1. I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah sebagai sumber daya alam telah mengalami berbagai tekanan seiring dengan peningkatan
jumlah manusia. Tekanan tersebut telah menyebabkan penurunan mutu tanah yang berujung pada
pengurangan kemampuan tanah untuk berproduksi. Penurunan mutu tanah tersebut disebabkan
oleh proses pencucian hara dan proses erosi tanah terutama pada lahan-lahan yang tidak memiliki
penutupan vegetasi. Erosi merupakan peristiwa hilangnya lapisan tanah atau bagian-bagian tanah di
permukaan. Di Indonesia erosi yang sering dijumpai adalah erosi yang disebabkan oleh air.
Erosi dapat menimbulkan kerusakan baik pada tanah tempat terjadi erosi maupun pada tempat
tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Kerusakan pada tanah tempat erosi terjadi
berupa penurunan sifat-sifat kimia dan fisik tanah yang pada akhirnya menyebabkan memburuknya
pertumbuhan tanaman dan rendahnya produktivitas. Sedangkan pada tempat tujuan akhir hasil
erosi akan menyebabkan pendangkalan sungai, aduk, situ/danau, dan saluran irigasi. Dengan
peningkatan jumlah aliran air di permukaan dan mendangkalnya sungai menyebabkan makin
seringnya terjadi banjir (Murdis, 1999).
Situ-situ yang ada di wilayah Jabodetabek merupakan bagian dari sumber daya air lintas provinsi di
wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, wilayah Ciujung-Ciliman, dan wilayah Sungai Citarum. Sebagian
besar situ-situ tersebut, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan karena telah mengalami
penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga banyak yang tidak dapat difungsikan dan
dimanfaatkan dengan optimal, yang diakibatkan oleh berbagai faktor yaitu faktor fisik dan faktor non
fisik. Faktor fisik antara lain: pengurangan luasan situ karena alih fungsi, sedimentasi, kurangnya
pemeliharaan sehingga dipenuhi gulma air dan rerumputan, juga kerusakan pada bangunan
prasarana situ. Faktor non fisik berupa penyalahgunaan wewenang pemberian izin pemanfaatan
situ, pemberian hak atas tanah pada kawasan situ, penyerobotan/pemanfaatan secara ilegal,
keterbatasan kemampuan pengelolaan situ oleh pemerintah dan pemerintah daerah, kurangnya
partisipasi masyarakat serta kurangnya kesamaan persepsi terhadap perundang-undangan.
Kota Depok merupakan daerah yang tergolong memiliki banyak situ. Tercatat 26 situ tersebar di
wilayah selatan Jakarta ini. Namun, dari 26 situ yang tersebar di enam kecamatan, kira-kira 80
persen diantaranya dalam kondisi mengkhawatirkan. Sebagian sudah banyak yang beralih fungsi,
yang semula dimanfaatkan sebagai daerah resapan air atau penampung hujan kini menjadi
permukiman penduduk, lapangan bola, dan pembuangan limbah atau sampah. Bahkan erosi yang
terjadi di daerah situ semakin parah dari waktu ke waktu. Padahal situ-situ tersebut itu cukup
potensial menjaga wilayah Jakarta dan Depok dari banjir.
Situ atau danau merupakan bentuk mikro daerah tangkapan air. Dengan mengetahui karakteristik
biofisik situ beserta tingkat bahaya erosi dan sedimentasinya maka dapat dilakukan tindakan
pengelolaan yang diperlukan berupa pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan. Salah satu
situ yang di Kota Depok yang termasuk dalam kategori situ kritis adalah Situ Bojongsari. Situ
Bojongsari merupakan situ terluas di Kota Depok. Luas Situ Bojongsari mencapai 28.25 Ha.
Peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan di Kota Depok menyebabkan
peningkatan jumlah buangan limbah domestik, limbah industri, dan limbahlimbah lainnya serta
2. kurangnya pemeliharaan kawasan Situ Bojongsari menimbulkan pencemaran dan erosi pada situ dan
daerah di sekitarnya.
Semula prediksi erosi adalah suatu metode untuk memperkirakan atau menduga laju erosi yang
terjadi dari lahan yang dipergunakan bagi usaha pertanian tertentu. Persamaan yang sering
digunakan untuk memprediksi erosi adalah persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE).
Persamaan ini adalah model pendugaan erosi yang digunakan untuk menghitung besarnya erosi
yang terjadi dalam jangka panjang pada suatu daerah. Metode USLE mempunyai kelebihan, yaitu
proses pengolahan datanya yang sedehana, sehingga mudah dihitung secara manual maupun
menggunakan alat bantu program komputer (software). Hal ini memudahkan para petugas yang
bekerja di lapangan dalam membuat suatu perkiraan kasar terhadap besarnya
laju erosi (Indrawati, 2000).
Universal Soil Loss Equation (USLE) sudah dua puluh tahun lebih digunakan sebagai metode
pendugaan besarnya erosi yang cukup baik. Metode ini dikembangkan di Amerika Utara dengan
tujuan untuk mengetahui besarnya erosi pada lahan pertanian. Pengembangan metode ini
didasarkan pada hasil pengukuran pada sepuluh ribu stasiun pengamatan erosi yang tersebar di
seluruh Amerika Utara. Dengan keserdahanaan, kemudahan dalam pemasukan input data, dan hasil
yang cukup baik metode ini banyak dipakai di berbagai sektor di luar pertanian termasuk di sektor
kehutanan (Ispriyanto, 2001). Nilai erosi yang diperoleh dari pendekatan USLE selanjutnya dapat
dipergunakan untuk menduga laju erosi yang terjadi pada suatu wilayah dan menentukan Klasifikasi
Tingkat Bahaya Erosi, sehingga untuk mencegah kerusakan lahan akibat erosi dapat dihindari sedini
mungkin dengan teknikteknik konservasi lahan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan menduga besarnya nilai erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Situ
Bojongsari, Kota Depok dengan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN UMUM SITU ATAU DANAU
Perairan pedalaman terdiri dari sungai, danau, dan rawa. Sungai merupakan suatu bentuk perairan
mengalir (Lotic system) dan danau serta rawa sebagai bentuk perairan tergenang (Lentic system).
Perairan tergenang dengan berbagai jenisnya memiliki pergerakan air yang minim dengan arah arus
yang tidak tetap. Pergerakkan air disebabkan oleh aksi gelombang, arus internal atau pergerakan
inlet dan outlet (Weltch, 1952).
Berbagai bentuk perairan tersebut merupakan bagian dari lahan basah (Wetlands) yang merupakan
sistem pendukung kehidupan paling produktif di muka bumi ini. Lahan basah adalah habitat
berbagai jenis organisme dan penyedia keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Danau, situ, dan
rawa merupakan bagian dari ekosistem lahan basah.
Situ adalah istilah yang digunakan masyarakat sunda untuk menyebut danau yang memiliki ukuran
relatif kecil. Situ merupakan daerah penampung air yang terbentuk secara alamiah ataupun buatan
manusia yang merupakan sumber air baku bagi berbagai kepentingan dalam kehidupan manusia.
Sumber air yang ditampung di perairan ini pada umumnya berasal dari air hujan (run off), sungai
3. atau saluran pembuangan, dan mata air. Air tersebut dipasok dari Daerah Tangkapan Air (DTA) di
sekitar situ. Daerah tangkapan air adalah wilayah di atas danau atau situ memasok air ke danau atau
situ tersebut.
Situ merupakan tipe perairan tergenang yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan
manusia, diantaranya sebagai resapan air, pengendali banjir, pengendali iklim mikro, habitat bagi
biota, sumber air, pemasok air ke lingkungan sekitarnya (akuifer), pengendap lumpur serta
pencegah intrusi air laut pada daerah pesisir. Bahkan dari segi estetika yang dimiliki, situ dapat
berperan sebagai obyek wisata (Hotib dan Suryadiputra, 1998).
Situ merupakan tipe ekosistem perairan tawar yang tergenang (lentic) dan dangkal. Zona kedalaman
situ ditunjukan pada Gambar 1. Situ juga merupakan kesatuan sistem drainase dan tata aliran air
setempat (ekodrainase). Bentuk badan air situ seperti bentuk tampungan air permukaan dan air
tanah dangkal yang menggenang (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek, 2007).
