(sindonews.com) opini sosial-budaya 29 september 2015-31 oktober 2015
1
DAFTAR ISI
MENGAKTUALISASIKAN MAKNA BERAGAMA
A Helmy Faishal Zaini 4
MORATORIUM SETENGAH HATI
Toto Subandriyo 7
PENYELAMAT KEDAULATAN PANGAN INDONESIA
Totok Agung DH 10
NU DAN KEBANGKITAN PANCASILA
M Ka’bil Mubarok 12
PRISONS OF LIFE
Komaruddin Hidayat 15
PARADOKS KEBERAGAMAAN
Faisal Ismail 18
KERETA API (HUKUM EFEK I)
Sarlito Wirawan Sarwono 21
RUDY
Yuswohady 24
KAPAN RAKYAT MENJADI RAJA?
Mohamad Sobary 27
HARAPANKU
Andrie Wongso 30
BUMI, MANUSIA, DAN BENCANA KABUT ASAP
Dicky Pelupessy 32
BIROKRASI KAMPUS HARUS DIREFORMASI
Nanang Martono 35
MANUSIA TERBEBASKAN
Komaruddin Hidayat 38
KEDAULATAN KOMUNIKASI
Gun Gun Heryanto 40
HUKUM EFEK II
Sarlito Wirawan Sarwono 43
DERITA TANPA LUKA
Reza Indragiri Amriel 46
2
HADIRKAN NEGARA HADAPI TEROR TERHADAP ANAK
Asrorun Ni’am Sholeh 49
NASIONALISME HARI INI
Mohamad Sobary 51
PSIKOLOGI HIJRAH NABI
Muhbib Abdul Wahab 54
UMAT TANPA PEMIMPIN
Abdul Mu’ti 58
MENANGANI BENCANA ASAP
Dinna Wisnu 61
AGAMA KEKUATAN PEMBEBAS
Komaruddin Hidayat 64
TOTAL FOOTBALL
Sarlito Wirawan Sarwono 66
“NEAR WIN”
Yuswohady 69
KEBINEKAAN YANG TERKOYAK
Biyanto 71
JOKOWI-JK MASIH DIUJI
Mohamad Sobary 74
MERUWAT INDONESIA
Airlangga Pribadi Kusman 78
MBAH HASYIM DAN SEJARAH RESOLUSI JIHAD
A Helmy Faishal Zaini 81
HARI SANTRI, ANTARA JANJI POLITIK DAN PRINSIP KEADILAN
Abd Rohim Ghazali 84
LUWES ATAU LEMBEK?
Komaruddin Hidayat 87
PEMBERDAYAAN PETANI
Posman Sibuea 90
MELAYARKACAKAN TRAUMA
Reza Indragiri Amriel 94
EFEK SADISME BAGI PERKEMBANGAN ANAK
Yulina Eva Riany 97
3
DARI SUMPAH PEMUDA KE SUMPAH SERAPAH
Sarlito Wirawan Sarwono 100
SUKSES ADALAH KESABARAN
Yuswohady 103
TAK SELAMANYA BENCANA ITU KELABU
Lukas Setia Atmaja 106
BENCANA ASAP YANG MEMPRIHATINKAN
Firmanzah 108
DEMOKRASI BERLAKSA EPOS
Geger Riyanto 111
DRAMA DAN REVOLUSI MENTAL
Mohamad Sobary 114
ROMANTIKA & TANTANGAN PEMUDA
A Riza Patria 117
MASA DEPAN PEMUDA
Muhammad Arief Rosyid Hasan 120
PEMUDA DAN TANTANGAN MASA DEPAN
Anna Luthfie 122
OBAMA, JOKOWI, DAN PERUBAHAN IKLIM
Dinna Wisnu 125
URGENSI PEMBERATAN HUKUMAN KEJAHATAN ANAK
Asrorun Ni’am Sholeh 128
KITA DAN BAHASA
Komaruddin Hidayat 131
KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK, APANYA YANG
DARURAT?
Reza Indragiri Amriel 134
ANAK DALAM KABUT ASAP
FX Wikan Indrarto 137
PANCASILA DAN INTOLERANSI
Benni Setiawan 140
JALAN TERJAL KURIKULUM KKNI
Jejen Musfah 143
4
Mengaktualisasikan Makna Beragama
Koran SINDO
29 September 2015
Israel lagi-lagi untuk kesekian kali melakukan tindakan yang menggeramkan. Mereka, tentu
saja melalui sekawanan militernya, melakukan penyerangan untuk kesekian kalinya ke
Palestina. Targetnya, tentu saja Masjidilaqsha, kiblat pertama umat Islam dan simbol kota
suci dua agama, Islam dan Kristen.
Penyerangan semacam ini sesungguhnya bukan yang pertama kali. Kita ingat pada 1969
seorang Yahudi bernama Denis Michael Rohan mencoba membakar Masjidilaqsha. Kala itu
sejumlah bangunan masjid, termasuk mihrab, berhasil dibakar. Untungnya, api berhasil
dipadamkan oleh jamaah salat sebelum menjalar dan membumihanguskan seluruh bangunan
masjid.
Tindakan Rohan tersebut tak ayal menyulut kemarahan umat Islam. Dari peristiwa itulah
kemudian lahir Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang kemudian berganti nama menjadi
Organisasi Kerja Sama Islam. Organisasi ini kini beranggotakan 57 negara Islam atau negara
yang mayoritas berpenduduk Islam.
Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak akan pernah dibenarkan oleh agama dan kepercayaan
mana pun. Karen Amstrong dalam The Battle for God pernah mengatakan bahwa kekerasan
bukanlah jalan keluar. Ia justru akar persoalan yang sangat mungkin membuka peluang untuk
menyulut dan melahirkan persoalan selanjutnya. Kekerasan adalah awal dan pangkal, bukan
akhir dan pungkasan.
Ihwal serangan yang dilakukan oleh militer Israel ini, menarik apa yang dikatakan oleh
Sheikh Raed Salah, pemimpin gerakan Islam Israel. Ia mengatakan bahwa tujuan utama
penyerangan itu untuk merealisasikan agenda-agenda ekstremis yang didasarkan pada partisi
masjid berdasarkan waktu dan tempat.
Jika memang tujuan utama gerakan ekstremis penyerangan tersebut adalah sebagaimana
dikatakan Raed Salah, pada hemat saya, sesungguhnya rencana tersebut tidak akan pernah
bisa dilakukan selama masih ada orang-orang yang membela tempat-tempat suci Islam dan
Kristen di Yerusalem tersebut.
Konflik keyakinan yang lebih dominan dibumbui oleh kepentingan politik yang meletus
seminggu belakangan membuat kita, umat Islam Indonesia, merasa waswas pada sederetan
masalah dengan latar belakang dan nuansa yang sama. Sebuah konflik yang diseret-seret
5
menggunakan baju agama. Padahal, suatu yang sangat paradoksal tatkala agama
disandingkan dengan terma kekerasan.
Dalam pada itu Ibnu Kholdun (1986) secara terang-terangan mengatakan bahwa Islam,
termasuk agama serta kepercayaan lain, bukanlah agama pedang. Ia secara holistik
merupakan agama ritus (din syariaah), agama ilmu pengetahuan (din ilmi), serta sekaligus
agama peradaban dan kebudayaan (din tsaqafah wal hadarah). Islam mengutuk kekerasan.
Bahkan tidak ada satu pun agama dan ideologi di dunia ini yang membenarkan cara-cara
kekerasan dalam kehidupan.
Umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya ikut merasakan kepedihan yang
sangat luar biasa atas kejadian penyerangan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap
Masjidilaqsha tersebut. Perdamaian, kebebasan, juga toleransi adalah prinsip utama dalam
menjalankan kehidupan di samping tentu saja prinsip maqaasid syariah yang terdiri atas
hifdud din (menjaga agama), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul nasl (menjaga keturunan),
hifdu nafs (menjaga jiwa), dan hifdul mal (menjaga harta). Lima prinsip tersebut merupakan
prinsip utama yang harus ditegakkan di mana pun bumi dipijak.
