2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
izin-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan sesuai rencana.
Laporan ini dibuat sebagai pertanggungjawaban akhir tahun dari Tim Peneliti
Independen Universitas Negeri Makassar (UNM) dalam melakukan Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sulawesi Barat tahun 2010.
Evaluasi kinerja pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Barat ini
bertujuan untuk mengetahui capaian pembangunan daerah sesuai dengan
rencana strategis pembangunan daerah dan untuk mengetahui manfaat hasil
pembangunan yang telah dirasakan oleh warga masyarakat. Dengan kata lain,
sesuai dengan indikator capaian yang diharapkan oleh Bappenas maka tim
peneliti berharap agar hasil penelitian ini menyajikan hasil Evaluasi RPJMD telah
mengacu pada RPJMN 2004-2009 sesuai ketentuan Undang-undang nomor 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan kontribusi dalam pelaksanaan hingga tersusunnya laporan EKPD
Provinsi Sulawesi Barat ini. Secara khusus terima kasih disampaikan kepada
Deputi EKPD Bappenas yang memberikan kepercayaan kepada tim peneliti UNM
dalam melakukan tugas ini. Begitu pula terima kasih disampaikan kepada tim
peneliti yang telah bekerja keras melakukan penelitian hingga selesainya laporan
dibuat. Akhirnya, saya berharap agar kerjasama yang baik ini dapat terus terjalin
di masa akan datang.
Makassar, 09 November 2010
Rektor Universitas Negeri Makassar,
Prof. DR. H. Arismunandar, M.Pd.
ii
3. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1. 1 Latar Belakang . ..................................................................... 1
1. 2 Tujuan dan Sasaran .............................................................. 3
1. 3 Keluaran ............................................................................... 3
BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 ............ 4
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN
DAN DAMAI ........................................................................... 5
1. Indikator ........................................................................... 5
2. Analisis Capaian Indikator ................................................ 6
3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 8
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN .
DEMOKRASI ......................................................................... 10
1. Indikator ............................................................................ 10
2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 11
3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 22
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT.. 24
1. Indikator ........................................................................... 24
2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 26
3. Rekomendasi kebijakan ................................................... 91
D. KESIMPULAN ........................................................................ 93
BAB III RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI 95
1. Pengantar .............................................................................. 95
2. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan nasional ............. 98
3. Rekomendasi ........................................................................ 98
a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi ........................ 98
b. Rekomendasi Terhadap RPJMN ...................................... 100
BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 102
1. Kesimpulan ............................................................................ 102
2. Rekomendasi ........................................................................ 104
iii
4. DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 1 INDIKATOR PEMBANGUNAN INSONESIA YANG AMAN DAN 5
DAMAI
TABEL 2 INDIKATOR AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL
DAN DEMOKRATIS ........................................................................ 10
TABEL 3 INDIKATOR AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN
RAKYAT ........................................................................................... 25
TABEL 4 JUMLAH PENDUDUK MENURUT KABUPATEN PROV. SULBAR .. 50
iv
5. DAFTAR GRAFIK
Halaman
GRAFIK 1 INDEKS KRIMINALITAS .................................................................. 6
GRAFIK 2 PRESENTASE KASUS KORUPSI YANG TERTANGANI DIBANG
KAN YANG DILAPORKAN ……………………………………………. . 11
GRAFIK 3 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. 17
GRAFIK 4 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. 18
GRAFIK 5 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ 20
GRAFIK 6 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ 21
GRAFIK 7 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA .............................................. 27
GRAFIK 8 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ............................................... 29
GRAFIK 9 ANGKA PARTISIPASI MURNI & KASAR TINGKAT SD .................. 32
GRAFIK 10 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. 35
GRAFIK 11 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. 38
GRAFIK 12 ANGKA KEMATIAN BAYI ............................................................... 41
GRAFIK 13 KONTRACEPTIVE PREPALENCE RATE ........................................ 47
GRAFIK 14 JUMLAH AKSEPTOR BARU & AKSEPTOR AKTIF.......................... 49
GRAFIK 15 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... 51
GRAFIK 16 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... 52
GRAFIK 17 LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI .................................................. 54
GRAFIK 18 PENDAPATAN PERKAPITA ............................................................ 58
GRAFIK 19 LAJU I N F L A S I ............................................................................. 59
GRAFIK 20 LAJU INFLASI SULBAR JUNI 2008 – MEI 2009 .............................. 60
GRAFIK 21 INFLASI BEBERAPA KELOMPOK PENGELUARAN ....................... 63
GRAFIK 22 NILAI REALISASI INVESTASI PMDN ( MILYAR RP) ....................... 67
GRAFIK 23 NILAI REALISASI INVESTASI PMA ( US JUTA)) ............................ 70
GRAFIK 24 KONDISI JALAN NASIONAL .......................................................... 77
v
6. GRAFIK 25 PRESENTASE LUAS LAHAN REHABILITASI DALAMHUTAN TER
HADAP LAHAN KRITIS ................................................................... 81
GRAFIK 26 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ 87
GRAFIK 27 PERKEMBANGAN GARIS KEMISKINAN ........................................ 88
GRAFIK 28 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ 89
GRAFIK 29 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA & ANGKATAN KERJA .... 90
vi
7. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah
satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan,
penetapan, pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan.
Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan
secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk
menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan
tersebut dilaksanakan. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai
dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan, pemerintah (Bappenas) berkewajiban untuk melakukan evaluasi
guna melihat seberapa jauh pelaksanan RPJMN tersebut.
Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Siklus pembangunan jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama
dengan siklus pembangunan 5 tahun di daerah, sehingga penetapan RPJMN 2010-
2014 ini tidak bersamaan waktunya dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. Hal ini menyebabkan prioritas dalam RPJMD
tidak selalu mengacu pada prioritas-prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu
dilakukan evaluasi relevansi prioritas/ program antara RPJMN dengan RPJMD
Provinsi.
1
8. 2
Di dalam pelaksanaan kegiatan ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang
berkaitan dengan RPJMN. Bentuk pertama adalah evaluasi atas pelaksanaan
RPJMN 2004-2009 dan yang kedua penilaian keterkaitan antara RPJMD dengan
RPJMN 2010-2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009
adalah Evaluasi ex-post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap
sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 – 2009, yaitu: agenda
Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan
Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan
ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian.
Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi
dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional
dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu, juga mengidentifikasi
potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun
prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014 adalah:
1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola,
2) Pendidikan,
3) Kesehatan,
4) Penanggulangan Kemiskinan,
5) Ketahanan Pangan,
6) Infrastruktur,
7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha,
8) Energi,
9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana,
10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik,
11) Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi dan 3 prioritas lainnya yaitu
9. 3
1. Kesejahteraan Rakyat lainnya,
2. Politik, Hukum, dan Keamanan lainnya,
3. Perekonomian lainnya.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada
perencanaan pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di
daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah
dalam mengambil kebijakan pembangunan daerah.
Pelaksanaan EKPD dilakukan secara eksternal untuk memperoleh masukan
yang lebih independen terhadap pelaksanaan RPJMN di daerah. Berdasarkan hal
tersebut, Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan
kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) yang bekerja sama dengan
Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas.
B. Tujuan dan Sasaran
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2010 dilaksanakan untuk
melihat seberapa jauh pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat memberikan kontribusi
pada pembangunan di daerah dan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan
prioritas/program (outcome) dalam RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program
yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Provinsi.
C. Keluaran Evaluasi
Seusai pelaksanaan EKPD 2010 ini diharapkan keluaran yang meliputi:
a. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di
daerah;
Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi dengan
RPJMN 2010-2014.
10. 4
BAB II
HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
Sistem perencanaan pembangunan daerah mengalami perubahan mendasar
seiring dengan tuntutan pada bidang politik, penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good government), dan pengelolaan keuangan negara. Undang-undang nomor
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah mengatur sistem pemilihan
kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Paparan visi, misi dan program
kepala daerah terpilih akan menjadi bahan utama penyusunan agenda kerja
pemerintah daerah untuk 5 tahun ke depan.
Penyusunan RPJMD dimaksudkan untuk memberi arah dan pedoman bagi
pelaksanaan pembangunan suatu provinsi. Penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi
Barat sendiri adalah untuk tahun 2004-2009. RPJMD ini merupakan penjabaran dari
Visi, Misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya memperhatikan
Rencana Penggunaan Jangkan Menengah Nasional (RPJMD-Nasional) yang
memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan
umum, dan agenda pembangunan daerah, serta memuat program dan kegiatan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), program lintas Satuan Kerja Perangkat
Daerah (lintas SKPD), dan program kewilayahan. Setiap program dan kegiatan
disertai dengan kerangka regulasi dan kerangka pendanaannya yang bersifat
indikatif.
Menurut Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah
satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan,
penetapan, pengendalian perencanaan, dan evaluasi pelaksanaan perencanaan.
Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan
4
11. 5
secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk
menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan
tersebut dilaksanakan.
A. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai
1. Indikator
Pada agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai dalam
RPJMN 2004-2009 mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat
diukur pada tiga indikator utama. Ketiga indikator utama yang dimaksud adalah
indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan
persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Kaitannya dengan hal
tersebut, maka berdasarkan temuan di lapang, data indeks kriminalitas tidak
tersedia sehingga yang digunakan untuk menganalisis tingkat kriminalitas adalah
data tentang tingkat kriminalitas atau jumlah kriminalitas yang tertangani.
Selanjutnya, data mengenai persentase penyelesaian kasus kejahatan
konvensional dan transnasional juga tidak lengkap sehingga hanya diberikan
evaluasi yang sifatnya analisis data kualitatif.
Nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang
Aman dan Damai di Provinsi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel-1.
Tabel 1: Indikator Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Kriminalitas 0,737 0,987 1.162 0,226
Persentase Penyelesaian Kasus
Kejahatan Konvensional (%)
Persentase Penyelesaian Kasus
Kejahatan Trans Nasional (%)
Sumber: BPS, Sulawesi Barat, 2010
12. 6
2. Analisis Pencapaian Indikator
2.1. Tingkat Kriminalitas
Tingkat kriminalitas di Sulawesi Barat, yakni jumlah kejadian kriminal
perseribu penduduk dalam satu tahun, berdasarkan data pada Tabel-1 di atas,
menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat pada periode 2005-
2007, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2008. Sedangkan data untuk tahun
2004 dan 2009 tidak dapat ditemukan. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di
Sulawesi Barat mencapai 1,16 kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,17 dari
tahun 2006, sementara itu, angka ini menurun 0,93 menjadi 0,23 pada tahun
2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di Sulawesi Barat mencapai 1.162
kasus, tahun 2006 berjumlah 987 kasus, dan pada tahun 2008 tingkat kriminalitas
menurun drastis menjadi 226 kasus. kecenderungan angka kriminalitas 2004-
2009 dapat dilihat pada Grafik di bawah ini.
Grafik-1
Indeks Kriminalitas
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Kriminalitas
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Kriminalitas merupakan ancaman nyata bagi terciptanya masyarakat yang
aman dan tenteram. Makin maraknya kasus penyeludupan, pembunuhan,
penganiayaan, pencurian, penggelapan dan penyalahgunaan senjata api dan
bahan peledak adalah indikasi belum tertanganinya secara serius masalah
kriminalitas. Maraknya kejahatan yang terorganisir seperti peredaran dan
13. 7
penyalahgunaan narkoba telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup
bangsa, karena penyalahgunaan narkoba mencakup dimensi kesehatan baik
jasmani dan mental, dimensi ekonomi dengan meningkatnya biaya kesehatan,
dimensi kultural dengan rusaknya tatanan perilaku dan norma masyarakat secara
keseluruhan.
Hubungannya dengan perilaku kriminal di Provinsi Sulawesi Barat, dapat
dilihat pada gambar 1 dimana jumlah pelaku kriminal pada tahun 2006 mengalami
peningkatan sebesar 0,18 persen. Hal ini pada akhirnya akan dapat
membahayakan integritas dan kelangsungan hidup bermasyarakat dan akan
mempercepat tumbuhnya rasa tidak nyaman dan tidak aman dalam kehidupan
bermasyarakat. Makin tingginya tingkat kriminal di Sulawesi Barat sangat
ditentukan antara lain oleh:
a. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, dan
b. Turunnya kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum.
Untuk itu, dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006-2011 setiap
SKPD menekankan peningkatan kedisilplinan agar setiap pekerjaan yang
dilakukan senantiasa berada dalam koridor hukum dan tidak bertentangan norma
kesopanan, kesusilaan, adat dan norma agama. Selanjutnya, berangkat dari
kenyataan bahwa jumlah polisi yang tersedia tidak sesuai dengan rasio
masyarakat yang harus dilayani, maka perlu pendekatan yang lebih
partisipatif melalui apa yang dikenal dengan Forum Kemitraan Polisi
Masyarakat (FKPM). FKPM yang dibentuk di setiap desa merupakan pendekatan
baru sebagai bentuk reformasi kepolisian dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat (public service). Pendekatan ini juga merupakan model baru
(different styles of polycing) yang terbukti menjadi pendekatan terbaik
14. 8
untuk memperbaiki image penegakan hukum. Tujuan usaha kolaboratif polisi-
masyarakat ini agar dapat mengidentifikasi problem kriminal dan penyimpangan
secara dini dan melibatkan masyarakat mencari solusi penyelesaian masalah.
Masyarakat diharapkan melalui pendekatan ini dapat menyelesaikan masalahnya
sendiri - to help citizens resolve a vast array of personal problems – sebelum
ditangani oleh kepolisian.
Polisi terlibat, the role of the police officer in community based policing, is
to have an active part in the community (Schmalleger). Dengan kata lain, FKPM
adalah ujung tombak polisi di lapangan yang diharapkan bertindak cepat dan
tanggap akan gejala ketidaktertiban. Namun, meski ideal harapan ini, kondisi ini
masih dilematis.
2.2. Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional dan Trans Nasional
Berdasarkan hasil identifikasi data, tidak tersedia data persentase
penyelesaian kasus kejahatan konvensional dan trans-nasional di provinsi
Sulawesi Barat. Walaupun kejahatan konvensional seperti pencurian tetap terjadi
namun pencurian dengan kekerasan dan pencurian kendaraan bermotor hampir
tidak pernah terjadi di Provinsi Sulawesi Barat.
3. Rekomendasi Kebijakan
Konflik dan pariwisata perlu diantisipasi melalui kebijakan pembangunan
kesejahteraan sosial dengan peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan
golongan masyarakat kurang beruntung, penanganan komunitas adat terpencil
melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam dan
perlindungan sosial; pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui
penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi
15. 9
organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling percaya
antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat, dan
revitalisasi nilai kebangsaan; pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya
perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan
berbasis budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai
lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam bentuk
pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi, peningkatan
prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan. Kebijakan ini dijabarkan ke
dalam beberapa program seperti:
(1) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial,
(2) Penanggulangan Bencana,
(3) Pengembangan Wawasan Kebangsaan,
(4) Pemeliharaan Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat serta
Pencegahan tindak Kriminal,
(5) Pengembangan Kegiatan Kepariwisataan,
(6) Pemberdayaan pemuda dan Olahraga,
(7) Pemberdayaan Perempuan, dan
(8) Pengembangan komunikasi dan Informasi.
Adapun sasaran sebagai indikator keberhasilan program ini adalah
terwujudnya kesejahteraan sosial yang lebih baik, terpeliharanya harmoni sosial
dan integrasi bangsa, serta terbukanya ruang aktivitas bagi kelompok pemuda
dan perempuan, terlestarinya kekayaan budaya dan terpeliharanya tertib hukum
dalam masyarakat.
16. 10
B. Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis
1. Indikator
Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis mencakup dua
kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang
kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang
tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota
yang memiliki Perda Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD
Provinsi (dalam laporan ini data yang bisa diperoleh adalah pemerintah
Kabupaten dan pemerintah Provinsii) yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa
Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur dengan
indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment
Measurement (GEM). Nilai capaian dari setiap indikator tersebut dapat dilihat
pada Tabel-2 berikut.
Tabel 2. Indikator agenda mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pelayanan Publik
Persentase kasus korupsi yang
tertangani dibandingkan dengan yang 0.00 0.00 0.00 66,6 0.00 0.00
dilaporkan (%)
Persentase kabupaten/ kota yang
memiliki peraturan daerah pelayanan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
satu atap (%)
Persentase instansi (SKPD) provinsi
yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Pengecualian (WTP) [%]
Demokrasi
Gender Development Index (GDI) 60,10 61,52 63,60 63.60 64.71 64.71
Gender Empowerment Measurement
59.70 61.30 61.80 61,97 62.20 62.20
(GEM)
Sumber: Data Kajati Sulselbar dan BPS Prov. Sulbar, 2010.
17. 11
2. Analisis Pencapaian Indikator
2.1. Pelayanan Publik
a. Kasus Korupsi yang Tertangani Dibanding yang Dilaporkan
Hubungannya dengan kasus korupsi yang tertangani, diperlukan adanya
interpretasi dan persepsi yang jelas tentang definisi yang digunakan. Yang
dimaksud dengan kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di Sulawesi Barat
adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan dan
sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya
oleh kejaksaan dari kepolisian. Maksudnya adalah bahwa konsep tertangani disini
merupakan kasus korupsi yang telah berada pada proses atau tahap penuntutan,
sedangkan definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “dilaporkan”
adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima secara langsung oleh
Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi yang
pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis
pada EKPD 2010 mencakup tahun 2007 saja, karena data 2004-2006, serta data
2008-2009 tidak dapat disajikan (data tidak ada).
