NU berperan penting dalam bidang keagamaan, ekonomi, dan pendidikan untuk mempertahankan NKRI. Dalam bidang keagamaan, NU mempromosikan toleransi dan persatuan. Dalam bidang ekonomi, NU mendukung pembangunan ekonomi rakyat dan koperasi. Dalam bidang pendidikan, NU mendirikan sekolah, madrasah, dan memajukan pesantren untuk mencerdaskan bangsa.
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
Peran nu dalam mempertahankan nkri
1. Peran NU dalam mempertahankan NKRI
Minggu, 19 Oktober 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai hubungan negara dan agama tidak lepas dari paham teokrasi, sekularis,
komunis dan moderasi. Ke empat paham ini berbicara secara luas dan gamblang mengenai
hubungan agama dan negara. Teokrasi, berpandangan bahwa hubungan agama dan Negara
mempunyai hubungan yang signifikan. Dengan kata lain hubungan agama dan Negara sebagai
dua hal yang tidak dapat dipisahkan.karena pemerintahan dijalankan didasarkan firman-firman
tuhan. Sekularis, berpandangan bahwa Negara dan agama tidak memiliki hubungan satu sama
lain, dalam paham ini Negara dan agama adalah murni urusan hubungan manusia dengan manusia
lain sedangkan agama adalah murni urusan manusia dengan tuhan. Komunis, paham ini
berpandangan secara radikal, bahwa hubungan agama dan Negara berdasarkan pada filosofis
materialism dialektis dan materialism historis. Output dan outcome dari pandangan ini adalah
paham atheis. Moderasi, yaitu sintesa dari paham teokrasi dan sekuler. Paham ini berpendirian
bahwa terdapat nilai-nilai baik, seperti nilai keadilan dan moral dan system keteraturan.
Sementara Negara memiliki system kekuatan yang mengejawantahkan tujuan Negara, seperti
nilai kesejahteraan dan kenyamanan warga Negara.
Namun dalam pembahasan makalah ini penulis tidak akan membahas mengenai hubungan agama
dan Negara menurut paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi seperti apa yang telah
dijelaskan di atas. Walaupun penulis sadar bahwa pembahasan mengenai paham tersebut masih
menarik untuk dibahas.
Namun pembahsan makalah ini bertendensi pada hubungan agama dan Negara mengenai
kontribusi atau sumbangsih Nahdhatul Ulama (NU) terhadap perjalanan sejarah pembentukan
Negara Republik Indonesia sebagai representasi dari Agama Islam . Dengan hal ini maka perlu
adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam makalh ini tidak melebar dan
pembahsannya focus pada permasalahan yang dirumuskan.
2. B . Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana Nahdhatul Ulama
(NU) berperan dalam Mempertahankan Bangsa dan Negara
BAB II
PERANAN NAHDLATUL ULAMA
DALAM MEMPERJUANGKAN KEBERADAAN NEGARA RI
A. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Keagamaan Dan Ekonomi
1. Bidang Keagamaan
Sejak berdiri Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam
(Jam’iyyah Diniyyah Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-
pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam
serta mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya
sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam) sebagaimana firman Allah
SWT :
للعالمين رحمة إل أرسلناك وما
Artinya : Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi
seluruh alam. (QS. Ali Imran 107)
Sebagai organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan
dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip
persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan
antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai
keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan
kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis
Sebagai organisasi keagamaan, tentunya Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan
yang dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain :
1. Didirikan karena motif keagamaan, tidak karena dorongan politik, ekonomi atau
lainnya.
2. Berasas keagamaan sehingga segala sikap tingkah laku dan karakteristik
3. perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum dan ajaran agama.
3. Bercita-cita keagamaan yaitu Izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum
muslimin) menuju Rahmatan lil ‘Alamin (menyebar rahmat bagi seluruh alam).
4. Menitikberatkan kegiatannya pada bidang-bidang yang langsung berhubungan
dengan keagamaan, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, dakwah, ma’arif, muamalah
dan sebagainya.
