1. BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Berbicara mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari filsafat. Ontologi atau
teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu.
Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan.
Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai
membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat
dan cara memperolehnya.1
Aspek kedua dari ketiga cabang filsafat tersebut, yakni Epistemologi dalam rumusan lain
disebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh
karena itu sistematika epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode
ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan.2
Sejarah tentang peerkembangan Ilmu merupakan sebuah prestasi pencapaian sebuah
kesuksesan. Karena dengan itu manusia mulai terlepas dari belenggu-belenggu pemikirab yang
berasaskan pada pemikiran kebodohan dan takhayul. Asal usul permulaan munculnya ilmu
pengetahuan sangat erat kaitanya dengan sifat asli fitrah manusia yang memiliki sifat selalu ingin
tahu dan berfikir untuk menemukan sebuah kebenaran namun tetap berpegang pada nilai-nilai
kebijaksanaan, atau yang sering dusebut dengan berfikit filosofi.
Perjalanan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sehingga sampai pada tahap ilmu modern
seperti sekarang ini ternyata tidak semulus yang kita kira. Banyak perdebatan, perbedaan pendapat
serta penyelisihan yang diakibatkan paham filosof masing-masing yang dianut oleh para ilmuan
pada masa itu. Khusunya di abad ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan antara
ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumya. Para sejarahwan menemukan bahwa
study terhadap alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia atau
berdasarkan pada kepercayaan dan tahayul. Namun seiring dengan munculnya sifat berfikir filosofi
pemikran tersebut lambat lain semakin ditinggalkan dan diganti dengan sikap ilmiah denga hasil
yang faktual serta didukung dengan data-data yang empiris.
Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai
rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya
1 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, 23
2 Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, 138
2. adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam,
seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan
secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya. Mungkin
Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun
dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai
awal dari ideology selanjutnya.
A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Epistemologi Irfani?
2. Bagaimana Perkembangan Epistemologi ini?
3. Bagaimana metode yang digunakan?
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar(infinitif) dari
kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan)
dan Ma’rifat (pengetahuan).3
Kata Irfan berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab, secara etimologi, Irfani
berasaldari bentuk masdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu atau mengetahui. Seakar kata
pula dengan ma’ruf (kebajikan) dan ma’rifat (pengetahuan)
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat
dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber
pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan
proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh
pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap
kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf,
yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani
diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan dengan mengandalkan
pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih
dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan. Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya teks.
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir
dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik,
sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia
apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih
dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya
dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi, al-dzauq atau perasaan.
3 Noorsyam, Filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, 34
4. Sekat-sekat formalitas lahiriyyah yang diciptakan oleh tradisi
epistemologi bayani dan burhani baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, golongan,
kultur, tradisi, yang ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak hubungan interpresonal antar
umat manusia, ingin dipinggirkan oleh tradisi berpikir Irfani yang kebanyakan dilakukan oleh
golongan kaum sufi.
B. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfan, secara umum, bisa dibagi dalam lima fase. Pertama, fase pembibitan,
terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini, apa yang disebut irfan baru ada dalam bentuk
laku zuhud (askestisme). Kenyataan ini, menurut Thabathabai, karena para tokoh sufisme yang
dikenal sebagai orang-orang suci tidak berbicara tentang irfan secara terbuka, meski mengakui
bahwa mereka dididik dalam spiritualisme oleh Rasul atau para sahabat.4 Karakter askestisme
periode ini adalah :
1. Berdasarkan ajaran al-Qur`an dan sunnah, yakni menjauhi hal-hal duniawi demi meraih
pahala dan menjaga diri dari neraka.
2. Bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang
dilakukan.
3. Motivasi zuhudnya adalah rasa takut, yakni rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh.5
Kedua, fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijrah. Pada masa ini, beberapa tokoh
sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali
Riwayat Huquq Allah karya Hasan Basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama
tentang irfan, kemudian diikuti Mishbah al-Syari`ah karya Fudlail ibn Iyadl (803 M). Laku
askestisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam
periode ini, ditangan Rabiah Adawiyah (801 M), zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan,
bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model
prilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.6
Ketiga, fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijrah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh
sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku,
sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini, lebih lanjut,
mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya,
tentang Dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya, yang
kemudian disusul perbincangan tentang fana’ (ecstasy), khususnya oleh Abu Yazid Bustami (877
M) dan hulul (imanensi Tuhan dalam manusia) oleh al-Hallaj (858-913 M). Dari perbincangan-
4 Thabathabai, Pengantar, 11.
5 Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 89-90.
6 Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami, 112.
5. perbincangan seperti ini kemudian tumbuh pengetahuan irfan, seperti al-Lum`ah fi al-Tashawuf
yang ditulis Abu Nashr Sarraj al-Thusi (988 M) dan Quthb al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki
(996 M). Bersamaan itu, sejumlah tokoh sufisme, seperti Sirri al-Saqathi (867 M), Abu Said al-
Kharraz (895 M), dan Junaid al-Baghdadi (910 M), juga mempunyai banyak murid. Menurut
Taftazani, inilah cikal bakal bagi terbentuknya tarikat-tarikat sufi dalam Islam, di mana sang murid
menempuh pelajaran dasarnya secara formal dalam suatu majlis. Dalam tariqat ini, sang murid
mempelajari tata tertib irfan, teori maupun prakteknya.7 Dengan demikian, pada fase ini, irfan telah
mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif langsung pada Tuhan,
kefanaan dalam Realitas Mutlak, dan pencapaian kebahagiaan, disamping penggunaan simbol-simbol
dalam pengungkapan hakekat realitas-realitas yang dicapai irfan, seperti yang dilakukan
Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M). Namun demikian, kecenderungan umum fase ini masih pada
psiko-moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang ada belum terungkap secara jelas.
Karena itu, Nicholson menyatakan, dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah
merancang suatu sistem yang sempurna tentang irfan, Akan tetapi, mereka bukan filosof dan
mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.8
Keempat, fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada periode ini irfan mencapai masa
gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain, Said Abu Khair
(1048 M) yang menulis Ruba`iyat, Ibn Utsman al-Hujwiri (1077 M) menulis Kasyf al-Mahjûb, dan
Abdullah al-Anshari (1088 M) menulis Manazil al-Sa`irin, salah satu buku terpenting dalam irfan.
Puncaknya al-Ghazali (1111 M) menulis Ihya’ Ulûm al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh
(irfan dan bayani).[24] Menurut Nicholson dan TJ. de Boer, ditangan al-Ghazali, irfan menjadi jalan
yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.9
Kelima, fase spesikasi, terjadi abad ke- 6 & 7 H. Berkat pengaruh pribadi al-Ghazli yang
besar, irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat Islam. Ini memberi
peluang bagi tokoh sufis untuk mengembangkan tarikat-tarikat dalam rangka mendidik murid
mereka, seperti yang dilakukan A. Rifai (1174 M), Abd al-Qadir al-Jailani (1253 M), Abu al-
Syadlili (1258 M), Abu Abbas al-Mursi (1287 M), dan Ibn Athaillah al-Iskandari (1309 M).
Namun, bersamaan dengan itu, disisi lain, muncul pula tokoh-tokoh yang berusaha memadukan
irfan dengan filsafat, khususnya neo-platonisme, seperti yang dilakukan Suhrawardi (1191 M) lewat
karyanya yang terkenal, Hikmah al-Isyraq, Ibn Arabi (1240 M), Umar ibn Faridl (1234 M), dan Ibn
Sab`in al-Mursi (1270 M). Mereka banyak memiliki teori mendalam tentang jiwa, moral,
pengetahuan, wujud dan lainnya yang sangat bernilai bagi kajian irfan dan filsafat berikutnya.10
7 Taftazani, Ibid, 18.
8 Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami, 21.
9 Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami, 84; Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 184
10 Taftazani, Ibid, 18-19.
6. Bahkan, jika tokoh sebelumnya hanya menulis tentang bagaimana persiapan menerima
pengetahuan, menurut Mehdi H. Yazdi, Suhrawardi dan Ibn Arabi diatas justru yang mempelopori
penulisan pengalaman mistik yang disebut pengetahuan irfan. Dengan demikian, pada fase ini,
secara epistemologis, irfan telah terpecah (terspesifikasi) dalam dua aliran.
1. Irfan sunni - menurut istilah Taftazani - yang cenderung pada perilaku praktis (etika) dalam
bentuk tarikat-tarikat,
2. Irfan teoritis yang didominasi pemikiran filsafat.
Disamping itu, dalam pandangan Jabiri, ditambah aliran kebatinan yang didominasi aspek
mistik.Meski demikian, menurut Muthahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan
teoris berbeda dengan filsafat. Secara garis besar bisa digambarkan dalam bagan dibawah.11
Keenam, fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami
perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Para tokohnya lebih cenderung pada
pemberian komentar dan ikhtisar atas karyakarya terdahulu, dan lebih menekankan bentuk ritus dan
formalisme, yang terkadang mendorong mereka menyimpang dari susbtansi ajarannya sendiri. Para
pengikut memang semakin bertambah, tetapi disana tidak muncul pribadi unggul yang mencapai
kedudukan ruhaniyah cukup terhormat seperti pada pendahulunya.12
Etika
Irfan
Filsafat
Praktis Teoritis
Membahas hubungan
antara manusia saja.
Membahas hubungan
antar manusia dan
hubungan manusia
dengan Tuhan.
Berdasarkan visi dan
intuisi kemudian
dikemukakan teori secara
logis.
Berpijak pada postulat-postulat.
Tidak ada tahapan
tertentu. Seseorang bisa
mana memilih yang
harus dilakukan.
Ada tahapantahapan
yang harus dilalui lebih
dulu untuk menuju
tujuan akhir.
Eksistensi Tuhan
meliputi semuanya dan
segala sesuatu
adalah manifestasi sifat-
Nya.
Eksistensi non- Tuhan
sama rielnya dengan
eksistensi Tuhan sendiri.
Unsur spiritual sangat
terbatas.
Unsur spirutual yang
sangat luas
Capaian tertinggi
manusia adalah kembali
kepada asal-usulnya
(Tuhan).
Capaian tertinggi
manusia adalah
memahami semesta.
Sarana yang dipakai
adalah kalbu (hati) dan
kesucian jiwa.
Sarana yang dipakai
adalah akal dan intelek.
11 Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, 21-24.
12 Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 20.
7. C. Metode Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada
rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan.
Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.13 Karena itu, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian
hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran,
dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan
irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan14 :
1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang
harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus
dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan
yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statunya . apakah sesuatu
tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun
kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti
diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan
suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu
ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun,
realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi
merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang
13 Al Qusyairi, Al Risalah, Beirut, Dar-al Khair, 89
14 Mehdi Hairi. Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, 51-53
8. mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut
‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).15
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern
Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious),
yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari
Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan
interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada
seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.16
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang
dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut
ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang
menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan
maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah,
sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan
melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa
saja yang diperkenankan Allah.
3. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan
atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi
tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam
Tuhan,17 sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat
diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan
menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan
untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.18
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua,
diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan
pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan
seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami
15 Al Qusyari, Op. Cit, 75
16 Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 58
17 Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, 41
18 Ali Issa Othman, Op Cit, 64
9. suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah
teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai
menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya
diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan
syariat, dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus
terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan
secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat,
yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat
esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya
keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal
yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan
kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam,
sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu
yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani
akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun
terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di
barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa
dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat
positifistik.
D. Zahir dan batin
Sesuai dengan sasaran bidik irfan yang esoterik, isu sentral irfan adalah zahir & batin, bukan
sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasibi (857 M), al-Ghazali
(1111 M), Ibn Arabi (1240 M), juga para sufis yang lain, teks keagamaan (al-Qur`an dan hadits)
tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek zahir
teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya.36 Jika dianalogikan
dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan lafat-makna. Bedanya, dalam
epistemologi bayani, seseorang berangkat dari lafat menuju makna; sedang dalam irfani, seseorang
justru berangkat dari makna menuju lafat, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-Ghazali,19
makna sebagai ashl, sedang lafat mengikuti makna (sebagai furu`).
Pendapat zahir-batin diatas didasarkan, Pertama, pada al-Qur`an, QS. Luqman, 20; al-An`am,
120 dan khususnya QS. al-Hadid, 3, yang sekaligus digunakan sebagai dasar pijakan metafisisnya.
Kedua, hadis Rasul, ‘Tidak ada satu ayatpun dalam alQur`an kecuali disana mengandung aspek
19 al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, 65.
10. zahir dan batin, dan setiap huruf mempunyai had (batas) dan matla` (tampat terbit). Ketiga,
pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib (660 M). Menurut Ali ra, al-Qur`an mengandung empat
dimensi, zahir, batin, had dan matla`. Aspek zahir al-Qur`an adalah tilawah, aspek batinnya adalah
pemahaman, aspek had-nya ketentuan halal dan haram, dan matla`nya adalah apa yang dikehendaki
Tuhan atas hamba-Nya.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut
diungkapkan? Menurut Jabiri, makna batin ini, pertama, diungkapkan dengan cara apa yang disebut
sebagai I`tibar atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada
makna zahir yang ada dalam teks. Sebagai contoh, qiyas yang dilakukan kaum Syiah yang
menyakini keunggulan keluarga Imam Ali ra. atas QS. Al-Rahman, 19-22. “Dia membiarkan dua
lautan mengalir dan bertemu; diantara keduanya ada batas yang tidak terlampaui dan dari keduanya
keluar mutiara dan marjan”. Dalam hal ini, Ali dan Fatimah dinisbatkan pada dua lautan,
Muhammad saw dinisbatkan pada batas (barzah), sedang Hasan & Husein dinisbatkan pada mutiara
dan marjan.