Grafik-2
Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan
100
50
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibandingkan dengan yang
dilaporkan
18. 12
Sumber: Kejaksanaan Tinggi RI Sulselbar, 2010
Tindak pidana korupsi telah menjadi tindak pidana yang luar biasa (extra
ordinary crime), maka sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi, modus
tindak pidana korupsi menjadi semakin canggih. Akibatnya, upaya pemberantasan
korupsi yang selama ini telah dilakukan masih dirasakan jauh dari harapan
masyarakat. Sungguhpun demikian, hal tersebut justru akan menjadi tantangan,
tidak saja bagi pemerintah Provinsu Sulawesi Barat namun juga seluruh bangsa
Indonesia untuk bersama-sama membangun komitmen memberantas korupsi.
Adanya perkembangan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pemberantasan korupsi dalam waktu dua tahun terakhir memperlihatkan
kesungguhan pemerintah dalam mendukung upaya-upaya pemberantasan
korupsi. Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan stimulasi untuk
mempercepat dikeluarkannya berbagai produk perundang-undangan, seperti
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
Selain peraturan itu, sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004, pada Februari
2005 pemerintah telah selesai menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN PK) 2004-2009. RAN PK merupakan acuan dalam menyusun
program pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, mulai dari tingkat pusat sampai
dengan daerah. Soalnya, korupsi merupakan masalah sistemik, sehingga
memerlukan penanganan secara sistemik pula, yaitu melalui langkah-langkah
pencegahan, penindakan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasinya. Langkah-
langkah tersebut untuk memastikan pelaksanaan pencegahan maupun
penindakan pemberantasan korupsi, serta memberikan hasil konkret kepada
19. 13
masyarakat. Langkah ini merupakan upaya mengembalikan kepercayaan
masyarakat kepada hukum dan penyelenggara negara serta pencerahan
mengenai anti korupsi kepada masyarakat. Dalam hubungannya dengan kasus
korupsi di Provinsi Sulawesi Barat, tercatat pada tahun 2007, sedikitnya terdapat
30 kasus korupsi yang dilaporkan dan hanya 20 atau 66,6 persen yang tertangani
oleh Kejaksaan Negeri Mamuju Sulbar. Sedangkan kasus korupsi yang ditangani
Kejari Mamuju yang masih dalam tahap kasasi. Dari sekian kasus korupsi yang
ditangani Kejari Mamuju, maka kasus terbesar adalah kasus pembobolan Bank
Sulsel Cabang Pasangkayu, senilai miliyaran rupiah.
Penegakan hukum yang tegas, imparsial dan tidak diskriminatif merupakan
jawaban atas permasalahan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan percepatan
penyelenggaraan penegakan hukum dan peningkatan kinerja penyelenggaraan
negara di bidang penegakan hukum, baik dengan pembenahan berbagai
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar operasional penegakan
hukum, penyempurnaan dan peningkatan kualitas lembaga penegak hukum, dan
peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, serta peningkatan budaya
hukum masyarakat.
Adanya berbagai upaya yang dilakukan, tidak saja pemerintah, tetapi juga
semua stakeholders, maka tingkat penanganan korupsi akan terus membaik.
Dengan demikian, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, baik di dalam
maupun di luar negeri, serta akan memberikan implikasi positif berupa
meningkatnya investor yang menanamkan modalnya di Sulawesi Barat. Pada
gilirannya, para investor itu akan dapat mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Upaya penyelenggaraan negara di bidang penegakan hukum, khususnya
dalam rangka pemberantasan korupsi semakin ditingkatkan. Peningkatan
20. 14
pemberantasan korupsi dilakukan baik berupa peraturan perundang-
undangannya, kelembagaan dan aparat penegak hukumnya, maupun budaya
hukum masyarakatnya.
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas utama. Peningkatan efektivitas
pelaksanaan tugas instansi/lembaga pemberantasan korupsi juga terus
ditingkatkan, antara lain dengan memberikan dukungan peningkatkan
profesionalisme aparatnya, dukungan sarana dan prasarana dan peningkatan
kesejahteraan. Selanjutnya, upaya mendorong keterbukaan terus ditingkatkan,
antara lain dengan mendorong partisipasi dan keberanian masyarakat untuk
melakukan pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dalam melakukan
pemberantasan korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilihat dari sisi penindakan
yang selama ini selalu mendapatkan porsi terbesar baik di media cetak maupun
elektronik, namun diseimbangkan dengan pemberian informasi kepada
masyarakat tentang upaya pemerintah dalam melakukan langkah-langkah
pencegahan korupsi. Hal ini sebenarnya telah banyak dilakukan, termasuk
berbagai reformasi pelayanan publik di bidang perpajakan, investasi, dan
pertanahan.
Langkah tersebut sangat penting untuk meningkatkan kesinambungan
akuntabilitas instansi/lembaga yang telah melakukan pembenahan (reform),
sehingga semua pihak dapat tetap mengawasi kinerja lembaga terkait. Langkah-
langkah itu pada dasarnya sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang
telah meratifikasi UNCAC, yakni ada empat fokus yang harus dilaksanakan oleh
negara yang telah meratifikasi, yaitu langkah pencegahan, penindakan, kerjasama
internasional, dan pengembalian aset dalam rangka pemberantasan korupsi.
21. 15
b. Kabupaten /Kota yang Mempunyai Peraturan Daerah Pelayanan Satu
Atap dan Instansi yang memiliki Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian.
Sampai saat ini Provinsi Sulawesi Barat belum memiliki Kabupaten/kota
yang mempunyai peraturan daerah pelayanan satu atap, demikian pula instansi
(SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan wajar tanpa pengecualian.
Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah pemerintah daerah di wilayah Provinsi
Sulawesi Barat sekarang ada 6 (enam) pemerintah daerah. Adapun
perkembangan opini BPK atas LKPD di wilayah Provinsi Sulawesi Barat Tahun
Anggaran 2006 s.d. 2007 adalah sebagai berikut:
1. Tahun Anggaran 2006, terdapat 3 (tiga) pemerintah daerah yang mendapat
opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 2 (dua) pemerintah daerah
yang mendapat opini Disclaimer;
2. Tahun Anggaran 2006, terdapat 4 (empat) pemerintah daerah yang mendapat
opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 1 (satu) pemerintah daerah
yang mendapat opini Disclaimer;
Hasil pemeriksaan atas LKPD Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi
Barat oleh BPK selama periode 2006-2007 juga menunjukkan bahwa pertanggung
jawaban atas pelaksanaan APBD di Provinsi Sulawesi Barat masih belum
sepenuhnya sesuai dengan standar dan sistem akuntansi yang telah ditetapkan.
Hal ini dapat dilihat pada beberapa permasalahan terkait dengan transparansi dan
akuntabilitas sebagai berikut:
1. Review atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan internal belum
sebagaimana yang diharapkan, baik dari segi kemampuan, metodologi
maupun implementasi reviewnya.
22. 16
2. Sumber daya manusia yang ditugaskan untuk mengimplementasikan standar
dan sistem akuntansi serta pertanggungjawaban keuangan daerah masih
terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya.
3. Masih terdapat kelemahan dalam desain dan implementasi sistem akuntansi
keuangan daerah seperti tidak efektifnya rekonsiliasi antara PPKD (Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah) selaku BUD (Bendahara Umum Daerah)
dengan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) selaku pengguna anggaran.
4. Sistem aplikasi belum terintegrasi sehingga menghasilkan data yang berbeda
meskipun dokumen sumbernya sama.
5. Rekening pemerintah masih belum tertib karena belum terwujudnya sistem
perbendaharaan tunggal (Treasury Single Account), masih banyak uang
daerah yang tersebar di berbagai rekening dan sulit dikendalikan.
6. Aset tetap daerah belum seluruhnya diinventarisasi dan dilakukan penilaian
sehingga menimbulkan keraguan terhadap keberadaan, kepemilikan,
kelengkapan, dan kondisi aset yang dilaporkan.
7. Investasi Pemerintah baik berupa penyertaan modal pada BUMD maupun
berupa dana bergulir belum dikelola dan dilaporkan secara akurat.
Dari hasil audit BPK juga tergambar bahwa setidaknya ada dua alasan
yang menyebabkan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah belum
transparan dan belum akuntabel. Pertama adalah karena laporan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah belum disusun
mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang baku. Setelah 60 tahun
merdeka, Indonesia baru memiliki SAP yang diintrodusir pada tanggal 13 Juni
2005 sehingga masih perlu disosialisasikan kepada para penggunanya.
Sementara itu, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59
Tahun 2008 yang saat ini digunakan oleh Pemerintah Daerah masih memerlukan
23. 17
penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan SAP. Kedua, masih
terbatasnya sumber daya manusia di bidang keuangan negara maupun di bidang
pengawasan yang ada di daerah yang benar-benar menguasai SAP dan memiliki
kemampuan teknis untuk menerapkannya.