Gambar 1. Zona Kedalaman Bentuk Perairan Menggenang dan Proses Fotosintesis (Suwignyo, P,
2000 di dalam Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek, 2007)
Sementara itu Haeruman (1999) berpendapat bahwa keberadaan danau atau situ sangat penting
dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, situ merupakan
ekosistem yang terdiri dari unsur air, kehidupan akuatik, dan daratan yang dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya muka air, sehingga kehadiran situ akan mempengaruhi iklim mikro dan keseimbangan
ekosistem sekitarnya. Sedangkan jika ditinjau dari sudut tata air, situ berperan sebagai reservoir
yang dapat dimanfaatkan airnya sebagai alat pemenuhan irigasi dan perikanan, sebagai sumber air
baku, sebagai tangkapan air untuk pengendaliuan banjir, serta penyuplai air tanah.
Secara alamiah Situ mempunyai kawasan tandon air yang dibatasi oleh tanggul yang merupakan
daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem perairan dan daratan. Secara fisik komponen
pembentuk tipologinya dibagi dalam tiga (3) bagian, yaitu:
a) Medium tampungan sumber daya air.
b) Daerah peralihan (ekoton)/penyangga (buffer zone).
c) Daerah tangkapan air (catchment area).
Suplai air ke dalam Situ dipengaruhi oleh aliran air baik dari air hujan, permukaan dan air tanah.
Bentuk perairannya merupakan perairan daratan sistem terbuka (open system). Bila dilihat dari
morfologi bentukan, suplai air dan sistem tata airnya, maka arus alirannya adalah relatif tenang.
Asal-usul situ di wilayah Jabodetabek terdiri dari situ alami dan buatan. Beberapa situ alami
4. mempunyai mata air, sehingga tidak kering di musim kemarau. Situ alami terbentuk secara alami
dapat terbentuk dari sisa rawa/lahan basah, dimana sumber air utamanya berasal dari rembesan air
tanah (seepage). Situ buatan dapat berasal dari dam pengendali pada sistem irigasi sawah, bekas
galian lio-bata (pembuatan batu-bata), bekas galian pasir, atau waduk buatan yang dibuat sebagai
pengendali banjir (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek, 2007).
B. EROSI
1. Pengertian Erosi
Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached ) dan kemudian dipindahkan ke
tempat lain oleh kekuatan air, angin, dan gravitasi (Hardjowigeno, 1995). Secara deskriptif, Arsyad
(2000) menyatakan erosi merupakan akibat interaksi dari faktor iklim, tanah, topografi, vegetasi,
dan aktifitas manusia terhadap sumber daya alam.
Erosi dibagi menjadi dua macam, yaitu erosi geologi dan erosi dipercepat (Hardjowigeno, 1995).
Erosi geologi merupakan erosi yang berjalan lambat dengan jumlah tanah yang tererosi sama
dengan jumlah tanah yang terbentuk. Erosi ini tidak berbahaya karena terjadi dalam keseimbangan
alami. Erosi dipercepat (accelerated erosion) adalah erosi yang diakibatkan oleh kegiatan manusia
yang mengganggu keseimbangan alam dan jumlah tanahnya yang tererosi lebih banyak daripada
tanah yang terbentuk. Erosi ini berjalan sangat cepat sehingga tanah di permukaan (top soil)
menjadi hilang.
Laju pelapukan tanah memang susah diukur secara tepat, namun dengan beberapa pendekatan,
para pakar geologi telah sepakat bahwa untuk membentuk lapisan tanah setebal 25 mm pada
lahan-lahan alami dibutuhkan waktu kurang lebih 300 tahun (Bennet, 1939). Waktu yang
diperlukan menjadi berkurang sangat drastis dengan adanya campur tangan manusia, untuk
membentuk lapisan tanah setebal 25 mm hanya memerlukan waktu kurang lebih 30 tahun (Hudson,
1971). Berdasarkan laju pembentukan tanah ini, maka batas laju yang dapat diterima adalah 1.1
kg/m2/tahun. Namun demikian penentuan batas laju erosi untuk berbagai macam kondisi tanah
akan berbeda, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1.
5. 2. Proses Erosi
Erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau sulit dihilangkan sama sekali atau tingkat
erosinya nol, khusunya untuk lahanlahan yang diusahakan untuk pertanian. Tindakan yang dapat
dilakukan adalah mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih di bawah ambang batas yang
maksimum (soil loss tolerance), yaitu besarnya erosi tidak melebihi laju pembentukan tanah (Suripin,
2001)
Menurut Suripin (2001) erosi terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari
masa tanah dan tahap pengangkutan oleh media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada
kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi
tahap yang ketiga yaitu pengendapan.
Proses terjadinya erosi di suatu lereng dapat digambarkan dengan suatu diagram pada Gambar 2
(Mayer dan Wishmeier, 1969) dalam Hardjowigeno (1995). Untuk dapat terjadi erosi, tanah harus
dihancurkan oleh curah hujan dan aliran permukaan, kemudian diangkut ke tempat lain oleh curah
hujan dan aliran permukaan.
6. Gambar 2. Diagram Proses Terjadinya Erosi Air (Meyer dan Wiscmeier, 1969 di dalam Hardjowigeno
1995)
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada suatu bagian lereng terdapat input bahan-bahan tanah
yang dapat dierosikan yang berasal dari lereng atas serta penghancuran tanah di tempat tersebut
oleh pukulan curah hujan dan pengikisan aliran permukaan. Kecuali itu terdapat output akibat
pengangkutan tanah oleh curahan air hujan dan aliran permukaan (run off). Bila total daya angkut
dari air tersebut (curahan air hujan + aliran permukaan), lebih besar dari tanah yang tersedia, maka
akan terjadi erosi. Sebaliknya bila total daya angkut lebih kecil dari total tanah yang dihancurkan
akan terjadi pengendapan di bagian lereng tersebut.
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Erosi
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi yang terpenting adalah curah hujan, tanah,
lereng, vegetasi, dan manusia (Hardjowigeno, 1995).
a. Curah Hujan
Sifat hujan yang terpenting yang mempengaruhi besarnya erosi adalah curah hujan. Intensitas hujan
menunujukan banyaknya curah hujan per satuan waktu (mm/jam atau cm/jam).
7. Kekuatan menghancurkan tanah dari curah hujan jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan
pengangkut dari aliran permukaan (Hardjowigeno, 1995).
Hujan yang turun sampai ke permukaan tanah memiliki energi kinetik yang dapat menghancurkan
tanah (butir-butir tanah), sehingga bagian-bagian tanah terhempas, hilang, dan hanyut oleh aliran
permukaan. Hilang atau terkikisnya lapisan tanah inilah yang disebut erosi.
b. Tanah
Sifat fisik tanah sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi. Kepekaan tanah terhadap erosi
disebut erodibilitas. Semakin besar nilai erodibilitas suatu tanah maka semakin peka tanah tersebut
terhadap erosi (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 1992).
Hardjowigeno (1995) menyebutkan sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi adalah
tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau permeabilitas tanah, dan
kandungan bahan organik. Nilwan (1987) menyebutkan sifat fisik tanah yang mudah mengalami
erosi adalah tanah dengan tekstur kasar (pasir kasar), bentuk struktur tanah yang membulat,
kapasitas infiltrasi yang rendah, dan kandungan bahan organik kurang dari 2%. Sedangkan sifat fisik
tanah yang dapat menahan erosi adalah tanah dengan tekstur halus (liat, debu, pasir, pasir halus,
kapasitas infiltrasinya besar, dan kandungan bahan organik yang besar untuk menambah
kemantapan struktur tanah).
c. Lereng
Arsyad (2000) dan Hardjowigeno (1995) mengemukakan unsur topografi yang paling berpengaruh
terhadap erosi adalah panjang dan kemiringan lereng. Erosi akan meningkat apabila lereng semakin
curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan
meningkat sehingga kekuatan mengangkut semakin meningkat pula. Lereng yang semakin panjang
menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar.
d. Vegetasi
Menurut Hardjowigeno (1995) Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah :
Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan tanah
untuk menghancurkan dapat dikurangi ;
Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi ;
Penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh tranpirasi (penguapan air) melalui vegetasi.
e. Manusia
Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlereng curam merupakan pengaruh baik dari manusia
karena dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerahdaerah pegunungan
merupakan pengaruh manusia yang buruk karena dapat menyebabkan erosi (Hardjowigeno,1995).