Mengutuk Kekerasan
Banyak opini dan tanggapan keras dari pelbagai pihak dalam menyikapi serangan terhadap
Masjidilaqsha ini. Tidak sedikit pula pihak yang mengutuk apa yang telah dilakukan militer
Israel. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai bagian dari komunitas internasional
dan organisasi umat Islam terbesar di dunia merasa perlu dan wajib untuk memberikan
perhatian dan sekaligus berusaha mengupayakan langkah konkret dalam rangka membantu
mengakhiri serangan Israel ini.
PBNU mengajak seluruh elemen pemimpin negara Islam untuk menyuarakan keberatan
sekaligus nota protes terhadap PBB perihal penyerangan Israel ini. Hal ini sangat penting
sebab apa yang dilakukan Israel sesungguhnya telah mencoreng dan membuat malu seluruh
dunia. Di pihak lain PBNU meminta kepada OKI untuk ikut berupaya menyelesaikan
penyerangan yang dilakukan tentara Israel tersebut. OKI harus lebih bersikap proaktif dalam
rangka meresolusi konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut.
Langkah diplomasi yang berkesinambungan dengan melibatkan OKI juga PBB misalnya
sebagai fasilitator yang menjembatani kemungkinan resolusi tersebut setidaknya akan
membuka kemungkinan baru upaya perdamaian.
Refleksi Pemeluk Agama
Pada akhir tulisan ini, saya ingin mengutip secara utuh sajak yang kental akan nuansa
sindiran halus nan sarkastis dari penyair Joko Pinurbo terhadap perilaku para pemeluk agama.
Dalam sajaknya yang berjudul “Pemeluk Agama” dituturkan “Dalam doaku yang khusyuk,
Tuhan bertanya padaku, hambanya yang serius ini//Halo, kamu seorang pemeluk
6
agama?//Sungguh saya seorang pemeluk agama yang teguh Tuhan//Lho, Teguh si tukang
bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, gak perlu kamu peluk-peluk//Benar kamu pemeluk
agama?//Sungguh saya pemeluk agama, Tuhan//Tapi aku melihat kamu tak pernah
memeluk//Kamu malah menyegel, merusak, menjual agama//Teguh si tukang bakso itu malah
sudah pandai memeluk/Benar kamu seorang pemeluk?//Sungguh saya belum memeluk,
Tuhan//Tuhan memelukku dan berkata//Doamu tak akan cukup//Pergilah dan wartakanlah
pelukanKu//Agama sedang kedinginan dan kesepian//dia merindukan pelukanmu.“
Dalam syair tersebut kemudian kita bertanya sesungguhnya agama itu untuk apa dan siapa?
Jawabannya tentu adalah agama untuk perdamaian dan untuk seru sekalian alam. Namun,
apakah kondisinya sekarang demikian? Di situlah letak persoalan sehingga pertanyaan untuk
siapakah agama sampai saat ini masih relevan diutarakan. Wallahualam bisshowab.
A HELMY FAISHAL ZAINI
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
7
Moratorium Setengah Hati
Koran SINDO
29 September 2015
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun
2015 pada 13 Mei 2015. Inpres ini perpanjangan Inpres Nomor 6/2013 juncto Inpres Nomor
10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini lebih dikenal dengan sebutan Inpres Moratorium (Jeda
Sementara) Izin Baru Tata Kelola Hutan.
Inpres ini dikeluarkan dalam rangka menyelesaikan berbagai upaya untuk penyempurnaan
tata kelola hutan dan lahan gambut yang tengah berlangsung dalam rangka penurunan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan. Inpres ini ditujukan pada tujuh alamat yaitu menteri
lingkungan hidup dan kehutanan, menteri dalam negeri, menteri agraria dan tata ruang/kepala
Badan Pertanahan Nasional, sekretaris kabinet, kepala Badan Informasi Geospasial, para
gubernur, dan para bupati/wali kota.
Presiden menginstruksikan kepada para pejabat tersebut untuk melanjutkan penundaan
pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi,
hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan
produksi yang dapat dikonversi), dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam
Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
Namun, sejak awal diterbitkan inpres tersebut banyak kalangan merasa pesimistis terhadap
keseriusan Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan itu. Salah satu bukti
yang menunjukkan kurang seriusnya pemerintah menjalankan inpres ini adalah dikeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung
untuk Penambangan Bawah Tanah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehari sebelum
inpres itu ditandatangani.
Selain itu, secara substansi terdapat beberapa hal yang harus dikritisi dari inpres ini. Antara
lain masih diberikan ruang pengecualian seperti tertuang dalam diktum kedua khususnya poin
(a) dan (c). Yaitu, pengecualian diberikan pada permohonan yang telah mendapat persetujuan
prinsip dari menteri kehutanan, serta perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau
penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku.
Tidak Terulang
Tujuan yang terkandung dalam kebijakan moratorium pembalakan hutan ini adalah agar
deforestasi dan degradasi hutan yang pernah berlangsung masif dan ekstraktif tidak terulang
8
lagi. Karena itu, selama moratorium berlangsung seharusnya dilakukan kaji ulang terhadap
peraturan-peraturan tentang kehutanan, lahan gambut, peraturan yang menyangkut tata ruang,
serta peraturan-peraturan terkait lainnya.
Namun, pada kenyataannya aktivitas pembakaran hutan dan lahan masih berlangsung masif
di sejumlah daerah. Beberapa hari terakhir media dalam dan luar negeri gencar memberitakan
masalah ini. Hingga hari ini sudah enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan yang
dinyatakan dalam kondisi darurat kabut asap.
Memang, sejak awal sudah banyak yang memprediksi bahwa pelaksanaan moratorium ini
bukanlah pekerjaan mudah. Dalam tataran implementasi akan selalu dihadapkan dengan
berbagai permasalahan akut di bidang kehutanan dan perkebunan. Termasuk di dalamnya
praktik-praktik kolutif yang mendegradasi hutan dan lingkungan.
Permasalahan utama yang harus segera dipecahkan adalah masalah tata ruang. Tidak
sinkronnya interpretasi undang-undang/peraturan seperti Undang-Undang Nomor 41/1999
tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang telah
membuka peluang terjadi deforestasi. Permasalahan besar lain yang perlu segera dituntaskan
adalah masalah penguasaan lahan (tenurial).
Secara kasatmata kita menyaksikan maraknya konflik agraria struktural yang melibatkan
masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut
hemat penulis, fenomena seperti ini fenomena puncak gunung es yang menyimpan bom
waktu jika dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian secara bijaksana.
Lebih jauh pemerintah juga harus segera memperbaiki koordinasi antara pusat dan daerah
serta memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut yang masih buruk. Perlu lebih
diintensifkan jalinan dalam distribusi pendapatan, peningkatan transparansi, dan akuntabilitas
pengelolaan hutan. Semua itu pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera dituntaskan.
Setengah Hati
Heboh bencana asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan di Pulau Sumatera dan
Kalimantan beberapa hari terakhir salah satu fakta yang menunjukkan bahwa pelaksanaan
moratorium Izin Baru Tata Kelola Hutan masih setengah hati. Ingat, peristiwa seperti ini
bukan yang pertama kali. Selain menguras energi bangsa, bencana kebakaran hutan itu juga
mempermalukan martabat bangsa di mata internasional.
Di samping sebagai penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut, kebijakan
moratorium ini juga dimaksudkan sebagai upaya penurunan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ditempuh melalui skema
reduce emissions from deforestation and forest degradation (REDD). Dalam praktiknya
skema REDD ini perlu dilengkapi dengan inisiatif reforestasi (REDD+).
