1. MEMULIAKAN PEMILU
Ishak Salim1
Pada Januari 2014 sejumlah pengorganisir kaum difabel di Kota Balikpapan dan
Samarinda mendatangi Kantor KPU Provinsi Kalimantan Timur untuk memberi masukan
soal Pemilu Inklusif. Di antara mereka ada yang menggunakan kursi roda, kruk, dan
tongkat. Rupanya kantor KPU sebagaimana juga di banyak kantor KPU daerah di
Indonesia tidak aksesibel bagi mereka. Untuk memasuki kantor itu, pengguna kursi roda
harus turun dan merangkak sekadar melewati tiga anak tangga. Ia berhasil tanpa perlu
dipapah walaupun terpaksa menjadi bahan tontonan. Namun begitu disadarinya ruang
Komisioner KPU ada di lantai dua, ia menyerah dan memilih dipapah hingga ke ruang
Pak Ketua. Bagi pengguna kursi roda, berjalan dengan dipapah adalah bentuk
ketidakberdayaan dan hal itu menunjukkan betapa lingkungan memang telah
menomorduakan dirinya.
Tahun lalu, saat pemilihan gubernur berlangsung di Sulawesi Selatan, pemilih difabel
netra menemui sejumlah kendala. Template Braille atau alat bantu mencoblos bagi
pemilih difabel netra yang disediakan penyelenggara pemilu menimbulkan sejumlah
kebingungan. Sistem penomoran braille itu tak terbaca dengan baik saat pemilih
menggunakannya. Pemilih tak menemukan kolom nomor bagi kandidat dengan nomor
urut 6 dan seterusnya. Akibatnya template braille yang dibuat tanpa berkonsultasi dengan
Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) itu sia-sia dan pemilih difabel netra terpaksa
didampingi pihak lain dan kerahasiaan pilihannya menjadi tak sepenuhnya terjamin.
Difabel Rungu-wicara juga punya sejumlah pengalaman yang menunjukkan betapa
prosedural pemilu mengabaikan kebutuhan atau kepentingan mereka. Kini gencar
kampanye calon legislator dan calon presiden melalui media massa, khususnya radio,
televisi dan internet. Sayangnya, tak ada satupun media yang menyediakan penterjemah
bahasa isyarat dalam pertemuan tersebut. Belum lagi soal Manual Pemilu dan segala
informasi berkaitan dengan tugas dan fungsi KPU maupun Bawaslu hingga jajarannya
yang masih abai pada kebutuhan pemilih difabel seperti difabel rungu-wicara.
Pemilu inklusif memang mensyaratkan pengetahuan akan segala hal berkaitan dengan isu
difabilitas dari penyelenggara. Di sinilah letak pentingnya kehadiran sejumlah pemilih
difabel yang kini begitu aktif masuk ke ruang-ruang formal Pemilu untuk berdiskusi
dengan penyelenggara pemilu di setiap tingkatan di banyak daerah. Tujuannya adalah
mengajarkan kepada bangsa ini betapa perspektif difabel amat penting dalam memuliakan
pemilu. Penting karena perspektif ini berisi “sisi manusiawi” dari sebuah sistem
pemilihan atau sistem politik secara lebih luas. Jika perspektif ini berhasil ditanamkan
kepada para penyelenggara sampai kepada para peserta pemilu, dan diterapkan di ranah
praktis, maka pemilu ini menjadi akses bagi semua orang, bahkan tak hanya bagi kaum
difabel sendiri.
Yang Mainstream dan Yang Marjinal
1
Penulis adalah Peneliti pada Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta. Mahasiswa S3 Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada.
2. Sejauh ini, tipikal kemampuan orang-orang “normal” sudah menjadi mainstream dan
membuat banyak orang cenderung menapikan adanya ragam kemampuan lain, semisal
yang dimiliki oleh para difabel. Nyaris seluruh aktor penyelenggara pemilu di negeri ini
berpikir atau berpengetahuan mainstream. Karena menjadi yang mainstream, maka saat
memikirkan suatu perhelatan semisal pemilu yang banyak bersentuhan dengan aspek
teknis membuat cara pandang mereka ini menjadi tampak sempit dan hanya mampu
memikirkan dan menciptakan sistem yang hanya berlaku bagi kalangan mereka sendiri.
Kaum difabel dengan pengetahuannya yang termarjinalkan seringkali diabaikan, padahal
amat penting bagi upaya meluaskan cara pandang kita atau penyelenggara pemilu soal
pemilu dan politik.
Miskinnya Perspektif difabel di kepala penyelenggara pemilu membuat mereka
kepayahan dalam mendesain pemilu inklusif. Dalam soal alat bantu mencoblos bagi
pemilih difabel netra saja KPU tak mampu mengadakannya secara penuh. Di tingkat TPS,
setidaknya pemilih difabel netra membutuhkan 4 jenis template, yakni untuk mencoblos
kertas suara caleg DPRD kabupaten/kota, DPRD Propinsi, DPR-RI, dan DPD-RI. KPU
hanya menyediakan template bagi kertas suara DPD-RI. Itu artinya, pemilih difabel netra
harus kembali didampingi dalam mencoblos. Hal ini tentu saja bukan sekadar soal biaya
pemilu atau soal teknis, ini jauh lebih fundamental ketimbang keduanya, ini soal
perspektif penyelenggara yang „masih buta‟ akan isu difabilitas. Sekadar informasi, biaya
satu template braille dengan kualitas yang baik hanya dibutuhkan kurang lebih Rp.
20.000. Jika dalam satu TPS dibutuhkan 4 template maka dibutuhkan Rp. 80.000,- atau
43,6 miliar untuk 545.778 TPS di seluruh Indonesia.
Minimnya pengetahuan penyelenggara soal isu difabilitas dalam Pemilu merupakan akar
masalah yang sejauh ini berkontribusi pada berbagai hambatan yang dihadapi oleh
pemilih difabel untuk bisa terlibat penuh dalam pemilu. Setidaknya ada 4 hambatan
utama sebagaimana dilansir oleh AGENDA - The General Election Network for
Disability Access (2013), yakni Hambatan Legal, Informasi, Fisik, dan Mental. Keempat
hambatan ini dengan mudah bisa diidentifikasi jika kita berdiskusi dengan aktifis difabel
dan sekian banyak pemilih difabel di desa-desa dan di seluruh rangkaian proses pemilihan
umum, mulai dari persiapan hingga pengumuman pemenang pemilu. Bahkan begitu
sempitnya cara pandang penyelenggara pemilu, fokus perhatiannya untuk membuat
pemilu menjadi akses amat terkuras pada soal di hari pencoblosan. Padahal
hambatan-hambatan bagi pemilih difabel sudah berlangsung sejak awal pemilu ini
dipersiapkan.
Jadi, jalan satu-satunya agar Pemilu ini bisa didesain dan berlangsung secara inklusif,
hanyalah dengan menghadirkan kaum difabel dalam sistem pemilu ini, baik sebagai
bagian dari penyelenggara dengan berbagai model komunikasi yang bisa dilakukan,
maupun sebagai mitra diskusi serius secara simultan. Hal ini menjadi penting
diperhatikan penyelenggara dan peserta pemilu, apa lagi dengan prinsip gerakan kaum
difabel internasional, „Nothing about us without us‟ atau dalam konteks pemilu ini „tak
ada pemilu inklusif, tanpa keterlibatan pemilih difabel‟[]