4. Pendugaan Erosi
8. Praktek-praktek bercocok tanam dapat merubah keadaan penutupan lahan dan oleh karena itu
dapat mengakibatkan terjadinya erosi permukaan pada tingkat atau besaran yang bervariasi. Oleh
karena besaran erosi yang berlangsung ditentukan oleh intensitas dan bentuk aktifitas pengelolaan
lahan, maka perkiraan besarnya erosi yang terjadi akibat aktifitas pengelolaan lahan tersebut perlu
dilakukan. Dari beberapa metode untuk memperkirakan besarnya erosi permukaan, metode
Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah metode yang paling umum digunakan (Asdak, 1995).
Wischmeier dan Smith (1978) juga menyatakan bahwa metode yang umum digunakan untuk
menghitung laju erosi adalah metode Universal Soil Loss Equation (USLE). Adapun persamaan ini
adalah:
A = R . K . L . S . C . P ………………………………………………………..(1)
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
a. Erosivitas Hujan (R)
Erosivitas merupakan kemampuan hujan untuk menimbulkan atau menyebabkan erosi. Indeks
erosivitas hujan yang digunakan adalah EI30. Erosivitas hujan sebagian terjadi karena pengaruh
jatuhan butir-butir hujan langsung di atas permukaan tanah. Kemampuan air hujan sebagai
penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana
keduanya mempengaruhi besar energi kinetik air hujan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
erosivitas hujan sangat berkaitan dengan energi kinetis atau momentum, yaitu parameter yang
berasosiasi dengan laju curah hujan atau volume hujan (Asdak, 1995).
Persamaan yang umum digunakan untuk menghitung erosivitas adalah persamaan yang
dikemukakan oleh Bols (1978) dalam Hardjowigeno (1995). Persamaan tersebut adalah :
dimana :
EI30 : Erosivitas curah hujan bulanan rata-rata
R12 : Jumlah E130 selama 12 bulan
R : Curah hujan bulanan (cm)
D : Jumlah hari hujan
M : Hujan maksimum pada bulan tersebut (cm)
9. Cara menentukan besarnya indeks erosivitas hujan yang lain dapat menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Lenvain (DHV, 1989) sebagai berikut :
dimana :
R : Indeks erosivitas
P : Curah Hujan Bulanan (cm)
Cara menentukan besarnya indeks erosivitas hujan yang terakhir ini lebih sederhana karena hanya
memanfaatkan data curah hujan bulanan.
b. Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah merupakan jumlah tanah yang hilang ratarata setiap tahun per satuan indeks daya
erosi curah hujan pada sebidang tanah tanpa tanaman (gundul), tanpa usaha pencegahan erosi,
lereng 9% (5°), dan panjang lereng 22 meter (Hardjowigeno, 1995). Faktor erodibilitas tanah
menunjukan kekuatan partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel
tanah oleh adanya energi kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas tanah ditentukan oleh karakteristik
tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, dan kandungan bahan
organik serta bahan kimia tanah.
Metode penetapan nilai faktor K secara cepat dapat dilihat pada Tabel 2 dengan terlebih dahulu
mengetahui informasi jenis tanah. Nilai faktor K juga dapat diperoleh dengan menggunakan
nomograf erodibilitas tanah seperti yang ditunjukan pada Gambar 3. Nomograf ini disusun oleh
lima parameter yaitu % fraksi debu dan pasir sangat halus, % fraksi pasir, % bahan organik, struktur
tanah, dan permeabilitas tanah (Purwowidodo,1999).
Gambar 3. Nomograf Erodibilitas Tanah (United States Environmental Protection Agency, 1980 di
dalam Asdak, 1995)
c. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)
10. Faktor lereng (LS) merupakan rasio antara tanah yang hilang dari suatu petak dengan panjang dan
curam lereng tertentu dengan petak baku (tanah gundul,curamlereng 9%, panjang 22 meter, dan
tanpa usaha pencegahan erosi) yang mempunyai nilai LS = 1.
Menurut Weismeier dan Smith (1978) dalam Hardjoamijojo dan Sukartaatmadja (1992), faktor
lereng dapat ditentukan dengan persamaan :
dimana :
l = Panjang lereng (meter)
S = Kemiringan lahan (%)
m = Nilai eksponensial yang tergantung dari kemiringan
S < 1% maka nilai m = 0.2
S = 1 – 3 % maka nilai m = 0.3
S = 3 – 5 % maka nilai m = 0.4
S > 5% maka nilai m = 0.5
Selain menggunakan rumus di atas, nilai LS dapat juga ditentukan menurut kemiringan lerengnya
seperti ditunjukan pada Tabel 2 berikut .
d. Faktor Tanaman (C)
Faktor pengelolaan tanaman merupakan rasio tanah yang tererosi pada suatu jenis pengelolaan
tanaman terhadap tanah yang tererosi dengan pada kondisi permukaan lahan yang sama tetapi
tanpa pengelolaan tanaman atau diberakan tanpa tanaman. Pada tanah yang gundul (diberakan
tanpa tanaman/petak baku) nilai C = 1.0. Untuk mendapatkan nilai C tahunan perlu diperhatikan
perubahan-perubahan penggunaan tanah dalam setiap tahun. Besarnya nilai C pada beberapa
kondisi dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Tabel 3.
Terdapat sembilan parameter sebagai faktor penentu besarnya nilai C, yaitu konsolidasi tanah, sisa-sisa
tanaman, tajuk vegetasi, sistem perakaran, efek sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan,
faktor kontur, kekasaran permukaan tanah, gulma, dan rumputrumputan (Asdak, 1985).
11. e. Faktor Usaha-usaha Pencegahan Erosi / Konservasi (P)
Faktor praktik konservasi tanah adalah rasio tanah yang hilang bila usaha konservasi tanah
dilakukan (teras, tanaman, dan sebagainya) dengan tanpa adanya usaha konservasi tanah. Tanpa
konservasi tanah nilai P = 1 (petak baku). Bila diteraskan, nilai P dianggap sama dengan nilai P untuk
strip cropping, sedangkan nilai LS didapat dengan menganggap panjang lereng sebagai jarak
horizontal dari masingmasing teras. Besarnya nilai P pada beberapa kondisi dapat dilihat pada Tabel
4. Konservasi tanah tidak hanya tindakan konservasi secara mekanis dan fisik, tetapi termasuk juga
usaha-usaha yang bertujuan untuk mengurangi erosi tanah. Penilaian faktor P di lapangan lebih
mudah apabila digabungkan dengan faktor C, karena dalam kenyataannya kedua faktor tersebut
berkaitan erat. Beberapa nilai faktor CP telah dapat ditentukan berdasarkan penelitian di Jawa
seperti terlihat pada Lampiran 9. Pemilihan atau penentuan nilai faktor CP perlu dilakukan dengan
hati-hati karena adanya variasi keadaan lahan dan variasi teknik konservasi yang dijumpai di
lapangan.
12. 5. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Perkiraan erosi dan kedalaman tanah dipertimbangkan untuk memprediksi Tingkat Bahaya Erosi
(TBE) untuk setiap satuan lahan. Kelas Tingkat Bahaya Erosi diberikan pada tiap satuan lahan dengan
matriks yang mengguanakan informasi solum tanah dan perkiraan erosi menurut Rumus USLE.
Kelas Tingkat Bahaya Erosi ditentukan dengan menggunakan matriks yang disajikan pada Tabel 5.
