1. Penilaian dan Evaluasi Belajar
Ditinjau dari Sistem Belajar Student Centered
Oleh Maksimus Adil
Abstrak
Penilaian dan evaluasi belajar merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari seluruh proses
pembelajaran. Model penilaian dan evaluasi belajar sangat dipengaruhi oleh filosofi yang dianut oleh
masing-masing lembaga pendidikan. Suatu sistem penilaian dan evaluasi belajar harus dapat
dipertanggung-jawabkan kepada tiap unsur yang terkait, seperti siswa, orang tua murid, dan bahkan
masyarakat luas pada umumnya. Untuk itu penilaian terhadap hasil belajar siswa harus didukung oleh
bukti-bukti yang kuat dan valid. Banyak piranti yang dapat dipakai oleh guru untuk menilai hasil
belajar siswa. Sebut saja diantaranya adalah test dan kuis, project, report, presentasi, informal
checks for understanding, anecdotal notes, dan lain sebagainya. Piranti yang dipakai untuk menilai
hasil pekerjaan siswa haruslah sudah direncanakan bahkan sebelum guru men-design proses belajar
yang diinginkan. Tolok ukur yang dipakai guru untuk menilai adalah rubric, di mana di dalamnya berisi
kriteria yang mesti ada dan atau dicapai siswa dari setiap bentuk evaluasi yang diadakan. Untuk
mempermudah guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan sistem student centered dan
kemudian dapat membuat evaluasi dan penilaian dengan baik, di sekolah High/Scope diterapkan suatu
strategi yang disebut “Understanding by Design”. Salah satu aspeknya adalah konsep backward
design, dimana kita sebagai guru mesti pertama-tama menentukan hasil yang diharapkan dari siswa
dari suatu proses belajar sebelum menentukan proses belajarnya sendiri. Penilaian terhadap hasil
belajar siswa mesti memperhiungkan keseluruhan proses yang mencakup tiga unsur, yakni produk,
proses, dan progress.
Pengantar
Hampir setiap tahun seusai mengadakan UN atau tepatnya setelah pengumuman hasil
UN, bangsa kita selalu dilanda „prahara‟ karena banyaknya siswa yang tidak berhasil dalam UN.
Polemik hampir pasti menghiasi media-media nasional, baik cetak maupun elektronik.
Umumnya berita yang mendominasi di media masa adalah kekecewaan siswa dan orang tua dan
bahkan para guru akibat kegagalan beberapa siswa. Apalagi kalau diantara yang tidak lulus ada
siswa berprestasi dan dianggap pintar.
Berbagai pandangan akan muncul ke permukaan, baik dari para pakar pendidikan
maupun politisi. Fokus pembicaraan biasanya tentang kelemahan UN sampai pada validitasnya
untuk menentukan seorang siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak dari jenjang pendidikan yang
sudah digelutinya selama kurang-lebih 3 tahun. Di antaranya ada yang menuntut agar para guru
di sekolah adalah satu-satunya pihak yang paling sah dan meyakinkan untuk menentukan
kelulusan, karena merekalah yang mengenal anak didiknya.
Makalah ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan validitas atau tidaknya UN untuk
menentukan kelulusan siswa. Makalah ini ditulis untuk menelaah lebih jauh bagaimana sistem
penilaian yang memadai agar semua unsur yang terlibat dalam pendidikan dapat terpuaskan.
Unsur-unsur yang terlibat dalam pendidikan tidak lain adalah siswa, guru, orang tua, masyarakat
Penulis adalah pengajar pada sekolah High/Scope Indonesia TB Simatupang, mengajar pelajaran Character,
Cultural, and Community Development dan Pelajaran Agama Katolik untuk Middle School, alumnus STF
Driyarkara.
2. dan pemerintah. Karena itu penilaian yang dilakukan di sekolah mesti fair dan dapat
dipertanggung-jawabkan kepada para pihak itu. Artinya semua pihak memahami makna, isi, dan
cakupan penilaian dari nilai yang diperoleh peserta didik yang dikuatkan dengan bukti-bukti
yang memadai.
