O slideshow foi denunciado.
Seu SlideShare está sendo baixado. ×

Kekerasan Seksual: Perspektif Psikologi

Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Próximos SlideShares
Hakekat pekerjaan-sosial-medis
Hakekat pekerjaan-sosial-medis
Carregando em…3
×

Confira estes a seguir

1 de 20 Anúncio

Kekerasan Seksual: Perspektif Psikologi

Baixar para ler offline

PDI Perjuangan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) terkait Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual guna menggali informasi dan masukan dari berbagai pihak. Menyadari pentingnya peran masyarakat sipil maupun lembaga-lembaga di luar Legislatif, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) diantara pihak yang diundang untuk memberikan masukan pada acara tsb. Adapun FGD dilaksanakan pada: Selasa, 28 Juli 2020 Pukul : 14.00 sd selesai.

PDI Perjuangan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) terkait Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual guna menggali informasi dan masukan dari berbagai pihak. Menyadari pentingnya peran masyarakat sipil maupun lembaga-lembaga di luar Legislatif, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) diantara pihak yang diundang untuk memberikan masukan pada acara tsb. Adapun FGD dilaksanakan pada: Selasa, 28 Juli 2020 Pukul : 14.00 sd selesai.

Anúncio
Anúncio

Mais Conteúdo rRelacionado

Diapositivos para si (20)

Semelhante a Kekerasan Seksual: Perspektif Psikologi (20)

Anúncio

Mais de Juneman Abraham (20)

Mais recentes (20)