9
Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan yang sangat berani dengan mematok target
penurunan emisi GRK sebesar 26% pada 2020. Tekad dan ambisi tersebut telah disampaikan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato pada pertemuan negara-negara
yang tergabung dalam kelompok G-20 di Pitsburg, Amerika Serikat, September
2009. Komitmen tersebut harus didukung seluruh pemangku kepentingan di negeri ini secara
berkelanjutan agar ambisi besar tersebut bukan sekadar utopia.
Penyiapan lahan dengan pembakaran yang sering dilakukan di lahan gambut akan
menimbulkan kerusakan lingkungan. Suhu akibat pembakaran merusak gambut,
menghilangkan kapasitas penyimpanan air, menghilangkan kapasitas penyerapan karbon,
serta menghilangkan berbagai fungsi ekologis dan ekonomis. Jika tiga unsur bertemu yaitu
bahan organik, api, dan zat asam (oksigen), kebakaran hutan dan belukar tak terhindarkan
lagi.
Karena itu, pemerintah harus melakukan penegakan hukum yang lebih tegas bagi para
pelanggar hukum dan ketentuan. Tanpa penegakan hukum yang tegas, semuanya jadi sia-
sia. Deforestasi akan tetap berlangsung ekstraktif dan masif. Stigma buruk di mata
internasional sebagai bangsa yang tak becus mengelola lingkungan akan terus melekat.
Moratorium Izin Baru Tata Kelola Hutan hanya menjadi sebuah ironi karena masih terus
berasap.
TOTO SUBANDRIYO
Pengamat Sosial-Ekonomi Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
10
Penyelamat Kedaulatan Pangan Indonesia
Koran SINDO
1 Oktober 2015
Saat ini produksi padi di Indonesia masih bergantung pada produktivitas lahan sawah.
Ketersediaan air yang tertopang oleh jaringan irigasi, pengolahan lahan yang intensif
menjadikan lahan sawah mampu memberikan daya dukung jauh lebih tinggi bagi
pertumbuhan dan produksi padi dibandingkan jika ditanam di lahan kering.
Pemuliaan tanaman padi sawah yang berlangsung sangat cepat dengan potensi hasil mencapai
lebih dari 10 ton per hektare belum mampu mengimbangi pemenuhan ketersediaan bahan
pangan pokok nasional sebagai syarat mutlak kedaulatan pangan. Lahan sawah tidak tersedia
di seluruh pelosok wilayah Nusantara, tercatat luas lahan sawah hanya 8,5 juta ha, dan
mengalami alih fungsi lahan dari tahun ke tahun.
Kedaulatan pangan tidak harus tergantung pada padi sawah. Beban penyediaan beras yang
semakin berat, keterbatasan lahan sawah yang mengalami alih fungsi lebih dari 45.000 ha per
tahun, konsumsi lebih dari 120 kg per orang per tahun, serta tingginya biaya cetak sawah
baru hingga sulit mencapai target, menjadi ancaman besar bagi upaya peningkatan produksi
padi. Ke depan, padi sawah tetap memegang peranan penting.
Produktivitas padi sawah Indonesia per tahun masih tertinggi di dunia, karena penanaman
bisa dilakukan 2 atau 3 kali dalam satu tahun. Meskipun demikian, tanpa adanya antisipasi
yang strategis dan terencana, kegagalan panen tahunan akibat puso kekeringan maupun banjir
dapat mengancam kedaulatan pangan nasional. Peningkatan produksi padi tetap perlu
diantisipasi dengan memanfaatkan sumber daya lahan yang ada, di antaranya produksi padi
gogo di lahan kering.
Lahan kering yang luas di Indonesia bisa dimanfaatkan dan dioptimalkan untuk
pengembangan padi lokal/lahan kering menjadi unggulan padi nasional. Lahan kering di
Indonesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektare atau 88,6% dari luas lahan,
sebagian besar tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada
ketinggian 0-700 mdpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 mdpl
(39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia.
Penggunaan lahan kering untuk penanaman padi gogo dalam peningkatan areal tanam padi
sangat berpotensi menjadi unggulan upaya peningkatan produksi padi nasional. Memang,
selama ini padi gogo dipandang rendah oleh masyarakat. Rendahnya daya hasil padi gogo
(1,5-2,7 ton per hektare) serta umurnya yang panjang (lebih dari 4 bulan), keragaan tinggi
11
yang menyebabkan mudah rebah menjadi kendala utama bagi peningkatan produksi padi di
lahan kering.
Kondisi lahan kering dengan kesuburan tanah yang rendah, ketersediaan air yang terbatasi
oleh musim hujan, kehadiran gulma dan keterbatasan kultivar unggul berdaya hasil tinggi
juga menjadi permasalahan tersendiri. Kualitas hasil padi gogo yang telah ada (kultivar lokal)
sebagian besar juga rendah (pera, tidak wangi), sehingga berdampak pada harga.
Fokus peningkatan produksi padi yang selama ini lebih menitikberatkan pada lahan sawah,
menjadikan pemuliaan padi gogo tertinggal jauh dari padi sawah. Namun demikian, tidak
berarti padi gogo tidak punya potensi. Varietas unggul baru padi gogo yang berdaya hasil dan
bermutu hasil tinggi serta umur genjah merupakan jawaban untuk meningkatkan kontribusi
padi gogo terhadap produksi padi nasional.
Jumlah varietas unggul padi gogo seperti ini masih sangat terbatas. Silugonggo dan
Situpatenggang merupakan hasil perbaikan sifat padi gogo dengan umur genjah, produksi
telah meningkat menjadi 3-4 ton per hektare, keragaan agronomis lebih baik. Varietas ini
dilepas sekitar tahun 2002. Akan tetapi, kualitas hasil masih belum meningkat.
Namun, bukannya tak ada bibit unggul padi gogo. Inpago UNSOED 1, dengan potensi hasil
7,42 ton per hektare di lahan kering dan umur 110-117 hari mampu menghasilkan beras mutu
tinggi, yaitu nasinya pulen serta aromanya wangi sangat disukai oleh konsumen dan
mempunyai harga jual yang tinggi. Harga jual beras aromatik dan pulen mencapai 2-2,5 kali
harga jual beras biasa. Dengan demikian, varietas unggul padi gogo berdaya hasil tinggi,
aromatik dan rasa nasi pulen dapat meningkatkan keuntungan petani dalam usaha tani di
lahan kering.
Padi gogo memiliki peran yang lebih penting dengan adanya El Nino dan berbagai kondisi
akibat perubahan iklim global. Kondisi alam yang tidak lagi dapat diprediksi mengakibatkan
perubahan terhadap musim tanam padi sawah, dan secara langsung berdampak terhadap
produksi padi nasional. Kesungguhan pemerintah dan rakyat Indonesia dalam pengembangan
padi gogo dan padi gogo aromatik di lahan kering saat ini bisa menjadi langkah penyelamat
bagi penyediaan pangan nasional di masa mendatang, sekaligus menjaga kedaulatan pangan
Indonesia.
PROF TOTOK AGUNG DH
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
12
NU dan Kebangkitan Pancasila
Koran SINDO
1 Oktober 2015
Setiap peringatan peristiwa G-30-S 1965, ingatan kolektif masyarakat selalu tertuju pada
kejadian setelahnya yang menyebabkan huru-hara berdarah dengan skala korban begitu
besar.
Apalagi, sampai sekarang tafsiran sejarah terhadap kronologi kerusuhan massal pasca-
penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI itu masih debatable. Dengan begitu, tuduhan
sebagian kalangan yang mendiskreditkan sebagian kalangan lainnya sebagai tertuduh utama
aktor pembunuhan massal selalu tidak mempunyai pijakan objektif yang dapat diterima
semua elemen bangsa.