Filosofi Pembelajaran
Penilaian dan evaluasi belajar hanyalah salah satu aspek dari sistem pembelajaran. Ia
tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian integral dari keseluruhan proses belajar dalam
ruangan kelas. Oleh karena itu penilaian dan evaluasi belajar sangat terkait dan dijiwai oleh
filosofi yang dianut lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan.
Untuk mayoritas sekolah yang menganut sistem teachers-centered (menjadikan
kurikulum sebagai pusat dari seluruh proses belajar), penuntasan materi yang diperintahkan oleh
kurikulum menjadi hal yang utama. Untuk sekolah model ini hasil akhir dalam arti target
pencapaian siswa menjadi satu-satunya yang penting. Di sini proses menjadi tidak terlalu
penting, melainkan hasil akhir, yakni berapa nilai yang didapat siswa dari evaluasi belajar yang
diadakan. Di pihak guru, yang penting target pengajaran (penuntasan materi) tercapai. Siswa
mengerti atau tidak soal lain. Sistem belajar macam ini (teachers-centered) melihat belajar
sebagai kompetisi dan bukan peziarahan, pergulatan atau pergumulan menuju penguasaan ilmu
pengetahuan.
Selain sekolah model teachers-centered, saat ini muncul sekolah-sekolah yang
memfokuskan proses belajarnya pada siswa (student-centered). Pada lembaga-lembaga
pendidikan yang membangun sistem pendidikannya atas filosofi student-centered, peserta belajar
(baca: siswa) menjadi pusat dari seluruh proses belajar, dan proses belajar itu sendiri sama
pentingnya dengan hasil akhir yang diharapkan dari para siswa. Sekolah seperti ini berpegang
pada semangat „learning is not a race but journey’. Siswa diajak untuk berziarah, berpetualang,
bergumul secara pribadi menuju penguasaan ilmu pengetahuan. Dengan demikian peserta didik
benar-benar dihargai sebagai pribadi, dibimbing sesuai kondisi dan kemampuannya yang khas,
tidak terpenjara dalam hierarki pengelompokkan pintar – bodoh yang pada akhirnya membunuh
rasa percaya diri, semangat belajar, dan pengabaian perjuangan khas masing-masing pribadi
dalam keseluruhan proses belajar.
Men-design Pemahaman Siswa
Agar siswa dapat belajar maksimal, artinya terlibat secara penuh dalam seluruh proses
pembelajaran, mengalami pergulatan (dalam arti sesungguhnya) untuk memahami pokok-pokok
yang dipelajari dan akhirnya dapat menguasai ilmu pengetahuan, pelajaran harus di-design
sedemikian rupa. Untuk dapat mencapai tujuan itu, sekolah High/Scope Indonesia (H/S)
mencoba menerapkan suatu strategi yang dikenal dengan sebutan “understanding by
3. design(UBD)”1[1] dalam seluruh proses belajar pada setiap subject yang diajarkan. Hal ini
dilakukan berdasarkan kesadaran bahwa tujuan dari proses belajar adalah mencapai pemahaman
(understanding). Siswa memahami atau tepatnya menguasai ilmu yang dipelajarinya. Lebih dari
itu agar siswa mendapatkan suatu penilaian yang otentik dan dapat dipertanggung-jawabkan
pada tiap akhir term.
Unsur utama dalam konsep ini adalah apa yang disebut sebagai backward design, yakni
suatu pendekatan dalam merancang kurikulum atau pelajaran yang dimulai dengan tujuan yang
ingin dicapai.2[2] Ada tiga tahap utama3[3]backward design:
Tahap pertama, Tentukan hasil yang diharapkan. Apa yang siswa harus ketahui, pahami, dan
dapat lakukan setelah menyelesaiakn pokok tertentu.
Tahap kedua, tentukan bukti-bukti yang dapat diterima. Pertanyaan pokok yang mesti dijawab
di sini adalah bagaimana kita dapat ketahui jika siswa telah mencapai hasil yang
diharapkan. Apa bukti-bukti yang kita harapkan untuk mendukung pemahaman
siswa?
