Pelaksanaan agenda pembangunan Indonesia yang aman dan damai dinilai berdasarkan indeks kriminalitas. Evaluasi menunjukkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat hanya dapat menampilkan data untuk indikator penyelesaian kasus kejahatan konvensional karena keterbatasan data, namun indikator ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat 2010 (EKPD NTB 2010
1.
2. KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT dipanjatkan, karena atas rahmat, hidayah
dan karunia-Nya jualah, maka laporan akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kajian ini bertujuan menghimpun data dan informasi serta menyusun hasil analisa
evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Terselesaikannya laporan pendahuluan ini tentunya tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak, maka melalui kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Kepala Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat dan seluruh jajarannya yang telah
berkomitmen memberikan dukungan untuk penyediaan data bagi EKPD Provinsi NTB
Tahun 2010;
2. Kepala BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat dan seluruh jajarannya yang telah
berkomitmen memberikan dukungan untuk penyediaan data bagi EKPD Provinsi NTB
Tahun 2010; dan
3. Para pemangku pembangunan baik formal maupun non-formal yang telah
memberikan kesediaannya untuk memberikan informasi dan data pendukung EKPD
Provinsi NTB 2010.
Disadari bahwa laporan akhir EKPD Provinsi NTB Tahun 2010 masih banyak
mengandung kelamahan dan kekurangan, maka diharapkan kepada semua pihak untuk
dapat kiranya memberikan saran masukan yang membangun dan konstruktif untuk
penyempurnaan lebih lanjut.
Mataram, Nopember 2010
Pembantu Rektor IV,
Koordinator Evaluasi,
Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU.
NIP 19550815 198104 1 001
i
3. DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB.I. PENDAHULUAN I‐1
A. Latar Belakang Evaluasi I‐1
B. Tujuan danSasaran Evaluasi I‐2
C. Keluaran I‐2
D. Anggota Tim Evaluasi Provinsi Nusa Tenggara Barat I‐2
BAB.II. HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004‐2009 II‐1
A. Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman Dan Damai II‐1
B. Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil Dan Demokratis II‐3
C. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat II‐7
D. Kesimpulan II‐30
BAB.III. RELEVANSI RPJMN 2010‐2014 DENGAN RPJMD PROVINSI III‐1
A. Pengantar III‐1
B. Tabel Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional III‐2
C. Rekomendasi III‐19
BAB.IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI IV‐1
A. KESIMPULAN IV‐1
B. REKOMENDASI IV‐2
Lampiran
ii
4. BAB.I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Evaluasi
Menurut Undang‐Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat tahapan
perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian perencanaan
serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan,
evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data serta
informasi untuk menilai sejauh mana pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan
tersebut dilaksanakan.
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2004‐2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan, pemerintah (Bappenas) berkewajiban untuk melakukan evaluasi untuk
melihat sejauh mana pelaksanan RPJMN tersebut.
Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010–2014. Siklus pembangunan
jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama dengan siklus pembangunan 5
tahun di daerah. Sehingga penetapan RPJMN 2010‐2014 ini tidak bersamaan waktunya dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. Hal ini menyebabkan
prioritas‐prioritas dalam RPJMD tidak selalu mengacu pada prioritas‐prioritas RPJMN 2010‐
2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program antara RPJMN dengan
RPJMD Provinsi.
Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Yang pertama adalah evaluasi atas
pelaksanaan RPJMN 2004‐2009 dan yang kedua penilaian keterkaitan antara RPJMD dengan
RPJMN 2010‐2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004‐2009 adalah Evaluasi
ex‐post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada
tiga agenda RPJMN 2004 ‐ 2009 yaitu agenda Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta
Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah
atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator
pencapaian.
Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi dengan
RPJMN 2010‐2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas
lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu juga mengidentifikasi potensi lokal dan prioritas
daerah yang tidak ada dalam RPJMN 2010‐2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN
2010‐2014 adalah 1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4)
Penanggulangan Kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim Investasi dan Iklim
Usaha, 8) Energi, 9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, 10) Daerah Tertinggal,
I‐1
5. Terdepan, Terluar, & Pasca‐konflik, 11) Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi dan 3
prioritas lainnya yaitu 1) Kesejahteraan Rakyat lainnya, 2) Politik, Hukum, dan Keamanan
lainnya, 3) Perekonomian lainnya.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan
pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di daerah. Selain itu, hasil evaluasi
dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan
daerah.
Pelaksanaan EKPD dilakukan secara eksternal untuk memperoleh masukan yang lebih
independen terhadap pelaksanaan RPJMN di daerah. Berdasarkan hal tersebut, Bappenas cq.
Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan
Daerah (EKPD) yang bekerja sama dengan 33 Perguruan Tinggi selaku evaluator eksternal dan
dibantu oleh stakeholders daerah.
Pelaksanaan EKPD 2010 akan dilaksanakan dengan mengacu pada panduan yang terdiri
dari Pendahuluan, Kerangka Kerja Evaluasi, Pelaksanaan Evaluasi, Organisasi dan Rencana Kerja
EKPD 2010, Administrasi dan Keuangan serta Penutup
B. Tujuan dan Sasaran Evaluasi
Tujuan kegiatan ini adalah:
1. Untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN 2004‐2009 dapat memberikan kontribusi
pada pembangunan di daerah;
2. Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan prioritas/program (outcome) dalam RPJMN
2010‐2014 dengan prioritas/program yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi.
Sasaran yang diharapkan dari kegiatan ini meliputi:
1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004‐2009 di daerah;
2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010‐
2014.
C. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari EKPD 2010 adalah:
1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004‐2009 untuk setiap
provinsi;
2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010‐ 2014.
D. Anggota Tim Evaluasi Provinsi Nusa Tenggara Barat
1. Penanggungjawab : Prof. H. Ir. Sunarpi, Ph.D. (Rektor Universitas Mataram)
2. Koordinator : Dr. H. Zaenal Asikin, SH. SU. (Pembantu Rektor IV)
I‐2
6. 3. Anggota : 1. Dr. Prayitno Basuki, MA.
2. Yusron Saadi, ST., M.Sc., Ph.D
3. Dr. Hirsanuddin, SH., M.Hum..
4. Prof. Dr. L. Wirasapta Karyadi, M.Si.
5. Prof. Drs. Mahyuni, MA., Ph.D.
6. Prof. Ir. I Wayan Karda, M.Ag.S., Ph.D.
7. Abdullah Zainuddin, ST., MT
I‐3
7. BAB. II.
HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
1. Indikator
a. Indeks Kriminalitas
Sebagai upaya memahami tentang kondisi keamanan suatu wilayah secara
kuantitatif dapat diukur dengan beberapa indikator. Namun demikian, mengingat
sering adanya keterbatasan ketersediaan data untuk beberapa indikator kriminalitas,
maka pada kesempatan ini dari dua indikator yang diharapkan untuk ditampilkan yaitu
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional (%) dan Persentase
Penyelesaian Kasus Kejahatan Trans Nasional (%), Provinsi NTB hanya dapat
menampilkan indikator pertama yaitu, Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan
Konvensional (%). Selain ketidatersediaan data untuk indikator kedua, Persentase
Penyelesaian Kasus Kejahatan Trans Nasional (%), kasus kejahatan trans nasional
masih memiliki keterbatasan eskalasinya.
2. Analisis Pencapaian Indikator
a. Indeks Kriminalitas
Selama enam tahun terakhir terjadi peningkatan presentase penyelesaian
kasus kejahatan konvensional di Provinsi NTB. Bila pada Tahun 2004, presentase
penyelesaian kasus kejahatan konvensional masih sekitar 42,61 %, kemudian secara
perlahan mengalami peningatan secara konsisten sampai dengan Tahun 2008
menjadi 59,69 %. Namun demikian, pada Tahun 2009 ternyata mengalami penurunan
kembali menjadi 51,22 %. Penurunan presentasi penyelesaian kasus kejahatan
konvensional pada Tahun 2009 lebih banyak disebabkan karena adanya momen
pemilihan kepala daerah di beberapa kabupaten/kota di Provinsi NTB. Sehingga
sebagian besar energi dan sumberdaya yang dimiliki Kepolisian Daerah baik ditingkat
Resort maupun Polda tercurah untuk mendukung suksesnya momen Pemilukada
tersebut.
Menurunnya presentase penyelesaian kasus tersebut disebabkan pula oleh
semakin meningkatnya jumlah kasus kriminal konvensional di Provinsi NTB selama
periode Tahun 2008-2009 cukup signifikan. Jumlah absolut kasus kriminal
konvensional pada Tahun 2008 sebanyak 7.821 kasus sedangkan pada Tahun 2009
sebanyak 9.415 kasus. Bila presentasenya menurun, maka jumlah absolut kasus yang
dapat diselesaikan tidak berarti menurun dari jumlah kasus pada Tahun 2008. Selain
itu, peningkatan kasus kriminal konvensional ternyata diikuti oleh peningkatan kualitas
kejahatannya. Berdasarkan catatan yang ada, selama periode enam tahun tersebut,
ada kecenderungan meningkatnya kualitas kejahatan di Provinsi NTB. Jumlah kasus
kejahatan yang mengalami peningkatan secara signifikan adalah Curanmor
(Pencurian Kendaraan Bermotor), yaitu pada Tahun 2008 sebanyak 568 kasus
meningkat secara signifikan menjadi sebanyak 983 kasus pada Tahun 2009. Selain
itu, waktu kriminal (crime clock) di Provinsi NTB mengalami percepatan, dari
sebelumnya terjadinya laporan kejadian kasus kriminal setiap satu jam tujuh menit dan
II‐1
8. 12 detik (01o07’12’’) menjadi lebih singkat yaitu terjadi laporan kejadian kasus
kejahatan konvensional setiap 55 menit 50 detik (55’50”). Walaupun demikian, sampai
Tahun 2009, di Provinsi NTB belum terdapat kasus besar konvensional yang
gaungnya terdengan sampai ketingkat nasional, misalnya kasus pencurian dengan
kekerasan yang sampai menelan korban jiwa dan lainnya. Gambaran tentang kondisi
kriminal konvesional di Provinsi NTB dapat dilihat pada grafik berikut ini:
70 59,69
53,98 55,27
60 52,03 51,22
50 42,61
40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional (%)
Gambar.2.1. Grafik Presentase Penyelesaian Kasus kejahatan
Konvensional (%) Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2004-2009.