2.3. Demokrasi
a. Gender Development Index (GDI)
Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa Gender Development Indeks
(GDI) merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kesetaraan dalam relasi
gender pada berbagai aspek kehidupan. Capaian indikator GDI Sulawesi Barat
terus mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari tahun 2004
hingga 2009, dimana pada tahun 2008-2009 berhasil mencapai 64,71 persen,
meningkat 1,11 Persen dari tahun 2007. Sementara itu, tahun 2004 persentase
peningkatan GDI hanya sebesar 63,90 persen. Dalam rangka memberikan
gambaran yang lebih jelas, dapat dilihat seperti pada grafik berikut.
Grafik-3
Gender Development Indeks
66
64
62
60
58
56
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Indeks
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
24. 18
Pembangunan gender juga ditunjukkan dengan indikator gender
empowerment measurement (GEM) atau indeks pemberdayaan gender (GDI),
yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan
pengambilan keputusan. Di wilayah Sulawesi Barat, GDI tahun 2007 mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006. Pada Provinsi Sulawesi Barat nilai
GDI tertinggi dengan nilai 64,7, sedangkan jika dilihat dari perbandingan antar
kabupaten, maka nilai tertinggi GDI pada tahun 2008 terdapat di Kabupaten
Majene. Secara global nilai GDI Provinsi Sulawesi Barat cenderung meningkat.
Terjadinya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain; (1) keterwakilan perempuan di parlemen, (2) meningkatnya proporsi
perempuan dalam pekerjaan profesional, (3) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK), dan (4) upah nonpertanian perempuan. Di samping itu, perlindungan
perempuan dan anak terutama terhadap berbagai tindak kekerasan cukup bagus.
Grafik-4
Gender Development Indeks
160
140
120
100
Gender Development
80 Indeks
60 Indeks Pembangunan
40 Manusia
20
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2004 hingga 2009
peningkatan GDI Sulawesi Barat berjalan seiring dengan peningkatan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), di mana pada tahun 2009 GDI mencapai
25. 19
persentase 64,71 persen dan tetap bertahan pada level nilai 60, hal ini sejalan
dengan perkembangan IPM pada tahun yang sama sebesar 69,64 persen.
Dengan demikian, semakin meningkat persentase GDI maka semakin meningkat
pula persentase IPM, seperti yang tergambar pada grafik-4 di atas. Peningkatan
ini menunjukkan bahwa terjadi perbaikan kualitas manusia dalam hal
pengetahuan, kesehatan dan daya beli secara tidak langsung mempunyai
hubungan dengan semakin membaiknya kesetaraan relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam proses interaksi sosial, pola kekuasaan, dan struktur
kemasyarakatan. Tentu saja ini dengan asumsi bahwa pendidikan telah
mengubah tata nilai dan norma masyarakat memahami dan mampu menerima
prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi
dalam konteks gender, yakni tentang masih tingginya angka kematian ibu (AKI),
masalah gizi masyarakat dan lingkungan yang tidak sehat. Hal ini menunjukkan
masih banyak terdapat ketimpangan antara status kesehatan pada perempuan
dan laki-laki, dan tentu saja ini harus mendapatkan prioritas dalam
penanganannya.
Pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi pembangunan
yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan keadilan gender melalui
pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan
dan laki-laki. Untuk mempercepat pengarusutamaan gender, perlu dilakukan
pengembangan kapasitas SDM kesehatan, antara lain melalui seminar gender
bidang kesehatan. Kesetaraan gender adalah wujud kesamaan kondisi laki-laki
dan perempuan dalam memperoleh hak-haknya sebagai manusia agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
26. 20
b. Gender Empowerment Measurement (GEM)
Pencapaian Gender Empowerment Measurement (GEM) Provinsi
Sulawesi Barat seperti pada tabel-2 menunjukkan kecenderungan adanya
peningkatan sekalipun tidak terlalu signifikan dari tahun 2004 sampai 2009,
karena tingkat pertambahan angka GEM yang tidak terlalu banyak mengalami
perubahan data dari tahun ke tahun. Adapun data mengenai GEM tersaji pada
grafik-5 berikut.
Grafik-5
Gender Empowerment Measurement
62.5
62
61.5
61
60.5
60
59.5
59
58.5
58
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Empowerment Measurement
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Gender Empowerment Meassurement (GEM). Indeks Pemberdayaan
Gender (Gender Empowerment Measurement/GEM) meliputi variabel partisipasi
perempuan di bidang ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. Artinya,
bagaimana tingkat partisipasi perempuan pada ketiga bidang tersebut. Sama
halnya dengan GDI yang menganggap bahwa Indeks Pembangunan Manusia
adalah salah satu indikator yang turut berpengaruh, maka Gender Empowerment
Measurement juga turut dipengaruhi oleh Indeks Pembangunan Manusia, seperti
pada grafik-6 indikator pendukung di bawah ini:
27. 21
Grafik-6
Gender Empowerment Measurement
75
70 Indeks
65 Pem ba n
Ma nusia
60
55 Gende r
50 Em powe
Me as ure
20 04 20 05 20 06 2007 2008 2009
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Angka Gender Empowerment Meassurement (GEM) Sulawesi Barat
seperti pada grafik-6 di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari tahun
ke tahun (2004-2008), yaitu: 59,70 persen (2004); 61,30 persen (2005); 61,80
persen (2006); 61,97 persen (2007); dan 62,20 persen (2008); dan 62,20 persen
pada tahun 2009. Artinya, tingkat partisipasi perempuan pada bidang ekonomi,
politik dan pengambilan keputusan di Sulawesi Barat juga mengalami
peningkatan. Peningkatan angka GEM di Sulawesi Barat tidak terlepas dari:
a. Keberhasilan Pemerintah Sulawesi Barat dalam mengimplementasikan
program-program pengarusutamaan gender (perempuan) khususnya yang
terkait dengan partisipasi perempuan pada bidang ekonomi, politik, dan
pengambilan keputusan di Sulawesi Barat;
b. Kebijakan Pemerintah Sulawesi Barat yang sudah responsif gender.
Sedangkan bila dibandingkan angka GEM antar Kabupaten di Sulawesi Barat,
maka angka GEM tertinggi berada di Kabupaten Majene.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa GEM juga turut
dipengaruhi oleh IPM. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan. Bagaimanapun,
28. 22
secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas
manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin memiliki peluang dalam era
keterbukaan terhadap pilihan-pilihan dalam kehidupannya (choices) dan semakin
mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voices). Pada grafik tersebut di atas,
terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Barat cenderung seiring dengan
peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada
tahun 2009 sebesar 62,20 dan tetap bertahan pada level nilai 60, saat itu juga,
IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun yang sama sebesar
69,64, sementara dari tahun 2004-2008 peningkatan GEM tidak terlalu signifikan.
Meskipun demikian, tetap diyakini bahwa upaya pemberdayaan atau pencapaian
kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non
pemerintah memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat pendidikan,
kesehatan dan daya beli masyarakat secara umum.
3. Rekomendasi Kebijakan
Layanan satu atap di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru belum
ada satu pun daerah yang menyelenggarakannya. Sedangkan tentang gender,
dimana dalam Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
Provinsi Sulawesi Barat 2009-2014 telah diprogramkan Pengarusutamaan Gender
maka diperlukan langkah sebagai berikut:
a) Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum,
ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.
b) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender.
c) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten
seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian.
29. 23
d) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG
di tingkat provinsi dan kabupaten.
e) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat
dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi perempuan dalam proses
pembangunan.
Beberapa gerakan dan upaya yang muncul di berbagai komunitas
kelompok masyarakat / bangsa sebagai upaya dalam peningkatan dan
pemberdayaan perempuan perlu digalakkan begitu pula diperlukan penanganan
ketertinggalan perempuan. Ketertinggalan perempuan dapat dilihat di berbagai
bidang, di bidang pendidikan, angka buta huruf /tidak dapat membaca dan
menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Secara keseluruhan angka buta huruf
penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006 adalah
sekitar 12,51 persen, dengan persentase buta huruf perempuan yang sebesar
14,84 persen dibandingkan dengan laki-laki buta huruf sebesar 10,13 persen.
