Ekonomi Pendidikan (Analisa Manfaat Biaya Pendidikan)
ANALISA MANFAAT BIAYA PENDIDIKAN
Pendahuluan
Hampir dapat dipastikan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya yang memadai. Implikasi
diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan, membuat para pengambil keputusan sering kali mengalami
kesulitan dalam mendapatkan referensi tentang komponen pembiayaan pendidikan. Kebutuhan tersebut dirasakan
semakin mendesak sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah yang juga meliputi bidang pendidikan. Apalagi masalah
pembiayaan ini sangat menentukan kesuksesan program MBS, KBK, ataupun KTSP yang saat ini diberlakukan.
Dalam makalah ini, kami akan memfokuskan pada satu permasalahan pembiayaan pendidikan yaitu analisis manfaat
biaya pendidikan, namun untuk memperjelas dan mempermudah pembahasan makalah ini, pemakalah akan membahas
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan biaya pendidikan.
A. Pengertian Biaya Pendidikan
Secara bahasa biaya (cost) dapat diartikan pengeluaran, dalam istilah ekonomi, biaya/pengeluaran dapat berupa uang atau
bentuk moneter lainnya. Pengertian biaya dalam ekonomi adalah pengorbanan-pengorbanan yang dinyatakan dalam
bentuk uang, diberikan secara rasional, melekat pada proses produksi, dan tidak dapat dihindarkan. Bila tidak demikian,
maka pengeluaran tersebut dikategorikan sebagai pemborosan.
Nanang Fattah menambahkan biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung
(indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan
kegiatan belajar siswa seperti pembelian alat-alat pembelajaran, penyediaan sarana pembelajaran, biaya transportasi, gaji
guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa
keuntungan yang hilang dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang yang dikorbankan oleh siswa selama belajar,
contohnya, uang jajan siswa, pembelian peralatan sekolah (pulpen, tas, buku tulis,dll).
B. Analisis Biaya Manfaat
Analisis biaya manfaat merupakan metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan.
Metode ini dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan diantara alternatif alokasi sumber-
sumber pendidikan yang terbatas tetapi memberikan keuntungan yang tinggi.
Dalam konsep dasar pembiayaan pendidikan ada dua hal penting yang perlu dikaji atau dianalisis, yaitu biaya pendidikan
secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan per siswa (unit cost). Biaya satuan ditingkat sekolah merupakan
Aggregate biaya pendidikan tingkat sekolah baik yang bersumber dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang
dikerluarkan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu tahun pelajaran. Biaya satuan per-murid merupakan ukuran
yang menggambarkan seberapa besar uang yang dialokasikan sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam
menempuh pendidikan. Oleh karena biaya satuan ini diperoleh dengan memperhitungkan jumlah murid pada masing-
masing sekolah, maka ukuran biaya satuan dianggap standar dan dapat dibandingkan antara sekolah yang satu dengan
yang lainnya. Analisis mengenai biaya satuan dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya dapat
dilakukan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis. Dengan menganalisis biaya satuan, memungkinkan kita
untuk mengetahui efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber di sekolah, keuntungan dari investasi pendidikan, dan
pemerataan pengeluaran masyarakat, pemerintah untuk pendidikan. Disamping itu, juga dapat menjadi penilaian
bagaimana alternatif kebijakan dalam upaya perbaikan atau peningkatan sistem pendidikan.
Komponen Biaya Pendidikan meliputi:
1. Peningkatan KBM
2. Pembinaan tenaga kependidikan
3. Pengadaan alat-alat belajar
4. Pengadaan bahan pelajaran
5. Sarana kelas
6. Sarana sekolah
7. Pembinaan siswa
8. Pengelolaan sekolah
9. Pemeliharaan dan penggantian sarana dan prasarana pendidikan
10. Biaya pembinaan, pemantauan, pengawasan dan pelaporan.
11. Peningkatan mutu pada semua jenis dan jenjang pendidikan;
12. Peningkatan kemampuan dalam menguasai iptek.
13. Peningkatan pembinaan kegiatan siswa
14. Rumah tangga sekolah
15. Kesejahteraan
16. Perawatan
17. Pengadaan alat-alat belajar
18. Pembinaan tenaga kependidikan
19. Pengadaan bahan pelajaran
C. Cara-cara Memperkirakan Biaya Pendidikan
Ada dua cara untuk memperkirakan biaya pendidikan, yaitu (1) memperkirakan biaya atas dasar sumber-sumber
pembiayaan, dan (2) memperkirakan biaya atas dasar laporan dari lembaga-lembaga pendidikan.