Ciri keagamaan tersebut dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok,
dengan mengutamakan :
1. Pembinaan pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan hidup dan
kehidupannya menuju terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam).
2. Dorongan dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau dan
mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan besar
meluhurkan kalimah Allah SWT.
3. Mengorganisasikan kegiatan-kegiatan tersebut dalam wadah perjuangan dengan
tata kerja dan tata tertib berdasar musyawarah.
2. Bidang Ekonomi
Bagi semua orang, berekonomi dalam pengertian berbuat untuk mendapat nafkah hidup
adalah suatu kebutuhan mutlak. Bagi orang beragama, berekonomi adalah perintah
Allah SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran dan hukum agama.
Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan hidup dan di dalam
hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk kepentingan agama, bangsa
dan Negara.
Berekonomi dalam Islam adalah sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri
dan keluarga. Tetapi Islam tidak membiarkan pemeluknya hanya sekedar mampu
memenuhi kebutuhan yang paling minim bagi diri dan keluarganya saja.
Islam mendorong secara tegas supaya para pemeluknya memiliki harta benda yang
berlebih dari kebutuhan pokoknya, sehingga mampu melaksanakan kewajiban berzakat.
Mampu berzakat berarti memiliki harta benda sedikitnya satu nisab. Orang baru terlepas
dari kewajiban itu setelah ternyata tidak mampu, Islam tidak menyenangi kemiskinan,
bahkan mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain dengan kewajiban
membayar zakat.
Nahdlatul Ulama tidak melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya yang
permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam berekonomi itu harus
ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh agama.
4. Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang
ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan
pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan
dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan. Dengan
demikian jelas bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah yang menjadi perhatian
utama Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.
Program berekonomi Nahdlatul Ulama dibatasi tidak lebih dari pokok-pokok ajaran
agama dalam berekonomi, yaitu :
1. Mendorong para anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi demi
meningkatkan kemampuan ekonominya.
2. Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi selalu mentaati dan
mengikuti hukum dan ajaran Islam.
Berangkat dari pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul Ulama dapat mewujudkannya
dengan cara :
a. Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata.
b. Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan dengan
pedesaan, perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan.
c. Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan tentang
penentuan skala prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Nahdlatul Ulama juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren,
karena terbukti sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan
memungkinkan lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga gagasan-
gagasan pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan
baik oleh masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren. Disamping itu
Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung program
ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan pertanian.
B. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Pendidikan
Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak,
melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Ketiganya merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi
untuk melakukan tanggung jawab dan harmonisasi.
Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia
5. dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk
memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan
bangsa.
Gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul
Ulama sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul
Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan
yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang disebut
Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Organisasi ini
mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau
madrasah yang teratur.
Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama
memandang perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah
atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur
non formal seperti pesantren.
Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus,
yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat
mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri
sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama
secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan
segala bidang kegiatannya.
Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929
M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu
Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan
mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik.
Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan
Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi
meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang
dimaksud adalah :
1. Visi
a. Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan teknologi
serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b. Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah.
c. Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan inovatif
dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.
2. Misi
6. a. Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola
masyarakat.
b. Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat komponen
bangsa.
Selain sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah
pesantren. Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan
sumbangan besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa,
menyuburkan tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak
karimah.
Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren
memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri,
mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren
tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan,
keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.
Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai
berikut :
a. Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
b. Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
c. Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan
ekspresi).
d. Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.
Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam
pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang
menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih
baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti
keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan
C. Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde
baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan
pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung
dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde
7. baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran
pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas
Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang
mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses
reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1. Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi
berjalan kea rah yang lebih tepat.
2. Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali
ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan
sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3. Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau
terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan
hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya
pemaksaan kehendak.
5. Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan
bertanggung jawab.
6. TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7. Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada
kelompok tertentu.
8. Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap
praktik ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang
isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan
jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998
yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H.
Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling
penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh
nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10
Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang
KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan
Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman
8. Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total
dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok
yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah
deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan
reformasi, yaitu :
1. Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan
pesatuan bangsa.
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga
perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam
proses pembangunan bangsa.
4. Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan
datang.
5. Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6. Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal
pernyataan ini dibacakan.
7. Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan
kroni-kroninya.
8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak
segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia
digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa
Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar
yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999,
yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan
dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
D. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Politik
Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam
pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik
kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama
dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama
sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat bahwa Nahdlatul Ulama selalu
9. memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an,
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nahdlatul Ulama juga didasari oleh nilai-nilai ke-
Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama yaitu politik kerakyatan.
Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama sebenarnya adalah perwujudan dari prinsip
amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Hal
itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda Nahdlatul Ulama melalui LSM-
LSM, ketika melihat Nahdlatul Ulama secara structural kurang peduli terhadap
permasalahan yang menyangkut kepentingan rakyat kecil.
Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis ketiga, yaitu politik kekuasaan
atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis politik yang
paling banyak menarik perhatian orang Nahdlatul Ulama. Dalam catatan sejarah, terlihat
bahwa Nahdlatul Ulama pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di
Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative sangat
pendek, Partai Nahdlatul Ulama yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki
peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Disusul pada
pemilu pertama orde baru pada tahun 1971, dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki
posisi kedua setelah Golongan Karya. Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang
terjun ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting
Nahdlatul Ulama lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah
yang menjadi terbengkalai.
Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan yang integral dari
para anggotanya dengan aneka ragam latar belakang dan aspirasi masing-masing dan
demi mengembangkan budaya politik yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama
memberikan pedoman berpolitik sebagai berikut :
1. Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
2. Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
3. Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan
demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai
kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika dan budaya sesuai dengan nilai-nilai
sila-sila Pancasila.
5. Berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama.
6. Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh consensus-konsensus nasional dan
dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah.
10. 7. Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan
kepentingan bersama dan memecah belah persatuan
8. Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan
saling menghargai.
9. Berpolitik menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam
pembangunan nasional.
Dengan berpedoman pada etika politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid,
Nahdlatul Ulama dapat mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu berpegang
pada prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa dan negara serta
agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik secara jama’ah
(komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga, orang-orang Nahdlatul Ulama yang
memiliki jabatan dalam structural organisasi Nahdlatul Ulama tidak masuk ke dalam
wilayah politik praktis.
Selanjutnya dalam merespon perkembangan politik pada masa reformasi, Nahdlatul
Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai politik. Pendeklarasian partai
tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan memproses warga nahdliyin yang ingin
berkiprah dalam politik praktis agar menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya menjadi
negarawan.
Pada sisi lain, Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk
memasuki partai politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai
politisi sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik
nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak
kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama
RANGKUMAN
1. Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang kegiatannya sebagai
usaha untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan berdirinya, baik yang bersifat keagamaan
maupun kemasyarakatan, seperti peningkatan bidang keilmuan, peningkatan kegiatan
penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial serta
peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat.
2. Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, Nahdlatul Ulama
senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang menyadari
akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara.
3. Nahdlatul Ulama secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan
organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga
negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang dan harus
11. dilakukan secara bertanggung jawab.
Diposkan oleh abi wafa di 03.45 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!
Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
PERAN NU DALAM MEMPERTAHANKAN NKRI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia. Jika dirunut maka akan didapati bagaimana peran NU dalam
kehidupan bernegara bangsa tersebut, meskipun secara akademis sering menjadikan
NU dianggap sebagai organisasi yang akomodatif, fragmatis dan bahkan oportunis.
Labeling seperti ini memang disandarkan atas realitas bahwa NU sebagai organisasi
pernah melakukan tindakan politik untuk membela Soekarno dalam menggoalkan
konsep Nasionalisme, Agama dan Komunis (Nasakom), yang saat itu dianggap sebagai
sebuah konsepsi yang salah oleh organisasi sosial keagamaan lainnya, sebab
menempatkan agama dan komunis dalam satu bangunan konsep. Selain itu NU juga
pernah mengangkat Soekarno sebagai Waliy al-amri dharury bi al-syaukah, yang
dianggap oleh lainnya sebagai langkah oportunisme politik.