Dalam melakukan perencanaan kebijakan kesetaraan gender oleh
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memasukkan ke dalam Rencana Strategis
Pemerintah Provinsi dan Rencana Strategis SKPD yang ada dengan
mengakomodasi aspek-aspek pokok berikut ini:
a) Di sektor pendidikan masih diperlukan dukungan kebijakan di tingkat nasional
maupun daerah.
b) Di sektor kesehatan kebijakan kesetaraan/ keadilan gender relatif lebih maju
dibanding sektor pendidikan dimana telah direkomendasikan kerjasama antara
Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan
untuk meningkatkan kebijakan dan program-program pengarusutamaan gender
di sektor kesehatan. Dalam konsep otonomi daerah, kerjasama kantor Meneg
30. 24
PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan Departemen
Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan lembaga-
lembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi Sulawesi Barat.
c) Di sektor ekonomi menduduki posisi yang vital mengingat krisis yang diderita
Indonesia yang mempunyai dampak terbesar pada menurunnya kemampuan
ekonomi yang dikenal dengan meningkatnya tingkat kemiskinan sehingga
memerlukan kebijakan yang berkenaan dengan upaya-upaya kesetaraan
gender di sektor ekonomi. Dengan lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Perangkat Daerah, maka oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat
dengan Perda Nomor 22 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Inspektorat, Bappeda, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong
Praja Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan organisasi perangkat
daerahnya sehingga melahirkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
dalam struktur kelembagaan di provinsi yang tugas/pokok dan fungsinya
adalah pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dalam meningkatkan
pemberdayaan perempuan khususnya pada Pemerintah Daerah Provinsi
Sulawesi Barat.
d) Di sektor pemerintahan dapat dilihat peran serta perempuan di eksekutif .
Dengan terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat sesuai UU No.26 Tahun 2006.
C. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
1. Indikator
Dalam agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, terdapat beberapa
bidang yang masing-masing mencakup beberapa indikator sebagai basis
analisis dan evaluasi, antara lain: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2)
Bidang Pendidikan, (3) Bidang Kesehatan, (4) Bidang Ekonomi Makro (5)
31. 25
Investasi (6) Infrastruktur (7) Pertanian (8) Kehutanan (9) Kelautan, dan
(10). Kesejahteraan Sosial.
Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Barat atas indikator-indikator
tersebut dapat dilihat pada Tabel-3 berikut.
Tabel 3. Indikator Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia 64.40 65.72 67.06 67.72 68.55 69.64
Pendidikan
Angka Partisipasi Murni Tingkat SD 0.00 87.08 91.67 92.17 95.20 99.25
Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD 0.00 88.30 94.02 109.93 78.69 80.75
Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat SMP 6.34 6.35 6.75 6.33 6.7 6.7
Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat Sekolah
6.35 6.94 6.9 6.35 6.49 6.58
Menengah
Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) 6,57 6.51 3.36 2.60 2,00 1,75
Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) 3,98 4.06 6.02 14.47 3.00 2.00
Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah
3.49 4.16 5.57 3.22 2.30 1,75
Menengah (%)
Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke atas 82.90 83.40 85.90 86.40 87.05 85,00
Persentase Guru Layak Mengajar
Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat SMP 77.25 76.93 77.42 85.03 69.81 75.30
(%)
Persentase Guru Layak Mengajar
Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat 64.01 64.74 74.20 79.54
Sekolah Menengah (%)
Kesehatan
Umur Harapan Hidup (tahun) 66.30 66.40 67.00 67.20 67.40 67.70
Angka Kematian Bayi ( A K B ) 30,00 29.10 28,20 27.40
Gizi Buruk (%) 1.81 0.87 0.11 0.16
Gizi Kurang (%) 8.95 7.80 2.38
Persentase Tenaga Kesehatan per
0.13 0.16 0.16 0.20
Penduduk (%)
Keluarga Berencana
Contraceptive Prevalence Rate (%) 0.00 0.00 0.00 45,20 52,20 50,00
Pertumbuhan Penduduk (%) 0.00 2.68 0.02 3.23 1.54 1.53
Total Fertility Rate (%) 3,5
Ekonomi Makro
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 6.00 6.78 6.42 7.43 8.54 6,89
Persentase Ekspor terhadap PDRB (%) 15.10 14.52 13.57 13.51 14.21 14.15
Persentase Output Manufaktur Terhadap
0.00 7.35 7.57 7.74
PDRB (%)
Pendapatan Perkapita (Rupiah) 3.955.774 4,562,424 5,162,733 6,091,286 7,534.953 8.671.818
Laju Inflasi (%) : 3.64 3.64 3.01 3.01 3.04 3.21
Investasi
Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp.
1.014 1.014 1.014 1.142 1.712 1.712
Milyar)
Nilai Rencana Investasi PMDN
2.485 2.485 2.485 2.652 5.273 6.111
(Rp.Milyar)
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta) 0.18 0.18 0.18
32. 26
Nilai Rencana Investasi PMA (US$ Juta) 10.038 10.038 10.038 10.309 25.109 31.473
Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA 3,708 3,708 3,708 3,404 3,404 3,404
Infrastruktur
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi
53.31 53.40 61.73 58.78 69.26 80.65
Baik (%)
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi
37.82 6.68 12.78 13.02 11.61 12.48
Sedang (%)
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi
3.33 14.42 5.41 3.24 3.24 6.87
Rusak (%)
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi
77.15 62.57 41.18 43.84 68.43 85.31
Baik (%)
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi
72.21 16.99 27.73 33.62 39.02 33.79
Sedang (%)
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi
32.52 65.74 47.42 44.69 24.35 26.18
Rusak (%)
Pertanian
Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun 100 100.81 103.58 105.14
PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga 2,472,699 2,746,166 3,255,735 3.920.386 4.196.304
Berlaku (Rp. Juta)
Kehutanan
Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam
hutan terhadap lahan kritis (%)
Kelautan
Jumlah Tindak Pidana Perikanan 1 1 1 3
Luas Kawasan Konservasi Laut (km2)
Kesejahteraan Sosial
Persentase Penduduk Miskin (%) 24.22 20.74 19.03 16.73 15.29
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 0.00 6.45 5.68 4.92 4.10
2. Analisis Pencapaian Indikator
2.1. Indeks Pembangunan Manusia
Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia (Human
Development Report) telah menerbitkan indeks pembangunan manusia (human
development index - HDI) yang mengartikan kesejahteraan secara lebih luas dari
sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). Indeks pembangunan manusia
memberikan suatu ukuran beberapa dimensi tentang pembangunan manusia.
Indeks perkembangan manusia yang tercermin dari kondisi Kesehatan dan
Pendidikan.
Capaian indikator Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Barat sejak
tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2009 IPM Sulbar sudah menghampiri nilai diatas 70 yaitu sebesar 69,64 persen.
33. 27
Sementara itu, diawal tahun terbentuknya provinsi ini pada tahun 2004 masih
berada pada kategori menengah bawah yakni 64,40 persen. Pada tabel-3, terlihat
bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2009, dimana IPM Sulawesi
Barat naik 1,09 poin dari tahun 2008
Grafik-7
72 Indeks Pembangunan Manusia
70
68
66
64
62
60
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia
Sumber: BPS, Bappeda Sulbar, 2010
Nilai Indeks perkembangan manusia (IPM) Provinsi Sulawesi Barat walau
lebih kecil daripada nilai IPM nasional namun mampu menggeser rangkingnya
dari rangking 28 menjadi 27. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia di
wilayah Sulawesi Barat disebabkan oleh semakin meratanya jangkauan
pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan dan semakin diperhatikannya mutu
pelayanan pendidikan dan kesehatan terutama di daerah pedesaan dan
pedalaman.
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam
agenda pembangunan nasional, karena perannya yang signifikan dalam
mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan
budaya. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap
warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan
34. 28
kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang
mewajibkan Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Pendidikan menjadi landasan
kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan
lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan
persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian,
pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena pendidikan
merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi
global.
Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk
membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis
(critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu
pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki
pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian dan keterampilan.
Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai ini memberi kontribusi
pada peningkatan produktivitas nasional.
Pemerintah Sulawesi Barat sangat konsisten dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan. Upaya ini ditunjukkan dengan disusunnya Program
Pembangunan Daerah (Propeda) Sulawesi Barat 2005-2010 yang menyebutkan
bahwa strategi yang dilakukan dalam meningkatkan kinerja bidang pendidikan di
antaranya adalah dengan melakukan perluasan dan pemerataan di dalam
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat melalui
peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. Program pendidikan mempunyai
andil yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa, baik dari segi ekonomi
maupun sosial, karena keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan
merupakan salah satu parameter yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
35. 29
tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah, termasuk daerah-daerah di
Sulawesi Barat.
Perhatian pemerintah Sulawesi Barat, selain pada sektor pendidikan juga
tertuju pada bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, khususnya dalam hal
pengentasan kemiskinan. Untuk melihat seberapa besar indikator tersebut
memberi kontribusi terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, dapat
dilihat pada grafik-8 indikator pendukung di bawah ini.
Grafik-8
Indeks Pembangunan Manusia
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia Umur Harapan Hidup
Persentase Penduduk Miskin (%)
Sumber: BPS, Bappeda, Dinkes, Dinas Sosial Sulawesi Barat, 2010
Data pada grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 indeks
pembangunan manusia tidak begitu mengalami perubahan dari tahun
sebelumnya. Capaian yang terkesan stagnan sebesar 65,72% itu pada dasarnya
dipengaruhi oleh meningkatnya persentase penduduk miskin (24,22%) di samping
itu, angka kematian bayi juga ikut meningkat (30,00%), serta tingginya angka
putus sekolah pada tingkatan SD (6,51%), padahal persentase umur harapan
hidup juga mengalami peningkatan (66,40%) sejalan dengan meningkatnya
indeks pembangunan manusia pada tahun yang sama.
