SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
LAPORAN PENDAHULUAN NYERI AKUT
Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Keperawatan Gerontik
Pembimbing Akademik: Ns.M. Mu’in, M.Kep, Sp.KepKom
Pembimbing Klinik: Emilna Prabanurwin, S. Kep. Ns
Disusun Oleh:
Yuniarti Dwi Astuti
22020121210024
Kelompok 7
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XXXVIII
DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
NYERI AKUT
A. Fraktur
1. Pengertian
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering
kali terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan
cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang
robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat
menjadi komplikasi pemulihan klien (Black & Hawks, 2014).
Fraktur adalah patahan yang terjadi didalam kontinuitas struktural
tulang. Hal ini mungkin tidak lebih dari sebuah retakan, suatu pengisutan,
atau pecahnya korteks; lebih sering disebut sebagai patahan yang
sempurna. Fragmen tulang yang dihasilkan mungkin akan berada di
tempatnya atau keluar dari tempatnya. Jika kulit atasnya tetap utuh, maka
disebut juga fraktur tertutup. Namun jika kulit atau salah satu dari rongga
tubuh menerobos keluar atau tertembus, maka disebut juga fraktur terbuka
(atau compound) yang dapat menyebabkan kontaminasi dan infeksi
(Apley & Solomon, 2018).
2. Jenis
a. Tertutup
Fraktur tertutup atau fraktur sederhana adalah patah tulang yang tidak
menyebabkan robekan pada kulit (Smeltzer, 2014)
b. Terbuka
Fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang.
Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang
dibagi berdasarkan keparahannya (Black & Hawks, 2014).
1) Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
2) Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
3) Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka
dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.
Menurut (Wiarto, 2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya
antara lain:
a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang
yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka
segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai
gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri
dari dua fragmen tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut
terhadap tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang
yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya,
fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani.
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
f. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat
sembuh dengan imobilisasi.
3. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang
menyebabkan suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot
dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan,
edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang,
tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi
disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna
sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal
sebagai fraktur lengkap (DiGiulio et al., 2014).
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstremitas, organ
tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur
atau akibat fragmen tulang (Smeltzer, 2014).
4. Patofisiologi
Fraktur pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh,yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik
yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan
mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun
maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi
plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam
tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang
dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu, dapat
mengenai tulang dan terjadi neurovascular neurovaskuler yang
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping
itu, fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan
dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan
jaringan lunak dapat mengakibatkan kerusakan integritas kulit (Apley &
Solomon, 2018).
Sewaktu tulang patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Selsel darah putih dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patahan
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) yang berfungsi sebagai jalajala untuk
melakukan aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang
baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Apley &
Solomon, 2018).
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan
rupturnya pembuluh darah sekitar, yang akan menyebabkan perdarahan.
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral.
Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang
akut adalah peningkatan detak jantung, pelepasan katekolamin endogen,
yang akan meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan
meningkatkan pembuluh darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi
(pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi
organ. Hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam
sirkulasi saat terjadi syok, yaitu histamine, bradikinin beta-endorphin, dan
sejumlah besar prostanoid dan sitokin. Pada syok perdarahan yang masih
dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah
(venous return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena
sistemik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk
pembentukan ATP (adenosin triphospat) tidak memadai, maka terjadi
pembengkakan reticulum endoplasma dan diikuti cedera mitokondrial,
lisosom pecah dan melepas enzim yang mencernakan struktur intra-
seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel dan
terjadi penumpukan kalsium intraseluler, hingga penambahan edema
jaringan dan kematian sel (Apley & Solomon, 2018).
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat
ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur
keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang
kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun
bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian
distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada
otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen
juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu, periosteum dan pembuluh
darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu
sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak.
Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang
itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara
fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang
disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan
yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga
merupakan tahap penyembuhan tulang (Black & Hawks, 2014).
5. Manifestasi klinis
Menurut Black & Hawks (2014) manifestasi klinis dari fraktur
antara lain :
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas
pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan
tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang
sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk
mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada
masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika
fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen
fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau
karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang
terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau
struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas
atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar
atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut (Istianah, 2017) pemeriksan diagnostik yang perlu
dilakukan pada pasien fraktur antara lain:
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan
7. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur yaitu reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi
yaitu mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada
sifat frakturnya. Metode reduksi fraktur adalah reduksi tertutup, traksi,
dan reduksi terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat dilakukan
untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi harus
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu
memerlukan reduksi terbuka dengan pendekatan bedah, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahap
selanjutnya yang dilakukan setelah reduksi fraktur, adalah
mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Mempertahankan dan
mengembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan dengan reduksi dan
imobilisasi. Status neorovaskular dipantau, latihan isometrik dan setting
otot, serta partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri (Smeltzer, 2014).
Terapi pada fraktur tertutup mencakup reduksi, mempertahankan
kembali, dan latihan untuk mempertahankan. a) reduksi dilakukan untuk
memperbaiki posisi fragmen, b) kemudian mempertahankannya sebelum
fragmen menyatu, dengan metode traksi terus menerus, pembatasan
dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal, dan fiksasi
eksternal. c) serta latihan yang lebih tepatnya memulihkan fungsi, gerakan
sendi, mengurangi edema, memulihkan tenaga otot agar pasien dapat
kembali ke aktivitas normal. Penyembuhan fraktur dibantu oleh
pembebanan fisiologis pada tulang, oleh karena itu sangat dianjurkan
untuk melakukan aktivitas otot dan penahanan beban lebih awal agar
dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut (Apley & Solomon, 2018).
Semua fraktur terbuka, meskipun kelihatannya sepele, harus tetap
diasumsikan telah terkontaminasi; penting untuk mencegah terjadinya
infeksi. Keempat hal penting dalam penatalaksaan pada open fracture
adalah: 1) Pemberian antibiotik profilaksis, luka harus ditutup sampai
pasien mencapai ruang operasi. Antibiotik profilaksis pada fraktur terbuka
merupakan tambahan untuk debridemen luka yang teliti dan seharusnya
tidak diharapkan untuk mengatasi kegagalan dalam teknik aseptik atau
debridemen.Antibiotik profilaksis diberikan untukpencegahan terhadap
mayoritas bakteri Gram-positif dan Gram-negatif yang mungkin telah
memasuki luka pada saat cedera. 2) Luka mendesak dan debridemen
fraktur,operasi ini bertujuan untuk membersihkan luka dari bahan asing
dan jaringan mati (misalnya, fragmen tulang avaskular), meninggalkan
bidang bedah bersih dan jaringan dengan suplai darah yang baik. 3)
Penutupan luka definitif awal, luka kecil yang tidak terkontaminasi pada
fraktur tipe I atau II dapat dijahit (setelah debridemen), asalkan hal ini
dilakukan tanpa ketegangan. 4) Stabilisasi fraktur/imobilisasi,
menstabilkan fraktur penting dalam mengurangi kemungkinan infeksi dan
membantu pemulihan jaringan lunak. Metode fiksasi yang dipilih
tergantung pada tingkat kontaminasi, waktu dari cedera untuk operasi dan
jumlah kerusakan jaringan lunak. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontin, pin, dan teknik gips. Sedangkan
implant logam digunakan untuk fiksasi interna.Jika tidak ada kontaminasi
atau diyakini tidak ada infeksi dan luka jaringan lunak telah
membaik,serta penutup luka definitif dapat dicapai pada saat debridemen,
dilakukan fiksasi internal. Namun, jika penutup luka tertunda, fiksasi
eksternal dapat digunakan sebagai tindakan sementara; Namun, harus
berhati-hati untuk memasukkan pin fiksator dari flaps yang diperlukan
oleh ahli bedah plastik dan membiarkan kedua logam dan tulang terpapar
sampai penutup definitif beberapa hari kemudian. Untuk itu, fiksasi
eksternal dapat ditukar untuk fiksasi internal pada saat penutup luka
definitif selama: (a) penundaan untuk menutup luka kurang dari 7 hari;
(b) kontaminasi luka tidak terlihat; dan (c) fiksasi internal dapat
mengontrol fraktur serta fiksator eksternal. Pendekatan ini kurang
berisiko daripada memperkenalkan fiksasi internal pada saat operasi awal
dan meninggalkan kedua logam dan tulang yang terkena sampai penutup
definitif beberapa hari kemudian. Dengan kata lain, fiksasi dengan
fiksator eksterna lebih baik daripada fiksasi interna. Setelah ke-empat hal
penting tersebut, hal yang juga harus diperhatikan adalah dilakukan
perawatan lebih lanjut dan rehabilitasi (Apley & Solomon, 2018).
B. Nyeri Akut
1. Pengertian
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif.
Keluhan sensori yang dinyatakan seperti pegal, linu, ngilu, kemeng, dan
seterusnya dapat dianggap sebagai modalitas nyeri. Walaupun rasa nyeri
hanya salah satu rasa protopatik (primer), namun pada hakekatnya apa yang
tersirat dalam rasa nyeri itu adalah rasa majemuk yang diwarnai oleh nyeri,
panas/dingin, dan rasa tekan. Pada peninjauan selanjutnya nyeri harus
dimengerti sebagai pengertian tang mewakili rasa majemuk, yaitu kombinasi
segala komponen rasa protopatik (kepekaan terhadap rangsangan sakit dan
suhu yang daya pembedanya rendahh atau kurang) (Muttaqin, 2008).
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi
diri. Apabila seseorang merasakan nyeri, maka perilakunya akan berubah.
Misalnya seseorang yang kakinya terkilir menghindari aktivitas mengangkat
barang yang memberi beban penuh pada kakinya untuk mencegah cedera
