Teks tersebut membahas hubungan antara pikiran dan penyakit kulit. Psikodermatologi dibagi menjadi 3 kategori: 1) kelainan psikofisiologi yang dipengaruhi stres, 2) kelainan psikiatri primer seperti trikotilomania, dan 3) kelainan sekunder seperti depresi akibat vitiligo. Stres dapat mempengaruhi penyakit kulit melalui sistem imun. Pengobatan meliputi penurunan stres dan psikot
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
Psikodermatologi
1. Psikodermatologi :
Hubungan Antara Pikiran dan Penyakit Kulit
Made Wardhana
Lab/SMF Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unud/RS Sanglah
Denpasar, Bali.
Abstrak
Psikodermatologi sering juga disebut kelainan psikokutaneous merupakan suatu interaksi
antara faktor psikis dan kejadian penyakit kulit. Psikodermatologi dibagi menjadi 3 kategori.
Pertama, kelainan psikofisiologi, kekambuhan penyakit kulit yang dihubungkan dengan
keadaan emosinal atau stresor psikis, misalnya; psoriasis, dermatitis, urtikaria dll. Kedua,
kelainan psikiatri primer sesuai dengan kondisi psikologi pasien tentang bentuk kelainan kulit
yang dipikirkan oleh pasien misalnya trikhotilomania, delusi parasitosis dan sebagainya.
Ketiga, kelainan psikiatri sekunder, timbulnya masalah emosi sebagai akibat dari penyakit
kulit yang diterita, walaupun tidak berat seperti vitiligo dan alopesia, keadaan ini disebabkan
oleh kurangnya rasa percaya diri depresi atau phobia sosial.
Sebagian besar kelainan psikodermalologi ini dapat diobati dengan cara menurunkan
kecemasan atau menghilangkan sumber terjadinya gangguan emosi, dan pada kasus yang
berat dapat diberikan obat psikotropika.
Kata kunci : Psikodermatologi, Psokoneuroimunologi, Hubungan pikiran dan kulit.
Psychodermatology :
Link Between Mind and Skin Disease
Made Wardhana
Dept. of Dermato-venereology, Udayana Medical Faculty/Sanglah Hospital,
Denpasar, Bali
Abstract :
Psycho dermatology is often called as the deviation of psychocutaneous which is the
interaction between psychological factor and dermatological disease. Psycho dermatology is
divided into 3 categories : first, the deviation of psychophysiology, the flaring up of
dermatological disease which is related by the emotional or psychological stressor, such as :
psoriasis, dermatitis, urticarian, etc. Second, the deviation of primary psychiatry according to
the condition of the psychological patients about the form of the dermatological deviation
which is thought by the patients such as : trichotilomania, parasitoids delusion and so on.
Third, the deviation of secondary psychiatry, caused by emotional problems as the result of
dermatological disease that suffered, though it is not serious such as vitilago and alophecia,
this condition is caused by lack of self confidence, depression or social phobia.
Most of the deviation of psycho dermatology can be cured by decreasing the anxieties or
omitting the source of the emotional tragedy, and on serious case can be cured by psycho
tropical medicine.
Key word : Psychodermatology, Psychoneuroimmunology, mind and skin connection.