Tahap ketiga, tentukan instruksi dan proses belajar yang ingin diterapkan. Setelah kita
memastikan hasil apa yang diharapkan dan bukti apa yang dapat menunjang
pencapaian hasil itu, lalu kita tentukan bagaimana proses belajar harus
dilaksanakan untuk mencapai sasaran itu.
Gambaran kerangka berpikir dalam menyusun rencana pelajaran dengan menggunakan
strategi UBD bagi guru4[4] dapat dilukiskan sebagai berikut:
Stage 1 – Hasil yang diharapkan
Tentukan tujuan pembelajaran: G
apa tujuan yang ingin dicapai (misalnya pengetahuan yang ingin didapat (content),
pencapaian yang lain-lainnya)
Pemahaman: U Pertanyaan kunci: Q
Siswa dapat memahami bahwa… Pertanyaan pokok apa yang dapat
diajukan untuk membantu penelitian
apa gagasan pokok
lebih lanjut, pemahaman, dan transfer
pemahaman khusus apa yang pengetahuan.
diharapkan
masalah-masalah yang mungkin muncul.
1[1] Untuk mendalami lebih jauh tentang konsep ini, lih. Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development), Alexandria, Virginia USA, thn. 2005.
2[2] Tentang hal ini Stephen R. Covey mengatakan, “To begin with the end in mind means to start with a clear
understanding of your destination. It means to know to know where you’re going so that you better understand
where you are now so that the steps you take are always in the right direction.” Lih. Stephen R. Covey, “The 7
Habits of Highly Effective People, 1998, p. 98. Baca juga Grant Wiggins and Jay McTighe, idem. hal. 338.
3[3] lih. Tahap-tahap backward design, Grant Wiggans and Jay McTighe, idem. hlm 17-34.
4[4] Lih. Grant Wiggins and Jay McTighee, ibid., hal. 22
4. Siswa akan mengetahui … K Siswa dapat melakukan… S
pengetahuan dan skill apa yang siswa
dapatkan sebagai hasil dari pelajaran ini
apa yang mesti siswa dapat lakukan
sebagai hasil dari pengetahuan atau skill
yang ada
Stage 2 – Bukti-bukti yang diharapkan
Performance Tasks: T Bukti-bukti Lainnya: OE
Project apa yang siswa dapat lakukan Test
untuk menunjukkan pemahaman dan skill
Presentasi
yang mereka kuasai.
Anecdotal Notes, dll.
Kriteria apa yang akan digunakan untuk
mengukur pemahaman siswa
Stage 3 – Rencana Pelajaran
Aktivitas Pembelajaran: L
Bagaimana proses pembelajaran dan isntruksi yang digunakan yang memungkinkan siswa
mencapai hasil yang diharapkan. Bagaimana aktivitas pembelajaran itu dirancang?
Kemana siswa akan dibawa dan apa yang diharapkan. Dari mana siswa akan berangkat
(prior knowledge dan interest).
Bagaimana menarik minat siswa?
Bagaimana membantu siswa mengalami (terlibat) dan mengembangkan lebih lanjut
materi yang diajarkan.
Merancang kesempatan bagi siswa untuk memikirkan kembali, memperbaiki pemahaman
atau pekerjaan mereka
Mendorong siswa untuk mengevaluasi pekerjaan mereka dan melihat implikasinya
Bagaimana mengakomodir perbedaan minat, kepentingan, dan kemampuan siswa
Bagaimana merancang proses belajar yang efektif agar siswa dapat terlibat secara
maksimal.
Kerangka berpikir seperti ini membantu guru dalam merencanakan proses belajar plus evaluasi
macam apa yang akan mereka lakukan.
Penilaian dan Evaluasi Belajar Sistem Student Center5[5]
Seperti yang telah disinggung di atas, penilaian dan evaluasi belajar tidak terpisahkan
dari seluruh proses belajar. Karena itu, model atau bentuk penilaian dan evaluasi belajar harus
sudah ditentukan sebelum merencanakan proses belajar di dalam kelas..
Sebelum membahas lebih jauh tentang penilaian dan evaluasi belajar, baiklah terlebih
dahulu dibicarakan apa saja model dan tujuan penilaian (assessment) dan evaluasi belajar.