lebih lanjut. Seorang klien yang memiliki riwayat nyeri dada belajar untuk
menghentikan semua aktivitas saat timbul nyeri. Nyeri merupakan tanda
peringatan bahwa terjadi kerusakan jatingan, yang harus menjadi
pertimbangan utama keperawatan saat mengkaji nyeri (Muttaqin, 2008).
Nyeri adalah keadaan yang subjektif dimana seseorang memperlihatkan
tidak nyaman secara verbal maupun nonverbal atau keduanya. Dapat akut
(mempunyai lama yang pasti) atau kronis (bisa berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun). Pengalaman nyeri terdiri dari 2 komponen: persepsi dan
reaksi. Reaksi nyeri adalah apa yang dirasakan, dipikirkan seseorang dan hal-
hal yang dirasakan nyeri. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh
emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu
tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang
untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan.
Nyeri kronis sering menyebabkan perasaan tidak berdaya dan depresi
(Engram, 2009).
Menurut PPNI (2017), nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau
emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
2. Penyebab
Menurut Kurniawan (2016), nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial. Nyeri timbul sebagai bentuk respon sensori setelah
menerima rangsangan nyeri. Nyeri dapat disebabkan karena adanya
kerusakan jaringan dalam tubuh sebagai akibat dari adanya cedera,
kecelakaan, maupun tindakan medis seperti operasi (Ratnasari, 2013). Nyeri
merupakan masalah yang besar bagi kesehatan dunia, dimana diperkirakan 1
dari 5 orang dewasa menderita nyeri dan 1 dari 10 orang dewasa didiagnosa
dengan nyeri kronis tiap tahunnya. Empat penyebab utama nyeri adalah
kanker, osteo dan reumatoid artritis, operasi dan trauma, serta masalah spinal
(Goldberg & McGee, 2011).
Penyebab nyeri akut ada tiga, yaitu antara lain (PPNI, 2016):
a. Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma)
b. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)
c. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
3. Tanda dan Gejala
Nyeri akut biasanya mereda jika gangguan yang menjadi penyebab
teratasi, dengan onset baru dan durasi kurang dari 6 bulan. Selain itu respon
system saraf otak antara lain peningkatan denyut jantung, pernapasan,
tekanan darah, diaphoresis, tegangan otot dan dilatasi papilaris. Nyeri ini
menghilang saat terjadi penyembuhan dan berespon terhadap analgesik
(Latifin & Kusuma, 2014).
Tabel 1.1 Gejala dan Tanda Nyeri Akut (SDKI) (PPNI, 2016)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi
menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Tekanan darah meningkat
2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis
Kondisi Klinis Terkait (Patofisiologi/Pathway/WOC)
Kondisi klinis terkait (PPNI, 2016):
a. Kondisi pembedahan
b. Cedera traumatis
c. Infeksi
d. Sindrom coroner akut
e. Glaucoma
Mekanisme nyeri (Bahrudin, 2018)
4. Tujuan Asuhan Keperawatan (SLKI) (PPNI, 2019)
a. Luaran utama: tingkat nyeri dengan ekspektasi menurun dan kriteria hasil:
- Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
- Keluhan nyeri menurun
- Meringis menurun
- Sikap protektif menurun
- Gelisah menurun
- Kesulitan tidur menurun
- Menarik nadi menurun
- Berfokus pada diri sendiri menurun
- Diaphoresis menurun
- Perasaan depresi (tertekan) menurun
- Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun
- Anoreksia menurun
- Perineum terasa tertekan menurun
- Uterus teraba membula menurun
- Ketegangan otot menurun
- Pupil dilatasi menurun
- Muntah menurun
- Mual menurun
- Frekuensi nadi membaik
- Pola napas membaik
- Tekanan darah membaik
- Proses berpikir membaik
- Focus membaik
- Fungsi berkemih membaik
- Perilaku membaik
- Nafsu makan membaik
- Pola tidur membaik
b. Luaran tambahan:
1) Fungsi gastrointestinal
2) Kontrol nyeri
3) Mobilitas fisik
4) Penyembuhan luka
5) Perfusi miokard
6) Perfusi perifer
7) Pola tidur
8) Status kenyamanan
9) Tingkat cedera
5. Tindakan Keperawatan (PPNI, 2018)
a. Manajemen nyeri
1) Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
2) Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3) Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b. Pemberian analgesic
1) Observasi
- Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus, pereda, kualitas,
lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
- Identifikasi riwayat alergi obat
- Identifikasi kesesuaian jenis analgesic (mis. narkotika, non-
narkotik, atau NSAIO) dengan tingkat keparahan nyeri
- Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian
analgesic
- Monitor efektifitas analgesik
2) Terapeutik
- Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk mencapai analgesia
optimal, jika perlu
- Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam serum
- Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan
respons pasien
- Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek yang
tidak diinginkan
3) Edukasi
- Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
4) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic, jika perlu
Daftar Pustaka
Apley, A. G., & Solomon, L. (2018). System of Orthopaedic and Trauma (10th
ed.). Taylor & Francis Group.
Bahrudin, M. (2018). Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika, 13(1), 7.
https://doi.org/10.22219/sm.v13i1.5449
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Salemba Medika.
DiGiulio, M., Jackson, D., & Keogh, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah.
Rapha Publishing.
Engram, B. (2009). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah (1st ed.). EGC.
Istianah, U. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Pustaka Baru Press.
Kurniawan, E. H. (2016). Terapi Komplementer Alternatif Akupresur Dalam
Menurunkan Tingkat Nyeri. Nurseline Journal, 1(2), 246–256.
Latifin, K., & Kusuma, S. Y. (2014). Panduan Dasar Klinik Keperawatan (1st
ed.). Penerbit Gunung Samudera.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem
Persarafan (A. Novianty (ed.); 1st ed.). Salemba Medika.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.). DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st ed.). Dewan Pengurus
Pusat PPNI.
Smeltzer, et al. (2014). BRUNNER & SUDDARTH’S TEXTBOOK of Medical-
Surgical Nursing, 11th ed. Philadelpia: Lippincott Williams&Wilkins,
awotter kluwe bussiness. In Lippincott Williams & Wilkins.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Wiarto, G. (2017). Nyeri Tulang dan Sendi. Gosyen Publishing.
Yuniarti da lp nyeri akut revisi