Anúncio

Kekerasan Seksual: Perspektif Psikologi

  1. 1. PELAKU DAN KORBAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SERTA THERAPEUTIC JURISPUDENCE PADA KASUS KEKERASAN SEKSUAL Oleh: Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
  2. 2. Semua Jenis Kekerasan merupakan tindakan tidak bisa ditolerir 2 JENIS KEKERASAN UU 23 nomer 2014 : •kekerasan fisik; •kekerasan psikis; •kekerasan seksual; •penelantaran rumah tangga.
  3. 3. Memahami Apa Kekerasan Seksual? •Definisi ini sangat luas karena sangat dipengaruhi oleh budaya, sosial, agama dan masih banyak lagi •Oleh karena itu Hukum perlu mendapat wawasan dari berbagai sudut pandang keilmuan •Agar pemahaman kekerasan seksual dapat dipahami secara komprehensif
  4. 4. 4 Kekerasan selalu memberi dampak negatif pada korban • Korban menjadi trauma, permasalahan emosi, selalu takut, cemas, mudah tersinggung, mudah marah, dan bahkan depresi. • Pada anak akan mengalami masalah dalam hubungannya dengan orang lain di sekolah. Misalnya bermasalah dengan kedisiplinan, menghindar dari tugas-tugas, menarik diri. • Reaksi ekstrem terhadap kontak fisik (sangat menarik diri vs ketertarikan yang besar untuk bermain-main dengan organ seksnya)
  5. 5. Pendekatan Psikologis terhadap korban • Tenaga Psikologi akan melakukan asesmen kepada korban untuk menentukan dampak psikologis korban. • Asesmen tidak hanya pada korban tetapi memahami masyarakat, dan konteks budaya dimana ia tinggal. • Dampak Psikologis pada korban bisa berbeda karena adanya perbedaan psikologis dan perbedaan kasus • Hasil asesmen akan menentukan rehabilitasi dan intervensinya. • Rehabilitasi bertujuan membuat kesehatan mental korban menjadi lebih baik
  6. 6. Memahami pelaku kekerasan Seksual dari sisi Psikologis • Pelaku kekerasan seksual juga memiki permasalahan psikologis • Latarbelakang kehidupan yang dialaminya selama ini menyebabkan ia menjadi pelaku • Tenaga Psikologi dalam menangani pelaku akan melakukan asesmen terhadap pelaku untuk memahami permasalahannya. Dapat sangat berat sampai ringan • Tenaga Psikologi kemudian akan melakukan rehabilitasi dan intervensi terhadap pelaku kekerasan seksual
  7. 7. Skema dinamika pelaku kekerasan sebuah contoh kasus Pola asuh buruk, membiarkan, memberi contoh kekerasan, menjadi korban kekerasan Harga diri, regulasi emosi, norma buruk, mulai berperilaku melanggar aturan Terlibat dalam gank/kelomp ok yang bermasalah – belajar tentang kekerasan, seks bebas Menjadi pelaku kekerasan
  8. 8. KAPAN TENAGA PSIKOLOGI BISA MEMBANTU KASUS KEKERASAN SEKSUAL? PREVENSI/PENCEGAHAN • Keluarga • Pendidikan • Organisasi • Masyarakat Melalui berbagai program untuk melakukan perubahan: • Proses berpikir • Karakter dan mental • Perilaku dalam proses penyidikan dan lainnya KURATIF. Sesuai dengan KUHAP, tenaga psikologi dapat membantu pada proses di : • Kepolisian • Kejaksaan • Pengadilan • LAPAS • BAPAS • Proses mediasi untuk diversi sesuai UU 11/2012 tentang peradilan anak, LPKS/LPKA • Shelter atau rumah pendamping bagi korban/pelaku
  9. 9. Therapeutic Jurisprudence Pada Kasus Kekerasan Seksual
  10. 10. Outline • Kapasitas Korektif • Opsi Perlakuan • Therapeutik Jurisprudence • Aspek Terapeutik • Peran Psikologi dalan TJ: Yang Bisa Dikontribusikan?
  11. 11. Kapasitas sistem penegakan hukum/korektif (“Intervensi Perilaku”) (Birgden, 2004) ❑Punitif/Retributif (penghukuman): Pendekatan “populis” terhadap Kekerasan Seksual (KS) ❑Pelaku KS kehilangan rasa kendali (sense of control), fatalistik. ❑Pelaku KS tidak mencari bantuan untuk hidup lebih baik. ❑Tidak ada bukti tentang efektivitasnya, bahkan aktor KS “makin menjadi”. ❑Preventif dan Rehabilitatif ❑Menyadari: Hukum (normatif) mengintegrasikan pendekatan ilmu-ilmu sosial (social sciences). ❑KS dipandang sebagai “Produk sistem sosial dan konteks lain”: konteks fisik (akses), ekonomi, fisiologi, dsb. ❑Perlakuan terhadap KS juga dipengaruhi proses sosial, politik, dsb (Ada sistem lain di luar sistem hukum) ➔ Bisa menyebabkan: Ada intervensi yang tidak perlu (unnecessary intervention), ada hukuman yang anti-terapeutik. ❑Pendekatan Psikologi Positif (strength-based approach, life’s meaning) memberikan ruang kepada pertanyaan: Apa yang masih bisa dikontribusikan oleh pelaku KS?
