SlideShare a Scribd company logo
1 of 72
ZAKI ULYA, S.H., M.H.
UPT-MATA KULIAH UMUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2010
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
(DIKTAT KULIAH)
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
(DIKTAT KULIAH)
PENGERTIAN, TUJUAN, SEJARAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN1
Oleh:
Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.2
A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang
menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan warga negara.
Kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara
yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi
orang yang bersangkutan. Adapun menurut Undang-Undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan adalah segala
ikhwal yang berhubungan dengan Negara.
Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis
- Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan
adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara.
- Kewarganegaraan dalam arti sosiologis, tidak ditandai
dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional, seperti
ikartan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan
sejarah, dan ikatan tanah air.
b. Kewarganegaraan dalam arti formil dan materil.
1
Bahan Ajar pertemuan pertama, mata kuliah Pendidikan Kewarganeraan, pada tanggal 14
september 2011
2
Adalah Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Pada UPT-MKU Univ. Syiah Kuala
- Kewarganegaraan dalam arti formil menunjukkan pada
tempat kewarganegaraan. Dalam sistematika hukum,
masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik.
- Kewarganegaraan dalam arti materil menunjukkan pada
akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya
hak dan kewajiban warga negara.
Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan
terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara
dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan
pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan
kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan
warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik
kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa
dalam perikehidupan bangsa.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa di setiap jenis, jalur dan
jenjang pendidikan wajib memuat terdiri dari Pendidikan Bahasa,
Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Keputusan Menteri pendidikan dan Kebudayaan No.
056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa menetapkan bahwa
“Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan termasuk dalam Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib
diberikan dalam kurikulum setiap program studi”.
Dengan penyempurnaan kurikulum tahun 2000, menurut Kep.
Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000 materi Pendidikan Kewiraan disamping
membahas tentang PPBN juga dimembahas tentang hubungan antara
warga negara dengan negara. Sebutan Pendidikan Kewiraan diganti
dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokok Pendidikan
Kewarganegaraan adalah tentang hubungan warga negara dengan
negara, dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).
B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan mencakup:
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada
mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara
serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa
dan negara.
2. Tujuan Khusus
a) Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan
kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas
sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
b) Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah
dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis
dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan
Nusantara, dan Ketahanan Nasional
c) Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela
berkorban bagi nusa dan bangsa.
C. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pendidikan Kewiraan
Pendidikan Kewiraan dimulai tahun 1973/1974, sebagai bagian
dari kurikulum pendidikan nasional, dengan tujuan untuk
menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam bentuk PPBN yang
dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap awal yang diberikan
kepada peserta didik SD sampai sekolah menengah dan pendidikan
luar sekolah dalam bentuk pendidikan kepramukaan, sedangkan
PPBN tahap lanjut diberikan di PT dalam bentuk pendidikan
kewiraan.
2. Perkembangan kurikulum dan materi Pendidikan
Kewarganegaraan
a. Pada awal penyelenggaraan pendidikan kewiraan sebagai cikal
bakal darai PKn berdasarkan SK bersama Mendikbud dan
Menhankam tahun 1973, merupakan realisasi pembelaan
negara melalui jalur pengajaran khusus di Perguruan Tinggi, di
dalam SK itu dipolakan penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan
dan Pendidikan Perwira Cadangan di Perguruan Tinggi.
b. Berdasarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara ditentukan
bahwa:
1) Pendidikan Kewiraan adalah PPBN tahap lanjutan pada
tingkat Perguruan Tinggi, merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Penyelenggaraan Sistem Pendidikan
Nasional
2) Wajib diikuti seluruh mahasiswa (setiap warga negara).
c. Berdasarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bahwa:
1) Pendidikan Kewiraan bagi Perguruan Tinggi adalah bagian
dari Pendidikan Kewarganegaraan
2) Termasuk isi kurikulum pada setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan
d. SK Dirjen Dikti tahun 1993 menentukan bahwa Pendidikan
Kewiraan termasuk dalam kurikulum MKDU bersama-sama
dengan Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, ISD, IAD, dan
IBD sifatnya wajib.
e. Kep. Mendikbud tahun 1994, menentukan:
1) Pendidikan Kewarganegaraan merupakan MKU bersama-
sama dengan Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Pancasila
2) Merupakan kurikulum nasional wajib diikuti seluruh
mahasiswa
f. Kep. Dirjen Dikti No. 19/Dikti/1997 menentukan antara lain:
1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn,
merupakan salah satu komponen yang tidak dapat
dipisahkan dari kelompok MKU dalam susunan kurikulum
inti
2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk
ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi
g. Kep. Dirjen Dikti No. 151/Dikti/Kep/2000 tanggal 15 Mei 2000
tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti MPK, menentukan:
1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn,
merupakan salah satu komponen yang tidak dapat
dipisahkan dari kelompok MPK dalam susunan kurikulum
inti Perguruan Tinggi di Indonesia
2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk
ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk
program diploma III, dan strata 1.
h. Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus,
menentukan antara lain:
1) Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu
komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK
2) MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti Perguruan
Tinggi di Indonesia
3) Mata Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap
mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk program
Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.
i. Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tanggal 20 Desember 2000
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
dan Penilaian Belajar Mahasiswa menentukan antara lain:
1) Kurikulum inti Program sarjana dan Program diploma,
terdiri atas:
a) Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK)
b) Kelompok Mata kUliah Keilmuan dan Keterampilan
(MKK)
c) Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB)
d) Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB)
e) Kelompok Mata Kuliah Kehidupan Bermasyarakat
(MKB)
2) MPK adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk
mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur,
berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
3) Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan
pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi
yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara
nasional
4) MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam
kurikulum setiap program studi/kelompok program studi
terdiri dari bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
5) MPK untuk PT berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari
Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
D. Perkembangan Materi Pendidikan Kewarganegaraan
1. Awal 1979, materi disusun oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti yang
terdiri dari Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, politik dan
Strategi Nasional, Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan
Nasional, sistem Hankamrata. Mata kuliah ini bernama Pendidikan
Kewiraan.
2. Tahun 1985, diadakan penyempurnaan oleh Lemhannas dan Dirjen
Dikti, terdiri atas pengantar yang bersisikan gambaran umum
tentang bahan ajar PKn dan interelasinya dengan bahan ajar mata
kuliah lain, sedangkan materi lainnya tetap ada.
3. Tahun 1995, nama mata kuliah berubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan yang bahan ajarnya disusun kembali oleh
Lemhannas dan Dirjen Dikti dengan materi pendahuluan, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik strategi nasional, politik dan
strategi pertahanan dan keamanan nasional, sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta.
4. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi
pengantar dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan
hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik
dan strategi nasional
5. Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi
pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional.
E. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum Pendidikan
Kewarganegaraan
a. Landasan Ilmiah
1. Dasar Pemikiran PKn
Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan
bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu
mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya.
Untuk itu diperlukan pembekalan IPTEKS yang berlandaskan
nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai budaya
bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan
dan pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Objek Pembahasan PKn
Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang
mempunyai objek, metode, sistem dan bersifat universal. Objek
pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material
maupun objek formal.
Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji
oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Objek material PKn adalah
segala hal yang berkaitan dengan warga negara baik yang
empirik maupun yang non empirik, yang meliputi wawasan,
sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan
negara.
Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk
membahas objek material tersebut. Objek formal PKn adalah
hubungan antara warga negara dengan negara dan Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara.
Objek pembahasan PKn menurut Kep. Dirjen Dikti No.
267/dikti/Kep./ 2000 meliputi pokok bahasan sebagai berikut:
1) Pengantar PKn
a. Hak dan kewajiban warga negara
b. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
c. Demokrasi Indonesia
d. Hak Asasi Manusia
2) Wawasan Nusantara
3) Ketahanan Nasional
4) Politik dan Strategi Nasional
3. Rumpun Keilmuan
PKn (Kewiraan) dapat disejajarkan dengan civics education yang
dikenal diberbagai negara. PKn bersifat interdisipliner (antar
bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan
yang membangun ilmu kewarganegaraan diambil dari berbagai
disiplin ilmu seperti hukum, politik, administrasi negara,
sosiologi, dsb
KONSTITUSI
(Suatu Telaah UUD 1945 Dalam Bingkai Sejarah Indonesia)
A. Pendahuluan
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja
yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah
negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal
(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara.
Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-
undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia
menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-Undang Dasar.
Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai
sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang
disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak
mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri.
Pengertian konstitusi menurut para ahli, diantaranya:
1) K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem
ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan
yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan
suatu negara.
2) Herman heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD.
Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan
politis.
3) Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang
terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai
kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara
angkatan perang, partai politik dan sebagainya.
4) L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis
maupun peraturan tak tertulis.
5) Koernimanto soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa
latin cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang
berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti
menetapkan secara bersama.
6) Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu:
a) Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian
yaitu;
- Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup
hukum dan semua organisasi yang ada di dalam
negara.
- Konstitusi sebagai bentuk Negara
- Konstitusi sebagai faktor integrasi
- Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum
yang tertinggi di dalam negara.
b) Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi 2 pengertian
yaitu konstitusi sebagai tuntyutan dari golongan borjuis
agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi
sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi
dapat berupa tertulis) dan konstitusi dalam arti materiil
(konstitusi yang dilihat dari segi isinya).
c) konstitusi dalam arti positif adalah sebagai sebuah
keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu mengubah
tatanan kehidupan kenegaraan.
d) konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi yang memuat
adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya.
B. Tujuan Konstitusi
keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara
berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata
negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata
negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas
dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan:
a) berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara
bekerjanya,
b) hubungan antar lembaga negara,
c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan
d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta
e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman.
Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat
dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada
dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara
bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga
negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam
konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur
dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang
telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak
negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar
konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam
konstitusi.
Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen
yang terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen
kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu
raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas
daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna
Charta tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak serta wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum
dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat
yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-
bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai
pemegang puncak kekuasaan pemerintahan.
Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam
garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja
Inggris dan kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam
kerajaan Inggris. Di samping itu dijamin dan dilindungi, antara lain:
a. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian
dari siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali
apabila si pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran
(pasal 28);
b. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau
kendaraan dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan
pengangkutan tanpa izin si pemilik (pasal 30);
c. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu
untuk keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik;
Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain
ditentukan:
a. Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan
seorang di muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-
orang yang dipercaya (pasal 38);
b. Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke
dalam penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu
kecuali atas putusan oleh penguasa setempat atau dibenarkan
oleh aturan negara (pasal 39);
c. Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan
pelaksanaan haknya atau peradilan (pasal 40).
Dalam banyak hal ditentukan juga bahwa siapapun boleh
meninggalkan kerajaan atau kembali dengan sehat dan aman melalui
daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan karena ditahan
sesuai dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan
mengenai pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan
penegakan hukum, misalnya ditentukan tidak seorangpun diangkat
sebagai hakim, polisi atau jaksa, kecuali apabila orang itu benar-benar
mengetahui aturan hukum negara, beritikad baik untuk melakukan
fungsi jabatan yang diisinya.
Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan
gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan
menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam
suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad baik raja dan
para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi lagi oleh
raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of The
Liberties Of Forest”.
C. Bentuk-Bentuk dan Materi Muatan Konstitusi
1) Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
a) Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen
constitution) adalah aturan-aturan pokok dasar negara,
bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar
lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam
persekutuan hukum negara.
b) Konstitusi tidak tertulis/konvensi (nondokumentary
constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang
sering timbul. Adapun syarat-syarat konvensi adalah:
- Diakui dan dipergunakan berulang-ulang dalam
praktik penyelenggaraan negara.
- Tidak bertentangan dengan UUD 1945
- Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.
2) Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:
a) konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam
penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan
pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.
b) Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita-cita
sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem
ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa
itu.
3) Bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu:
a) Flexible/luwes, apabila konstitusi/Undang Undang Dasar
memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.
b) Rigid/kaku apabila konstitusi/Undang Undang Dasar jika sulit
untuk diubah.
4) Unsur/substansi sebuah konstitusi yaitu:
a) Menurut sri sumantri konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu:
- Jaminan terhadap Ham dan warga negara
- Susunan ketatanegaraan yang bersdifat fundamental
- Pembagian dan poembatasan tugas ketatanegaraan
b) Menurut Miriam budiarjo, konstitusi memuat tentang:
Organisasi, Negara, HAM, Prosedur penyelesaian masalah
pelanggaran hukum, dan Cara perubahan konstitusi.
c) Menurut koerniatmanto soetopawiro, konstitusi berisi
tentang:
- Pernyataan ideologis;
- Pembagian kekuasaan negara;
- Jaminan HAM (hak asasi manusia);
- Perubahan konstitusi;
- Larangan perubahan konstitusi.
D. Sejarah Konstitusi Indonesia
Sejak proklamasi 17 agustus 1945 sampai saat ini telah berlaku
tiga macam Undang-Undang Dasar dalam beberapa periode yaitu:
(1) Periode 18 Agustus 1945-27 Desember 1949,
(2) Periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950
(3) Periode 17 agustus 1950-5 Juli 1959
(4) Periode 5 Juli 1959 (saat ini UUD 1945 telah diamandeman).
Saat RI diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
Republik baru ini belum mempunyai Undang-undang Dasar, sehingga
oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 disahkan UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Akan tetapi perubahan peta
perpolitikan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda telah
membawa dampak yang besar rongrongan Belanda dalam RI masih
cukup kuat dengan mencoba mendirikan Negara Sumatera Timur, NIT,
Negara Pasundan dll, sejalan dengan usaha untuk meruntuhkan RI
terjadilah Agresi I tahun 1947 dan Agresi II 1948 dimana akibat dari itu
PBB mengadakan KMB di Den Haag.
Dengan disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)
pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka terbentuklah Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagaimana dikemukakan oleh Riclef,
dari konferensi tersebut disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan
kedaulatannya kepada RIS, antara Belanda dan RIS akan membentuk
suatu uni longgar dengan ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. RIS ini
terdiri dari 16 negara bagian yang masing-masing negara bagian tersebut
memiliki luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Negara-negara
bagian terpenting dari Republik Indonesia Serikat itu ialah Negara
Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan dan Negara
Indonesia Timur. Untuk itu perlu pula di bentuk alat-alat kelengkapan
negara yang salah satu faktor pentingnya ialah UUD maka dibuatlah
Konstitusi RIS.
Atas desakan yang kuat dari rakyat maka pada tanggal 8 April
1950 dieselenggarakanlah konfrensi segitiga antara Republik Indonesia
Serikat, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur, dimana
kedua negara bagian tersebut memberikan mandat kepada Hatta sebagai
Perdana Menteri RIS pada tanggal 12 Mei 1950 untuk membentuk negara
kesatuan, setelah terbentuk negara kesatuan tersebut pada tanggal 19
Mei 1950 kemudian dirancanglah Undang-Undang Dasar negara
kesatuan oleh panitia gabungan dari Republik Indonesia Serikat dengan
Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU No. 7
tahun 1950 ditetapkan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950,
berdasarkan pasal 127 a, pasal 190 dan pasal 191 ayat 2 Konstitusi RIS.
Dalam perkembangannya, perbincangan mengenai konstitusi
mengalami masa vacum (atau reda) sama sekali sejak Dekrit Presiden 5
Juli 1959 sampai akhir pemerintahan Presiden Soeharto (1998). Trauma
atas perdebatan ideologis dan pengkotakan masyarakat berdasar sikap
politik kaum elitnya di Konstituante menyebabkan UUD 1945 diposisikan
sebagai "jalan keluar" paling aman bagi negara Indonesia.
Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 berhasil membahas dua
hal yaitu pembatasan kekuasaan Presiden dan pemberdayaan DPR. Apa
makna perubahan UUD 1945 yang pertama kali dilakukan ini? Ada tiga
aspek: desakralisasi UUD 1945; jaminan konstitusional berkembangnya
demokrasi; dan proporsionalitas kekuasaan eksekutif dan legislative.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan
perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru,
kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di
tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya
pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga dapat menimbulkan multitafsir),
serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan
rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan
kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
E. Mekanisme Perubahan Konstitusi
C.F. Strong menyebutkan empat cara mengubah konstitusi.
a) Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen
dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan
syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan.
b) Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum,
yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk
diputuskan oleh rakyat melalui referendum.
c) Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara
bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari
parlemen federal atau sejumlah negara bagian.
d) Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau
konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan
pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi
atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih
dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota
konstituante.
Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan
terhadap UUD 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.”
Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan
wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap
MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara
dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa
Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas
dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang
untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika
Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu, MPR juga tidak
mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar
daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945
sebelum diubah.
Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut
memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. MPR masih berwenang untuk:
a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b) melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil
pemilihan umum dalam Sidang Paripurna MPR;
c) memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di
dalam Sidang Paripurna MPR;
d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan
kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden
dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
e) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya
berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua
paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa
jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
Berikut ini adalah mekanisme pelaksanaaan tugas dan
wewenang MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 setelah amandemen,
khususnya mengenai ketentuan perubahan UUD 194, yaitu:
a) Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota MPR [Pasal 37 (1)];
b) diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya [Pasal 37 (2)****];
c) sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota MPR [Pasal 37 (3)];
d) Putusan dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50%
+ 1 anggota dari seluruh anggota MPR [Pasal 37 (4)];
e) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan [Pasal 37 (5)].
Berubahnya kedudukan MPR memang sering diartikan salah
baik yang terkait dengan eksistensi lembaga maupun Pimpinan MPR, ia
juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. Sebagai lembaga
negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR
secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2)
dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam
pasal-pasal dan ayat-ayat itu, fungsi dan kewenangan MPR sekarang,
substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan
mendasar dalam kehidupan bernegara.
Sebagai contoh adalah adalah wewenang MPR dalam hal
terjadinya impeachment yang tentu saja memperkuat sistem presidensial
kita. Dengan demikian perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang
MPR tidak berarti menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta
peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih
mempunyai peran penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Peran keseharian MPR lainnya juga terlihat dari upaya MPR mengelola
setiap wacana usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan peningkatan
pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui sosialisasi UUD NRI 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003
Bambang Widjojanto dkk. (Editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi
Konstitusi Independen, Pustaka sinar harapan, 2002
Lapian AP., et al. Terminology Sejarah 1945-1950 dan 1950-1959.
Depdikbud, Jakarta, 1996
Marwati Djoened P dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI.
Balai Pustaka, Jakarta, 1984
Mahfud MD Moh., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,
UII Press, Yogyakarta, 1999
Ni’matul Huda, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,
Jakarta, 2008
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,
1987
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
(Mengenal Peraturan Perundang-Undangan Pasca Reformasi)
A. Pengertian
Secara etimologis, Perundang-undangan berasal dari istilah
‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an
menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang.
Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada
kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika
sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti
proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan
perundang-undangan.
Menurut Penulis, istilah perundang-undangan untuk
menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan
keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-
undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam
Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan
merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai
jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai
kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga
yang berwenang.
Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan
Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:
1. bersifat tertulis
2. mengikat umum
3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang
dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab
dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya
untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada
pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena
dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern
anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia
berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-
undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah
“Undang-undang”.
B. Asas Perundang-Undangan
Beberapa asas dalam perundang-undangan adalah:
a. asas Undang-undang tidak berlaku surut
b. asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. asas Lex Specialis derogat Lex Generalis.
d. asas Lex posteriore derogat lex priori (Udang-undang yang berlaku
belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku
terdahulu/lama).
e. asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini
misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2
Undang-undang Dasar Sementara 1950.
Sementara itu, I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul
“Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi
asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen
van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang
material.
Asas formal meliputi diantaranya:
a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar;
b. asas tentang dapat dikenali;
c. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
d. asas kepastian hukum;
e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
patut itu meliputi juga:
a. asas tujuan yang jelas;
b. asas perlunya pengaturan;
c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
d. asas dapatnya dilaksanakan;
e. asas dapatnya dikenali;
f. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
g. asas kepastian hukum;
h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
C. Dasar Peraturan Perundang-Undangan
Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan
perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No.
XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan
perundang-undangan Indonesia adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
- Dan lain-lainnya
Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai
daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta
semakin kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai
mengubah konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang-Undang No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No.
32 Tahun 2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No.
33 Tahun 2004). Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan
perubahan terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang.
Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR
No. III Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut
setelah Keputusan Presiden.
Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.
Pada tanggal 24 Mei 2004 lalu, DPR telah menyetujui RUU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi UU No. 10
Tahun 2004, yang berlaku efektif pada bulan November 2004.
Keberadaan undang-undang ini sekaligus menggantikan pengaturan tata
urutan peraturan perundang-undangan yang ada dalam Ketetapan MPR
No. III Tahun 2000.
Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10
Tahun 2004 ini diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut.
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah, yang meliputi:
- Peraturan Daerah Provinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
- Peraturan Desa.
D. Definisi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan:
a. UUD 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah:
- Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal dan
diberlakukan kembali dengan pada tanggal serta
dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal
- Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan
Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing
hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam
Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002
sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
b. Undang-Undang
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh dengan persetujuan bersama.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
- Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi:
hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan
penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan
dan kependudukan, serta keuangan negara.
- Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur
dengan Undang-Undang.
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi
muatan Undang-Undang.
d. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh untuk menjalankan sebagaimana mestinya. Materi
muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
e. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah
materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan.
f. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur
atau bupati/walikota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
…………………, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Indo-Hill Co,
Jakarta, 1992
…………………, (dkk), Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, 1997.
Jimly Assiddigie, dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendarial
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan.
KETAHANAN NASIONAL
(Studi Penguatan Nasionalisme & Cinta Tanah Air Bagi Mahasiswa)
A. Pendahuluan
Terbentuknya negara Indonesia dilatar belakangi oleh perjuangan
seluruh bangsa. Sudah sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak
negara atau bangsa lain, karena potensinya yang besar dilihat dari
wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang banyak. Kenyataannya
ancaman datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Terbukti,
setelah perjuangan bangsa tercapai dengan terbentuknya NKRI, ancaman
dan gangguan dari dalam juga timbul, dari yang bersifat kegiatan fisik
sampai yang idiologis. Meski demikian, bangsa Indonesia memegang satu
komitmen bersama untuk tegaknya negara kesatuan Indonesia.
Dorongan kesadaran bangsa yang dipengaruhi kondisi dan letak
geografis dengan dihadapkan pada lingkungan dunia yang serba berubah
akan memberikan motivasi dlam menciptakan suasana damai.
Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamika, yaitu
suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu
mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang
dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak
langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam perjuangan mencapai
cita-cita/tujuan nasionalnya bangsa Indonesia tidak terhindar dari
berbagai ancaman-ancaman yang kadang-kadang membahayakan
keselamatannya. Cara agar dapat menghadapi ancaman-ancaman
tersebut, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan
daya tahan yang dinamakan ketahanan nasional.
Kondisi atau situasi dan juga bisa dikatakan sikon bangsa kita ini
selalu berubah-ubah tidak statik. Ancaman yang dihadapi juga tidak
sama, baik jenisnya maupun besarnya. Karena itu ketahanan nasional
harus selalu dibina dan ditingkatkan, sesuai dengan kondisi serta
ancaman yang akan dihadapi. Dan inilah yang disebut dengan sifat
dinamika pada ketahanan nasional. Kata ketahanan nasional telah sering
kita dengar disurat kabar atau sumber-sumber lainnya. Mungkin juga
kita sudah memperoleh gambarannya.
Untuk mengetahui ketahanan nasional, sebelumnya kita sudah
tau arti dari wawasan nusantara. Ketahanan nasional merupakan kondisi
dinamik yang dimiliki suatu bangsa, yang didalamnya terkandung
keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan
nasional. Kekuatan ini diperlukan untuk mengatasi segala macam
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang langsung atau tidak
langsung akan membahayakan kesatuan, keberadaan, serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Bisa jadi ancaman-ancaman
tersebut dari dalam ataupun dari luar.
Beberapa ancaman dalam dan luar negeri telah dapat diatasi
bangsa Indonesia dengan adadnya tekad bersama-sama menggalang
kesatuan dan kecintaan bangsa. Berbagai pemberontakan PKI, RMS
(Republik Maluku Selatan), PRRI Permesta dan juga gerakan sparatis di
Timor- Timur yang pernah menyatakan dirinya berintegrasi dengan
Indonesia, meskipun akhirnya kenyataan politik menyebabkan lepasnya
kembali daerah tersebut. Ancaman sparatis dawasa ini ditunjukan
dengan banyaknya wilayah atau propinsi di Indonesia yang
menginginkan dirinya merdeka lepas dari Indonesia seperti Aceh, Riau,
Irian Jaya, dan beberapa daerah lain begitu pila beberapa aksi provokasi
yang mengganggu kestabilan kehidupan sampai terjadinya berbagai
kerusuhan yang diwarnai nuansa etnis dan agama dan gangguan dari
luar adalah gangguan dari negara lain yang ingin menguasai pulau-pulau
kecil yang masih berada di didalam wilayah NKRI namun dekat dengan
wilayah negara lain. Bangsa Indonesia telah berusaha menghadapi semua
ini dengan semangat persatuan dan keutuhan, meskipun demikian
gangguan dan ancaman akan terus ada selama perjalanan bangsa, maka
diperlukan kondisi dinamis bangsa yang dapat mengantisipasi keadaan
apapun terjadi dinegara ini.
B. Perkembangan Ketahanan Nasional
Dewasa ini istilah ketahanan nasional sudah dikenal diseluruh
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal.
Ketahanan Nasional baru dikenal sejak permulaan tahun 60 an. Pada saat
itu istilah itu belum diberi devenisi tertentu. Disamping itu belum pula
disusun konsepsi yang lengkap menyeluruh tentang ketahanan nasional.
Istilah ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka
pembahasan masalah pembinaan ter itorial atau masalah pertahanan
keamanan pada umumnya.
Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu
menggunakan istilah ketahanan nasional, namun lembaga yang secara
serius dan terus-menerus mempelajari dan membahas masalah
ketahanan nasional adalah lembaga pertahanan nasional atau lemhanas.
Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan
nasional selalu memperoleh perhatian yang besar.
Sejak mulai dengan membahas masalah ketahanan nasional
sampai sekarang, telah dihasilkan tiga konsepsi.Pengertian atau devenisi
pertama Lemhanas, yang disebut dalam konsep 1968 adalah sebagai
berikut: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan kita dalam
menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari
dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia.
Pengertian kedua dari Lemhanas yang disebut dalam ketahanan
nasional konsepsi tahun 1969 merupakan penyempurnaan dari konspsi
pertama yaitu: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu
bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang
dari luar maupun yang datang dari dalam yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara Indonesia.
Ketahanan nasional merupakan kodisi dinamis suatu bangsa,
berisi keuletan dan ketangguahan, yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional,didalam menghadapi didalam
menghadapi dan mengisi segala tantangan, ancaman ,hambatan, serta
gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas,
kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar
perjuangan nasional.
Apabila kita bandingkan dengan yang terdahulu, maka akan
tampak perbedaan antara lain seperti berikut :
a. Perumusan 1972 bersifat universal, dalam arti bahwa rumusan
tersebut dapat diterapkan dinegara-negara lain, terutama di
negara-negara yang sedang berkembang.
b. Tidak lagi diusahakan adanya suatu devenisi, sebagai gantinya
dirumuskan apa yang dimaksud kan dengan istilah ketahanan
nasional.
c. Jika dahulu ketahanan nasional di identikkan dengan keuletan
dan daya tahan, maka ketahanan nasional merupakan suatu
kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan ketangguhan, yang
berarti bahwa kondisi itu dapat berubah.
d. Secara lengkap dicantumkan tantangan, ancaman , hambatan,
serta ganguan.
e. Kelangsungan hidup lebih diperinci menjadi integritas, identitas,
dan kelangsungan hidup.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral
Suharto di depan siding DPR tanggal 16 Agustus 1975, dikatakan bahwa
ketahanan nsional adalah tingkat keadaan dan keuletan dan ketangguhan
bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan kesungguhan
kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional
yang mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman d an tantangan
terhadap keutuhanan maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan
kehidupan dabn kelangsungan cita-citanya. Karena keadaan selalu
berkembang serta bahaya dan tantangan selalu berubah, maka
ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina agar
memadai dengan perkembangan keadaan. Karena itu ketahanan nasional
itu bersift dinamis, bukan statis.
Ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh ini
bukanlah hl baru bagi kita. Tetapiu pembinaan dan peningkatannya
sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan fasililitas yang tersedi pula.
Pembinaan ketahanan nasional kita dilakukan dipelgai bidang: ideology,
politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam, baik secara serempak
maupun menurut prioritas kebutuhan kita.
C. Asas-Asas dan Sifat Ketahanan Nasional
Asas ketahanan nasional adalah tata laku yang didasari nilai-nilai
yang tersusun berlandaskan Pancasil, UUD 1945 dan Wawasan
Nusantara. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a) Asas kesejahtraan dan keamanan
Asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan wajib
dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. Didalam
kehidupan nasional berbangsa dan bernegara, unsur kesejahteraan
dan keamanan ini biasanya menjadi tolak ukur bagi mantap/tidaknya
ketahanan nasional.
b) Asas komprehensif/menyeluruh terpadu
Artinya, ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan.
Aspek-aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan
perpaduan secara selaras, serasi, dan seimbang.
c) Asas kekeluargaan
Asas ini bersikap keadilan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong,
tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan
ini diakui adanya perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan
secara serasi dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang
bersifat merusak/destruktif.
Beberapa sifat ketahanan nasional yang ada mingkin akan
dijabarkan seperti dibawah ini :
- Mandiri
Maksudnya adalah percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri
dan tidak mudah menyerah. Sifat ini merupakan prasyarat untuk
menjalin suatu kerjasama. Kerjasama perlu dilandasi oleh sifat
kemandirian, bukan semata-mata tergantung oleh pihak lain.
- Dinamis
Artinya tidak tetap, naik turun tergantung situasi dan kondisi bangsa
dan negara serta lingkungan strategisnya. Dinamika ini selalu
diorientasikan kemasa depan dan diarahkan pada kondisi yang lebih
baik.
- Wibawa
Keberhasilan pembinaan ketahanan nasional yang berlanjut dan
berkesinambungan tetap dalam rangka meningkatkan kekuatan dan
kemampuan bangsa. Dengan ini diharapkan agar bangsa Indonesia
mempunyai harga diri dan diperhatikan oleh bangsa lain sesuai
dengan kualitas yang melekat padanya. Atas dasar pemikiran diatas,
maka berlaku logika, semakin tinggi tingkat ketahanan nasional,
maka akan semakin tinggi wibawa negara dan pemerintah sebagai
penyelenggara kehidupan nasional.
- Konsultasi dan kerjasama
Hal ini dimaksudkan adanya saling menghargai dengan
mengandalkan pada moral dan kepribadian bangsa. Hubungan kedua
belah pihak perlu diselenggarakan secara komunikatif sehingga ada
keterbukaan dalam melihat kondisi masing-masing didalam rangka
hubungan ini diharapkan tidak ada usaha mengutamakan konfrontasi
serta tidak ada hasrat mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik
semata.
D. Kedudukan dan Fungsi Ketahanan Nasional
Kedudukan dan fungsi ketahanan nasional dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a) Kedudukan :
Ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diyakini
kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia serta merupakan cara
terbaik yang perlu di implementasikan secara berlanjut dalam rangka
membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan,
wawasan nusantara dan ketahanan nasional berkedudukan sebagai
landasan konseptual, yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan
ideal dan UUD sebagai landasan konstisional dalam paradigma
pembangunan nasional.
b) Fungsi :
Ketahanan nasional nasional dalam fungsinya sebagai doktrin dasar
nasional perlu dipahami untuk menjamin tetap terjadinya pola pikir,
pola sikap, pola tindak dan pola kerja dalam menyatukan langkah
bangsa yang bersifat inter-regional (wilayah), inter-sektoral maupun
multi disiplin. Konsep doktriner ini perlu supaya tidak ada cara
berfikir yang terkotak-kotak (sektoral). Satu alasan adalah bahwa bila
penyimpangan terjadi, maka akan timbul pemborosan waktu, tenaga
dan sarana, yang bahkan berpotensi dalam cita-cita nasional.
Ketahanan nasional juga berfungsi sebagai pola dasar pembangunan
nasional. Pada hakikatnya merupakan arah dan pedoman dalam
pelaksanaan pembangunman nasional disegala bidang dan sektor
pembangunan secara terpadu, yang dilaksanakan sesuai dengan
rancangan program.
E. Ketahanan Nasional dan Konsepsi Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi
segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar,
untuk menjamin identitas, integrasi dan kelangsungan hidup bangsa dan
negar serta perjuangan mencapai tujuan nasional dapat dijelaskan
seperti dibawah ini :
- Ketangguhan adalah kekuatan yang menyebabkan seseorang atau
sesuatu dapat bertahan, kuat menderita atau dapat menanggulangi
beban yang dipikulnya.
- Keuletan adalah usaha secara giat dengan kemampuan yang keras
dalam menggunakan kemampuan tersebut diatas untuk mencapai
tujuan.
- Identitas yaitu ciri khas suatu bangsa atau negara dilihat secara
keseluruhan. Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu
organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah dengan penduduk,
sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasional serta dengan peran
internasionalnya.
- Integritas yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional
suatu bangsa baik unsur sosial maupun alamiah, baik bersifat
potensional maupun fungsional.
- Ancaman yang dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat
mengubah atau merombak kebijaksanaan dan usaha ini dilakukan
secara konseptual, kriminal dan politis.
- Hambatan dan gangguan adalah hal atau usaha yang berasal dari luar
dan dari diri sendiri yang bersifat dan bertujuan melemahkan atau
menghalangi secara tidak konsepsional.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic
Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008
Lemhanas, Bunga Rampai: Ketahanan Nasional, Konsep & Teori, PT.
Pustaka Utama, Jakarta, 1998
Saafroedin Bahar et., al., Pendidikan Pendahuluan Bela Negara: Tahap
Lanjutan, Intermedia, Jakarta, 1989
LEMBAGA NEGARA
(Dinamika Lembaga-lembaga Negara Mandiri di Indonesia Pasca
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945)
A. Pendahuluan
Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga
negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum
yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada
yang dibentuk dengan keputusan presiden saja.
Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu
parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang
sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan
secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi satu sama lain,
sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan
efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan
masih belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan
lembaga yang ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.
B. Pasang Surut Lembaga Negara
Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju
demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut
adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat
personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini
mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap
sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak
cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan
pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan
kehakiman. Sekadar menunjuk contoh, di Inggris komplikasi persoalan-
persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan
konfigurasi sosial-politik berupa Revolusi Industri pada abad ke-18 dan
19 tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan mekanisme
kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspons dengan
membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh
parlemen. Pembentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap
sebagai jawaban yang paling tepat dan diidealkan mampu menangani
dan menyelesaikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan
melalui cara yang terlembagakan dengan baik.
Oleh karena itu, bersamaan dengan derasnya komplikasi
persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul itu ratusan badan
yang sama sekali baru didirikan dengan tujuan untuk melakukan tugas-
tugas semacam (1) membuat peraturan, seperti Komisi Keselamatan dan
Kesehatan Kantor Perdagangan yang Jujur (The Health and Safety
Commission The Office of Fair Trading); (2) memberikan nasihat, seperti
Komisi Daerah (Countryside Commission); dan (3) menyelesaikan
perselisihan, seperti Komisi untuk Persamaan Rasial (The Commission for
Racial Equality). Alasan utama yang ditunjuk berkenaan dengan
pembentukan badan-badan tersebut adalah untuk meminimalisasi
pengaruh kaum aristokrat dan memberikan penegasan terhadap konsep
pemisahan kekuasaan. Nomenklatur yang diberikan untuk lembaga-
lembaga itu pun berlainan satu sama lain, seperti korporasi publik,
quoqos (badan non-pemerintah semiotonom), badan non-departemen,
badan publik, komisi, dewan, atau badan ad hoc yang biasanya dasar
pembentukannya dapat berupa undang-undang, piagam kerajaan,
tindakan administratif, atau perjanjian.
Pembentukan lembaga-lembaga ekstra serupa juga terjadi di
Amerika Serikat seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam
struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat
yang semakin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang
berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban
baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu, parlemen Amerika
Serikat membentuk suatu badan yang bertanggung jawab kepadanya
dalam pelbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legislasi, seperti
Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission),
Dewan Penerbangan Sipil (Civil Aeronautics Board), Komisi Sekuritas dan
Kurs (Securities and Exchange Commission), Dewan Kerja Sama Buruh
Nasional (National Labor Relation Board), Komisi Kekuasaan Federal
(Federal Power Commission), Komisi Perdagangan Antarnegara Bagian
(Interstate Commerce Commission), Komisi Perdagangan Federal (Federal
Trade Commission). Dalam catatan Jimly Asshiddiqie, di seluruh Amerika
Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang
merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas
menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan semilegislatif.
Kedudukan badan-badan khusus itu di Amerika Serikat meskipun
secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan, tetapi
pengangkatan dan pemberhentian para anggota badan-badan khusus itu
ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres.
Sementara itu, di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark,
Finlandia, dan Norwegia), Perancis, Selandia Baru, Guyana Mauritius, dan
lain-lain, secara khusus juga membentuk lembaga tersendiri di luar
kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan
kekuasaan kehakiman untuk melindungi warga negaranya dari tindakan-
tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Lembaga ini tidak berhak
mengadili atau memiliki fungsi peradilan terhadap keluhan warga negara
atas suatu tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Akan
tetapi, lembaga ini dapat melakukan penyelidikan atas persoalan
tersebut. Nomenklatur untuk lembaga semacam ini disebut secara
berbeda-beda di berbagai negara. Swedia, misalnya, menyebutnya
dengan istilah Ombudsman Yustisi (Justitie Ombudsman). Sementara itu,
Perancis dengan Komisioner Tinggi Pertahanan (Haut Commissionaire
Defenseur), dan Selandia Baru dengan Komisi Parlemen untuk
Administrasi (Parliamentary Commission for Administration).
Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan
bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang
semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif.
Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak
mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang
berkembang di berbagai Negara.
Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-
negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan
mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan,
dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan
membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak
terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik
pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari
rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era
demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain,
khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara
keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif
berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-
lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak
dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai
lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan
pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa
mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut.
C. Lembaga Negara di Indonesia
Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan
salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-
creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying
function). Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly
Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat
dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut,
ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum
maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara
yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya
diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari
segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu
penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai
perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam
lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah
perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara
dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada
dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu: (i) kriteria hirarki bentuk sumber
normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya.
Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan
negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari
segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau
primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).
Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke
dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga
tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja,
sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara
lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ
utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang
merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).
Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami
dinamika perkembangan yang sangat pesat.
Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-
lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly
Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi
independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen,
yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat
independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional
importance lainnya, seperti:
a) Komisi Yudisial (KY);
b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan
kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU,
tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak
hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional
importance yang sama dengan kepolisian;
g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk
berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance
berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang
dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat
constitutional importance.
3) Lembaga Independen lainnya yang dibentuk berdasarkan undang-
undang, seperti:
a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif
(pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau
Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan,
seperti:
a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);
b) Komisi Pendidikan Nasional;
c) Dewan Pertahanan Nasional;54
d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
j) Lembaga Informasi Nasional (LIN).
5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif
(pemerintah) lainnya, seperti:
a) Menteri dan Kementerian Negara;
b) Dewan Pertimbangan Presiden;
c) Komisi Hukum Nasional (KHN);
d) Komisi Ombudsman Nasional (KON);
e) Komisi Kepolisian;
f) Komisi Kejaksaan.
6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan
Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan
umum lainnya, seperti:
a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
d) BHMN Perguruan Tinggi;
e) BHMN Rumah Sakit;
f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);
Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri –
atau apa pun namanya– di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga
negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan
menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan
perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era
demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu
merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-
lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang
dihadapi.
Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara
mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak
adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat
adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar,
dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-
lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh
suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga
negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus
dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan
internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang
menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk
lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri
(state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog)
yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-
lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus
diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional
untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era
baru menuju demokratisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, John. Constitutional & Administrative Law. London: Macmillan
Professional Masters, 1989.
Jimly Asshiddiqie. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam
Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta:
UI-Press, 1996.
_______. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
Undang-Undang Dasar 1945”, makalah disampaikan dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum
dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Denpasar, 14-18 Juli 2003.
_______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2006.
Duchacek, Ivo D. Power Maps: Comparative Politics of Constitutions. Santa
Barbara, California: American Bibliographical Center, 1973.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel,
1973.
Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2001. Jakarta: Komisi
Ombudsman Nasional, 2001.
Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur
Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III,
April-Juni 2006.
Yazid, T.M. Luthfi. “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara
Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema
Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945,
diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel
Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.
Wieslander, Bengt. The Parliamentary Ombudsman in Sweden. Stokholm:
The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999
HAK ASASI MANUSIA
(Suatu Kajian Aktualisasi Penegakan HAM di Indonesia)
A. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM dalam perspktif
sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan kisah manusia dalam
pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimilikinya dan
kedudukannya sebagai subyek hukum. Tetapi menurut hasil penelitian,
sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak HAM itu diperjuangkan
ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan negara.
Dari sejarah dunia kita mengetahui bahwa negara negara Eropa
pernah menjajah bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika, Australia, dan
Amerika. Realitas sejarah berupa penjajahan suatu bangsa atas bangsa
lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam bentuknya
yang klasik. Tidak hanya oleh negara asing, pelanggaran HAM juga
mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan
mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti
penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas orang-orang yang
dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi
kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu
banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga
menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya
mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu.
Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah
dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM
ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah
mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa
banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan
untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu
menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep
kontrak sosialnya Thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan
seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk
mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia
hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula
dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-
wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan
lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa
terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal
HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.
Namun demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun
instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45
yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri dengan pasal
pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen
UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga
tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada
seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI
untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang
Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM
yang dibentuk sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993
Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta diundangkannya
Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
B. Pandangan Teoritis
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah
hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan
dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari
anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari
eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk yang
paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang
menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus
dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya.
Hak hak itu meliputi :
1) Hak untuk hidup
2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3) Hak mengembangkan diri
4) Hak memperoleh keadilan
5) Hak atas kebebasan pribadi
6) Hak atas rasa aman
7) Hak atas kesejahteraan
8) Hak turut serta dalam pemerintahan
9) Hak wanita
10) Hak anak.
Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami
bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar
ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya
pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan
demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan
dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen.
Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999
hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya
dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan
kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam
Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa
pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau
menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan
mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi
pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang
Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM
yang dijamin oleh Undang Undang tersebut.
Sementara itu, Jika, dicermati dengan seksama asas-asas yang
termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
yaitu:
1. Hanya mengadili pelanggaran HAM berat.
2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili
pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial RI
oleh warga negara Indonesia.
3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili
oleh Pengadilan HAM.
4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum.
5. Dalam pengadilan HAM dikenal penyidik Ad Hoc, Penuntut Ad
Hoc dan hakim Ad Hoc.
6. Pemeriksaan banding, kasasi, limitatif paling lama 90 hari.
7. Dilindungi korban dan saksi.
8. Dikenal kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban.
9. Ancaman hukuman diperberat.
10. Adanya tanggungjawab komandan dan atasan terhadap
pelanggaran HAM berat oleh bawahannya.
11. Penerapan asas retroaktif, dimana terhadap pelanggaran HAM
berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU pengadilan
HAM, diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc.
12. Tidak dikenal daluwarsa.
13. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh
Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM).
14. Tidak ada kewenangan ANKUM dan perwira penyerah perkara
dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Dengan asas-asas tersbut bukankah sudah mencerminkan
kemandirian dari Peradilan HAM…? lalu kenapa harus dipolitisir bahwa
Peradilan HAM harus beradai di bawah Lingkup Peradilan Umum …?
Bisakah Peradilan HAM bebas dan mandiri dalam melakukan proses
penegakan hukum HAM jika masih harus bertanggungjawab secara
struktural kepada lingkup Peradilan Umum, bukankah ini merupakan
jalan panjang dan melelahkan untuk sampai pada proses peradilan HAM
yang fair dan manusiawi…? Begitu panjangnya jalan yang harus
ditempuh, hingga akhirnya korban pencari keadilan pasrah dan
menyerahkan nasibnya pada takdir. Kalau ada sebuah lembaga yang
bernama KOMNAS HAM yang bertugas mencari fakta dan menemukan
ada tidaknya pelanggaran HAM dalam kasus-kasus yang diduga telah
terjadi pelanggaran berat HAM. Toh, kalau akhirnya harus diadili dengan
sebuah peradilan di bawa lingkup pengadilan umum, maka hasilnya
“Jeruk makan jeruk” dan nothing dapat mencapai keadilan, kepastian
dan kemanfaatan apalagi perlindungan dan kesejahteraan bagi
korban kejahatan HAM.
C. Instrumen Hukum Dalam Penegakan HAM
Pemikiran HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat
ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada
konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia.
Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang
mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi
pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan
dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan
bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:
1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan
melakukan amandemen UUD 45.
2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya
adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak
mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur
tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk
hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:
a. Amandemen UUD 1945
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45
berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan
perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim
Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45
tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar
secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak
mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi
Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk
memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang
tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin
memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan
melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral
UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara
konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian
direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui
amandemen II UUD 45.
b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR
pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan
mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang
HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu
sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut
bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah
Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik
antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan
kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua
kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang
secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan
membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping
secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan
amandemen UUD 45.
c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana
dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR
tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua
pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang
HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya
ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang .
Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang
HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang
HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada
tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak
seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang
tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi
peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada
selama ini.
Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan
ketentuan tentang HAM juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
d. Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua
dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini
merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang
Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang
telah ditolak oleh DPR sebelumnya.
e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka
umum melalui Undang Undang ini bertujuan:
1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai
salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan
UUD 45.
2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan
berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan
menyampaikan pendapat.
3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya
partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan
berdemokrasi.
4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa
mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
D. Problematika Penegakan HAM di Indonesia
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan
banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun
yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan
HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya
ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak
Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis
Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan
lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi
penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru
hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk
mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada
masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran
realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu
bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa
hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan
hukum bukan apa apa.
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan
Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status
quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di
Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo)
secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis)
dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan
pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan
antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir
kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo
masih mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam
penegakan hukum. Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde
Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana
dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure),
substansi (substance), kultur hukum (legal culture).
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur
sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita
sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong
berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan
profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan
masyarakat secara umum.
Selain itu secara struktural, kemandirian institusi institusi
penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup
serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut belum cukup
resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif, padahal
penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan
berdasarkan hukum (rule of law).
Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut
sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan
di atas, tapi juga melibatkan sistem sistem lain yang turut berpengaruh
secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial.
Sistem politik transisional dari sistem politik otoriter ke
demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari
Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan berbagai
bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa
timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri,
tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status
quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak
menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer
diposisikan sebagai alat dan pendukung kekuasaan yang sedang
berlangsung.
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti
belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan
bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling
banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang
menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia
semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga
bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi
problem penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan
dapat menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia
belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum
sekalipun?.
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber
dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati
kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi
ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika
sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan
berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup
bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal
dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta
rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi
permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional
karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan
puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan
kekerasan yang kemudian menimbulkan ketidak-tertiban dan ketidak-
harmonisan sosial (social disorder and disharmony). Dan kondisi sosial
semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan
HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari
permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia
rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya
sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem
sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik
pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling
mempengaruhi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2002
Arief Sidharta, Bernard. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum CV.Mandar
Maju, Bandung, 2000
Kleden, Ignas. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta,
2001.
Lopa, Baharuddin. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama:
Sebuah Pemikiran. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001
Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. PT. Alumni, Bandung, 2001
Purbopranoto. Kuntjoro. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1979
NEGARA, NEGARA HUKUM, DAN WARGA NEGARA
A. Negara
1. Pengertian Negara
Secara umum, pengertian negara adalah suatu daerah atau
wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan
yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal
terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah
yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. Negara merupakan
suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan
bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga
negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945
yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.
Berdasarkan pendapat para sarjana, dapat dilihat beberapa
pengertian dari negara yaitu:
 Menurut Gorge Jellinek : Negara ialah organisasi kekuasaan
dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah
tertentu.
 Menurut Gorge Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan
organisasi kesusilaan yang mencul sebagai sintesis dari
kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
 Mr. Kranerburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul
karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
 Roger. F. Soltau : Negara adalah alat (agency) atau wewenang
(authority) yang mengatur atau mengendalikan persalan
bersama atas nama masyarakat.
 Prof. R. Djolosoetrono : Negara ialah suatu organisasi manusia
atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu
pemerintahan yang sama.
 Prof. Mr. Soenarko : Negara ialah organisasi masyarakat yang
mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara
berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan).
Bila dilihat dari segi fungsi, maka fungsi-fungsi negara
meliputi:
a) Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat: Negara yang
sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat
masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial
kemasyarakatan.
b) Melaksanakan ketertiban: Untuk menciptakan suasana dan
lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan
pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh
masyarakat.
c) Pertahanan dan keamanan: Negara harus bisa memberi rasa
aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan
ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
d) Menegakkan keadilan: Negara membentuk lembaga-lembaga
peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di
segala bidang kehidupan.
2. Asal Muasal Terjadinya Negara
Asal mulanya terjadi negara dapat juga dilihat berdasarkan
pendekatan teoritis, antara lain :
- Teori Ketuhanan, negara terjadi atas kehendak Tuhan, nampak
pada UUD nya atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, penganutnya
adalah Agustinus, Yulius Stahi, Haller, Kranenburg dan Thomas
Aquinas.
- Teori Perjanjian Masyarakat, negara terjadi karena adanya
perjanjian masyarakat yang mengikat diri untuk mendirikan
suatu organisasi yang bisa melindungai dan menjamin
kelangsungan hidup bersama. Penganutnya adalah Thomas
Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Montesquieu
- Teori Kekuasaan, negara terjadi karena adanya kekuasaan yang
paling kuat. Penganut teori ini adalah H.J. Laski, L. Duguit, Karl
Marx, Oppenheimer dan Kollikles.
- Teori Hukum Alam, negara terjadi karena kehendak alam yang
merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Penganut teori ini
adalah Plato, Aristoteles, Agustinus dan Thomas Aquino.
Pada dasarnya negara mempunyai tujuan masing-masing,
namun tujuan akhirnya sama yaitu menciptakan kebahagian pada
rakyatnya.
3. Bentuk-Bentuk Negara
- Negara Kesatuan (Unitaris)
Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni
kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan
pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan
sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara
pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan
secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi,
satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen.
Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang
memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan.
Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan
tiadanya badan-badan lain yang berdaulat.
- Negara Serikat (Federasi)
Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas
beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati
negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala
negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri, yang berdaulat
dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang
disebut negara federal.
Setiap negara bagian bebas melakukan tindakan ke dalam,
asal tak bertentangan dengan konstitusi federal. Tindakan ke luar
(hubungan dengan negara lain) hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah federal.
Dalam praktik kenegaraan, jarang dijumpai sebutan jabatan
kepala negara bagian (lazimnya disebut gubernur negara bagian).
Pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara
bagian ditentukan oleh negara bagian, sehingga kegiatan pemerintah
federal adalah hal ikhwal kenegaraan selebihnya (residuary power).
4. Jenis-Jenis Kekuasaan Negara
- Negara Monarki dan Negara Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu
jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang
kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki
biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang
dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu
stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan.
Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau
persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab
cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki
hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia,
Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara
ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif,
misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang
ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan
maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem
monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus
berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses
berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-
undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern
sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki
konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik
(sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek
pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara
monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa
untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan
perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab
Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala
negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara
konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola
kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-
Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan
adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah
politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin.
Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi
jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya
terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak
mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat
kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.
- Negara Monarki dan Aristokrasi
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya
bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan
birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang
ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada
pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh
sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini
mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang
besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan),
menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini
disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan
Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

