1. Serikat Buruh dan Media Propaganda
Oleh:
Alfa Gumilang
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG – Serikat Buruh dan Media Propaganda / 13 November 2015
H a l a m a n 2 | 7
Serikat Buruh dan Media Propaganda
oleh Alfa Gumilang
Upaya kaum pekerja rentan di Indonesia menggalang solidaritas menolak upah murah dan
pasar tenaga kerja fleksibel.
SELAMA apa yang disebut “reformasi” sesudah Soeharto turun pasca-1998, pelbagai organisasi
masyarakat dan partai politik bermunculan. Ia dampak positif dari kebebasan berorganisasi,
berserikat, dan berkumpul yang semula ditekan oleh pemerintahan tiga dekade Orde Baru.
Iklim terbuka itu juga mendorong kebebasan bagi buruh untuk berserikat—salah satu fase
penting dari gerakan buruh di masa itu yang sebelumnya dijinakkan dalam serikat tunggal atas
restu negara bernama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Kebijakan itu mengubah bentuk-bentuk negosiasi antara pemerintah, pengusaha, dan kaum
buruh—biasa disebut “tripartit”—dalam proses dan mekanisme kepengaturan tenaga kerja.
Dalam satu pasal dari undang-undang 13/2003 tentang ketenagakerjaan, misalnya, diatur apa
yang disebut “lembaga kerjasama tripartit”. Dan, melalui aturan turunannya berupa peraturan
pemerintah, forum itu diisi 45 orang dengan pembagian seimbang dari ketiga pihak, dengan
masa jabatan tiga tahun.
Pada 25 Agustus 2015, misalnya, lewat sidang resmi kementerian tenaga kerja yang membahas
verifikasi anggota serikat pekerja, tercatat 6 konfederasi di dalam forum lembaga tripartit di
tingkat nasional. Mereka adalah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Konfederasi Serikat
Pekerja Nasional, Sarikat Buruh Muslimin Indonesia, dan Federasi Kahutindo (sektor kayu,
kehutan, dan perkebunan). Sementara berdasarkan pendataan kementerian tahun 2014, ada
sekira 100 federasi, 6.808 serikat pekerja, dan 170 serikat perusahaan pelat merah yang
meliputi 1.678.364 anggota serikat buruh. Jumlah anggota serikat ini masih sangat minim
dibandingkan jumlah pekerja formal sekira 46,6 juta orang (BPS, Agustus 2014).
Kendati ada langkah legal yang mengatur perburuhan di masa reformasi—termasuk undang-
undang 2/2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial—era pasca-Soeharto
juga ditandai sebagai rezim pasar tenaga kerja fleksibel. Ia mengatur sistem kerja kontrak dan
outsourcing (diatur dalam UU Ketenagakerjaan) selain upah buruh murah (dari warisan Orde
Baru). Kebijakan macam itu kian mendekatkan relasi ekonomi-politik Indonesia ke dalam
mekanisme pasar global.
Dalam pengantar Buruh Menuliskan Perlawanannya (2015), memuat catatan refleksi dan
metode pembelajaran ke-15 aktivis buruh yang bergulat dalam dinamika berserikat, rezim itu
mendorong buruh yang memasuki awal abad 21 ke dalam dunia “angkatan kerja”—istilah
teknokratis untuk usia 15–64 tahun—sebagai “generasi yang masa mudanya dirampas oleh
pabrik dan masa depannya dihancurkan oleh sistem outsourcing.”
3. PINDAI.ORG – Serikat Buruh dan Media Propaganda / 13 November 2015
H a l a m a n 3 | 7
Situasi ekonomi-politik yang merugikan kaum buruh dan kelompok pekerja rentan lainnya,
dengan sejumlah beleid yang menguntungkan pengusaha, telah memperkeras gabungan serikat
buruh melakukan demonstrasi dan pemogokan. Hingga rentang 2010 tercatat aksi gerakan
buruh yang menolak revisi (pengurangan) pasal pesangon dalam UU Ketenagakerjaan (lewat
Aliansi Buruh Menggugat tahun 2006), dan aksi mogok serikat pekerja BUMN tahun 2008 dari
Angkasa Pura I (melayani kawasan tengah dan timur Indonesia) untuk menuntut perbaikan
kesejahteraan. Aksi terakhir itu membentuk aliansi dari pelbagai sektor buruh yang tergabung
dalam Komite Solidaritas Nasional. Aliansi ini membawa agenda perlawanan terhadap
pemberangusan serikat buruh, privatisasi BUMN, dan sistem tenaga kerja fleksibel. Kelak
komite ini membangun Konfederasi Serikat Nasional (KSN).