Evaluasi belajar umumnya dibagi atas dua bagian yakni formative assessment dan summative
assessment. Formative assessment pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui bagaimana peserta
didik belajar, apa yang telah mereka pelajari dengan baik, apa masalah atau kesulitan yang
5[5] Hampir seluruh bahan kajian pada bagian ini diambil dari materi Teachers Training High/Scope Indonesia, July
2006.
5. mereka alami dan apa bentuk perbaikan (corrective measures) yang diperlukan.6[6] Karena itu
formative assessment dapat dilakukan tiap hari dalam bentuk pretest, posttest, PR, weekly
project, observation, anecdotal notes dan sebagainya.
Dengan sistem pembelajaran student center, formative assessment mempunyai peran
yang sangat strategis. Guru mendapatkan segala informasi yang diperlukan untuk dapat
mendapingi masing-masing peserta didik sesuai dengan kondisi real mereka secara pribadi
termasuk strategi perbaikan agar siswa dapat menguasi materi dengan baik. Persoalannya adalah
apa yang terjadi bila ternyata tingkat pencapaian siswa ternyata berbeda? Diagram berikut
diharapkan dapat memberikan gambaran. Perhatikan diagram berikut:
Diagram 1:
Pel. Bab I
Formative Assessment A
Intervention Activities
Formative Assessment B
Enrichment Activities
Pel. Bab II
Dari diagram 1 terlihat bahwa siswa dengan daya tangkap yang kurang diberi tambahan agar
dapat memenuhi target yang diharapkan, sementara yang sudah mencapai target diberi
enrichment activities untuk memperkaya pemahamannya atas pokok yang dipelajari.
Sementara summative assessment bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian siswa
selama periode tertentu (per term atau smester). Bentuknya bisa berupa test summative,
performance task atau kombinasi keduanya dari mana guru bisa melihat penguasaan siswa atas
materi yang telah dipelajari selama term atau smester itu. Meskipun demikian summative
assessment hanya berdaya guna jika didukung oleh formative assessment.
Diagram 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Formative assessment Intervention / Enrichment
Developing Report (Reporting)
Summative assessment
Formative dan Summative Assessment Sequence
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa assessment membantu para pendidik
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam akan kemampuan belajar siswa dan kemudian
mempermudah mereka (para pendidik) dalam mengkomunikasikan bukti-bukti hasil belajar
siswa kepada para orang tua, rekan guru, peserta didik, dan masyarakat luas pada umumnya.
Adapun tentang penilaian dapat dikatakan bahwa penilaian akhir dilakukan dengan
menganalisa berbagai bukti yang ada (yang didapat baik dari formative assessment maupun
6[6]Idem..
6. summative assessment) lalu memutuskan posisi akhir siswa dengan menggunakan parameter
yang ada, tentu sesuai dengan persentase yang ditetapkan guru atau sekolah.7[7]Summative
Assessment tentu sangat berpengaruh untuk menentukan grade pencapaian siswa pada akhir term
atau smester.
Yang menjadi dasar dari penilaian yang baik adalah bukti yang baik dan memadai. Ada 3
kualitas untuk dapat menentukan memadai (baik) atau tidaknya bukti-bukti pendukung penilaian,
yakni validity, reliability, dan quantity.
Pertama, Validity. Mengacu pada kepatutan dan memadainya interpretasi yang dibuat
berdasarkan informasi atau data yang tersedia. Kedua, Reliability. Mengacu pada kekonsistenan
hasil assessment yang dilakukan. Konkretnya, siswa yang sama dapat memperoleh skor yang
sama pada dua kesempatan test pada waktu yang berbeda atau mendapat score yang sama ketika
dievaluasi oleh dua guru yang berbeda. Ketiga, Quantity. Menggunakan berbagai macam bukti
yang dapat dipercaya.