13. Keterangan :
0 – SR = Sangat Ringan
I – R = Ringan
II – S = Sedang
III – B = Berat
IV – SB = Sangat Berat
C. KEADAAN UMUM SITU BOJONGSARI
Situ Bojongsari merupakan situ terluas di Kota Depok. Secara administratif Situ Bojongsari terletak
di Kelurahan Sawangan (Sawangan Lama), Kecamatan Sawangan, dengan letak geografisnya pada
6°23’15” LS dan 106°45’13” BT. Situ ini termasuk dalam lingkup administratif DAS Angke yang
memiliki tujuh muara (teluk), yang masing-masing teluknya terletak di dukuh yang berbeda dalam
Wilayah Kecamatan Sawangan. Situ Bojongsari memiliki luas perairan 28.25 ha dengan kedalaman 3
– 4 meter, terletak 70 meter dari permukaan laut. Perairan situ dikelilingi oleh areal perkebunan
pada sebelah selatan, permukiman di sebelah barat, areal perkebunan di sebelah utara, dan
terdapat sarana rekreasi di sebelah timurnya. Selain itu terdapat padang golf (Club Golf Sawangan)
pada bagian tenggara Situ Bojongsari.
Permukiman yang terdapat pada barat situ merupakan milik penduduk sekitar dan usaha-usaha
rumah makan dengan bangunan non permanen. Beberapa bangunan diantaranya terletak sangat
dekat dengan danau, sehingga sering mendapat peringatan dari pemerintah daerah setempat
untuk memindahakan bangunannya karena dikhawatirkan dapat mengganggu ekosistem
situ/danau. Kolam-kolam ikan milik penduduk juga banyak dijumpai di bagian utara dan barat Situ
14. Bojongsari. Bahkan perairan pada bagian barat dan utara ini kurang lebih 35 persen dipakai untuk
tambak ikan yang diusahakan oleh pihak swasta.
Gambar 4. Kondisi Perairan Situ Bojongsari
Selanjutnya pada bagian selatan situ didominasi oleh perkebunan milik penduduk sekitar dengan
komoditas utama ketela pohon dan jagung. Selain tanaman perkebunan, juga dijumpai beberapa
areal sawah milik penduduk dengan padi sebagai komoditas utamanya. Sawah ini mendapatkan air
irigasi dari situ.
Bagian tenggara situ merupkan areal komersil yang dikelola oleh pihak swasta. Di bagian tenggara
ini terdapat lapangan golf dengan vegetasi rumputnya yang tertata dengan baik. Lapangan golf ini
bersebelahan dengan hotel dan cottage yang sengaja dikelola oleh pihak swasta dengan
memanfaatkan keindahan alam Situ Bojongsari.
Menurut Fakhruddin (1989), Situ Bojongsari terletak pada ketinggian 70 meter dari permukaan air
laut, dengan luas genangan air tertinggi 28.25 Ha dan kedalaman maksimum 10 meter. Fluktuasi
permukaan air situ antara musim kemarau dan musim penghujan kurang lebih 1.2 meter dan waktu
simpan air selama 27 hari.
15. Gambar 5. Kondisi Sekitar Situ Bojongsari
Gambar 6. Usaha Rumah Makan di Timur Situ Bojongsari Sebagai Sarana Rekreasi
16. Gambar 7. Vegetasi Ketela Pohon di Barat Daya Situ Bojongsari
Gambar 8. Cottage di Tengah Situ Bojongsari
Tepat di bagian utara situ terdapat check dam dengan panjang ± 7 meter dengan dua pintu air.
Check dam dibangun pada tahun 1997, namun pengoperasiannya kurang baik sehingga
penggunaannya belum efektif bahkan kondisi pintu airnya sudah tidak sempuran. Check dam ini
dibuat dengan tujuan untuk memudahkan pendistribusian air situ ke pemukiman dan sawah/kebun
milik penduduk sekitar. Oleh karena itu hendaknya dilakukan perbaikan check dam agar dapat
berfungsi optimal dan menambah bangunan pengendali erosi lainnya seperti teras yang efektif
untuk mencegah erosi longsor.
17. Situ Bojongsari merupakan suatu bentuk perairan yang bersifat terbuka. Selain untuk irigasi
penduduk, juga dimanfaatkan untuk aktivitas harian seperti mencuci dan mandi. Perairan situ
dikelilingi oleh kebun, lapangan golf, permukiman, dan persawahan. Adanya sisa pupuk dan
sampah dari permukiman dapat menambah ketersediaan bahan organik dan anorganik di perairan.
Hal ini dapat memacu pertumbuhan makrofita sehingga dapat berakibat negatif.
Gambar 9. Kondisi Check Dam yang Tidak Terawat
Menurut Hartoto (1989a), selama bertahun-tahun selama musim kemarau hampir 60% permukaan
air situ tertutup oleh Salvinia sp, yang biasanya berkurang selama musim hujan karena hanyut
terbawa oleh arus air. Pertumbuhan Salvinia sp selain ditentukan oleh sinar matahari , juga
ditentukan oleh ketersediaan unsur hara terutama N dan P. Pertumbuhan Salvinia sp. merupakan
petunjuk arus dalam suatu perairan relatif tenang . Secara umum lokasi Situ Bojongsari sangat kotor
dan tak terawat.
Di bantaran-bantaran situ terdapat banyak sampah, baik sampah plastik maupun seresah daun-daunan
yang gugur. Maka tak heran kendati Situ Bojongsari yang merupakan tempat wisata yang
relatif murah dan mudah terjangkau ini kurang menarik minat wisatawan lokal maupun asing.
Bahkan tanggul-tanggul yang dibuatpun sudah banyak yang rusak dan tidak berfungsi lagi guna
mencegah erosi dan sedimentasi. Selain itu, akses jalan menuju Situ Bojongsari juga masih berupa
tanah tanpa penutup, sehingga dengan situasi curah hujan Kota Depok yang tinggi, maka jalan-jalan
tanah tersebut secara otomatis sering basah, becek, dan menyulitkan pengguna jalan yang ingin
melewatinya.
18. Gambar 10. Kondisi Situ Bojongsari yang Tidak Terawat
D. KERUSAKAN SITU
Secara umum kondisi Situ Bojongsari memang terlihat masih bagus, bahkan bagian selatan situ
masih tampak alami belum terjamah aktifitas manusia. Namun apabila kita tinjau dari parameter
kerusakan-kerusakan situ, maka saat ini Situ Bojongsari termasuk kategori situ kritis, yang
memerlukan pemulihan sesegera mungkin untuk mempertahankan fungsi optimal situ. Kerusakan di
Situ Bojongsari sebagai berikut :
1. Sedimentasi
Perairan Situ Bojongsari kini sudah dipenuhi limbah rumah tangga dan sampah yang berakibat pada
pendangkalan situ. Limbah rumah tangga diprediksi akan semakin bertambah dari tahun ke tahun
akibat jumlah permukiman ilegal yang bertambah. Belum lagi sumber mata air yang sudah tertutup
sedimen dan sampah. Selain itu, sedimentasi di Situ Bojongsari terutama di bagian selatan hingga
barat daya disebabkan terutama oleh aktifitas penduduk yang menanam singkong di tepi situ.
Selain itu, luas situ juga mulai menyusut dengan banyaknya permukiman penduduk dan kolam
pemancingan ikan atau empang. Situ mengalami pendangkalan antara tiga dan lima meter sehingga
harus dikeruk dengan kedalaman yang sama.
2. Vegetasi Enceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Selain itu, perairan situ juga banyak ditumbuhi tumbuhan air seperti enceng gondok ( Eichhornia
crassipes ) dan Salvinia sp. Situ Bojongsari hampir 60 % tertutup oleh Salvinia sp. Keadaan tersebut
apabila dibiarkan akan menimbulkan akibat negatif bagi perairan yaitu mengurangi ketersediaan
volume air karena evapotranspirasi dan pendangkalan perairan karena pembusukan Salvinia s.p.
Akibat selanjutnya akan terjadi penipisan oksigen terutama di kolom air bagian bawah, sehingga
keadaan dapat menjadi anaerob. Sumber daya air yang demikian ini jelas kurang bermanfaat. Dalam
hal ini usaha restorasi perairan akan dapat meningkatan manfaatnya.
19. Gambar 11. Vegetasi Enceng Gondok di Perairan Situ Bojongsari
3. Erosi Longsor
Selanjutnya pada tepi / bantaran situ juga ditemui peristiwa erosi longsor. Walaupun tidak semua
tepi situ terjangkit erosi, namun apabila hal ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan
bantaran-bantaran lainnya akan tertular erosi serupa.