Protes besar-besaran serikat buruh meningkat sesudahnya termasuk dua kali “mogok nasional”
pada 2011-2012. Periode ini ditandai terbentuknya Majelis Pekerja Buruh Indonesia pada Hari
Buruh Internasional (1 Mei 2012) yang terdiri tiga konfederasi (KSPSI, KSBSI, dan KSPI).
Mereka dikenali lewat barisan Garda Metal (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) dan
Brigade SPSI dalam setiap aksi besar.
Tuntutan lewat protes nonlitigasi ini mendorong gerakan serikat yang lebih besar dan makin
militan ketika proses litigasi lebih cenderung memihak kaum majiikan sekalipun lewat saluran
lembaga kerjasama tripartit. Buruh diperas tenaganya, dikepung oleh pelbagai regulasi, dan
diperlakukan buruk yang merendahkan martabat manusia—sebagaimana misalnya terbaca
dalam sejumlah kesaksian lewat Buruh Menuliskan Perlawanannya.
Geruduk Pabrik
Sepanjang 2012, gerakan buruh di Bekasi, Jawa Barat—salah satu situs industri terpenting dan
kantung massa buruh terbesar di Indonesia—memiliki satu metode yang unik dalam
memobilisasi dan mengadvokasi kasus-kasus perburuhan. Bernama “geruduk pabrik”, taktik itu
dipakai oleh kaum buruh dari pabrik-pabrik lain untuk menggeruduk satu pabrik yang
mengebiri hak buruhnya. Aksi seperti ini terus dijalankan hingga tuntutan buruh di pabrik itu
diakomodasi. Para buruh yang menggeruduk itu, dengan nada sinsime yang sehat,
menyebutnya tengah melakukan “hajatan”.
Menurut Simon, pengurus pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), informasi
“hajatan” diperoleh dari pesan pendek serta, misalnya, jejaring sosial grup Facebook “Buruh
Bekasi Bergerak”. Biasanya buruh yang “hajatan” akan memberikan informasi detail sehingga
rekan-rekan buruh dari pabrik lain dapat mengetahui dan ikut bersolidaritas.
Kendati protes berkisar masalah normatif yang membelit buruh seperti aturan outsourcing
(pasal 66 dalam UU Ketenagakerjaan), tapi taktik “geruduk pabrik” telah memberi skema
gerakan solidaritas antarburuh, antarkawasan, dan antarkota. Aksi itu tidak terjadi secara
spontan tapi direncanakan lewat organisasi dan konsolidasi gerakan. Protes via “geruduk
pabrik” tidak berhenti sekadar “hajatan”, melainkan diikuti pemogokan oleh para buruh di
pabrik bersangkutan. Metode ini menurun intensitasnya setelah para pengusaha menyewa
tenaga preman bayaran untuk mengancam pengurus serikat buruh bahkan keselamatan pribadi
dan keluarga mereka.
4. PINDAI.ORG – Serikat Buruh dan Media Propaganda / 13 November 2015
H a l a m a n 4 | 7
Aksi premanisme macam itu kerap dipakai oleh sebagian besar perusahaan di banyak tempat
dan sektor usaha lain. Gunanya, apa yang sering kita dengar, membereskan “kerja-kerja kotor”
di luar sistem tapi bebas dari pantuan hukum. Peran mereka, dengan kata lain, menjaga karpet
merah investasi dari gangguan eksternal, dan berkat itu mereka dijamin oleh kekuasaan legal.