Sumber: Kepolisian Daerah Provinsi NTB, 2010.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya secara kualitas dan kuantitas kondisi
keamanan masyarakat di Provinsi NTB mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah
membawa konsekuensi semakin pendeknya rentang waktu terjadinya tindak kriminal
antara satu kejadian dengan kejadian lainnya. Serta adanya kecenderungan
meningkatnya kasus kriminal konvensional selama periode waktu 2005-2009,
khususnya kasus pencurian kendaraan bermotor. Gambaran tentang kondisi tersebut
dapat dilihat pada grafik berikut ini:
10000 9.415
7.821
8000 6.636
6.228
5.397
6000
4000
2000 568 983
426 231 337
0
2005 2006 2007 2008 2009
Curanmor Kasus Kriminal Konvensional
II‐2
9. Gambar.2.2. Jumlah Kasus Curanmor dan Kasus Krminal Konvensional di
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Tahun 2005-2009.
Sumber: Kepolisian Daerah Provinsi NTB, 2010.
3. Rekomendasi Kebijakan
Bila mencermati pola, skala dan kualitas kejahatan konvesional selama enam
tahun terakhir di Provinsi NTB, maka perlu dilakukan reorientasi kebijakan keamanan
secara gradual di Provinsi NTB baik oleh pihak Kepolisian maupun unsur stakeholder
keamanan lainnya. Keamanan bukan saja menjadi tanggungjawab pihak kepolisian
semata, melainkan sudah menjadi tanggungjawab bersama antara masyarakat,
pemerintah dan pihak keamanan. Meningkatnya kasus pencurian kendaraan bermotor
tidak semata-mata karena kelemahan sistem keamanan kepoliosian melainkan pula
adanya kontribusi kelangahan atau ketidaksigapan masyarakat maupun belum optimal
berjalannya sistem perparkiran di Provinsi NTB.
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan konsisi keamanan di Provinsi NTB
perlu dilakukan upaya yang lebih berisfat promotif dan preventif dibanding dengan
menggunakan upaya refresif. Perbaikan sistem perparkiran dan tindakan penyadaran
kepada masyarakat untuk selalu melindungi kendaraan bermotornya dengan kunci ganda
dapat menjadi solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi aksi kriminal pencuruan
kendaraan bermotor di Provinsi NTB.
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
1. Indikator
a. Pelayanan Publik
Bila pada pencapaian agenda pembangunan Indonesia yang aman dan damai
melalui indikator kasus kriminal konvensional di Provinsi NTB memperlihatkan eskalasi
yang meningkat walaupun tidak terlampau signifikan, maka pada pencapaian agenda
pembangunan Indonesia yang adil dan demokratis khususnya di dalam pelayanan
publik terlihat semakin membaik. Sebagai upaya memperlihatkan pencapaian
pelayanan publik tersebut dapat digunakan tiga indikator sebagai berikut
Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan
(%)
Persentase kabupaten/ kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap
(%)
Persentase instansi (SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) [%]
Dari ketiga indikator tersebut ternyata hanya dua indikator yang dapat
ditampilkan untuk menggambarkan kondisi pelayanan publik di Provinsi NTB, yaitu:
Persentase kabupaten/ kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap
(%); dan
II‐3
10. Opini pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan
Provinsi NTB selama lima tahun terakhir.
Indikator pertama tentang Persentase kasus korupsi yang tertangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan (%) tidak dapat diperoleh dari instutusi yang
kompeten dalam hal ini pihak kejaksanaan tinggi Provinsi NTB. Dan untuk indikator
ketiga pun perlu dilakukan modifikasi terhadap pengukuran yang digunakan. Hal ini
dikarenakan sampai saat ini belum ada pengukuran opini pelaporan keuangan
diberikan oleh pihak yang berkompeten terhadap suatu SKPD di tingkat provinsi. Opini
pemerikasanaan hanya diberikan kepada laporan keuangan pemerintahan provinsi
dan kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk mengukur pencapaian pelayanan publik di
Provinsi NTB dilakukan modifikasi pada indikator ketiga menjadi Opini pelaporan
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan Provinsi NTB selama
lima tahun terakhir.
b. Demokrasi
Selain pelayanan publik, iklim demokrasi menjadi salah satu pencapaian yang
diukur untuk mencerminkan pencapaian agenda pembangunan Indonesia yang lebih
adil dan demokratis. Pencapaian iklim demokrasi di Provinsi NTB diukur dengan
menggunakan dua indikator sebagai berikut:
Gender Development Index
Gender Empowerment Measurement
Namun demikian, dari kedua indikator tersebut ternyata data yang ada tidak
mencerminkan kondisi perubahan setiap tahun. Pengukuran terhadap kedua indikator
tersebut dilakukan melalui survey yang dilakukan tidak setiap tahun. Oleh kartena itu,
untuk menggambarkan kondisi iklim demokrasi di Provinsi NTB pada tahun yang tidak
tersedia datanya, akan digunakan asumsi bahwa kondisi iklim demokrasi sama
dengan tahun sebelumnya. Artinya, data yang digunakan untuk kedua indikator
tersebut akan menggunakan data tahun sebelumnya untuk masing-masing indikator.
2. Analisis Pencapaian Indikator
a. Pelayanan Publik
Seperti diuraikan pada bagian pemilihan indikator pelayanan publik hanya
tersedia dua indikator untuk pengukur tingkat pelayanan publik di Provinsi NTB, yaitu
Persentase kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap (%);
dan Opini pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan
Provinsi NTB selama lima tahun terakhir. Pencapaian tingkat pelayanan publik di
Provinsi NTB merujuk pada kedua indikator tersebut menunjukkan kecenderungan
yang membaik.
Pada indikator pertama persentase kabupaten/kota yang memiliki peraturan
daerah pelayanan satu atap (%), di Provinsi NTB sampai dengan Tahun 2009,
sembilan dari sepuluh atau 90,00 % kabupaten/kota yang ada di NTB telah memiliki
peraturan daerah yang berkaitan dengan institusi pelayanan satu atap. Walaupun
kondisi kuantitatif tersebut belum sepenuhnya menunjukkan kondisi pelayanan publik
II‐4
11. di Provinsi NTB. Hal ini disebabkan masih sangat beragamnya tingkat pelayanan
publik yang diberikan oleh institusi pelayanan satu atap antara satu kabupaten/kota
dengan kabupaten/kota lainnya. Terdapat institusi pelayanan satu atap yang
pelayanan sudah mengikuti SPM (Standar Pelayanan Minimun) di suatu
kabupaten/kota dan sebaliknya terdapat pula institusi pelayanan satu atap yang belum
berjalan optimal di kabupaten/kota lainnya di Provinsi NTB. Namun secara rata, dari
hasil kajian dan evaluasi yang dilakukan pada saat Lomba Penilaian Pelayanan Publik
Terbaik di Tingkat Provinsi Pada Tahun 2009, terdapat 3 (tiga) kabupaten/kota
unggulan yang memiliki institusi pelayanan publik terbaik di Provinsi NTB, yaitu
masing-masing Kota Mataram, Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Bima.
Ketiga kabupaten/kota tersebut memiliki keunggulan masing-masing atas
keberadaan institusi pelayanan satu atapnya. Bila Kota Mataram dan Kabupaten
Lombok Timur memiliki institusi pelayanan satu atap yang secara fisik berada di pusat
kabupaten/kota, maka Kabupaten Bima justru mendekatkan pelayanan publiknya
langsung di tingkat kecamatan. Kantor Kecamatan diperankan sebagai institusi
pelayanan satu atap untuk pengurusan ijin maupun surat keterangan bagi masyarakat.
Khusus untuk Kabupaten Lombok Timur merupakan satu-satunya kabupaten di
Provinsi NTB yang eselonering institusinya pelayanan satu atapnya pada tingkatan
eselon II atau SKPD setingkat Dinas dengan sebutan Dinas Pelayanan dan Perijinan
Terpadu Kabupaten Lombok Timur. Dinas Pelayanan dan Perijinan di Kabupaten
Lombok Timur mengupayakan kgiatan terobosan melalui upaya “jemput bola” bagi
masyarakat yang akan mengurus ijin di tingkat kecamatan. Kunjungan lapangan
petugas Dinas Pelayanan dan Perijinan Terpadu dilakukan dua kali dalam setiap
minggunya, yaitu masing-masing pada Hari Senin dan Kamis. Sedangkan institusi
pelayanan satu atap di kabupaten/kota lainnya masing setingkat kantor atau eselon III.
Indikator lain untuk mengukur terjadinya peningkatan kondisi pelayanan publik di
Provinsi NTB adalah Opini pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap
laporan keuangan Provinsi NTB selama lima tahun terakhir yang diberikan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun kepada setiap pemerintahan kabupaten/kota
maupun provinsi. Berdasarkan indikator tersebut, tingkat pelayanan publik di Provinsi
NTB mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Selama periode waktu Tahun
2004-2008, opini terhadap laporan keuangan Provinsi NTB selalu dinyatakan
disclimer, namun sejak Tahun 2009 telah penilaian BPK telah meningkat menjadi
Wajar Dengan Pengecualian. Opini wajar dengan pengecualian tersebut diperoleh
karena masih terdapat beberapa aspek penatausahaan keuangan daerah yang belum
memenuhi standar akuntasi. Salah satu aspek tersebut adalah neraca asset yang
belum dilakukan secara sistematis menggunakan sistem informasi geografis (GIS =
Geographic Information System) bagi keberadaan asset Provinsi NTB.
b. Demokrasi
Selain kondisi palayanan publik, iklim demokrasi digunakan untuk mengukur
pencapaian agenda pembangunan Indonesia yang adil dan demokratis di Provinsi
NTB. Sebagai upaya mengukur iklim demokrasi di Provinsi NTB dipilih dua indikator
yaitu Gender Development Index dan Gender Empowerment Measurement. Bila
pengukuran terhadap iklim demokrasi di Provinsi NTB didasarkan pada kedua
indikator tersebut, maka sepanjang periode waktu Tahun 2004-2009 iklim demokrasi
II‐5
12. di Provinsi NTB memperlihatkan kecenderungan membaik. Kedua indikator tersebut
menunjukkan peningkatan angka secara konsisten dari Tahun 2004-2009.
Gender Development Index Provinsi NTB dari Tahun 2004 sampai dengan 2009
meningkat signifikan dari angka sebesar 52,11 pada Tahun 2004 menjadi sekitar
61,03 pada Tahun 2009. Sejalan dengan meningkatnya Gender Development Index,
terjadi pula peningkatan Gender Empowerment Measurement, bila pada Tahun 2004
angka Gender Empowerment Measurement masih sekitar 53,23, maka pada Tahun
2009 telah meningkat menjadi 56,56.
