1. Meraih Impian
Aku terduduk lemas, meringkuk di sudut kamarku, memegangi lutut tak berdosa ini, mencoba
merapikanhatiku,membayangkannyasemudahmerapikan rambut yang sedari tadi kubiarkan tergerai.
Tangisku tak lagi membara, tak seperti 2 jam yang lalu. Saat aku harus menerima kenyataan bahwa
nomor handphoneku resmi tak dihubungi oleh pihak sekolah tinggi itu. Aku menunggu sampai batas
waktu penantian yang telah ditentukan, pukul 00.00 bersama ayah dan bunda. Namun akhirnya saat
harapkukianmemuncakdi detik-detikterkahirpengumuman,jamtuausangdi samping lemari buku itu
berdentang12 kali.Ujungtombak harapan keduaku itu pergi bersama melodi denting waktu yang kian
meninggalkanku. Ayah mengelus kepalaku, hembusan nafas yang biasanya menenangkan itu justru
membuatkusemakintertunduk.Tanganlembutbundamulai merengkuhbahuku,merasakanhangatnya
justru semakin membuatku pilu. Titk air mulai berjatuhan dari pelupuk mataku, menggoreskan
semburat abu-abu di pipi dan jatuh dipangkuanku. “Oh Tuhan, kegagalan ini lagi. Aku sudah tahu
rasanya,mengapakau berikanlagi?”teriakkudalamhati.Akutertunduk,merasakansemuanya kembali
gelap. Ayah seperti tersenyum kepadaku kemudian memedar sukma yang biasanya membuatku lupa
akan kepedihansembari berkata,“Allahtelahmenentukansegalanya,Nak. Pena-Nya sudah digoreskan
dalamkertaskehidupan,tinta-Nyasudahdiangkat,sudahkering.Percayalah,adahal baik dibalik semua
ini.” Aku hanya mengangguk, tak berani menatap mata penuh perjuangan itu. Andai kau tahu wahai
ayahku, tuturmu saat ini justru membuatku semakin terjun, terjun dalam jurang sesal penuh tangis.
Rengkuhan bunda semakin erat, kemudian beliau berbisik kepadaku, “Istighfar, Nak. Tidak ada usaha
yang mengkhianati, jangan pernah sekali-kali kau berburuk sangka kepada Allah. Istighfar..” Mulutku
mulai bergerak, dan hatiku sepertinya sudah mulai terbiasa dengan hangat kekurangberuntungan
tengahmalamini.“Ndaa...”sapaayahsembari membelai rambutkulagi,“kautakditerima di STPDNpun,
ayah bangga padamu. Jangan kau pikir sekolah tinggi itu satu-satunya, jangan kau pikir tak berhasil
masuk sana adalah akhir dari segalanya. Masih banyak yang lain, yang lebih baik, yang lebih tepat
untukmui di hadapanAllah.”Lantunanmerdujangkrik,dansahut-sahutansuarakatakmenghiasi tengah
malam ini. Disaksikan oleh semburat bulan yang hampir digantikan fajar, dan gelap lazuardi yang kian
bersinar, ayah mengucapkan mantra ajaib lagi, “Nanda, kamu pasti bisa!”
Bukanmain rasanyapagi hari ini,saataku terbangundari ketidurankusemalam.Masihmeringkuk
bersama mata membengkak, dan pipi yang lengket terkena air mata. Aku mengusap sisa-sisa air, yang
mungkin saja bisa mengkristal karena dinginnya malam. Mencoba bangkit dari dudukku, semuanya
terasakaku, sakitsekali.Akumerintihpelan, berharaptakadayang bangun karena rintihanku ini. Sendi
lututkuseperti mengerak,takkuatmenahantubuhyanghatinyamasihremuk.Aku memaksa penopang
tubuhku untuk beranjak dari posisiku semalam. Menyebut nama Tuhanku, dan akhirnya aku bisa
beranjak. Berjalan tertatih keluar kamar, menuju kamar mandi yang biasanya ramai antrean saat pagi.
Kubasuh mukaku, menatapnya lekat-lekat di kaca. Kusut. Lantas aku bergegas mengambil air wudhu,
merapikan pakaian dan mencurahkan seluruh isi hatiku kepada Sang Pencipta, bersujud kepadanya..