Dalam catatan di Facebook, Danial Indrakusuma menulis bahwa UU Ketenagakerjaan tidak bisa
sepenuhnya membela hak dan kepentingan buruh, terlebih lagi membela buruh kontrak dan
buruh outsourcing. Yang hanya bisa membela buruh adalah “negosiasi dengan cara tekanan
massa”. Pendeknya, gerakan buruh tidak semata menyandarkan nasibnya pada proses hukum
(yang biasanya berlarut-larut) ataupun beragam mediasi di belakang meja dengan perusahaan
dan pemerintah (yang umumnya diundur-undur). Mobilisasi massa sebagai sebuah tekanan
politik dan solidaritas antarburuh telah jadi modal gerakan untuk mengatasi masalah mereka.
Protes di jalanan masih jadi metode penting bagi kaum buruh. Ini akan dilakukan ketika mereka
menghadapi rezim upah murah lewat aturan baru PP Pengupahan 78/2015. Kaum buruh juga
bisa sangat sadar memakai terbitan internal dan media sosial sebagai media pendidikan dan
propaganda di tengah media arus utama menepikan suara mereka.
Menolak PP Pengupahan
Pada 12 Oktober 2015, dua pemimpin serikat buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia—dua serikat yang dikenal radikal—diundang oleh
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri di kantornya. Hanif seakan berusaha melobi dan
meyakinkan mereka untuk menerima pengesahan PP Pengupahan. Sehari kemudian, Hanif
mengundang seluruh pemimpin serikat buruh dalam satu pertemuan bertajuk “dialog sosial
ketenagakerjaan” di Hotel Bidakara, Jakarta. Acara itu lebih banyak mensosialisasikan draf PP
Pengupahan tapi para pemimpin serikat menolaknya.
Alasan mendasarnya, selain tidak melibatkan unsur serikat buruh dalam merancang PP
Pengupahan, juga formulasi upah buruh yang mengabaikan standar kebutuhan hidup layak.
Poin penolakan lain: Peran serikat buruh yang diamputasi dalam melakukan advokasi dan
dialog melalui dewan pengupahan dalam penentuan kenaikan upah setiap tahun. Rancangan itu
secara berjalan ditentukan oleh pemerintah dengan taksiran inflasi plus pertumbuhan ekonomi.
Ia mengabaikan peran serikat menyurvei kebutuhan hidup layak serta dialog tripartit dalam
penentuan upah.
Ekspresi penolakan serikat buruh diabaikan dan kemudian mereka menggelar aksi di luar
Istana Negara pada 15 Oktober ketika pemerintah mengumukan paket baru kebijakan ekonomi
yang secara spesifik mengatur perburuhan. Sehari berikutnya, Menteri Hanif Dhakiri
mengumpulkan para pemimpin redaksi dari beragam media untuk menjelaskan PP
Pengupahan. Esok harinya banyak pemberitaan bernada positif tentang formulasi pengupahan
terbaru.
PP Pengupahan kemudian diteken oleh Presiden Jokowi pada 23 Oktober 2015 sebelum
lawatannya ke Amerika Serikat. Setelah itu, selama seminggu sampai 30 Oktober 2015, serikat-
serikat buruh melakukan aksi besar di Istana Negara.
5. PINDAI.ORG – Serikat Buruh dan Media Propaganda / 13 November 2015
H a l a m a n 5 | 7
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
Konsolidasi serikat buruh dalam menolak PP Pengupahan menjadi intens. Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia, misalnya, dalam satu bulan sebelum PP 78 disahkan, mereka mengadakan
pertemuan nasional dengan para pemimpin daerah setiap dua minggu sekali. Lalu rapat-rapat
konsolidasi setiap pengurus daerah dan pengurus serikat di tingkat pabrik. KSPI bahkan secara
rutin mengirimkan siaran pers ke media setiap dua hari, menurut Roni Febrianto,
penanggungjawab divisi informasi dan komunikasi konfederasi itu.
