SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 14
Baixar para ler offline
1


        BEBERAPA MASALAH SUKSESI NEGARA DALAM KASUS TIMOR TIMUR

                                    Huala Adolf



                                        ABSTRACT

This article discusses the background of the doctrine of the
succession of state and its development in international law. A
particular attention is given to the issue of succession of
states following the separation of East Timor from Indonesia. A
number of problems that appear in relation to the separation of
East Timor from Indonesia are the status of the Indonesian
government’s assets and the status of the agreement on Timor Gap.
The article concludes that East Timor case is a unique
development in relation to the succession of state.


Pendahuluan

        Suksesi negara adalah salah satu obyek pengkajian klasik
dalam hukum internasional publik. Oscar Schachter mengungkapkan
bahwa    "State    succession       is     one   of    the    oldest     subjects    of
                          1
international      law."       Meskipun    sudah      menjadi    obyek     kajian   yang
telah lama, namun hukum internasional masih belum jelas mengatur
masalah ini. Czaplinski menyatakan bahwa hukum suksesi negara
“... is one of the underdeveloped areas of international law.”2

        Dewasa    ini   kajian     terhadap      bidang       ini   kembali    menarik
perhatian    cukup      besar    dari     para   sarjana      hukum    internasional.
Sebab utamanya adalah cukup banyaknya negara baru yang lahir.
Tercerai-berainya        Uni    Sovyet     (Rusia)      dan     pecahnya    Yugoslavia
menjadi beberapa negara baru pada tahun 1991 adalah keadaan di
mana perhatian terhadap suksesi negara menjadi signifikan.

1
  Oscar Schachter, "The Once and Future Law,", 33 Va.J.Int'l.L., 253
(1993), terkutip dalam Carter and Trimble, Carter and Trimble,
International Law, Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995, hlm.
480.
2
  Wladyslaw Czaplinski, “Equity and Equitable Principles in the Law of
State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The
Hague: Martinus Nijhoff, 1999, hlm. 61; Budi Lazarusli dan Syahmin
A.H., Suksesi negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional,
2


        Indonesia    sendiri    juga    menghadapi    masalah   ini.    Pertama
adalah     lepasnya     Timor    Timur    dari     Indonesia    dan    kemudian
menyatakan        kemerdekaannya         (dengan      bantuan         masyarakat
internasional yang tergabung dalam PBB). Kedua, adalah masalah
suksesi    negara     yang   terkait     dengan    perjanjian   internasional
ketika Mahkamah Internasional memeriksa sengketa pulau Sipadan-
Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia (1997-2002).3



Hukum Internasional mengenai Suksesi Negara

        Hukum internasional positif yang mengatur bidang ini masih
belum ada. Belum ada aturan baku yang menjadi acuan atau mengikat
bagi negara-negara.4 Praktek telah pula menunjukkan bahwa tidak
ada aturan yang dapat diterima umum sebagai hukum internasional.5
Hal ini agak mengherankan, mengingat hukum internasional telah
lama berupaya mengatur bidang ini.6

        Hukum yang ada dari sejak awal perkembangan di bidang hukum
ini adalah berbagai perjanjian bilateral antara negara baru dan
lama.    Contoh     klasik   mengenai    perjanjian   bilateral   ini     adalah
Perjanjian tahun 1919 yakni the Treaty of Paris yang mengatur


Bandung: Remadja Karya, 1986, hlm. 2; lihat pula:               John    O’Brien,
International Law, London: Cavendish, 2001, hlm. 587
3
  Dalam sengketa pulau Sipadan-Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia
menyatakan bahwa mereka masing-masing berhak atas kepemilikan kedua
pulau kecil ini berdasarkan suksesi. Argumen ini ditoleh oleh Mahkamah
Internasional (Lihat paras. 93, 94 dan 96, ICJ, Case Concerning
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia),
(Report).
4
  Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet.2., 2001, hlm. 40.
5
  D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet
and Maxwell, 5th., ed., 2000, hlm. 128.
6
   Menurut Santiago Torres Bernandez, para sarjana telah berupaya
menggambarkan pengaturan bidang ini sejak tahun 1880. Pada waktu itu
sarjana berkebangsaan Perancis Selosse telah menulis karyanya berjudul
Traité de l'annexion au territoire francais et de son déinembrement,
Paris (1880). (Lihat: Santiago Torres Bernandez, "Succession of
States," dalam: R. Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements and
Prospects, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ. - UNESCO, 1991, hlm
392.
3


utang-utang publik (negara lama) yang beralih kepada negara baru,
yaitu Hungaria.7

        Upaya   pembentukan     hukum      atau     perjanjian       internasional
mengenai hal ini bukannya tidak ada. Kekosongan hukum mengenai
bidang hukum ini telah mendorong Komisi Hukum Internasional PBB
(International     Law   Commission     atau      ILC)    untuk     mengkodifikasi
hukum internasional di bidang hukum ini.

        Tahun 1978, ILC mengesahkan Konvensi Wina mengenai suksesi
negara dalam kaitannya dengan perjanjian. Lalu pada tahun 1983,
ILC juga mengesahkan Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam
kaitannya dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara.
Khususnya untuk Konvensi Wina 1983, Konvensi ini mensyaratkan 15
ratifikasi agar Konvensi dapat berlaku efektif. Namun hingga ini
                                                                     8
baru diketahui hanya 5 negara saja yang meratifikasi

        Mengapa bidang ini begitu sulit untuk mendapat pengaturan
hukum internasional? Masalahnya adalah, pertama, di dalam suksesi
negara terkait di        dalamnya berbagai faktor hukum                  dan faktor-
faktor non-hukum lainnya yang melekat. Faktor-faktor ini tampak
cukup    banyak   mengingat     kasus-kasus       yang     menyangkut       lahirnya
suksesi negara ini satu sama lainnya tidak sama.

        Karena itu, untuk memahami masalah ini, pertama-tama perlu
terlebih    dahulu   memahami      sifat    hukum    daripada       negara:    yakni
batasan dan sifat negara, fungsi-fungsi hukum dari unsur-unsur
negara, akibat-akibat hukum dari perubahan suatu wilayah, dll.

        Pertimbangan faktor-faktor lainnya yang berperan penting di
samping faktor hukum, misalnya, adalah akibat-akibat yang lahir
sehubungan      dengan   terjadinya        suksesi       negara.     Sesungguhnya,
terdapat     berbagai    masalah     yang    lahir       yang      perlu    mendapat

7
  The Treaty of Paris atau the Treaty of St Germain, Trianon and Paris
adalah perjanjian yang menentukan status Rumania sebagai suatu negara
baru (Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford:
Clarendon press, 5th.ed., 1998., hlm. 657 [n]).
4


pengaturan yang tegas. Misalnya, masalah nasionalitas atau status
hukum seseorang, masalah perbatasan, dll.

        Kedua,    dalam    praktek    ternyata       tidak    jarang     suatu     negara
(baru)     menganggap      dirinya        bukanlah    negara      baru     dalam    arti
sebenarnya. Sehingga karenanya suksesi negara sebenarnya tidak
ada atau tidak terjadi. Misalnya, pada tahun 1991, negara baru
Federasi     Rusia   menyatakan       bahwa    negaranya      sebenarnya      bukanlah
negara baru, tetapi merupakan kelanjutan dari Uni Sovyet (negara
lama yang bubar).9 Sama halnya dengan kasus Timor Timur. Ketika
Timor     Timur     memisahkan       diri     dari    RI,     Konstitusinya         masih
menganggap bahwa hari kemerdekaannya bukanlah pada tahun 1999
ketika lepas dari RI, tetapi tahun 1975.