Lalu bagaimana bila terjadi ketidak-konsistenan bukti berkaitan dengan pencapaian
siswa? Bila hal ini terjadi, beberapa hal dapat menjadi pertimbangan:
1. Berikan prioritas pada data terbaru.
2. Berikan prioritas pada data yang lebih komprehensif.
3. Berikan prioritas pada bukti-bukti yang berkaitan dengan pencapaian standard atau tujuan
pembelajaran yang paling penting.
Piranti Penilaian dan Evaluasi Belajar
Sejak merencanakan pelajaran, guru harus sudah menentukan hasil akhir yang diharapkan
dari para siswa atas materi yang diajarkan dan apa saja piranti yang dipakai untuk penilaian8[8].
Ada beberapa piranti yang bisa digunakan untuk mengevaluasi perkembangan belajar para siswa.
Pertama, Informal checks for understanding. Mengecek pemahaman siswa secara
informal dapat dilakukan dengan cara tanya-jawab ketika pelajaran sedang berlangsung, bisa
juga dalam bentuk mengecek pemahaman siswa atas pekerjaannya sendiri lewat pertanyaan-
pertanyaan, dan lain-lain. Observasi guru dan dialog dengan siswa masuk dalam kategori ini.
Informal check for understanding merupakan bagian integral dari proses pembelajaran bila kita
menganut sistem ongoing assessment. Hasil observasi ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang memadai untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat sesuai dengan
karakter siswa.
7[7] Gambaran konkret tentang penilian akan diuraikan pada bagaian akhir tulisan ini
8[8] Soal penentuan hasil akhir, akan dibahas lebih lanjut pada bagian terakhir tulisan ini.
7. Kedua, Tes dan kuis. Test ini sifatnya bisa mingguan atau dua mingguan. Bentuknya
dapat berupa tes dengan jawaban singkat, benar-salah, jodohkan, atau pilihan ganda. Test bisa
juga panjang dan melibatkan analisa. Test yang kedua ini bentuknya berupa open-ended
question, yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, tidak sekedar mengulang apa yang tertulis
dalam buku (hafalan). Pertanyaan yang sifatnya open-ended membutuhkan jawaban yang
sifatnya konstruktif, tidak hanya memiliki satu jawaban yang benar, menekankan pada strategi
pemecahan masalah, menggunakan kemampuan analisis, sintesis, lalu kemudian mengevaluasi
kembali hasil analisanya. Jadi pertanyaan yang sifatnya open-ended mesti menuntut jawaban
yang teruraikan secara sistematis dan melibatkan argumentasi yang memadai. Test dan kuis
mesti berfokus pada isi atau muatan pelajaran. Di sini yang kita assess adalah informasi factual,
konsep, skill yang diharapkan diperoleh siswa dari materi itu.
Ketiga, Project. Project sifatnya sifatnya bisa short-term maupun long-term (bulanan atau
satu smester). Project lebih merupakan pengaplikasian teori atau konsep yang didapat di sekolah
dalam kasus-kasus konkret, dengan tujuan, audiens dan situasi yang tertentu. Pada level ini,
siswa dimungkinkan untuk menggarap project yang sesuai dengan minatnya. Project yang
diberikan kepada siswa dapat terintegrasi dengan pelajaran lainnya. Project dapat membantu
guru untuk menilai sejauh mana siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah
didapatnya, secara lintas ilmu. Misalnya antara penerapan pengetahuan berbahasa dan ilmu
sosial, dan seterusnya.
Selain ke-tiga piranti ini, kita juga masih memerlukan piranti-piranti lainnya. Di
antaranya adalah anecdotal notes. Guru membuat catatan harian tentang apa yang dicapai siswa
lebih khusus berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran atau aplikasi nilai-nilai dari
materi yang diajarkan atau dipelajari. Anecdotal notes sifatnya individual atau per siswa.
Pekerjaan rumah. Selain bermanfaat untuk melihat sejauh mana siswa dapat
menggunakan konsep yang telah dipelajari dalam mengerjakan PR-nya, PR juga membantu guru
untuk mengukur keseriusan dan tanggung jawab siswa dalam belajar. Ketepatan waktu,
kerapihan dan ketuntasan dalam mengerjakan PR dapat menjadi catatan guru. Agar maksimal,
tentu saja komunikasi guru – orang tua sangat diharapkan untuk mendukung proses belajar
siswa.
