Ayat Al-Quran menjelaskan dua sifat utama hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang, yaitu bersikap rendah hati dan menjawab dengan kata-kata yang baik meski disapa dengan kata-kata kasar. Tulisan ini menjelaskan makna mendalam dari dua sifat tersebut berdasarkan penjelasan ulama tafsir.
1. Sifat-sifat‘Ibâd al-Rahmân (1)
Posted by Admin nafsiyah 9:23 AM
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas
bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik (TQS al-Furqan [25: 63).
Sebagai makhluk, manusia wajib menyadari posisi dirinya. Dia harus
menghamba dan mengabdikan dirinya kepada penciptanya, Allah SWT. Dia juga harus
memiliki sifat dan karakter sebagai layaknya hamba-Nya. Dengan begitu, dia akan
diberikan tambahan kemuliaan dan keutamaan.
Agar itu bisa terjadi, maka manusia harus mengetahui sifat-sifat yang harus melekat
pada dirinya. Ayat-ayat ini adalah di antara yang memberikan penjelasan tentang
beberapa sifat yang harus dimiliki sebagai orang yang menjadi hamba-Nya.
Rendah Hati
Allah SWT berfirman: Wa ‘ibâd al-Rahmân al-ladzîna yamsyûna ‘alâ al-ardh hawn[an] (dan
hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu [ialah] orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati). Ayat ini memberitakan tentang‘ibâd al-Rahmân dam
menjelaskan sejumlah sifat dimiliki.
Kata ‘ibâd merupakan bentuk jamak dari kata ‘abd (hamba, budak). Sedangkan al-
Rahmân merupakan salah satu dari asma’ Allah SWT. Di-idhâfah-kan
kata ‘abd dengan al-Rahmân, menurut al-Alusi, untuk mengkhususkan mereka dengan
rahmat-Nya dan melebihkan mereka dari yang lain disebabkan karena keberadaan
mereka yang dirahmati oleh Pemberi nikmat, Allah SWT.
Mahmud al-Hijazi dalam Tafsîr al-Wâdhih menyatakan bahwa penyebutan al-
‘ubûdiyyah (penghambaan) untuk al-Rahmân merupakan sifat yang paling tinggi bagi
2. manusia. Bahkan sebutan itu –yakni ‘abd, hamba—juga digunakan untuk menyebut
Rasul paling mulia dan penutup para nabi. Perhatikan firman Allah SWT: Maha Suci
Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (TQS al-Isra’ [17]: 1). Juga firman-Nya: Maha
Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya (TQS al-Furqan
[25]: 1). Semua itu menunjukkan bahwa sifat-sifat yang dilekatkan kepada hamba Dzat
Yang Maha Penyayang tersebut merupakan sifat yang mulia pada makhluk. Sebutan itu
tidak diberikan kecuali kepada orang yang sibuk melakukan penghambaan dengan
benar. Jika tidak demikian, tentulah semua orang disebut sebagai hamba Allah.
Dipaparkan juga oleh al-Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân., barangsiapa yang
menaati dan menyembah kepada Allah, menggunakan pendengaran, penglihatan,
lisan, dan hatinya dengan apa yang diperintahkan Allah, maka dia berhak mendapatkan
penyebutan al-‘ubûdiyyah (penghambaan). Sedangkan yang bertindak sebaliknya,
tercakup dalam firman-Nya: Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi (TQS al-A’raf [7]: 179).
Dalam ayat ini digambarkan bahwa sifat ibâd al-Rahmân, hamba Yang Maha
Penyayang itu adalah: al-ladzîna yamsyûna ‘alâ al-ardh hawn[an], orang-orang yang
berjalan di muka bumi dengan hawn[an]. Kata yamsyawna berasal dari kata al-masy-
yu (berjalan). Secara bahasa, kata tersebut berarti al-intiqâl min makân ilâ makan bi
irâdah (berpindah dari satu tempat ke tampat lain dengan kehendak). Demikian al-
Asfahani dalam al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân.
Meski demikian, menurut al-Qurthubi frasa yamsyawna (mereka berjalan) dalam
ayat ini merupakan ungkapan yang menunjuk kepada kehidupan mereka, selama hidup
mereka, dan tingkah laku mereka. Tercakup pula di dalamnya pergaulan mereka
dengan manusia. Mereka melakukan semua itu dengan hawn[an].
Secara bahasa, kata al-hawn adalah al-layn wa al-rifq (halus, lembut, ramah). Demikian
penjelasan para mufassir seperti al-Baghawi, al-Alusi, dan lain-lain. Sehingga maksud
ayat ini, sebagaimana diterangkan al-Zuhaili, mereka berjalan dengan tenang dan
tawadhu’, tidak takabbur dan sombong. Penjelasan senada juga dikemukakan Ibnu
Jarir al-Thabari yang mengatakan bahwa mereka berjalan di muka bumi dengan sabar
dan tenang, tanpa disertai kesombongan dan keangkuhan. Juga tidak melakukan
kerusakan dan maksiat kepada Allah SWT.