Berbeda dari pengalaman tahun 2012, dengan memakai media sosial seperti Facebook sebagai
sarana komunikasi, konsolidasi menolak PP Pengupahan tak seintens memakai perangkat
media sosial, terlebih bila berbagai informasi internal. Agaknya, kegagalan mereka
merencanakan aksi duduki jalan tol tahun 2014 jadi evaluasi penting dalam menapis informasi
untuk tujuan kampanye dan kepentingan internal. Aksi menuntut penaikan upah itu terhadang
lebih dulu oleh pasukan kepolisian sebelum massa buruh memasuki pintu tol. Aksi mereka
terdeteksi sebelumnya lewat media sosial.
Kini, saat menolak PP Pengupahan, mereka lebih banyak berkomunikasi lewat WhatsApp untuk
merancang aksi. Adapun kampanye dan propaganda dibagikan lewat situswebnya, serta terbitan
internal “Koran Perdjoeangan” yang diklaim beroplah sekira 7.000 eksemplar per bulan.
Kendati pengurus serikat belum sampai mengukur secara efektif antara kampanye dan
meningkatnya kesadaran buruh dalam topik mutakhir macam PP Pengupahan untuk
memobilisasi massa, tetapi mereka mengaku lalu lintas kunjungan ke situswebnya naik dan
bahkan harus menambah besar bandwith. Pengurus serikat sadar bahwa media arus utama
lebih condong menyuarakan sumber dari pengusaha dan pemerintah, dan acapkali
pemberitaannya menyudutkan buruh. Ada sikap skeptis dari mereka terhadap media besar.
Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
Menurut Agus Bobo, koordiniator agitasi dan propaganda, KASBI membangun kesadaran
anggota serikatnya lewat selebaran, melakukan diskusi di tingkat pabrik, melalui sosial media
Facebook dan situsweb, serta terbitan internal “Bintang Buruh” (klaimnya beroplah sekira
15.000 eksemplar per bulan). Ajakan untuk aksi menolak PP Pengupahan bisa berjalan di
lingkaran konfederasi, kendati ragu mampu melibatkan buruh di luar serikat.
Daya jangkau melibatkan “buruh yang belum terorganisir”—istilah lazim bagi buruh non-
serikat—tergantung besaran isu yang mengancam hak buruh secara mendasar. Sebelum PP
Pengupahan diteken, menurut Agus Bobo, pelbagai media besar memberitakan bahwa kenaikan
upah pasti terjadi sebagaimana disampaikan Menteri Hanif Dhakiri dalam sejumlah
kesempatan. Dalam PP Pengupahan, upah buruh memang naik setiap tahun tapi mayoritas
serikat menolaknya karena meniadakan proses rundingan buruh menghitung standar
kehidupan layak.
Artinya, protes menentang PP Pengupahan sangat mungkin dilakukan bagi buruh yang
berserikat—yang memahami standar upah layak lewat pendidikan politiknya; sementara isu
tersebut terdistorsi lewat pemberitaan media besar. Ini berbeda dari isu revisi UU
Ketenagakerjaan pada 2006 yang akan meniadakan pesangon PHK, menurut Agus Bobo. Isu itu
6. PINDAI.ORG – Serikat Buruh dan Media Propaganda / 13 November 2015
H a l a m a n 6 | 7
direspons oleh mayoritas buruh—baik yang berserikat maupun tidak—karena dikenali langsung
akan menimpa semua buruh. Agus mengatakan, mobilisasi anti-PP Pengupahan akhirnya “lebih
bergantung pada kemampuan organisasi serikat” dalam menggalang kekuatan internal, dan
“hanya sedikit” yang mampu merangkul kalangan buruh non-serikat.
Sesudah Aksi 30 Oktober
Sebelum aksi besar di Jakarta, serikat-serikat buruh menggalang protes di masing-masing
kawasan sentra industri seperti di Tangerang, Cakung, Karawang, Subang, dan Purwakarta. Di
grup Facebook beranggotakan individu-individu buruh seperti “Gerakan Revolusi Buruh
Indonesia”, mereka memajang foto-foto di jalan. Bahkan pada 28 Oktober, Kawasan Industri
Bukit Indah City di Purwakarta terlihat lumpuh dari aktivitas produksi karena aksi besar
mereka.