Dengan kata lain, setiap tahun kita selalu disibukkan pada perdebatan-perdebatan yang
cenderung tidak produktif karena disertai berbagai tendensi-tendensi negatif terhadap sesama
anak bangsa. Padahal, terdapat beberapa sisi lain yang menarik untuk direfleksikan terkait
peristiwa kelam pada akhir September 1965 tersebut.
Salah satu isu yang sering terlupa, namun penting untuk direfleksikan kembali pada era
sekarang adalah posisi Pancasila pasca-insiden berdarah itu. Dalam wacana yang diproduksi
dan disebarkan Orde Baru, 1 Oktober adalah Hari Kesaktian Pancasila mengingat hari itu
Mayjen Soeharto dan pasukannya berhasil menumpas para penculik, pembunuh (serta
pemberontak) yang dianggap ingin menggulingkan Pancasila sebagai dasar negara
NKRI. Dengan kata lain, keberhasilan Mayjen Soeharto menguasai kembali Jakarta waktu itu
dianggap sebagai manifestasi dari saktinya Pancasila menghadapi ancaman ideologi lain
(baca: komunisme).
Padahal, sesungguhnya apa yang selama ini dipersepsikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila
tersebut merupakan awal mula dari ”kematian Pancasila”. Penyebabnya, setelah peristiwa
tersebut karier Mayjen Soeharto terus berkibar sampai puncaknya dilantik menjadi presiden
Indonesia menggantikan Soekarno. Sejak saat itu Presiden Soeharto menjalankan proyeksi
pemerintahan yang dikenal sebagai proyek Orde Baru untuk membedakan diri dari Orde
Lama Soekarno.
Salah satu elemen penting dari Orde Baru adalah pengarusutamaan pembangunan ekonomi
sembari mengebiri pembangunan di bidang sosial-politik. Secara implementatif, pilihan
orientasi tersebut tergambar dalam cita-cita Soeharto menjadikan Indonesia sebagai macan
ekonomi Asia. Namun, pada saat bersamaan dia menginginkan stabilitas sosial-politik dengan
13
cara membonsai demokrasi, melakukan fusi partai politik, dan membungkam aspirasi kritis
dari para aktivis pro-demokrasi.
Celakanya, demi mendapatkan legitimasi ideologis dari proyek ekonomi-politiknya tersebut,
Soeharto membuat tafsiran subjektif tentang Pancasila yang dirasa sesuai dengan prinsip-
prinsip ekonomi-politiknya itu. Sepertinya Soeharto ingin melanjutkan momentum sejarah
yang sudah diraihnya dalam peristiwa ”kesaktian Pancasila” pada 1965 dengan kembali
menjadikan Pancasila sebagai ”topeng” ideologisnya dalam menjalankan kepentingan
ekonomi-politik Orde Baru. Akibatnya, Pancasila tergelincir menjadi rumusan sila-sila yang
distortif dan jauh dari esensi dasarnya sebagai dasar negara sebagaimana dirumuskan para
founding father pada 1945.
”Korban” dari tafsir distortif Pancasila ala Soeharto ini tidak sedikit. Selain tragedi Malari,
tragedi Waduk Kedung Ombo, kerusuhan Tanjung Priok 1984, doktrin NKK/BKK bagi
mahasiswa, juga penerapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi/ormas di
Indonesia yang dilaksanakan secara represif dan opresif.
Dari situ, Orde Baru semakin alergi dengan oposisi. Segala potensi kritik yang muncul dari
masyarakat langsung diberangus dengan bengis. Daniel Dhakidae dalam kata pengantarnya
untuk terjemahan Indonesia buku klasik Ben Anderson, Imagined Communities, Komunitas-
Komunitas Terbayang (2001) mengatakan, Pancasila waktu itu tereduksi menjadi ”barang
mati” yang telah dibakukan dan dibekukan penghayatannya oleh Soeharto demi ambisi
ekonomi-politiknya. Alih-alih mampu dihayati dan diamalkan secara substantif sebagai nilai
dasar kehidupan sebuah bangsa, rumusan Pancasila malah terpelanting menjadi doktrin yang
menakutkan sehingga kehilangan elan vitalnya.
Kiai Pembangkit Pancasila
Di tengah kegalauan tokoh-tokoh Islam saat itu, muncullah sosok kiai pesantren dari Jember
bernama KH Ahmad Shiddiq yang sukses melakukan ijtihad intelektual brilian yang
menjadikan prinsip-prinsip tauhid dan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah kompatibel dengan
Pancasila. Sebuah landasan epistemologis yang membuat NU secara sukarela menjadikan
Pancasila sebagai asas NU tanpa terintimidasi represivitas Soeharto terkait Pancasila sebagai
asas tunggal.
Dalam Komisi I (masa`il fiqhiyyah) pada Muktamar Ke-27 Nahdlatul Ulama yang
berlangsung di Situbondo, Jawa Timur, KH Ahmad menyampaikan gagasannya dalam
makalah berjudul, ”Penerimaan Asas Tunggal Pancasila bagi NU” yang sebelumnya
dipresentasikan dalam Munas Alim Ulama Desember 1983 di Situbondo. Dengan dibantu
sekretaris pribadinya, KH Muchit Muzadi, KH Ahmad menawarkan formulasi cerdas
menggabungkan hubungan agama dan Pancasila menuju ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah
basyariyah NKRI.
14
Secara prinsip, KH Ahmad meyakini Pancasila dan Islam adalah dua hal yang harmonis:
tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan. ”NU menerima Pancasila berdasarkan
syariah, bukan semata-mata berdasar pandangan politik. NU tetap berpegang pada ajaran
aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun,
kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya,” kata KH Ahmad.
Sejak saat itu, tesis Kiai Ahmad tersebut jadi inspirasi bagi banyak ulama lainnya.
Penyebabnya, KH Ahmad berhasil membangkitkan kembali roh Pancasila sebagai dasar
negara yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Artinya, secara organis dan genuine,
KH Ahmad mampu merevitalisasi fungsi Pancasila melampaui tafsir monolitik Orde Baru.
Kesimpulannya, peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober juga harus dimaknai sebagai
momen ”kematian Pancasila” sebagai konsekuensi dari distorsi tafsir yang dirancang oleh
Orde Baru. Dengan demikian, ketika kita paham ada fase Pancasila ”dimatikan”, kita akan
mengerti sebuah fase ketika Pancasila ”dibangkitkan” kembali oleh sosok kiai pesantren yang
berhasil menghasilkan ijtihad intelektual brilian dengan mensinergikan antara prinsip dasar
Pancasila dan rumusan fikih Islam sehingga kita dapat menikmati Pancasila sesuai substansi
dasarnya.
M KA’BIL MUBAROK
Ketua DKW Garda Bangsa Jawa Timur dan Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur
15
Prisons of Life
02-10-2015
Setiap orang menginginkan kehidupan ideal. Hidup yang memberikan kenyamanan,
kesejahteraan, dan keamanan. Namun yang ditemukan kadang sebaliknya, tidak seindah yang
diharapkan dan dibayangkan.
Dunia memang menawarkan banyak sekali pintu sukses, pintu kebahagiaan, dan pintu-pintu
lain untuk menikmati keindahan hidup yang selalu dicari dan diburu manusia. Jika manisnya
dunia sudah digenggam maka orang pun enggan mati, berpisah dari dunia. Namun di balik
tawaran keindahan dunia selalu tersembunyi pintu-pintu jebakan yang bisa mendatangkan
sengsara dan nestapa.
Dialektika dan pasang-surut kehidupan yang silih berganti itu dalam tradisi Cina secara
simpel disimbolkan dengan ying-yang. Suka-duka, tawa-tangis, untung-rugi, jatuh-bangun
kesemuanya itu melekat dalam kehidupan setiap orang sebagaimana pasangan siang dan
malam, gelap dan terang.