Psikodermatol Medicina/05/27/12 1
2. PENDAHULUAN
Sering kali kita mendapatkan kasus bahwa seorang pasien dermatitis atau urtikaria akan
mengalami kekambuhan apabila pasien terpapar dengan alergennya, misalnya serbuk sari
bunga atau makan ikan laut, bahkan pernah dilaporkan bahwa seseorang dapat mengalamai
kekambuhan hanya karena melihat saja bunga yang terbuat dari plastik atau bahkan hanya
melihat lukisan setangkai bunga di dinding, atau seorang pasien yang mengeluh seolah-olah
ada kutu yang berjalan dan berkenmabg biak dikulitnya, sehinnga pasien berusaha
menggaruk kulitnya dengan sangat keras. Beberapa pasien merasa kehilangan harga diri,
malu bergaul hanya karena menderita vitiligo atau alopesia areata. Ketiga contoh kasus
tersebut memberikan keanekaragaman penyakit kulit yang berhubungan dengan masalah
psikologi. Psikodermatologi, adalah cabang ilmu kedokteran yang membahas masalah
tersebut diatas, permahaman tentang masalah psikososial dan pengetahuan tentang penyakit
kulit merupakan suatu hal yang sangat berguna untuk menangani secara optimal kelainan
psikodermatologi saat ini. Penanganan kelainan psikoderrnatologi memerlukan evaluasi yang
cermat dari lesi kulit yang tampak dan pendekatan holistik kepada pasien maupun kepada
keluarganya dan informasi tambahan tentang penyebab utama permasalahan. Sekali kelainan
tersebut dapat ditegakan diagnosisnya, maka diperlukan suatu penanganan yang bersifat
ganda, ditujukan baik untuk dermatologi maupun aspek psikologinya. Pasien dengan kelainan
psikodermatologi seringkali menolak bila dirujuk ke psikiatri atau ke psikolog. Keluarga
memiliki peranan penting untuk mernbantu pasien dengan kelainan psikodermatologi.
Dalam tulisan ini akan dibicaran tentang beberapa penyakit kulit yang berhubungan
dengan masalah emosional, kejiwaan dan sedikit tentang respon imun akibat adanya faktor
emosional.
KLASIFIKASI KELAINAN PSIKODERMATOLOGI
Secara umum kelainan psikodermatologi dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori yaitu:
1. Kelainan Psikofisiologi, 2. Kelainan Psikiatri Primer dan 3. Kelainan Psikiatri Sekunder
1. Kelainan Psikofisiologi
Istilah kelainan psikofisiologi mengacu pada suatu kelainan kulit seperti eksim atau psoriasis
yang diperburuk oleh stress atau emosi. Kelainan psikofisiologi merupakan suatu keadaan
yang seringkali disebabkan atau ditimbulkan kembali oleh stres emosional. Masing-masing
keadaan mi memiliki responder stress dan responders non stress tergantung dan kekerapan
kelainan kulit yang diderita pasien dan kemungkinan kekambuhan yang disebabkan oleh
stres. Pada pasien yang mernberikan respon terhadap terapi seperti eksim, psoriasis dan akne,
informasi tentang stres mungkin tidak berguna. Narnun pada penyakit yang tidak
memberikan respon terhadap terapi yang diberikan perlu ditanyakan apakah ada masalah
psikologis sosial, atau stres pekerjaan yang mungkin berpengaruh terhadap proses
pengobatan ini.
Psikoneuroimunologi
Hubungan antara stres dan penyakit organis pertama kali dilaporkan oleh ahli jiwa Hans
Selye sebagai hasil penelitiannya sejak tahun 1962. Beliau melacak reaksi-reaksi hormonal
berantai yang rumit sebagai akibat adanya tekanan emosionl yang berkelebihan pada
seseorang. Tekanan hang berkelanjutan akan berakibat sebagai kematian. Sebenarnya
penelitian Selye tersebut mendasari tumbuhnya cabang ilmu baru yang kini disebut
neroendokrinologi. Neroendokrinologi mempelajari hubungan antara sistem saraf dan
sistem hormon.
Hal yang belum banyak digarap pada penelitian-pemelitian yang menyangkut kesehatan pada
waktu dahulu, yaitu pembuktian kebenaran hubungan antara sistem imun di satu fihak dan
Psikodermatol Medicina/05/27/12 2
3. kompleks sistem saraf di lain fihak. Namun sejak lebih dari 2 dasawarsa yang ini berkat
meningkatnya pengertian sistem imun timbullah penghargaan-penghargaan terhadap cara-
cara “placebo” dahulu dan diterimanya kenyataan bahwa penyakti psikosomatik memang ada
dan bukan hanya semacam tipuan. Hal ini tersebut terbukti dengan timbulnya cabang ilmu
baru yang dinamakan psikoneroimunologi yang telah berkembang dari prinsip-prinsip dan
metode yang direncanakan sejak tahun 1960.
