1. TULISAN DIPUBLIS BAKTI NEWS EDISI AGUSTUS SEPTEMBER 2014:
DI BAYANG MENDUNG KAYANGAN
Oleh
Daniel Kaligis
MATAHARI belum tinggi di langit Serimbun. Bergegaslah! Beberapa laki-laki berdiri di
hamparan petak padi menguning, tangannya menggenggam arit, siap memanen. Di
kelok jalan, tampak perempuan-perempuan menggendong bayi menyusur setapak.
Tatap menerawang, lembah, relung jurang, dataran dan segala realita hari ini.
Serimbun, nama dusun di desa Dangiang, kecamatan Kayangan, Lombok Utara – Nusa
Tenggara Barat. Awal Mei 2014, sempat berkunjung ke sana dan bersua dengan
kelompok ibu-ibu yang membentuk Forum Wanita Mandiri (FORWANI) di desa
Dangiang, saat kegiatan Posyandu gabungan dua dusun, Serimbun dan Melepah Sari,
di rumah Marzuki, warga Serimbun. Di situ ramai mereka berkisah.
Nuri Muliana, kader FORWANI, serta kawan-kawannya menuturkan kondisi masyarakat
dusun Serimbun dan dusun-dusun di sekitarnya. “Anak-anak kurang gizi dan penderita
gizi buruk banyak di sini. Mereka terbengkalai, atau mungkin juga sengaja dibiarkan?
Perempuan hamil ditangani dukun, melahirkan di rumah. Kawin dini. Anak-anak
banyak. Ada anak mati. Ada ibu mati. Kalau mati ya mati, tidak dicatat! Itu dulu.
Sekarang alhamdulillah, situasinya sudah berangsur berubah,” urai Nuri.
Anak menangis di ayun timbangan, anak-anak diperiksa, ibu-ibu hamil diperiksa, kader
mencatat, makanan tambahan dibagikan. Mereka bercengkrama dengan bahasa
mereka. Inilah sekelumit aktifitas di Posyandu. Saya bertanya pada Kurniati, salah satu
ibu yang datang ke Posyandu, apakah semua anaknya ikut Posyandu. Kurniati ketika
itu datang ke Posyandu mengantarkan anaknya, Zaki Patuari, usia empatbelas bulan,
untuk diperiksa dan beroleh makanan tambahan. “Aoq, seduaq anakq milu Posyandu,”
seru Kurniati. Artinya, “Iya, kedua anakku ikut Posyandu.” Pertanyaan saya dan
2. jawaban Kurniati diterjemahkan Titis Yulianty. Kurniati, potret salah satu perempuan
desa yang mewakili ibu-ibu yang beroleh manfaat dari pelanayan kesehatan di
Kayangan.
BELAJAR DARI PENGALAMAN
Jalan meliuk turun, menanjak hingga Dangiang. Dari sini laut tampak damai tanpa
gelombang. Hutan di kiri kanan, ladang, sawah, dan pemukiman. Masyarakat Kayangan
umumnya adalah para pendatang dari daerah sekitar, kemudian menetap dan bekerja
sebagai buruh tani atau buruh batu bata. Mereka hidup bergotongroyong. Mengapa
masih ada persoalan? Mengapa berada di sini, di bawah langit Kayangan?
Kemiskinan, atau, jangan-jangan keterbelakangan hidup jadi persoalan. “Di sini,
lokasinya agak jauh dari pantai, kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh
petani. Mereka menanam padi dan palawija. Di pesisir ada juga nelayan. Pada musim-
musim tertentu mereka mengais rejeki sesuai ketersediaan lapangan pekerjaan.”
Demikian penuturan Titis Yulianty dan Nuri Muliana, tentang latar masyarakat
Kayangan.
Beberapa tokoh adat di sana menyebut “balaq”, kejadian di masa lalu. Walau tak
sekejam black death yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan, luka sejarah di bumi
Nusa Tenggara manakala terjadi epidemi, atau mungkin pandemi menjalari pemukiman
mereka, membuat mereka beranjak dari tempat asalnya, tuju Kayangan dan sekitarnya
di Lombok Utara. Kapan kejadian itu? Mungkin sudah dilupakan. Namun, mengapa
tahun-tahun belakangan ini keluhan ‘obat mahal’, sanitasi buruk, kolera, diare,
pembangunan dengan anggaran tak transparan, pelayanan publik minim, masih jadi
kisah bersambung?
Di Kayangan masih ada sederet pertanyaan dalam benak masyarakat. “Katanya ada
ketersediaan layanan bagi kebutuhan dasar masyarakat. Katanya pemerintah telah
menyiapkan beberapa jenis obat terutama bagi penyakit yang sering diderita
masyarakat tanpa dipungut bayaran. Mengapa tak diterapkan? Masyarakat butuh
3. komitmen dari pihak puskesmas untuk memberi sanksi bagi siapa yang memahalkan
biaya pemeriksaan hemoglobin pada ibu hamil di Puskesmas.”