Suksesi Negara dan Timor Timur

        Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan
kemudian membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai
masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya dua pendapat yang
saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar.

        Indonesia     menganggap       Timur       Timur     adalah      wilayah    yang
sebelumnya       telah    resmi    menjadi     bagian      wilayah    Indonesia      pada
tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan
diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi
negara pada waktu itu.

        Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang
menganggap        peristiwa       tahun     1976     tersebut     adalah      tindakan
pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena
itu,    ketika     Timor    Timur    lepas     dari     wilayah      Indonesia,      yang




8
  Ibrain F.I. Shihata, “Matters of State Succession in the World Bank
Practice,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The Hague:
Martinus Nijhoff, 1999, hlm 76.
9
    John O’Brien, Op.cit., hlm 588.
5


terjadi         bukanlah           suksesi        negara,      tetapi       “pengembalian
                 10
kedaulatan”.

        Terlepas apakah telah terjadi suksesi negara atau tidak,
masalah mengenai status aset harta kekayaan pemerintah Indonesia
yang     berada       di    wilayah     Timor      Timur     (Timor     Leste)     ternyata
kemudian menjadi masalah kedua negara. Dari fakta ini, menurut
penulis,     suksesi         negara     telah      terjadi.     Wilayah     Timor     Timur
sebelumnya adalah wilayah pendudukan (Portugis sebelum diambil
alih     Indonesia),          bukan     wilayah      merdeka.      Karena    itu     dengan
lepasnya     Timor         Timur    dari      Indonesia     pada   tahun     1999,    telah
terjadi     pemisahan         wilayah       dan    kemudian    telah     lahirnya     suatu
negara baru. Artinya, telah terjadi suatu proses suksesi negara.



Aset Pemerintah RI

        Sewaktu       Timor    Leste       menyatakan       “perpisahannya”       dari   RI,
masalah yang segera timbul adalah bagaimanakah status hukum aset-
aset pemerintah RI yang ada di dalam wilayah negara tersebut.
Pendirian RI dan Timor Leste berbeda. RI berpendapat bahwa aset-
asetnya di wilayah itu tidak secara otomatis beralih, tetapi
status     tersebut        harus     atau     tunduk   kepada      aturan-aturan      hukum
internasional yang berlaku.

        Sebaliknya         Timor      Leste    berpendapat      bahwa      aset    tersebut
adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya.11

        Sudah     diakui      umum,     suksesi      terhadap      harta    benda    (aset)
publik dari negara yang diambil alih adalah suatu prinsip hukum


10
     Boer Mauna, Op.cit., hlm. 48.
11
   Penulis tidak menemukan satu pasal pun dalam Konstitusi Timor Leste
yang baru (2001). Namun ada satu pasal dalam Konstitusi yang mungkin
menjadi penafsiran pemerintah Timor Leste yang digunakan untuk
pendirian   tersebut.   Section  139   dari  Konstitusi   Timor  Leste
menyebutkan: “The resources of the soil, the subsoil, the territorial
waters, the continental shelf and the exclusive economic zone, which
are essential to the economy, shall be owned by the State and shall be
used in a fair and equitable manner in accordance with national
interests.”
6


kebiasaan internasional. Praktek negara-negara mengakui suksesi
negara    baru    terhadap      aset   atau    harta   kekayaan      milik     negara
sebelumnya.

       Sarjana terkemuka yang memiliki otoritas di bidang kajian
ini, yakni D.P. O'Connell, mengemukakan bahwa negara pengganti
(successor state) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
hak milik dari negara yang digantikannya.

       Konvensi Wina 1983 tidak membedakan harta benda publik dan
privat. Konvensi lebih menekankan kepada perlakuan yang seragam
dari harta benda negara (State property). Tampaknya yang menjadi
alasan Konvensi untuk tidak memberikan pembedaan ini karena tidak
adanya    kriteria     dalam    hukum    kebiasaan     internasional         mengenai
pengertian harta negara ini.

       Berdasarkan        Konvensi     1983,   harta    benda       negara    (State
property) adalah        "property, rights        and interests       (in a legal
sense) which, at the date of the succession of State, were owned
by that State." Dengan kata lain, harta benda negara adalah harta
benda, hak dan kepentingan (dalam arti hukum) yang dimiliki oleh
negara pada waktu terjadinya suksesi negara.

       Dalam     hal   negara    pengganti     (succession    States)        tersebut
bukan suatu negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya
mencari    kesepakatan       (agreement).       Manakala     para     pihak    tidak
berhasil       mencapai     kesepakatan,       pada    prinsipnya      benda-benda
bergerak yang berada di dalam wilayah negara pengganti beralih
kepada negara tersebut.

       Pasal 17 (1) (b) Konvensi 1983 menjelaskan lebih lanjut
bahwa harta benda bergerak yang beralih tersebut adalah harta
benda yang ada         kaitannya dengan kegiatan negara yang diganti
(lama) di wilayah yang sekarang menjadi milik negara pengganti.
Tidak termasuk dalam hal ini adalah harta benda yang diperoleh
oleh     negara    yang     digantikan     sebelum,      misalnya,      terjadinya
kolonisasi atas wilayah yang sekarang menjadi negara pengganti
(baru). Sedangkan         harta benda bergerak lainnya di              mana suatu
7


bagian wilayah terpisah harus dibagi berdasarkan pembagian yang
adil ("equitable proportion").12

        Namun dalam hal negara pengganti adalah suatu negara yang
baru     merdeka     (newly      independent       State),     maka   kesepakatan     di
antara para pihak tidak diperlukan (Pasal 15 (1) (b)). Demikian
pula negara baru merdeka ini juga mewarisi harta benda bergerak
yang semula "milik" wilayah yang sekarang menjadi negara baru
meredeka       selama    jangka     waktu    wilayah     tersebut      masih     dimiliki
negara lama.13

        Ketentuan       yang     sama    juga     berlaku    terhadap     harta     benda
bergerak yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang
sekarang merdeka.14

        Dari    uraian     di    atas    tampak    bahwa     Konvensi    internasional
memberi     hak     kepada      negara   yang     baru   merdeka      untuk     mengklaim
dirinya sebagai pemilik baru atas aset negara lama. Dalam hal
ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas
aset negara RI yang berada di sana.

        Pada    umumnya,        negara-negara      mempunyai     hukum    nasional-nya
yang mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor
Leste telah dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi
negara      dalam       Undang-Undang       Nomor     24     tahun      2000    mengenai
Perjanjian Internasional. Namun UU ini hanya mengatur suksesi
negara      dalam        kaitannya       dengan       status     hukum         perjanjian
internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya aturan
susesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah negara
baru.

        Contoh      lain     sebagai     perbandingan        adalah     hukum    Amerika
Serikat (AS). Pengaturan Suksesi Negara dalam hukum AS terdapat
dalam the Foreign Relations Law. Menurut Section 209 UU ini,
"Subject       to   agreement      between      the   predecessor       and     successor

12
     Pasal 17 (1) (c) Konvensi 1983.
13
     Pasal 15 (1) (b) Konvensi 1983.
14
     Pasal 15 (1) d-f Konvensi 1983.
8


states, title to state property passes as follows: ... (c) where
part   of   a    state    becomes     a    separate     state,    property        of   the
predecessor      state    located     in    the     territory    of    the    new   state
passes to the new state."

       Hukum Amerika Serikat tersebut tampak senada dengan hukum
nasional (Konstitusi) Timor Leste. Namun yang menarik dari hukum
AS ini adalah bahwa kepemilikan tersebut akan beralih apabila ada
kesepakatan      di    antara     para     pihak.    Artinya,    ia     tidak    beralih
secara otomatis.

