1. DIGITAL NEWSPAPER
Nelson Mandela
Yang Disanjung
dan Dicerca
hal
2
Spirit Baru Jawa Timur
surabaya.tribunnews.com
surya.co.id
| SABTU, 07 DESEMBER 2013 | Terbit 2 halaman
edisi pagi
Nikah Harus di Kantor KUA
KEBAT KELEWAT
SURYA Online - Kiprah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam membabat habis
koruptor di Negeri tercinta
ini nampaknya mulai menulari aparat penegak hukum
seniornya, Kejaksaan. Bahkan,
perkara-perkara korupsi kecil,
dari yang puluhan juta, tak
pandang bulu, langsung diringkus. Saking kebat kelewatnya,
Kejaksaan pun menelisik ke
desa-desa, Penghulu yang menikahkan sebuah perkawinan di
rumah temanten dan kemudian
pulangnya diberi ogorampe
yang punya gawe, ratusan ribu
saja, juga diembatnya. Duhh
Gusti.
Hebatnya, untuk urusan
perkara yang dianggap
gratifikasi buat Penghulu ini
tak perlu menunggu lama
untuk diambil keputusan
bahkan dijadikan tersangka,
tak sampai berbulan-bulan,
vonis pun sudah jatuh.
Telisik punya telisik, asal
usul tindakan audzubilah
mindalik itu konon cerita salah
satunya datang atas saran
Direktorat Jenderal Bimas
Islam Kementerian Agama,
dengan alasan untuk menghindari praktik pungli di Kantor
Urusan Agama (KUA), para
calon pengantin disarankan
menikah di Kantor KUA dan
di hari kerja, dengan biaya
resmi Rp 30.000. “Kalau ingin
ringan, laksanakan di KUA dan
di jam kantor,” ujar Dirjen
Bimas Islam Kemenag Abdul
Djamil kepada detikcom, Sabtu
(29/12/2012).
Djamil tidak menampik
bahwa di KUA ada saja
oknum-oknum yang melakukan
praktik pungli. Meski begitu,
dia meminta masyarakat
tidak menggeneralisir bahwa
di setiap KUA terjadi praktik
seperti itu. “Masyarakat harus
tahu biaya nikah hanya Rp
30.000. Karena KUA sudah
diberikan tempat Balai Nikah,
maka digunakan,” imbuhnya.
Di Indonesia tercatat ada
5.382 KUA. Ada variasi lokasi
dan tingkat kesulitan yang
berbeda di setiap KUA. Maka
tidak bisa dikatakan bahwa apa
yang diberikan oleh masyarakat kepada Penghulu adalah
sebuah pungli. Namun pada
prekteknya, tidak demikian, di
Madiun, belum lama ini, ada
Penghulu yang harus berurusan
dengan hukum karena hal
tersebut.
Forum Komunikasi Kepala
Kantor Urusan Agama (FKKKUA) se-Jawa Timur menolak
pernikahan di luar Balai Nikah
KUA. Penolakan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah
masyarakat.
Ketua Komisi Bidang
Hukum dan Pemerintahan
DPRD Provinsi Jatim, Sabron
Djamil Pasaribu mengatakan,
penolakan itu merupakan aksi
menentang keras,” tegas
Sabron dikonfirmasi Senin
(2/12/2013).
Pertimbangan lain, di Jatim
sudah ada Perda Pelayanan
Publik dan Komisi Pelayanan
Publik yang menindaklanjuti
amanat Undang-Undang Pelayanan Publik. Setiap PNS, lanjutnya, harus mengedepankan
pelayanan publik bukan malah
minta dilayani. “Kepentingan
rakyat harus diatas segalanya,”
pinta Sabron.
Politisi Golkar itu juga
menolak pemberian pihak
mempelai kepada petugas
pencatat nikah digolongkan
pungli atau gratifikasi. Baginya,
kasus yang menimpa Kepala
KUA Kota Kediri itu dinilai
solidaritas petugas pencatat
akad nikah se-Jatim atas
kasus hukum yang menimpa
salah seorang rekan mereka di
Kediri.
Namun, Sabron tidak
sependapat jika akad nikah
diwajibkan di Balai Nikah KUA.