Nuri menuturkan, bahwa, informasi tentang pelayanan kesehatan dan kependudukan
hanya segelintir orang saja yang tahu. “Memang ada sosialisasi dari pemerintah
kecamatan, kemudian diteruskan ke desa, ke tokoh masyarakat, ke tokoh agama, ke
tokoh pemuda, juga disampaikan kepada kepala dusun. Tapi, informasi itu tidak sampai
kepada semua orang. Umumnya masyarakat di sini kurang paham, mereka jarang lihat
‘orang berseragam’, jadi mereka takut, mereka jarang ke kantor desa, jarang ke
puskesmas.”
Apa yang dialami pada tahun-tahun sebelumnya, menjadi pelajaran bagi masyarakat.
Minimnya informasi layanan kesehatan dan kependudukan, membuat program layanan
itu belum sepenuhnya diakses masyarakat. FORWANI, salah satu community center di
Lombok Utara, bekerjasama dengan fasilitator-fasilitator Community Access to
Information – Pusat Telaah dan Informasi Regional ( CATI – PATTIRO), coba
menjembatani perkara ini.
Sri Rosyani, warga Dangiang, membenarkan apa yang dikisahkan Nuri. “Dulunya
masyarakat tidak tahu, mereka hanya menerima apa yang disodorkan para kader tanpa
mempertanyakan apa ini, apa itu. Sekarang sudah mulai ada perubahan, semakin
banyak masyarakat yang dapat mengakses layanan publik yang menjadi hak mereka
karena informasi mulai tersebar. Program pengentasan gizi buruk ditangani puskesmas,
dan mereka yang menderita kurang gizi mendapat pelayanan di posyandu. Di situ anak-
anak dan ibu-ibu mendapat makanan tambahan berupa telur, susu, biskuit, dan
vitamin.”
Banyak hal yang hendak dikerjakan. “Di sini masyarakat butuh sosialisasi supaya anak-
anak remaja jangan kawin dini. Anak-anak 16 tahun sudah kawin. Jumlah populasi
banyak, perempuan hamil banyak, anak-anak banyak,” beber beberapa ibu tentang
akibat kawin dini yang terjadi di dusun Banten Damai. Ada harap yang mereka inginkan
dari program jaminan sosial kesehatan, “Kalau boleh, kartu Jamkesmas itu dibikin satu
4. saja untuk setiap keluarga. Sekarang setiap orang memiliki satu kartu, sehingga salam
satu keluarga ada berapa kartu Jamkesmas. Ini pemborosan kertas namanya. Kami
juga sudah mengusulkan supaya bangunan Posyandu dibenahi, dalamnya ada ruang
pemeriksaan bagi ibu hamil dan bagi mereka yang membutuhkan pelayanan
kesehatan, juga harus ada toiletnya. Selama ini kegiatan Posyandu masih menumpang
di rumah warga, atau di rumah kepala dusun.”
Jangkauan layanan kesehatan terus meluas seiring waktu. “Tahun-tahun silam, para
ibu harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk pergi ke desa Dangiang supaya
mendapat pelayanan kesehatan. Kini, ada 138 keluarga di dusun ini yang menimba
manfaat dari berbagai program pemerintah,” kata Istiadi, kepala dusun Serimbun.
Analisa status gizi hasil pekan penimbangan yang diselenggarakan tahun 2011 di
Lombok Utara menunjukan angka yang signifikan meningkat. Tahun 2014 ketika
kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat dipacu, berikutnya upaya-upaya
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat yang berlangsung sampai sekarang,
setidaknya, sudah memberi manfaat bagi hampir semua penduduk di sana. Dari
kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat, semua masyarakat miskin mulai dijangkau
dan mendapat pelayanan kesehatan gratis. Kemudian peningkatan kualitas pelayanan
Puskesmas oleh dokter, dibantu minimal perawat dan bidan. Pustu dan Polindes di
setiap desa terisi dua tenaga bidan desa. Kebijakan ini berlaku merata di semua
wilayah Lombok Utara.
DIKERJAKAN BERSAMA
Masyarakat butuh tempat untuk berbagi. Atas inisiasi masyarakat, saat ini sudah ada
Pusat Pengaduan Informasi & Pelayanan Publik di dusun Dangiang Timur. “Tempat ini
diadakan supaya masyarakat mudah mengakses informasi. Kami berharap fasilitas
informasi di sini dapat diperkaya, sebab masih banyak informasi penting menyangkut
pelayanan masyarakat yang dibutuhkan di sini,” kata perwakilan masyarakat, saat
diskusi di Pusat Pengaduan Informasi & Pelayanan Publik, di dusun Dangiang Timur.