More Related Content

What's hot

What's hot (20)

M. pbl ( blok 14 ) s.9
M. pbl ( blok 14 ) s.9M. pbl ( blok 14 ) s.9
M. pbl ( blok 14 ) s.9
 
Laporan pendahuluan frakt
Laporan pendahuluan fraktLaporan pendahuluan frakt
Laporan pendahuluan frakt
 
Osteoarthritis Refrat
Osteoarthritis RefratOsteoarthritis Refrat
Osteoarthritis Refrat
 
Asuhan keperawatan pd klien fraktur
Asuhan keperawatan pd klien frakturAsuhan keperawatan pd klien fraktur
Asuhan keperawatan pd klien fraktur
 
Kedaruratan ortoped by andreas chandra s.ked
Kedaruratan ortoped by andreas chandra s.kedKedaruratan ortoped by andreas chandra s.ked
Kedaruratan ortoped by andreas chandra s.ked
 
Tanda dan gejala fraktur
Tanda dan gejala frakturTanda dan gejala fraktur
Tanda dan gejala fraktur
 
Askep power poin
Askep power poinAskep power poin
Askep power poin
 
Laporan pendahuluan fraktur femur
Laporan pendahuluan fraktur femurLaporan pendahuluan fraktur femur
Laporan pendahuluan fraktur femur
 
Lp Askep Fraktur Femur
Lp Askep Fraktur FemurLp Askep Fraktur Femur
Lp Askep Fraktur Femur
 
Fraktur lp
Fraktur lpFraktur lp
Fraktur lp
 
Askep trauma muskuloskeleta1
Askep trauma muskuloskeleta1Askep trauma muskuloskeleta1
Askep trauma muskuloskeleta1
 
6. trauma musculoscletal
6. trauma musculoscletal6. trauma musculoscletal
6. trauma musculoscletal
 
Osteo artritis
Osteo artritisOsteo artritis
Osteo artritis
 
Fraktur
FrakturFraktur
Fraktur
 
Gangguan pada sistem gerak.
Gangguan pada sistem gerak.Gangguan pada sistem gerak.
Gangguan pada sistem gerak.
 
Kelainan dan penyakit pada sistem gerak manusia ppt.docx
Kelainan dan penyakit pada sistem gerak manusia ppt.docxKelainan dan penyakit pada sistem gerak manusia ppt.docx
Kelainan dan penyakit pada sistem gerak manusia ppt.docx
 
Osteoarthritis
OsteoarthritisOsteoarthritis
Osteoarthritis
 
7. fraktur
7. fraktur7. fraktur
7. fraktur
 
Askep fraktur
Askep frakturAskep fraktur
Askep fraktur
 
Fraktur ASKEP FRAKTUR
Fraktur ASKEP FRAKTURFraktur ASKEP FRAKTUR
Fraktur ASKEP FRAKTUR
 

Similar to Yuniarti da lp nyeri akut revisi

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docx
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docxLAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docx
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docxYusindrawati
 