Perintah ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: Dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi ini dengan sombong (TQS al-Isra’ [17]: 37). Juga firman-Nya: Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
3. berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. (TQS Luqman [31]: 18).
Selain itu, amat banyak nash yang memerintahkan manusia bersikap tawadhu dan
melarang manusia bersikap sombong. Rasulullah SAW bersabda: Dan tidaklah
seseorang itu bersikap tawadhu karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan Allah akan
mengangkat derajat orang itu (HR Muslim). Sebaliknya melarang keras bersikap sombong
dan angkuh serta memberikan celaan kepada pelakunya.
Khusus berkait dengan pengertian berjalan yang dimaksudkan ayat ini, ditegaskan Ibnu
Katsir bahwa berjalannya itu bukan berarti seperti orang sakit yang dibuat-buat dan
riya’. Sungguh Rasulullah SAW apabila berjalan seolah-olah berjalan menurun.
Sebagian ulama salaf juga tidak menyukai orang berjalan yang lemah dan dibuat-buat.
Diriwayatkan dari Umar ra, ketika beliau melihat seorang pemuda berjalan perlahan-
lahan, maka beliau bertanya: “Apa yang menimpa kamu? Apakah kamu sakit? Pemuda itu
menjawab: “Tidak, wahai Amirul Mukminin?” Lalu beliau memerintahkan kepadanya agar
berjalan cepat dan kuat.
Mengucapkan Perkataan yang Baik
Kemudian diterangkan sifat lainnya dari hamba Dzat Maha Penyayang itu dengan
firman-Nya: Wa idzâ khâthabahum al-jâhilûna qâlû salâm[an] (dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik). Ini merupakan
penjelasan tentang sifat dan keadaan mereka tatkala berinteraksi dengan sesama
manusia; setelah sebelumnya dijelaskan tentang sifat mereka terhadap diri mereka
sendiri.
Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, hamba Allah SWT ini juga menunjukkan
pekerti yang terpuji. Ini tampak jelas pada sikap mereka tatkala menghadapi al-
jâhilûn (orang-orang bodoh) yang bersikap buruk terhadap mereka.
Dijelaskan al-Zamakhsyari, pengertian al-jahl adalah al-safah (kebodohan), qillah al-
adab (sedikit adabnya), dan sû` al-ri’ah (buruk keadaannya). Sedangkan
ungkapan khâthabahum di sini, menurut al-Alusi, menunjuk kepada perkataan yang
buruk. Al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr menafsirkannya sebagai perkataan yang tidak
mereka sukai. Ketika perkataan itu disampaikan kepada hamba al-Rahman, mereka
tidak membalasnya dengan ungkapan yang sama. Sebaliknya, mereka justru
mengatakan: salâm[an].
4. Ada beberapa penjelasan dari para ulama mengenai maksud dari kata salâm[an] dalam
ayat ini. Al-Nuhas, sebagaimana dikutip al-Syaukani dalam Fat-h al-Qadîr, mengatakan
bahwa al-salâm di sini bukan berasal dari al-taslîm, namun dari kataal-tasallum. Masih
menurutnya, orang-orang Arab mengatakan: salâm[an], artinya tasallum minka, yakni
berlepas diri dari mereka. Sedangkan menurut al-Jazairi, kata salâm[an] di sini berarti
perkataan yang mereka selamat dari dosa. Mereka tidak membalas keburukan dengan
keburukan, namun dengan kebaikan. Al-Samarqandi dalam Bahr al-‘ulûmmemaknainya
sebagai sadâd min al-qawl (perkataan yang tepat).
Dijelaskan juga oleh Ibnu Katsir, apabila ada orang yang bodoh menyampaikan
perkataan yang buruk, maka tidak dibalas dengan perkataan yang sama. Akan tetapi,
dimaafkan dan berpaling darinya serta tidak dikatakan kecuali kebaikan, sebagaimana
dinyatakan Rasulullah SAW bahwa kamu tidak menambah parah orarang bodoh
kecuali hilm (kesabaran dan kemurahan). Allah SWT berfirman: Dan apabila mereka
mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya (TQS al-
Qashash [28]: 55).
Semua penafsiran yang diberikan para mufassir itu saling berdekatan. Bahwa ketika
para hamba al-Rahman disampaikan kepadanya perkataan yang buruk dan
menyakitkan, mereka tidak membalas dengan ucapan yang sama. Mereka justru
menyampaikan perktaan yang baik, tepat, dan selamat dari dosa.
Demikianlah beberapa sifat yang disebut Allah sebagai ‘ibâd al-Rahmân, hamba-hamba
Yang Maha Penyayang. Dua sifat yang digambarkan dalam ayat ini jelas menunjukkan
keutamaan mereka. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
1. Penyebutan sebagai ‘ibâd al-Rahmân yang memiliki sifat khusus menunjukkan
keutamaan dan pujian terhadap sifat itu dan pelakunya
2. Di antara sifat khusus ‘ibâd al-Rahmân adalah bersikap rendah hati dan menjaga
ucapannya, sekalipun terhadap perkataan buruk yang disampaikan orang-orang
bodoh.