Gambar 12. Erosi Longsor pada Tebing Situ
III. METODOLOGI
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
20. Penelitian ini dilaksanakan di Situ Bojongsari, Kecamatan Sawangan, Kota Depok. Waku penelitian
dimulai Bulan November 2007 sampai dengan Bulan Pebruari 2008.
B. ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan berupa komputer dengan program Microsoft Office Excel dan program
(software) ArcView 3.2 yang dibuat oleh ESRI (Environmental Systems Research Institute) untuk
perhitungan.
Bahan yang digunakan berupa data sekunder dan peta-peta sebagai berikut :
Data Curah Hujan DAS Ciliwung Tengah Tahun 1992 –2001
Peta Jenis Tanah DAS Ciliwung Skala 1 : 20000000
Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Skala 1 : 25000
C. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder hasil pengukuran yang berhubungan
dengan erosi di Situ Bojongsari. Data dikumpulkan melalui salinan atau turunan data/copy dari
instansi yang terkait melalui pengadaan dan pembelian data atau peta. Selain itu datadata juga
diperoleh dari akses internet. Sumber data yang akan digunakan untuk penelitian dapat dilihat pada
Tabel 8. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan Januari sampai Februari 2008. Jenis data yang
diperlukan untuk melakukan analisa pekerjaan studi ini terdiri dari :
a. Curah Hujan
Data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan DAS Ciliwung Tengah, kendati Situ
Bojongsari termasuk dalam DAS Angke. Data curah hujan DAS Ciliwung Tengah diukur dari stasiun
pengamatan Depok, sehingga sebaran curah hujan masih menjangkau Situ Bojongsari. Ketersediaan
data curah hujan selama 10 tahun mulai tahun 1992 hingga tahun 2001.
b. Peta Kontur
Peta kontur berupa peta rupa bumi Situ Bojongsari terbaru, kondisi perairan, daerah pemukiman di
sekitar, batas administratif, dan kenampakan artifisial lainnya.
Berdasarkan peta kontur ini akan dikaji untuk penentuan panjang dan kemiringan lahan (faktor L dan
S).
c. Peta Jenis Tanah
Peta jenis tanah berupa peta yang menampakan jenis tanah di wilayah Kota Depok tepatnya di Situ
Bojongsari. Dengan mengetahui jenis tanah, maka dapat digunakan untuk menentukan nilai K
(erodibilitas tanah) dengan Tabel Nilai K.
d. Peta Penutupan Lahan Tahun 2001
21. Peta tata guna lahan digunakan untuk mengetahui kondisi pemanfaatan lahan saat ini yang dapat
digunakan untuk memonitor pengembangan suatu aktifitas dalam land-form tersebut. Peta ini
biasanya dipakai untuk melakukan kajian terhadap rencana pengembangan suatu wilayah.
Pada pengukuran erosi dengan pendekatan USLE ini, peta tata guna lahan berfungsi untuk
menentukan faktor tanaman (C) dan faktor konservasi tanah (P). Selain mengacu pada peta
penutupan lahan, pada penelitian kali ini faktor C dan faktor P juga ditentukan melalui pengamatan
langsung di lokasi penelitian dan juga wawancara dengan masyarakat sekitar.
2. Pengolahan Data
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti kerangka pendekatan yang dapat dilihat pada gambar 13.
Tahap awal penelitian adalah pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam mendeskripsikan
permasalahan untuk memprediksi nilai erosi di Situ Bojongsari, yang terdiri dari data hujan (curah
hujan dan hari hujan) dan peta-peta. Tahap selanjutnya mengolah data-data yang diperlukan untuk
dipakai dalam perhitungan pendekatan USLE guna memprediksi besarnya erosi. Tahap-tahap
pengolahan data selengkapnya sebagai berikut:
a. Menghitung nilai R (erosivitas hujan) menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Lenvain (DHV,
1989) sebagai berikut :
dimana :
R : indeks erosivitas
P : curah hujan bulanan (cm)
b. Dari berbagai rumus perhitungan erosivitas, pada kasus ini dipilih rumus di atas karena data curah
hujan yang tersedia hanya data curah hujan bulanan.
c. Menentukan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan jenis tanah, bersumber pada nilai K yang
terdapat pada Lampiran 7. Jenis tanah diperoleh berdasarkan Peta Jenis Tanah DAS Ciliwung.
d. Menentukan Nilai LS, bersumber pada nilai LS pada Tabel 2. Sebelum menentukan besarnya nilai
LS, harus diketahui terlebih dahulu kemiringan lereng. Kemiringan lereng pada penelitian ini
diperoleh dari Peta Kontur DAS Ciliwung.
e. Menentukan nilai CP. Nilai CP dapat dicari dengan menentukan faktor C dan P masing-masing
atau digabungkan sekaligus menjadi faktor CP. Pada penelitian ini, karena faktor CP diperoleh
melalui pengamatan langsung di lapangan, maka penentuan nilai CP dilakukan dengan dua cara di
atas disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selanjutnya nilai CP atau C dan P dapat dilihat pada
Tabel 3, Tabel 4, Lampiran 7, dan Lampiran 9.
f. Selanjutnya nilai A (jumlah kehilangan tanah maksimum) dapat
dihitung sesuai dengan Rumus USLE
A = R . K . L . S . C . P
22. dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
g. Menghitung luas Daerah Tangkapan Air (DTA) di sekeliling Situ Bojongsari dengan memplotkan
hasil penelusuran DTA melalui kontur peta top pada milimeter block.
h. Selanjutnya dengan informasi solum tanah, dapat ditentukan Tingkat Bahaya Erosi (TBE).
i. Setelah itu dilakukan pendugaan kemungkinan umur Situ Bojongsari dengan terlebih dahulu
mengukur luas Situ Bojongsari dan menghitung volumenya.
23. Gambar 13. Diagram Alir Pendugaan Nilai Erosi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERHITUNGAN EROSI
Berdasarkan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), faktorfaktor erosi yang akan dihitung
meliputi faktor erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS),
dan faktor pengelolaan tanaman dan usaha pencegahan erosi (CP).
1. Faktor Erosivitas (R)
Data curah hujan yang digunakan untuk menghitung faktor erosivitas diperoleh dari data curah
hujan DAS Ciliwung Tengah. Secara administratif Situ Bojongsari masuk dalam lingkup DAS Angke.
Namun, kendati demikian data curah hujan DAS Ciliwung Tengah tetap dapat dipakai dalam
24. penelitian ini karena data curah hujan diukur dan diolah oleh stasiun klimatologi Depok. Karena
sebaran data curah hujan yang diambil dari suatu stasiun memiliki sebaran sampai 30 km. Curah
hujan rata-rata bulanan untuk DAS Ciliwung Tengah berkisar antara 168 mm sampai dengan 377
mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan November dan terendah pada Bulan Juli.
Curah hujan mempunyai peranan yang cukup tinggi terhadap erosi tanah yang terjadi. Pada daerah
yang berlereng terjal, erosivitas hujan yang tinggi sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi.
Masukan data curah hujan terdiri dari jumlah curah hujan bulanan selama 10 tahun dari tahun 1992
sampai tahun 2001. Sehingga setelah dilakukan perhitungan diperoleh nilai erosivitas seperti yang
ditunjukkan oleh Tabel 7.
Untuk lebih mudah mengetahui peningkatan maupun penurunan nilai erosivitas hujan dari tahun
1992 hingga 2001 di DAS Ciliwung Tengah dapat dilihat pada grafik pada Gambar 14.
25. Gambar 14 . Grafik Erosivitas Hujan DAS Ciliwung Tengah
2. Faktor Erodibilitas (K)
Berdasarkan peta jenis tanah pada Gambar 15, maka Situ Bojongsari termasuk kawasan yang
memiliki jenis tanah latosol coklat kemerahan. Tanah latosol secara umum memiliki bahan induk
berupa batuan vulkanik bersifat intermedier, yaitu batuan dengan kadar Besi (Fe) dan Magnesium
(Mg) cukup tinggi. Tanah jenis ini bersolum dalam, pH agak tinggi, dan memiliki kepekaan terhadap
erosi rendah.