Penelitian Ader dan Cohen mempunyai kaitan sangat erat dengan kegoncangan dalan
cabang ilmu baru tersebut. Inti dari percobaan mereka terletak pada teknik penyesuaian yaitu
terhadap penyesuaian perilaku (behavioral conditioning) individu bersangkutan. Model klasik
pada percobaan penyesuaian dimulai dengan memilih sebuah rangsangan (stimulus) yang
tidak bersyarat seperti misalnya makanan, sehingga dapat menimbulkan respon wajar yang
tidak bersyarat pula. Kemudian selang beberapa kali perlakuan, ransangan diberikan secara
bersama dengan perlakuan lain bersifat netral, misalnya suara lonceng. Selang beberapa kali
perlakuan dengan 2 rangsangan, kemudian rangsangan wajar dihentikan sehingga perlakuan
hanya rangsangan netral. Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa binatang tersebut akan
belajar mengadakan respon terhadap rangsangan netral seperti apabila mendapat rangsangan
wajar pada awal percobaan. Percobaan ini semula dipelopori oleh seorang sarjana bangsa
Rusia yang sangat terkenal yaitu Ivan Pavlov (1894-1936). Kita semua maklum bahwa
dengan metode percobaan tersebut, Pavlov dapat melatih hewan sehingga bunyi lonceng
dapat merangsang kelenjar pencernaan termasuk kelenjer ludah untuk bersekresi. Lebih dari
setengah abad yang lalu, pengikut Pavlov yaitu S. Metal Nikov dan V. Chorine telah
melaporkan bahwa mereka telah berhasil melatih marmut agar dengan garukan ringan pada
kulitnya saja dapat menyebabkan respon produksi antibody. Lebih jauh lagi mereka berhasil
mempersiapkan hewan agar bertahan pemberian kuman kolera dan dosis yang mematikan,
dengan melatih memperoleh rangsangan netral. Percobaan-percobaan tersebut menunjukkan
bahwa respon imunpun dapar dirangsang dengan rangsangan netral apabila diperlakukan
menurut metode Pavlov. Walaupun dalam tahun 1974 Ader belum pernah tahun tentang
percobaan Pavlov, namun sebenarnya percobaan Ader-Cohen berakar dan melangsungkan
penelitian sejalan dengan teori Pavlov. Mereka telah mengembangkan teknik baru dalam
pendekatan pengungkapan masalah jiwa-sistem imun melalui apa yang mereka sebut sebagai
”taste aversion techniquee” atau dapat diterjemahkan sebagai teknik keengganan cita rasa.
Secara umum, stres emosional dapat memicu pelepasan hormon stres seperti
glukokortikoid dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi respon imun melalui beberapa jalur. Jalur pertama, melalui HPA axis, CRH
oleh hipothalamus akan merangsang pelepasan ACTH oleh hipofise anterior (pituitary). Jalur
kedua, melalui sumbu simpatiko-adrenal medularis (SAM), stres emosional akan merangsang
sistem adrenergik di saraf pusat, serat saraf pascasinaptik simpatis dan medula adrenal yang
akan melepaskan katekolamin (terutama epinefrin dan nor-epinefrin), Kedua hormon ini akan
mempengaruhi sel Th1 dan sel Th2 yang akan terjadi pengalihan ke sel Th2 sehingga peran
iterleukin tipe 2 lebih dominan. Jalur ketiga melalui sumbu CRH- Sel Mast, CRH yang
dilepas hipotalamus dapat mempengaruhi sel Mast melalui reseptornya sehingga terjadi
degranulasi sel Mast dengan melepaskan histamin dan dan mediator peradangan lainnya.
Selama dekade terakhir telah diketahui bahwa katekolamin dapat mengendalikan pengalihan
Th1/Th2 dan sekresi sitokin tipe1 (IL-2, IFN- ) dan sitokin tipe 2 (IL-4, IL-5, IL-13). Melalui
jalur tersebut akan terjadi penekanan terhadap respon Th1 dan menyebabkan pengalihan Th2.
Sebagai akibat dari proses tersebut akan terjadi peningkatan peran Th2 dan imunitas humoral.