Namun demikian, walaupun terjadi peningkatan kedua indikator iklim demokrasi
tersebut selama periode waktu Tahun 2004-2009 di Provinsi NTB, peningkatan
tersebut belum optimal. Hal ini disebabkan kedua angka indikator tersebut masih jauh
dari angka ideal kedua indikator yang sebesar 100,00. Masih banyak upaya yang
harus dilakukan oleh stakeholder pembangunan untuk mendongkrak iklim demokrasi
di Provinsi NTB melalui peningkatan pencapaian terhadap kedua indikator tersebut.
Gambaran tentang kedua inidikator ilklim demokrasi di Provinsi NTB Tahun 2004-2009
dapat dilihat pada grafik berikut ini:
62,00 61,03 61,03
60,00
58,00 56,56 56,56
56,00 54,34 54,60 54,60
53,23
54,00
53,94 54,34 54,34
52,00
50,00 52,11
48,00
46,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Index
Gender Empowerment Measurement
Gambar.2.3. Gender Development Index dan Gender Empowerment
Measurement Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: Data Tahun 2004-2007 dari BPS, Tahun 2009 dan Data Tahun
2008 dari UNDP, 2009.
3. Rekomendasi Kebijakan
Sebagai upaya peningkatan capaian pada agenda Indonesia yang Adil dan
Demokratis di Provinsi NTB masih banyak upaya yang harus dilakukan oleh stakeholder
pembangunan di daerah ini. Salah satu upaya yang hendaknya dilakukan untuk
meningkatkan pelayanan publik adalah secara konsisten mengembangkan dan
meningkatkan pelayanan publik melalui penyempurnaan sistem dan peningkatan kualitas
layanan. Model pengembangan dan peningkatan layanan publik di tingkat
kabupaten/kota dapat menggunakan benchmarking sistem dan kualitas pelayanan publik
khususnya perijinan dan layanan terpadu yang diterapkan di Kota Yogyakarta. Layanan
perijinan di Kota Yogyakarta telah dilakukan secara terpadu dan mengikuti standar
layanan bersertifikat ISO. Sedangkan untuk meningkatkan opini BPK terhadap
II‐6
13. pemeriksaan laporan keuangan Provinsi NTB, perlu disegerakan penyusunan sistem
neraca asset daerah yang berbasis GIS.
Pencapaian iklim demokrasi yang diukur dengan indikator gender yang telah
memperlihatkan kecenderungan meningkat walaupun belum optimal atau masih jauh dari
angka maksimal 100,00, memerlukan upaya lebih keras untuk mengejar ketertinggalan
tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menginternalisasi program
pengarusutamaa gender melalui program dan kegiatan terobosan yang bersifat afirmatif
terhadap perempuan. Sistem peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia
dalam arti luas hendaknya selalu berbasis pada pengarusutamaan gender diseluruh
sendi kehidupan manusia di Provinsi NTB. Langkah strategis yang telah dilakukan oleh
beberapa kabupaten/kota di Provinsi NTB yang telah memiliki peraturan daerah atau
peraturan bupati/walikota tentang pengarusutaman gender dapat menjadi inspirasi bagi
kabupaten/kota lain yang belum menyusun atau memilikinya.
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
1. Indikator
Pencapaian agenda pembangunan berikutnya yang perlu dicermati di Provinsi
NTB adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebagai langkah pengukuran pencapaian
terhadap agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat di Provinsi NTB diukur dengan
menggunakan beberapa indikator sebagai berikut:
a. Indeks Pembangunan Manusia
b. Pendidikan
Angka Partisipasi Murni Tingkat SD
Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD
Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat SMP
Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat Sekolah Menengah
Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%)
Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%)
Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Menengah (%)
Angka Melek Huruf (%)
Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat SMP (%)
Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat Sekolah
Menengah (%)
c. Kesehatan
Umur Harapan Hidup (tahun)
Angka Kematian Bayi (per 1.000 kelahiran hidup)
Gizi Buruk (%)
Gizi Kurang (%)
Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk (%)
d. Keluarga Berencana
II‐7
14. Contraceptive Prevalence Rate (%)
Pertumbuhan Penduduk (%)
Total Fertility Rate (%)
e. Ekonomi Makro
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
Persentase Ekspor terhadap PDRB (%)
Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%)
Pendapatan Perkapita (Rupiah)
Laju Inflasi (%)
f. Investasi
Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)
Nilai Persetujuan Rencana Investasi PMDN (Rp.Milyar)
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)
Nilai Persetujuan Rencana Investasi PMA (US$ Juta)
Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA
g. Infrastruktur
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Baik (%)
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Sedang (%)
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Rusak (%)
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Baik (%)
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Sedang (%)
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Rusak (%)
h. Pertanian
Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun
PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Juta)
i. Kehutanan
Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%)
j. Kelautan
Jumlah Tindak Pidana Perikanan
Luas Kawasan Konservasi Laut (km2)
k. Kesejahteraan Sosial
Persentase Penduduk Miskin (%)
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
II‐8
15. 2. Analisis Pencapaian Indikator
a. Indeks Pembangunan Manusia
Sampai dengan Tahun 2009 posisi relatif Provinsi NTB ditinjau dari indikator IPM
masih berada pada posisi ke 32 secara nasional. Namun demikian, pencapaian
Provinsi NTB untuk indikator IPM memperlihatkan percepatan peningkatan IPM yang
siginifikan. Bila percepatan peningkatan tersebut diukur dengan reduksi shortfall, maka
indikatornya menunjukkan peningkatan yang siginifikan. Anga reduksi shortfall untuk
periode waktu Tahun 2007-2008 hanya sebesar 1,14 pada periode waktu Tahun 2008-
2009 mengalami peningkatan menjadi 1,50. Peningkatan 0,36 point pada shortfall
pada indikator IPM dapat dikategorikan sebagai provinsi yang progresif berupaya
meningktakan pencapaian indikator IPM baik untuk aspek pendidikan, kesehatan
maupun ekonomi. Secara visual peningkatan IPM Provinsi NTB selama enam tahun
terakhir dapat dilihat pada gambar berikut ini:
68,00 66,57
66,00 64,12
63,71
64,00 63,00
62,40
62,00 60,60
60,00
58,00
56,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia
Gambar.2.4. Indeks Pembangunan Manusia Di Provinsi NTB, Tahun 2004-
2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Mencermati gambar di atas, terlihat secara visual sangat jelas adanya
kecenderungan meningkatnya IPM Provinsi NTB khususnya pada periode waktu
Tahun 2008-2009. Bila pada Tahun 2008 IPM Provinsi NTB masih pada angka 64,12
dari nilai maksimal 100,00, maka pada Tahun 2009 telah meningkat menjadi 66,57
atau semakin mendekati nilai maksimal 100,00. Percepatan peningkatan tersebut
yang tercermin dari reduksi shortfall pada periode Tahun 2008-2009 tidak terlepas dari
program dan kegiatan unggulan dan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah
provinsi maupun kabupaten/kota di Provinsi NTB sepanjang Tahun 2008 sampai
dengan 2009. Beberapa program dan kegiatan unggulan tersebut antara lain untuk
aspek kesehatan adalah program kesehatan gratis bagi masyarakat miskin diseluruh
tingkatan pelayanan, pelayanan perawatan kehamilan dan kelahiran bagi seluruh
masyarakat dengan istilah AKINO (Angka Kematian Ibu Menuju Nol); aspek
pendidikan adalah program dan kegiatan biaya pendidikan gratis dan beasiswa bagi
masyarakat miskin untuk semua tingkatan dengan istilah ADONO (Angka Drop Out
Menuju Nol) dan upaya tersistematis pengurangan angka buta aksara yang dikenal
dengan istilah ABSANO (Angak Buta Aksara Menuju Nol). Sedangkan aspek ekonomi,
II‐9
16. sampai saat ini menempatkan posisi relatif Provinsi NTB secara nasional terklasifikasi
provinsi yang progresif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua secara
nasional.
Beberapa program unggulan dan terobosan telah diupayakan oleh pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi NTB melalui pemilihan komoditas unggulan
dan pendekatan pengembangan ekonomi berbasis wirausaha baru. Pilihan komoditas
telah ditentukan dan tercantum secara tegas di dalam RPJM-D Provinsi NTB Tahun
2009-2013 yaitu Sapi (Bali), Jagung dan Rumput Laut dengan istilah populernya di
masyarakat menjadi “PIJAR”. Pilihan komoditas tersebut ternyata mendapatkan
respon besar dan positif dari kalangan pemerintah pusat maupun dunia swasta baik
nasional maupun luar negeri. Khusus untuk komoditas Sapi dikenal gerakan yang
disebut dengan NTB Bumi Sejuta Sapi pada Tahun 2014 disingkat NTB BSS. Selain
pilihan komoditas, pendekatan pengembangannya dilakukan dengan berbasis pada
penumbuhan dan pengembangan wirausaha baru dengan target tercapainya 100.000
wirausaha baru sampai dengan Tahun 2014. Capaian wirausaha baru tersebut akan
didukung oleh suatu institusi swasta dan profesional melalui Komite Enterprenur
Daerah (KEN) dan Regional Economic Development Support (REDs) yang merupakan
kerjasama antara Pemerintah Provinsi NTB dengan Kementerian Bappenas melalui
Pusbindiklatren dan Perkotdes.
b. Pendidikan
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa capaian pembangunan di aspek
pendidikan yang diukur dari indikator utamanya di Provinsi NTB telah menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. Gambaran tentang peningkatan kondisi pendidikan
masyarakat di Provinsi NTB dapat dilihat pada Gambar berikut ini:
120,00 102,69 101,18 107,19 108,20 105,75 118,25
92,42 90,91 94,50 94,09 94,36 98,40
70,00 78,30 78,80 80,10 80,10 80,18 83,02
20,00
‐30,00 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Partisipasi Murni Tingkat SD
Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD
Angka Melek Huruf (%)
Gambar.2.5. Angka Partisipasi Murni (APM) Tingat SD (%), Angka
Partisipasi Kasar (APK) Tingkat SD (%) dan Angka Melek Huruf
(%) Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Seperti telah diuraikan sebelumnya pada bagian IPM, upaya program dan
kegiatan terobosan di aspek pendidikan telah mampu mendorong partisipasi sekolah
untuk masyarakat secara keseluruhan. Peningkatan partisipasi sekolah di tingkat
II‐10
17. dasar tersebut diperlihatkan dengan semakin meningkatnya APM, APK untuk tingkat
SD dan angka melek huruf. Percepatan peningkatan baru tertlihat pada periode waktu
Tahun 2008-2009 yang merupakan periode diimplementasikannya program dan
kegiatan unggulan dan terobosan sesuai dengan RPJM-D Provinsi NTB Tahun 2009-
2013 yang telah dimulai pada akhir triwulan III APBD Tahun Anggaran 2008. Program
dan kegiatan ABSANO dan ADONO telah mewarnai pencapaian peningkatan kondisi
pendidikan di Provinsi NTB selama periode waktu Tahun 2008-2009.
