Islam memiliki landasan yang jelas berdasarkan al-Quran dan hadis, namun dalam praktiknya dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman kecuali dalam ibadah. Walaupun beberapa ulama berpandangan bahwa teknologi sebaiknya dihindari, teknologi dapat digunakan untuk kemaslahatan dan dakwah selama tidak mengurangi ibadah. Islam tidak sepenuhnya bersifat rasional dan sebagian besar hukumnya
1. Kata ‘longgar’ mungkin kurang pas untuk Islam. Pasalnya Islam punya landasan yang sudah ditetapkan
yaitu al-qur’an dan ql-hadist. Mungkin lebih tepatnya, walaupun berlandaskan al-qur’an dan al-hadist
namun dalam prakteknya Islam mengikuti perkembangan jaman, kecuali dalam hal ibadah yang tidak
berubah setelah Nabi Muhammad wafat.
Maksudnya, ketika berhadapan dengan suatu hal yang tidak ada pada jaman Nabi Muhammad, kita
diperbolehkan untuk mengikuti ijtihad para ulama salaf dengan dasar ilmu. Artinya tidak mengikuti
dengan taqlid.
Dalam hal teknologi pun begitu, walau pada kenyataannya ada saja beberapa ulama yang berpendapat
bahwa sebaiknya tidak menggunakan teknologi. Hal ini kurang pas, selama tidak melalaikan dalam
ibadah mengapa tidak kita manfaatkan untuk hal yang lebih baik, khususnya hal-hal berbau dakwah.
Mungkin respon terhadap artikel tidak banyak dijelaskan dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya mencoba
menuliskan kembali tentang Islam itu tidak sulit, dengan bahasa yang lebih sederhana.
Dalam Shahih Bukhari hadits ke-39;
- -
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah
seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu
kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah)
dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam"
Dalam hadist tersebut, dikatakan bahwa kita-lah yang membuatnya menjadi terasa susah. Karena nafsu
dan keinginan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah yang tanpa kontrol, sehingga membuat-buat
cara sendiri tanpa melihat hadist dan qur’an kembali.
Tentang masalahah (lihat artikel paragraph ke-5), penulis sendiri kurang sependapat dengan perkataan
Najmuddin Al-Thufi.
“legislasi Islam mestinya justru berporos pada kepentingan publik”.
Tentang maslahah sendiri, kenyataannya banyak dari hukum-hukum syaria’at yang mempunyai unsur
kemaslahatan bagi kita. Namun bukan berarti jika suatu syaria’at berdasarkan akal tidak mempunyai
kemaslahatan atau bertentangan dengan kemaslahatan, hukum tersebut menjadi batal. Contoh
sederhana,
2. Babi haram. Berdasarkan penelitian didapat bahwa daging babi mengandung cacing pita yang bisa
membahayakan si pemakan. Jika suatu saat diciptakan alat yang dapat menghilangkan cacing tersebut
dari daging babi, bukan berarti kita boleh memakannya.
Hal ini harus dikembalikan pada hukum dasar Islam yaitu al-qur’an dan al-hadist. Bagianmana dari kita
yang mampu mengetahui mengapa Allah membuat hukum ini dan itu? Bahkan akal manusia saja tidak
bisa menerima kenapa jika kita batal wudhu karena buang angin harus diulang kembali dari tangan,
bukan membersihkan si pelaku?
Islam tidak sepenuhnya rasional, mungkin lebih tepatnya ada sebagian darinya yang bisa diterima secara
akal dan sebagian besarnya harus diterima dengan keimanan. Seseorang beriman sendiri, artinya dia
menerima segala konsekuensinya (menjauhi hal-hal yang bisa menggoyahkan iman walaupun itu
menyenangkan) tanpa memandangnya sebagai beban.
Lalu siapa yang bisa menilai Islam kaffah itu seperti apa?
Selama kita mengamalkan al-qur’an dan al-hadist, selama amalan yang kita lakukan tidak dilebih-
lebihkan, selama ibadah yang kita lakukan tidak dibuat-buat semoga saja Islam yang kita sandang adalah
Islam yang kaffah.
Wallahualam.