Sebab dalam Pasal 21 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor
11 Tahun 2007 memperbolehkan nikah di luar KUA asal atas
persetujuan kedua mempelai
dan mendapat persetujuan
petugas pencatat akad nikah.
“Itu adalah bentuk pelayanan kepada masyarakat. Kalau
KUA menolak menikahkan di
luar Kantor KUA itu namanya
sepihak. Jadi saya sangat
terlalu berlebihan.
“Jemput bola melayani
masyarakat itu bukan pungli
atau gratifikasi. Dan mereka
juga tidak pernah minta
dan mentarget, jadi jangan
terjebak pungli dan gratifikasi
karena pemberian kepada
mereka itu seikhlasnya,” tegas
Sabron.
Ketua Komisi Pelayanan Publik
(KPP) Jatim, Nuning Rodiyah
justru menilai aksi FKK KUA
se-Jatim itu bagian dari bentuk
pelanggaran terhadap pelayanan
publik. Alasannya, nikah di luar
KUA diperbolehkan sejak dulu tapi
justru disalahgunakan sehubungan
dengan biaya nikah di luar KUA
yang tanpa standar jelas.
join facebook.com/suryaonline
“Kesalahan tetap di Penghulu
yang seharusnya melayani.
Karena peluang biaya nikah di
luar aturan itu adalah konsensus bawah tangan antar para
pihak terkait,” jelas Nuning.
Karena itu, pihaknya
menyarankan supaya agar
kasus ini tidak berulang, maka
harus diselesaikan di beberapa
stakeholder agar nantinya ada
kepastian layanan publik.
Aksi Solidaritas
Forum Komunikasi Kepala
Kantor Urusan Agama (FKK
KUA) se-Jawa
Timur mengancam
tidak akan melayani akad nikah di
luar Balai Nikah.
Sebanyak, 661
orang Penghulu
mendeklarasikan
anti pungutan
liar di luar biaya
resmi nikah.
Itu disampaikan
menyusul dijebloskannya Kepala
KUA Kecamatan
Kota Kediri, Kamis
(28/12/2013), ke
penjara lantaran
diduga menerima
kelebihan biaya
nikah sebesar Rp10.000 tiap
prosesi pernikahan. Untuk
diketahui, biaya resmi hanya
sebesar Rp 30.000.
Koordinator FKK KUA Jatim
Samsu Thohari mengatakan,
kasus hukum yang menimpa
Kepala KUA tersebut terkesan
dipaksakan. Dalih adanya
pungli ataupun gratifikasi
justru mencoreng profesi KUA.
Padahal dalam praktiknya
petugas pencatat nikah tidak
menarik tarif lebih.
“Banyak yang minta dinikahkan di rumah, dan saat pulang,
petugas diberi uang transportasi. Itu kemudian dianggap
pungli ataupun gratifikasi,”
jelas Thohari.
Karena itu, sejak 1 November 2013, sebagian kabupaten/
kota di Jawa Timur menolak
menerima layanan di luar
Balai Nikah. Termasuk Kediri,
Jombang, Magetan.
Saran Dirjen Bimas Islam
Kemenag yang kemudian di lapangan langsung dipraktekkan
dengan kaku itu sebenarnya
cermin ketidakbijaksaan dan
ketidakmengertian pemimpin
di Negeri Bhinneka Tunggal
Ika ini. Tujuannya sih baik,
untuk membebeaskan korupsi
di KUA, tetapi penerapannya
yang kurang tepat. Karena
dengan berbagai macam tradisi
yang ada di Negeri tercinta ini,
dibutuhkan kematangan dan
kedewasaan seorang pemimpin
dalam mengambil keputusan
agar tidak terjadi keresahan
dalam masyarakat.
Ada baiknya, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) kembali harus
diberikan kepada calon-calon
pemimpin bangsa agar memahami ke-Bhinnekaan yang ada.
Tentu saja dengan koridorkoridor hukum yang berlaku,
kalau tradisi pernikahan itu
sejogjanya menurut hukum
Islam harus dilakukan orang
tua mempelai. Oleh sebab
itu, biasanya pengantin selalu
mengambil tempat di rumah
atau masjid, bukan di Kantor
KUA. Disamping itu, pelaksanaan nikha di hari dan jam kerja
ini yang sangat tidak manusiawi. Padahal masyarakat punya
tradisi sendiri menentukan
hari dan jam pernikahan. Nilai
kesakralan itulah yang diugemi
masyarakat. Kalau kemudian
tuan rumah memberikan uang
saku, hal itu sudah sewajarnya
sebagai ungkapan terima kasih
dan kebahagiaan pernikahan.