More Related Content

What's hot

Makalah pendidikan kewarganegaraan
Makalah pendidikan kewarganegaraanMakalah pendidikan kewarganegaraan
Makalah pendidikan kewarganegaraan
Muhammad Irwan
 
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIATugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
meikaa
 
Proses Akumulasi Indonesia
Proses Akumulasi IndonesiaProses Akumulasi Indonesia
Proses Akumulasi Indonesia
jahenfr
 

What's hot (20)

Hak Kekayaan Intelektual [ HaKI ]
Hak Kekayaan Intelektual [ HaKI ]Hak Kekayaan Intelektual [ HaKI ]
Hak Kekayaan Intelektual [ HaKI ]
 
Makalah pendidikan kewarganegaraan
Makalah pendidikan kewarganegaraanMakalah pendidikan kewarganegaraan
Makalah pendidikan kewarganegaraan
 
Nilai dan Norma Konstitusi UUD NRI 1945 dan Konstitusionalitas Ketentuan Peru...
Nilai dan Norma Konstitusi UUD NRI 1945 dan Konstitusionalitas Ketentuan Peru...Nilai dan Norma Konstitusi UUD NRI 1945 dan Konstitusionalitas Ketentuan Peru...
Nilai dan Norma Konstitusi UUD NRI 1945 dan Konstitusionalitas Ketentuan Peru...
 