• Cara yang pertama dilakukan dengan cara meneliti laporan dari sumber-sumber pembiayaan pendidikan. Menurut
sifatnya sumber-sumber ini dibedakan atas: (1) pengeluaran yang menyeluruh, dan (2) pengeluaran menurut status,
tingkat, dan sifatnya.
Pengeluaran menyeluruh terdiri atas: (a) sumber-sumber pemerintah, yang terdiri atas: (1) pemerintah pusat, (2)
pemerintah daerah, dan (3) bantuan luar negeri.
Pengeluaran menurut status dan sifatnya; Menurut statusnya: pengeluaran dibedakan atas pengeluaran dari
lembaga pendidikan pemerintah dan pengeluaran pendidikan swasta. Kemudian menurut tingkatnya, yaitu TK, SD,
SLTP, SLTA (SMU dan SMK), dan perguruan tinggi. Selanjutnya menurut sifatnya: pengeluaran dibedakan atas
pengeluaran berulang, pengeluaran modal, dan pengeluaran lainnya.
• Cara yang kedua, ialah menggunakan secara langsung laporan dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk keperluan
membuat perkiraan tersebut harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Yang pertama, dan yang terpenting adalah
harus ada laporan dari lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, laporan tersebut harus dibuat menurut pola standar
fungsional yang seragam. Ketiga, laporan harus memperlihatkan keseluruhan biaya operasi dari lembaga tersebut.
Sumber-sumber dana pendidikan antara lain meliputi: Anggaran rutin (DIK); Anggaran pembangunan (DIP); Dana
Penunjang Pendidikan (DPP); Dana BP3; Donatur; dan lain-lain yang dianggap sah oleh semua pihak yang terkait.
Pendanaan pendidikan pada dasarnya bersumber dari pemerintah, orang tua dan masyarakat (pasal 33 No. 2 tahun 1989).
Sejalan dengan adanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah dapat menggali dan mencari sumber-sumber dana
dari pihak masyarakat, baik secara perorangan maupun secara melembaga, baik di dalam maupun di luar negeri, sejalan
dengan semangat globalisasi.
Dana yang diperoleh dari berbagai sumber itu perlu digunakan untuk kepentingan sekolah, khususnya kegiatan belajar
mengajar secara efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, setiap perolehan dana, pengeluarannya harus didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan yang telah disesuaikan dengan rencana anggaran pembiayaan sekolah (RAPBS).
D. Tujuan Analisis Manfaat Biaya
Setelah memahami bentuk biaya, tujuan dari analisis biaya adalah untuk memberikan kemudahan, memberikan informasi
pada para pengambil keputusan untuk menentukan langkah/cara dalam pembuatan kebijakan sekolah, guna mencapai
efektivitas maupun efisiensi pengolahan dana pendidikan serta peningkatan mutu pendidikan.
Secara khusus, analisis manfaat biaya pendidikan bagi pemerintah menjadi acuan untuk menetapkan anggaran
pendidikan dalam RAPBN, dan juga sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas SDM dengan meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Sedangkan bagi masyarakat, analisis manfaat biaya pendidikan ini berguna sebagai dasar/pijakan
dalam melakukan ”investasi” di dunia pendidikan. Hal ini dirasakan penting untuk diketahui dan dipelajari, karena
menurut sebagian masyarakat pendidikan hanya menghabis-habiskan uang tanpa ada jaminan/prospek peningkatan hidup
yang jelas dimasa yang akan datang.
