Dengan memahami aksara, manusia mampu mengembangkan dirinya dan masyarakat melalui pendidikan, menuju taraf kehidupan yang lebih baik. Selain itu Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia atau human development index (HDI). Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI, sepertiga dalam pendidikan, dan lainnya ekonomi serta kesehatan.
2. Benang Kusut Persoalan Buta Aksara di Indonesia
(Memperingati Hari Aksara Internasional)
Mungkin terasa tidak ada yang spesial pada tanggal 8 September. Tidak ada
„tanggal merah‟ pada kalender kita, tidak ada peringatan hari raya, bukan juga hari
kemerdekaan nasional. Mungkin kesan spesial hanya akan dirasakan oleh mereka
yang berulang tahun, anniversary dengan pasangannya, ataupun momen-momen
spesial lainnya yang kebetulan jatuh di tanggal tersebut. Lalu apa yang menjadikan 8
September menjadi hari yang penting? Tanggal tersebut menyimpan suatu momen
dunia. 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Internasional yang ditetapkan
oleh Unesco pada 17 November 1965 di Teheran, mengingat masih tingginya tingkat
buta aksara di dunia tahun itu. Sehingga, program-program pemberantasan buta
aksara terus dilakukan hingga hari ini. Sebelum berbicara lebih lanjut, ada baiknya
kita kupas terlebih dahulu apa itu buta aksara.
"Aksara" secara etimogis berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata "a-"
'tidak' dan "kshara" 'termusnahkan'[1]. Secara sederhana, aksara dapat didefinisikan
sebagai sistem simbol yang ditujukan untuk mengekspresikan bahasa. Penggunaan
aksara ditujukan agar manusia dapat mendeskripsikan suatu hal, sehingga dapat
dipahami dan dipelajari. Untuk itu, aksara diwujudkan dalam bentuk sistem simbol
tetentu agar dapat dipahami (huruf, kata, kalimat, tanda baca, dsb).
Karena aksara memiliki tujuan untuk dipahami dan dipelajari, memahami
aksara (dikenal dengan istilah melek aksara) bukanlah sekedar kemampuan menghafal
huruf demi huruf hingga terangkai sebuah kata dan kalimat, tapi juga
mampu mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan
dan mengolah isi dari rangkaian teks. Ketidak-mampuan akan hal tersebut dikenal
dengan istilah buta aksara. Sehingga, pemberantasan buta aksara juga perlu diiringi
sistem pendidikan yang baik, yang dapat membawa manusia pada pemahaman dan
pembelajaran. Dengan memahami aksara, manusia mampu mengembangkan dirinya
dan masyarakat melalui pendidikan, menuju taraf kehidupan yang lebih baik. Selain
itu Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya
kualitas pembangunan manusia Indonesia atau human development index
(HDI). Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI, sepertiga
dalam pendidikan, dan lainnya ekonomi serta kesehatan.[2]
Persoalan Buta Aksara di Indonesia
Di Indonesia saat ini masih terdapat lebih dari 9 juta jiwa (kurang lebih 4%
dari total penduduk) yang dikategorikan sebagai buta aksara.[3].Kebanyakan terdiri
dari masyarakat adat dan masyarakat pinggiran. Selain itu, terdapat kurang lebih
880.000 anak berpotensi buta aksara[4]. Potensi buta aksara ini hadir akibat
kemampuan keaksaraan yang jarang diasah, dan kebanyakan dialami oleh anak-anak
Indonesia yang putus sekolah.
Secara umum, kondisi buta aksara di Indonesia dipengaruhi oleh sempitnya
akses pendidikan. Pada awal 2014, masih terdapat 173 Kabupaten/Kota yang belum
menerapkan wajib belajar sembilan tahun[5]. Bahkan kini setiap tahunnya, terdapat
3. sekitar 300 ribu murid SD yang putus sekolah[6]. Pada awal 2015 kemarin, BPS juga
merilis data yang memprihatinkan, yaitu masih terdapat 10.985 desa di Indonesia
yang belum memiliki SD. Selain itu, terdapat 2.438 desa yang jarak tempuh ke SD
terdekatnya sejauh tiga kilometer[7]. Berbagai data yang memprihatinkan tersebut
menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang sulit menikmati bangku
pendidikan. Kondisi ini jelaslah akan berdampak pada rendahnya kemampuan aksara
anak-anak Indonesia di pelosok-pelosok desa. Problem ini jelas membawa efek
domino hingga ke persoalan lapangan pekerjaan, kualitas hidup, kesehatan, hingga ke
persoalan kemiskinan. Semua akibat hak atas pendidikan yang gagal dipenuhi oleh
pemerintah.