Satu tahun yang lalu, saat aku kembali merasakan getirnya hidup. Saat aku baru saja lulus SMA,
dan memutuskanuntuktidakmenerimabeasiswakedokteranitu. Baru saja seminggu sebelumnya, aku
membuat tangis bahagia keluargaku pecah di aula sekolah. Menyaksikan sulung dari 5 bersaudara ini
naik keatas panggung, menjemput plakat bertuliskan “Siswa Lulusan Terbaik”. Kepala sekolahku
membacakan sederet prestasi yang kuraih saat aku duduk di bangku kelas sepeuluh, sebelas dan dua
belas,prestasi yangmembuatseluruhwargasekolahtahubahwaseoranganak dari keluarga sederhana
bisa menjadi kebangaan. Riuh tepuk tangan mengantarkanku menuju pangguung, keempat adikku
terlihatsangatheboh.Merekabersiul,menunjuk-nunjukkearahku,meneriakkan namaku, dan bersorak
sambil tertawa bahagia. Entah, mereka sebenarnya paham dengan ini semua atau tidak, namun aku
bahagiasekali melihatnya.Terlebihsaatdisampingmereka2sosokkokohberdiri,bergandengantangan,
menyaksikankudenganmata berlinang. Bunda menyandarkan kepalanya di bahu ayah,kemudian ayah
mengusapkepalabunda.Airmatakumenetes,menyaksikan rona bahagia yang tampak dari malaikatku
itu. Selesai dari wisuda yang penuh tawa, banyak tawaran beasiswa berdatangan. Satu beasiswa yang
sudah mejadi cita-citaku sejak dahulu, “Nanda, kelak kamu mau jadi apa?” tanya ayah saat umurku 12
tahun. “Dokter, ayah. Nanda ingin menjad dokter untuk teman-teman Nanda di Palestina, kasihan
merekaayah.TentarazionisIsrael takmemperlakukan mereka seprti manusia, Nanda ingin membantu
mereka,”ucapku saat itu. “Tidakkah kau takut dengan dentum suara bom, dan lucutan senjata yang
nantinya kan mewarnai harimu disana?” tanya beliau lagi. “Tidak ayah, untuk apa aku takut. Kata ayah
kita tak boleh takut dengan sesuatu yang baik, bukan?”sahutku lugu. Sedikit tertawa ayah
2. menjawabnya,”Kau benar, Nak. Ya, percayalah Nanda, kamu pasti bisa!”. Tawaran dari fakultas
kedokteranitukusampaiaknkepadaayahdanbunda,malamhari saat seluruhadikkusudah melanglang
buana di alammimpi.“Nanda,kautahu Tante Fanda saat ini sedangmembutuhkanpengobatanintensif
untuk jiwanya. Akhir-akhir ini ia berperilaku tak sewajarnya, kita harus segera melakukan tindakan
cepatuntuknya.Beruntunglah,omDanubersediamembawanyadanmembiayai seluruhperwatannyadi
rumah sakit. Dantugas ibusebagai sulungdari merekaadalahmerawatClara,karenahanyaituyang bisa
ibu lakukan,” ucap bunda menimpali yang kusampaikan. “Ndaa, Clara masih kecil kasihan sekali dia.
Perluini itu,tidakmungkinkankitamintauang Om Dani? Sudah terlalu banyak materi dan tenaga yang
ia keluarkan. Ndaa, ayah yakin kamu bisa mengerti. Mengerti dengan keadaan keluarga kita yang
memangseperti ini. Andai saja fakultas itu memberikan beasiswa penuh terhadap kuliahmu, dan juga
kehidupanmu sehari-hari, tentu tanpa kau utarakan niatmu itu ayah dan bunda pasti sangat
mendukungmu. Maafkan kami, Nda” sambung ayah sembari memelukku. Aku terpatung, memutar
segalanya, menangis di pelukan lelaki terhebat yang pernah ada. Bunda ikut menangis, dan isaknya
membuatku semakin perih. “Oh Tuhan, hanya Engkau yang tahu bahwa sesungguhnya tangisku ini
adalahsuatu kekecewaan.Akubelumbisamembahagiakanmereka,apayang bisa kulakukan selain ini?
Apa yang akan terjadi nanti? Tuhaaan..”rintihku dalm hati. “Ndaa.. maafkan kami.”ucap bunda disela
tangisnya.“Tidak bunda, aku yang minta maaf hanya bisa menyusahkanmu, meminta ini itu, menuruti
egoku,”batinkudalmhati.akutakkuasamenjawab semua kalimat dari ayah dan bunda, aku hanya bisa
menangis.