36. 30
Tahun 2008 indeks pembangunan manusia kembali mengalami
peningkatan (68,55%) disebabkan oleh meningkatnya persentase angka
partisipasi murni tingkat SD (95,20%) dan menurunnya angka partisipasi kasar
tingkat SD dari 109,93% menjadi 78,69%. Selain itu angka putus sekolah pada
setiap jenjang pendidikan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu
SD (2,00%), SMP (3,00%), dan SMA (2,30%) disebabkan oleh semakin
menurunnya persentase penduduk miskin (16,73%) yang secara tidak langsung
akan berimplikasi pada kemampuan masyarakat turut andil pada program
pembangunan, baik dalam bidang pendidikan maupun kesehatan. Ini tentu saja
merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan kaitannya dengan
pengentasan kemiskinan sebagai salah satu strong point dalam pembangunan
provinsi Sulawesi Barat berkelanjutan.
Tahun 2009 perkembangan indeks pembangunan manusia Sulawesi Barat
masih berada pada tataran meningkat. (69,64%), ini artinya meningkat sebesar
1,09% dari tahun sebelumnya (68,55%). Disebabkan oleh semakin terfokusnya
upaya pemerintah provinsi dalam melakukan pengentasan kemiskinan, perbaikan
sistem pendidikan dan kesehatan. Persentase penduduk miskin pada tahun 2009
adalah 15,29% menurun sebesar 1,44%. Sektor pendidikan juga sudah mulai
membaik dengan beberapa indikator antara lain meningkatnya angka partisipasi
murni tingkat SD yang hampir mencapai 100%, angka putus sekolah pada tingkat
SD, SMP, dan SMA yang juga mengalami penurunan sebagai akibat dari
meningkatnya persentase umur harapan hidup (67,70%) meningkat sebesar
0,30% dari tahun 2008 (67,40%). Intinya adalah bahwa pada hakikaktnya indeks
pembangunan manusia di provinsi Sulawesi Barat dapat dikategorikan cukup baik
karena dari tahun ke tahun (2004-2009) terus mengalami tren positif dalam
peningkatannya.
37. 31
2.2. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan akan diukur beberapa indikator, di dalamnya
tercakup pendidikan dasar dan menengah. Pada dasarnya pendidikan di Sulawesi
Barat secara keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan, sekalipun
peningkatan dari tahun ke tahun tidak terlalu tinggi, namun setidaknya
peningkatan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa pemerintah tetap
memperhatikan dan menjadikan pendidikan sebagai program prioritas
pembangunan. Angka partisipasi murni SD yang terus mengalami peningkatan,
berbanding terbalik dengan angka partisipasi kasar SD yang terus mengalami
penurunan (korelasional), nilai rata-rata SMP dan SMA juga terus meningkat,
begitupun dengan angka putus sekolah SD, SMP, SMA, dan angka melek huruf
15 tahun ke atas yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal lain yang
cukup menggembirakan adalah persentase guru yang layak mengajar (SMP dan
SMA) yang terus mengalami peningkatan.
a. Angka Partisipasi Murni dan Kasar (APM dan APK) Tingkat SD/MI
Indikator pertama adalah Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka
Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. Perkembangan data mengenai Angka
Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan, jika pada tahun 2005 APM tingkat SD/MI hanya sebesar 87,08%,
maka pada tahun 2009 persentase APM mampu dinaikkan dan hampir mencapai
100% dengan raihan 99,25%. Kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan
Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. APK tingkat SD/MI dari tahun 2005-
2009 berfluktuatif. Selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2005 sampai 2007
persentase APK tingkat SD/MI sangat memprihatinkan karena jumlahnya yang
terus meningkat 88,30% pada tahun 2005 menjadi 109,93% ditahun 2007. Pada
tahun berikutnya, APK tingkat SD/MI berhasil diturunkan, bahkan lebih rendah
38. 32
menjadi sebesar 78,69, namun kembali bertambah sebesar 2,06% menjadi
80,75% ditahun 2009. Khusus data APM dan APK tingkat SD/MI untuk tahun
2004 tidak dapat ditampilkan karena data tersebut tidak berhasil ditemukan,
mengingat pada saat itu merupakan tahun di mana provinsi Sulawesi Barat
melakukan transisi dari hasil pemekaran provinsi Sulawesi Selatan.
Perkembangan capaian indicator, baik APM maupun APK tingkat SD/MI dari
tahun 2004-2009 tersaji pada grafik berikut.
Grafik-9
Angka Partisipasi Murni dan Kasar Tingkat SD/MI
250
200
150
100
50
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Partisipasi Murni Angka Partisipasi Kasar
Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010
Perhatian pemerintah terhadap sumber daya manusia secara dini semakin
meningkat, hal tersebut juga terkait dengan program wajib belajar sembilan tahun
yang dicanangkan pemerintah dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah.
Angka ini merupakan rasio persentase penduduk umur tertentu yang masih
sekolah terhadap total penduduk pada umur tersebut. Angka ini menggambarkan
sejauh mana besarnya partisipasi penduduk usia sekolah tertentu untuk
bersekolah pada jenjang pendidikannya. Berkaitan dengan upaya memperluas
jangkauan pelayanan pendidikan di Sulawesi Barat untuk penduduk usia 7-12
tahun sedikitnya tercatat 94,10 % (tahun 2007) mengalami peningkatan menjadi
39. 33
94,20 % (tahun 2008). Sedangkan untuk umur 13-15 tahun juga mengalami
peningkatan dari 74,60% (tahun 2007) menjadi 75,10% (tahun 2008), dan untuk
tingkat umur 16-18 tahun dari 42.90% (tahun 2007) meningkat menjadi 43,52
persen (tahun 2008).
Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah
tepat waktu yang dibagi kedalam tiga kelompok jenjang pendidikan, yaitu SD,
SMP dan SMU. Secara umum angka partisipasi murni (APS) di Sulawesi Barat
mengalami peningkatan dari 87,08% (tahun 2005) menjadi 99,25% (tahun 2009).
Bila dilihat dari daerah tempat tinggal, maka angka partisipasi murni tingkat
Sekolah Dasar (SD) dan (SMP) pada tahun 2008 di daerah perdesaan cenderung
lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, sedangkan untuk jenjang SMU angka
partisipasi murni di perkotaan lebih tinggi dari pada perdesaan.
Dari tabel di atas nampak bahwa peningkatan pada angka partisipasi
murni memberi indikasi bahwa perluasan akses pendidikan telah diarahkan untuk
memperluas daya tampung satuan pendidikan dengan tujuan akhir agar semua
warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan layanan
pendidikan. Selama kurun waktu 2004 - 2009 telah dilaksanakan sejumlah
program perluasan akses pendidikan sebagai implementasi dari kebijakan pokok
perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Pencapaian yang diperoleh dari
implementasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja Dinas
Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat.
Pada tabel di atas juga nampak bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK)
untuk penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun) pada tahun 2005 adalah 88.30.
Ini berarti bahwa pada tahun 2006, ada lebih dari 88,30 persen penduduk usia
sekolah dasar (7-12 tahun) yang masih bersekolah dan mengalami
peningkatan hingga 94,02 persen pada tahun 2007.
40. 34
Peningkatan angka pertisipasi kasar (APK) ini juga ditunjang dengan
adanya pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat Sekolah Dasar dan peran
orang tua dalam mendorong anaknya untuk bersekolah. Hinga tahun 2009 ini
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui Dinas Pendidikan telah berhasil
meningkatkan angka partisipasi murni (SD/sederajat) dan angka partisipasi kasar
(SMP/sederajat). Demikian pula tingkat kelulusan (SD,SMP dan SMU) sebesar
88,08%. Adapun sasaran program pengembangan pendidikan pada tahun 2009
ini, antara lain meliputi :
a. Program pendidikan anak usia dini
b. Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
c. Program pendidikan menengah
d. Program pendidikan non formal dan program pengembangan teknologi
informasi, komunikasi dan pendidikan
Disadari pula bahwa upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak
terlepas dari peran strategis guru. Dengan kata lain, guru merupakan komponen
yang sangat krusial di satuan pendidikan. Tidak hanya jumlah guru harus
seimbang dengan jumlah siswa di sekolah, mutu guru pun harus diperhatikan,
karena Salah satu indikator kinerja peningkatan mutu pendidikan adalah rata-rata
nilai ujian nasional (UN) siswa. Rata-rata nilai akhir tingkat sekolah SMP
mengalami peningkatan dari 6,34 (tahun 2004) menjadi 6,7 (tahun 2009),
demikian pula untuk tingkat SMU dari rata-rata nilai 6,35 (tahun 2005) menjadi
6.58 (tahun 2009).