Selain ketiga indikator tersebut terdapat beberapa indikator lain di aspek
pendidikan yang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan pencapaian
pembangunan di aspek pendidikan di Provinsi NTB, yaitu antara lain (data pencapaian
untuk indikator tersebut terlampir pada matrik):
Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat SMP
Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat Sekolah Menengah
Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%)
Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%)
Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Menengah (%)
Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat SMP (%)
Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat Sekolah
Menengah (%)
c. Kesehatan
Seiring dengan semakin meningkatnya pencapaian pembangunan di aspek
pendidikan, pembangunan yang menyangkut aspek kesehatan pun mengalami
peningkatan. Walaupun mengalami Peningkatan pada indikator kesehatan,
peningkatannya tidak secepat indikator di aspek pendidikan. Indikator kesehatan
menunjukkan peningkatkan yang lebih lamban dari indikator pendidikan. Lambannya
peningkatan indikator pendidikan bukan semata-mata disebabkan karena belum
adanya program dan kegiatan unggulan dan terobosan yang berjalann optimal.
Lambannya peningkatan tersebut lebih disebabkan oleh sifat dasar dari beberapa
indikator kesehatan yang membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengalami
perubahan.
Beberapa indikator kesehatan yang membutuhkan waktu panjang untuk
melakukan perubahannya yaitu Umur Harapan Hidup (Tahun) dan Angka Kematian
Bayi (per 1.000 kelahiran hidup). Dan sebagian lagi merupakan indikator antara
terhadap pengukuran perubahan kualitas kesehatan yang dapat diukur secara periodik
setiap tahunnya yaitu Gizi Buruk (%), Gizi Kurang (%) dan Persentase Tenaga
Kesehatan per Penduduk (%). Selain indikator umur harapan hidup, indikator lain
untuk mengukur kualitas kesehatan masyarakat di Provinsi NTB belum tersedia
secara konsisten setiap tahun. Oleh karena itu, untuk menunjukkan betapa telah
terjadi perubahan kualitas kesehatan masyarakat NTB digunakan satu indikator yang
memiliki ketersediaan data secara konsisten dari Tahun 2004-2009 yaitu umur
harapan hidup. Walaupun hanya menggunakan satu indikator, sejatinya indikator umur
harapan hidup telah memuat hampir seluruh indikator kesehatan lain baik secara
kualitas maupun kuantitats. Gambaran tentang perubahan kualitas kesehatan
masyarakat Provinsi NTB dapat dilihat pada grafik berikut ini:
II‐11
18. 62,00
61,00 61,80
61,50
61,20
60,00 60,90
60,50
59,00
59,40
58,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Umur Harapan Hidup (tahun)
Gambar.2.6. Umur Harapan Hidup Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Perubahan kualitas kesehatan masyakat di Provinsi NTB yang ditunjukkan oleh
peningkatan umur harapan hidup sepanjang periode waktu Tahun 2004-2009 ternyata
konsisten dengan indikator kesejahteraan rakyat lainnya seperti pendidikan.
Peningkatan kualitas kesehatan menurut indikator umur harapan hidup hanya
meningkat secara linier sebesar 0,30 tahun setiap tahunnya. Peningkatan tersebut
masih belum optimal bagi provinsi dengan umur harapan hidup di bawah angka 70
tahun. Belum optimalnya pencapaian pembangunan yang bekaitan dengan kualitas
kesehatan masyarakat di Provinsi NTB lebih banyak disebabkan oleh bukan saja
faktor medis, melainkan juga faktor perilaku hidup sehat masyarakat. Oleh karena itu,
sebagai upaya mempercepat capaian dalam peningkatan kualitas kesehatan
masyarakat dilakukan melalui program dan kegiatan terobosan di tingkat provider
maupun masyarakat. Gerakan AKINO (Angka Kematian Ibu Melahirkan Menuju Nol)
menjadi ujung tombak program dan kegiatan di tingkat provider dan masyarakat di
lapangan. Melalui gerakan AKINO diharapkan bukan saja akan menekan angka
kemtian ibu, melainkan juga akan menurunkan angka kematian bayi dan secara
langsung dan tidak langusng akan meningatkan kesehatan ibu dan anak pada
khususnya dan kehatan masyarakat pada umumnya.
d. Keluarga Berencana
Contraceptive Prevalence Rate (CPR)
Pencapaian indikator kesejahteraan rakyat untuk aspek kesehatan yang terlihat
lamban ternyata tidak terlepas dari indikator keluarga berencana. Indikator keluarga
berencana mencerminkan berjalannya sektor hulu ketercapaian kualitas kesehatan
masyarakat. Karena seperti kita ketahui dengan memberikan perhatian yang lebih
pada program KB, maka tingkat kelahiran pendudukan akan dapat ditekan yang
selanjutnya akan menurunkan potensi penduduk yang beresiko mengalami gangguan
kesehatan ibu dan anak. Untuk jangka panjang penurunan tingkat kelahiran akan
mengurangi beban negara dalam pembiayaan layanan dasar seperti kesehatan dan
pendidikan.
Namun demikian, sejak era reformasi gambaran penyelenggaraan program
keluarga berencana selama orde baru tidak menampakan bekas sama sekali. Hampir
seluruh daerah di Indonesia mengalami peningkatan angka kelahiran. Secara faktual,
salah satu penyebab meningkatnya adalah adanya kecenderungan menurunnya
II‐12
19. angka penggunaan kontraspesi oleh pasangan usia subur di seluruh wilayah di tanah
air termasuk di Provinsi NTB. Contracentive Prevalence Rate (CPR) atau tingkat
penggunaan kontrasepsi di Provinsi NTB selama enam tahun terakhir mengalami
fluktuasi dan setelah Tahun 2006 mengalami penurunan tajam serta mengalami sidikit
peningkatan pada Tahun 2009, seperti nampak pada gambar berikut ini:
80,00
78,00
76,00 78,74
74,00 76,49 75,73
72,00
70,00
68,00 70,02 69,75
66,00 68,55
64,00
62,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Contraceptive Prevalence Rate (%)
Gambar.2.7. Contraceptive Prevalence Rate Di Provinsi NTB, Tahun, Tahun
2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Total Fertility Rate (TFR)
Sebagai konsekuensi dari adanya kecenderingan menurunnya CPR pada
periode waktu 2006-2008 terlihat pada kecenderungan sebaliknya pada Total Fertilty
Rate (TFR) per perempuan di Povinsi NTB yang meningkat sejak Tahun 2007. Pada
periode empat survey demografi dan kesehatan (SDKI) sebelumnya (era orde baru)
yang cenderung menurun. Pada periode SDKI 1991 TFR Provinsi NTB masih sebesar
3,8 per perempuan dan secara konsisten menurun sampai periode survey SDKI 2002
menjadi sebesar 2,4 per perempuan. Namun demikian, seiring dengan semakin
berkurangnya perhatian para pihak pada program KB Nasional yang ditunjukkan oleh
menurunnya CPR, maka pada periode SDKI 2007 TFR Provinsi NTB kembali
meningkat menjadi 2,8 per perempuan. Peningkatan TFR tersebut akan dirasakan
memberatkan beberapa waktu kemudian khususnya menyangkut pembiayaan
investasi di sektor pelayanan dasar seperti kesehatan (ibu dan anak) serta pendidikan
dasar. Gambar tentang TFR Provinsi NTB pada lima periode SDKI dapat dilihat di
bawah ini:
II‐13
20. 4
3,5 3,8
3,6
3
2,5 2,9 2,8
2 2,4
1,5
1
0,5
0
1991 1994 1997 2002 2007
Total Fertility Rate
Gambar.2.8. Total Fertility Rate Per Perempuan Di Provinsi NTB, Tahun,
Tahun 1991, 1994, 1997, 2002 dan 2007.
Sumber: SDKI BPS, Tahun 1991, 1994, 1997, 2002 dan 2007.
Pertumbuhan Penduduk (%)
Sebagai akibat berantai dari penurunan CPR di Provinsi NTB adalah laju
pertumbuhan penduduk yang menunjukkan kecenderungan searah dengan TFR.
Pertumbuhan penduduk Provinsi NTB selama enam tahun terakhir pun berfluktuasi.
Pada periode Tahun 2005-2007 cenderung mengalami penurunan yang konsisten dari
2,66 % per tahun Pada Tahun 2005 menjadi hanya 0,83 % per tahun Padat Tahun
2007. Namun seiring dengan meningkatnya TFR Provinsi NTB pada Tahun 2007, laju
pertumbuhan penduduk Provinsi NTB pun mengalami peningkatan sebesar 2 kali lipat
yaitu menjadi sekitar 1,66 % per tahun pada Tahun 2008, walaupun kembali menurun
tipis pada Tahun 2009 menjadi sekitar 1,61 % per tahun, seperti nampak pada gambar
berikut ini:
3,00
2,50
2,66
2,00
1,50
1,73 1,66 1,61
1,00
0,50 0,83
0,00
2005 2006 2007 2008 2009
Pertumbuhan Penduduk (%)
Gambar.2.9. Petumbuhan Penduduk (%) Di Provinsi NTB, Tahun 2004-
2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
II‐14
21. e. Ekonomi Makro
Dalam rangka mengetahui capaian pembangunan pada aspek ekonomi secara
lebih komprehensif dapat digunakan beberapa indikator seperti Laju Pertumbuhan
Ekonomi, Persentase Ekspor terhadap PDRB, Persentase Output Manufaktur
Terhadap PDRB, Pendapatan Per Kapita dan Laju Inflasi. Berdasarkan indikator
tersebut, selama periode waktu Tahun 2004-2009 capaian pembangunan aspek
ekonomi di Provinsi NTB menunjukkan kondisi yang fluktuatif kecuali periode dua
tahun terakhir yang cenderung meningkat. Lebih jelas tentang capaian pembangunan
aspek ekonomi dapat dicermati pada uraian berikut ini:
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) (%)
Seperti telah diuraikan sebelumnya secara ekonomi, capaian pembangunan
di Provinsi NTB memiliki karakter yang fluktuatif. Berdasarkan indikator LPE
karakter fluktuatif tersebut sangat nampak, baik pada laju pertumbuhan ekonomi
tanpa memperhitungkan pertambangan non-migas maupun dengan
memperhitungkan pertambangan non-migas. Kedua pendekatan perhitungan LPE,
perekonomian Provinsi NTB mengalami fase tumbuh dan kontraksi para periode
Tahun 2004-2009. Pada saat terjadi krisis global Pada Tahun 2005 dan akhir
Tahun 2008, LPE Provinsi NTB mengalami perlambatan (kontraksi) khususnya LPE
dengan memperhitungkan pertambangan non-migas. Hal ini disebabkan karena
harga barang hasil tambang mengalami penurunan pada saat terjadinya krisis
global sebagai akibat menurunnya permintaan barang hasil tambang seperti biji
tembaga.