Report. Report bisa menjadi bagian dari satu project, bisa juga menjadi bagian yang
berdiri sendiri. Kelengkapan informasi, sistematika atau komposisi, dan lain-lain menjadi hal
yang diperhatikan dalam pengerjaan report. Sekali lagi report dapat terintegrasi dengan pelajaran
lain.
Presentasi. Siswa yang sungguh menguasai pokok pembelajaran dapat diketahui lewat
kemampuan presentasinya. Kendati demikian, harus juga diperhatikan karakter masing-masing
siswa. Misalkan ada siswa yang sungguh menguasai materi tetapi sulit mengkomunikasikannya
lewat presentasi. Karen itu guru harus mengenal karakter masing-masing siswanya.
8. Student self assessment. Hal ini jarang dilakukan di sekolah-sekolah yang semata-mata
mengejar penuntasan kurikulum dalam proses belajarnya. Student self assessment bermanfaat
untuk mendapat umpan balik dari para siswa. Siswa menilai dirinya sendiri sejauh mana dia telah
menguasai materi yang telah diajarkan atau dipelajari.
Piranti penilaian ini digunakan sesuai kebutuhan saja. Tidak perlu dipakai sekaligus
secara bersama dalam satu kesatuan waktu untuk satu pokok materi pelajaran. Guru menentukan
kira-kira piranti mana yang dapat digunakan.
Persoalannya adalah bagaimana cara mengukur yang memadai untuk menentukan
pencapaian siswa? Untuk test yang bisa langsung diberi skor seperti matematika atau test yang
sifatnya rutin harian, tidak terlalu sulit, karena guru bisa dengan mudah memberi skor yang
sesuai. Untuk test yang sifatnya kualitatif seperti project, presentasi, report, dan lain-lain, guru
perlu menyiapkan satu piranti lagi yang disebut rubrik. Rubrik adalah suatu piranti atau dokumen
yang perlu disiapkan guru. Rubrik berisi artikulasi atau gambaran atau batasan pencapaian siswa
yang diharapakan dari tugas atau test.9[9] Dalam rubrik ditampilkan kriteria-kriteria yang
diharapkan ada dalam pekerjaan siswa, atau pencapaian yang diharapkan dari satu test.
Berikut sebuah contoh rubrik:
Rubrik Grafik Data10[10]
Judul Label Akurasi Kerapian
Score
10% 20% 50% 20%
Judul menggambarkan dengan Semua bagian Data dalam grafik Grafiknya rapi dan
jelas tentang data apa yang grafik (kolom, ditampilkan secara mudah untuk
3 ditampilkan baris, atau ukuran) akurat dimengerti
ditandai dengan
jelas
Judul menggambarkan secara Ada bagian grafik Data yang Umumnya rapi dan
2 umum tentang data yang yang tidak ditandai ditampilkan dapat dipahami
ditampilkan dengan benar mengandung
kesalahan kecil
Judul tidak menggambarkan Hanya beberapa Data tidak akurat, Tidak rapih dan
1 isi data atau tidak ada judul bagian grafik yang banyak kesalahan, sulit dimengerti
ditandai dengan atau data tidak
benar lengkap
Bagaimanapun, dari pengalaman, kita menyadari bahwa test-test yang biasa saja tidak
lagi memadai untuk membantu siswa siap menghadapi tantangan yang konkret dalam kehidupan.
Sekolah diharapka dapat membantu siswa untuk mengembangkan skill dan kompetensinya untuk
menghadapi kehidupan yang nyata, situasi yang “terberi” di hadapan mereka. Siswa yang bisa
memperlihatkan skill dan kompetensinya, tentu saja lewat piranti yang disebutkan di atas,
daripada „sekedar‟ lulus ujian nasional, layak untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah
9[9] Bdk. Heidi Andarde, and Ying Du, Practical Assessment, Research, & Evaluation (PARE), Volume 10 Number
3, April 2005
10[10] Rubrik ini dielaborasi dari buku karangan Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design
Profesional Development Workbook, hlm 183. Contoh grafik yang dipakai penulis terlampir di hard copy tulisan ini.