Puncaknya, pada 30 Oktober jam 7 malam di depan istana, pasukan polisi membubarkan aksi
dengan melakukan kekerasan serta penangkapan terhadap 22 buruh, seorang mahasiswa, dan
dua pengacara publik. Beredar foto-foto di dunia maya yang menggambarkan brutalitas polisi
membungkam protes buruh, terutama oleh 30-an polisi berseragam biru gelap dari “Turn Back
Crime”.
Keadaan mengendur di Jakarta, tetapi demonstrasi buruh tetap jalan di kawasan. Tidak hanya
di sisir kawasan Jakarta, tetapi di kota-kota lain yang jadi pusat industri. Rencananya aksi ini
bermuara pada “mogok nasional” pada 24-27 November 2015.
Tetapi, pemerintahan Joko Widodo sudah siap dengan antisipasi. Selain memengaruhi ruang
redaksi hampir semua media besar (dalam mendistorsi isu), dan menurunkan kesatuan-
kesatuan polisi di kawasan pabrik (menghadang demo buruh), pemerintah menginstruksikan
dinas tenaga kerja di daerah-daerah untuk “mensosialisasikan” PP Pengupahan. Setidaknya
sudah ada 19 provinsi yang telah menetapkan upah minimum provinsi sesuai perhitungan baru.
Isu PP Pengupahan bisa terbaca positif bila bersumber dari mayoritas media besar. Aksi-aksi
buruh bilapun diberitakan bukanlah menjadi halaman utama. Terlebih bila melihat
kecenderungan media massa yang dimiliki para pengusaha-cum-politisi yang jadi bagian dari
lingkaran pemerintahan Jokowi. Atau nada pemberitaan yang cenderung mendorong
“investasi”.
Menurut Said Iqbal, presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, isu “PHK” kerap
dimainkan oleh kalangan Asosiasi Pengusaha Indonesia atau lewat Sofjan Wanandi (mantan
ketua Apindo yang kini tim penasihat wakil presiden Jusuf Kalla). Tujuannya, pengusaha bisa
diuntungkan dari kebijakan-kebijakan terbaru yang diambil pemerintah.
Hal sama dikatakan Sunarno dari Federasi Serikat Buruh Nusantara, berbasis di Tangerang
Raya, Ia berkata, baik ada krisis maupun tidak, PHK buruh pasti tetap ada namun tidak sebesar
yang dihebohkan oleh media. Biasanya isu PHK memang muncul di media menjelang akhir
tahun pada saat penentuan penaikan upah buruh.
Di tengah ruang redaksi dari media besar yang kian meminggirkan suara buruh,
pertarungannya nanti adalah bagaimana kalangan buruh melakukan pendidikan politik. Juga
7. PINDAI.ORG – Serikat Buruh dan Media Propaganda / 13 November 2015
H a l a m a n 7 | 7
penyebaran kampanye atas isu dan masalah yang merugikan hak mereka lewat media
internalnya. Sekaligus memanfaatkan media sosial dalam memperluas jangakuan isu lintas-
sektoral dan lintas-kelas. Setidaknya isu mereka dapat terserap sebagai topik penting bagi
kelompok pekerja rentan lainnya. Selain, tentu saja, apa yang terus dilakukan oleh serikat-
serikat buruh untuk menjaring anggota lebih besar diiringi advokasi dan pendidikan yang sadar
kelas.[]
Catatan pengiring:
- Kebijakan pasca-Soeharto dalam bentuk regulasi terkait artikel ini:
• PP 78/2015 tentang Pengupahan http://bit.ly/1QxIaPR
• Undang-Undang 21/ 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh http://bit.ly/1Qkkak4
• Undang-Undang 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan http://bit.ly/1Y6CfU7
• UU 2/ 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial http://bit.ly/1llElkL
