawasan hutan. pengakuan tidak cukup
diberikan oleh Pemerintah dalam bentuk tanda bukti hak. Pengakuan pertama
harus diberikan masyarakat lokal kepada pendatang . Setelah itu, pengakuan
dari Negara bisa diberikan. Ini telah menapis kemungkinan kejahatan
terorganisir menguasai lahan atas nama masyarakat. Bila ini terjadi Gakum
harus dikedepankan
• Kedudukan hutan desa, hutan kemasyarakatan, kemitraan dan wilayah adat
atau hutan adat. Pemerintah perlu memperjelas posisi masing-masing
mekanisme yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, kemitraan dan wilayah adat atau
hutan—kapan masing-masing akan dipergunakan sementara di dalam
peraturan “produk akhirnya” hanya satu SURAT HAK ATAS TANAH. Sementara
realitanya tidak demikian terutama di luar Pulau Jawa.
• Implikasi terhadap SDM, waktu dan biaya. Karena kompleksnya masalah
tenurial dan jalan keluarnya tidak tunggal maka Tim IP4T tidak mungkin dan
tidak akan memadai apabila hanya diisi oleh pimpinan SKPD, lembaga vertikal
pemerintah pusat di daerah dan muspida. SDM juga perlu beragam-ahli dan
kelompok masyarakat sipil dan perlu dibantu tim teknis yang multi disiplin dan
bekerja penuh waktu
8. PRA-SYARAT #3
• Terkait dengan waktu, kalau melihat Juklak setiap proses paling lama
membutuhkan waktu enam bulan. Dengan asumsi di atas, proses bisa
memakan waktu lebih dari enam bulan sampai dengan “bentuk
pengakuan” tidak hanyak hak atas tanah diberikan ke “pemohon”. Apakah
sudah dihitung berapa lama proses di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanannya?
• Terkait dengan biaya, kalau kita melihat Juklak item biaya belum
memasukan inventarisasi solusi lokal, SDM beragam, proses dialog dan
penyiapan kelembagaan di tingkat masyarakat dan proses politik di
daerah seperti perubahan RTRW atau pengakuan hutan adat apabila
masih mengacu kepada undang-undang yang ada. Tanpa memasukan
item-item biaya tadi, maka IP4T sama dengan prsoes pemberian sertifikat
yang nature-nya disini sangat berbeda
9. PELAKSANAAN DAN MONITORING
• Pelaksanaan IP4T. Dalam pelaksanaannya, baik pada
peraturan dan Juklak tidak diatur bagaimana proses IP4T ini
menjamin proses transparansi, akuntabel, tidak bias dan
berpihak kepada anggota partai tertentu, kepala desa,
camat atau bupati dan integritas para anggota tim terjamin
• Mekanisme pengaduan, monitoring dan evaluasi. Dalam
peraturan dan Juklak juga tidak diatur mekanisme
pengaduan dan monitoring dan evaluasi terhadap persiapan
dan pelaksanaan IP4T ini sendiri
10. REKOMENDASI
• Pertimbangan-pertimbangan diatas perlu diperhatikan dan berdasarkan
pengalaman, apabila pertimbangan diatas tidak dijawab dan disikapi
secara memadai, IP4T bukan bagian solusi tetapi akan menjadi masalah
baru, menambah jurang kepemilikan, pemutihan kesalahan dan
menimbukan kecemburuan sosial baru.
• Perlu dilaksanakan dengan mempergunakan pendekatan “step wise
atau langkah dan tahapan secara bijakasana”. Perlu dibuat beberapa
fase seperti “fase kesiapan”-apa saja yang harus disiapkan agar
pelaksanaan IP4T berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan termasuk
melakukan sejumlah perubahan UU dan peraturan dibawahnya. Fase
ujicoba-membuat beberapa tempat ujicoba dengan memperhatikan
sejumlah tipologi dan terakhir fase implementasi penuh—dijalankan
ketika pembelajaran pada fase uji coba diperbaiki