Gambar 15. Peta Tanah DAS Ciliwung (Departemen Pekerjaan Umum Kota Administratif Depok)
Selanjutnya setelah mengetahui jenis tanah, maka nilai erodibilitas (K), dapat diketahui pada
Lampiran 7. Sehingga didapat nilai K untuk daerah Situ Bojongsari sebesar 0.121.
3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
26. Untuk Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) ditentukan dengan menggunakan Peta Sebaran
Kelas Kelerengan DAS Ciliwung, kemudian nilai LS dapat diperoleh melalui Tabel 2. Secara umum
wilayah Kota Depok di bagian utara merupakan daerah dataran tinggi, sedangkan di bagian selatan
merupakan daerah perbukitan bergelombang lemah. Berdasarkan atas elevasi atau ketinggian garis
kontur, maka bentang alam daerah Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran rendah
– perbukitan bergelombang lemah. Bentuk kemiringan suatu wilayah sangat menentukan jenis
penggunaan lahan, intensitas penggunaan lahan dan kepadatan bangunan.
Gambar 16. Peta Digitasi Kelas Kelerengan DAS Ciliwung
Dari Peta Kelas Kelerengan DAS Ciliwung, dapat diketahui bahwa Situ Bojongsari terletak pada
kemiringan lahan yang beragam dari 0 – 50 %. Pada penelitian ini, kelas kemiringan ditentukan
berdasarkan peta kontur DAS Ciliwung (lembar Cibinong) yang diolah dengan program Arc View 3.2.
Berdasarkan bentuk topografinya, areal DAS Ciliwung dikelompokan menjadi 5 kelas kemiringan (s)
yaitu 0 – 5 %, 5 – 15 %, 15 – 35 %, 35 – 50 %, dan > 50 %. Nilai indeks LS berkisar antara 0.25 sampai
12.
27. Gambar 17. Pembagian Kelas Kelerengan Situ Bojongsari
Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan sumber terjadinya kesalahan yang terbesar dalam
perhitungan erosi. Hal ini disebabkan oleh penggunaan peta untuk mendapatkan nilai panjang dan
kemiringan lereng. Peta yang digunakan memberikan informasi terlalu umum, sehingga untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik, nilai LS harus ditentukan berdasarkan pengukuran di lapangan.
4. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Usaha Pencegahan Erosi (CP)
Faktor Pengelolaan Tanaman dan Usaha Pencegahan Erosi dapat diketahui dari Peta Tata Guna
Lahan atau Peta Penutupan Lahan dan pengamatan langsung di lapangan, kemudian nilai dari faktor
CP dapat diperoleh dari Tabel 3, Tabel 4, Lampiran 8, dan Lampiran 9.
Pada penelitian ini faktor CP diketahui langsung dengan melakukan pengamatan di lokasi penelitian.
Hal ini dilakukan agar nilai CP yang didapat benar-benar aktual atau kondisi terkini di lokasi,
sehingga diharapkan nilai hasil pendugaan erosi memiliki tingkat keakuratan yang tinggi. Nilai C dan
P harus diteliti secara intensif dan dipetakan lebih terperinci dengan menggunakan interprestasi
foto udara dan kerja lapangan. Setelah melakukan pengamatan di lapangan, maka diperoleh hasil
bahwa faktor C dan P di bantaran sekeliling Situ Bojongsari berbeda-beda. Vegetasi sekaligus praktik
konservasi yang terdapat di sekeliling Situ Bojongsari ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 18. Vegetasi di Barat Daya Situ Bojongsari
Tepat di barat daya perairan Situ Bojongsari. Terdapat banyak perkebunan terutama singkong dan
kacang tanah milik penduduk sekitar yang ditanam di pinggir situ. Terdapat juga tanaman kebun
lainnya seperti jagung dan pisang, namun jumlahnya hanya sedikit. Padahal seperti yang diketahui,
bahwa tanaman seperti ubi kayu atau singkong dan kacang tanah apabila ditanam di areal yang
rawan erosi, maka akan meningkatkan resiko erosi, karena akar tanaman yang kurang kuat
28. menahan air dan tradisi masyarakat Indonesia yang menanam singkong atau kacang tanah dengan
jarak tanam yang relatif jarang.
Di bagian tengah atau lekukan situ juga merupakan area komersil berupa hotel dan cottage lengkap
dengan berbagai fasilitasnya. Kendati telah dibangun hotel/cottage, namun pada pinggiran situ
masih tampak jelas semak dan sebagian rumput yang mungkin oleh pengelola hotel sengaja
dibiarkan tumbuh liar untuk memberikan kesan natural pada pengunjung hotel maupun cottage.
Vegetasi semak dengan sebagian rumput menyebar tidak hanya di tengah (lekukan situ), tetapi juga
dijumpai di bagian barat laut hingga utara situ.
Selanjutnya di selatan Situ Bojongsari merupakan padang golf komersil dengan penutupan lahan
berupa rumput golf dengan penutupan sempurna dan tentu saja dapat dipastikan rumput-rumput
tersebut terawat dengan baik. Maka pada wilayah ini, penentuan nilai C dan P tidak dilakukan
masing-masing, namun sekaligus dalam bentuk CP sesuai kondisi lahan. Sehingga dapat dipastikan
dengan penutupan lahan yang begitu sempurna dengan vegetasi rumputnya, areal ini cenderung
mengalami tingkat erosi yang rendah.
Gambar 19. Vegetasi di Daerah Tangkapan Air Situ Bojongsari
Selanjutnya di bagian tenggara hingga timur Situ Bojongsari adalah sarana rekreasi. Kendati bertajuk
sarana rekreasi, namun lokasi ini tampak sepi. Menurut masyarakat sekitar, lokasi ini hanya ramai
pada hari libur, itupun pengunjung tidak banyak seperti tempat wisata pada umumnya. Aktivitas
yang kental terlihat di lokasi ini adalah banyaknya para pencari ikan baik dengan jala maupun
sekedar menyalurkan hobi memancing, sebab di Situ Bojongsari terkenal dengan hasil ikan air tawar
yang melimpah yang oleh masyarakat sekitar disebut ikan melem. Karena memang direncanakan
sebagai tempat wisata, maka lokasi ini sangat sejuk oleh pohon-pohon akasia yang ditanam di
pinggiran situ disertai dengan penutupan rumput yang tidak sempurna, karena mungkin tidak
dirawat dengan baik.
Kemudian di bagian utara hingga timur laut pada Gambar 19 merupakan areal yang penuh dengan
alang-alang dan sebagian rumput. Menurut penuturan masyarakat sekitar, rumput-rumput di
daerah ini sering dibabat penduduk untuk pakan ternak. Vegetasi yang dominan di bantaran situ
daerah ini adalah perumputan dengan penutupan tanah sebagian dan ditumbuhi alang-alang. Untuk
29. lokasi barat hingga barat laut Situ Bojongsari memiliki jenis vegetasi yang sama dengan lokasi
tengah atau lekukan situ .
5. Perhitungan Nilai Laju Erosi (A)
Setelah parameter-parameter dalam persamaan USLE telah ditentukan nilainya, maka besanya erosi
di Situ Bojongsari dapat diperkirakan dengan mengkalikan faktor-faktor erosi melalui persamaan
berikut :
A = R x K x LS x CP
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
Gambar 20 . Deretan Pohon Akasia dan Rumput di Timur Situ Bojongsari
30. Gambar 21. Erosi Longsor di Bantaran Situ Bojongsari
Perhitungan erosi di Situ Bojongsari ini, dibagi dalam lima wilayah erosi (zonasi) berdasarkan faktor
vegetasi (C) dan konservasi (P) seperti yang terlihat pada Gambar 19. Perbedaan vegetasi dan
konservasi ditunjukan oleh perbedaan warna.
Untuk lebih memudahkan dalam pengolahan data, maka masingmasing lokasi akan disimbolkan
dengan angka 1 – 5, yang urutannya adalah :
Zona warna coklat : Lokasi 1
Zona warna ungu : Lokasi 2
Zona warna oranye : Lokasi 3
Zona warna hijau : Lokasi 4
Zona warna abu-abu : Lokasi 5
Pembagian lima daerah erosi akan disajikan pada Tabel 8 – Tabel 12 berikut.