5. Hak-hak dasar masyarakat perlu dikawal. Dana Jamkesmas, rincian rencana anggaran
belanja dan alokasi anggaran pembangunan Pusat Kesehatan Desa di Dangiang, dan
juga alokasi anggaran bagi fasilitas publik lainnya perlu dipantau. Kemudian ada juga
informasi yang dibutuhkan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, prihal
jumlah keluarga yang belum memiliki akta nikah di setiap kecamatan, dan syarat-syarat
pembuatan akta kelahiran bagi anak-anak mereka.
Partisipasi masyarakat, dalam hal ini kader atau community center, upayanya adalah
melakukan lobi dan hearing pada badan publik untuk mendorong pelaksanaan program
pembangunan yang lebih terbuka dan responsive, sehingga respon permasalahan
pemenuhan hak dasar dan perbaikan pelayanan publik semakin membaik.
DUKUNGAN AIPD:
DEKATKAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT
Untuk memastikan pengetahuan dan pembelajaran dari pemerintah kepada masyarakat
dapat dibagikan tepat sasaran, Australia Indonesia Partnership for Decentralisation
(AIPD) memberikan bantuan teknis dan dukungan peningkatan kapasitas bagi
pemerintah lokal dan masyarakat sipil demi meningkatnya pengelolaan alokasi dan
sumberdaya keuangan ke arah yang lebih baik.
“Sistem sudah baik, namun harus tetap dipantau dan terus diperbaiki, termasuk tata
kelola. Kita tahu bersama tujuan utama desentralisasi adalah mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat. AIPD melakukan pendekatan dua arah, pertama kepada
pemerintah agar transparan, dan kedua, kepada masyarakat supaya dapat mengakses
informasi dan implementasinya sesuai amanat undang-undang pelayanan publik dan
undang-undang keterbukaan informasi publik. Inilah salah satu atensi AIPD di Nusa
Tenggara Barat,” papar Anja Kusuma, Assistant Program Director AIPD – NTB.
Ada tiga point yang disasar AIPD: Supply Side, dalam hal ini Pemerintah Daerah agar
responsif terhadap pelayanan dasar; kemudian Demand Side, yakni, masyarakat agar
aktif dalam setiap tahapan pembangunan; berikutnya Knowledge Management, yaitu
6. memperkuat sistem pertukaran informasi dan pengetahuan bagi pembelajaran berbagai
pihak.
Dalam kerangka perbaikan pelayanan publik, berikutnya perbaikan alokasi dan
sumberdaya yang efektif oleh pemerindah daerah, maka didoronglah perubahan prilaku
para pihak sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan. Anja Kusuma menyebut,
yang sementara dikerjakan, yaitu, berbagi pengalaman. Beberapa contoh dikemukakan
Anja Kusuma menyangkut program ini yang sudah sukses dilakukan. “Saya ambil
contoh yang terjadi di Dompu, AIPD terus mendorong pemerintah untuk dapat
mengelola tata keuangan daerah lebih baik. Berikut di Bima. Masyarakat melihat ada
pembangunan yang informasinya seperti ditutup-tutupi. Mereka kemudian bertanya-
tanya, apa yang dikerjakan di situ. Dengan keterbukaan informasi, mereka akhirnya
tahu bahwa fasilitas yang dibangun adalah untuk masyarakat di sana, sehingga
masyarakat dapat mulai mengontrol apa yang sedang dibangun itu.” (*)
7. memperkuat sistem pertukaran informasi dan pengetahuan bagi pembelajaran berbagai
pihak.
Dalam kerangka perbaikan pelayanan publik, berikutnya perbaikan alokasi dan
sumberdaya yang efektif oleh pemerindah daerah, maka didoronglah perubahan prilaku
para pihak sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan. Anja Kusuma menyebut,
yang sementara dikerjakan, yaitu, berbagi pengalaman. Beberapa contoh dikemukakan
Anja Kusuma menyangkut program ini yang sudah sukses dilakukan. “Saya ambil
contoh yang terjadi di Dompu, AIPD terus mendorong pemerintah untuk dapat
mengelola tata keuangan daerah lebih baik. Berikut di Bima. Masyarakat melihat ada
pembangunan yang informasinya seperti ditutup-tutupi. Mereka kemudian bertanya-
tanya, apa yang dikerjakan di situ. Dengan keterbukaan informasi, mereka akhirnya
tahu bahwa fasilitas yang dibangun adalah untuk masyarakat di sana, sehingga
masyarakat dapat mulai mengontrol apa yang sedang dibangun itu.” (*)