Dalam konteks masyarakat adat, buta aksara yang dimaksud oleh pemerintah
adalah ketidakmampuan menguasai aksara yang secara nasional diterapkan, yaitu
Bahasa Indonesia. Menurut data dari Direktorat Jenderal Komunitas Adat Terpencil
(KAT) di Indonesia terdapat 365 kelompok ethnik dan sub-etnik dengan jumlah
populasi 1,192,164 jiwa. Mereka memiliki struktur aksara tersendiri yang berbeda
dengan Indonesia dan hidup secara tradisional. Persoalan yang hadir pada suku-suku
adat di berbagai belahan Indonesia adalah persoalan ruang hidup yang dirampas oleh
pembangunan. Ruang hidup masyarakat adat kini sangat terancam dengan berbagai
macam megaproyek pembangunan infrastruktur dan investasi. Ditengah
ketidakmampuan mereka menguasai aksara Indonesia, mereka dihadapkan pada
peraturan hukum, surat-surat, hal ihwal administratif dan persoalan legal formal
untuk mempertahankan tanah mereka. Sementara semua hal tersebut membutuhkan
kemampuan yang lebih dari sekedar menguasai aksara Indonesia. Hal ini jelas
merupakan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat adat Indonesia, padahal
seharusnya pemerintah menghormati dan mengakui keberadaan masyarakat adat
sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang beragam.
Berbagai persoalan tersebut menunjukkan bahwa persoalan buta aksara bukan
hanya sekedar ketidakmampuan membaca dan menulis. Buta aksara merupakan
dampak dari dirampasnya hak atas pendidikan. Buta aksara mengakibatkan
masyarakat yang buta aksara menjadi sulit mengembangkan kehidupannya yang kini
membutuhkan kemampuan aksara (sekolah, kerja, hidup keseharian dsb.). Dengan
demikian, negara telah memarginalkan masyarakat yang buta aksara. Oleh karena itu,
pemberantasan buta aksara sejatinya bukanlah sekedar program mekanis, yang hanya
“menyodorkan” huruf-huruf kepada mereka yang dikategorikan buta aksara.
Pemberantasan buta aksara dimulai dari membuka selebar-lebarnya akses pendidikan
secara nasional. Pemberantasan buta aksara berarti membangun fasilitas pendidikan
di seluruh pelosok desa dan kota. Pemberantasan buta aksara membutuhkan suatu
sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada kepentingan rakyat,
agar mampu menyelesaikan persoalan rakyat. Sehingga, rakyat mampu memahami
dan mengembangkan pengetahuan dan kebudayaannya ke taraf yang lebih maju.
Itulah tugas Negara yang telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dan semua persoalan pendidikan di Indonesia
akibat kebijakan komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan yang
diterapkan oleh pemerintah, perlulah menjadi tanda tanya kita semua. Untuk siapa
negara ini mengabdi?
4. Penulis: Manik Sukoco (Kolumnis Majalah Inside Indonesia)
[1] Wikipedia Eniklopedia Bebas, Aksara, https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara, diakses
pada 6 September 2015.
[2]Siti Muyassarotul Hafidzoh, Pemberantasan Buta
Aksara, Rebublika, http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/09/09/nbmb8h13-
pemberantasan-buta-aksara, diakses pada 6 September 2015.
[3] Data BPS tahun 2014
[4]Republika Online, 880 Anak Indonesia berpotensi Buta
Aksara,http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/07/09/123928-880-ribu-anak-
indonesia-berpotensi-buta-aksara, diakses pada 6 September 2015.
[5]Kantor Berita Pendidikan.net, 173 Daerah Belum Tuntaskan
Wajar, http://kantorberitapendidikan.net/173-daerah-belum-tuntaskan-wajar/, diakses pada 6
September 2015.
[6]Republika Online, Setiap Tahun 300 ribu Siswa SD Putus
Sekolah,http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/09/npo61n-setiap-tahun-300-
ribu-siswa-sd-putus-sekolah, diakses pada 6 September 2015.
[7]Viva.co.id, 10.985 Desa di Indonesia tak punya Sekolah
Dasar, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/590575-10-985-desa-di-indonesia-tak-punya-
sekolah-dasar, diakses pada 6 September 2015.
View publication statsView publication stats