“Ndaa, bangun. Sarapan dulu, kamu tidur kok masih pakai mukena begini, ayo sudah ditunggu
adik-adik di meja makan,”bunda membangunkanku. Kutengok jam di atas tempat sholat, pukul 08.00.
Akutertidursetelahsholatsubuhtadi,danasyikkembali ke masa lalu, yang sama abu-abu dengan yang
kurasa saat ini. Empat adikku sudah berebut lauk di meja makan, Clara dipangku ayah yang sudah rapi
dengan kemejanya. “Selamat pagi, Nanda..”sapa ayah sambil tersenyum. “Pagi, yah..”suaraku serak
sekali.Efek menangissemalamn,batinku.Akuberharapmenusarapanpagi ini bukanlahapayangterjadi
semalam.Semalamsetelahakumenangisdi pelukanbunda,sebelumakumasukke kamardanmenangis
lagi,akusempatbersepakatpadadirikuuntukbisasebentarmenyibukkan diri dari kesedihanini dengan
membantu bunda menyelesaikan orderan bed covernya. 3 bulan yang lalu di salah satu supermarket
yang biasa ibu jajakan bed covernya, ia ditemui oleh seorang pengusaha properti terkemuka di
kabupaten. Lelaki itu meminta bunda menyediakan 100 bed cover berbagai macam warna dan motif
dalamwaktu6 bulan. Bundamenyanggupinya, karena bukan kali ini saja bunda mendapatkan pesanan
sebanyakitu,sebelumnya bunda berhasil menyelesaikan pesanan 150 bed cover dalam waktu 6 bulan
juga dan bunda berhasil menyelesaikannya dengan baik serta sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, saat disodori tawaran yang menggiurkan bunda langsung menyaguhinya.
Tuhan memang telah merencanakan semuanya, saat aku bingung akan melakukan apa di masa yang
sulit ini, tumpukan kain dengan motif yang bervariasi siap untuk diproses menjadi sesuatu yang lebih
bernilai “Ndaa.. Jangan hanya melamun nasimu bisa dingin kalau begitu,”ucap bunda membuyarkan
lamunanku. “Eh, iyaa bun,”sahutku sambil menyendok sesuap nasi yang masih mengepul. “Bed cover
bunda, sudah siap berapa bun?”tanyaku memulai percakapan pagi yang tak biasa ini. “Baru jadi
separuhnya,Ndaa.. cukuplah jika batas tanggalnya 3 bulan lagi,”ucap Bunda sambil mengambil alih
pangkuanClaradari ayah. “Nda akan bantubunda selesaikan pesanannya,”sahutku sambil mengunyah
tempe goreng yang rasanya sedap sekali di lidahku. “Sudah tidak nangis lagi, Nda?”gurau ayah sambil
sedikit menggelitiki perutku.”Ayaaaah, Nda lagii makan. Nanti tersedak yah,”ucapku berusaha
mengalihkan arah pembicaraan yang semalam resmi membuatku mematung dalam lautan tangis.
“Jangan menangis lagi, Nda. Cari peluang, diluar sana masih banyak yang lebih tepat bagimu,”ucap
beliaupenuhkeyakinan.OhTuha,beliaumengucapkannya lagi.Saatini gejolakdalam dadaku sudah tak
terlalu meledak seperti semalam. Aku lebih tenang dan hatiku mampu mengkondisikan supaya tetap
tenang . “Siap, yah. Nanda akan selalu semangat,”jawabku. “Ingat ya Nda, Kamu pasti bisa,” ucapnya
lagi. Lagi,lagi kalimat ajaib itu yang keluar dari bibir lelaki kebanggaanku.
Detik berganti, hari-hariku kini semakin dipenuhi kesibukan membantu bunda. menyelesaikan
pesanan100 bedcover yangtinggal sebulanlagi harus terbungkuscantik.Akupunkini mulai membantu
finansial keluargakudenganmenjadiguruprivatanak-anakSD, berjalan dari satu rumah ke rumah yang
lain. Setidaknya hasil dari jerih payahku selama beberapa bulan ini bisa menjadi uang muka untuk
mendaftar ke pendidikan jurusan bahasa inggris di salah satu universitas terbaik di kabupaten ini.
Akhirnya, setiap pagi aku berangkat untuk kuliah menunaikan kewajibanku sebagai mahasiswa, sore
harinyaaku menjadi gurulesprivat anak-anak orang kaya di perumahan yang mayoritas orang Cina itu.