31.
32.
33. Pada lokasi 3, memiliki tingkat kemiringan lereng yang seragam. Terdapat tiga kelas kemiringan
lereng pada lokasi ini, yaitu 0 – 5 %, 15 – 35 %, dan 35 – 50 %. Sehingga untuk memperoleh nilai LS
total sebagai berikut :
34. Untuk lokasi 1 memili kemiringan lereng yang sama yaitu 35-50 %. Selanjutnya pada lokasi 2
kemiringan lereng seragam antara 0 – 5 %.Kondisi yang sama juga terdapat di lokasi 4 dan lokasi 5
yang memilki kemiringan lereng yang sama. Hasil perhitungan nilai total laju kehilangan tanah
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13.
6. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Setelah nilai erosi dari kelima lokasi diperoleh, selanjutnya melalui informasi solum tanah dapat
diketahui Tingkat Bahaya Erosi (TBE). Tanah di sekitar Situ Bojongsari termasuk jenis tanah latosol
yang mempunyai solum tanah > 90 cm (Djunaedi, 1999 dan Soil Staff, 1999). Selanjutnya TBE dapat
diketahui dari Tabel 5. Sehingga diperoleh Kelas Tingkat Bahaya Erosi untuk lima zona erosi di
sekeliling Situ Bojongsari Tabel 17.
35. Dari Tabel 15 perhitungan di atas didapat nilai rata-rata kehilangan tanah di lima lokasi yang
mengelilingi Situ Bojongsari berdasarkan batas Daerah Tangkapan Air (DTA) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 19. Kelima lokasi ini diduga dapat menyebabkan erosi di sekitar situ,
sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang apabila tidak segera dilakukan aksi tindak
pencegahan erosi maka akan menyebabkan sedimentasi situ.
Dari perhitungan nilai A dan klasifikasi tingkat bahaya erosi dapat diketahui bahwa nilai kehilangan
tanah yang paling kecil berada di lokasi 5. Lokasi 5 merupakan areal dengan vegetasi perumputan
dengan penutupan tanah sebagian dan ditumbuhi alang-alang tepatnya pada bagian utara hingga
timur laut Situ Bojongsari dengan total kehilangan tanah 22.66 ton/tahun. Nilai erosi yang kecil
terjadi karena vegetasi perumputan dan alang-alang dapat menyerap air hujan yang jatuh ke tanah,
selain itu zona ini ditunjang dengan luas petak daerah tangkapan air yang kecil dan kemiringan yang
landai. Sehingga kemungkinan tanah yang terbawa aliran permukaan masuk ke dalam situ sedikit.
Nilai erosi yang juga terbilang kecil juga terdapat pada lokasi 2 yang merupakan padang golf dengan
vegetasi penutup sekaligus konservasi perumputan yang sempurna. Sehingga dengan curah hujan
di wilayah Depok yang relatif tinggi setiap tahunnya, air hujan yang turun dapat diserap sempurna
oleh vegetasi rumput tanpa harus terjadi aliran permukaan yang membawa pecahanpecahan tanah
ke perairan situ. Selain itu nilai kehilangan tanah yang kecil ini, juga akibat kemiringan lereng yang
landai yaitu berkisar antara 0 – 5 %. Dengan kemiringan lereng yang landai, maka dapat dipastikan
apabila terjadi pengangkutan partikel tanah akibat erosi, tanah tidak langsung dengan mudah jatuh
ke perairan. Sehingga nilai persentasi kemiringan yang kecil ini akan memperkecil resiko erosi.
Sedangkan total kehilangan tanah terbesar terdapat di lokasi 1 yaitu kawasan barat daya Situ
Bojongsari dengan nilai erosi 4969.84 ton/tahun. Lokasi 1 memiliki kemiringan lereng sangat curam
berkisar antara 35 – 50 %. Selain itu dengan vegetasi berupa ubi kayu dan kacang tanah yang
ditanam dengan jarak tanam yang lebar (jarang), menyebabkan tanah di sekitar situ menjadi rawan
terjangkit erosi. Faktor utama yang menyebabkan lokasi ini masuk dalam kategori erosi berat karena
cakupan luas daerah tangkapan airnya yang luas, sehingga resiko erosi tinggi.
Lokasi 3 dengan vegetasi semak dan rumput termasuk kelas erosi sedang. Lokasi ini memiliki
kemiringan lereng yang beragam, yaitu 0 – 5 %, 15 – 35 %, 35 – 50 %. Padahal apabila ditinjau dari
vegetasi dan faktor konservasinya, seharusnya zona 3 dengan semak dan sebagian rumputnya
mampu menjadi daerah resapan air yang baik. Namun, vegetasi dan konservasi yang baik tanpa
36. didukung oleh persentase kemiringan yang kecil juga dapat meningkatkan resiko erosi. Karena
perhitungan erosi dengan metode USLE ini merupakan perpaduan dari seluruh faktor erosi yaitu
hujan, erodibilitas, faktor kelas lereng, faktor vegetasi serta konservasi, dan luas daerah tangkapan
air. Faktor-faktor ini saling terkait satu dan lainnya.
Selanjutnya lokasi 4 yaitu daerah tenggara hingga timur Situ Bojongsari, yang merupakan areal
dengan vegetasi dan praktik konservasi yang kurang baik. Apabila kita meninjau hanya dari faktor
CP, maka lokasi 4 inilah wilayah yang sangat rawan terhadap erosi. Karena areal ini ditujukan untuk
objek wisata, maka dapat dipastikan jumlah bangunanbangunan komersil seperti warung, panggung
hiburan, MCK akan lebih banyak dibanding vegetasi penutupnya. Vegetasi yang diusahakan di areal
ini adalah pohon akasia dengan penutupan rumput yang kurang rapat (jelek). Ditambah lagi dengan
aktivitas pengunjung objek wisata yang gemar menginjak rumput, membuang sampah
sembarangan, bahkan melakukan kegiatan bakar jagung/ubi di tepi situ. Kegiatan-kegiatan ini
secara tak langsung memberikan resiko erosi yang lebih tinggi lagi. Selain itu pada zona 4 memiliki
cakupan daerah tangkapan air yang luas yaitu sebesar 46.25 ha. Namun, pada perhitungan prediksi
erosi yang dilakukan nilai total kehilangan tanah lokasi 4 ini relatif kecil dan masuk dalam kelas
erosi ringan. Hal ini dapat terjadi karena lokasi 4 didukung oleh kemiringan lereng yang relatif
landai berkisar antara 0 – 5 %, sehingga dapat memperkecil resiko erosi.
Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan terjadi pada kelas kelerengan 0-5 %
dan kelas sedang pada kelas kelerengan 15-35 %, sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas
kelerengan 35-50 %.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa areal di sekeliling Situ Bojongsari masih dalam kondisi
relatif aman terhadap bahaya erosi dan sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan perhitungan
kemungkinan
umur Situ Bojongsari.
Pendugaan umur situ dilakukan dalam rangka memprediksi sampai kapan suatu situ dalam kondisi
bagus secara ekosistem dan merencanakan praktik konservasi yang harus dilakukan umtuk
memperpanjang umur situ.
Penentuan umur situ dimulai dengan terlebih dahulu menghitung kedalaman situ. Situ Bojongsari
memiliki kedalaman yang beragam antara 3 – 10 meter. Pada pengukuran kedalaman Situ
Bojongsari diwakili tiga titik kedalaman. Selanjutnya dengan informasi luas Situ Bojongsari dapat
dicari volume situ. Setelah volume diketahui maka selanjutnya umur Situ Bojongsari dapat
diketahui dengan membagi nilai volume situ dengan jumlah erosi di lima zona erosi . Perhitungan
sebagai berikut.
Kondisi Situ Bojongsari
Diketahui :
h1 = 3 meter
h2 = 4 meter
h3 = 10 meter
hrata2 = 5.67 meter
A = 28.25 ha = 282500 m2
37. Maka, Volume Situ = A X hrata2
= 282500 m2 X 5.67 meter
= 1601775 m3
Volume Sedimen (Vs)
Jumlah erosi Situ Bojongsari = Σ erosi zona 1-7
= 9200.19 ton / tahun
Berdasarkan hasil pengambilan contoh sedimen dari beberapa penelitian sedimen di daerah Jawa
oleh Puslitbang Pengairan Bandung, diambil nilai rata-rata konsentrasi sedimen (ρ) 1.21 gr/cm3.