Makalah Nasionalisme
Makalah NasionalismeMakalah Nasionalisme
Makalah Nasionalisme
 
Bab iii urgensi internasional sebagai salah satu parameter persatuan dan kesa...
Bab iii urgensi internasional sebagai salah satu parameter persatuan dan kesa...Bab iii urgensi internasional sebagai salah satu parameter persatuan dan kesa...
Bab iii urgensi internasional sebagai salah satu parameter persatuan dan kesa...
 
PptMENABUNG.pptx
PptMENABUNG.pptxPptMENABUNG.pptx
PptMENABUNG.pptx
 
Materi 6 HARMONI KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA.pptx
Materi 6 HARMONI KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA.pptxMateri 6 HARMONI KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA.pptx
Materi 6 HARMONI KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA.pptx
 
Prinsip prinsip Hukum Perlindungan Konsumen I
Prinsip prinsip Hukum Perlindungan Konsumen IPrinsip prinsip Hukum Perlindungan Konsumen I
Prinsip prinsip Hukum Perlindungan Konsumen I
 
Bahan Ajar Ekonomi Kelas X Sms. I,II
Bahan Ajar Ekonomi Kelas X Sms. I,IIBahan Ajar Ekonomi Kelas X Sms. I,II
Bahan Ajar Ekonomi Kelas X Sms. I,II
 
KONSEP DASAR BISNIS.pdf
KONSEP DASAR BISNIS.pdfKONSEP DASAR BISNIS.pdf
KONSEP DASAR BISNIS.pdf
 
Makalah HAK ASASI MANUSIA
Makalah HAK ASASI MANUSIA Makalah HAK ASASI MANUSIA
Makalah HAK ASASI MANUSIA
 
Sistem Ekonomi Indonesia
Sistem Ekonomi IndonesiaSistem Ekonomi Indonesia
Sistem Ekonomi Indonesia
 
Makalah Rencana Usaha
Makalah Rencana UsahaMakalah Rencana Usaha
Makalah Rencana Usaha
 
Contoh Perusahaan bisnis Kewirausahaan
Contoh Perusahaan bisnis KewirausahaanContoh Perusahaan bisnis Kewirausahaan
Contoh Perusahaan bisnis Kewirausahaan
 
6 skb-aspek-hukum
6 skb-aspek-hukum6 skb-aspek-hukum
6 skb-aspek-hukum
 
HUKUM PERUSAHAAN
HUKUM PERUSAHAANHUKUM PERUSAHAAN
HUKUM PERUSAHAAN
 
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIATugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
Tugas Powerpoint tentang HAK ASASI MANUSIA
 
Haki hak atas kekayaan intelektual
Haki hak atas kekayaan intelektualHaki hak atas kekayaan intelektual
Haki hak atas kekayaan intelektual
 
Manajemen Operasi - Observasi UMKM
Manajemen Operasi - Observasi UMKMManajemen Operasi - Observasi UMKM
Manajemen Operasi - Observasi UMKM
 
Proses Akumulasi Indonesia
Proses Akumulasi IndonesiaProses Akumulasi Indonesia
Proses Akumulasi Indonesia
 

Viewers also liked

Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT
Andhika Pratama
 
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan TinggiPendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Ahmad Dahlan University
 
Power point bahan ajar pkn
Power point bahan ajar pknPower point bahan ajar pkn
Power point bahan ajar pkn
nuffiq ahmad
 
Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1
jhon korse
 
Buku modul-kuliah-kewarganegaraan
Buku modul-kuliah-kewarganegaraanBuku modul-kuliah-kewarganegaraan
Buku modul-kuliah-kewarganegaraan
Lozam Ami
 
1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt
1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt
1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt
Ahmad Dahlan University
 
Materi Pkn - Bentuk negara
Materi Pkn - Bentuk negaraMateri Pkn - Bentuk negara
Materi Pkn - Bentuk negara
Asjar Zitus
 
Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)
Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)
Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)
Iqbalrmd
 

Viewers also liked (20)

Power point-pendidikan-kewarganegaraan-copy1
Power point-pendidikan-kewarganegaraan-copy1Power point-pendidikan-kewarganegaraan-copy1
Power point-pendidikan-kewarganegaraan-copy1
 
Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT
 
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan TinggiPendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
 
Pendidikan kewarganegaraan kuliah
Pendidikan kewarganegaraan kuliahPendidikan kewarganegaraan kuliah
Pendidikan kewarganegaraan kuliah
 
modul Pendidikan kewarganegaraan
modul Pendidikan kewarganegaraanmodul Pendidikan kewarganegaraan
modul Pendidikan kewarganegaraan
 
Kewarganegaraan ppt by hilmi
Kewarganegaraan ppt by hilmiKewarganegaraan ppt by hilmi
Kewarganegaraan ppt by hilmi
 
Power point bahan ajar pkn
Power point bahan ajar pknPower point bahan ajar pkn
Power point bahan ajar pkn
 
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
 
Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1Pkn materi semester 1
Pkn materi semester 1
 
Buku modul-kuliah-kewarganegaraan
Buku modul-kuliah-kewarganegaraanBuku modul-kuliah-kewarganegaraan
Buku modul-kuliah-kewarganegaraan
 
Pengantar
Pengantar Pengantar
Pengantar
 
Media PKn
Media PKnMedia PKn
Media PKn
 
Pendidikan kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraanPendidikan kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan
 
1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt
1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt
1 pendahuluan pendidikan pancasila di pt
 
Latar Belakang Wawasan Nusantara
Latar Belakang Wawasan NusantaraLatar Belakang Wawasan Nusantara
Latar Belakang Wawasan Nusantara
 
Modul Pancasila Belmawa Dikti
Modul Pancasila Belmawa DiktiModul Pancasila Belmawa Dikti
Modul Pancasila Belmawa Dikti
 
2 Esensi dan Perkembangan PKn Persekolahan
2 Esensi dan Perkembangan PKn Persekolahan2 Esensi dan Perkembangan PKn Persekolahan
2 Esensi dan Perkembangan PKn Persekolahan
 
Materi Pkn - Bentuk negara
Materi Pkn - Bentuk negaraMateri Pkn - Bentuk negara
Materi Pkn - Bentuk negara
 
Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)
Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)
Pendidikan kewarganegaraan (Pengantar)
 
RPP PKN X Kurikulum 2013 Rpp 10
RPP PKN X Kurikulum 2013 Rpp 10RPP PKN X Kurikulum 2013 Rpp 10
RPP PKN X Kurikulum 2013 Rpp 10
 

Similar to Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraanPendidikan kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan
Bryan Pradinda
 
PENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.ppt
PENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.pptPENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.ppt
PENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.ppt
fahmifaizal4
 
Pkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docx
Pkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docxPkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docx
Pkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docx
ayiknina
 
ruu dikti versi 22 februari 2012
ruu dikti versi 22 februari 2012ruu dikti versi 22 februari 2012
ruu dikti versi 22 februari 2012
Manchester United
 

Similar to Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan (20)

Pkn
PknPkn
Pkn
 
Pkn
PknPkn
Pkn
 
Pendidikan kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraanPendidikan kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan
 
Landsan ilmiah dan landasan hukum pendidikan kwn
Landsan ilmiah dan landasan hukum pendidikan kwnLandsan ilmiah dan landasan hukum pendidikan kwn
Landsan ilmiah dan landasan hukum pendidikan kwn
 
Rang kuman pkn
Rang kuman pknRang kuman pkn
Rang kuman pkn
 
pendidikan_kewarganegaraan_di_perguruan.ppt
pendidikan_kewarganegaraan_di_perguruan.pptpendidikan_kewarganegaraan_di_perguruan.ppt
pendidikan_kewarganegaraan_di_perguruan.ppt
 
PENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.ppt
PENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.pptPENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.ppt
PENGANTAR pendidikan kewarganegaraan agribisnis.ppt
 
Pkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docx
Pkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docxPkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docx
Pkn Tugas dan Quiz Sesi 1.docx
 
Sistem pendidikan nasional (makalah)
Sistem pendidikan nasional (makalah)Sistem pendidikan nasional (makalah)
Sistem pendidikan nasional (makalah)
 
Sk dikti mpk
Sk dikti mpkSk dikti mpk
Sk dikti mpk
 
3324614.ppt
3324614.ppt3324614.ppt
3324614.ppt
 
Powerpoint paket 1 Matkul Pkn
Powerpoint paket 1 Matkul PknPowerpoint paket 1 Matkul Pkn
Powerpoint paket 1 Matkul Pkn
 
Pendahuluan pkn
Pendahuluan pknPendahuluan pkn
Pendahuluan pkn
 
Struktur kurikulum
Struktur kurikulumStruktur kurikulum
Struktur kurikulum
 
17491339.ppt
17491339.ppt17491339.ppt
17491339.ppt
 
Pokok
PokokPokok
Pokok
 
MODUL 3.pptx
MODUL 3.pptxMODUL 3.pptx
MODUL 3.pptx
 
Tugas pkn siap tempur
Tugas pkn siap tempurTugas pkn siap tempur
Tugas pkn siap tempur
 
Pendidikan kewiraan
Pendidikan kewiraanPendidikan kewiraan
Pendidikan kewiraan
 
ruu dikti versi 22 februari 2012
ruu dikti versi 22 februari 2012ruu dikti versi 22 februari 2012
ruu dikti versi 22 februari 2012
 

Recently uploaded

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
Sumardi Arahbani
 

Recently uploaded (10)