Barzah
=
Muhammad, Dua lautan
=
Ali/Fatimah
Dua laut Ali/Fatimah Mutiara & Marjan Hasan/Husein
Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan al-Qusyairi atas ayat yang sama. Menurutnya,42 dalam
hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan raja’ (harapan), dan dari sana keluar mutiara dan
marjan, yakni ahwal al-shufiyah dan lathaif al-mutawaliyah. Diantara keduanya ada batas yang tak
terlampaui, yakni pengawan Tuhan atas ini dan itu. Artinya, konsep sufisme tentang khauf dan raja’
dinisbatkan pada kata ‘bahrain’ (dua lautan), sedang ahwal dan lathaif dinisbatkan pada mutiara dan
marjan.
Khauf / Raja’
via
Dua lautan
Ahwal / Lathaif Mutiara / Marjan
Dengan demikian, qiyas irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani atau silogisme. Qiyas irfani
disini berusaha menyesuaikan konsep yang telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf
dengan teks, qiyas al-ghaib `ala al-syahid. Dengan kata lain, seperti dikatakan al-Ghazali diatas,
zahir teks dijadikan furu’ (cabang) sedang konsep atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok).
Karena itu, qiyas irfani atau I`tibar tidak memerlukan persyaratan illat atau pertalian antara lafat dan
makna (qarînah lafdziyah `an ma`nawiyah) sebagaimana yang ada dalam qiyas bayani, tetapi hanya
berpedoman pada isyarat (petunjuk batin).
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni
dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik,
11. perbandingan bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi
al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti
analogi (qiyas) tersebut telah jatuh.45 Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia
menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap
bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diantas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi
hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfan akhirnya hanya merupakan
filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan
masyarakat.
Padahal, irfani Islam sama sekali berbeda dengan mistik di Barat, meski dibeberapa bagian ada
kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik
Barat kurang berkaitan dengan semua itu dan lebih positifistik. Karena itu, menggunakan alat ukur
mistik Barat untuk menganalisa irfan Islam, sesungguhnya, tidak berbeda dengan mengukur rasa
kepedasan cabe dengan melihat warna kulitnya. Tidak akan mencapai hakekat yang sebenarnya.
Kedua, pengetahuan kasyf diungkapkan lewat apa yang disebut dengan syathahat. Namun,
berbeda dengan qiyas irfani yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks, syathahat ini
sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Syathahat lebih merupakan ungkapan lisan
tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi
dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (877 M), atau
‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj (913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu, keluar
saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak
sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu; sehingga, karena itu pula, ia sering
dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang baku. Meski demikian, secara umum,
syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang
membatasi diri pada aturan syareat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus di takwilkan,
yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat
tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syareat yang ada.
Persoalannya, di mana hakekat qiyas irfani, takwil atau syathah sufisme diatas, sebab apa yang
diungkapkan para tokoh sufis tersebut ternyata tidak sama, meski mereka sama-sama mengklaim
telah mengalami atau mendapat pengetahuan langsung dari realitas mutlak. Mengikuti al-Jabiri,
hakekat takwil dan syathah tidak terletak pada makna umumnya atau universalitasnya melainkan
justru pada makna temporal atau subjektifitasnya. Sebab, takwil atau syathah tidak lain adalah
pemaknaan atau pemahaman atas realitas yang ditangkap saat kasyf, dan itu pasti berbeda diantara
masing-masing orang, sesuai dengan kualitas jiwa dan pengalaman sosial budaya yang
menyertainya.
12. BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk
disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui)
ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Yaitu pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks
seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, pengetahuan irfani
digali dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut
kasyf. Dan dalam epistemologi irfani pengetahuan setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu
Persiapan, Penerimaan, Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara
irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang
mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan
kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai
menyimpang.
Perkembangan irfan, secara umum, bisa dibagi dalam lima fase :
Pertama - fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah.
Kedua - fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijrah.
Ketiga - fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijrah.
Keempat - fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H.
Kelima - fase spesikasi, terjadi abad ke- 6 & 7 H.
13. DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1. Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Remaja
Rosdakarya : Bandung 2009)
2. Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj. johan Smit, Anas, Yusuf) (Pustaka,
Bandung:1981)
3. A.W. Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Pustaka Progresif, Surabaya :
1997)
4. Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997)
5. Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar,(Jakarta : Rineka Cipta,2008)
6. Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002)
Web :
1. http://id.scribd.com/doc/27594292/Epistemologi-Irfani diakses pada 19/11/2013