Sehingga volume sedimen (Vs) Situ Bojongsari 7601 m3/tahun.
Sehingga kemungkinan umur Situ Bojongsari
= Volume Situ / Vs
= 1601775 m3 / 7603.46 m3/tahun
= 210.66 tahun ≈ 211 tahun
Dari prediksi tersebut umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil ini bukan merupakan
nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa prediksi, karena pada hakekatnya umur situ juga tergantung dari
aktivitas manusia di sekelilingnya dan kemauan manusia untuk mengelola lingkungan hidup. Bukan
tidak mungkin, umur situ lebih pendek dari prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang
kurang peduli terhadap lingkungan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pendugaan erosi yang dilakukan di Situ Bojongsari, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Situ Bojongsari memiliki tujuh muara dengan luas genangan airnyasebesar 28.25 Ha.
Kedalaman rata-rata Situ Bojongsari adalah 3-4 m.
Situ Bojongsari terletak pada ketinggian 70 m dari permukaan laut.
Fluktuasi permukaan air situ antara musim kemarau dan musim penghujan kurang lebih 1.2 meter
dan waktu simpan air selama 27 hari.
Kondisi Situ Bojongsari sudah mengalami penurunan. Kerusakan yang terindikasi di Situ Bojongsari
adalah pendangkalan dasar situ, penyempitan luas situ, pencemaran air, dan adanya vegetasi enceng
gondok hampir memenuhi 60% perairan.
Laju erosi rata-rata yang terjadi di Situ Bojongsari dihitung dengan metode zonasi yang terbagi dalam
lima wilayah erosi (zona erosi) berdasarkan perbedaan faktor lereng (LS) dan faktor vegetasi,
cakupan daerah tangkapan air, serta faktor konservasi (CP). Laju erosi di lokasi 1 sebesar 300.111
38. ton/ha/tahun, lokasi 2 dengan laju erosi 0.806 ton/ha/tahun, lokasi 3 sebesar 118.303 ton/ha/tahun,
lokasi 4 sebesar 10.315 ton/ha/tahun, di lokasi 5 nilai laju erosinya 1.612 ton/ha/tahun.
Berdasarkan perhitungan cakupan daerah tangkapan pada masingmasing zona maka dapat diketahui
bahwa nilai erosi terbesar yang tergolong kelas erosi berat terdapat pada lokasi 1 sebesar 4969.84
ton/ha. Sedangkan nilai erosi terkecil terdapat pada lokasi 5 yang tergolong kategori erosi sangat
ringan sebesar 22.66 ton/ha.
Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan terjadi pada kelas kelerengan 0-5 %
dan sedang pada kelas kelerengan 15-35 %, sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas
kelerengan 35-50 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa areal di sekeliling Situ Bojongsari masih
dalam kondisi relatif aman terhadap bahaya erosi dan sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan
perhitungan kemungkinan umur Situ Bojongsari.
Faktor penyebab erosi terbesar pada Situ Bojongsari karena tanah yang terbawa aliran permukaan
akibat vegetasi di sekitar situ tidak dapat menahan aliran permukaan serta jarak tanam yang terlalu
jauh (kurang rapat).
Umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil ini bukan merupakan nilai mutlak. Nilai ini
hanya berupa prediksi, karena pada hakekatnya umur situ juga tergantung dari aktivitas manusia di
sekelilingnya dan kemauan manusia untuk mengelola lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, umur
situ lebih pendek dari prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap
lingkungan.
Untuk mencegah terjadinya erosi maka perlu dilakukan reboisasi di sekitar situ dan pembuatan
bangunan penangkal erosi.
Untuk mengatasi masalah sedimentasi yang telah menumpuk di Situ Bojongsari, maka perlu
diadakan pengerukan terhadap lapisan lumpur yang berada di dasar situ. Waktu yang tepat untuk
melakukan pengerukan sedimentasi adalah pada akhir musim kemarau, karena lumpur akan mudah
dibuang. Selain itu juga menjelang musim hujan, saat air hujan pada awal musim hujan dapat
menjadi pencuci situ.
B. SARAN
Dalam rangka peningkatan pelestarian dan pemulihan Situ Bojongsari serta untuk penelitian-penelitian
selanjutnya, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Pada tanah yang tererosi berat dan sangat berat perlu diupayakan usaha konservasi lahan baik
secara mekanis maupun vegetatif.
Diperlukan adanya Kebijakan Pemerintah Daerah dalam kegiatan pemeliharaan dan pemulihan
kerusakan Situ Bojongsari
Perlu adanya tata ruang dan batas bantaran Situ Bojongsari yang kemudian menjadi Perda
(Peraturan Daerah) agar kerusakan dapat dihindarkan sehingga kelestarian situ dapat dijaga.
Kepada masyarakat yang bermukim di sekitar Situ Bojongsari hendaknya lebih peduli terhadap
ekosistem situ dengan selalu menjaga kebersihan dan keindahan situ.
39. DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.
Jogjakarta.
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan RTL-RLKT.
Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
BAKOSURTANAL. 1998. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Skala 1 : 25000. Cibinong. Bogor
Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik
Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan RI.
Jakarta.
Ekaputri, Erlinda. 2003. Menentukan Kerusakan Resapan Secara Kuantitatif Pada Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung dengan Metode Analisa Resesi Aliran Dasar (Base Flow Resession Analysis).
Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Haeruman, H. 1999. Kebijaksanaan Pengelolaan Danau Dan Waduk Ditnjau Dari Aspek Tata Ruang,
Seminaloka Nasional Pengelolaan Dan Pemanfaatan Danau Dan Waduk. PPLH-LP. IPB.Bogor.23 hal.
Hardjoamidjojo, S. dan Sukartaatmadja, S. 1992. Teknik Pengawetan Tanah dan Air. JICA IPB. Bogor.
Haerdjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta.
Hendrawan, H. 2004. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Pendugaan Erosi dengan
Pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation) di Sub- DAS Cimuntur, Ciamis. Skripsi. Jurusan Teknik
Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Hotib dan I Nyoman Suryadiputra. 1998. Situ-situ di Jabotabek dan Permasalahannya . Warta
Konservasi Lahan Basah. Vol. 7 (1): 6-7
http:/dithias.hortikultura.go.id. Diakses tanggal 4 Pebruari 2008
http:/portal pemerintahan depok.wordpress.com. Diakses tanggal 24 Januari 2008
http:/satriadharma.wordpress.com. Diakses tanggal 30 Januari 2008
http:/www.asiamaya.com. Diakses tanggal 30 Januari 2008
http:/www.bakosurtanal.go.id. Diakses tanggal 30 Januari 2008
http:/www.depok.go.id. Diakses tanggal 24 Januari 2008
http:/www.indonesianestate.com. Diakses tanggal 24 Januari 2008
Indrawati. 2000. Kajian Erosi DAS Citarum Hulu Terhadap Sedimentasi Waduk Saguling, Jawa Barat.
Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.
Bogor.
40. Ispriyanto, R. 2001. Erosi di Areal Tumpangsari Tegakan Pinus merkussi Jungh et de Vriese Umur 1
tahun (Studi Kasus di KPH Tasikmalaya, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat). Skripsi. Jurusan
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Murdis, R. 1999. Pendugaan Erosi dengan Pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation)
Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi) di Sub-DAS Ciwidey, Bandung. Skripsi. Jurusan Teknik
Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Nilwan. 1987. Pendugaan Besar Erosi dan Daya Angkutan Sedimen pada Daerah Aliran Sungai
Citarum Hulu. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Purwowidodo. 1999. Pokok-pokok Bahasan Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Laboratorium
Pengaruh Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Rahim, S.E. 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi
Aksara. Jakarta
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit ANDI.Yogyakarta
Wasfi, A.2002. Tingkat Kesuburan Situ Rawa Besar Depok Berdasarkan Kandungan unsur hara N dan
P. Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan.IPB, Bogor.
Zachar, D. 1982. Soil Erosion. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam