2. Warga dan Desa
Warga bukanlah sebatas kumpulan orang yang
mendiami suatu wilayah, yang mudah
dipengaruhi dengan rekayasa sosial (kebijakan
dan proyek pembangunan).
Desa/nagari/kampung/gampong/negeri
bukanlah hanya sebatas social community
(kelembagaan, sosio-budaya, sistem/pranata
sosial, kekuasaan) yang ada dalam suatu
ruang/wilayah. Tapi ada sistem pengaturan
administrasi pemerintahan yang bekerja di
dalamnya. Termasuk sistem adat.
3. Negara Masuk Desa
Sebelumnya masyarakat lokal tidak mengenal
desa dalam pengertian teritorial-administratif (by
nature).
UU No. 5/1979 memaksa (imposition),
menyeragamkan desa dan akhirnya
meminggirkan desa. tatanan kehidupan lokal
hancur dan masyarakat lokal kesulitan untuk
beradaptasi dengan pemerintahan desa modal
pemerintah (Orde Baru).
Ada upaya perbaikan/pembaharuan menuju
kebijakan otonomi desa, meski belum penuh
4. Perspektif Desa Lama vs Desa
Baru
sumber: Eko, Sutoro et. al., (2014)
Desa Lama Desa Baru
Payung hukum UU No. 32/2004 dan PP
No. 72/2005
UU No. 6/2014
Asas Utama Desentralisasi-
residualitas
Rekognisi-subsidiaritas
Kedudukan Sebagai organisasi
pemerintahan yang
berada dalam sistem
pemerintahan
kabupaten/kota (local
state government)
Sebagai pemerintahan
masyarakat, hybrid
antara self governing
community dan local self
government
Poisisi dan peran
kabupaten/kota
Kabupaten/kota
mempunyai keenangan
yang besar dan luas
dalam mengatur dan
mengurus desa
Kabupaten/kota
mempunyai kewenangan
yang terbatas dan
strategis dalam
mengatur dan mengurus
desa; termasuk yang
tidak perlu ditangani
5. Lanjutan....
Desa Lama Desa Baru
Delivery kewenangan
dan program
Target Mandat
Politik tempat Lokasi: Desa sebagai
lokasi proyek dari atas
Arena: desa sebagai
arena bagi orang desa
untuk
menyelenggarakan
pmerintahan,
pembangunan,
pemberdayaan dan
kemasyarakatan
Posisi dalam
pembangunan
Objek Subjek
Model pembangunan Government driven
development atau
communtiy driven
development
Village driven
development
Pendekatan dan Imposisi dan mutilasi Fasilitasi, emansipasi
6. Platform Pembaharuan UU
Desa
Pertama, UU Desa mengakui dan mendudukan desa bukan lagi sebagai
subsistem dari pemerintahan kabupaten/kota, melainkan sebagai subsistem
NKRI.
Kedua, pengaturan desa yang berasaskan rekognisi, subsidiaritas,
keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah
dll.
Ketiga, kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan alokasi dana dari
APBN untuk desa sebesar 10 persen dari dan di luar dana perimbangan pusat
ke daerah.
Keempat, pengakuan negara atas kewenangan desa yang meliputi
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal.
Keempat, pengakuan negara terhadap Peraturan Desa Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKP Desa) sebagai satu-satunya dokumen perencanaan
desa yang harus menjadi rujukan skenario pembangunan desa.
Keenam, Pengakuan kewenangan desa berdasar; 1) asal usul, 2)
kewenangan berskala lokal dan 3) pelimpahan pemerintah supradesa (pasal
18 dan 19).
7. Tantangan Paska Kelahiran UU
Desa
Membangun koherensi/harmoni/kesesuaian
antara nilai/norma dalam UU Desa dengan nilai/
norma dalam UU yang lain (horizontal);
Menciptakan konsistensi integrasi antara nilai/
norma UU Desa dengan peraturan dibawahnya
(PP, Perda dan seterusnya) (vertical);
Menghidupkan visi pembaharuan desa dalam
praktik pemerintahan, dan sosial
kemasyarakatan desa.
8. Daftar Bacaan
Eko, Sutoro, Titik Istiyawatun Khasanah, Dyah Widuri, Suci
Handayani, nanik Handayani, Puji Qomariyah, Sahrul Aksa,
Hastowiyono, Suharyanto, Borni Kurniawan. (2014). Desa
Membangun Indonesia. Yogyakarta: PMD-AusAid-FPPD-Indipt.
Eko, Sutoro, Arie Sujito dan Borni Kurniawan. (2013). Mutiara
Perubahan Inovasi dan Emansipasi Desa Dari Indonesia Timur.
Yogyakarta: PMD-AusAid-IRE.
Dharmawan, Arya Hadi, Fredian Tonny, Yoyoh Indaryanti, Lala M.
Kolopaking, Dodik Ridho Nurrohmat, Siti Amanah, Satyawan Sunito,
Suharno, Eka Intan Kumala Putri dan Leti Sundawati. (2006).
Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan
Kemitraan. Bogor: IPB-Kemitraan.