Terlepas dari berbagai macam simbol yang diatribusikan kepada NU tetapi yang jelas
bahwa NU telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia semenjak awal
kemerdekaan Indonesia hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting
dalam kontribusi NU tersebut adalah bagaimana NU dengan konsepsi tentang
Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai sesuatu yang final bagi bangsa Indonesia. Dan
yang lebih penting adalah NU dengan konsepsinya tentang Pancasila telah
mengarahkan pergerakannya untuk menjadi civil religion atau masyarakat madani.
B . Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana Nahdhatul
Ulama (NU) berperan dalam Mempertahankan Bangsa dan Negara
12. C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Peran Nu Pada Masa Penjajahan?
2. Bagaimana Peran Nu Pada Masa Kemerdekaan?
3. Bagaimana Peran Nu Pada Masa Orde Lama?
4. Bagaimana Peran Nu Pada Masa Orde Baru?
D. Batasan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas, maka dapat di batasi dari pembahasan sebagai berikut:
1. Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Penjajahan
2. Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Kemerdekaan
3. Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Orde Lama
4. Menjelaskan Peran Nu Pada Masa Orde Baru
BAB II
PEMBAHASAN
PERAN NU DALAM MEMPERTAHANKAN NKRI
A. PERAN NU PADA MASA PENJAJAHAN
Pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah
yang terjadi disetiap tempat dan sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari
pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang
kemerdekaan. Demikian halnya yang terjadi di pesantren Demangan Bangkalan yang
dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu ketika, ada beberapa pejuang dari
13. Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang jauh dari keramaian
kota itu.
Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan lain
kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik kompleks
pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren, tetapi mereka
terkejut dan marah ketika dalam setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak
seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara sekian
santri yanag sedang mengaji. Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil
sebagai sandera. Mereka Berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh
itu, para pejuang mau menyerahkan diri.
Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda direpotkan oleh berbagai
kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup, hal itu
membuat semua aparat penjajah harus berjaga siang dan malam, agar tahanan yang
lain melarikan diri. Sementara itu para pejuang ditunggu-tunggu tidak kunjung
menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka ditangkap.
Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau
Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan
kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati. Tentu saja hal itu juga memusingkan
pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai seperti pasar. Akhirnya mereka
mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil. Tapi ini juga tidak menyelesaikan
masalah. Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar
rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai Cholil. Melihat
kenyataan itu akhirnya Belanda membuat pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan
hal-hal yang tak bisa diatasi, maka akhirnya pihak penjajah membebaskan Kiai Cholil
tanpa syarat.
Penghormatan masyaraakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat besar,
selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim Asy’ari,
Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya sebagai waliyullah
yangs angat makrifat. Sang Kiai memang orang yang alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan
tarekat. Ia tidak hanay menghafal Al-qur’an, tetapidan menguasai segala ilmu Al-qur’an,
termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca Al-qur’an).
Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan, termasuk salah
satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab sebelum mendapat
isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih menunda gagasan yang dilontarkan
oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat
restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asyari segera
mendeklarasikan NU, sebagai organisasi sosial, yang segera disambut oleh seluruh
ulana Jawa, Maduran bahkan luar Jawa dan dari luar naegeri. (Mun’im Dz dari berbagai
sumber)
14. B. PERAN NU PADA MASA KEMERDEKAAN
Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan
nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut
memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat
setelah peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, karena sebulan setelah
Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali datang ke Indonesia
untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya
ikut dalam gerakan melawan para penjajah, terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa
Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan
Oktober pasukan Inggris yang tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil
Administration) telah menguasai Medan, Padang, Palembang, Bandung dan
semarang,sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur diduduki oleh
Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada pasukan
Inggris.
Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari jajahan India.
NU juga mendeklarasikan perang suci, berjihad melawan penjajah bersama masyarakat
lainnya. ''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya
pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH
Hasyim Asy'ari. Mereka mendeklarasikan resolusi dengan sebutan 'resolusi jihad' yang
isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC
Ricklefs (1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban
perang melawan para kaum imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh masyarakat
Islam membentuk laskar perang. Para sejarahwan mengakui bahwa pengaruh resolusi
jihad.