       Dari ulasan di atas, tampak ada persamaan berikut. Aset
negara lama (RI) yang terdapat di dalam wilayah negara yang baru
merdeka pada prinsipnya beralih menjadi milik negara yang baru
merdeka. Ketentuan ini ditegaskan dalam Konvensi Wina 1983, hukum
AS dan hukum Timor Leste [Sic!].

       Permasalahannya adalah, apakah Konvensi Wina 1983 bersifat
mengikat?       Dan,    apakah    hukum      nasional    dapat        dipakai    sebagai
pedoman dalam sengketa sekarang ini?

       Pertama,        Konvensi    1983      pada     prinsipnya       tidak     berlaku
terhadap    Indonesia        karena        Indonesia     tidak        meratifikasinya.
Meskipun demikian, Konvensi 1983 dapat berfungsi atau dianggap
sebagai sumber hukum berupa doktrin. Dalam hal ini                              ketentuan
dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari pendapat dari para ahli
hukum internasional terkemuka (para anggota ILC).

       Kedua, status hukum nasional yang mengatur masalah suksesi
negara. Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang
tentu tidak berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum
nasional tersebut tidak mengikat RI.

       Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi
ketentuan       mengenai     suksesi         negara     antara        hukum      nasional
(Konstitusi Timor Leste) dengan hukum internasional tidak jauh
beda. Artinya, klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset negara
RI memiliki dasar hukum yang cukup kuat.
9




Status Perjanjian Timor Gap

        Masalah   hukum   lain   yang     mendapat      sorotan   di     tanah   air
adalah status Perjanjian Timor Gap (Timor Gap Treaty) antara RI
dan Australia. Masalah hukum yang lahir adalah:

1) Apakah Perjanjian Timor Gap masih berlaku setelah Timor Timur
lepas dari wilayah RI? dan

2) Kalau jawaban pertanyaan 1) di atas adalah negatif, apakah
Timor    Barat    mempunyai    hak     atas    sumber   daya   alam      di   landas
kontinen di wilayah Timor Gap berdasarkan hukum internasional,
khususnya Konvensi Hukum Laut 1982?

        Perjanjian Timor Gap mengikat Indonesia setelah diundangkan
dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini merupakan
pengaturan       sementara    antara     RI    –   Australia      yang    ditempuh
mengingat upaya kedua negara dalam menetapkan garis batas landas
kontinennya di wilayah Timor Gap gagal meskipun perundingan untuk
itu telah berlangsung cukup lama (sekitar 10 tahun).

        Kendala    utamanya   adalah     perbedaan      pandangan      para    pihak
mengenai prinsip hukum yang diterapkan di Timor Gap dan mengenai
situasi    geomorfologis      landas     kontinen      di   wilayah    Timor     Gap.
Daripada    masalah    penetapan       garis   batas    berlarut-larut,        kedua
pihak sepakat untuk mengadakan pengaturan sementara. Pengaturan
sementara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 3 Konvensi
Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan:

        “Pending agreement as provided for in paragraph 1, the
        Sates concerned, in a spirit of understanding and co-
        operation,   shall  make   every   effort   to  enter  into
        provisional arrangements of a practical nature and, during
        this transitional period, not to jeopardize or hamper the
        reaching of the final agreement. Such arrangements shall be
        without prejudice to the final delimitation ... “
        Wilayah yang menjadi sengketa dibagi ke dalam tiga zona,
yakni zona A, B, dan C. Zona A adalah wilayah tumpang tumpang
tindih (overlapping) atau daerah sengketa (disputed area). Di
10


zona ini kedua pihak sepakat untuk membagi keuntungan “fifty-
fifty”. Zona ini adalah daerah landas kontinen yang di Selatan
dibatasi oleh klaim maksimum Indonesia (median line), dan di
utara dibatasi oleh klaim maksimum Australia (di Palung Timor
atau Timor Trough). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, dan
sesuai   dengan     praktek     negara,    negara-negara    yang    bersangkutan
dapat membuat perjanjian untuk menjadikan disputed area tersebut
sebagai joint development zone atau zona pengembangan bersama
                                                       15
dengan pembagian keuntungan “fifty-fifty”.

      Zona B adalah zona di mana             Indonesia menuntut bagian dari
keuntungan yang diperoleh Australia atas daerah landas kontinen
yang memang berada di bawah yurisdiksi Australia karena terletak
di   luar   batas     klaim    maksimal    Indonesia    (terletak    di   sebelah
selatan median line). Hal ini dimaksudkan untuk kompensasi bagi
garis batas landas kontinen berdasarkan Perjanjian tahun 1972
yang kurang menguntungkan Indonesia (terlalu dekat dengan pantai
Indonesia). Sebabnya adalah ketentuan hukum laut yang berlaku
waktu itu kurang        menguntungkan Indonesia. Karena itu, Zona B
merupakan keuntungan tambahan bagi Indonesia karena di samping
memperoleh separuh dari hasil di Zona A, Indonesia memperoleh 16%
dari hasil yang diperoleh Australia di daerah yang seharusnya
merupakan daerah yurisdiksi eksklusif Australia.16

      Namun untuk dapat menerima usulan Indonesia mengenai Zona B
tersebut, dan atas dasar permintaan Australia untuk keseimbangan,
Australia menuntut agar ada daerah kecil di sebelah utara klaim
maksimal Australia (di utara Palung Timor) di mana Australia akan
“memperoleh”      10%   dari     “keuntungan”    di    daerah   tersebut,   yang
kemudian dinamakan Zona C yang sejak semula sudah diketahui oleh
kedua belah pihak           sebagai daerah    yang tidak prospektif. Jadi
sebenarnya     Zona     C     ditetapkan   dan   disepakati     sekedar     untuk



15
   Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa-deplu.go.
id/policy/releases/2001/celahtimor.htm>.
16
   Deplu, Ibid.
11


menampung        keinginan         Australia       untuk        menciptakan       suatu
keseimbangan tanpa merugikan Indonesia.

        Menyusul jejak pendapat di Timor Timur tanggaal 30 agustus
1999 di mana penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI,
pemerintah mengeluarkan TAP MPR No V/MPR/1999 yang menerima jejak
pendapat tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No
VI/MPR/1976 tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI.
Dengan    keluarnya       TAP     MPR   tahun   1999    tersebut,       pemerintah   RI
berpendapat Perjanjian Timor Gap telah kehilangan hukumnya.

        Dasar    hukum     yang    digunakan    pemerintah       untuk     pendapatnya
tersebut        adalah     berdasarkan      pada       sumber     hukum    perjanjian
internasional        tentang       berakhirnya      perjanjian          internasional.
Pemerintah berpendapat bahwa apabila obyek dari suatu perjanjian
berubah, maka perubahan tersebut dapat dijadikan dasar oleh kedua
belah pihak untuk mengakhir perjanjian.17

        Menurut hemat penulis, pendapat pemerintah RI ini kurang
tepat. Memang benar salah satu alasan untuk mengakhiri perjanjian
internasional adalah karena berubahnya obyek perjanjian {Sic!].18
Namun masalahnya adalah, obyek perjanjian ini yaitu wilayah Timor
Gap   tidak      berubah.    Alasan     yang    tampaknya       lebih    tepat    adalah
alasan suksesi negara, yaitu terpisahnya wilayah Timor Timur dari
wilayah RI dan hilangnya kedaulatan RI atas wilayah Timor Timur.
Dengan beralihnya kedaulatan atas wilayah Timor Timur ini kepada
Timor    Leste,     maka    kejadian     ini    dapat    dijadikan       alasan   untuk
                                           19
mengakhiri Perjanjian Timor Gap.