Di dalam lingkaran kegelapan hidup selalu tersimpan secercah cahaya yang mampu
membalikkan nasib kehidupan. Begitu pun di dalam terang dan keceriaan hidup, kita mesti
hati-hati karena di sana tersimpan blind spot, titik hitam yang tidak terlihat dan bisa
menggerogoti devisa kebahagiaan. Pengalaman mengajarkan agar kita selalu waspada dan
hati-hati terhadap blind spot dan jebakan hidup yang tidak terlihat, ibarat ranjau yang
tersembunyi di balik rumput atau pepohonan yang tampaknya indah dan menarik, tetapi
begitu kaki menginjak bisa menjerumuskan seseorang ke lubang yang mematikan.
Begitu kita keluar rumah kita dihadapkan peluang dan jebakan. Jebakan dan godaan narkoba
adalah contoh paling mudah bagi remaja sekarang. Narkoba menawarkan angin surga bagi
pemakainya, padahal yang terjadi justru pemakainya tengah melakukan proses bunuh diri
yang mengerikan. Jabatan pun bisa saja menjerumuskan seseorang. Jadi kita selalu dihadang
oleh ranjau-ranjau dan penjara-penjara kehidupan (prisons of life). Karena sifat dan wujudnya
bukan fisik, untuk mengidentifikasi penjara-penjara kehidupan ini memerlukan pengamatan
intelektual yang jeli, di samping ketajaman hati nurani.
Di antara penjara-penjara kehidupan bisa saja muncul dari pemahaman dan sikap beragama
yang awalnya mengajak pada kebaikan dan kedamaian, namun jika ternyata paham
keberagamaan malah menjadi sumber dan pemicu konflik berdarah-darah yang
menyengsarakan, di situ pemahaman agama telah menjadi penjara.
Terjadi situasi paradoksal di mana agama mengajarkan kedamaian, kebaikan dan kebenaran,
16
tetapi berita yang muncul dari berbagai dunia Islam justru perang bersenjata antara sesama
mereka. Ironisnya lagi, para korban perang itu lalu mencari suaka dan bantuan pada negara-
negara non-muslim. Situasi paradoksal itu juga mirip orang mengendarai mobil yang memilih
jalan tol agar cepat sampai tujuan dengan nyaman, namun jika salah masuk malah jadi jauh,
lebih mahal dan kesal.
Salah pilih dan salah membuat keputusan dalam berbagai kehidupan berimplikasi pada
penyesalan dan kesusahan di belakang hari. Dengan statement ini, saya hanya ingin
mengingatkan agar hati-hati membuat pilihan dan keputusan mengingat setiap hari kita
dihadapkan untuk membuat keputusan, dengan derajat implikasi yang berbeda-beda.
Dibanding kehidupan sosial beberapa puluh tahun lalu, sekarang kita dihadapkan pada
berbagai pilihan yang justru datang dan mengejar. Perhatikan saja tawaran produk konsumsi
melalui iklan yang selalu tampil di televisi maupun terpampang di pinggir jalan. Seakan kita
dihujani, atau bahkan diteror, oleh berbagai bujukan dan rayuan iklan yang akan menguras
tabungan kalau saja dituruti. Begitu juga kita disuguhi sekian banyak ceramah agama di
mimbar televisi dengan topik dan pendekatan berbeda-beda.
Belum lagi dalam hal memilih dan menentukan pasangan hidup, ada-ada saja yang merasa
salah pilih sehingga kebahagiaan yang dibayangkan sebelum pernikahan tidak berlangsung
lama. Setiap orang mesti membayangkan istana rumah tangga, namun kadang yang
menghadang adalah penjara.
Kalau kita jeli dan rajin mengamati peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di sekitar kita,
banyak sekali pembelajaran hidup yang amat berharga agar kita lebih bijak dan dapat mencari
solusi di tengah berita yang kebanyakan menyesakkan. Sampai pada batas tertentu ada
benarnya ungkapan klasik, nothing new under the sky. Terdapat pengulangan peristiwa sosial
dengan pola yang sama, dengan aktor dan setting sosial yang berbeda. Baik dalam dunia
politik, kisah cinta, persaingan dan perebutan sumber ekonomi, dan perilaku sehari-hari dari
zaman ke zaman terdapat pengulangan dengan pola dan motif yang sama. Yang terjadi kita
sering lupa, berpikiran pendek, tidak mampu menguasai nafsu, sehingga mengulangi lagi apa
yang dilakukan orang lain, padahal jelas-jelas merugikan diri sendiri, keluarga dan
masyarakat.
Kendati demikian, sejarah juga mencatat berbagai inovasi dan kreasi manusia dalam bidang
sains dan teknologi. Jika dulu orang membuat tempat tinggal di gua atau di atas pohon,
sekarang bermunculan gedung-gedung megah pencakar langit. Untuk mengalahkan cuaca
panas, sekarang diciptakan AC (air conditioner). Lebih dari itu, sekian ragam teknologi
rumah tangga juga sudah diciptakan dan diproduksi secara masif.
Tetapi dalam hal basis dan nilai-nilai moral, banyak warisan ajaran moral klasik yang
kelihatannya abadi, seiring dengan berbagai inovasi sains yang melahirkan kreasi teknologi
yang mempersembahkan bantuan kemudahan teknis dalam menopang kehidupan, seperti
halnya teknologi automotif yang mengganti peran hewan. Dulu orang mengagumi kelincahan
17
dan kecepatan hewan kijang, sekarang beralih ke mobil Kijang. Begitu pun mobil lain yang
bermerek hewan yang dikagumi manusia seperti mobil Kuda, Panther, atau Jaguar. Fungsi
primernya tetap sama, yaitu sarana transportasi dan angkutan barang.
***
Antara abad kelima sebelum dan sesudah Masehi sejarah mencatat lahirnya tokoh-tokoh
pencerah zaman dan peletak dasar agama dan landasan moral kehidupan yang masih bertahan
dan dipertahankan manusia sampai hari ini. Abad-abad ini ada yang menyebutnya sebagai
Axial Ages atau abad-abad poros peradaban. Yaitu abad munculnya anak-anak zaman yang
ajarannya menjadi rujukan putaran sejarah dari sisi moral dan keagamaan.
Sebut saja di sana ada Plato, Aristoteles, Budha Gautama, Kong Hucu, Lautze, Musa, Isa,
Muhammad yang ajaran moralnya telah menginspirasi penduduk bumi, bahkan dijadikan
rujukan dan sumber pencerahan hidup sekalipun ilmuwan modern telah berhasil menciptakan
teknologi yang semakin canggih dari waktu ke waktu. Prinsip-prinsip moralitas yang mereka
wariskan senantiasa dipelajari dan dijaga sejak di lingkungan rumah tangga, lembaga
pendidikan, dunia usaha, pemerintahan dan kehidupan sosial.
Jutaan buku telah ditulis oleh cerdik pandai dan diterbitkan untuk mengapresiasi, mendalami
karya mereka dan menyusun pedoman praktis sebagai bimbingan hidup sehari-hari. Banyak
buku yang oleh penerbit disebutkan baru, padahal sebagian besar isinya adalah pengulangan
buku-buku lama karena banyak warisan lama yang substansi kebenarannya tidak berubah
sebagaimana ditemukan dalam rumusan matematika. Kapan pun dan di mana pun apa yang
benar tetaplah benar.
Pembaca tidak perlu heran ketika membaca buku yang katanya baru, namun isi, pesan, dan
uraian dalam buku itu tidak baru. Justru karena kebenaran, kebaikan dan keindahan itu abadi,
maka mesti dikemukakan lagi dan lagi meskipun dengan bahasa dan dalam konteks yang
berbeda.