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
 

Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

  • 1. ZAKI ULYA, S.H., M.H. UPT-MATA KULIAH UMUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2010 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (DIKTAT KULIAH) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (DIKTAT KULIAH)
  • 2. PENGERTIAN, TUJUAN, SEJARAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN1 Oleh: Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.2 A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan warga negara. Kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan. Adapun menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan Negara. Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis - Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara. - Kewarganegaraan dalam arti sosiologis, tidak ditandai dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikartan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. b. Kewarganegaraan dalam arti formil dan materil. 1 Bahan Ajar pertemuan pertama, mata kuliah Pendidikan Kewarganeraan, pada tanggal 14 september 2011 2 Adalah Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Pada UPT-MKU Univ. Syiah Kuala - Kewarganegaraan dalam arti formil menunjukkan pada tempat kewarganegaraan. Dalam sistematika hukum, masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik. - Kewarganegaraan dalam arti materil menunjukkan pada akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara. Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara. Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa di setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat terdiri dari Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Keputusan Menteri pendidikan dan Kebudayaan No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa menetapkan bahwa “Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan termasuk dalam Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi”.
  • 3. Dengan penyempurnaan kurikulum tahun 2000, menurut Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000 materi Pendidikan Kewiraan disamping membahas tentang PPBN juga dimembahas tentang hubungan antara warga negara dengan negara. Sebutan Pendidikan Kewiraan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokok Pendidikan Kewarganegaraan adalah tentang hubungan warga negara dengan negara, dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup: 1. Tujuan Umum Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara. 2. Tujuan Khusus a) Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab. b) Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional c) Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa. C. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pendidikan Kewiraan Pendidikan Kewiraan dimulai tahun 1973/1974, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional, dengan tujuan untuk menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam bentuk PPBN yang dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap awal yang diberikan kepada peserta didik SD sampai sekolah menengah dan pendidikan luar sekolah dalam bentuk pendidikan kepramukaan, sedangkan PPBN tahap lanjut diberikan di PT dalam bentuk pendidikan kewiraan. 2. Perkembangan kurikulum dan materi Pendidikan Kewarganegaraan a. Pada awal penyelenggaraan pendidikan kewiraan sebagai cikal bakal darai PKn berdasarkan SK bersama Mendikbud dan Menhankam tahun 1973, merupakan realisasi pembelaan negara melalui jalur pengajaran khusus di Perguruan Tinggi, di dalam SK itu dipolakan penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan di Perguruan Tinggi.
  • 4. b. Berdasarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara ditentukan bahwa: 1) Pendidikan Kewiraan adalah PPBN tahap lanjutan pada tingkat Perguruan Tinggi, merupakan bagian tidak terpisahkan dari Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional 2) Wajib diikuti seluruh mahasiswa (setiap warga negara). c. Berdasarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa: 1) Pendidikan Kewiraan bagi Perguruan Tinggi adalah bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan 2) Termasuk isi kurikulum pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan d. SK Dirjen Dikti tahun 1993 menentukan bahwa Pendidikan Kewiraan termasuk dalam kurikulum MKDU bersama-sama dengan Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, ISD, IAD, dan IBD sifatnya wajib. e. Kep. Mendikbud tahun 1994, menentukan: 1) Pendidikan Kewarganegaraan merupakan MKU bersama- sama dengan Pendidikan Agama, dan Pendidikan Pancasila 2) Merupakan kurikulum nasional wajib diikuti seluruh mahasiswa f. Kep. Dirjen Dikti No. 19/Dikti/1997 menentukan antara lain: 1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn, merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok MKU dalam susunan kurikulum inti 2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi g. Kep. Dirjen Dikti No. 151/Dikti/Kep/2000 tanggal 15 Mei 2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti MPK, menentukan: 1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn, merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok MPK dalam susunan kurikulum inti Perguruan Tinggi di Indonesia 2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk program diploma III, dan strata 1. h. Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus, menentukan antara lain: 1) Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK 2) MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti Perguruan Tinggi di Indonesia 3) Mata Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk program Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.
  • 5. i. Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa menentukan antara lain: 1) Kurikulum inti Program sarjana dan Program diploma, terdiri atas: a) Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) b) Kelompok Mata kUliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK) c) Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) d) Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB) e) Kelompok Mata Kuliah Kehidupan Bermasyarakat (MKB) 2) MPK adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. 3) Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional 4) MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi terdiri dari bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. 5) MPK untuk PT berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. D. Perkembangan Materi Pendidikan Kewarganegaraan 1. Awal 1979, materi disusun oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti yang terdiri dari Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, politik dan Strategi Nasional, Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional, sistem Hankamrata. Mata kuliah ini bernama Pendidikan Kewiraan. 2. Tahun 1985, diadakan penyempurnaan oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti, terdiri atas pengantar yang bersisikan gambaran umum tentang bahan ajar PKn dan interelasinya dengan bahan ajar mata kuliah lain, sedangkan materi lainnya tetap ada. 3. Tahun 1995, nama mata kuliah berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan yang bahan ajarnya disusun kembali oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti dengan materi pendahuluan, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik strategi nasional, politik dan strategi pertahanan dan keamanan nasional, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
  • 6. 4. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi pengantar dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional 5. Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional. E. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan a. Landasan Ilmiah 1. Dasar Pemikiran PKn Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk itu diperlukan pembekalan IPTEKS yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Objek Pembahasan PKn Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang mempunyai objek, metode, sistem dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material maupun objek formal. Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Objek material PKn adalah segala hal yang berkaitan dengan warga negara baik yang empirik maupun yang non empirik, yang meliputi wawasan, sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan negara. Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk membahas objek material tersebut. Objek formal PKn adalah hubungan antara warga negara dengan negara dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Objek pembahasan PKn menurut Kep. Dirjen Dikti No. 267/dikti/Kep./ 2000 meliputi pokok bahasan sebagai berikut: 1) Pengantar PKn a. Hak dan kewajiban warga negara b. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara c. Demokrasi Indonesia d. Hak Asasi Manusia 2) Wawasan Nusantara 3) Ketahanan Nasional 4) Politik dan Strategi Nasional 3. Rumpun Keilmuan
  • 7. PKn (Kewiraan) dapat disejajarkan dengan civics education yang dikenal diberbagai negara. PKn bersifat interdisipliner (antar bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan yang membangun ilmu kewarganegaraan diambil dari berbagai disiplin ilmu seperti hukum, politik, administrasi negara, sosiologi, dsb KONSTITUSI (Suatu Telaah UUD 1945 Dalam Bingkai Sejarah Indonesia) A. Pendahuluan Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang- undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-Undang Dasar. Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Pengertian konstitusi menurut para ahli, diantaranya: 1) K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
  • 8. 2) Herman heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan politis. 3) Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik dan sebagainya. 4) L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis. 5) Koernimanto soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama. 6) Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu: a) Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian yaitu; - Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan semua organisasi yang ada di dalam negara. - Konstitusi sebagai bentuk Negara - Konstitusi sebagai faktor integrasi - Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi di dalam negara. b) Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi 2 pengertian yaitu konstitusi sebagai tuntyutan dari golongan borjuis agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi dapat berupa tertulis) dan konstitusi dalam arti materiil (konstitusi yang dilihat dari segi isinya). c) konstitusi dalam arti positif adalah sebagai sebuah keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu mengubah tatanan kehidupan kenegaraan. d) konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi yang memuat adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya. B. Tujuan Konstitusi keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri. Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a) berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
  • 9. Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen yang terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna Charta tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan- bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai pemegang puncak kekuasaan pemerintahan. Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja Inggris dan kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam kerajaan Inggris. Di samping itu dijamin dan dilindungi, antara lain: a. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian dari siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali apabila si pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran (pasal 28); b. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau kendaraan dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan pengangkutan tanpa izin si pemilik (pasal 30); c. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu untuk keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik; Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain ditentukan: a. Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan seorang di muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang- orang yang dipercaya (pasal 38); b. Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke dalam penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu kecuali atas putusan oleh penguasa setempat atau dibenarkan oleh aturan negara (pasal 39); c. Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan pelaksanaan haknya atau peradilan (pasal 40). Dalam banyak hal ditentukan juga bahwa siapapun boleh meninggalkan kerajaan atau kembali dengan sehat dan aman melalui
  • 10. daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan karena ditahan sesuai dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan mengenai pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan penegakan hukum, misalnya ditentukan tidak seorangpun diangkat sebagai hakim, polisi atau jaksa, kecuali apabila orang itu benar-benar mengetahui aturan hukum negara, beritikad baik untuk melakukan fungsi jabatan yang diisinya. Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad baik raja dan para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi lagi oleh raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of The Liberties Of Forest”. C. Bentuk-Bentuk dan Materi Muatan Konstitusi 1) Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari: a) Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan-aturan pokok dasar negara, bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan hukum negara. b) Konstitusi tidak tertulis/konvensi (nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul. Adapun syarat-syarat konvensi adalah: - Diakui dan dipergunakan berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara. - Tidak bertentangan dengan UUD 1945 - Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945. 2) Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi: a) konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara. b) Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita-cita sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa itu. 3) Bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu: a) Flexible/luwes, apabila konstitusi/Undang Undang Dasar memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan. b) Rigid/kaku apabila konstitusi/Undang Undang Dasar jika sulit untuk diubah. 4) Unsur/substansi sebuah konstitusi yaitu: a) Menurut sri sumantri konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu: - Jaminan terhadap Ham dan warga negara - Susunan ketatanegaraan yang bersdifat fundamental - Pembagian dan poembatasan tugas ketatanegaraan
  • 11. b) Menurut Miriam budiarjo, konstitusi memuat tentang: Organisasi, Negara, HAM, Prosedur penyelesaian masalah pelanggaran hukum, dan Cara perubahan konstitusi. c) Menurut koerniatmanto soetopawiro, konstitusi berisi tentang: - Pernyataan ideologis; - Pembagian kekuasaan negara; - Jaminan HAM (hak asasi manusia); - Perubahan konstitusi; - Larangan perubahan konstitusi. D. Sejarah Konstitusi Indonesia Sejak proklamasi 17 agustus 1945 sampai saat ini telah berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar dalam beberapa periode yaitu: (1) Periode 18 Agustus 1945-27 Desember 1949, (2) Periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 (3) Periode 17 agustus 1950-5 Juli 1959 (4) Periode 5 Juli 1959 (saat ini UUD 1945 telah diamandeman). Saat RI diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik baru ini belum mempunyai Undang-undang Dasar, sehingga oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 disahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Akan tetapi perubahan peta perpolitikan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda telah membawa dampak yang besar rongrongan Belanda dalam RI masih cukup kuat dengan mencoba mendirikan Negara Sumatera Timur, NIT, Negara Pasundan dll, sejalan dengan usaha untuk meruntuhkan RI terjadilah Agresi I tahun 1947 dan Agresi II 1948 dimana akibat dari itu PBB mengadakan KMB di Den Haag. Dengan disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagaimana dikemukakan oleh Riclef, dari konferensi tersebut disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatannya kepada RIS, antara Belanda dan RIS akan membentuk suatu uni longgar dengan ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. RIS ini terdiri dari 16 negara bagian yang masing-masing negara bagian tersebut memiliki luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Negara-negara bagian terpenting dari Republik Indonesia Serikat itu ialah Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur. Untuk itu perlu pula di bentuk alat-alat kelengkapan negara yang salah satu faktor pentingnya ialah UUD maka dibuatlah Konstitusi RIS. Atas desakan yang kuat dari rakyat maka pada tanggal 8 April 1950 dieselenggarakanlah konfrensi segitiga antara Republik Indonesia Serikat, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur, dimana kedua negara bagian tersebut memberikan mandat kepada Hatta sebagai Perdana Menteri RIS pada tanggal 12 Mei 1950 untuk membentuk negara kesatuan, setelah terbentuk negara kesatuan tersebut pada tanggal 19 Mei 1950 kemudian dirancanglah Undang-Undang Dasar negara kesatuan oleh panitia gabungan dari Republik Indonesia Serikat dengan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU No. 7
  • 12. tahun 1950 ditetapkan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950, berdasarkan pasal 127 a, pasal 190 dan pasal 191 ayat 2 Konstitusi RIS. Dalam perkembangannya, perbincangan mengenai konstitusi mengalami masa vacum (atau reda) sama sekali sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir pemerintahan Presiden Soeharto (1998). Trauma atas perdebatan ideologis dan pengkotakan masyarakat berdasar sikap politik kaum elitnya di Konstituante menyebabkan UUD 1945 diposisikan sebagai "jalan keluar" paling aman bagi negara Indonesia. Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 berhasil membahas dua hal yaitu pembatasan kekuasaan Presiden dan pemberdayaan DPR. Apa makna perubahan UUD 1945 yang pertama kali dilakukan ini? Ada tiga aspek: desakralisasi UUD 1945; jaminan konstitusional berkembangnya demokrasi; dan proporsionalitas kekuasaan eksekutif dan legislative. Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. E. Mekanisme Perubahan Konstitusi C.F. Strong menyebutkan empat cara mengubah konstitusi. a) Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan. b) Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui referendum. c) Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau sejumlah negara bagian. d) Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota konstituante. Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang
  • 13. berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu, MPR juga tidak mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum diubah. Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR masih berwenang untuk: a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; b) melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam Sidang Paripurna MPR; c) memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR; d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat- lambatnya dalam waktu enam puluh hari; e) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari. Berikut ini adalah mekanisme pelaksanaaan tugas dan wewenang MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 setelah amandemen, khususnya mengenai ketentuan perubahan UUD 194, yaitu: a) Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR [Pasal 37 (1)];