        Kedua    negara     melalui     penandantangan      Exchange       of    Letters
tanggal 1 Juni 2000 sepakat untuk mengakhiri Timor Gap Treaty
yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2000. Dengan demikian,


17
   Deplu, Ibid.
18
   Cf., pasal 61 Konvensi Wina 1969 menggunakan istilah ‘destruction’
atau ‘disappearance’ of the object of the treaty.
19
   D.J. Harris, Op.cit., hlm. 844 (beliau menyatakan bahwa:”the law of
state succession applies where a state party to a treaty ceases to
exist”).
12


perjanjian tersebut tidak berlaku                    lagi dan wilayah Timor Gap
karenanya bergantung kepada perjanjian atau kesepakatan antara
Timor     Timor     dan    Australia.       Terserah      kepada        kedua    negara    ini
apakah     mereka     akan       merundingkan      penetapan          garis    batas     landas
kontinennya atau juga membuat pengaturan sementara seperti yang
dilakukan antara RI – Australia.

        Masalah hukum kedua adalah apakah Timor Barat mempunyai hak
atas     sumber     daya    alam    di     wilayah    landas          kontinen    Timor     Gap
berdasarkan       hukum     internasinal,          khususnya      Konvensi       Hukum     Laut
1982.

         Daerah      yang    dinamakan       Timor     Gap       adalah       daerah     landas
kontinen di antara Timor-Timur dan Australia, yaitu daerah yang
terletak di antara dua titik dasar pada pulau Timor, yaitu di
sebelah      timur        pada    titik      median       line        antara     pulau     Leti
(Indonesia) dan pulau Yako (Timor-Timur), dan di sebelah barat
pada titik mulut sungai Mota Masin di perbatasan Timor-Timur dan
NTT, yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian RI-Australia tahun
1972. Daerah tersebut dinamakan Timor Gap karena adanya gap atau
celah di mana garis batas landas kontinen kedua negara belum
dapat ditetapkan karena adanya perbedaan posisi antara Portugal -
dan kemudian Indonesia- dengan Australia mengenai cara menarik
garis batas landas kontinen di daerah itu.20

        Dengan      demikian      daerah     di    sebelah       Barat    dan    Timur     dari
Timor     Gap    tidak      termasuk      Timor    Gap,    dan        garis    batas     landas
kontinen     antara       kedua     negara    di    kedua    daerah        tersebut      sudah
ditetapkan berdasarkan Perjanjian tahun 1972.

        Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa dengan lepasnya
Timor-Timur dari wilayah RI, Indonesia (termasuk Timor Barat)
tidak     lagi    mempunyai        hak   terhadap     landas          kontinen    di     daerah
                                                                 21
“Timor Gap” berdasarkan hukum internasional.




20
     Deplu, Ibid.
13


Penutup

        Dari uraian di atas, tampak bahwa terlepasnya Timor Timur
dari wilayah RI merupakan masalah suksesi negara. Dua masalah
yang serta merta lahir daripadanya, yakni masalah status aset
pemerintah RI di wilayah Timor Leste dan status Perjanjian Timor
Gap     merupakan   sebagian   kecil   saja     masalah    yang   timbul   dari
terlepasnya Timor Timur dari RI.

        Kasus Timor Timur juga menunjukkan bahwa masalah suksesi
negara ini semakin relevan dewasa ini. Kasus ini sekaligus juga
menunjukkan bahwa hukum mengenai suksesi negara ini berkembang
dan kasus ini memiliki kekhasannya. Kasus ini di samping masalah
klasik yang melekat setelah terjadinya proses suksesi negara,
yakni     masalah     status   aset    negara    lama,     juga   terdapatnya
perjanjian     yang   jenisnya   bukan   perjanjian       perbatasan,   tetapi
pengaturan sementara. Karena itu, doktrin atau prinsip hukum yang
berlaku umum untuk masalah perbatasan ini, yakni                  doktrin uti
possidetis, tidak berlaku dalam kasus ini.



                               Daftar Pustaka


Bernardez, Santiago Torres, "Succession of States," dalam: R.
     Bedjaoui   (ed.),   International  Law:   Achievements   and
     Prospects, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ. - UNESCO,
     1991.
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi
     dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet.2., 2001.
Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Oxford:
     Clarendon press, 5th.ed., 1998.
Budi Lazarusli dan Syahmin S.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya
     dengan Perjanjian Internasional, Bandung: Remadja Karya,
     1986.
Carter, Barry E., and Phillip R. Trimble, International Law,
     Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995.




21
     Deplu, Ibid.
14


Czaplinski, Wladyslaw, “Equity and Equitable Principles in the
     Law of State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.),
     Succession of States, The Hague: Martinus Nijhoff, 1999.
Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa-
     deplu.go.id/policy/releases/2001/celahtimor.htm>
Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, London:
     Sweet and Maxwell, 5th.ed., 2000.
Mrak, Mojmir (ed.), Succession of States, The Hague: Martinus
     Nijhoff Publ., 1999.
O’Brien, John, International Law, London: Cavendish, 2001.
Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law,
     New York: Oceana Publ., 1986.
Schachter, Oscar, "The Once and Future Law,", 33 Va.J.Int'l.L.,
     253 (1993), dalam: Carter and Trimble, International Law,
     Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995.
Watson, Geoffrey R., “The Law of State Succession,” dalam: Ellen
     G. Schaffer and Randall J. Snyder, Contemporary Practice of
     Public International Law, New York: Oceana, 1997.

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1Bambang Rimalio
 
Proses Pembuatan Perjanjian Internasional
Proses Pembuatan Perjanjian InternasionalProses Pembuatan Perjanjian Internasional
Proses Pembuatan Perjanjian InternasionalNidya Milano
 
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalEkstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalDimebag Darrell
 
Perjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesia
Perjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesiaPerjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesia
Perjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesiaAang Gustaffi
 
Hubungan internasional dan organisasi internasional
Hubungan internasional dan organisasi internasionalHubungan internasional dan organisasi internasional
Hubungan internasional dan organisasi internasionalLiananda Indri Putri
 
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalYurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalNuelnuel11
 
Pkn perjanjian internasional XI IPA 1 Smanik
Pkn perjanjian internasional XI IPA 1 SmanikPkn perjanjian internasional XI IPA 1 Smanik
Pkn perjanjian internasional XI IPA 1 SmanikFahrizal Hari
 
Perjanjian internasional
Perjanjian internasionalPerjanjian internasional
Perjanjian internasionalIrma Nurmahesa
 
HUKUM PERIKATAN & PERJANJIAN
HUKUM PERIKATAN & PERJANJIANHUKUM PERIKATAN & PERJANJIAN
HUKUM PERIKATAN & PERJANJIANFair Nurfachrizi
 
HAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANG
HAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANGHAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANG
HAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANGFair Nurfachrizi
 
Perjanjian internasional (PKn)
Perjanjian internasional (PKn)Perjanjian internasional (PKn)
Perjanjian internasional (PKn)Iswi Haniffah
 
Hukum perdata perjanjian-perikatan
Hukum perdata perjanjian-perikatanHukum perdata perjanjian-perikatan
Hukum perdata perjanjian-perikatanDin Haidiati
 
Hukum Perdata 1
Hukum Perdata 1Hukum Perdata 1
Hukum Perdata 1iycdf
 
Perjanjian Internasional
Perjanjian InternasionalPerjanjian Internasional
Perjanjian InternasionalDini Islamiana
 