Peningkatan imunitas humoral dapat menerangkan beberapa penyakit kulit seperti dermatitis
atopik, psoriasis, urtikaria, herpes simpleks dll dapat kambuh atau menjadi lebih berat akibat
adanya stres emosional.*
Psikodermatol Medicina/05/27/12 3
4. Stres ernosional bisa memicu ketnbali tiinbulnya berbagai bentukan dermatitis kronis
dan dapat mengawali terbentuknya suatu lingkaran setan seperti rasa gatal yang akan digaruk
(itch scratch cycle ) karena itu pengobatan pasien dengan dermatitis kronis yang berulang
menjadi sulit bila tidak diketahui faktor-faklor penyebab kekambuhan tersebut.
Bila pasien merasa stres atau sangat tegang sehingga dirasakan perlu dibenkan terapi anti
cemas ada 2 bentuk umurn pengobatan yang tersedia. Dengan Bensodiazepine yang bisa
digunakan sesuai keperluan menghasilkan keuntungan relatif cepat untuk rnengatasi kecem
asan stres dan ketegangan untuk pengobatan kecemasan kronis, pernakaian penghambat
reuptake serotonin yang selektif ( Selective Serotonin Reuplakc Inhibitors atau SSRIs ) cukup
aman dan efektif.
Pilihan lain untuk menangani stres kronis adalah dengan obat golongan nonsedatif
dan non adiktif agen anti anxietas seperti Buspirone (Buspar). Jika pasien dengan gangguan
kecemasan memerlukan rujukan psikiatri sebaiknya rujukan dilakukan secara diplornatis dan
mendukung pasien sehingga pasien bisa menerirna rujukan tersebut sebagai suatu
pengobatan/ terapi derrnatologi tambahan.
2. Kelainan Psikiatri Primer
Kelainan Psikiatri Primer mengarah pada suatu kelainan seperti trikhotillomania, dimana
masalah utamanya adalah masalah psikologi manifestasi kelainan kulit sesuai dengan
imajinasi pasien. Kelainan psikiatn primer sedikit lebih sering dijumpai daripada kelainan
psikofisiologi.
Delusi parasitosis
Delusi parasitosis terrnasuk dalam kelompok gangguan yang disebut “psikosis hipokondrial
monosimptornatis“. Pasien dengan gangguan yang berlanjut ditandai dengan delusi isolasi
tentang suatu keluhan kulit “karena gangguan delusi yang dialami benar-benar khusus,
kelainan ini sangat berbeda dengan Skizofrenia, yang melibatkan defisit berbagai fungsi,
termasuk halusinasi pendengaran, kehilangan kemampuan sosial dan emosi/afek datar, serta
bisa terdapat delusi ide.
Bentuk yang paling umum adalah psikosis hipokondrial monosimptom dijumpai pada
sebagian besar pasien dengan masalah kulit yang disebut dengan delusi parasitosis. Pasien
dengan delusi parasitosis sangat yakin jika tubuh mereka dimasuki/terkena suatu tipe
organisme tertentu. Seringkali mereka memiliki suatu gambaran ide tentang bagaimana
organisme ini kawin, bereproduksi, bergerak mengelilingi kulit dan kadang-kadang keluar
dan kulit. Pada pasien mi senngkali didapatkan tanda matchbox”, yang mana ditunjukan
dengan bintikan/ gigitan kecil pada kulit yang mengalami ekskoriasi demam atau serangga
lainnya atau bagian dari serangga yang terdapat pada matchbox atau bagian lain lain dan
infestan yang tertahan dalarn kulit.
Penanganan pemilihan untuk mengatasi delusi tentang parasitosis adalah dengan suatu
pengobatan antipsikotik yang disebut dengan Pimozide (Orap). Phnozide sama dengan
Haloperidol (Haldol ) dan struktur kimia dan potensinya serta telah terbukti secara unik
efektif untuk mengobati keadaan ini terutania untuk mengurangi formikasi. Pengobatan ini
telah dilabel oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan Sindrom
Toureffers ini digunakan juga dalam pengobatan delusi akibat parasitosis. Dosis Pimozide
untuk pengobatan delusi parasitosis lebih rendah daripada yang digunakan untuk Skizofrenia
kronis. Terapi Pirnozide pada awalnya dipakai dosis serendah mungkin, yaitu setengah dan
tablet 2 mg (ie. 1 mg) perhari dan ditingkatkan 1 mg perrninggu. Pada saat tercapai dosis
biasa perhari 4-6 mg (ie. 2-3 tablet kebanyakan pasien mengalami penurunan sensasi digigit
dan sensasi hewan merangkak/merayap di atas kulit mereka. Efek teraupetik minimal
Psikodermatol Medicina/05/27/12 4
5. mungkin belum terjadi dalam 5 sampai 8 minggu. Selama pengobatan, pasien menjadi
kurang agitasi.
