Dokumen tersebut membahas tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana dari segi waktu. Secara garis besar membahas tentang 3 asas pokok yaitu asas legalitas, retroaktif, dan transitoir. Asas legalitas menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana kecuali perbuatannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya. Sedangkan asas retroaktif melarang penerapan hukum pidana secara sur
2. Dalam Hukum Pidana Indonesia Perbuatan
Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana
dipisah secara tegas. Perbuatan Pidana
hanya mencakup dilarangnya suatu
perbuatan, Sedangkan Pertangungjawaban
pidana mencakup dapat-tidaknya di pidana si
Pembuat/Si Pelaku. Dasar dari Perbuatan
Pidana adalah ASAS LEGALITAS,
Sementara dasar Dari Pertanggungjawaban
Pidana adalah ASAS TIADA PIDANA
TANPA KESALAHAN “Geen Straf Zonder
Schuld”
3. Batas Berlakunya Hukum Pidana dari Segi
Waktu
Pembahasan mengenai batas berlakunya hukum
pidana dari segi waktu berkaitan erat dengan
setidaknya 3 asas pokok yang menjadi basis
bagunan hukum pidana, yaitu:
1. Asas Legalitas
2. Asas RetroAktif
3. Asas Transitoir
4. ASAS LEGALITAS
Sebagai asas yang mengajarkan bahwa suatu
perbuatan yang dilakukan seseorang tidak boleh
dianggap sebagai kejahatan (perbuatan
terlarang) dan pelakunya juga tidak boleh dijatuhi
suatu pidana apapun, kecuali sebelum perbuatan
itu terjadi memang sudah ada hukum yang
mengaturnya demikian.
5. Menurut sejarah, urgensi keberadaan asas
legalitas dalam hukum Pidana pada mulanya
adalah dilatar belakangi oleh orientasi pemikiran
mengenai perlunya perlindungan hukum bagi
kepentingan rakyat dari potensi kesewenang-
wenangan para penguasa/raja-raja yang absolut
dimasa lampau.
Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1
ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin:
“ Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Legi
Poenali” yang dapat disalin kedalam bahasa
Indonesia demi kata dengan: “Tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang
mendahuluinya”
6. MAKNA ASAS LEGALITAS
(MOELJATNO)
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu
Undang-undang.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan Analogi, tetapi masih
boleh apabila dilakukan secara (Extensive
Interpretation)
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku
surut (non retro aktif).
7. Pendapat Sudarto
Suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan
1) Perbuatan seseorang yg tidak tercantum dlm UU
sebagai suatu tindak pidana tidak dpt dipidana
2) Adanya larangan penggunaan analogi utk
membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak
pidana sebagaimana dirumuskan dlm UU
Peraturan perundang-undangan ini harus ada
sebelum terjadinya tindak pidana
1) Tidak boleh berlaku surutnya hukum pidana
8. 4 macam sifat ajaran yang dikandung oleh
Asas Legalisas (Bambang Poernomo)
Asas legalitas hukum pidana yang bertitik berat pada
perlindungan individu untuk memperoleh kepastian
dan persamaan hukum (nulla peona sine lege)
Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada dasar
dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana
itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat
sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh masyarakat (nulla peona sine praevia
lege poenali)
Asas legalitas hukum pidana bertitik berat tidak hanya
pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar
orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga
pada ancaman pidananya, agar penguasa tidak
sewenang-wenang dalam menjalankan pidana
9. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat
pada perlindungan hukum kepada negara dan
masyarakat. Asas legalitas di sini bukan
hanya didasarkan pada kejahatan yang
ditetapkan oleh Undang-undang saja, akan
tetapi didasarkan pada ketentuan hukum yang
berdasarkan ukurannya dapat
membahayakan masyarakat.