PENUTUP
Biaya pendidikan dapat dikatakan memegang peranan penting dalam keberlangsungan pendidikan. Keberhasilan sebuah
lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu juga tidak terlepas dari perencanaan anggaran
yang mantap, alokasi yang tepat sasaran dan efektif sehingga membuat seluruh komponen lembaga pendidikan tersebut
bersinergi dan memberikan hasil yang optimal dalam pencapaian tujuan. Lembaga pendidikan dapat dikatakan juga
sebagai produsen jasa pendidikan, seperti halnya pada bidang usaha lainnya menghadapi masalah yang sama, yaitu biaya
produksi.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa analisis manfaat biaya pendidikan menjadi bahan perhatian yang penting bagi
pemerintah, masyarakat, dan para penyelenggara pendidikan untuk menentukan langkah progresif dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Fattah, Nanang, Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: PT.Rosda Karya, 2002)
Hallak, J, Analisis Biaya dan Pengeluaran Untuk Pendidikan (Paris: International Institute For Planning, UNESCO,
1985)
Supriadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT.Rosda Karya, 2003)
Konsep dan Analisis Biaya Pendidikan « CARI ILMU ONLINE BORNEO.html
ums.ac.id/staf/syamsudin/.../Perencanaan%20Biaya%20Pendidikan.pdf
MENGUKUR BIAYA PENDIDIKAN
Oleh: Dr. Nanang Fattah
Biaya pendidikan merupakan dasar empiris untuk memberikan gambaran karakteristik keuangan sekolah.
Analisis efisiensi keuangan sekolah dalam pemanfaatan sumber-sumber keuangan sekolah dan hasil (out put)
sekolah dapat dilakukan dengan cara menganalisis biaya satuan (unit cost) per siswa. Biaya satuan per siswa
adalah biaya rata-rata per siswa yang dihitung dari total pengeluaran sekolah dibagi seluruh siswa yang ada di
sekolah (enrollment) dalam kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui besarnya biaya satuan per siswa menurut
jenjang dan jenis pendidikan berguna untuk menilai berbagai alternatif kebijakan dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan.
Di dalam menentukan biaya satuan terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan makro dan mikro. Pendekatan
makro mendasarkan perhitungan pada keseluruhan jumlah pengeluaran pendidikan yang diterima dari berbagai
sumber dana kemudian dibagi jumlah murid. Pendekatan mikro mendasarkan perhitungan biaya berdasarkan
alokasi pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan oleh murid.
1. Pendekatan Makro
Faktor utama yang menentukan dalam perhitungan biaya satuan dalam sistem pendidikan adalah kebijakan
dalam pengalokasian anggaran pendidikan di setiap negara. Pola alokasi biaya pendidikan terutama yang
bersumber dari pemerintah meningkatkan pengaruh berdasarkan struktur piramida karakteristik. Pola ini
memberikan tinjauan kasar tentang prioritas biaya yang bersumber dari pemerintah. Pada umumnya, negara-
negara di Asia mengalokasikan dana pemerintah untuk pendidikan dasar sebesar 48%, pendidikan menengah
31%, dan pendidikan tinggi sebesar 19%. Pola yang menurun ini sama dengan pola di Amerika Latin yang
berkontribusi dana pemerintahan masing-masing 51%, 25%, adn 24%. (Bank Dunia).
Untuk membandingkan biaya pendidikan pada tiap jenjang di tiap negara, teknik yang digunakan yaitu dengan
membandingkan biaya operasional pendidikan dan sumber keuangannya. Besarnya biaya satuan berdasarkan
perbandingan presentase dari GNP. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bank Dunia, rata-rata satuan biaya
pendidikan dasar di negara-negara Asia yang menjadi objek studi adalah 10% dari GNP, sama dengan di
Amerika Latin, pada pendidikan menengah rata-rata satuan biaya di Asia adalah 19% perkapita GNP.
Sedangkan di Amerika Latin mencapai 25%, Philipina dan Srilangka memiliki biaya terendah , yaitu kurang
dari 0,5 kali rata-rata regional. Cina memiliki satuan biaya paling tinggi yaitu sekitar 1,5 kali rata-rata regional.
Di negara-negara lain seperti India, Nepal, dan Thailand memiliki satuan biaya di bawah rata-rata, sedangkan
Indonesia, Korea, dan Malaysia memiliki satuan biaya di atas rata-rata.
Satuan biaya pendidikan di setiap negara sangat bervariasi. Variasi atau keragaman dalam besarnya satuan
biaya disebabkan perbedaan cara penyelenggaraan pendidikan. Karakteristik pendidikan yang mempengaruhi
biaya meliputi, antara lain:
· Skala gaji guru dan jam terbang mengajar.
· Penataran dan latihan pra jabatan.
· Pengelompokkan siswa di sekolah dan di dalam kelas.
· Penggunaan metode dan bahan pengajar.
· Sistem Evaluasi, dan
· Supervisi pendidikan.