Pengertian dan ruang lingkup hukum perikatan copy
Pengertian dan ruang lingkup hukum perikatan   copyPengertian dan ruang lingkup hukum perikatan   copy
Pengertian dan ruang lingkup hukum perikatan copyIAIN Ponorogo
 
Negara serikat
Negara serikatNegara serikat
Negara serikatVJ Asenk
 
Teori terbentuknya negara
Teori terbentuknya negaraTeori terbentuknya negara
Teori terbentuknya negaraDony Rizal
 

Mais procurados (20)

Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1Silabus hukum-internasional-pp1
Silabus hukum-internasional-pp1
 
Proses Pembuatan Perjanjian Internasional
Proses Pembuatan Perjanjian InternasionalProses Pembuatan Perjanjian Internasional
Proses Pembuatan Perjanjian Internasional
 
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalEkstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
 
Perjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesia
Perjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesiaPerjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesia
Perjanjian internasional yang dilakukan oleh indonesia
 
Hubungan internasional dan organisasi internasional
Hubungan internasional dan organisasi internasionalHubungan internasional dan organisasi internasional
Hubungan internasional dan organisasi internasional
 
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalYurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
 
Pkn perjanjian internasional XI IPA 1 Smanik
Pkn perjanjian internasional XI IPA 1 SmanikPkn perjanjian internasional XI IPA 1 Smanik
Pkn perjanjian internasional XI IPA 1 Smanik
 
Perjanjian internasional
Perjanjian internasionalPerjanjian internasional
Perjanjian internasional
 
HUKUM PERIKATAN & PERJANJIAN
HUKUM PERIKATAN & PERJANJIANHUKUM PERIKATAN & PERJANJIAN
HUKUM PERIKATAN & PERJANJIAN
 
HAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANG
HAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANGHAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANG
HAPUSNYA PERIKATAN & HAK YANG DAPAT MENJADI JAMINAN PIUTANG
 
Hub internasional
Hub internasionalHub internasional
Hub internasional
 
Perikatan (perjanjian)
Perikatan (perjanjian)Perikatan (perjanjian)
Perikatan (perjanjian)
 
Perjanjian internasional (PKn)
Perjanjian internasional (PKn)Perjanjian internasional (PKn)
Perjanjian internasional (PKn)
 
Hukum perdata perjanjian-perikatan
Hukum perdata perjanjian-perikatanHukum perdata perjanjian-perikatan
Hukum perdata perjanjian-perikatan
 
Hukum Perdata 1
Hukum Perdata 1Hukum Perdata 1
Hukum Perdata 1
 
Perjanjian Internasional
Perjanjian InternasionalPerjanjian Internasional
Perjanjian Internasional
 
Pengakuan
PengakuanPengakuan
Pengakuan
 
Pengertian dan ruang lingkup hukum perikatan copy
Pengertian dan ruang lingkup hukum perikatan   copyPengertian dan ruang lingkup hukum perikatan   copy
Pengertian dan ruang lingkup hukum perikatan copy
 
Negara serikat
Negara serikatNegara serikat
Negara serikat
 
Teori terbentuknya negara
Teori terbentuknya negaraTeori terbentuknya negara
Teori terbentuknya negara
 

Semelhante a 5 a huala suksesi negara

KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...
KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE  BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE  BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...
KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...Law Firm "Fidel Angwarmasse & Partners"
 
Pengertian negara
Pengertian negaraPengertian negara
Pengertian negarafeni oetari
 
Persengketaan wilayah
Persengketaan wilayahPersengketaan wilayah
Persengketaan wilayahAyu Aliyatun
 
Materi pkn kelas x semester ganjil
Materi pkn kelas x semester ganjilMateri pkn kelas x semester ganjil
Materi pkn kelas x semester ganjilMuhammadAbduArRahman
 
BAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPT
BAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPTBAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPT
BAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPTArpat67
 
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum InternasionalPKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum InternasionalYudistira Ydstr
 
Peristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan Kedaulatan
Peristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan KedaulatanPeristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan Kedaulatan
Peristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan KedaulatanSMAK Diponegoro Blitar
 
Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)cavGa1
 
Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan)
 Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan) Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan)
Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan)David Adi Nugroho
 
Negara dan konstitusi
Negara dan konstitusiNegara dan konstitusi
Negara dan konstitusinanda_auliana
 
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"elanurlaela _aiueo
 
DInamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
DInamika Kehidupan Berbangsa dan BernegaraDInamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
DInamika Kehidupan Berbangsa dan BernegaraAldi Aldinar
 

Semelhante a 5 a huala suksesi negara (20)

KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...
KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE  BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE  BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...
KEDAULATAN ATAS WILAYAH LAUT TIMOR–LESTE BERDASAR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASI...
 
Pengertian negara
Pengertian negaraPengertian negara
Pengertian negara
 
Model
ModelModel
Model
 
Persengketaan wilayah
Persengketaan wilayahPersengketaan wilayah
Persengketaan wilayah
 
Sejarah
SejarahSejarah
Sejarah
 
Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
 
Materi pkn kelas x semester ganjil
Materi pkn kelas x semester ganjilMateri pkn kelas x semester ganjil
Materi pkn kelas x semester ganjil
 
BAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPT
BAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPTBAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPT
BAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU NEGARA FIX PPT
 
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum InternasionalPKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
 
Peristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan Kedaulatan
Peristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan KedaulatanPeristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan Kedaulatan
Peristiwa - Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan Kedaulatan
 
Hubungan warga negara(mustina3)
Hubungan warga negara(mustina3)Hubungan warga negara(mustina3)
Hubungan warga negara(mustina3)
 
Sejarah
SejarahSejarah
Sejarah
 
Pkn Kel 4
Pkn Kel 4Pkn Kel 4
Pkn Kel 4
 
Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)
 
Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan)
 Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan) Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan)
Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI melalui Diplomasi (Perundingan)
 
Negara dan konstitusi
Negara dan konstitusiNegara dan konstitusi
Negara dan konstitusi
 
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
PKn Kelas XI "Sengketa internasional"
 
DInamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
DInamika Kehidupan Berbangsa dan BernegaraDInamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
DInamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
 