Kemalasan, kebodohan dan kesombongan itu penjara yang membuat seseorang tidak
berkembang dan hidup merdeka. Di sekitar kita begitu banyak pintu-pintu penjara. Kita mesti
hati-hati memilih jalan atau kita mesti berkembang mengatasi penjara. Meminjam bahasa
tasawuf, kita jangan sampai ditelan dunia, tetapi dunia yang kita taklukkan dan kita telan.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
18
Paradoks Keberagamaan
Koran SINDO
3 Oktober 2015
Pelaksanaan peringatan hari-hari besar keagamaan (Islam) yang dilaksanakan di Istana
Negara dan Masjid Istiqlal Jakarta menjadi pertanda bahwa syiar kehidupan keagamaan dan
keberagamaan di negeri ini tak pernah redup. Dengan kata lain, syiar agama, keagamaan, dan
keberagamaan terus bersinar di negeri ini.
Sejak berdirinya Republik ini, sudah menjadi tradisi kenegaraan bahwa peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW setiap tahun diselenggarakan di Istana Negara. Peringatan hari-hari
besar keagamaan lainnya dilaksanakan di Masjid Istiqlal.
Di tengah maraknya syiar keagamaan dan keberagamaan ini, banyak terjadi paradoks di
negeri ini. Di satu sisi terdapat fenomena keberagamaan yang baik, tetapi di sisi lain terdapat
fenomena keberagamaan yang buruk. Inilah yang dimaksud paradoks keberagamaan dalam
tulisan ini. Berikut ini dipaparkan beberapa sampel tentang paradoks keberagamaan itu.
Pertama, secara reguler dilaksanakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dari tingkat daerah
sampai ke tingkat nasional dengan biaya yang besar. Kegiatannya dilakukan secara bergiliran
dari satu provinsi ke provinsi yang lain. Sebelum dilaksanakan MTQ, terlebih dahulu
diselenggarakan Seleksi Tilawatil Quran (STQ) untuk menjaring para qari dan qariah yang
qualified untuk maju ke arena MTQ.
Di tengah maraknya penyelenggaraan MTQ dan STQ, justru dana pencetakan Alquran dalam
jumlah besar dua tahun lalu dikorupsi di Kemenag Jakarta yang melibatkan anggota DPR RI
yang menjadi mitra kerja Kemenag. Anggota DPR RI itu dinyatakan bersalah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta karena terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi miliaran
rupiah.
Kedua, waiting list jamaah haji sangat panjang. Para pendaftar (calon haji) baru bisa berhaji
enam-delapan tahun kemudian. Ini membuktikan bahwa umat sangat antusias untuk
melaksanakan rukun Islam yang kelima walaupun harus lama menunggu.
Fenomena yang baik ini tereduksi karena terjadi kasus korupsi dana haji di Kemenag sendiri.
Korupsi besar dana haji terkuak pada 2005 dan sekarang ini KPK sedang menangani kasus
dugaan korupsi dan sudah menahan tersangkanya berinisial SDA (mantan menag). Fenomena
lain yang memprihatinkan adalah bisnis haji non-kuota (ilegal) dan penelantaran jamaah
umrah di Mekkah oleh oknum tertentu. Semua ini semakin memperburuk citra perhajian di
negeri ini.
19
Ketiga, pernikahan di kalangan umat meningkat dari waktu ke waktu. Ini berarti terdapat
kegairahan di kalangan umat untuk melaksanakan sunah Nabi Muhammad SAW. Di balik
fenomena positif ini, beredar buku nikah palsu yang dilakukan oleh oknum-oknum yang
merusak citra pernikahan. Petugas Bandara Juanda Surabaya tahun lalu menyita sejumlah
buku nikah palsu yang mau dibawa oleh calon jamaah haji ke Mekkah. Juga banyak beredar
buku nikah palsu di beberapa daerah seperti di Jawa barat yang dikomersialisasikan dan
disalahgunakan.
Keempat, basis pendidikan kita adalah Pancasila yang ditopang oleh pendidikan spiritualitas
keagamaan. Dari tahun ke tahun banyak sarjana yang telah dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Para sarjana, ilmuwan, dan orang-orang terpelajar di negeri ini semakin bertambah
jumlahnya. Ini merupakan fenomena yang sangat baik dan menarik.
Namun, di balik itu ada gejala yang sangat mencemaskan. Terjadi jual-beli ijazah dan gelar
akademis. Praktik jual-beli ijazah palsu dan gelar akademik ilegal terbongkar di beberapa
perguruan tinggi. Di samping itu terjadi pembocoran soal ujian (UMPTN) dan praktik
perjokian dalam ujian masuk. Hati nurani, logika, dan akal sehat sudah pasti mengatakan
bahwa semua ini merupakan praktik kecurangan dan pelacuran akademis yang sangat
tercela.
Kelima, sesuai amanat UU Sisdiknas, pendidikan agama diberikan sejak sekolah taman
kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi. Di satu sisi, sudah barang tentu pendidikan
agama memiliki dampak positif pada penguatan spiritualitas keagamaan dan perilaku moral
anak-anak didik. Namun, pada sisi lain, terjadi banyak paradoks. Di beberapa kota terjadi
tawuran antarpelajar, tawuran antarmahasiswa, tawuran antarpemuda, penggunaan narkoba di
kalangan pelajar-mahasiswa, dan hubungan seks pra-nikah dan aborsi di kalangan
mahasiswi.
Kelima, stasiun-stasiun televisi dan radio di Tanah Air semakin banyak bermunculan. Semua
program di berbagai televisi dan radio secara beramai-ramai telah memasukkan siaran
keagamaan yang menyuarakan ajaran ketuhanan dan ajaran moral keagamaan. Terutama pada
bulan suci Ramadan dan hari-hari besar keagamaan, program keagamaan terasa sangat
berdenyut dan intensif. Program keagamaan ini berlangsung hampir sepanjang hari, sejak
subuh hingga sahur.
Tidak dapat disangkal, kegiatan-kegiatan tadi memberi pengaruh positif. Namun, di balik
hingar-bingar kesemarakan siaran keagamaan ini terjadi berbagai paradoks. Polisi
membongkar prostitusi online di berbagai kota dan menangkap mucikarinya (antara lain di
Jakarta dengan inisial RA). Sejumlah artis papan atas diberitakan terlibat dalam praktik
prostitusi online ini. Menurut berita di media massa, ada artis yang mematok Rp80-200 juta
kepada pelanggannya untuk sekali kencan dan servis selama tiga jam.
Keenam, para ustad, kiai, dan ulama melalui program keagamaan di televisi, khutbah, atau
tausiah selalu menyerukan penegakan ajaran keagamaan dan moral kejujuran. Pesan-pesan
20
moral kejujuran ini berlaku bagi siapa saja karena ajaran moral kejujuran itu adalah ajaran
semua agama.
Pada batas tertentu, seruan moral kejujuran dan keagamaan itu sudah pasti memiliki dampak
positif dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, dalam waktu yang sama terjadi paradoks yang
mencemaskan. Tingkat korupsi masih memperlihatkan grafik yang tinggi. Dalam peringkat
yang dikeluarkan oleh lembaga internasional, Indonesia masih ditempatkan sebagai salah satu
negara di urutan atas dalam tindak pidana korupsi. Kasus-kasus korupsi atau dugaan korupsi
yang telah dan sedang ditangani oleh KPK, Bareskrim/Polri, dan Kejaksaan mengindikasikan
masih banyaknya kasus yang merugikan keuangan negara.
Misalnya, kasus penipuan (investasi bodong), pemalsuan (uang, obat-obatan dan kosmetika),
penyelundupan (BBM, kayu, dan bawang) dan pembajakan (kaset, CD/DVD, dan lensa),
kasus Pelindo II, serta dwelling time. Semua kasus ini membuktikan bahwa di tengah
maraknya kehidupan keberagamaan di negeri ini justru terjadi paradoks yang
memprihatinkan dan mencemaskan.