Namun seiring dengan mulai pulihnya perekonomian dunia, LPE Provinsi
NTB pada Tahun 2008-2009 mengalami pertumbuhan yang signifikan baik dengan
atau tanpa memperhitungkan pertambangan non-migas di dalam perekonomin.
LPE dengan memperhitungkan pertambangan non-migas tumbuh sebesar 14,89 %
per tahun dan LPE dengan tanpa memperhitungkan pertambangan non-migas
tumbuh sebesar 9,07 % per tahun. Kedua angka LPE tersebut jauh melebihi angka
rata-rata LPE secara nasional yang berkisar antara 5,5-6,0 % per tahun. Dengan
capaian LPE tersebut, Provinsi NTB dinyatakan sebagai salah satu provinsi
progresif pertumbuhan ekonominya pada saat diadakan evaluasi pembangunan di
Istana Negara Bogor beberapa waktu yang lalu. Lebih jelas tentang LPE Provinsi
NTB Tahun 2004-2009 dapat dilihat pada gambar berikut ini:
II‐15
22. 20
14,89
15
9,07
10 6,69
6,07
4,89
5 2,7 2,19
2,07
4,97 3,16
0 1,71 2,16
2004 2005 2006 2007 2008 2009
LPE Tanpa Tambang Non‐Migas
LPE Dengan Tambang Non‐Migas
Gambar.2.10. Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Di Provinsi NTB, Tahun
2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Persentase Ekspor terhadap PDRB (%)
Berkaitan dengan uraian LPE sebelumnya, fluktuasi pada LPE ternyata
disebabkan oleh fluktuasi persentase ekspor terhadap PDRB. Saat persentase
ekspor terhadap PDRB menurun, maka LPE di Provinsi NTB pun mengalami
penurunan. Ketika terjadi krisis global yang disebabkan meningkatnya harga bahan
bakar minyak dunia pada Tahun 2005 persentase ekspor terhadap PDRB Provinsi
NTB mengalami penurunan secara konsisten sampai dengan Tahun 2008, dari
sebesar 52,21 % pada Tahun 2005 menjadi sebesar 22,67 % pada Tahun 2008.
Namun seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian global pasca krisis di
akhir Tahun 2008, persentase ekspor terhadap PDRB di Provinsi NTB kembali
mengalami peningkatan menjadi sebesar 35,62 %. Peningkatan persentase ekspor
terhadap PDRB pada Tahun 2009 tersebut belum mampu menyamai persentase
sebelum terjadinya krisis pada Tahun 2005, seperti nampak pada gambar berikut
ini:
50,00
52,21
40,00 45,91 46,10
42,10
30,00 35,62
20,00
22,67
10,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Ekspor terhadap PDRB (%)
Gambar.2.11. Persentase Ekspor Terhadap PDRB (%) Di Provinsi NTB, Tahun
2004-2009.
II‐16
23. Sumber: BPS, Tahun 2010.
Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%)
Secara tidak langsung dapat diketahui bahw output manufaktur di Provinsi
NTB memiliki keterkaitan dengan capaian ekspor. Hal tersebut nampak pada
adanya kesamaan kecenderungan antara persentase ekspor terhadap PDRB
dengan persentase output manufaktur terhadap PDRB. Saat terjadi krisis global
Tahun 2005, persentase output manufaktur terhafap PDRB pun mengalami
penurunan secara konsisten sampai dengan Tahun 2008. Namun demikikan, sama
dengan persentase ekspor terhadap PDRB, persentase output manufaktur terhdap
PDRB pun mengalami peningkatan ketika krisis pada Tahun 2008 mulai berlalu,
seperti nampak pada gambar berikut:
3,70
3,60
3,50 3,63
3,40
3,45
3,30 3,38
3,20 3,32 3,31
3,10 3,23
3,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%)
Gambar.2.12. Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%) Di Provinsi
NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Pendapatan Per Kapita (Rupiah)
Walaupun secara makro perekonomian Provinsi NTB dicirikan berfluktuasi,
namun bila diukur dengan menggunakan indikator pendapatan per kapita justru
menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara konsisten dari Tahun 2004-
2009. Pada Tahun 2004 pendapatan per kapita masih sekitar Rp 4,99 juta dan
secara konsisten meningkat sampai Tahun 2009 telah mencapai sekitar Rp 7,81
juta. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa secara relatif tingkat
“kesejahteraan” masyarakat Provinsi NTB meningkat hampir dua kali lipat selama
periode waktu enam tahun terakhir, seperti nampak pada gambar dio bawah ini:
Peningkatan “kesejahteraan” tersebut ternyata masih diragukan
kebenarannya mengingat basis perekonomian Provinsi NTB sangat tergantung
pada sektor pertambangan non-migas, seperti emas dan tembaga yang dikelola
oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Sebagai konsekuensinya, dampak
multiplier produk pertambangan tersebut tidak optimal di dalam menyokong tingkat
kesejahteraan masyarakat dan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok
masyarakat yang akses terhadap geliat aktivitas ekonomi pertambangan tersebut,
II‐17
24. sebagian besar lainnya mengalir ke pemilik modal di dalam dan luar negeri. Indikasi
tersebut akan dapat dibuktikan pada uraian tentang kemiskinan dan pengangguran
dibagian lain kajian ini.
8.000.000
7.808.657
7.000.000
6.716.363
6.000.000
6.137.704
5.000.000 5.422.892
5.264.948
4.985.784
4.000.000
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pendapatan Perkapita (Rupiah)
Gambar.2.13. Pendapatan Per Kapita (Rupiah) Di Provinsi NTB, Tahun 2004-
2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Laju Inflasi (%)
Dari sisi inflasi, tampaknya usaha-usaha pemulihan perekonomian yang telah
dilakukan pemerintah sejak mengalami krisis Tahun 1998 mampu mempertahankan
laju inflasi tidak mencapai 2 digit. Namun bagi Provinsi NTB, sejak Tahun 2004-
2009 terjadi kecenderungan adanya fluktuasi pada tingkat inflasi yang dialami.
Pada Tahun 2004 laju inflasi Kota Mataram sebagai barometer perhitungan inflasi
untuk NTB tercatat sebesar 6,61 % dan pada Tahun 2005 mengalami kenaikan
signifikan menjadi 17,72 % sebagai akibat dari adanya kebijakan kenaikan harga
BBM. Namun demikian, sejak Tahun 2006-2007 laju inflasi di Provinsi NTB kembali
turun menjadi masing-masing sebesar 4,17 % pada Tahun 2006 dan 8,76 % pada
Tahun 2007. Laju inflasi kembali meningkat sebagai akibat dari adanya krisis
finansial global di akhir Tahun 2008. Inflasi di Provinsi NTB pada Tahun 2008
meningkat menjadi sekitar 13,01 %. Namun demikian, sejalan dengan upaya serius
yang dilakukan melalui pemilihan program dan komoditas unggulan di Provinsi
NTB, kondisi inflasi pada Tahun 2009 telah kembali menurun dengan tajam menjadi
sebesar 3,41 %, seperti nampak pada gambar berikut ini:
II‐18
25. 20,00 17,72
13,01
15,00
10,00
5,00 8,76
6,61
0,00 4,17 3,41
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Inflasi (%)
Gambar.2.14. Inflasi (%) Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
f. Investasi
Secara makro ekonomi, investasi dapat diibaratkan darah segar yang sangat
bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Investasi dapat berasal dari
dalam wilayah dan luar wilayah atau luar negeri melalui fasilitas penanaman modal
dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Agar dapat mengukur
kinerja investasi suatu wilayah dalam hal ini Provinsi NTB dapat diukur melalui nilai
realisasi dan nilai persetujuan rencana investasi baik PMDN maupun PMA. Berikut ini
diuraikan tentang kinerja investasi Provinsi NTB sejak Tahun 2004-2009 baik PMDN
maupun PMA.
Persetujuan dan Realisasi PMDN
Selama periode waktu Tahun 2004-2009, realisasi investasi melalui fasilitas
PMDN selalu lebih tinggi dari pada nilai persetujuan yang dikeluarkan, kecuali pada
Tahun 2005. Pada Tahun 2005 nilai persetujuan rencana investasi PMDN di atas
realisasinya, yaitu masing-masing sebesar Rp 34,00 Milyar nilai investasi yang
disetujui ternyata hanya Rp 0,70 Milyar yang terealisasi. Sedangkan tahun-tahuan
sebelum dan setelahnya, selalu realisasi investasi jauh melampaui nilai persetujuan
yang diberikan.
Ketidaksinkronan antara persetujuan dan realiasasi investasi PMDN tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, saat perekonomian Provinsi
NTB membutuhkan tambahan investasi, kemudian tanpa diduga ada aliran PMDN
yang sama sekali belum pernah diperkirakan sebelumnya tanpa proses panjang
telah berinvestasi di daerah ini. Investasi spontan tersebut dapat memberikan
dorongan pertumbuhan ekonomi yang instan bagi perekonomian Provinsi NTB.