9. digelutinya selama kurang lebih tiga tahun. Dan akhirnya kesuksesan suatu lembaga pendidikan
diukur dari sejauh mana siswa menguasai pengetahuan, skill, didukung oleh sikap dan tigkah
laku yang terpuji.
Penilaian Akhir
Setelah melihat uraian di atas, kita dapat tegaskan bahwa dalam sistem student center
beberapa hal harus diperhatikan dalam melakukan penilaian. Pertama, Produk. Fokus pada apa
yang siswa telah ketahui dan dapat lakukan. Yang termasuk dalam produk adalah hasil test akhir,
report, project, proyek laboratorium, presentasi. Alat ukur yang dipakai adalah rubric-akademik
dan / atau pekerjaan siswa.
Kedua, Proses. Fokus pada bagaimana siswa sampai pada pencapaian yang diharapkan.
Yang termasuk dalam proses adalah kuis (formative), sikap dan tingkah laku di kelas, journal,
PR (tingkat penyelesaian dan kualitasnya – dinilai berdasarkan rubric), keaktifan di kelas, usaha,
kerapian dalam menyelesaikan pekerjaan. Alat ukur yang dipakai untuk penilaian adalah rubric-
proses, checklist dan / atau anecdotal notes.
Ketiga, Progress. Fokus pada berapa banyak siswa telah peroleh dari proses belajar yang
dilakukan. Di sini kita membutuhkan portfolio yang menggambarkan perkembangan belajar
siswa sepanjang term, smester, dan bahkan tahun.
Penilaian atau tingkat pencapaian siswa ditentukan berdasarkan analisa keseluruhan
kriteria yang ada, dengan memberi porsi penentuan yang lebih besar pada hasil summative
assessment. Sebab dari hasil akhir itulah guru dapat mengetahui di mana posisi siswa setelah
melewati satu term atau smester. Dalam sistem High / Scope, grade pencapaian akademik
ditentukan berdasarkan krieria berikut:
Level Kode Tingkat Pencapaian
Introducing / need improvement (I) : <50 %
Progressing / shows improvement (P) : 50 – 79 %
Mastering / Satisfactory (M) : >= 80 %
Kesimpulan
Kita telah melihat bahwa penilaian dan evaluasi belajar terintegrasi secara total dengan
seluruh proses belajar. Penilaian dan evaluasi belajar bukan suatu hal yang berdiri sendiri.
Pada lembaga pendidikan yang menganut sistem student center, perkembangan masing-
masing siswa menjadi pokok perhatian, bukan semata-mata ketuntasan kurikulum, meskipun
ketuntasan tetap perlu diperhatikan.
10. Untuk dapat memberikan penilaian yang memadai, kita perlu mengumpulkan bukti yang
otentik dalam arti kita merancang sedemikian rupa hasil macam apa yang kita inginkan dan
bagaimana strategi untuk mendapatkan hasil seperti itu. Apa produk yang mesti dibuat siswa
agar kita dapat mengetahui bahwa mereka telah menguasai pokok yang telah dipelajari.
Dan yang terpenting adalah nilai yang diperoleh siswa harus dapat dipertanggung
jawabkan, dalam arti didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan memadai. Lebih dari itu siswa itu
sendiri diharapkan dapat mempertanggung-jawabkan pencapaiannya lewat pengatahuan, sikap,
tingkah laku dan skill yang dimilikinya dalam menghadapi hidup konkret beserta tantangannya
di tengah masyarakat.
Daftar Bacaan
Module Teachers Training High/Scope Indonesia. July 2006
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, ASCD, Virginia, USA, 2005
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design Profesional Development
Workbook, ASCD, Virginia, USA, 2005
Stephen R. Covey, “The 7 Habits of Highly Effective People, 1998
Heidi Andarde, and Ying Du, Practical Assessment, Research, & Evaluation (PARE),
Volume 10 Number 3, April 2005
Sumber-sumber pendukung lain dari internet.
Sumber : http://maxbona.webs.com/pendidikan.htm