Konsepsi negara
Konsepsi negaraKonsepsi negara
Konsepsi negara
 
Sejarah hi
Sejarah hiSejarah hi
Sejarah hi
 

5 a huala suksesi negara

  • 1. 1 BEBERAPA MASALAH SUKSESI NEGARA DALAM KASUS TIMOR TIMUR Huala Adolf ABSTRACT This article discusses the background of the doctrine of the succession of state and its development in international law. A particular attention is given to the issue of succession of states following the separation of East Timor from Indonesia. A number of problems that appear in relation to the separation of East Timor from Indonesia are the status of the Indonesian government’s assets and the status of the agreement on Timor Gap. The article concludes that East Timor case is a unique development in relation to the succession of state. Pendahuluan Suksesi negara adalah salah satu obyek pengkajian klasik dalam hukum internasional publik. Oscar Schachter mengungkapkan bahwa "State succession is one of the oldest subjects of 1 international law." Meskipun sudah menjadi obyek kajian yang telah lama, namun hukum internasional masih belum jelas mengatur masalah ini. Czaplinski menyatakan bahwa hukum suksesi negara “... is one of the underdeveloped areas of international law.”2 Dewasa ini kajian terhadap bidang ini kembali menarik perhatian cukup besar dari para sarjana hukum internasional. Sebab utamanya adalah cukup banyaknya negara baru yang lahir. Tercerai-berainya Uni Sovyet (Rusia) dan pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara baru pada tahun 1991 adalah keadaan di mana perhatian terhadap suksesi negara menjadi signifikan. 1 Oscar Schachter, "The Once and Future Law,", 33 Va.J.Int'l.L., 253 (1993), terkutip dalam Carter and Trimble, Carter and Trimble, International Law, Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995, hlm. 480. 2 Wladyslaw Czaplinski, “Equity and Equitable Principles in the Law of State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The Hague: Martinus Nijhoff, 1999, hlm. 61; Budi Lazarusli dan Syahmin A.H., Suksesi negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional,
  • 2. 2 Indonesia sendiri juga menghadapi masalah ini. Pertama adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan kemudian menyatakan kemerdekaannya (dengan bantuan masyarakat internasional yang tergabung dalam PBB). Kedua, adalah masalah suksesi negara yang terkait dengan perjanjian internasional ketika Mahkamah Internasional memeriksa sengketa pulau Sipadan- Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia (1997-2002).3 Hukum Internasional mengenai Suksesi Negara Hukum internasional positif yang mengatur bidang ini masih belum ada. Belum ada aturan baku yang menjadi acuan atau mengikat bagi negara-negara.4 Praktek telah pula menunjukkan bahwa tidak ada aturan yang dapat diterima umum sebagai hukum internasional.5 Hal ini agak mengherankan, mengingat hukum internasional telah lama berupaya mengatur bidang ini.6 Hukum yang ada dari sejak awal perkembangan di bidang hukum ini adalah berbagai perjanjian bilateral antara negara baru dan lama. Contoh klasik mengenai perjanjian bilateral ini adalah Perjanjian tahun 1919 yakni the Treaty of Paris yang mengatur Bandung: Remadja Karya, 1986, hlm. 2; lihat pula: John O’Brien, International Law, London: Cavendish, 2001, hlm. 587 3 Dalam sengketa pulau Sipadan-Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia menyatakan bahwa mereka masing-masing berhak atas kepemilikan kedua pulau kecil ini berdasarkan suksesi. Argumen ini ditoleh oleh Mahkamah Internasional (Lihat paras. 93, 94 dan 96, ICJ, Case Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia), (Report). 4 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet.2., 2001, hlm. 40. 5 D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 5th., ed., 2000, hlm. 128. 6 Menurut Santiago Torres Bernandez, para sarjana telah berupaya menggambarkan pengaturan bidang ini sejak tahun 1880. Pada waktu itu sarjana berkebangsaan Perancis Selosse telah menulis karyanya berjudul Traité de l'annexion au territoire francais et de son déinembrement, Paris (1880). (Lihat: Santiago Torres Bernandez, "Succession of States," dalam: R. Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements and Prospects, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ. - UNESCO, 1991, hlm 392.
  • 3. 3 utang-utang publik (negara lama) yang beralih kepada negara baru, yaitu Hungaria.7 Upaya pembentukan hukum atau perjanjian internasional mengenai hal ini bukannya tidak ada. Kekosongan hukum mengenai bidang hukum ini telah mendorong Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission atau ILC) untuk mengkodifikasi hukum internasional di bidang hukum ini. Tahun 1978, ILC mengesahkan Konvensi Wina mengenai suksesi negara dalam kaitannya dengan perjanjian. Lalu pada tahun 1983, ILC juga mengesahkan Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam kaitannya dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara. Khususnya untuk Konvensi Wina 1983, Konvensi ini mensyaratkan 15 ratifikasi agar Konvensi dapat berlaku efektif. Namun hingga ini 8 baru diketahui hanya 5 negara saja yang meratifikasi Mengapa bidang ini begitu sulit untuk mendapat pengaturan hukum internasional? Masalahnya adalah, pertama, di dalam suksesi negara terkait di dalamnya berbagai faktor hukum dan faktor- faktor non-hukum lainnya yang melekat. Faktor-faktor ini tampak cukup banyak mengingat kasus-kasus yang menyangkut lahirnya suksesi negara ini satu sama lainnya tidak sama. Karena itu, untuk memahami masalah ini, pertama-tama perlu terlebih dahulu memahami sifat hukum daripada negara: yakni batasan dan sifat negara, fungsi-fungsi hukum dari unsur-unsur negara, akibat-akibat hukum dari perubahan suatu wilayah, dll. Pertimbangan faktor-faktor lainnya yang berperan penting di samping faktor hukum, misalnya, adalah akibat-akibat yang lahir sehubungan dengan terjadinya suksesi negara. Sesungguhnya, terdapat berbagai masalah yang lahir yang perlu mendapat 7 The Treaty of Paris atau the Treaty of St Germain, Trianon and Paris adalah perjanjian yang menentukan status Rumania sebagai suatu negara baru (Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon press, 5th.ed., 1998., hlm. 657 [n]).
  • 4. 4 pengaturan yang tegas. Misalnya, masalah nasionalitas atau status hukum seseorang, masalah perbatasan, dll. Kedua, dalam praktek ternyata tidak jarang suatu negara (baru) menganggap dirinya bukanlah negara baru dalam arti sebenarnya. Sehingga karenanya suksesi negara sebenarnya tidak ada atau tidak terjadi. Misalnya, pada tahun 1991, negara baru Federasi Rusia menyatakan bahwa negaranya sebenarnya bukanlah negara baru, tetapi merupakan kelanjutan dari Uni Sovyet (negara lama yang bubar).9 Sama halnya dengan kasus Timor Timur. Ketika Timor Timur memisahkan diri dari RI, Konstitusinya masih menganggap bahwa hari kemerdekaannya bukanlah pada tahun 1999 ketika lepas dari RI, tetapi tahun 1975. Suksesi Negara dan Timor Timur Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar. Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi negara pada waktu itu. Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang 8 Ibrain F.I. Shihata, “Matters of State Succession in the World Bank Practice,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The Hague: Martinus Nijhoff, 1999, hlm 76. 9 John O’Brien, Op.cit., hlm 588.