  12. 12. Opsi Perlakuan terhadap Aktor KS (Birgden, 2004) ❑Pendekatan Manajemen Risiko ❑Perencanaan Pencegahan Kambuh (Relapse Prevention Plan) ❑Mengenali perilaku-perilaku berisiko tinggi, dan situasi/tempat yang perlu dihindari oleh aktor KS. ❑Kelemahan: Tidak mempertimbangkan keragaman usia, gaya belajar, kultur, dan penghalang-penghalang partisipasi dalam merehabilitasi diri sendiri. ❑Good Lives Model (GLM) ❑Mengenali kekuatan, kelemahan, sudut pandang dan kebutuhan pelaku: Tailored Plan supaya Aktor KS dapat hidup dengan identitas baru yang lebih adaptif (Promosi hidup yang baik plus reduksi risiko) ❑ Kondisi internal: kemampuan, keterampilan antarpribadi. ❑ Kondisi eksternal: dukungan sosial, kesempatan kerja (jauh dari akses terhadap orang-orang yang rentan menjadi korban) ❑Mempertimbangkan konteks : kesesuaian antara aktor KS dan lingkungan; meng-assess kesiapan berubah (readiness to change) KS. ❑Therapeutic Jurisprudence : Mengambil aspek-aspek positif.
  13. 13. Therapeutic Jurisprudence (TJ) (Birgden, 2004) ❑Tokoh: Wexler (1990) dan Winick (1998) ❑“The law can influence behavior as a psyehosocial process (Wexler, 1990).” ❑Hukum sebagai agen terapeutik. ❑Hukum berpengaruh terhadap proses pikir, perilaku, dan Responsivity to treatment. ❑Distres akibat proses hukum yang “konfrontatif” hanya akan berujung aktor mengulangi KS, karena aktor tidak menerima tanggungjawab sepenuhnya (tidak ada proses kontemplatif, melainkan resistif). ❑Yang diproteksi: Masa Depan (Tidak “Kambuh”/Reoffending). ❑Cognitive restructuring dapat dibantu oleh hakim, pengacara, dsb melalui motivational interview, pemantauan, dsb. ❑Prinsip-prinsip: ❑ Hukum dapat memiliki efek positif, negatif, atau netral terhadap kesejahteraan (well being) pelaku. ❑ Saat aktor KS berhadapan dengan hukum, hukum berkesempatan memicu gaya hidup pro-sosial dalam diri aktor KS. ❑ Hukum dapat memanfaatkan ilmu sosial untuk menemukan cara meningkatkan kesejahteraan aktor KS. ❑ Hukum hendaknya menyelesaikan masalah “tanpa masalah”. ❑ Hukum dapat mendorong aktor KS mengikuti treatment dalam komunitas guna menunjukkan perilaku baru (asal komunitas bersedia). Tidak semata-mata mengedepankan proteksi komunitas. ❑ Aktor KS secara berkala dinilai kembali tingkat risikonya dalam komunitas, berdasarkan perubahan sikap & perilakunya (“Re-biografi”, “De-registrasi”). Dilakukan dengan kehati-hatian.
  14. 14. Aspek Terapeutik (Dilakukan secara Persuasif, bukan Koersif) (Birgden, 2004) ❑new procedures, ❑judges can ask offenders to clearly state on oath how they committed the offence and the impact upon victims (Penting untuk proses terapeutik, semacam “kontrak psikologis”) ❑sentencing options ❑community-based treatment vs. ordinary prison sentence ❑between treatment techniques or treatment providers (friends and families included) ❑Juvenile defendants can demonstrate reasoning and self-control by preparing their own relapse prevention plans for courts ❑Low-risk sex offenders should have their sentence reduced and be diverted into community treatment programs (tapi perlu manage public perception – least intrusive) ❑interagency cooperation ❑The reentry court manages offenders' transition back to the community through positive reinforcement, graduated sanctions, and interagency cooperation ❑Reentry courts can take a prevention approach to correct deficits such as electronic monitoring and intensive supervision with home visits
  15. 15. • “Maruna (2001) menemukan bahwa para pelanggar yang berhenti melakukan KS memiliki narasi diri tentang penebusan (redemption), sementara para pelanggar yang “kambuh” (relaps) meyakini bahwa mereka akan gagal.” • “Therapeutic Jurisprudence (Hukum Terapeutik) dapat menyediakan kerangka kerja psikolegal yang diperlukan untuk menangani penilaian (Asesmen), perlakuan (Treatment), dan pengelolaan (Manajemen) pelaku kekerasan seksual dan untuk menyeimbangkan perlindungan komunitas dan aktor kekerasan di seluruh sistem peradilan pidana.” (Birgden, 2004) (Birgden, 2004)
  16. 16. (Birgden, 2004)
  17. 17. • SUMBER LITERASI THERAPEUTIC JURISPRUDENCE DALAM PAPARAN INI
  18. 18. 34 Maluku Utara | Bangka Belitung | Maluku | Kalimantan Utara | Gorontalo | Sulawesi Barat | Papua Barat
  19. 19. 18 Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Asosiasi Psikologi Kepolisian Asosiasi Psikometrika Indonesia Asosiasi Psikologi Indigenos dan Kultural 16 17 18 Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia
  20. 20. Terimakasih

×