Tidak ada pilihan lain bagi kita selain terus berupaya keras untuk meminimalisasi dan
menghilangkan fenomena keberagamaan yang buruk. Pada saat yang sama, sudah seharusnya
kita terus mempertahankan dan meningkatkan fenomena keberagamaan yang baik agar ke
depan keadaan negeri ini jauh lebih baik.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
21
Kereta Api (Hukum Efek I)
04-10-2015
Kebetulan almarhum ayah saya berasal dari keluarga kereta api. Ayahnya, ayah tirinya dan
adiknya, semua bekerja di kereta api, yang perusahaannya pada waktu itu (di zaman Belanda)
bernama Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Perusahaan ini pada 28
September 1945, diambil alih oleh organisasi AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dari
pemerintah Jepang, dan sejak itu tanggal 28 September dijadikan Hari Kereta Api Nasional.
Saya sendiri selama masih tinggal di Tegal, sampai SMA kelas I di tahun 1958, masih suka
menggunakan kereta api jurusan Tegal-Purwokerto PP (mbah saya di Cilacap) dan Tegal-
Jakarta PP (eyang saya di Jakarta) (Catatan: sampai hari ini saat sendiri tidak mengerti
mengapa kakek dan nenek yang dari ayah dipanggil ”mbah”, sedangkan yang dari ibu
dipanggil ”eyang”).
Pengalaman naik kereta api waktu itu tidak begitu jauh dari cerita-cerita mbah dan paman
saya tentang perjalanan dengan kereta api di zaman Belanda (sebagai pegawai NIS beliau-
beliau bisa naik KA gratis ke mana-mana). Sama-sama pakai AC (angin cepoi-cepoi) dan di
setiap stasiun banyak pedagang asongan, sebagian di antaranya meloncat masuk KA bahkan
sebelum KA berhenti.
Tetapi yang paling mengganggu adalah waktu perjalanan yang makin lama makin sering
terlambat. Keterlambatan bukan hanya hitungan menit, tetapi jam. Terlambat lebih dari tiga
jam dianggap biasa. Karena itu, nama perusahaan pertama dari perusahaan KA setelah
diambil alih oleh AMKA adalah Djawatan Kereta Api, disingkat DKA, yang kalau
diplesetkan menjadi Djam KAret (”Dj” ejaan lama, dibaca ”J”).
Setelah saya pindah sekolah ke Bogor dan kuliah di UI Jakarta (sejak 1958), saya hampir
tidak pernah lagi naik KA di Indonesia, tetapi saya sering naik KA di luar negeri, mulai KA
dari kampung ke kampung di Belanda, sampai kereta api Thalys dan TGV di Eropa dan
Shinkansen di Jepang.
Pengalaman saya ber-KA di luar negeri menambah keengganan saya ber-KA di Indonesia,
kecuali KA superspesial seperti KA Bima (Biru Malam) Jakarta-Surabaya PP yang ada
tempat tidurnya (tahun 1969), atau KA Parahyangan Jakarta-Bandung PP (yang AC-nya tidak
pernah kendor dan selalu tepat waktu). Saya lebih memilih kapal terbang walaupun untuk
perjalanan di Jawa.
Sementara itu, kondisi perkeretaapian Indonesia makin parah. Setiap menjelang Lebaran,
calon penumpang mengantre sampai menginap di stasiun untuk memperoleh tiket mudik
22
yang sebagian besar sudah di tangan calo. Di dalam gerbong tidak ada lagi ruang tersisa,
sampai WC pun terisi manusia, sehingga saya tidak bisa membayangkan bagaimana caranya
orang kalau mau pipis atau mau pup.
Bukan itu saja. Sebagai dosen yang hampir setiap hari ke UI Depok, dan melintasi jalan
sejajar dengan rel dari Pasar Minggu-Lenteng Agung sampai UI, saya menyaksikan
bagaimana KA diperkosa habis-habisan oleh penumpang. Karena itu setelah DKA, nama
perusahaan kereta api diganti menjadi PNKA (Perusahaan Negara KA), tetapi penumpangnya
malah mau gratisan naik KA, sehingga PNKA diplesetkan menjadi Penumpang Numpang-
gratis di KA.
Dari PNKA diubah lagi namanya menjadi PJKA (Perusahaan Jawatan KA), tetapi sama saja,
malah PJKA jadinya berarti Penumpang Jalan-jalan di atas KA. Masih penasaran nama PJKA
diganti lagi menjadi Perumka, tetapi tetap saja hasilnya: Penumpang Ngerumpi di atas KA.
Baru sejak namanya berganti menjadi PT KAI (PT Kereta Api Indonesia, sejak 2011), kereta
api Indonesia betul-betul menjadi KA yang nyaman untuk ditumpangi.
Saya beberapa kali mencoba menikmati KA gaya PT KAI, dan saya pikir nama baru ini
sudah tepat yang artinya adalah Penumpang Tertib di KA Indonesia. Bahkan baru-baru ini
saya mengajak tamu saya, seorang psikolog dari Prancis, Dr Roseline Davido, untuk
menikmati KA Argo Lawu Yogyakarta-Jakarta.
Ternyata beliau sangat menikmati perjalanan itu. Beliau menikmati pemandangan alam, AC
yang sejuk terus, dan WC yang bersih dan tidak berbau (walaupun WC jongkok dan
goyangannya melebihi gempa bumi 7 skala Richter). Bahkan, beliau membeli sarapan dari
petugas restorasi yang berkeliling dari gerbong ke gerbong, dan dengan semangat
mengacungkan uang Rp5.000 (lima ribu rupiah) untuk membayar yang tentu saja
ditertawakan oleh mbak petugas restorasi.
Cepat-cepat saya sodorkan uang senilai harga yang sebenarnya, yaitu Rp35.000. Mungkin di
mata Dr Davido uang lima ribu itu sudah banyak sekali, karena dia terbiasa berpikir dalam
euro yang hanya satuan atau maksimal belasan saja.
***
Saya tidak tahu apa rahasianya Dirut PT KAI Ignasius Jonan ketika membalikkan kondisi
Perumka menjadi PT KAI dan bagaimana penggantinya, Dirut Edi Sukmoro bisa
mempertahankan perubahan itu sampai sekarang (biasanya ganti pimpinan, ganti kebijakan).
Saya belum pernah mengadakan penelitian di PT KAI, tetapi saya melihat dari luar bahwa PT
KAI menjalankan perubahan sistem dengan sangat konsisten. Ketika penertiban stasiun UI
berlangsung, dan mendapat perlawanan keras dari PKL yang didukung oleh BEM,
mahasiswa, dan dosen-dosen serta didukung oleh LSM, saya lihat petugas penertiban tidak
mundur selangkah pun. Hari ini tidak ada lagi yang mengomel dengan keadaan stasiun UI
23
yang sudah bebas dari PKL dan penumpang liar yang tidak mau membayar.
Buat saya, PT KAI adalah salah satu contoh bagaimana revolusi mental seharusnya
dipraktikkan. Manusia Indonesia bisa diatur dan bisa ditertibkan. Bukan lewat jargon-jargon
atau ayat-ayat, melainkan cukup dengan melaksanakan suatu sistem yang ditegakkan secara
konsisten dan terus-menerus yang dalam psikologi dikenal dengan Hukum Efek.
(bersambung).
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
24
Rudy
04-10-2015
Sudah sekitar tujuh bulan ini saya intens melakukan riset mengenai sosok business leader
kebanggaan Indonesia. Salah satunya adalah Rudy Soetikno, pendiri Dexa Medica. Riset itu
mencoba mengungkap sosok Rudy sebagai seorang apoteker, tokoh prajurit TNI, dan tentu
sosok seorang legendary business leader. Namun sayang, belum sepenuhnya tuntas riset dan
penulisan buku tersebut, beliau sudah dipanggil Yang Mahakuasa pada Kamis, 30 Juli 2015
lalu. Judul buku tersebut adalah Old Soldier Never Dies.