10. Pendapat Schaffmeister, Keijzer dan
Sutorius
Seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut UU
Tidak ada penerapan UU pidana berdasarkan analogi
Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan
kebiasaan
Tidak boleh ada perumusan delik yg kurang jelas
Tidak ada pidana lain, kecuali yg ditentukan oleh UU
Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara
yang ditentukan oleh UU
11. Sejarah Asas Legalitas
Dilatarbelakangi oleh orientasi pemikiran mengenai
perlunya perlindungan hukum bagi kepentingan rakyat
dari potensi kesewenang-wenangan penguasa atau raja
yg memiliki kekuasaan yg absolut di masa lampau
Pertama kali dikemukakan oleh Paul Johann Ansiem von
Feuerbach (1775-1833), seorang pakar hukum pidana
Jerman di dalam bukunya, “Lehbuch des Peinlichen
Rechts”pada tahun 1801
Tidschrift v. Strafrecht 45 halaman 337 disebutkan
bahwa, pada zaman Romawi dikenal adanya crimine
extra ordinaria yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak
disebutkan dalam undang-undang. Diantara crimina extra
ordinaria ini terdapat crimina stellionatus yg secara
letterlijk berarti perbuatan jahat atau durjana (Moeljatno)
12. PENAFSIRAN EKSTENSIF
Pada dasarnya, antara tafsir ekstensif dengan analogi, keduanya
memang ada perbedaan-perbedaan yang cukup berarti. Kalau tafsir
ekstensiv, intinya ialah sama dengan metode-metode yang dikenal
dalam masalah interpretasi hukum (Seperti Authentical
Interpretation, Historical Interpretation dan lain sebagainya)
Metode interpretasi hukum yang bernama ekstensiv ialah:
Pemberian makna terhadap suatu kata atau istilah dalam undang-
undang berdasarkan makna yang hidup atau nyata-nyata dipahami
oleh masyarakat pada saat undang-undang itu diterapkan, bukan
pada saat undang-undang itu dibuat. Jadi esensinya,Metode untuk
memperluas makna suatu aturan hukum dari yang semula hanya
mencakup pengertian hukum menurut saat ia dibuat, menjadi
termasuk pula pengertian hukum menurut saat ia diterapkan.
Dengan kata lain, metode untuk mengaktualisasikan maknan dari
suatu kata atau istilah dalam Undang-undang.
13. Analogi Hukum
Menerapkan hukum dengan cara
memaksakan pengertian suatu perbuatan ke
dalam koridor hukum padahal hakekatnya
perbuatan tersebut belum/tidak diatur secara
eksplisit dalam teks Undang-undang yang ada
pertimbangannya ialah karena menurut hakim
inti rasio dari perbuatan tersebut sangat
merugikan sehingga pelakunya perlu
dihukum.
14. Kasus Pencurian Aliran Listrik
(Arrest Hoge Raad, 23 Mei 1921)
Ada seseorang yang melakukan perbuatan mengalirkan arus listrik
kerumahnya dengan cara mencantolkan kabel pada terminal gardu listrik
negara yang berada di depan rumahnya. Akibat perbuatannya tersebut
diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan telah melakukan Pencurian
(Melanggar Pasal 362 KUHP). Oleh Penadilan tingkat Pertama ia diputus
bebas. Karena unsur pencurian yang berupa “Mengambil barang milik orang
lain” dianggap oleh majelis Hakim tidak terpenuhi. Alasanya, maksud/makna
dari istilah “Barang” menurut sejarah saat terbentunya Pasal 362 KUHP,
ialah berupa “Barang berwujud”. Sedangkan arus listrik adalah merupakan
barang tak terwujud. Namun dalam pengadilan yang lebih tinggi (Hoge
Raad), Majelis Hakimnya berpandangan lain. Dengan menggunakan Tafsir
Ekstensiv, majelis hakim berpendapat bahwa karena saat kasus itu terjadi
pemahaman masyarakat mengenai pengertian “Barang” itu sudah
mencakup baik barang berwujud maupun tak berwujud, maka sekalipun
arus listrik itu merupakan barang tak berwujud, ia harus tetap dimaknai
sebagai termasuk dalam pengertian barang menurut ketentuan Pasal 362
KUHP. Sehingga barang siapa yang mengambilnya tanpa hak, harus
dianggap sebagai perbuatan Pencurian. Jadi menerapkan hukum
berdasarkan pengertian pada saat hukum tersebut diaplikasikan, bukan
pada saat hukum itu di buat. Oleh karena itu Areest Hoge Raad tersebut,
orang tadi akhirnya di pidana sebagai pelaku pencurian.