Namun demikian, pembangunan tanpa perencanaan sebelumnya sering membawa
dampak kurang baik. Aliran investasi yang tidak diperkirakan sebelumnya sering
menempati lahan yang tidak sesuai dengan tata ruang atau dikembangkan
menumpuk disuatu wilayah. Misi untuk melakukan polarisasi pembangunan di
seluruh wilayah Provinsi NTB sering terabaikan. Kepadatan suatu wilayah yang
memilki kelebihan infrastruktur dan daya tarik bagi investor semakin sulit
dikendalikan. Oleh karena itu, seyogyanya terdapat kedekatan antara nilai realisasi
dan nilai persetujuan investasi PMDN agar dampak negatif dari adanya investasi
II‐19
26. dapat dihindari, karena telah dapat direncanakan sebelumnya. Gambaran tentang
aliran realisasi dan persetujuan PMDN dapat dilihat pada grafik berikut ini:
200,00 166,83
150,00
100,00 60,00 64,20 62,35
34,00 32,22
50,00 3,50 9,55 7,48
0,00 0,00
0,00 0,70
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)
Nilai Persetujuan Rencana Investasi PMDN (%)
Gambar.2.15. Nilai Realisasi Dan % Persetujuan Rencana Investasi PMDN
Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Persetujuan dan Realisasi PMDN
Kecenderungan kondisi yang sebaliknya terjadi pada realisasi dan nilai
persetujuan PMA di Provinsi NTB selama periode waktu Tahun 2004-2005. Nilai
persetujuan investasi melalui fasilitas PMA selalu lebih tinggi dari realsiasinya.
Bahkan pada Tahun 2005 persetujuan investasi PMA sebesar US $ 41,20 juta
hanya terealisasi sebesar US $ 3,60 juta. Hanya pada Tahun 2007 dan 2008 saja
jarak antara persetujuan dan realisasinya yang nilainya hampir mendekati, yaitu
masing-masing sebesar US $ 22,80 juta persetujuannya dengan realisasi sebesar
US $ 5,90 juta pada Tahun 2007 dan sebesar US $ 23,06 juta persetujuannya
dengan realisasi sebesar US $ 12,80 juta pada Tahun 2008, seperti nampak pada
gambar di bawah ini. Adanya perbedaan antara persetujuan dan realisasi investasi
PMA sangat mungkin dipengaruhi oleh iklim investasi di Provinsi NTB baik dari
aspek kepastian hukum maupun ketersediaan infrastruktur penunjang. Daya tarik
investasi PMA di Provinsi NTB dapat dikatakan masih rendah dan lebih disebabkan
adanya keterbatasan di bidang infrastruktur penunjang investasi seperti jalan, listrik
dan air bersih. Sedangkan aspek kepastian hukum belum menjadi kendala utama
investasi di Provinsi NTB.
II‐20
27. 50,00 41,20
40,00 27,20
30,00 22,80 23,06 23,19
15,90
20,00
3,60 4,90
10,00 0,10 5,90 2,70
12,80
0,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)
Nilai Persetujuan Rencana Investasi PMA (US$ Juta)
Gambar.2.16. Nilai Realisasi Dan % Persetujuan Rencana Investasi PMA Di
Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA
Indikator bekerjanya mekanisme makro ekonomi melalui fasilitas investasi
PMA adalah adanya penyerapan tenaga kerja. Sepanjang periode waktu Tahun
2004-2009 terdapat penyerapan tenaga kerja melalui fasilitas PMA dengan
kecenderungan yang fluktuatif. Bila pada Tahun 2004 jumlah penyerapan tenaga
kerja sebagai akibat adanya fasilitas PMA hanya 20 orang tenaga kerja, maka pada
Tahun 2006 telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 510 orang. Namun
demikian, pada Tahun 2007 mengalami penurunan menjadi hanya 259 orang,
tetapi kemudian secara konsisten selama dua tahun mengalami peningkatan yang
signifikan menjadi masing-masing sebanyak 401 orang pada Tahun 2008 dan
sebanyak 1.300 orang pada Tahun 2009. Padahal seperti kita ketahui,
kecenderungan peningkatan nilai realsiasi investasinya yang tercermin pada
gambar sebelumnya hanya mengalami peningkatan secara linier dan tidak
signifikan.
Kecenderungan meningkatnya jumlah penyerapan tenaga kerja melalui
PMA menunjukkan semakin membaiknya arah investasi bagi penyerapan tenaga
kerja atau dengan kata lain investasi yang tertanam di Provinsi NTB lebih pro job
dan sangat mungkin juga pro growth. Kedua hal tersebut diyakini karena sepanjang
Tahun 2008 dan 2009 pertumbuhan ekonomi daerah ini sangat tinggi dan selalu di
atas rata-rata pertumbuhan ekonomi secara nasional
II‐21
28. 1.500
1.300
1.000
435 510
401
500 259
20
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA
Gambar.2.17. Realisasi Penyerapan Tenaga Kerja PMA Di Provinsi NTB,
Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
g. Infrastruktur
Dalam rangka melihat secara jelas kinerja bidang infrastruktur di Provinsi NTB
adalah dengan mencermati tentang kondisi jalan nasional yang membentang dari
barat Pulau Lombok sampai timur Pulau Sumbawa. Kondisi jalan nasional di Provinsi
NTB sangat tepat menjadi cerminan bagaimana suatu infrastruktur dapat manjadi
faktor pendukung atau sekaligus penghambat aliran investasi ke Provinsi NTB. Seperti
telah diuraikan sebelumnya, betapa lambannya realisasi investasi di Provinsi NTB
selama periode waktu Tahun 2004-2009. Hal tersebut sangat mungkin salah satu
penyebabnya masih belum menunjangnya faktor infrastruktur utamanya ketersediaan
jalan dalam kondisi baik dan keterbatasan pasokan tenaga listrik. Karena seperti
diketahui selain kondisi jalan, pasokan tenaga listrik di NTB telah mengalami defisit
sejak Tahun 1994 yang lalu. Sehingga telah selama lebih dari 16 Tahun Provinsi NTB
terkendala untuk melakukan pengembangan ekonominya karena ketidaktersediaan
pasokan listrik yang cukup. Dan saat ini ditambah dengan adanya kecenderungan
merosotnya kualitas jalan baik jalan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota di
Provinsi NTB.
Indikator kondisi infrastruktur jalan dapat diketahui dengan memilah jalan ke
dalam tiga kondisi yaitu: (a) Kondisi Baik; (b) Kondisi Sedang dan (c) Kondisi Rusak,
seperti terlihat pada gambar berikut ini:
II‐22
29. 100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Persentase Jalan Persentase Jalan Persentase Jalan
Nasional dalam Nasional dalam Nasional dalam
Kondisi Baik (%) Kondisi Sedang (%) Kondisi Rusak (%)
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar.2.18. Persentase Jalan Nasional Menurut Kondisi Di Provinsi NTB,
Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Mencermati kondisi jalan nasional di Provinsi NTB pada gambar di atas, terlihat
bahwa secara rata-rata selama periode waktu Tahun 2004-2009 kondisinya masih
berfluktuasi. Setiap tahun terjadi perubahan yang dinamis terhadap kondisi jalan
nasional. Pada Tahun 2005 merupakan masa dimana kondisi jalan pada posisi terbaik
dibanding dengan tahun-tahun sebelum dan sesudahnya. Persentase jalan nasional
dalam kondisi baik pada Tahun 2005 sebesar 88,46 %, sedangkan pada tahun yang
lain bervariasi dari terkecil persentasenya sebesar 68,53 % pada Tahun 2007 dan
tertinggi namun di bawah kondisi Tahun 2005 adalah sebesar 82,56 % pada Tahun
2004. Kondisi sebaliknya adalah jalan dalan kondisi sedang dan buruk.
Kondisi jalan nasional kualifikasi sedang cenderung menurun pada tiga tahun
terakhir, namun sebaliknya jalan kualifikasi buruk justru mengalami peningkatan.
Kondisi tersebut mengartikan bahwa secara umum kondisi jalan nasional di Provinsi
NTB cenderung akan semakin memburuk untuk masa mendatang bila tidak segera
mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Bila kondisi tersebut terjadi maka telah
dapat dipastikan akan semakin terhambatnya aliran investasi ke Provinsi NTB ke
depan.
h. Pertanian
Gambaran paling tepat tentang tingkat kesejahteraan rakyat Provinsi NTB dapat
diukur dengan menggunakan indikator yang berkaitan pada aktivitas rakyat di sektor
pertanian. Terdapat dua alasan mengapa petani jadi cerminan tingkat kesejahteraan
masyarakat Provinsi NTB. Alasan pertama karena sektor pertanian sampai saat ini
masih menjadi sektor andalan penyerapan tenaga kerja di dalam perekonomian
daerah ini. Dan alasan kedua, aktivitas perekonomiannya pun masih bersifat on farm,
belum banyak aktivitas ekonomis produktif yang berbasis off farm. Karakter agraris
masih sangat kuat dalam perekonomian di Provinsi NTB, oleh karena itu, bila petani di
daerah ini meningkat kesejahteraannya, maka secara rata-rata akan mendongkrak
pula kesejahteraan masyarakat Provinsi NTB secara keseluruhannya.
II‐23
30. Terdapat dua indikator untuk mengetahui kondisi sektor pertanian di Provinsi
NTB, yaitu nilai tukar petani dan kontribusi sektor pertanian ke dalam pembentukan
PDRB atas harga berlaku. Kondisi kedua indikator tersebut akan dijelaskan pada
bagian berikut ini:
Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun
Selama periode waktu enam tahun terakhir nilai tukar petani tertinggi dicapai
pada Tahun 2005 sebesar 100,72 % dan terendah terjadi pada Tahun 2006
sebesar 99,10 %. Nilai tukar petani sebesar 100,00 % berarti posisi nilai relatif
produk petani sama dengan produk sektor lain. Sehingga bila nilai tukar petani di
atas 100,00 %, berarti posisi relatif nilai produk petani di atas nilai produk sektor
lain dan sebaliknya bila nilai tukar petani di bawah 100,00, berarti secara relatif nilai
produk petani lebih rendah dari nilai produk sektor lainnya. Kondisi ideal yang
diharapkan adalah adanya kontinuitas menguatnya nilai tukar petani agar tingkat
kesejahteraan petani secara umum mengalami peningkatan.
Namun demikian, kenyataan yang ada menunjukkan selama enam tahun
nilai tukar petani di Provinsi NTB masih mendekati angka 100,00 %, bahkan pada
Tahun 2005, 2007 dan 2009 di bawah 100,00 %. Nilai tukar di bawah 100,00 %
tersebut menunjukkan bahwa kehidupan relatif petani dalam kondisi tertekan
secara ekonomi bila ingin melakukan transaksi dengan sektor lainnya di dalam
perekonomian. Konsekuens selanjutnya telah dapat diduga bila tingkat
kesejahteraan petani di Provinsi NTB masih sangat marginal dan akan
mempengaruhi tingkat kemiskinan secara keseluruhan.