  • 14. b) diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya [Pasal 37 (2)****]; c) sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR [Pasal 37 (3)]; d) Putusan dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR [Pasal 37 (4)]; e) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan [Pasal 37 (5)]. Berubahnya kedudukan MPR memang sering diartikan salah baik yang terkait dengan eksistensi lembaga maupun Pimpinan MPR, ia juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. Sebagai lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-ayat itu, fungsi dan kewenangan MPR sekarang, substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara. Sebagai contoh adalah adalah wewenang MPR dalam hal terjadinya impeachment yang tentu saja memperkuat sistem presidensial kita. Dengan demikian perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tidak berarti menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih mempunyai peran penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Peran keseharian MPR lainnya juga terlihat dari upaya MPR mengelola setiap wacana usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan peningkatan pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sosialisasi UUD NRI 1945. DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003 Bambang Widjojanto dkk. (Editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka sinar harapan, 2002 Lapian AP., et al. Terminology Sejarah 1945-1950 dan 1950-1959. Depdikbud, Jakarta, 1996 Marwati Djoened P dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Balai Pustaka, Jakarta, 1984 Mahfud MD Moh., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999 Ni’matul Huda, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta, 2008 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987
  • 15. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Mengenal Peraturan Perundang-Undangan Pasca Reformasi) A. Pengertian Secara etimologis, Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan. Menurut Penulis, istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang- undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang. Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus: 1. bersifat tertulis 2. mengikat umum 3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang. Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang- undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”. B. Asas Perundang-Undangan Beberapa asas dalam perundang-undangan adalah: a. asas Undang-undang tidak berlaku surut b. asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. c. asas Lex Specialis derogat Lex Generalis. d. asas Lex posteriore derogat lex priori (Udang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu/lama).
  • 16. e. asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara 1950. Sementara itu, I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material. Asas formal meliputi diantaranya: a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); e. asas konsensus (het beginsel van consensus). Asas-asas yang material meliputi: a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; b. asas tentang dapat dikenali; c. asas perlakuan yang sama dalam hukum; d. asas kepastian hukum; e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga: a. asas tujuan yang jelas; b. asas perlunya pengaturan; c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; d. asas dapatnya dilaksanakan; e. asas dapatnya dikenali; f. asas perlakuan yang sama dalam hukum; g. asas kepastian hukum; h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. C. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No. XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia adalah: 1. Undang-undang Dasar 1945 2. Ketetapan MPR 3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti: - Peraturan Menteri
  • 17. - Instruksi Menteri - Dan lain-lainnya Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta semakin kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai mengubah konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004). Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan perubahan terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang. Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR No. III Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut setelah Keputusan Presiden. Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah. Pada tanggal 24 Mei 2004 lalu, DPR telah menyetujui RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi UU No. 10 Tahun 2004, yang berlaku efektif pada bulan November 2004. Keberadaan undang-undang ini sekaligus menggantikan pengaturan tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 2000. Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut. 1. Undang-undang Dasar 1945 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah, yang meliputi: - Peraturan Daerah Provinsi - Peraturan Daerah Kabupaten/Kota - Peraturan Desa. D. Definisi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: a. UUD 1945
  • 18. UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang- undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah: - Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal dan diberlakukan kembali dengan pada tanggal serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal - Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002). Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini. b. Undang-Undang Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dengan persetujuan bersama. Materi muatan Undang-Undang adalah: - Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara. - Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang. d. Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh untuk menjalankan sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. e. Peraturan Presiden Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan. f. Peraturan Daerah Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
  • 19. pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004 …………………, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Indo-Hill Co, Jakarta, 1992 …………………, (dkk), Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997. Jimly Assiddigie, dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendarial dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. KETAHANAN NASIONAL (Studi Penguatan Nasionalisme & Cinta Tanah Air Bagi Mahasiswa) A. Pendahuluan Terbentuknya negara Indonesia dilatar belakangi oleh perjuangan seluruh bangsa. Sudah sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak negara atau bangsa lain, karena potensinya yang besar dilihat dari wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang banyak. Kenyataannya ancaman datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Terbukti, setelah perjuangan bangsa tercapai dengan terbentuknya NKRI, ancaman dan gangguan dari dalam juga timbul, dari yang bersifat kegiatan fisik sampai yang idiologis. Meski demikian, bangsa Indonesia memegang satu komitmen bersama untuk tegaknya negara kesatuan Indonesia. Dorongan kesadaran bangsa yang dipengaruhi kondisi dan letak geografis dengan dihadapkan pada lingkungan dunia yang serba berubah akan memberikan motivasi dlam menciptakan suasana damai. Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak
  • 20. langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam perjuangan mencapai cita-cita/tujuan nasionalnya bangsa Indonesia tidak terhindar dari berbagai ancaman-ancaman yang kadang-kadang membahayakan keselamatannya. Cara agar dapat menghadapi ancaman-ancaman tersebut, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan daya tahan yang dinamakan ketahanan nasional. Kondisi atau situasi dan juga bisa dikatakan sikon bangsa kita ini selalu berubah-ubah tidak statik. Ancaman yang dihadapi juga tidak sama, baik jenisnya maupun besarnya. Karena itu ketahanan nasional harus selalu dibina dan ditingkatkan, sesuai dengan kondisi serta ancaman yang akan dihadapi. Dan inilah yang disebut dengan sifat dinamika pada ketahanan nasional. Kata ketahanan nasional telah sering kita dengar disurat kabar atau sumber-sumber lainnya. Mungkin juga kita sudah memperoleh gambarannya. Untuk mengetahui ketahanan nasional, sebelumnya kita sudah tau arti dari wawasan nusantara. Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamik yang dimiliki suatu bangsa, yang didalamnya terkandung keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan nasional. Kekuatan ini diperlukan untuk mengatasi segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang langsung atau tidak langsung akan membahayakan kesatuan, keberadaan, serta kelangsungan hidup bangsa dan negara. Bisa jadi ancaman-ancaman tersebut dari dalam ataupun dari luar. Beberapa ancaman dalam dan luar negeri telah dapat diatasi bangsa Indonesia dengan adadnya tekad bersama-sama menggalang kesatuan dan kecintaan bangsa. Berbagai pemberontakan PKI, RMS (Republik Maluku Selatan), PRRI Permesta dan juga gerakan sparatis di Timor- Timur yang pernah menyatakan dirinya berintegrasi dengan Indonesia, meskipun akhirnya kenyataan politik menyebabkan lepasnya kembali daerah tersebut. Ancaman sparatis dawasa ini ditunjukan dengan banyaknya wilayah atau propinsi di Indonesia yang menginginkan dirinya merdeka lepas dari Indonesia seperti Aceh, Riau, Irian Jaya, dan beberapa daerah lain begitu pila beberapa aksi provokasi yang mengganggu kestabilan kehidupan sampai terjadinya berbagai kerusuhan yang diwarnai nuansa etnis dan agama dan gangguan dari luar adalah gangguan dari negara lain yang ingin menguasai pulau-pulau kecil yang masih berada di didalam wilayah NKRI namun dekat dengan wilayah negara lain. Bangsa Indonesia telah berusaha menghadapi semua ini dengan semangat persatuan dan keutuhan, meskipun demikian gangguan dan ancaman akan terus ada selama perjalanan bangsa, maka diperlukan kondisi dinamis bangsa yang dapat mengantisipasi keadaan apapun terjadi dinegara ini. B. Perkembangan Ketahanan Nasional Dewasa ini istilah ketahanan nasional sudah dikenal diseluruh Indonesia. Dapat dikatakan bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal. Ketahanan Nasional baru dikenal sejak permulaan tahun 60 an. Pada saat itu istilah itu belum diberi devenisi tertentu. Disamping itu belum pula
  • 21. disusun konsepsi yang lengkap menyeluruh tentang ketahanan nasional. Istilah ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka pembahasan masalah pembinaan ter itorial atau masalah pertahanan keamanan pada umumnya. Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu menggunakan istilah ketahanan nasional, namun lembaga yang secara serius dan terus-menerus mempelajari dan membahas masalah ketahanan nasional adalah lembaga pertahanan nasional atau lemhanas. Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan nasional selalu memperoleh perhatian yang besar. Sejak mulai dengan membahas masalah ketahanan nasional sampai sekarang, telah dihasilkan tiga konsepsi.Pengertian atau devenisi pertama Lemhanas, yang disebut dalam konsep 1968 adalah sebagai berikut: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia. Pengertian kedua dari Lemhanas yang disebut dalam ketahanan nasional konsepsi tahun 1969 merupakan penyempurnaan dari konspsi pertama yaitu: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara Indonesia. Ketahanan nasional merupakan kodisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguahan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,didalam menghadapi didalam menghadapi dan mengisi segala tantangan, ancaman ,hambatan, serta gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar perjuangan nasional. Apabila kita bandingkan dengan yang terdahulu, maka akan tampak perbedaan antara lain seperti berikut : a. Perumusan 1972 bersifat universal, dalam arti bahwa rumusan tersebut dapat diterapkan dinegara-negara lain, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. b. Tidak lagi diusahakan adanya suatu devenisi, sebagai gantinya dirumuskan apa yang dimaksud kan dengan istilah ketahanan nasional. c. Jika dahulu ketahanan nasional di identikkan dengan keuletan dan daya tahan, maka ketahanan nasional merupakan suatu kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan ketangguhan, yang berarti bahwa kondisi itu dapat berubah. d. Secara lengkap dicantumkan tantangan, ancaman , hambatan, serta ganguan. e. Kelangsungan hidup lebih diperinci menjadi integritas, identitas, dan kelangsungan hidup.
  • 22. Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral Suharto di depan siding DPR tanggal 16 Agustus 1975, dikatakan bahwa ketahanan nsional adalah tingkat keadaan dan keuletan dan ketangguhan bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan kesungguhan kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional yang mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman d an tantangan terhadap keutuhanan maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan kehidupan dabn kelangsungan cita-citanya. Karena keadaan selalu berkembang serta bahaya dan tantangan selalu berubah, maka ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina agar memadai dengan perkembangan keadaan. Karena itu ketahanan nasional itu bersift dinamis, bukan statis. Ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh ini bukanlah hl baru bagi kita. Tetapiu pembinaan dan peningkatannya sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan fasililitas yang tersedi pula. Pembinaan ketahanan nasional kita dilakukan dipelgai bidang: ideology, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam, baik secara serempak maupun menurut prioritas kebutuhan kita. C. Asas-Asas dan Sifat Ketahanan Nasional Asas ketahanan nasional adalah tata laku yang didasari nilai-nilai yang tersusun berlandaskan Pancasil, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: a) Asas kesejahtraan dan keamanan Asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan wajib dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. Didalam kehidupan nasional berbangsa dan bernegara, unsur kesejahteraan dan keamanan ini biasanya menjadi tolak ukur bagi mantap/tidaknya ketahanan nasional. b) Asas komprehensif/menyeluruh terpadu Artinya, ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan. Aspek-aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan perpaduan secara selaras, serasi, dan seimbang. c) Asas kekeluargaan Asas ini bersikap keadilan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong, tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan ini diakui adanya perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan secara serasi dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang bersifat merusak/destruktif. Beberapa sifat ketahanan nasional yang ada mingkin akan dijabarkan seperti dibawah ini : - Mandiri Maksudnya adalah percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri dan tidak mudah menyerah. Sifat ini merupakan prasyarat untuk
  • 23. menjalin suatu kerjasama. Kerjasama perlu dilandasi oleh sifat kemandirian, bukan semata-mata tergantung oleh pihak lain. - Dinamis Artinya tidak tetap, naik turun tergantung situasi dan kondisi bangsa dan negara serta lingkungan strategisnya. Dinamika ini selalu diorientasikan kemasa depan dan diarahkan pada kondisi yang lebih baik. - Wibawa Keberhasilan pembinaan ketahanan nasional yang berlanjut dan berkesinambungan tetap dalam rangka meningkatkan kekuatan dan kemampuan bangsa. Dengan ini diharapkan agar bangsa Indonesia mempunyai harga diri dan diperhatikan oleh bangsa lain sesuai dengan kualitas yang melekat padanya. Atas dasar pemikiran diatas, maka berlaku logika, semakin tinggi tingkat ketahanan nasional, maka akan semakin tinggi wibawa negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan nasional. - Konsultasi dan kerjasama Hal ini dimaksudkan adanya saling menghargai dengan mengandalkan pada moral dan kepribadian bangsa. Hubungan kedua belah pihak perlu diselenggarakan secara komunikatif sehingga ada keterbukaan dalam melihat kondisi masing-masing didalam rangka hubungan ini diharapkan tidak ada usaha mengutamakan konfrontasi serta tidak ada hasrat mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik semata. D. Kedudukan dan Fungsi Ketahanan Nasional Kedudukan dan fungsi ketahanan nasional dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Kedudukan : Ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia serta merupakan cara terbaik yang perlu di implementasikan secara berlanjut dalam rangka membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan, wawasan nusantara dan ketahanan nasional berkedudukan sebagai landasan konseptual, yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan ideal dan UUD sebagai landasan konstisional dalam paradigma pembangunan nasional. b) Fungsi : Ketahanan nasional nasional dalam fungsinya sebagai doktrin dasar nasional perlu dipahami untuk menjamin tetap terjadinya pola pikir, pola sikap, pola tindak dan pola kerja dalam menyatukan langkah bangsa yang bersifat inter-regional (wilayah), inter-sektoral maupun multi disiplin. Konsep doktriner ini perlu supaya tidak ada cara berfikir yang terkotak-kotak (sektoral). Satu alasan adalah bahwa bila penyimpangan terjadi, maka akan timbul pemborosan waktu, tenaga dan sarana, yang bahkan berpotensi dalam cita-cita nasional.
  • 24. Ketahanan nasional juga berfungsi sebagai pola dasar pembangunan nasional. Pada hakikatnya merupakan arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunman nasional disegala bidang dan sektor pembangunan secara terpadu, yang dilaksanakan sesuai dengan rancangan program. E. Ketahanan Nasional dan Konsepsi Ketahanan Nasional Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, untuk menjamin identitas, integrasi dan kelangsungan hidup bangsa dan negar serta perjuangan mencapai tujuan nasional dapat dijelaskan seperti dibawah ini : - Ketangguhan adalah kekuatan yang menyebabkan seseorang atau sesuatu dapat bertahan, kuat menderita atau dapat menanggulangi beban yang dipikulnya. - Keuletan adalah usaha secara giat dengan kemampuan yang keras dalam menggunakan kemampuan tersebut diatas untuk mencapai tujuan. - Identitas yaitu ciri khas suatu bangsa atau negara dilihat secara keseluruhan. Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah dengan penduduk, sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasional serta dengan peran internasionalnya. - Integritas yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsur sosial maupun alamiah, baik bersifat potensional maupun fungsional. - Ancaman yang dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat mengubah atau merombak kebijaksanaan dan usaha ini dilakukan secara konseptual, kriminal dan politis. - Hambatan dan gangguan adalah hal atau usaha yang berasal dari luar dan dari diri sendiri yang bersifat dan bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional. DAFTAR PUSTAKA Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008 Lemhanas, Bunga Rampai: Ketahanan Nasional, Konsep & Teori, PT. Pustaka Utama, Jakarta, 1998