15. Kasus Penjualan Sapi Milik Orang Lain
Ada seorang pemilik sapi bernama A datang ke Pasar hewan
dengan menuntun seekor sapinya setelah memasuki pasar hewan,
sapinya tersebut ia tambatkan pada sebatang pohon lalu ia pergi
sebentar mencari minuman. Sejenak kemudian datanglah si B yang
tertarik dengan sapi A tersebut lalu ia berdiri lama disamping sapi
tadi sambil memperhatikanya dengan saksama pada saat si B berdiri
dan memperhatikan sapi A yang sedang ditinggal minum oleh
pemiliknya tadi, datanglah si C menghampiri B, karena ia mengira si
B iulah pemilik sapi yang berada didekatnya itu. Terjadilah dialog
antara si C dan si B mengenai: apakah sapi itu dijual, berapa
harganya dan seterusnya. Hingga akhirnya C tiba-tiba menyerahkan
sejumlah uang (senilai harga sapi) kepada B dan B juga lalu
menerima uang dari C melaporkan kepada aparat bahwa sapinya
telah dicuri B dan lalu dijualnya kepada C, terjadi suatu kontroversi
hukum karena ternyata majelis hakim mengabulkan dakwaan A
tersebut dengan mempidana B sebagai pelaku pencurian.
16. Catatan Kasus:
Letak kontroversinya ialah karena dalam kasus di atas,
pertimbangan hakim hanya mengacu pada inti rasio dari perbuatan
B yang disimpulkanya sebagai telah merugikan pihak lain (yaitu A)
dan oleh karenanya maka ia harus dihukum sebagai pencuri. Hal
yang menarik ialah apakah benar perbuatan B tersebut secara
yuridis bisa dikatakan sebagai pencurian? Bukankah delik pencurian
itu harus ada unsur-unsur utamanya seperti “mengambil barang milik
orang lain” ? Dapatkah perbuatan B yang hanya menjaab
pertanyaan-pertanyaan C lalu menerima uang seharga sapi C itu
disebut perbuatan Mengambil. Praktek penerapan hukum dalam
kasus seperti inilah yang disebut sebagai analogi hukum. Artinya,
karena pertimbangan hakim berpendapat bahwa perbuatan B telah
mengakibatkan A rugi dan oleh karenaya B harus dihukum. Maka
perbuatan tersebut akhirnya dipaksakan untuk bisa masuk dalam
koridor Hukum (tentang pencurian). Walaupun sebenarnya menurut
teks Pasal 362 KUHP tentang pencurian itu sendiri perbuatan B
tersebut tidak memungkinkan disebut sebagai pencurian.
17. ASAS RETRO AKTIF
Aturan hukum pidana tidaklah boleh
diberlakukan secara surut (retro
aktif). Artinya berlaku untuk
mengadili perbuatan-perbuatan
yang terjadi sebelum aturan hukum
pidana itu sendiri ada.
Penerapan aturan hukum pidana
sama sekali tidak diperbolehkan
berlaku surut/mundur menjangkau
hal-hal sebelum hukum itu sendiri
ada.
18. KONSEP ASAS LEGALITAS
RANCANGAN KUHP 2013
Pasal 1 ayat 1 “ Tiada seorang pun dapat
dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan
sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan
19. Pasal 2 ayat (1) “Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan”
20. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, HAM, dan prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-
bangsa
21. CATATAN :
Adanya gagasan perberlakuan hukum boleh secara surut
tetapi sebatas sebagai Emergency Exit, mulai diterima
pemikiran di dunia Ilmu hukum pidana yang
menunjukkan adanya indikasi mulai diterimanya
“Retroactivity Principle” (Asas hukum berlaku surut).
Dalam Praktek Peradilan terhadap kasus-kasus pidana
yang memiliki kategori serius. Ketentuan Pasal 1 dalam
statuta Mahkamah Ad hoc yang dibentuk untuk
menangani kasus kejahatan perang balkan di negara-
negara bekas Yugoslavia yang disahkan tahun 1993,
kasus-kasus perang balkan yang terjadi sejak tahun
1991. dibentuknya Pengadilan Ad Hoc untuk menangani
kasus kejahatan kelompok Khmer Merah Kamboja yang
baru disahkan pada tahun 1999, Pembantaian yang
dilakukan Khmer Merah yang terjadi sejak 17 April 1975
sampai 6 Januari 1979
22. Berdasarkan kecenderungan internasional diatas, maka
di Indonesia pada tahun 2000 telah disahkan UU No.
26/2000 Tentang Pengadilan HAM yang membolehkan
kasus-kasus kejahatan HAM Berat (yaitu Genocide
Crime dan Crime Againta Humanity) yang terjadi dimasa
lampau (sebelum tahun 2000), untuk diadili melalui
pengadilan ad hoc. Hal ini artinya tata hukum Pidana
Indonesia pun sudah ada indikasi mulai menerima
gagasan “hukum boleh diberlakukan secara surut”, tetapi
tetap sebagai emergency exit (hukum penyimpangan).