Tantangan dalam rnenghadapi pasien dengan delusi parasitosis adalah
memperkenalkan kegunaan pengobatan antipsikotik tanpa memojokan pasien. Langkah-
langkah meliputi penjelasan yang terang/jelas dan akurat tentang pengobatan. Beberapa
sumber merekoinendasikan pendekatan yang sensitif empati dan diplomatis. Pengobatan lain
disajikan dalam bentuk terapi uji coba dan semua argumentasi tentang patogenesis kelainan
atau rnekanisme kerja Pimozide lain dihindari. FDA menyatakan bahwa Pinozide di Amerika
Serikat digunkan untuk pengobatan sindroma Torvette’s , bukan untuk psikosis.
Ekskoriasi Neorosis, Dermatitis Faksisial dan Lesi Kulit terhadap respon suatu Delusi Yang
Diyakini Oleh Pasien.
Penggunaan doxepin metnerlukan langkah yang hati-hati seperti pada penggunaan
antidepresan trisiklik. Termasuk juga pembatasan ketat sejurnlah obat-obatan yang dicampur
pada waktu tertentu untuk mengurangi/meminimalkan resiko bunuh diri. Gambaran yang
lebih lengkap melebihi ruang yang tersedia pada artikel ini. Bagaimanapun juga, hal ini
sebaiknya dijelaskan bila pasien merasa tertekan atau depresi, dosis adekuat antidepresan
diperlukan untuk mencegah efek buruk pada pasien ini. Untuk penderita lanjut usia, SSRIs
dosis rendah yang diberikan masih bisa direspon oleh tubuh mereka.
Trikhotillomania
Trikhotillomania, menurut definisi dermatologi adalah suatu keadaan dimana pasien
mencabut/ menarik rarnbutnya sendini. Sedangkan menurut definisi psikiatni trikhotilomania
membutuhkan adanya impulsivitas.
Bagaimanapun juga dengan memakai istilah dermatologi khusus, ahli medis atau dokter bisa
memastikan sifat dasar dan psikoptologi untuk menyeleksi pengobatan yang paling tepat.
Pokok-pokok psikopatologi yang paling umum adalah tingkah laku obsesif konvulsif,
dijumpai atau tidak kriteria dar Diagnostik dan Statistik Manual Pada Kerusakan Mental
Edisi ke-4 pada kerusakan obsesif konvulsif, kemungkinan lain diagnosis pokok psikiatri
termasuk kerusakan kebiasaan yang sederhana reaksi stres situasional, retardasi mental,
depresi dan kecemasan seperti pada kasus ekstrim yang sangat jarang terjadi yaitu suatu
delusi dimana pasien menarik rambutnya karena adanya kepercayaan delusi bahwa sesuatu
pada akar rambutnya perlu dijadikan “lubang perlindungan“ sehingga rambut dapat tumbuh
secara normal. Keadaan ini disebut trikophobia. Diagnosis banding pada trikhotillomania
adalah pseudopelade, alopesia areata, sifilis dan tinea kapitis.
Tnikhotillomania merupakan suatu keadaan yang sangat jarang tenjadi dimana diagnosis
dapat ditegakan dan pemeriksaan patologi kulit kepala akar rambut yang mengalami
perubahan unik disebut Trikhomalasia yang hanya terdapat pada pasien trikhotillomania.
3. Kelainan Psikiatri Sekunder
Kelainan Psikiatri Sekunder tampak jelas pada pasien yang secara signifikan memiliki
masalah psikologi yaitu terjadi pententangan antara rasa percaya diri dengan penarnpilan.
Depresi, humilisasi, frustasi dan phobia sosial dapat berkembang akibat penyakit kulit.