Bab ii tinjauan pustaka fraktur femur
Bab ii tinjauan pustaka fraktur femurBab ii tinjauan pustaka fraktur femur
Bab ii tinjauan pustaka fraktur femurafifub
 
LAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.doc
LAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.docLAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.doc
LAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.doctasyasantika
 
Tugas andi (patah tulang)
Tugas andi (patah tulang)Tugas andi (patah tulang)
Tugas andi (patah tulang)Canon Andi
 
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdf
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdfASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdf
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdfLuisa Polanco
 
KEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.ppt
KEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.pptKEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.ppt
KEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.pptFadlanKhuzaifa
 
K 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
K 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjK 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
K 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjFaringgaAlHafez2
 
FRAKTUR POST ORIF - Salin.docx
FRAKTUR POST ORIF - Salin.docxFRAKTUR POST ORIF - Salin.docx
FRAKTUR POST ORIF - Salin.docxDwiNoviyani4
 
Bab xiv
Bab xivBab xiv
Bab xivdekcin
 
Askep multipel fraktur
Askep multipel frakturAskep multipel fraktur
Askep multipel frakturf' yagami
 
Makalah muskulus praktek
Makalah muskulus praktekMakalah muskulus praktek
Makalah muskulus praktekguntur96
 

Similar to Yuniarti da lp nyeri akut revisi (20)

fraktur_femur.pdf
fraktur_femur.pdffraktur_femur.pdf
fraktur_femur.pdf
 
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docx
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docxLAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docx
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR WINA.docx
 
Fraktur AKPER MUNA
Fraktur AKPER MUNA Fraktur AKPER MUNA
Fraktur AKPER MUNA
 
Fraktur
FrakturFraktur
Fraktur
 
Bab ii tinjauan pustaka fraktur femur
Bab ii tinjauan pustaka fraktur femurBab ii tinjauan pustaka fraktur femur
Bab ii tinjauan pustaka fraktur femur
 
LAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.doc
LAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.docLAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.doc
LAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_HUMERUS.doc
 
Tugas andi (patah tulang)
Tugas andi (patah tulang)Tugas andi (patah tulang)
Tugas andi (patah tulang)
 
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdf
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdfASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdf
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR.pdf
 
27798620 askep-muskuloskletaal
27798620 askep-muskuloskletaal27798620 askep-muskuloskletaal
27798620 askep-muskuloskletaal
 
KEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.ppt
KEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.pptKEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.ppt
KEGAWATDARURATAN_PADA_SISTEM_MUSKULOSKEL.ppt
 
Ajkll
AjkllAjkll
Ajkll
 
Sgd 1 lbm 4
Sgd 1 lbm 4 Sgd 1 lbm 4
Sgd 1 lbm 4
 
Fraktur Tulang Belakang
Fraktur Tulang BelakangFraktur Tulang Belakang
Fraktur Tulang Belakang
 
K 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
K 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjK 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
K 3 KGD.ppthvhjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
 
FRAKTUR POST ORIF - Salin.docx
FRAKTUR POST ORIF - Salin.docxFRAKTUR POST ORIF - Salin.docx
FRAKTUR POST ORIF - Salin.docx
 
Bab xiv
Bab xivBab xiv
Bab xiv
 
105810253 case
105810253 case105810253 case
105810253 case
 
Askep multipel fraktur
Askep multipel frakturAskep multipel fraktur
Askep multipel fraktur
 
Fraktur erika.pptx
Fraktur erika.pptxFraktur erika.pptx
Fraktur erika.pptx
 
Makalah muskulus praktek
Makalah muskulus praktekMakalah muskulus praktek
Makalah muskulus praktek
 