C. PERAN NU PADA MASA ORDE LAMA
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan
semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai
berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain
membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska kemerdekaan. Akibat konflik
internal dan merasa tidak diakomodir oleh faksi Islam modernis dalam Masyumi, NU
kemudian mendirikan partai politik tersendiri dan ikut pemilu legislatif dan konstituante
pada 1955 dengan menjadikan sebagai kekuataan terbesar ketiga setelah PNI dan
Masyumi. Pada zaman orde lama paska kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai
PSI dan Masyumi, presiden Soekarno membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis
(PNI), Agama (NU), dan Komunis (PKI).Soeharto memaksa NU berfusii dengan faksi
Islam lain dengan membentuk PPP paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih
suara terbesar kedua setelah Golkar. Pembentukan PPP ini mengulang kejadian
pembentukan Masyumi di mana peran NU termarjinalkan oleh faksi Islam modern.
Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan dimotori Gus Dur
15. mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis dengan kembali ke khitah 1926.
Selama 14 tahun Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain
politik bebas aktif dengan bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi dengan salah
satunya mendirikan Fordem tapi di sisi lain berdampingan dengan lingkar kekuasaan.
Masih ingat pernyataan Gus Dur tentang Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa
depan Indonesia dan menemani safari politik Tutut ke kantong-kantong NU.
Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada Muktamar di Cipasung Tasik
Malaya 1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu Hasan namun ternyata
gagal. Tumbangnya Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU dengan politik, 1999-2004,
dengan kendaraan PKB, NU mampu mengoptimalkan basis masa sarungan dengan
mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004, polarisasi politik baik di NU dan PKB makin
mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang mencalonkan diri wapres dengan
masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur yang mencalonkan Gus Soleh bersama
Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur pecah dengan terbentuknya kepemimpinan
ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi Muhaimin yang akhirnya dimenangkan
Muhaimin. Perpecahan PKB ini menggerus suara PKB yang turun drastis hanya
mendapat setengah dari perolehan 1999 dan 2004.
Diawali dengan Pilkada Jatim 2008, dengan dimenangkannnya Sukarwo-Gus Ipul,
menjadi pertarungan pemanasan menuju Pilpres 2009. Pilkada Jatim menunjukkan
“pemenangnya” adalah NU, karena 4 kandidat memiliki perwakilan NU. Setahun
kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di NU, yaitu faksi Gus Dur yang akan
cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi Mega-Prabowo, kemudian Kiai NU
struktrural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun lampau bertautan dengan Mega akan
beralih peran dengan masuk ke kandang JK Wiranto terkait, kemudian faksi adalah
pendukung SBY-Budiono dengan motor Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP
Anshornya didukung oleh kiai-kiai yang berada di belakang Muhaimin saat konflik PKB.
Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di Indonesia akan menjadi pertarungan 3
koalisi Capres dan Wapres, JK sudah tidak bisa berharap dengan daerah Mataraman
yang akan menjadi basis Politik SBY-Budi dan Mega Prabowo, sekarang medan tempur
sesungguhnya akan terjadi di daerah tapal kuda dan madura yang menjadi ceruk
perebutan ketiganya. Pertarungan sesungguhnya akan terjadi antara Kubu JK Win yang
“didukung” oleh Hasyim Muzadi dan Kubu SBY Budiono yang didukung oleh Gus Ipul,
Muhaimin dan kiai-kiai desa pendukungnya. 40 juta massa NU yang tersebar di seluruh
Indonesia menjadi lahan pertarungan ketiga kubu. NU dengan struktur organisasi yang
cair dan berbentuk federasi ulama-ulama dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai
satu patron pemimpin. Setiap faksi tidak mampu mengikat massa NU secara
keseluruhan. NU sejak 1950an masih tetap sama, menjadi arena pertarungan politik
untuk meraih massa sarungan.