101
100,71 100,41
100,5
100,04
100
99,95
99,5
99 99,27
99,10
98,5
98
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Tukar Petani (%)
Gambar.2.19. Nilai Tukar Petani (%) Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Juta)
Bila nilai tukar petani memperlihatkan posisi relatif produk petani terhadap
produk sektor lain, maka kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB
atas dasar harga berlaku lebih mencerminkan tentang kapasitas sektor pertanian
ke dalam perekonomian secara makro. Semakin tinggi kontribusi sektor pertanian
ke dalam PDRB atas dasar harga berlaku, berarti semakin menentukan sektor
II‐24
31. pertanian di dalam pembentukan tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi NTB.
Namun demikian, sejalan dengan kondisi nilai tukar petani, kontribusi sektor
pertanian ke dalam PDRB atas dasar harga berlaku masih terklasifikasi rendah.
Pada Tahun 2009 kontribsui sektor pertanian ke dalam pembentukan PDRB
atas dasar harga berlaku masih sekitar 26,11 % dari toral PDRB atas dasar harga
berlaku yang sebesar Rp 34,14 Trilyun. Padahal seperti kita ketahui, jumlah
serapan tenaga kerja sektor pertanian di dalam perekonomian Provinsi NTB
sebesar 48,79 % atau sebanyak 977.723 tenaga kerja dari total sekitar 2 juta
tenaga kerja di Provinsi NTB.
Ketimpangan antara kemampuan kontribusi pembentukan PDRB dan
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi NTB sangat jelas akan
memperngaruhi produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Padahal seperti
diketahui, produktivitas adalah cerminan tingkat penghasilan tenaga kerja atau
dengan kata lain produktivitas dapat disamakan dengan gaji atau upah seorang
pekerja. Rendahnya produktivitas atau gaji atau upah secara tidak langsung
menjadi cerminan tingkat kesejahteraan seseroang. Sehingga dengan mengetahui
tingkat produktivitas tenaga kerja pertanian seperti tersebut di atas, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan adanya inidikasi rendahnya kesejahteraan masyarakat
Provinsi NTB. Kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB atas dasar
harga berlaku di Provinsi NTB dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
10.000,00
9.000,00
8.000,00 8.912,25
8.188,65
7.000,00
7.181,23
6.000,00
6.505,20
5.000,00 5.815,16
5.172,68
4.000,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Milyar)
Gambar.2.20. PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp
Milyar) Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
i. Kehutanan
Indikator kinerja yang berkaitan dengan kondisi kehutanan dapat diukur dengan
menghitung persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%).
Namun mengingat ketersediaan data dan informasi yang tidak konsisten tersedia setiap
tahun, maka kajian yang dapat disampaikan hanya untuk periode waktu tertentu.
Keterbatasan ketersediaan data bukan saja diakibatkan oleh teknis pengumpulannya,
melainkan akibat dari tidak adanya atau terbatasnya penganggaran intervensi
rehabilitasi lahan kritis di Provinsi NTB baik yang berasal dari APBN, APBD provinsi dan
APBD kabupaten/kota untuk periode waktu tertentu.
II‐25
32. Namun sebagai gambaran tentang kecenderungan persentase luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%) selama tiga tahun yang tersedia
datanya, dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan menurun persentase luas
lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%) di Provinsi NTB. Pada Tahun
2004 persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%) sebesar
5,19 % dan kemudian secara konsisten mengalami penur unan menjadi 4,21 % pada
Tahun 2006 dan kemudian menurun kembali menjadi 2,27 % pada Tahun 2007.
Menurunnya persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%) di
Provinsi NTB ternyata tidak terlampau mempengaruhi laju degradasi lahan hutan. Hal
ini terjadi karena adanya kebijakan Moratoirum penebangan hutan berbasis HPH
maupun lainnya di Provinsi NTB sejak Tahun 2004. Kebijakan tersebut paling tidak telah
mampu menahan laju deforestisasi di Provinsi NTB. Bahkan untuk Kabupaten Lombok
Barat melalui upaya keswadayaan penghijauan melalui program sekolah hijau (green
school) telah mampu meraih penghargaan secara nasional. Penghargaan tersebut
diperoleh berdasarkan penilaian yang sangat obyektif yang dikenal dengan
penghargaan ADIWIYATA Tahun 2008 dan 2009.
j. Kelautan
Keadaan yang sama atas ketersediaan data dan informasi untuk mengukur
kinerja pembanguna di bidang kelautan. Dari dua indikator yang digunakan seperti
jumlah tindak pidana perikanan dan luas kawasan konservasi laut (km2) hanya tersedia
data pada periode waktu tertentu saja. Bahkan untuk indikator pertama jumlah tindak
pidana perikanan hanya tersedia data satu tahun, yaitu Pada Tahun 2007 tercatat ada 2
tindak pidana perikanan yang tercatat terjadi di Provinsi NTB. Keterbatasan tindak
pidana perikanan tersebut belum mencerminkan kondisi sebenranya tentang keamanan
kelautan di Provinsi NTB. Namun demikian, di dalam keterbatasan tersebut sebenarnya
telah banyak upaya dilakukan di bidang kelautan untuk mengatasi tindak pidana
kelautan berbasis masyarakat. Sejak adanya intervensi program Co-Fish dan MCRM di
Provinsi NTB telah banyak wilayah konservasi dan budidaya kelautan yang diperkuat
dengan pembuatan aturan lokal (awiq-awiq) di dalam pengelolaan dan konservasi
lingkungan laut dan pesisir di Provinsi NTB.
Beberapa wilayah pesisir dan laut yang menjadi bechmarking untuk upaya
konservasi dan pengelolaan berbasis masyarakat di Provinsi NTB adalah Kawasan Tiga
Gili Kabupaten Lombok Utara dan Kawasan Gili Sulat dan Petagan di Kabupaten
Lombok Timur, merupakan lokasi konservasi tanaman bakau dan terumbu karang
k. Kesejahteraan Sosial
Persentase Penduduk Miskin (%)
Seperti telah diuraikan keterkaitan antara pendapatan per kapita, nilai tukar
petani dan faktor lain yang secara akumulatif telah menyebabkan gerakan
perbaikan kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi NTB yang cenderung
lamban. Salah satu indikator tersebut adalah tingkat kemiskinan yang menunjukkan
penurunan yang lamban selama periode Tahun 2004-1007. Bahkan pada periode
waktu Tahun 2004-2006 terjadi peningkatan angka kemiskinan di Provinsi NTB,
II‐26
33. yaitu dari sekitar 25,38 % pada Tahun 2006 meningkat menjadi sekitar 27,17 %.
Hal ini disebabkan adanya krisis bahan bakar secara global yang mendorong
adanya kebijakan kenaikan harga BBM di dalam negeri. Dampak berantai
peningkatan harga BBM menyebabkan semakin banyak masyarakat Provinsi NTB
yang terperosok ke jurang kemiskinan. Selain itu, penyebab kemiskinan di Provinsi
NTB sangat beragam dan sangat kompleks dari yang bersifat struktural, kultural
sampai dengan kemiskinan transien. Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi
permasalahan kemiskinan di Provinsi NTB dibutuhkan upaya sungguh-sungguh,
holistik dan terus menerus oleh semua stakeholder kemiskinan di daerah ini.
Namun demikian, sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan secara sungguh-sungguh secara nasional maupun lokal, angka
kemiskinan di Provinsi NTB secara konsisten mengalami penurunan pada periode
waktu Tahun 2007-2009. Bahkan untuk periode Tahun 2008-2009 terjadi
penurunan yang cukup signifikan. Hal ini tidak terlepas dari beberapa program dan
kegiatan percepatan penanggulangan kemiskinan baik yang berasal dari pusat
maupun daerah. Beberapa program dan kegiatan yang merupakan inisiasi daerah
meliputi program dan kegiatan klasifikasi klaster I, II, III dan IV. Program dan
kegiatan penanggulangan kemiskinan klaster I dan II lebih merupakan upaya
mempertahankan kondisi kesejahteraan keluarga miskin agar tidak merosot ke
posisi yang lebih buruk. Namun untuk program dan kegiatan klaster III dan IV lebih
mengarah ke pengembangan kapasitas individu maupun masyarakat dalam rangka
mengangkat kesejahteraannya dari keluarga miskin menjadi hampir miskin atau
bahkan sejahtera.
Terdapat program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berupa
penumbuhan dan pengembangan wirausaha baru yang dimulai pada akhir Tahun
2008. Program dan kegiatan penumbuhan dan pengembangan wirausaha baru
tersebut ditargetkan sampai dengan Tahun 2013 sebanyak 100.000 wirausaha baru
yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota di Provinsi NTB. Melalui program dan
kegiatan ini diharapkan akan tercipta peluang usaha dan peluang kerja bagi
masyarakat Provinsi NTB dan selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan
sebagai upaya meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi kemiskinan di Provinsi
NTB dapat dilihat pada tabel 2.12 dibawah ini:
28,00 27,17
25,92
25,38 24,99
26,00
23,81
24,00 22,78
22,00
20,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Penduduk Miskin (%)
Gambar.2.21. Persentase Penduduk Miskin (%)Di Provinsi NTB, Tahun
2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
II‐27
34. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) (%)
Tingkat pengangguran terbuka di Provinsi NTB masih terklasifikasi rendah
bila dibanding dengan rata-rata angka nasional. Secara umum TPT Provinsi NTB
selama periode waktu 2004-2009, hanya mengalami peningkatan pada Tahun
2005. Peningkatan TPT Tahun 2005 lebih banyak sebagai dampak ikutan dari krisis
bahan bakar dunia pada tahun tersebut. Ketika terjadi kenaikan harga BBM banyak
lapangan usaha yang sebelumnya kompetetif mengalami kemunduran yang
berujung pada PHK. Kebijakan PHK yang diambil oleh sebagian besar perusahaan
yang mengalami kendala pembiayaan bahan bakarnya, ternyata menimpa
sebagian masyarakat NTB baik secara lokal maupun yang bekerja di daerah lain.
Walaupun demikian, peningkatan TPT segera direspon oleh masyarakat
dan pemerintah dengan membuka peluang kerja dan berusaha di sektor informal
dan pedangan kaki lima. Kedua jenis lapangan usaha tersebut yang mulai marak di
Provinsi NTB sejak Tahun 2005, bahkan sampai saat ini beberapa wilayah
kabupaten/kota menjadikan pedagang kaki lima dan usaha informal lainnya sebagai
ujung tombak menekan angka pengangguran diwilayahnya.