Yuniarti da lp nyeri akut revisi

  • 1. LAPORAN PENDAHULUAN NYERI AKUT Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Keperawatan Gerontik Pembimbing Akademik: Ns.M. Mu’in, M.Kep, Sp.KepKom Pembimbing Klinik: Emilna Prabanurwin, S. Kep. Ns Disusun Oleh: Yuniarti Dwi Astuti 22020121210024 Kelompok 7 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XXXVIII DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2021
  • 2. LAPORAN PENDAHULUAN NYERI AKUT A. Fraktur 1. Pengertian Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien (Black & Hawks, 2014). Fraktur adalah patahan yang terjadi didalam kontinuitas struktural tulang. Hal ini mungkin tidak lebih dari sebuah retakan, suatu pengisutan, atau pecahnya korteks; lebih sering disebut sebagai patahan yang sempurna. Fragmen tulang yang dihasilkan mungkin akan berada di tempatnya atau keluar dari tempatnya. Jika kulit atasnya tetap utuh, maka disebut juga fraktur tertutup. Namun jika kulit atau salah satu dari rongga tubuh menerobos keluar atau tertembus, maka disebut juga fraktur terbuka (atau compound) yang dapat menyebabkan kontaminasi dan infeksi (Apley & Solomon, 2018). 2. Jenis a. Tertutup Fraktur tertutup atau fraktur sederhana adalah patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada kulit (Smeltzer, 2014) b. Terbuka Fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black & Hawks, 2014). 1) Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal 2) Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
  • 3. 3) Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi. Menurut (Wiarto, 2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain: a. Fraktur transversal Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips. b. Fraktur kuminutif Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua fragmen tulang. c. Fraktur oblik Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap tulang. d. Fraktur segmental Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani. e. Fraktur impaksi Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang yang berada diantara vertebra. f. Fraktur spiral Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi. 3. Etiologi Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot
  • 4. dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (DiGiulio et al., 2014). Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstremitas, organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer, 2014). 4. Patofisiologi Fraktur pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh,yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu, dapat mengenai tulang dan terjadi neurovascular neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu, fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak dapat mengakibatkan kerusakan integritas kulit (Apley & Solomon, 2018). Sewaktu tulang patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Selsel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut.
  • 5. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patahan terbentuk fibrin (hematoma fraktur) yang berfungsi sebagai jalajala untuk melakukan aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Apley & Solomon, 2018). Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya pembuluh darah sekitar, yang akan menyebabkan perdarahan. Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detak jantung, pelepasan katekolamin endogen, yang akan meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan pembuluh darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi saat terjadi syok, yaitu histamine, bradikinin beta-endorphin, dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosin triphospat) tidak memadai, maka terjadi pembengkakan reticulum endoplasma dan diikuti cedera mitokondrial, lisosom pecah dan melepas enzim yang mencernakan struktur intra- seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel dan terjadi penumpukan kalsium intraseluler, hingga penambahan edema jaringan dan kematian sel (Apley & Solomon, 2018). Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
  • 6. keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang (Black & Hawks, 2014). 5. Manifestasi klinis Menurut Black & Hawks (2014) manifestasi klinis dari fraktur antara lain : a. Deformitas Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata. b. Pembengkakan Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar. c. Memar Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
  • 7. d. Spasme otot Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur. e. Nyeri Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya. f. Ketegangan Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi. g. Kehilangan fungsi Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf. h. Gerakan abnormal dan krepitasi Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur. i. Perubahan neurovaskular Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur j. Syok Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok. 6. Pemeriksaan penunjang Menurut (Istianah, 2017) pemeriksan diagnostik yang perlu dilakukan pada pasien fraktur antara lain: a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur. b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
  • 8. c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler. d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai respon terhadap peradangan 7. Penatalaksanaan Prinsip penanganan fraktur yaitu reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi yaitu mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya. Metode reduksi fraktur adalah reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi harus disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah reduksi fraktur, adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Status neorovaskular dipantau, latihan isometrik dan setting otot, serta partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri (Smeltzer, 2014). Terapi pada fraktur tertutup mencakup reduksi, mempertahankan kembali, dan latihan untuk mempertahankan. a) reduksi dilakukan untuk memperbaiki posisi fragmen, b) kemudian mempertahankannya sebelum