Sedangkan angka putus sekolah yang mana mencerminkan anak-anak
usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau tidak menamatkan suatu
jenjang pendidikan tertentu sering pula digunakan sebagai indikator
berhasil/tidaknya pembangunan di bidang pendidikan. Penyebab utama dari
41. 35
putus sekolah antara lain karena kurangnya kesadaran orang tua akan
pentingnya pendidikan anak, kondisi ekonomi orang tua yang miskin dan
keadaan geografis yang kurang menguntungkan.
Di Provinsi Sulawesi Barat dicatat bahwa angka putus sekolah mengalami
penurunan baik untuk jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), SMP maupun
Sekolah Menengah Umum (SMU). Pada tingkat SD angka putus sekolah
mengalami penurunan dari 6.57 % (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun 2009)
dan untuk tingkat SMP dari 3,98% (tahun 2004) menjadi 2,00% (tahun 2009)
dan tingkat SMU penurunan dari 3,94% (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun
2009).
b. Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke Atas
Sama halnya dengan APM dan APK bahwa angka melek huruf 15 tahun
ke atas juga mengalami persentase yang cenderung meningkat.
Grafik-10
Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun Ke Atas
88
87
86
85
Angka Melek Huruf (%)
84
15 tahun ke atas
83
82
81
80
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010
Selanjutnya angka melek huruf yang dimaksud di sini adalah seseorang
yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf
lainnya. Yang dimaksud huruf lainnya misalnya huruf Arab, Bugis/Makassar,
42. 36
Jawa, Cina dan sebagainya. Seseorang yang hanya dapat membaca atau menulis
saja belum dianggap sebagai melek huruf. Hasil Susenas 2004 di Sulawesi Barat
menunjukkan bahwa angka melek huruf penduduk usia 15 tahun sekitar 87,59%.
Sisanya sebesar 12,41 persen yang buta huruf. Kelompok ini diperkirakan terdiri
dari mereka yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau pelayanan pendidikan,
penyandang cacat dan penduduk yang berusia lanjut.
Perbaikan tingkat melek huruf disebabkan oleh meningkatnya partisipasi
pendidikan dasar serta meningkatnya proporsi siswa SD/MI yang dapat
menyelesaikan sekolahnya. Berdasarkan jenis kelamin, selisih angka melek huruf
laki-laki dan perempuan masih cukup besar yaitu : sekitar 4 persen. Perbedaan
angka melek huruf menurut jenis kelamin ini tampak berfluktuasi antar kabupaten.
Keadaan tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran akan
pentingnya pendidikan yang berbeda antar wilayah tanpa melihat status jenis
kelamin, meskipun disadari pula bahwa di beberapa masyarakat tertentu masih
ada yang memprioritaskan anak laki-laki untuk disekolahkan dari pada anak
perempuannya.
Jika dilihat perkabupaten di Propinsi Sulawesi Barat, hasil Susenas 2006
menunjukkan bahwa variasi angka melek huruf berkisar antara 82 sampai 95
persen. angka melek huruf tertinggi di atas angka 90 persen terlihat didua
kabupaten yaitu Majene (95%), dan Mamuju Utara (94%). Sementara itu terdapat
satu kabupaten yang angka melek huruf nya di bawah 85 persen, yaitu Kabupaten
Polewali Mandar sebesar 82,06 persen. Berdasarkan jenis kelamin dan
kabupaten, angka melek huruf laki-laki berkisar antara 80 sampai 95 persen
dengan angka terendah di Kabupaten Polman (80,05%), sedangkan untuk
43. 37
perempuan sedangkan angka tertinggi adalah Kabupaten Majene (96,48%) untuk
laki-laki.
Dengan demikian untuk mendorong peningkatan IPM berskala nasional
hingga mencapai posisi yang lebih baik, pemerintah provinsi Sulawesi Barat perlu
mengupayakan peningkatan angka melek huruf dan perluasan pendidikan dasar
dengan mempertahankan APM SD pada tingkat 99 % dengan mengupayakan
peningkatan APK SMP pada tahun 2011 menjadi 95 % (atau jumlah siswa
SMP/MTs sebanyak 66.326 siswa dan jumlah Penduduk usia 13 – 15 tahun
sebanyak 69.817 serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun
ke atas hingga 5 % atau sebanyak 5.010 pada tahun 2009.
Selanjutnya peningkatan mutu elevansi, dan daya saing pendidikan, serta
mutu pendidikan merupakan kondisi di mana masukan, proses dan output adalah
baik, guru yang sesuai dengan persyaratan, sarana/prasarana yang tidak rusak,
dan biaya yang tidak mahal. Oleh karena itu, peningkatan mutu diarahkan pada
mutu masukan, proses, output, guru, sarana/prasarana, dan biaya. Sedangkan
relevansi pendidikan merupakan kondisi di mana terdapat keterkaitan antara
sekolah dengan lapangan pekerjaan sehingga semua lulusan akan memperoleh
atau menciptakan lapangan pekerjaan sesuai dengan jenis sekolah. Oleh karena
itu, relevansi diarahkan untuk melihat kesesuaian antara sekolah dengan
lapangan pekerjaan.
Pencapaian mutu dan relevansi pendidikan di masa datang diharapkan
dapat memberikan dampak peningkatan taraf hidup masyarakat dan daya saing
bangsa. Mutu dan relevansi pendidikan ditujukan oleh pencapaian prestasi
akademik dan non-akademik yang lebih tinggi serta relevansinya terhadap
tuntutan masyarakat dan dunia kerja yang ditunjukan oleh penguasaan iptek.
44. 38
Selain dari itu, mutu pendidikan dapat dilihat dari dimensi kemanusiaan meliputi
keteguhan iman dan takwa, etika dan wawasan kebangsaan serta kepribadian
yang modern.
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa salah indikator yang turut
mempengaruhi meningkatnya persentase angka melek huruf adalah karena
semakin meningkat pula angka partisipasi murni tingkat SD/MI dan menurunnya
angka partisipasi kasar (APK), sedangkan peningkatan APM dan penurunan APK
akan memberikan kontribusi kepada peningkatan angka melek huruf. Hubungan
antara keduanya dapat dilihat pada grafik di bawah ini
Grafik-11
Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun ke Atas
350
300
Angka Partisipasi Kasar
250 Tingkat SD/MI
200
Angka Melek Huruf (%)
150 15 tahun ke atas
100 Angka Partisipasi Murni
50 Tingkat SD/MI
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber: Kemendiknas, BPS Sulawesi Barat, 2010
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2007 angka melek huruf
(%) untuk usia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan sebesar 86.40%, sedikit
lebih tinggi dari tahun sebelumnya (85,90%) disebabkan oleh faktor APM pada
tahun itu juga mengalami peningkatan dan telah menembus angka 90-an
(92,17%). Padahal APK justru meningkat tajam dari 94,02% menjadi 109,93%, hal
ini disebabkan oleh persentase penrtumbuhan penduduk yang mencapai angka
45. 39
tertinggi selama 5 tahun terakhir (3,23%). Namun demikian, hal tersebut tidaklah
terlalu berpengaruh karena disaat yang bersamaan persentase penduduk miskin
justru menurun (19,03%), berarti semakin membaik. Hal ini menunjukkan bahwa
jumlah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan pendidikan,
utamanya pada tingkatan menengah ke atas juga semakin tinggi. Tingginya
masyarakat yang mengenyam pendidikan tentu saja akan berdampak positif
terhadap peningkatan angka melek huruf tersebut sebagai output dari proses
pendidikan formal dan/atau non formal.
Pada tahun 2008, angka melek huruf kembali mengalami peningkatan
(87,05%) karena APM juga mengalami peningkatan (95,20%) didukung pula oleh
APK yang mengalami penurunan drastis (78,69%) karena persentase penduduk
miskin berhasil ditekan menjadi 16,73%. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Barat pada tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat
menggembirakan karena merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di
Indonesia (8,54%). Kondisi ini praktis akan memberikan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam hal tersedianya ruang bagi usia
sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan ini akan berkontribusi
pada berkurangnya APK dan meningkatnya APM pada tingkat SD/MI.
Pada tahun 2009, angka melek huruf justru mengalami penurunan
disebabkan oleh faktor menurunnya laju pertumbuhan ekonomi (6,89%) dan
semakin tingginya laju inflasi (3,21%), sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya
(3,04%). Hal ini berdampak pada kesulitan masyarakat dalam menghadapi
gelombang ekonomi yang tidak menentu pada saat itu, sehingga mereka
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan primer
46. 40
maupun sekunder, termasuk di dalamnya kesulitan akan biaya pendidikan
(menengah ke atas).
2.3. Kesehatan
Indikator dalam bidang kesehatan dasar yang paling penting adalah
menyangkut tentang umur harapan hidup (UHH). Artinya adalah bahwa semakin
sehat seseorang, maka semakin besar pula harapan baginya untuk memiliki umur
yang panjang. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu indikator yang digunakan
untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah UHH. oleh karena itu,
semakin tinggi persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin
tinggi pula derajat kesehatan masyarakatnya. Sebaliknya, semakin rendah
persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin rendah pula derajat
kesehatan masyarakat.