Kecuali kalau kemudian ada
aturan KAU yang mentargetkan
nominal untuk ongkos menikahkan, itu lain cerita.
(wahjoe harjanto)
follow @portalsurya
2. 2
SABTU 07 DESEMBER 2013 | surya.co.id | surabaya.tribunnews.com
Selamat Jalan Nelson Mandela
YANG DISANJUNG dan DICERCA
SURYA Online - Dunia boleh saja
memuja Nelson Mandela (95) sebagai
malaikat pembawa perdamaian yang
menghapus politik apartheid tanpa
pertumpahan darah, namun dalam
perspektif politik aspiratif, Mandela
adalah pemimpin yang gagal menjalankan misinya.
Nelson Mandela, keturunan aristokrat
lokal yang menjadi Presiden kulit hitam
pertama di Afrika Selatan itu akhirnya
berpulang ke rahmad Tuhan dengan
menyaksikan ketimpangan sosial yang
hendak diruntuhkannya justru semakin
menajam.
Betul bahwa kini praktik yang membagi hak-hak sipil berdasarkan warna
kulit telah lama hilang dari negara
yang menyebut dirinya sebagai Bangsa
Pelangi itu. Betul bahwa transisi politik
tersebut secara mengagumkan terjadi
tanpa pertumpahan darah yang banyak
berarti. Namun apa artinya kesetaraan
politik tanpa kesetaraan ekonomi?
Afrika Selatan memang kini menjadi
salah satu di antara sedikit negara
di Benua Afrika yang berpendapatan
menengah ke atas dengan pendapatan
perkapita sebesar 7.610 dolar AS, atau
dua kali lipat dari uang yang didapatkan
oleh rata-rata penduduk Indonesia
selama satu tahun.
Namun di sisi lain, indeks gini dari
Bank Dunia yang mengukur ketimpangan kesejahteraan masyarakat di suatu
negara menunjukkan bahwa Afrika Selatan adalah negara yang paling buruk di
dunia dalam hal distribusi kekayaan.
Koefisien 63,1 dalam survei terakhir
Bank Dunia jauh lebih buruk dibanding
masa awal kepemimpinan Mandela pada
1995. Angka ketimpangan kesejahteraan di Afrika Selatan itu hampir dua kali
lipat dari Indonesia (38,1) dan bahkan
masih jauh lebih tinggi dari negara
tetangganya baru seumur jagung, Sudan
Selatan (45,5).
Dan mudah untuk ditebak bahwa
tidak meratanya distribusi kekayaan
tersebut berbanding terbalik dengan
warna kulit. Pendapatan rumah tangga
kulit hitam yang jumlahnya mencapai
80 persen penduduk Afrika, hanya
seperenam (1/6) dari total pendapatan
kulit putih yang jumlah populasinya
tidak mencapai 20 persen.
Realitas inikah yang diharapkan
oleh Mandela menjelang kematiannya?
Semua orang yang ingat akan pesan
pendek Mandela yang ditulis pada
Januari 1990 dari dari dalam penjara
tentu akan menjawab tidak.
Dalam secarik kertas, Mandela menulis bahwa Nasionalisasi pertambangan,
bank, dan monopoli industri adalah
kebijakan organisasi African National
Congress (ANC)... (untuk) ... memberdayakan ekonomi kelompok kulit hitam
yang merupakan tujuan kami.”
join facebook.com/suryaonline
Itulah janji Madela kepada pendukung
setianya di luar penjara. Pemberdayaan ekonomi kulit hitam itulah yang
menjadi persoalan utama yang diangkat
dalam Freedom Charter, piagam yang
memuat tujuan utama dibentuknya
ANC oleh Mandela dan teman-teman
seperjuangannya.
Bagi Mandela dan ANC, apartheid
bukan hanya sistem politik yang
meregulasi siapa yang mempunyai hak
pilih tetapi juga sistem ekonomi yang
memungkinkan kelompok ras tertentu
mendapat keuntungan besar dari pertambangan dan pertanian karena kulit
hitam tidak diperbolehkan memiliki
alat-alat produksi.