Oleh karenanya praktek dari penerapan asas inipun di
awasi secara ketat oleh rakyat, yaitu melalui keharusan
adanya persetujuan dari DPR apabila pemerintah ingin
menggelar peradilan ad hoc untuk suatu kasus kejahatan
HAM Berat di masa lampau.
23. ASAS TRANSITOIR
Asas Transitoir adalah asas yang
menentukan berlakunya suatu aturan hukum
pidana dalam hal terjadinya atau ada
perubahan Undang-undang.
Ajaran mengenai asas Transitoir ini, secara
eksplisit ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2)
KUHP yang secara lengkap berbunyi
sebagai berikut:
“ Jika sesudah perbuatan dilakukan ada
perubahan dalam perundang-undangan,
maka dipakai aturan yang paling
ringan/menguntungkan bagi terdakwa”.
24. Contoh:
Terdakwa Joko S Chandra. Dia dituduh telah
melakukan korupsi dalam kasus Bali Gate yang terjadi
pada bulan Februari 1998. Pada saat diadakan
penyidikan terhadap perkaranya, dasr hukum yang
digunakan aparat adalah UU Korupsi No. 3/1971.
Tetapi pada saat perkaranya sudah sampai di tingkat
pemeriksaan persidangan pengadilan yaitu bulan Juni
2000, terjadi perubahan terhadap UU Korupsi No.
3/1971 dengan UU No 31/1999. Dalam hal demikian,
maka untuk menentukan UU Korupsi mana yang harus
dignakan sebagai dasar hukum untuk menangani
kasus Joko S. Chandra di atas (Apakah UU 3/1971
atau UU 31/1999), pemecahanya dapat menggunakan
asas Transitoir ini.
25. Apakah UU itu adalah hanya dalam
lingkup UU bidang Pidana, ataukah
termasuk pula UU dalam bidang-bidang
Hukum lain (Seperti Perdata)…?
26. Dalam Khasanah Literatur (Teoiritik), Pertanyaan diatas dapat
dipecahkan melalui pendekatan berbagai teori seperti berikut ini:
1. Teori Formal (Simons)
Menurut teori ini, perubahan Undang-
undang dikatakan ada atau telah terjadi
menurut yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat
(2) KUHP adalah apabila yang berubah itu
teks/bunyi ketentuan dari UU bidang hukum
Pidana.
27. CONTOH
Ada kasus A (seorang mucikari/germo) memberi
kesempatan kepada B untuk berbuat melancurkan diri.
Saat itu usia B adalah 22 Tahun (alias belum dewasa
menurut pasal 330 BW). Oleh karena itu A kemudian
diajukan ke pengadilan dengan tuduhan telah melanggar
Pasal 295 ayat (1) ke-2 KUHP yaitu memberi
kesempatan kepada seorang anak yang belum dewasa
berbuat asusila. (saat kasus itu terjadi, batasan usia
dewasa seseorang menurut Pasal 330 BW adalah 23
Tahun). Namun, ketika proses perkara sedang berjalan,
pasal 330 BW mengalami amandemen/perubahan
mengenai batasan usia dewasa seseorang yaitu dari
semula 23 Tahun berubah menjadi 21 Tahun. Dalam hal
demikian, maka menurut ajaran teori formal ini, si
mucikari A di atas tetap dapat dituntut pidana (diteruskan
perkaranya) karena yang berubah adalah teks dari UU
Perdata (BW), bukan teks dari UU Pidana
28. Teori Material Terbatas (Van Geus)
Menurut teori, perubahan undang-undang dikatakan
ada atau telah terjadi menurut yang dimaksud oleh
Pasal 1 ayat (2) KUHP addalah apabila dalam
kenyataan telah terjadi perubahan pandangan hukum
masyarakat mengenai suatu hal, di mana perubahan
pandangan tersebut kemudian telah dituangkan
dalam ketentuan UU. Oleh karenanya teori ini disebut
dengan teori “Material tapi Terbatas”. Istilah
“Terbatas” yang dimaksud di sini ialah karena harus
dituangkan dalam bentuk undang-undang tertulis.
Tidak menjadi masalah, apakah penuangan
perubahan pandangan hukum masyarakat ke dalam
teks UU itu dikemas dalam UU bidang pidana
ataupun dalam UU Bidang lainya, sepanjang UU
bidang lain tersebut masih berkait dengan pidana.