Di era tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU yang belajar di Timur
Tengah. Pasca pendidikan di pesantren-pesantren, mereka melanjutkan pendidikannya
di negara asal agama Islam. Berkat hubungan baik antara pesantren dan lembaga
16. pendidikan di Timur Tengah, selain semakin meningkatnya kesejahteraan dan
kesadaran pendidikan formal di kalangan orang NU, maka banyak anak muda NU yang
dikirim belajar ke sana.
Dalam dekade akhir, sudah banyak di antara mereka yang menempati posisi strategis di
dalam tubuh NU di hampir seluruh Indonesia. Sebagai alumni Pendidikan Timur Tengah,
terutama Arab Saudi, maka corak pemikiran keagamaannya cenderung ke arah Islam
formal, artinya Islam harus menjadi simbol dalam segala hal, tak terkecuali simbol
negara. Makanya, banyak di antara mereka yang cenderung berpikir bahwa NKRI
dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa saja berubah asalkan sesuai dengan tataran
realitas politik masyarakat.
Ajaran Islam sudah memberikan pedoman dalam segala hal. Islam mengandung ajaran
syumuliyah (komprehensif) dan universal. Hubungan antara politik dan negara lebih
cenderung integrated. Mereka kurang sepakat dengan adagium minyak onta cap babi,
apalagi minyak babi cap onta. Sebab seharusnya adalah minyak onta cap onta. Antara
substansi dan simbol harus sama. Di dalam studinya, Ali Maskan (2007) menyatakan
bahwa elite NU juga ada yang dikategorikan sebagai Elite NU Fundamentalis, selain
yang Moderat dan Fragmatis. Mereka yang beranggapan bahwa Islam mengandung
ajaran yang syumuliyah, Pan Islamisme, Universalisme dan formalisasi syariat
ditipologikan sebagai Elite NU Fundamentalis.
Mereka juga sangat antusias dalam mengapresiasi berbagai macam konsepsi yang
dikembangkan oleh MUI terkait dengan pelarangan terhadap aliran sesat, liberalisme
dan pluralisme. Kelompok ini dianggapnya akan dapat menggerogoti terhadap keaslian
Islam. Islam yang suci murni harus dijauhkan dari doktrin yang bertentangan
dengannya. Islam harus tetap genuine sebagaimana sumber aslinya.
NU memang dikenal sebagai organisasi keagamaan yang mengusung moderatisme
yang rahmatan lil alamin. KH Hasyim Muzadi di dalam berbagai forum mendengungkan
tentang Islam dalam coraknya seperti ini. Dan NU memang diapresiasi oleh banyak
kalangan juga berkat konsep tawazunisme, i’tidalisme, dan tawasutisme, namun dinamis
dan kontekstual. Islam tidak hanya ramah terhadap sesama umat Islam tetapi juga
terhadap lainnya, bahkan terhadap seluruh lingkungan. Islam sebagai mayoritas dapat
menjadi pelindung bagi kaum minoritas. Makanya harus terdapat formulasi yang tepat
untuk semuanya itu. Di dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan
asas Pancasila dan UUD 1945.
D. PERAN NU PADA MASA ORDE BARU
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967),
17. lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan
itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah
tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama,
dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi
Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan
kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat
untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan
penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi
dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres
tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-
Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution;
Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan
ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor)
dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan
yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya
dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program
perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan
Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan
leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam
manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d)
mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945.
Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-
penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti
penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai
situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi
perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik
itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam
kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam
penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif
Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror,
GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar
itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa
PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu
18. itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas
suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah
tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal
timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya
pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya
memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar
ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak
mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael
Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk
liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah
gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah
Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer
mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan
pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Pesantren sebagai
front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap
tempat dan sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya
pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Nadhlatul Ulama
(NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional,
memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut
memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini. NU dalam setiap penyelenggaraan
pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde
Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan
entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman
demokrasi liberal paska kemerdekaan Luapan kegembiraan itu tercermin dalam
Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat
membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya
PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.
19. DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif
NU : Jakarta : 2006.
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.