  • 5. 5 terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian 10 kedaulatan”. Terlepas apakah telah terjadi suksesi negara atau tidak, masalah mengenai status aset harta kekayaan pemerintah Indonesia yang berada di wilayah Timor Timur (Timor Leste) ternyata kemudian menjadi masalah kedua negara. Dari fakta ini, menurut penulis, suksesi negara telah terjadi. Wilayah Timor Timur sebelumnya adalah wilayah pendudukan (Portugis sebelum diambil alih Indonesia), bukan wilayah merdeka. Karena itu dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999, telah terjadi pemisahan wilayah dan kemudian telah lahirnya suatu negara baru. Artinya, telah terjadi suatu proses suksesi negara. Aset Pemerintah RI Sewaktu Timor Leste menyatakan “perpisahannya” dari RI, masalah yang segera timbul adalah bagaimanakah status hukum aset- aset pemerintah RI yang ada di dalam wilayah negara tersebut. Pendirian RI dan Timor Leste berbeda. RI berpendapat bahwa aset- asetnya di wilayah itu tidak secara otomatis beralih, tetapi status tersebut harus atau tunduk kepada aturan-aturan hukum internasional yang berlaku. Sebaliknya Timor Leste berpendapat bahwa aset tersebut adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya.11 Sudah diakui umum, suksesi terhadap harta benda (aset) publik dari negara yang diambil alih adalah suatu prinsip hukum 10 Boer Mauna, Op.cit., hlm. 48. 11 Penulis tidak menemukan satu pasal pun dalam Konstitusi Timor Leste yang baru (2001). Namun ada satu pasal dalam Konstitusi yang mungkin menjadi penafsiran pemerintah Timor Leste yang digunakan untuk pendirian tersebut. Section 139 dari Konstitusi Timor Leste menyebutkan: “The resources of the soil, the subsoil, the territorial waters, the continental shelf and the exclusive economic zone, which are essential to the economy, shall be owned by the State and shall be used in a fair and equitable manner in accordance with national interests.”
  • 6. 6 kebiasaan internasional. Praktek negara-negara mengakui suksesi negara baru terhadap aset atau harta kekayaan milik negara sebelumnya. Sarjana terkemuka yang memiliki otoritas di bidang kajian ini, yakni D.P. O'Connell, mengemukakan bahwa negara pengganti (successor state) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari hak milik dari negara yang digantikannya. Konvensi Wina 1983 tidak membedakan harta benda publik dan privat. Konvensi lebih menekankan kepada perlakuan yang seragam dari harta benda negara (State property). Tampaknya yang menjadi alasan Konvensi untuk tidak memberikan pembedaan ini karena tidak adanya kriteria dalam hukum kebiasaan internasional mengenai pengertian harta negara ini. Berdasarkan Konvensi 1983, harta benda negara (State property) adalah "property, rights and interests (in a legal sense) which, at the date of the succession of State, were owned by that State." Dengan kata lain, harta benda negara adalah harta benda, hak dan kepentingan (dalam arti hukum) yang dimiliki oleh negara pada waktu terjadinya suksesi negara. Dalam hal negara pengganti (succession States) tersebut bukan suatu negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya mencari kesepakatan (agreement). Manakala para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pada prinsipnya benda-benda bergerak yang berada di dalam wilayah negara pengganti beralih kepada negara tersebut. Pasal 17 (1) (b) Konvensi 1983 menjelaskan lebih lanjut bahwa harta benda bergerak yang beralih tersebut adalah harta benda yang ada kaitannya dengan kegiatan negara yang diganti (lama) di wilayah yang sekarang menjadi milik negara pengganti. Tidak termasuk dalam hal ini adalah harta benda yang diperoleh oleh negara yang digantikan sebelum, misalnya, terjadinya kolonisasi atas wilayah yang sekarang menjadi negara pengganti (baru). Sedangkan harta benda bergerak lainnya di mana suatu
  • 7. 7 bagian wilayah terpisah harus dibagi berdasarkan pembagian yang adil ("equitable proportion").12 Namun dalam hal negara pengganti adalah suatu negara yang baru merdeka (newly independent State), maka kesepakatan di antara para pihak tidak diperlukan (Pasal 15 (1) (b)). Demikian pula negara baru merdeka ini juga mewarisi harta benda bergerak yang semula "milik" wilayah yang sekarang menjadi negara baru meredeka selama jangka waktu wilayah tersebut masih dimiliki negara lama.13 Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap harta benda bergerak yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang sekarang merdeka.14 Dari uraian di atas tampak bahwa Konvensi internasional memberi hak kepada negara yang baru merdeka untuk mengklaim dirinya sebagai pemilik baru atas aset negara lama. Dalam hal ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas aset negara RI yang berada di sana. Pada umumnya, negara-negara mempunyai hukum nasional-nya yang mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor Leste telah dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi negara dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Namun UU ini hanya mengatur suksesi negara dalam kaitannya dengan status hukum perjanjian internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya aturan susesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah negara baru. Contoh lain sebagai perbandingan adalah hukum Amerika Serikat (AS). Pengaturan Suksesi Negara dalam hukum AS terdapat dalam the Foreign Relations Law. Menurut Section 209 UU ini, "Subject to agreement between the predecessor and successor 12 Pasal 17 (1) (c) Konvensi 1983. 13 Pasal 15 (1) (b) Konvensi 1983. 14 Pasal 15 (1) d-f Konvensi 1983.
  • 8. 8 states, title to state property passes as follows: ... (c) where part of a state becomes a separate state, property of the predecessor state located in the territory of the new state passes to the new state." Hukum Amerika Serikat tersebut tampak senada dengan hukum nasional (Konstitusi) Timor Leste. Namun yang menarik dari hukum AS ini adalah bahwa kepemilikan tersebut akan beralih apabila ada kesepakatan di antara para pihak. Artinya, ia tidak beralih secara otomatis. Dari ulasan di atas, tampak ada persamaan berikut. Aset negara lama (RI) yang terdapat di dalam wilayah negara yang baru merdeka pada prinsipnya beralih menjadi milik negara yang baru merdeka. Ketentuan ini ditegaskan dalam Konvensi Wina 1983, hukum AS dan hukum Timor Leste [Sic!]. Permasalahannya adalah, apakah Konvensi Wina 1983 bersifat mengikat? Dan, apakah hukum nasional dapat dipakai sebagai pedoman dalam sengketa sekarang ini? Pertama, Konvensi 1983 pada prinsipnya tidak berlaku terhadap Indonesia karena Indonesia tidak meratifikasinya. Meskipun demikian, Konvensi 1983 dapat berfungsi atau dianggap sebagai sumber hukum berupa doktrin. Dalam hal ini ketentuan dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari pendapat dari para ahli hukum internasional terkemuka (para anggota ILC). Kedua, status hukum nasional yang mengatur masalah suksesi negara. Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang tentu tidak berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum nasional tersebut tidak mengikat RI. Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi ketentuan mengenai suksesi negara antara hukum nasional (Konstitusi Timor Leste) dengan hukum internasional tidak jauh beda. Artinya, klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset negara RI memiliki dasar hukum yang cukup kuat.
  • 9. 9 Status Perjanjian Timor Gap Masalah hukum lain yang mendapat sorotan di tanah air adalah status Perjanjian Timor Gap (Timor Gap Treaty) antara RI dan Australia. Masalah hukum yang lahir adalah: 1) Apakah Perjanjian Timor Gap masih berlaku setelah Timor Timur lepas dari wilayah RI? dan 2) Kalau jawaban pertanyaan 1) di atas adalah negatif, apakah Timor Barat mempunyai hak atas sumber daya alam di landas kontinen di wilayah Timor Gap berdasarkan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982? Perjanjian Timor Gap mengikat Indonesia setelah diundangkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini merupakan pengaturan sementara antara RI – Australia yang ditempuh mengingat upaya kedua negara dalam menetapkan garis batas landas kontinennya di wilayah Timor Gap gagal meskipun perundingan untuk itu telah berlangsung cukup lama (sekitar 10 tahun). Kendala utamanya adalah perbedaan pandangan para pihak mengenai prinsip hukum yang diterapkan di Timor Gap dan mengenai situasi geomorfologis landas kontinen di wilayah Timor Gap. Daripada masalah penetapan garis batas berlarut-larut, kedua pihak sepakat untuk mengadakan pengaturan sementara. Pengaturan sementara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan: “Pending agreement as provided for in paragraph 1, the Sates concerned, in a spirit of understanding and co- operation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without prejudice to the final delimitation ... “ Wilayah yang menjadi sengketa dibagi ke dalam tiga zona, yakni zona A, B, dan C. Zona A adalah wilayah tumpang tumpang tindih (overlapping) atau daerah sengketa (disputed area). Di