Alasan adanya perbedaan satuan biaya antara negara-negara di Asia bermacam-macam. Misalnya, di
Bangladesh tingkat biaya terutama disebabkan rasio guru-siswa yang sangat tinggi, sedangkan di Srilangka
disebabkan gaji guru yang relatif rendah.
2. Pendekatan Mikro
Pendekatan mikro menganalisis biaya pendidikan berdasarkan pengeluaran total (total cost) dan jumlah biaya
satuan (unit cost) menurut jenis dan tingkat pendidikan. Biaya total merupakan gabungan biaya-biaya per
komponen input pendidikan di tiap sekolah. Satuan biaya pendidikan merupakan biaya rata-rata yang
dikeluarkan untuk melaksanakan pendidikan di sekolah per murid per tahun anggaran. Satuan biaya ini
merupakan fungsi dari besarnya pengeluaran sekolah serta banyaknya murid sekolah. Dengan demikian, satuan
biaya ini dapat diketahui dengan jalan membagi seluruh jumlah pengeluaran sekolah setiap tahun dengan
jumlah murid sekolah pada tahun yang bersangkutan.
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
A. pendidikan dalam pembangunan ekonomi
1. Pendidikan sebagai Investasi
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus
diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa
layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat,
sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian
menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin
diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-
sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat
menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith
(1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya
investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun
1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak
dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan
keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan
suatu investasi. Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia
sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui
peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong
ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an
mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi
manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan
pengujian terhadap teori human capital ini.
Bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi
komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan
pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan
sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial:
pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi
pemerintah.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-
lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor
pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini
sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama.
Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik
anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi
dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat
mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara,
khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu.
Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993)
mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang
memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung
sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan
merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait
dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitian neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik
menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar
keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai
negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi
antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan
juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan
untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu
komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri.
2. Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya
pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai
sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return). Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka
kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10
negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara
yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain. Juga telah
digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu
dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak
berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit
unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan.
Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank,
World Development Report, 1980).
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji
perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidang pendidikan di 44 negara sedang
berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di depan Mahasiswa Pasca UPI
Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di
Indonesia antara lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk
Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan
pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan
kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan
Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut
merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan
dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara
Asia Pasifik.
Nilai Ekonomi Pendidikan
Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa
mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian
Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti
apa yang diperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan
neoliberal yang dianut Indonesia.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum
terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat
dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956)
yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana
perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per
kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari
kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah
pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan
meningkat. Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari
kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan
meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan
produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat
pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara
mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi
hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan
dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok
termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah.
Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman,
bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga
membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi
petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain
mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak
hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi
alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Selain itu, ada lagi soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar
pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di
Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar
akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas
pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari
kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang
berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena
pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan
investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang
berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah
diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran
belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan
perencanaan tersebut, pendidikan dan pelatihan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi
pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan
kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Pemerintah Indonesia
harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan
secara nyata berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, investasi di bidang
pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah
Indonesia harus menjamin bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar.
Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna mendukung
upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan ekonomi di masa depan.
E K O N O M I P E N D I D I K A N N I L A I E K O N O M I D A R I P E N D I D I K A N
Pendidikan sebagai Investasi
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang
harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service
atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi
perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian,
kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan
anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada
keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan
pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan.
Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat.
Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu. Cara
pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan
peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama
sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan
semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi
pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human
capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai
dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya
sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada
tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association
merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses
perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-
mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai
fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui
peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah
mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-
an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi
investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya
turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana,
lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam
pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai
aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi
“leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan
sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor
lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi
sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank
Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya
Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material
manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata
dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi
kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus
dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia
yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro
lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan
internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat
setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama
dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik
tersebut. Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan
pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk
modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi
suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan
karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-
mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83
negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi
dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-
rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain. Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang
pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan
bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-
negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia
untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan.
Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World
Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga membuat pendidikan bagi
anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat
pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang
lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam
sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980
menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di
44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh
diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada
modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah
pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal
manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
This entry was posted on Friday, January 29th, 2010 at 7:30 pm and is filed under Artikel. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang
lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam
sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980
menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di
44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh
diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada
modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah
pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal
manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
This entry was posted on Friday, January 29th, 2010 at 7:30 pm and is filed under Artikel. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.