29. CONTOH
Dalam kasus yang dikemukakan untuk menjelaskan
teori Formal di atas, maka menurut Teori Material
terbatas, terjadinya perubahan ketentuan dalam UU
walaupun itu UU bidang Perdata (Pasal 330 BW),
tetaplah merupakan pengertian ada perubahan
Undang-undang menurut yang dimaksud oleh Pasal 1
ayat (2) KUHP. Sehingga apabila kasus di atas
dipecahkan menurut perspektif teori material terbatas,
konsekwensinya adalah A menjadi bebas karena
adanya perubahan teks Pasal 330 BW tersebut,sebab
Pasal sekalipun 330 BW ini merupakan ketentuan
hukum bidang perdata, tetapi masih berkait erat
dengan bidang hukum pidana.
30. Teori Material Terbatas (Utrecht)
Perubahan pandangan hukum
masyarakat tersebut tidak harus
dituangkan dalam perundang-undangan
tertulis seperti pada teori Material
Terbatas (baik UU itu bidang Pidana
maupun Perdata) oleh karenyanya
disebut “Material Tak Terbatas”
31. CONTOH
Perbuatan petugas penyuluh Keluarga Berencana yang
memperlihatkan alat-alat pencegah kehamilan secara terbuka di
muka umum (masyarakat yang diberi penyuluhan). Perbuatan
demikian, secara formal yuridis adalah merupakan tindak pidana
yakni pelanggaran terhadap Pasal 283 jo 543 KUHP, karena dinilai
bisa mempersubur terjadinya kasus-kasus delik susila. Tetapi sejak
ada keberhasilan sosialisasi mengenai pentingnya Keluarga
Berencana, di masyarakat telah terjadi perubahan persepsi hukum
secara material (diam-diam) sehingga perbuatan petugas KB
tersebut tidak lagi dianggap tercela atau patut di pidana tetapi bahwa
dianggap penting untuk didukung demi keberhasilan program
Keluarga Berencana secara nasional. Konsekwensinya, menurut
teori ini, terjadinya perubahan pandangan hukum masyarakat secara
diam-diam di atas pun harus pula dinilai sebagai terlah terjadinya
perubahan Undang-undang menurut yang dimaksud oleh Pasal 1
ayat (2) KUHP. Sehingga petugas KB yang mempertunjukan alat-alat
pencegah kehamilan di muka umum tadi tidak harus diancam pidana
32. PENAFSIRAN UU HUKUM PIDANA
Apabila Undang-Undang Tersebut tidak jelas
maka menimbulkan Persoalan, sehingga perlu
adanya jalan keluar untuk mengadakan berbagai
penafsiran sehingga melahirkan makna UU
tersebut dapat dimaknai maksud dari
pembuatannya
Penafsiran hanya dipergunakan apabila kata-kata
dalam UU tidak tegas dan menimbulkan
multitafsir
Ada beberapa macam penafsiran dalam ilmu
hukum pidana:
33. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran yang didasarkan hukum tata
bahasa sehari-hari. Hal ini dilakukan
apabila ada suatu istilah yang kurang
terang atau kurang jelas dapat
ditafsirkan menurut tata bahasa sehari-
hari
37. PENAFSIRAN ANALOGIS
PENAFSIRAN SUATU ISTILAH BERDASARKAN
KETENTUAN YANG BELUM DIATUR OLEH
UNDANG-UNDANG TETAPI MEMPUNYAI ASAS
YANG SAMA DENGAN SESUATU HAL YANG
TELAH DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG
39. PENAFSIRAN MEMPERSEMPIT
PENAFSIRAN YANG MEMPERSEMPIT
PENGERTIAN SUATU ISTILAH
CONTOH : UU dalam arti luas adalah semua
produk perundang-undangan seperti UUD, UU,
PERPU, PP dan sebagainya, sedangkan UU
dalam arti sempit hanya UU yang dibuat
pemerintah bersama DPR
40. PENAFSIRAN MEMPERTENTANGKAN
PENAFSIRAN SECARA MENEMUKAN
KEBALIKAN DARI PENGERTIAN SUATU
ISTILAH YANG SEDANG DIHADAPI
CONTOH: KEBALIKAN DARI UNGKAPAN TIADA
PIDANA TANPA KESALAHAN ADALAH PIDANA
HANYA DIJATUHKAN KEPADA SESEORANG
YANG PADANYA TERDAPAT KESALAHAN