Sebagai hasil berkembangnya upaya penekanan angka pengangguran
terbuka melalui penyediaan peluang usaha sektor informal dan pedagang kaki lima
serta peluang kerja lainnya baik di tanah air maupun di luar negeri , angka TPT di
Provinsi NTB dari Tahun 2006-2009 mengalami penurunan secara konsisten dari
8,90 % pada Tahun 2006 menjadi sekitar 6,12 % pada Tahun 2009. Angka TPT
tersebut masih di bawah angka TPT nasional yang di atas 6,50 % pada Tahun
2009, seperti tampak pada tabel berikut ini:
12,00 10,87
10,00 8,90
7,48
8,00 6,48 6,13 6,12
6,00
4,00
2,00
0,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Gambar.2.22. Nilai Tukar Petani (%) Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, tidak terdapat korelasi positif antara
peningkatan secara siginifikan rata-rata pendapatan per kapita dengan angka
kemiskinan dan angka pengengguran. Peningkatan pendapatan per kapita secara
konsisten sejak Tahun 2004 sampai dengan 2009, ternyata tidak diikuti pola
penurunan kedua indikator ekonomi lainnya tersebut. Secara teoritis dan empirik,
II‐28
35. pada saat terjadi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita
suatu wilayah, secara langsung maupun tidak langsung akan ditunjukkan juga
dengan menurunnya angka pengguran dan kemiskinan di wilayah tersebut.
Namun kenyataan yang tampak di Provinsi NTB, peningkatan pendapatan
per kapita dan pertumbuhan ekonomi sepanjang periode Tahun 2004-2009,
ternyata angka kemiskinan dan pengangguran tetap mengalami fluktuasi, seperti
nampak pada tabel 2.23. Berdasarkan pada data yang tertera di dalam gambar
tersebut terlihat bahwa pada saat pendapatan per kapita mengalami kenaikan dari
Rp 4,99 juta pada Tahun 2004 menjadi Rp 5,26 juta pada Tahun 2005, angka
kemiskinan dan pengangguran justru meningkat masing-masing menjadi 25,28 %
pada Tahun 2004 menjadi 25,92 % pada Tahun 2005 untuk angka kemiskinan dan
dari sekitar 7,48 % pada Tahun 2004 menjadi sekitar 10,87 % pada Tahun 2005
untuk angka pengangguran. Bahkan untuk angka kemiskinan ketidaksinkronan pola
normal yang bertentangan tersebut terus terjadi sampai periode waktu Tahun 2006.
Kalaupun pola tersebut menjadi sesuai dengan kaedah ekonomi yang
normal, ketajaman peningkatan antara pendapatan per kapita dengan ketajaman
penurunan angka kemiskinan dan pengangguran belum sama. Peningkatan
pendapatan per kapita jauh lebih tajam dibanding dengan ketajaman penurunan
angka kemiskinan dan pengangguran. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh
belum berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Provinsi NTB dan sekaligus adanya
ketergantungan yang besar kepada sektor-sektor ekonomi dengan karakteristik
padat modal. Sebagai konsekuensinya, ada kesenjangan antara masyarakat dari
kelompok menengah ke bawah dengan masyarakat menengah ke atas yang sangat
berperan dan menentukan pembentukan PDRB Provinsi NTB. Langkah jangka
menangah dan panjang yang hendaknya dikedepankan oleh pengambil kebijakan
adalah sesegera mungkin menyentuh masyarakat menengah ke bawah dengan
program dan kegiatan ekonomis produktif agar dapat mengakses hasil peningkatan
ekonomi Provinsi NTB. Program dan kegiatan berbasis wirausaha baru dan
penguatan kapasitas dapat menjadi pilihan untuk terus dilanjutkan.
Gambar.2.23. Pendapatan Per Kapita, Angka Kemiskinan dan Tingkat
Pengangguran Terbuka Di Provinsi NTB, Tahun 2004-2009.
Sumber: BPS, Tahun 2010.
II‐29
36. 3. Rekomendasi Kebijakan
Setelah mendalami data dan informasi tentang pencapaian pembangunan agenda
meningkatkan kesejahteraan rakyat di Provinsi NTB selama periode waktu Tahun 2004-
2009 dapat dikemukakan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
Pendidikan
1. Usaha meningkatkan IPM lebih difokuskan pada IPM kabupaten, utamanya kabupaten
yang IPM-nya kelompok paling rendah, karena rendahnya IPM Provinsi NTB
disebabkan oleh rendahnya IPM kabupaten, ketimbang perkotaan;
2. Akses pendidikan SD dan SMP/MTs ke atas agar lebih dibuka bagi penduduk yang
berpendapatan rendah yang tinggal di pedesaan karena angka drop-out pendidkan SD
dan SMP/MTs ke atas penyebab utama rendahnya IPM Provinsi NTB;
3. Pembangunan pendidikan di Provinsi NTB telah berhasil mencapai partisipasi usia
sekolah dasar yang diharapkan, seharusnya fokus pembangunan pendidikan pada
masa yang akan datang diarahkan pada peningkatan dan pemerataan akses
pendidikan setingkat SMP dan SMA dengan memberikan perhatian lebih internsif
pada daerah perdesaan karena APM dan APK jenjang pendidikan tersebut di
kabupaten lebih rendah dari perkotaan. Program yang dapat dilakukan adalah
pemberian bantuan kepada anak-anak dari orangtua kurang mampu untuk dapat
mengakses pendidikan setingkat SMP, SMA dan PT;
4. Perhatian terhadap peningkatan kualitas pendidikan harus diberikan untuk semua
jenjang pendidikan karena angka kelulusan turun dan nilai rata-rata rendah. Cara yang
dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan metode pembelajaran yang tidak
berorientasi ujian, melainkan proses; dan
5. Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru baik PNS maupun Non-PNS.
Kesehatan
Berdasarkan hasil analisis pencapaian indikator kesehatan dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Tingkat kematian bayi dan tingkat kematian ibu melahirkan di Provinsi NTB masih
terklasifikasi tertinggi di Indonesia oleh sebab itu diperlukan kebijakan untuk
menurunkan kedua angka ini. Penurunan tingkat kematian bayi dan kematian ibu
melahirkan dapat dilakukan melalui peningkatan cakupan pemeriksaan kehamilan,
peningkatan cakupan imunisasi, peningkatan penolong persalinan dengan tenaga
medis, peningkatan gizi balita melalui dukungan pembiayaan gratis;
2. Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan gizi perlu ditingkatkan melalui
peningkatan penyuluhan yang intensif. Disamping itu revitalisasi kegiatan posyandu
perlu ditingkatkan agar cakupan pemeriksaan kehamilan dan cakupan imunisasi bayi
dapat meningkat;
3. Penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga tenaga medis perlu ditingkatkan agar
pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat dilakukan sesuai kebutuhan;
4. Perekonomian masyarakat perlu ditingkatkan terutama golongan ekonomi lemah agar
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi balita dapat meningkat;
Berdasarkan hasil analisis pencapaian indikator keluarga berencana dapat
dikemukakan sebagai berikut :
II‐30
37. 1. Diperlukan kelanjutan dan peningkatan dukungan terhadap program dan kegiatan
percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di bidang pendidikan, kesehatan dan
keluarga berencana di wilayah padat, kumuh dan miskin (PAKUMIS). Gerakan
ADONO, ABSANO dan AKINO yang selama dua tahun terakhir telah menampakkan
daya dorong dan daya ungkit terhadap pencapaian indikator kesejahteraan dapat lebih
dioptimalkan. Dan khusus untuk program dan kegiatan keluarga berencana yang
cenderung menurun di era reformasi hendaknya segera mendapatkan porsi perhatian
yang meningkat agar angka TFR dan laju pertumbuhan pendudukan dapat
dikendalikan secara konsisten di masa mendatang;
2. Angka CPR Provinsi NTB perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan melalui
peningkatan penyuluhan KB kepada masyarakat oleh tenaga penyuluh KB dan
kampanye KB melalui media masa cetak dan elektronik;
3. Jumlah klinik KB perlu ditingkatkan dan pos KB perlu dihidupkan kembali agar
masyarakat dapat memperoleh pelayanan dan konsultasi KB;
4. Penyediaan alat kontrasepsi KB yang aman dan murah perlu ditingkatkan, agar
masyarakat golongan ekonomi lemah dapat memperoleh alat KB yang diperlukan;
5. Penurunan angka kelahiran perlu dilakukan melalui kebijakan peningkatan umur kawin
pertama; dan
6. Program peningkatan ekonomi masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi
lemah perlu dilakukan agar kemampuan untuk memperoleh alat kontrasepsi dan
melanjutkan sekolah anak dapat meningkat;
7. Ekonomi Makro
8. Upaya perubahan struktur ekonomi di Provinsi NTB harus dimulai dengan
moderenisasi sektor pertanian yaitu dengan peningkatan pemanfaatan teknologi maju
dan pembangunan infrastruktur yang mendukung pembangunan sektor pertanian;
9. Pembangunan pertanian di tingkat pedesaan harus dapat meningkatkan produktivitas
dan lapangan pekerjaan non-pertanian sehingga tingkat pengangguran dapat ditekan.
Untuk itu diperlukan program peningkatan kualitas sumber daya manusia, KUR (kredit
Usaha Rakyat) yang lebih agresif dan pembangunan sarana prasarana bidang
pertanian.
10. Investasi PMDN dan PMA harus diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah dengan
mengolah hasil pertanian menjadi bahan jadi (final product) untuk dipasarkan di tingkat
regional/domestik; dan
11. Pasokan dan distribusi produk bahan pangan harus dijaga kelancarannya agar
stabilitas ketersediaan bahan pangan dapat menekan tingkat inflasi.
Investasi
1. Pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Berhubung pertumbuhan
ekonomi sangat erat kaitan dengan peningkatan investasi, maka pemerintah daerah
perlu membuat insentif dan regulasi yang dapat menarik investor menanamkan
investasi di Provinsi NTB dan. Insentif tersebut termasuk perbaikan infrastruktur dan
fasilitas produksi yang diperlukan para investor;
2. Memperbaiki dan melengkapi produk hukum untuk mendukung pertumbuhan
investasi. Perbaikan produk hukum harus didukung oleh penegakan hukum dan
tranparansi aturan dan prosedur perizinan investasi;
II‐31