  • 10. 10 zona ini kedua pihak sepakat untuk membagi keuntungan “fifty- fifty”. Zona ini adalah daerah landas kontinen yang di Selatan dibatasi oleh klaim maksimum Indonesia (median line), dan di utara dibatasi oleh klaim maksimum Australia (di Palung Timor atau Timor Trough). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, dan sesuai dengan praktek negara, negara-negara yang bersangkutan dapat membuat perjanjian untuk menjadikan disputed area tersebut sebagai joint development zone atau zona pengembangan bersama 15 dengan pembagian keuntungan “fifty-fifty”. Zona B adalah zona di mana Indonesia menuntut bagian dari keuntungan yang diperoleh Australia atas daerah landas kontinen yang memang berada di bawah yurisdiksi Australia karena terletak di luar batas klaim maksimal Indonesia (terletak di sebelah selatan median line). Hal ini dimaksudkan untuk kompensasi bagi garis batas landas kontinen berdasarkan Perjanjian tahun 1972 yang kurang menguntungkan Indonesia (terlalu dekat dengan pantai Indonesia). Sebabnya adalah ketentuan hukum laut yang berlaku waktu itu kurang menguntungkan Indonesia. Karena itu, Zona B merupakan keuntungan tambahan bagi Indonesia karena di samping memperoleh separuh dari hasil di Zona A, Indonesia memperoleh 16% dari hasil yang diperoleh Australia di daerah yang seharusnya merupakan daerah yurisdiksi eksklusif Australia.16 Namun untuk dapat menerima usulan Indonesia mengenai Zona B tersebut, dan atas dasar permintaan Australia untuk keseimbangan, Australia menuntut agar ada daerah kecil di sebelah utara klaim maksimal Australia (di utara Palung Timor) di mana Australia akan “memperoleh” 10% dari “keuntungan” di daerah tersebut, yang kemudian dinamakan Zona C yang sejak semula sudah diketahui oleh kedua belah pihak sebagai daerah yang tidak prospektif. Jadi sebenarnya Zona C ditetapkan dan disepakati sekedar untuk 15 Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa-deplu.go. id/policy/releases/2001/celahtimor.htm>. 16 Deplu, Ibid.
  • 11. 11 menampung keinginan Australia untuk menciptakan suatu keseimbangan tanpa merugikan Indonesia. Menyusul jejak pendapat di Timor Timur tanggaal 30 agustus 1999 di mana penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI, pemerintah mengeluarkan TAP MPR No V/MPR/1999 yang menerima jejak pendapat tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No VI/MPR/1976 tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Dengan keluarnya TAP MPR tahun 1999 tersebut, pemerintah RI berpendapat Perjanjian Timor Gap telah kehilangan hukumnya. Dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk pendapatnya tersebut adalah berdasarkan pada sumber hukum perjanjian internasional tentang berakhirnya perjanjian internasional. Pemerintah berpendapat bahwa apabila obyek dari suatu perjanjian berubah, maka perubahan tersebut dapat dijadikan dasar oleh kedua belah pihak untuk mengakhir perjanjian.17 Menurut hemat penulis, pendapat pemerintah RI ini kurang tepat. Memang benar salah satu alasan untuk mengakhiri perjanjian internasional adalah karena berubahnya obyek perjanjian {Sic!].18 Namun masalahnya adalah, obyek perjanjian ini yaitu wilayah Timor Gap tidak berubah. Alasan yang tampaknya lebih tepat adalah alasan suksesi negara, yaitu terpisahnya wilayah Timor Timur dari wilayah RI dan hilangnya kedaulatan RI atas wilayah Timor Timur. Dengan beralihnya kedaulatan atas wilayah Timor Timur ini kepada Timor Leste, maka kejadian ini dapat dijadikan alasan untuk 19 mengakhiri Perjanjian Timor Gap. Kedua negara melalui penandantangan Exchange of Letters tanggal 1 Juni 2000 sepakat untuk mengakhiri Timor Gap Treaty yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2000. Dengan demikian, 17 Deplu, Ibid. 18 Cf., pasal 61 Konvensi Wina 1969 menggunakan istilah ‘destruction’ atau ‘disappearance’ of the object of the treaty. 19 D.J. Harris, Op.cit., hlm. 844 (beliau menyatakan bahwa:”the law of state succession applies where a state party to a treaty ceases to exist”).
  • 12. 12 perjanjian tersebut tidak berlaku lagi dan wilayah Timor Gap karenanya bergantung kepada perjanjian atau kesepakatan antara Timor Timor dan Australia. Terserah kepada kedua negara ini apakah mereka akan merundingkan penetapan garis batas landas kontinennya atau juga membuat pengaturan sementara seperti yang dilakukan antara RI – Australia. Masalah hukum kedua adalah apakah Timor Barat mempunyai hak atas sumber daya alam di wilayah landas kontinen Timor Gap berdasarkan hukum internasinal, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982. Daerah yang dinamakan Timor Gap adalah daerah landas kontinen di antara Timor-Timur dan Australia, yaitu daerah yang terletak di antara dua titik dasar pada pulau Timor, yaitu di sebelah timur pada titik median line antara pulau Leti (Indonesia) dan pulau Yako (Timor-Timur), dan di sebelah barat pada titik mulut sungai Mota Masin di perbatasan Timor-Timur dan NTT, yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian RI-Australia tahun 1972. Daerah tersebut dinamakan Timor Gap karena adanya gap atau celah di mana garis batas landas kontinen kedua negara belum dapat ditetapkan karena adanya perbedaan posisi antara Portugal - dan kemudian Indonesia- dengan Australia mengenai cara menarik garis batas landas kontinen di daerah itu.20 Dengan demikian daerah di sebelah Barat dan Timur dari Timor Gap tidak termasuk Timor Gap, dan garis batas landas kontinen antara kedua negara di kedua daerah tersebut sudah ditetapkan berdasarkan Perjanjian tahun 1972. Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah RI, Indonesia (termasuk Timor Barat) tidak lagi mempunyai hak terhadap landas kontinen di daerah 21 “Timor Gap” berdasarkan hukum internasional. 20 Deplu, Ibid.
  • 13. 13 Penutup Dari uraian di atas, tampak bahwa terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI merupakan masalah suksesi negara. Dua masalah yang serta merta lahir daripadanya, yakni masalah status aset pemerintah RI di wilayah Timor Leste dan status Perjanjian Timor Gap merupakan sebagian kecil saja masalah yang timbul dari terlepasnya Timor Timur dari RI. Kasus Timor Timur juga menunjukkan bahwa masalah suksesi negara ini semakin relevan dewasa ini. Kasus ini sekaligus juga menunjukkan bahwa hukum mengenai suksesi negara ini berkembang dan kasus ini memiliki kekhasannya. Kasus ini di samping masalah klasik yang melekat setelah terjadinya proses suksesi negara, yakni masalah status aset negara lama, juga terdapatnya perjanjian yang jenisnya bukan perjanjian perbatasan, tetapi pengaturan sementara. Karena itu, doktrin atau prinsip hukum yang berlaku umum untuk masalah perbatasan ini, yakni doktrin uti possidetis, tidak berlaku dalam kasus ini. Daftar Pustaka Bernardez, Santiago Torres, "Succession of States," dalam: R. Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements and Prospects, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ. - UNESCO, 1991. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet.2., 2001. Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon press, 5th.ed., 1998. Budi Lazarusli dan Syahmin S.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional, Bandung: Remadja Karya, 1986. Carter, Barry E., and Phillip R. Trimble, International Law, Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995. 21 Deplu, Ibid.
  • 14. 14 Czaplinski, Wladyslaw, “Equity and Equitable Principles in the Law of State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The Hague: Martinus Nijhoff, 1999. Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa- deplu.go.id/policy/releases/2001/celahtimor.htm> Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 5th.ed., 2000. Mrak, Mojmir (ed.), Succession of States, The Hague: Martinus Nijhoff Publ., 1999. O’Brien, John, International Law, London: Cavendish, 2001. Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, New York: Oceana Publ., 1986. Schachter, Oscar, "The Once and Future Law,", 33 Va.J.Int'l.L., 253 (1993), dalam: Carter and Trimble, International Law, Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995. Watson, Geoffrey R., “The Law of State Succession,” dalam: Ellen G. Schaffer and Randall J. Snyder, Contemporary Practice of Public International Law, New York: Oceana, 1997.