Umur Harapan Hidup (UHH) di Sulawesi Barat dari tahun 2004 hingga
2009 dapat dikategorikan cukup baik karena selalu menunjukkan peningkatan.
Jika pada tahun 2004 sebagai tahun pertama berdirinya provinsi ini persentase
Umur Harapan Hidupnya hanya sebesar 66,30%, maka 5 tahun berikutnya (2009)
berhasil memperbaiki UHH menjadi 67,70%. Peningkatannya tidak terlalu
signifikan sebenarnya, tetapi paling tidak UHH menunjukkan tren positif setiap
tahun sebagai salah satu jargon percepatan pembangunan dalam bidang
kesehatan.
Indikator lain dalam bidang kesehatan dasar yang juga dinilai sangat
penting adalah pentingnya angka kematian bayi (Infant mortality rate), gizi kurang,
dan gizi buruk karena Indikator ini dinilai sangat sensitif terhadap perubahan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
47. 41
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi
lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan
dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi
ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang
umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada
bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor
yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat
konsepsi atau didapat selama kehamilan. Kematian bayi eksogen atau kematian
post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai
menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian
dengan pengaruh lingkungan dari luar.
Grafik-12
Sumber: Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2010
Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi
masyarakat dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi
untuk pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan
kematian bayi yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor
endogen yang berhubungan dengan kehamilan maka program-program untuk
mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan
48. 42
program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi
dan suntikan anti tetanus.
Sedangkan Angka Kematian Post-Neo Natal dan Angka Kematian Anak
serta Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi,
serta program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak,
program penerangan tentang gizi dan pemberian makanan sehat untuk anak
dibawah usia 5 tahun. Kesehatan dan gizi merupakan bagian dari indikator
kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik, salah satu indikator utama
adalah angka kematian bayi (AKB)
Dari grafik-12 di atas dapat dilihat bahwa penurunan angka kematian
bayi dari 30,00 persen tahun 2005 menjadi 27,40 persen tahun 2008 seiring
dengan menurunnya grafik angka gizi buruk dari 1,81 persen tahun 2005 menjadi
0,16 persen tahun 2009 dan Gizi kurang dari 8,95 persen tahun 2005 menjadi
2,38 persen tahun 2008. Hal ini memberikan indikasi betapa pembangunan
kesehatan di Sulawesi Barat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.
Pembangunan kesehatan merupakan investasi untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan
dan ekonomi. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Secara umum, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia terus
mengalami peningkatan, antara lain dilihat indikator angka kematian bayi,
kematian ibu melahirkan, usia harapan hidup, dan prevalensi gizi kurang.
49. 43
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan
derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat, terutama
penduduk miskin, terhadap pelayanan kesehatan dasar. Dalam upaya membuat
pemberian pelayanan kesehatan makin merata dan bermutu, ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan dasar sangat diperlukan. Sampai dengan akhir tahun 2009
telah tersedia 178 unit Rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun rumah
sakit swasta dan rumah sakit ABRI. 2.171 Puskesmas termasuk Puskesmas
Pembantu, dan Klinik Keluarga Berencana sekitar 81 unit. Dan dari jumlah itu
terserap sedikitnya 2.487 tenaga kesehatan.
Meskipun demikian, banyak golongan masyarakat terutama penduduk
miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan karena
kendala biaya, jarak dan transportasi. Untuk itu, diperlukan peningkatan
ketersediaan, pemerataan dan mutu sarana pelayanan kesehatan dasar, terutama
di Puskesmas dan jaringannya. Dalam upaya memperluas jaringan pelayanan
kesehatan dasar di tingkat desa, akan ditingkatkan pelaksanaan poliklinik
kesehatan desa sebagai salah satu upaya perwujudan desa siaga. Di poliklinik
kesehatan desa tersebut dilaksanakan pelayanan kesehatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif dalam upaya mempercepat penurunan angka kematian
bayi, angka kematian ibu dan meningkatkan status gizi. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan ini lebih menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat. Selain
itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar,
khususnya bagi penduduk miskin, pemberian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM) akan terus dilanjutkan. Data berikut ini akan
menggambarkan beberapa indikator kesehatan yang menjadi perhatian
pemerintah dalam pembangunan bidang kesehatan.
50. 44
Umur harapan hidup di Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan
peningkatan dari 66,30 (tahun 2004) menjadi 67.70 (tahun 2009). Peningkatan ini
tentunya berbanding terbalik dengan data angka kematian bayi yang cenderung
manurun dari 30.00 (tahun 2005) menjadi 27.40 (tahun 2008). Sedangkan
presentase gizi buruk dan gizi kurang cenderung mengalami penurunan, yaitu dari
8,95 % (tahun 2006) turun menjadi 2,38% (tahun 2008). Beberapa data tidak
tersedia di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru pecahan dari Provinsi
Sulawesi Barat, hal ini karena data tersebut masih bergabung dengan data
Provinsi Sulawesi Barat, kegiatan pendataan khususnya pada Dinas Kesehatan
dilakukan pada tahun 2005, sehingga ketersediaan data ada yang mulai tahun
2006.
Upaya penanggulangan masalah gizi terutama difokuskan pada ibu
hamil, bayi, dan anak balita, karena mereka ini adalah golongan rawan yang
paling rentan terhadap kekurangan gizi serta besarnya dampak yang dapat
ditimbulkan. Masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi menyangkut
masalah sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat. Dengan demikian, upaya
penanggulangan masalah gizi harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai
bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi dengan fokus pada kelompok
miskin.
Obat dan perbekalan kesehatan merupakan komponen penting dalam
pelayanan kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial untuk
pelayanan kesehatan perlu terus diupayakan. Meningkatnya ketersediaan obat
generik esensial diharapkan dapat mendorong pemakaian obat generik esensial
oleh masyarakat umum terutama bagi kelompok miskin, karena lebih terjangkau
oleh masyarakat. Upaya ini akan bersinergi dengan upaya peningkatan akses
serta prasarana pelayanan kesehatan dasar. Dengan sinergitas ini, masyarakat
51. 45
diharapkan akan lebih mudah dalam menjangkau fasilitas kesehatan,
mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan harga obat yang terjangkau.
Pembangunan kesehatan pada 4 tahun terakhir ini, merupakan bagian
dari upaya pencapaian sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah 2005–2009 yaitu meningkatnya status
kesehatan dan gizi masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan
hidup, menurunnya angka kematian bayi, menurunnya angka kematian ibu, dan
menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita. Untuk itu Pembangunan
kesehatan diarahkan pada :
(1) Peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, melalui
pembangunan, perbaikan dan pengadaan peralatan di Puskesmas dan
jaringannya terutama di daerah bencana dan tertinggal; pengembangan
jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan
kesehatan gratis di Puskesmas dan kelas III Rumah Sakit;
(2) Peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
dan wabah, melalui pencegahan dan penanggulangan faktor resiko,
peningkatan imunisasi, peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan wabah termasuk flu burung;
(3) Penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi dan
anak balita, melalui peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan kurang
energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium
(GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya; dan
(4) Peningkatan ketersediaan obat dan pengawasan obat, makanan dan
keamanan pangan, melalui peningkatan ketersediaan obat generik,
pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya, peningkatan
52. 46
pengawasan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA). Kebijakan tersebut
didukung oleh promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,
peningkatan lingkungan sehat, peningkatan sumber daya kesehatan,
pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan
manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan
kesehatan.
Menyangkut tentang penyebaran jumlah tenaga perawat kesehatan jika
dibandingnya dengan jumlah masyarakat yang akan dilayani perbadingannya
semakin meningkat setiap tahunnya dari 0.13% (tahun 2005) menjadi 0,20%
(tahun 2009). Walaupun demikian disadari bahwa tenaga perawat kesehatan di
Povinsi Sulawesi Barat masih dibutuhkan utamanya tenaga spesialis.
2.4. Keluarga Berencana
a. Contraceptive Prevalence Rate (%)
Salah satu program pemerintah dalam mengontrol dan mengatur
kelahiran, adalah melalui program keluarga berencana (KB). Pengaturan
kelahiran ini diharapkan agar setiap keluarga akan memiliki kesempatan dan lebih
leluasa dalam mengatur sumberdaya yang dimilikinya demi kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarganya.
Berdasarkan tabel-3, Contraceptive prevalence rate (%) selama dua
tahun berturut-turut mengalami peningkatan. Tahun 2007 (45,20%), 2008
(52,20%), namun terjadi penurunan di tahun 2009 (50,00%), berarti menurun
sebesar 2,20%. Sementara itu, untuk data tahun 2004-2006 belum bisa disajikan
karena pada tahun tersebut belum dilakukan pendataan ulang sebagai akibat dari
pemekaran wilayah provinsi. Meningkatnya persentase Contraceptive prevalence