3. Malamnyaaku membantubundamenyelesaikanpesanan.Adik-adikku juga sangat antusias membantu
bunda, walaupun hanya untuk dimintai tolong mengambil jarum, benang, kain atau hal-hal lain yang
seringmembuatbundaterharu.Seperti saatmalamminggu itu, “ Bunda, Dika ambilkan benangnya lagi
ya, Bun? Itu sudah hampir habis,”celoteh adik ke-2 itu. “Lala juga mau ambilkan kain Bundaa, yang
bunga atau yang binatang bun?”adik ke-3 ku tak mau kalah. Bunda hanya tersenyum, dan mereka
dengan lincah berlari, mengambil apa yang mereka inginkan. Kembali dan terkekeh-kekeh ceria. Aku
juga kerap memergoki bunda mengusap air matanya, terharu mungkin dengan kehangatan keluarga
kami. Hingga peluh yang menetes tak beliau hiraukan, peluhnya terusap semangat mengejar target.
Tuhan memang telah tentukan segalanya, satu minggu sebelum hari yang telah ditentukan wajah
pengusahayangsudahterikatkontrakdenganbunda,terpampangdi televisi. “Telah tertangkap penipu
yang sudah menjadi buronan selama akhir tahun ini, yang modus penipuannya berkedok sebagai
pengusaha,”kata reporter di salah satu TV nasional itu. hancur berkeping hati bunda, panas merajam
tubuhmungilnya,tangisnyatakdapatlagi terbendung.Namuncarabeliaumenangisberbedadenganku,
bunda hanya menghela nafas, mengeluarkan sdikit air mata, mengusapnya dan tersenyum. Terlihat
anggun sekali. Kami semua memeluknya, ayah berkata sembari memandang kami,”Allah tahu yang
terbaikbagi hamba-Nya,prcayalah.”Bundatersenyum, akumemeluk bunda erat sekali. Dalam hati aku
berkatapada dirikusendiri, apa yang bunda terima saat ini jauh lebih berat dari yang kurasa. Tapi lihat
beliautetaptegar,tersenyumdanjustruikutmenenangkanadik-adikkuyangentahmengapaikut-ikutan
menangis.Padahal akuyakinmerekatidakpahamdenganapayangsebenarnya terjadi.Bunda,mengapa
kau bisa berpura-pura seperti ini? Mengapa kau bisa menjadi baja penghalau ombak yang
menantangmu? Ataukah kau tak berpura-pura? Kau bisa menopang beban ini dengan kedua kakimu,
dihiasi senyumtulusyangmengembang? Oh, bundaaa.. Aku mengecupnya penuh kasih, lembut sekali
kemudianbundaberbalikmemelukku.“Kaupernahmeraskannya,Nak.Tapi tersenyumlah,semuaini tak
terjadi tiba-tiba,”ucapnya menenangkanku.
Sejak kejadian hari itu, aku mulai membenahi diri. Kucoba hilangkan sikap egois dalam diriku,
berusaha keras mencapai apa yang kuinginkan, dan tetap menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Aku
masihterusmenekuni rutinitasku,sebagaimahasiswa,gurulesprivat,dan membantu bunda serta ayah
memperbaiki kondisi finansial keluarga kami. Ayah keluar dari pekerjaannya sebagi PNS, dengan sisa
tabunganyang dimilikinyaayahdanbundamendirikan usaha konveksi bed cover. Ayah berusaha keras
membangunrelasi sana sini, peluhnya terkuras setiap detik, beruntunglah adik-adikku pun tak terlalu
terganggu saat ayahnya pergi pagi pulang pagi, atau saat bundanya sibuk mengejar target pesanan. Di
akhir semester enamku, Kak Ica saudara sepupuku mengajakku membuka toko pakaian di samping
warung milik bunda yang sekarang dijaga oleh seorang wanita muda. Tak kusangka, toko kami
berkembangpesat,merauphasil yanggemilang dan itu terjadi sebelum ayah sukses sebagai motivator
handal. Kini aku juga membuka usaha event organizer untuk membantu mengatur jadwal panggung
ayah.Akupun lulus dengan hasil yang memuaskan dalam waktu lebih cepat dari yang seharusnya. Kini
aku semakin percaya, bahwa kekuatan usaha serta kerja keras dan keajaiban do’a adalah kunci utama
menuju pintu kesuksesan.