Pesan Mandela dalam robekan kertas
pada 1990 menunjukkan sikap Sang
Pemimpin Revolusi pada saat itu yang
masih percaya bahwa kebebasan politik
tidak dapat dicapai tanpa redistribusi
kekayaan.
Lalu apa yang membuat sejarah menikam balik manusia berhati malaikat
seperti Mandela sehingga dia gagal
mencapai tujuannya? Dalam konteks
menjawab pertanyaan tersebut, ada
baiknya rekonstruksi peristiwa yang
diruntutkan oleh Naomi Klein menjelang berakhirnya rezim apartheid pada
akhir 1993.
Saat itu, negosiasi antara ANC dengan
Partai National milik rezim de Klerk dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama
mengurusi soal politik dan yang terakhir
soal ekonomi.
Pada bagian perundingan ekonomi
yang tidak terlalu mendapatkan perha-
tian publik itulah kelompok apartheid
mengajukan klausul independensi Bank
Sentral dengan imbalan penyerahan
hak-hak politik kepada kaum kulit
hitam. Dan persyaratan itulah yang
akhirnya disetujui.
Elit intelektual ANC yang tidak mengikuti perundingan memprotes keras
kesepakatan tersebut. Bagi mereka,
kebijakan moneter yang dieksekusi oleh
Bank Sentral harus ditujukan untuk
melayani kepentingan Freedom Charter,
yaitu redistribusi kekayaan, penciptaan
lapangan kerja, dan pertumbuhan
ekonomi.
Namun alih-alih mendengarkan
tuntutan pendukungnya, tim negosiator
yang dipimpin oleh Mandela justru bergerak lebih jauh lagi dengan memberikan kursi tertinggi Bank Sentral kepada
orang yang sama, yang memimpin
institusi penting di masa rezim apartheid, Chris Stals. Bahkan pos menteri
keuangan juga diberikan kepada tokoh
dari kelompok yang sama.
Menanggapi fenomena tersebut
Naomi Klein dalam bukunya The Shock
Doctrine menulis, rakyat Afrika Selatan
memang berhasil merebut kekuasaan,
namun cakupan kekuasaan tersebut
dengan cepat terkikis habis dan tidak
lagi punya kaki untuk mereformasi
ekonomi.
Redistribusi kekayaan yang dicitacitakan Freedom Charter dan pemberdayaan kulit hitam yang dijanjikan
Mandela kini menjadi tidak mungkin
dilakukan karena instrumen kebijakan
yang menentukan hal tersebut masih
dikuasai oleh kelompok lama.
Apartheid memang menyerahkan
sedikit kuenya kepada Mandela namun
mereka berhasil mempertahankan
sisi kekuasaan paling strategis yang
dimiliki. Ini bukan konsesi sementara
yang dibuat Mandela untuk memuluskan
transisi politik di Afrika Selatan pada
saat itu, agar tidak terjadi pertumpahan darah. Langkah tersebut lebih
mencerminkan perubahan keyakinan
Mandela mengenai bagaimana menjalankan roda ekonomi di negaranya.
Bandingkan pernyataan Mandela
Tahun 1992 ini dengan pesannya di
secarik kertas saat masih dipenjara,
Dalam kebijakan ekonomi...kami tidak
mengenal hal-hal seperti nasionalisasi,
dan hal ini bukan hal yang kebetulan...
tidak ada satupun slogan Partai ANC
yang mempunyai hubungan dengan
ideologi Marxist.
Mengenai perubahan sikap ini, The
New York Times pernah menulis bahwa
Tuan Mandela pada akhir-akhir ini
lebih mirip dengan Margareth Thatcher
daripada aktivis sosialis revolusioner
pada masa mudanya.
Mungkin hanya Mandela yang tahu
mengapa keyakinannya berubah. Namun
satu hal yang pasti, perubahan ideologi
tersebut justru membuat dia gagal
mencapai cita-citanya akan kesetaraan
hak politik dan ekonomi bagi seluruh
rakyat Afrika Selatan tanpa memandang
warna kulit. Bagaimanapun Nelson
Mandela telah membawa perubahan,
yang berarti perjuangan rakyat Afrika
Selatan belum selesai. (joe/antara)
follow @portalsurya