  • 25. Saafroedin Bahar et., al., Pendidikan Pendahuluan Bela Negara: Tahap Lanjutan, Intermedia, Jakarta, 1989 LEMBAGA NEGARA (Dinamika Lembaga-lembaga Negara Mandiri di Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945) A. Pendahuluan Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja. Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi satu sama lain, sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan masih belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan lembaga yang ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu. B. Pasang Surut Lembaga Negara Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Sekadar menunjuk contoh, di Inggris komplikasi persoalan- persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan konfigurasi sosial-politik berupa Revolusi Industri pada abad ke-18 dan 19 tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan mekanisme kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspons dengan membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh parlemen. Pembentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap sebagai jawaban yang paling tepat dan diidealkan mampu menangani dan menyelesaikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan melalui cara yang terlembagakan dengan baik. Oleh karena itu, bersamaan dengan derasnya komplikasi persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul itu ratusan badan yang sama sekali baru didirikan dengan tujuan untuk melakukan tugas- tugas semacam (1) membuat peraturan, seperti Komisi Keselamatan dan Kesehatan Kantor Perdagangan yang Jujur (The Health and Safety
  • 26. Commission The Office of Fair Trading); (2) memberikan nasihat, seperti Komisi Daerah (Countryside Commission); dan (3) menyelesaikan perselisihan, seperti Komisi untuk Persamaan Rasial (The Commission for Racial Equality). Alasan utama yang ditunjuk berkenaan dengan pembentukan badan-badan tersebut adalah untuk meminimalisasi pengaruh kaum aristokrat dan memberikan penegasan terhadap konsep pemisahan kekuasaan. Nomenklatur yang diberikan untuk lembaga- lembaga itu pun berlainan satu sama lain, seperti korporasi publik, quoqos (badan non-pemerintah semiotonom), badan non-departemen, badan publik, komisi, dewan, atau badan ad hoc yang biasanya dasar pembentukannya dapat berupa undang-undang, piagam kerajaan, tindakan administratif, atau perjanjian. Pembentukan lembaga-lembaga ekstra serupa juga terjadi di Amerika Serikat seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat yang semakin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu, parlemen Amerika Serikat membentuk suatu badan yang bertanggung jawab kepadanya dalam pelbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legislasi, seperti Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission), Dewan Penerbangan Sipil (Civil Aeronautics Board), Komisi Sekuritas dan Kurs (Securities and Exchange Commission), Dewan Kerja Sama Buruh Nasional (National Labor Relation Board), Komisi Kekuasaan Federal (Federal Power Commission), Komisi Perdagangan Antarnegara Bagian (Interstate Commerce Commission), Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission). Dalam catatan Jimly Asshiddiqie, di seluruh Amerika Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan semilegislatif. Kedudukan badan-badan khusus itu di Amerika Serikat meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan, tetapi pengangkatan dan pemberhentian para anggota badan-badan khusus itu ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres. Sementara itu, di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark, Finlandia, dan Norwegia), Perancis, Selandia Baru, Guyana Mauritius, dan lain-lain, secara khusus juga membentuk lembaga tersendiri di luar kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman untuk melindungi warga negaranya dari tindakan- tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Lembaga ini tidak berhak mengadili atau memiliki fungsi peradilan terhadap keluhan warga negara atas suatu tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Akan tetapi, lembaga ini dapat melakukan penyelidikan atas persoalan tersebut. Nomenklatur untuk lembaga semacam ini disebut secara berbeda-beda di berbagai negara. Swedia, misalnya, menyebutnya dengan istilah Ombudsman Yustisi (Justitie Ombudsman). Sementara itu, Perancis dengan Komisioner Tinggi Pertahanan (Haut Commissionaire Defenseur), dan Selandia Baru dengan Komisi Parlemen untuk Administrasi (Parliamentary Commission for Administration).
  • 27. Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai Negara. Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara- negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga- lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut. C. Lembaga Negara di Indonesia Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law- creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function). Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu: (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).
  • 28. Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga- lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan sebagai berikut: 1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu: a) Presiden dan Wakil Presiden; b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); e) Mahkamah Konstitusi (MK); f) Mahkamah Agung (MA); g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti: a) Komisi Yudisial (KY); b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral; c) Tentara Nasional Indonesia (TNI); d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); e) Komisi Pemilihan Umum (KPU); f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian; g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945; h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance. 3) Lembaga Independen lainnya yang dibentuk berdasarkan undang- undang, seperti: a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU); c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
  • 29. 4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti: a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI); b) Komisi Pendidikan Nasional; c) Dewan Pertahanan Nasional;54 d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas); e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); g) Badan Pertanahan Nasional (BPN); h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN); i) Lembaga Administrasi Negara (LAN); j) Lembaga Informasi Nasional (LIN). 5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti: a) Menteri dan Kementerian Negara; b) Dewan Pertimbangan Presiden; c) Komisi Hukum Nasional (KHN); d) Komisi Ombudsman Nasional (KON); e) Komisi Kepolisian; f) Komisi Kejaksaan. 6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti: a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA; b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN); c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI); d) BHMN Perguruan Tinggi; e) BHMN Rumah Sakit; f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI); g) Ikatan Notaris Indonesia (INI); h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi); Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri – atau apa pun namanya– di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga- lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi. Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar,
  • 30. dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga- lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga- lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi. DAFTAR PUSTAKA Alder, John. Constitutional & Administrative Law. London: Macmillan Professional Masters, 1989. Jimly Asshiddiqie. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996. _______. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003. _______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Duchacek, Ivo D. Power Maps: Comparative Politics of Constitutions. Santa Barbara, California: American Bibliographical Center, 1973. Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1973. Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2001. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2001. Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006. Yazid, T.M. Luthfi. “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004. Wieslander, Bengt. The Parliamentary Ombudsman in Sweden. Stokholm: The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999
  • 31. HAK ASASI MANUSIA (Suatu Kajian Aktualisasi Penegakan HAM di Indonesia) A. Pendahuluan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM dalam perspktif sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan kisah manusia dalam pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subyek hukum. Tetapi menurut hasil penelitian, sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Dari sejarah dunia kita mengetahui bahwa negara negara Eropa pernah menjajah bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Realitas sejarah berupa penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam bentuknya yang klasik. Tidak hanya oleh negara asing, pelanggaran HAM juga mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas orang-orang yang dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu. Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep kontrak sosialnya Thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat. Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang- wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948. Namun demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45
  • 32. yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri dengan pasal pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM yang dibentuk sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta diundangkannya Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. B. Pandangan Teoritis Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya. Hak hak itu meliputi : 1) Hak untuk hidup 2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan 3) Hak mengembangkan diri 4) Hak memperoleh keadilan 5) Hak atas kebebasan pribadi 6) Hak atas rasa aman 7) Hak atas kesejahteraan 8) Hak turut serta dalam pemerintahan 9) Hak wanita 10) Hak anak. Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar
  • 33. ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen. Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang tersebut. Sementara itu, Jika, dicermati dengan seksama asas-asas yang termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu: 1. Hanya mengadili pelanggaran HAM berat. 2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial RI oleh warga negara Indonesia. 3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili oleh Pengadilan HAM. 4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum. 5. Dalam pengadilan HAM dikenal penyidik Ad Hoc, Penuntut Ad Hoc dan hakim Ad Hoc. 6. Pemeriksaan banding, kasasi, limitatif paling lama 90 hari. 7. Dilindungi korban dan saksi. 8. Dikenal kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban. 9. Ancaman hukuman diperberat. 10. Adanya tanggungjawab komandan dan atasan terhadap pelanggaran HAM berat oleh bawahannya. 11. Penerapan asas retroaktif, dimana terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU pengadilan HAM, diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc. 12. Tidak dikenal daluwarsa. 13. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM). 14. Tidak ada kewenangan ANKUM dan perwira penyerah perkara dalam kasus pelanggaran HAM berat. Dengan asas-asas tersbut bukankah sudah mencerminkan kemandirian dari Peradilan HAM…? lalu kenapa harus dipolitisir bahwa Peradilan HAM harus beradai di bawah Lingkup Peradilan Umum …? Bisakah Peradilan HAM bebas dan mandiri dalam melakukan proses penegakan hukum HAM jika masih harus bertanggungjawab secara struktural kepada lingkup Peradilan Umum, bukankah ini merupakan jalan panjang dan melelahkan untuk sampai pada proses peradilan HAM yang fair dan manusiawi…? Begitu panjangnya jalan yang harus
  • 34. ditempuh, hingga akhirnya korban pencari keadilan pasrah dan menyerahkan nasibnya pada takdir. Kalau ada sebuah lembaga yang bernama KOMNAS HAM yang bertugas mencari fakta dan menemukan ada tidaknya pelanggaran HAM dalam kasus-kasus yang diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM. Toh, kalau akhirnya harus diadili dengan sebuah peradilan di bawa lingkup pengadilan umum, maka hasilnya “Jeruk makan jeruk” dan nothing dapat mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan apalagi perlindungan dan kesejahteraan bagi korban kejahatan HAM. C. Instrumen Hukum Dalam Penegakan HAM Pemikiran HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan. Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu: 1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45. 2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya. 3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia: a. Amandemen UUD 1945 Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen II UUD 45.
  • 35. b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan amandemen UUD 45. c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama ini. Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan ketentuan tentang HAM juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM. d. Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah ditolak oleh DPR sebelumnya. e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
  • 36. Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui Undang Undang ini bertujuan: 1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. 2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat. 3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi. 4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok. D. Problematika Penegakan HAM di Indonesia Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa apa. Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo masih mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam penegakan hukum. Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture).
  • 37. Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat secara umum. Selain itu secara struktural, kemandirian institusi institusi penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif, padahal penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law). Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, tapi juga melibatkan sistem sistem lain yang turut berpengaruh secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial. Sistem politik transisional dari sistem politik otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri, tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer diposisikan sebagai alat dan pendukung kekuasaan yang sedang berlangsung. Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum sekalipun?. Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan
  • 38. kekerasan yang kemudian menimbulkan ketidak-tertiban dan ketidak- harmonisan sosial (social disorder and disharmony). Dan kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling mempengaruhi. DAFTAR PUSTAKA Ali, Ahmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002 Arief Sidharta, Bernard. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum CV.Mandar Maju, Bandung, 2000 Kleden, Ignas. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta, 2001. Lopa, Baharuddin. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah Pemikiran. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001 Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. PT. Alumni, Bandung, 2001 Purbopranoto. Kuntjoro. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979 NEGARA, NEGARA HUKUM, DAN WARGA NEGARA A. Negara 1. Pengertian Negara Secara umum, pengertian negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama. Berdasarkan pendapat para sarjana, dapat dilihat beberapa pengertian dari negara yaitu:
  • 39.  Menurut Gorge Jellinek : Negara ialah organisasi kekuasaan dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.  Menurut Gorge Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan organisasi kesusilaan yang mencul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.  Mr. Kranerburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.  Roger. F. Soltau : Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persalan bersama atas nama masyarakat.  Prof. R. Djolosoetrono : Negara ialah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu pemerintahan yang sama.  Prof. Mr. Soenarko : Negara ialah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan). Bila dilihat dari segi fungsi, maka fungsi-fungsi negara meliputi: a) Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat: Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan. b) Melaksanakan ketertiban: Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat. c) Pertahanan dan keamanan: Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar. d) Menegakkan keadilan: Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan. 2. Asal Muasal Terjadinya Negara Asal mulanya terjadi negara dapat juga dilihat berdasarkan pendekatan teoritis, antara lain : - Teori Ketuhanan, negara terjadi atas kehendak Tuhan, nampak pada UUD nya atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, penganutnya adalah Agustinus, Yulius Stahi, Haller, Kranenburg dan Thomas Aquinas. - Teori Perjanjian Masyarakat, negara terjadi karena adanya perjanjian masyarakat yang mengikat diri untuk mendirikan suatu organisasi yang bisa melindungai dan menjamin kelangsungan hidup bersama. Penganutnya adalah Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Montesquieu
  • 40. - Teori Kekuasaan, negara terjadi karena adanya kekuasaan yang paling kuat. Penganut teori ini adalah H.J. Laski, L. Duguit, Karl Marx, Oppenheimer dan Kollikles. - Teori Hukum Alam, negara terjadi karena kehendak alam yang merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Penganut teori ini adalah Plato, Aristoteles, Agustinus dan Thomas Aquino. Pada dasarnya negara mempunyai tujuan masing-masing, namun tujuan akhirnya sama yaitu menciptakan kebahagian pada rakyatnya. 3. Bentuk-Bentuk Negara - Negara Kesatuan (Unitaris) Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen. Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan. Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan tiadanya badan-badan lain yang berdaulat. - Negara Serikat (Federasi) Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri, yang berdaulat dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang disebut negara federal. Setiap negara bagian bebas melakukan tindakan ke dalam, asal tak bertentangan dengan konstitusi federal. Tindakan ke luar (hubungan dengan negara lain) hanya dapat dilakukan oleh pemerintah federal. Dalam praktik kenegaraan, jarang dijumpai sebutan jabatan kepala negara bagian (lazimnya disebut gubernur negara bagian). Pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara bagian ditentukan oleh negara bagian, sehingga kegiatan pemerintah federal adalah hal ikhwal kenegaraan selebihnya (residuary power). 4. Jenis-Jenis Kekuasaan Negara - Negara Monarki dan Negara Tirani Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan.
  • 41. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan. Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki. Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang- undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya. Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al- Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya. Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik. - Negara Monarki dan Aristokrasi Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few). Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).