Meskipun kulit tidak memerlukan perawatan seumur hidup namun penderita dengan kelainan
psikiatri sekunder rnenganggap kelainan kulit yang dialaminya merupakan kerusakan seumur
hidup. Seseorang dengan kecacatan ini merasakan kehancuran secara psikologis dan sosial
sebagai dampak dan kelainan yang dialaminya. Selain itu seseorang dengan kerusakan kulit
menghadapi masalah saat mencani pekerjaan, yang menipakan suatu hal yang sangat penting.
Hal ini sangat dirasakan oleh penderita cacat di daerah wajah apalagi bila penyakit ini
menular kepada orang lain.
Psikodermatol Medicina/05/27/12 5
6. Pada beberapa pasien penyakit kulit ini yang telah berobat secara teratur, catatan khusus dari
dokter yang merawat pasien ini tentang pentingnya membahas penderitaan yang dialami
pasien dan keputusan apakah pasien ini perlu dirawat oleh ahli kesehatan mental atau ahli
dermatologi mungkin bisa menolong. Jika depresi, phobia sosial atau psikopatologi sekunder
merupakan indikasi yang signifikan untuk merujuk perawatan pasien ini kepada psikiater.**
Daftar Pustaka
1. Cotterill JA and Millard LG.1998. Psychocutaneous Disorders. In Texbook of Dermatology ed. By
Champion RH et al. Blackll science ; 2785-2813.
2. Cerdeira CG, Pera-Grasa JT, Molares A, Isa R and Guzman RA. Psychodermatology: Past, Present and
Future. The Open Dermatology Journal, 2011, 5, 21-27
3. Barankin B and DeKowen J. Psychosocial effect of common skin diseases. Canadian Family Physician.
2002;48: 712-716
4. Sharma BYK, Sudarsanan B and Bhatnagar MA. Skin and Psyche: Diversionary Symbiosis. MJAFI. 2005;
61: 163-166
5. Mercan S and Altunay K. Psychodermatology: A Collaborative Subject of Psychiatry and Dermatology.
Turkish Journal of Psychiatry. 2006; 17[4]: 1-7
6. Medansky RS. Dermatopsychosomatics: An overview. Academy of Psychosomatic Medicine 26th Annual
Meeting.1980; 21[3]: 195-200
7. Poot F, Sampogna F and Onnis L. Basic Knowledge in Psychodermatology. JADV.2007; 21: 227-234
8. Jafferany M. Psychodermatology: A Guide to Understanding Common Psychocutaneous Disorder. Prim
Care Companion J Clin Psychiatry.2007; 9[3]: 203-213.
9. Kaymak Y, Adisen E and Gurer MA. An Investigation on the Prevalence of Psychocutaneous Diseases
among University Students. J Turk Acad Dermatol. 2008; 2[3]: 1-4.
10. Taborda ML, Weber MB and Freitas ES. Assessment of the prevalence of psychological distress in patients
with psychocutaneous disorder dermatoses. An Bras Dermatol. 2005; 80[4]: 351-354
11. Harth W and Gieler U. Psychosomatic and Dermatology. Downloaded from cme.academos.de on
Wednesday, January 25.2012
12. Koo J.1998. Psychodermatology: a practical manual for clinicians. Curr Prob Dermatol 1995;6: 204-232.
13. Koo J. and Lebwohl A. 2001. Psychodermatology: The Mind and Skin Connection. American Family
Physician; 64[11]: 1873-1878.
14. O’Sullivan RL, Lipper G, and Lerner EA. 1998. The Neuro-Immuno-Cutaneous-Endocrine Network:
Relationship of Mind and Skin. Arch Dermatol ;134: 1431-1435.
15. Bridgett C. 2000. Psychodermatology and Atopic Skin Disease in London 1989-1999- Helping Patients to
Help Themselves. Dermatol Psychosom.;1 : 183-186.
16. Stauder A, Szedmak S, and Koop MS. 2001. Psychosocial Charateristics of People Reporting Allergic
symptoms in a Representative Population survey. ACI international;13/1: 18-22.
Psikodermatol Medicina/05/27/12 6