  • 9. fragmen menyatu, dengan metode traksi terus menerus, pembatasan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal, dan fiksasi eksternal. c) serta latihan yang lebih tepatnya memulihkan fungsi, gerakan sendi, mengurangi edema, memulihkan tenaga otot agar pasien dapat kembali ke aktivitas normal. Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang, oleh karena itu sangat dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot dan penahanan beban lebih awal agar dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut (Apley & Solomon, 2018). Semua fraktur terbuka, meskipun kelihatannya sepele, harus tetap diasumsikan telah terkontaminasi; penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Keempat hal penting dalam penatalaksaan pada open fracture adalah: 1) Pemberian antibiotik profilaksis, luka harus ditutup sampai pasien mencapai ruang operasi. Antibiotik profilaksis pada fraktur terbuka merupakan tambahan untuk debridemen luka yang teliti dan seharusnya tidak diharapkan untuk mengatasi kegagalan dalam teknik aseptik atau debridemen.Antibiotik profilaksis diberikan untukpencegahan terhadap mayoritas bakteri Gram-positif dan Gram-negatif yang mungkin telah memasuki luka pada saat cedera. 2) Luka mendesak dan debridemen fraktur,operasi ini bertujuan untuk membersihkan luka dari bahan asing dan jaringan mati (misalnya, fragmen tulang avaskular), meninggalkan bidang bedah bersih dan jaringan dengan suplai darah yang baik. 3) Penutupan luka definitif awal, luka kecil yang tidak terkontaminasi pada fraktur tipe I atau II dapat dijahit (setelah debridemen), asalkan hal ini dilakukan tanpa ketegangan. 4) Stabilisasi fraktur/imobilisasi, menstabilkan fraktur penting dalam mengurangi kemungkinan infeksi dan membantu pemulihan jaringan lunak. Metode fiksasi yang dipilih tergantung pada tingkat kontaminasi, waktu dari cedera untuk operasi dan jumlah kerusakan jaringan lunak. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontin, pin, dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.Jika tidak ada kontaminasi atau diyakini tidak ada infeksi dan luka jaringan lunak telah
  • 10. membaik,serta penutup luka definitif dapat dicapai pada saat debridemen, dilakukan fiksasi internal. Namun, jika penutup luka tertunda, fiksasi eksternal dapat digunakan sebagai tindakan sementara; Namun, harus berhati-hati untuk memasukkan pin fiksator dari flaps yang diperlukan oleh ahli bedah plastik dan membiarkan kedua logam dan tulang terpapar sampai penutup definitif beberapa hari kemudian. Untuk itu, fiksasi eksternal dapat ditukar untuk fiksasi internal pada saat penutup luka definitif selama: (a) penundaan untuk menutup luka kurang dari 7 hari; (b) kontaminasi luka tidak terlihat; dan (c) fiksasi internal dapat mengontrol fraktur serta fiksator eksternal. Pendekatan ini kurang berisiko daripada memperkenalkan fiksasi internal pada saat operasi awal dan meninggalkan kedua logam dan tulang yang terkena sampai penutup definitif beberapa hari kemudian. Dengan kata lain, fiksasi dengan fiksator eksterna lebih baik daripada fiksasi interna. Setelah ke-empat hal penting tersebut, hal yang juga harus diperhatikan adalah dilakukan perawatan lebih lanjut dan rehabilitasi (Apley & Solomon, 2018). B. Nyeri Akut 1. Pengertian Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan sensori yang dinyatakan seperti pegal, linu, ngilu, kemeng, dan seterusnya dapat dianggap sebagai modalitas nyeri. Walaupun rasa nyeri hanya salah satu rasa protopatik (primer), namun pada hakekatnya apa yang tersirat dalam rasa nyeri itu adalah rasa majemuk yang diwarnai oleh nyeri, panas/dingin, dan rasa tekan. Pada peninjauan selanjutnya nyeri harus dimengerti sebagai pengertian tang mewakili rasa majemuk, yaitu kombinasi segala komponen rasa protopatik (kepekaan terhadap rangsangan sakit dan suhu yang daya pembedanya rendahh atau kurang) (Muttaqin, 2008). Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri. Apabila seseorang merasakan nyeri, maka perilakunya akan berubah.
  • 11. Misalnya seseorang yang kakinya terkilir menghindari aktivitas mengangkat barang yang memberi beban penuh pada kakinya untuk mencegah cedera lebih lanjut. Seorang klien yang memiliki riwayat nyeri dada belajar untuk menghentikan semua aktivitas saat timbul nyeri. Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jatingan, yang harus menjadi pertimbangan utama keperawatan saat mengkaji nyeri (Muttaqin, 2008). Nyeri adalah keadaan yang subjektif dimana seseorang memperlihatkan tidak nyaman secara verbal maupun nonverbal atau keduanya. Dapat akut (mempunyai lama yang pasti) atau kronis (bisa berbulan-bulan sampai bertahun-tahun). Pengalaman nyeri terdiri dari 2 komponen: persepsi dan reaksi. Reaksi nyeri adalah apa yang dirasakan, dipikirkan seseorang dan hal- hal yang dirasakan nyeri. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan. Nyeri kronis sering menyebabkan perasaan tidak berdaya dan depresi (Engram, 2009). Menurut PPNI (2017), nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. 2. Penyebab Menurut Kurniawan (2016), nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri timbul sebagai bentuk respon sensori setelah menerima rangsangan nyeri. Nyeri dapat disebabkan karena adanya kerusakan jaringan dalam tubuh sebagai akibat dari adanya cedera, kecelakaan, maupun tindakan medis seperti operasi (Ratnasari, 2013). Nyeri merupakan masalah yang besar bagi kesehatan dunia, dimana diperkirakan 1 dari 5 orang dewasa menderita nyeri dan 1 dari 10 orang dewasa didiagnosa dengan nyeri kronis tiap tahunnya. Empat penyebab utama nyeri adalah