• PP 46/ 2008 tentang LKS Tripartit http://bit.ly/20OJnXo
- Verifikasi kementerian tenaga kerja unsur buruh dalam Lembaga Kerjasama Tripartit merujuk artikel “Inilah Komposisi Anggota
Forum LKS Tripartit”, Kabar Buruh, 25 Agustus 2015: http://bit.ly/1QxJnqm (diakses 2 Nov 2015)
- Jumlah serikat buruh dan lainnya. Angka dalam naskah ini merujuk artikel “Inilah Data Serikat Pekerja di Indonesia”,
Hukum Online, 29 Juli 2015, http://bit.ly/1SLh86J (diakses 2 Nov 2015). Bandingkan berita Kompas.com yang mencatat 8
konfederasi, 101 federasi, 11.852 serikat, 170 serikat BUMN dengan jumlah anggota serikat seluruhnya 3.414.455 orang; “Menaker
Minta Serikat Buruh/ Pekerja Tidak Jadikan Pemerintah Sebagai Lawan”, 10 Maret 2015 http://bit.ly/1LbPYj5 (diakses 9 Nov
2015). Dalam “epilog” Buruh Menuliskan Perlawanannya: Data anggota serikat sama dari rujukan berita Kompas.com tetapi
keterangan lain berbeda (11.766 serikat, 90-an federasi). Berdasarkan data dewan pimpinan pusat FSPMI dari kementerian tenaga
kerja (6 Agustus 2015), ada 110 federasi, 9 konfederasi, dan 1.395.855 anggota serikat yang terverifikasi (versi konfederasi sekira 1.9
juta). Inkonsistensi data ini sangat mungkin terjadi karena ada beberapa konfederasi yang saling tidak mengakui satu sama lain.
Misal ada konfederasi yang pecah, masing-masing tidak saling mengakui tapi merasa mewakili seluruh serikat sebelum pecah.
Persoalan lain, serikat tidak melaporkan diri ke dapartemen tenaga kerja. Ada juga konfederasi yang sengaja tak masuk dalam
lembaga kerjasama tripartit karena tak mau dikooptasi pemerintah. Hal semacam ini bikin pencatatan jadi simpang siur.
- Data pekerja formal menurut BPS (Agustus 2014), lihat http://bit.ly/1krqrO0 (diakses 9 Nov 2015).
- Pasar tenaga kerja fleksibel, dalam istilah dari UU Ketenagakerjaan, disebut sebagai “perjanjian kerja waktu tertentu” untuk
sistem kerja kontrak (pasal 56–59) dan “perjanjian pemborongan pekerjaan” untuk sistem outsourcing (pasal 65-66).
- Rujukan “geruduk pabrik” pada bagian para buruh melakukan “hajatan” secara terorganisir dan disertai pemogokan, lihat
catatan refleksi Danial Indrakusuma di Facebook, “Rachmat, Tarikh (Sejarah), Hidayah dan Rekomendasi” (14 September 2012):
http://on.fb.me/1Qkkrn7 (diakses 10 November 2012). Bagian aksi premanisme yang membungkam taktik “geruduk pabrik”, lihat
refleksi lain oleh Sherr Rinn, “Kemunduran Gerakan Buruh Setelah 2012”, Koran Pembebasan, 1 Juni 2015, http://bit.ly/1MZ6lqH
(diakses 10 Nov 2015).
- Catatan kritis Danial Indrakusuma terhadap UU Ketenagakerjaan merujuk pada notes Facebook, “Catatan-catatan Tercecer
tentang Buruh Outsourching dan Buruh Kontrak,” 20 Juni 2012, http://on.fb.me/1SLhudG (diakses 10 Nov 2015).
- Menteri Hanif Dhakiri mengumpulkan para pemimpin redaksi, lihat “Menaker Kumpulkan Pemred Media Jelaskan PP
Pengupahan,” Kabar Buruh, 17 Oktober 2015, http://bit.ly/1Pq2yD7 (diakses 5 Nov 2015).
- Konteks dan penggambaran kesatuan polisi berseragam “Turn Back Crime” yang bertindak brutal terhadap demonstrasi
buruh pada 30 Oktober, lihat opini Azhar Irfansyah, “Ada Apa dengan Polisi dan Buruh Kita,” Geo Times, 8 November 2015,
http://bit.ly/1HD06qa (diakses 10 Nov 2015).