  • 12. kanker, osteo dan reumatoid artritis, operasi dan trauma, serta masalah spinal (Goldberg & McGee, 2011). Penyebab nyeri akut ada tiga, yaitu antara lain (PPNI, 2016): a. Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma) b. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan) c. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) 3. Tanda dan Gejala Nyeri akut biasanya mereda jika gangguan yang menjadi penyebab teratasi, dengan onset baru dan durasi kurang dari 6 bulan. Selain itu respon system saraf otak antara lain peningkatan denyut jantung, pernapasan, tekanan darah, diaphoresis, tegangan otot dan dilatasi papilaris. Nyeri ini menghilang saat terjadi penyembuhan dan berespon terhadap analgesik (Latifin & Kusuma, 2014). Tabel 1.1 Gejala dan Tanda Nyeri Akut (SDKI) (PPNI, 2016) Gejala dan Tanda Mayor Subjektif Objektif 1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis 2. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri) 3. Gelisah 4. Frekuensi nadi meningkat 5. Sulit tidur Gejala dan Tanda Minor Subjektif Objektif
  • 13. (tidak tersedia) 1. Tekanan darah meningkat 2. Pola napas berubah 3. Nafsu makan berubah 4. Proses berpikir terganggu 5. Menarik diri 6. Berfokus pada diri sendiri 7. Diaphoresis Kondisi Klinis Terkait (Patofisiologi/Pathway/WOC) Kondisi klinis terkait (PPNI, 2016): a. Kondisi pembedahan b. Cedera traumatis c. Infeksi d. Sindrom coroner akut e. Glaucoma Mekanisme nyeri (Bahrudin, 2018)
  • 14. 4. Tujuan Asuhan Keperawatan (SLKI) (PPNI, 2019) a. Luaran utama: tingkat nyeri dengan ekspektasi menurun dan kriteria hasil: - Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat - Keluhan nyeri menurun - Meringis menurun - Sikap protektif menurun - Gelisah menurun - Kesulitan tidur menurun - Menarik nadi menurun - Berfokus pada diri sendiri menurun - Diaphoresis menurun - Perasaan depresi (tertekan) menurun - Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun - Anoreksia menurun - Perineum terasa tertekan menurun
  • 15. - Uterus teraba membula menurun - Ketegangan otot menurun - Pupil dilatasi menurun - Muntah menurun - Mual menurun - Frekuensi nadi membaik - Pola napas membaik - Tekanan darah membaik - Proses berpikir membaik - Focus membaik - Fungsi berkemih membaik - Perilaku membaik - Nafsu makan membaik - Pola tidur membaik b. Luaran tambahan: 1) Fungsi gastrointestinal 2) Kontrol nyeri 3) Mobilitas fisik 4) Penyembuhan luka 5) Perfusi miokard 6) Perfusi perifer 7) Pola tidur 8) Status kenyamanan 9) Tingkat cedera 5. Tindakan Keperawatan (PPNI, 2018) a. Manajemen nyeri 1) Observasi - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
  • 16. - Identifikasi skala nyeri - Identifikasi respons nyeri non verbal - Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri - Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup - Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan - Monitor efek samping penggunaan analgetik 2) Terapeutik - Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain) - Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) - Fasilitasi istirahat dan tidur - Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri 3) Edukasi - Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri - Jelaskan strategi meredakan nyeri - Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri - Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat - Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri 4) Kolaborasi - Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu b. Pemberian analgesic 1) Observasi - Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi) - Identifikasi riwayat alergi obat
  • 17. - Identifikasi kesesuaian jenis analgesic (mis. narkotika, non- narkotik, atau NSAIO) dengan tingkat keparahan nyeri - Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesic - Monitor efektifitas analgesik 2) Terapeutik - Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu - Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum - Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respons pasien - Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan 3) Edukasi - Jelaskan efek terapi dan efek samping obat 4) Kolaborasi - Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic, jika perlu
  • 18. Daftar Pustaka Apley, A. G., & Solomon, L. (2018). System of Orthopaedic and Trauma (10th ed.). Taylor & Francis Group. Bahrudin, M. (2018). Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika, 13(1), 7. https://doi.org/10.22219/sm.v13i1.5449 Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Salemba Medika. DiGiulio, M., Jackson, D., & Keogh, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Rapha Publishing. Engram, B. (2009). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah (1st ed.). EGC. Istianah, U. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Pustaka Baru Press. Kurniawan, E. H. (2016). Terapi Komplementer Alternatif Akupresur Dalam Menurunkan Tingkat Nyeri. Nurseline Journal, 1(2), 246–256. Latifin, K., & Kusuma, S. Y. (2014). Panduan Dasar Klinik Keperawatan (1st ed.). Penerbit Gunung Samudera. Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem Persarafan (A. Novianty (ed.); 1st ed.). Salemba Medika. PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.). DPP PPNI. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). Dewan Pengurus Pusat PPNI. PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st ed.). Dewan Pengurus Pusat PPNI. Smeltzer, et al. (2014). BRUNNER & SUDDARTH’S TEXTBOOK of Medical- Surgical Nursing, 11th ed. Philadelpia: Lippincott Williams&Wilkins, awotter kluwe bussiness. In Lippincott Williams & Wilkins. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Wiarto, G. (2017). Nyeri Tulang dan Sendi. Gosyen Publishing.