Rudy lahir dengan nama kecil Ko Khing Tik di Jalan Djuritan Kidul, Magelang, 2 Februari
1933. Dia berasal dari keluarga yang menjunjung kesederhanaan, persaudaraan, dan
pendidikan. Ibunya memiliki visi besar untuk membentuk anaknya menjadi orang besar
dengan memberinya bekal pendidikan yang baik. Itu yang membawa Rudy masuk ke sekolah
elite Hogere Burger School (HBS) dan kemudian Technische Hoogeschool, THS (sekarang
ITB), hingga lulus sebagai apoteker pada 1959.
Tak lama setelah lulus, melalui radio, negara memanggil Rudy muda untuk wajib militer
darurat (wamilda) sehingga harus masuk pendidikan tentara selama enam bulan di Cililitan,
Jakarta, kemudian menerima penugasan di Sumatera Selatan. Begitu menginjakkan kaki di
bumi Sriwijaya, ia menghadapi kenyataan pahit karena Sumatera Selatan mengalami
kelangkaan obat parah.
Komandannya di Kesdam IV Sriwijaya pun kemudian memerintahkan Rudy untuk mengatasi
masalah itu. Maka kemudian terpikir oleh Rudy untuk memanfaatkan sebuah gudang kecil di
Kesdam untuk fasilitas produksi obat. Fasilitas produksi sederhana itu rupanya sangat berjasa
bagi rakyat Sumatera Selatan, karena mampu mengatasi masalah kelangkaan obat yang
terjadi. Prestasi Rudy ini bisa dibilang fenomenal hingga pangab waktu itu, M Panggabean,
secara khusus berkunjung ke Palembang dan secara khusus memberikan penghargaan
kepadanya.
Manusia Langka
Rintisan fasilitas produksi obat di gudang kecil itu rupanya menjadi cikal-bakal berdirinya
Dexa Medica pada 1969. Sejak awal tak pernah terpikirkan oleh Rudy untuk membangun
sebuah kerajaan bisnis yang menjadi mesin uang baginya. Dexa Medica didirikan sebagai
wujud kepedulian Rudy terhadap persoalan kesehatan di masyarakat. Kepedulian inilah yang
mendorong Rudy memberanikan diri membangun pabrik obat yang lebih besar untuk
mengatasi masalah kesehatan di tanah air.
25
Bahkan sampai dengan meninggalnya, Rudy tak menganggap dirinya sebagai seorang
businessman. ”Sejak awal, saya menganggap diri saya adalah seorang profesional yang harus
mengabdikan ekspertis yang saya miliki sebagai apoteker untuk kepentingan masyarakat
banyak. Jadi begitu lulus, yang terpikir di benak saya hanyalah bekerja menerapkan ilmu
yang sudah saya pelajari di ITB untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya. Terus terang saya
trenyuh mendengar ucapannya ini.
Yang menarik, walaupun spirit mendirikan Dexa Medica adalah kepedulian terhadap
persoalan-persoalan kesehatan masyarakat, bukan berarti bahwa perusahaan tidak
berorientasi laba. Menurutnya, laba sangat diperlukan karena dengan laba tersebut
perusahaan akan tumbuh dan berkembang melalui investasi kembali laba yang dihasilkan,
sehingga kemampuan perusahaan dalam menghimpun sumber daya akan menjadi lebih besar,
dan kontribusi pada peningkatan kesehatan masyarakat juga akan semakin besar dan luas.
Makanya saya katakan, Rudy adalah manusia langka di negeri ini. Businessman dengan spirit
amat mulia seperti ini kian sulit kita temukan sekarang.
Prajurit Sejati
Rudy adalah sedikit warga Tionghoa yang sepenuh hati dan begitu bangga menjadi prajurit
TNI. Pengalaman menjadi tentara selama sekitar 15 tahun begitu membekas di hatinya. Rudy
harus memilih meninggalkan dinas ketentaraan pada tahun 1975 (pangkat terakhirnya letnan
kolonel) untuk sebuah misi mulia membesarkan Dexa Media.
Walaupun telah meninggalkan dunia ketentaraan untuk masuk dunia bisnis, naluri sebagai
prajurit sejati tak meluntur sedikit pun. ”Old soldier never dies,” ujarnya. Seorang prajurit
sejati tak pernah patah arang dan tak peduli di mana pun ditugaskan. Pengabdian di mana pun
adalah sama, untuk Merah Putih. Secara administratif memang ia pensiun, tetapi jiwanya
tetap prajurit. Prajurit sejati selalu berkarya di medan apa pun. Sejak itulah ia berjuang di
medan kesehatan masyarakat. Dunia ketentaraan telah mengajarinya rasa cinta tanah air dan
pengabdian kepada negara. Spirit prajurit sejati inilah yang menjadi kompas bagi Rudy dalam
mengoperasikan Dexa Medica selama 45 tahun terakhir.
Salah satu terjemahan nasionalisme menurut Rudy adalah kemandirian industri farmasi
nasional. Salah satu keresahannya adalah bahwa industri farmasi kita tak boleh bergantung
pada impor dari negara lain. Jadi 40 tahun lebih sebelum Jokowi mengobarkan Nawacita,
Rudy sudah menggagas dan memperjuangkannya.
Seperti diketahui, industri farmasi kita selama ini rapuh karena tergantung pada produk-
produk obat off-patent dari raksasa obat asing. Praktis tak ada perusahaan obat nasional yang
mandiri mengembangkan obat originator sendiri. Alasan itulah yang mendorong Rudy
mendirikan DLBS (Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences). Tujuannya untuk
melakukan riset dan pengembangan obat originator dengan memanfaatkan kekayaan
keanekaragaman hayati (tumbuhan, hewan, tanah) Indonesia yang begitu kaya. Contohnya
adalah Stimuno, fitofarmaka yang dikembangkan dari ekstrak meniran yang tersedia
26
melimpah di bumi pertiwi.
17 Agustus
Kalau Anda datang ke pabrik Dexa Medica di Palembang, sejak lima tahun lalu halaman
pabrik sudah direnovasi dan disulap menjadi tempat untuk upacara bendera 17 Agustus.
”Bagi saya itu adalah kebanggaan kami bisa melaksanakan upacara kemerdekaan setiap
tanggal 17 Agustus. Setiap kali memperingati Hari Kemerdekaan, saya selalu bertanya, apa
yang bisa saya kontribusikan kepada negara sampai dengan sekarang,” ujarnya.
Rudy ingin agar tradisi upacara bendera 17 Agustus terus dilestarikan di Dexa Medica agar
spirit dan nilai-nilai cinta tanah air tetap menggelora. Saya merenung, mana ada perusahaan
swasta memikirkan ini, apalagi di tengah karut-marut globalisasi yang meluluhlantakkan
semangat nasionalisme dan kebangsaan kita.
Rudy adalah prajurit sejati. Rudy adalah teladan kita semua. Semangat pengabdiannya
kepada Merah Putih tak pernah redup, bahkan ketika tubuhnya telah ringkih ditelan usia. Old
soldier never dies.
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
27
Kapan Rakyat Menjadi Raja?
05-10-2015
Seorang penulis tua membuka jendela di kamar kerjanya. Udara segar masuk bersama debu
yang menempel di layar laptop-nya yang disayang-sayang.
Dia memeriksa naskah yang belum selesai ditulisnya semalam. Sekarang malah dikoreksi
lagi. Kapan selesainya kalau begini Mbah? Nah, lihat, keningnya berkerut-kerut. Apa yang
ada di dalam kepala Simbah itu?
“Kapan rakyat menjadi raja?”
“Ya kapan-kapan saja Mbah, masih banyak waktu.”
“Hushh... Diem kau. Simbah sedang berfilsafat.”
“Filsafaaaaaat? Filsafat apaan Mbah?”
“Kapan rakyat menjadi raja? Kapan rakyat menjadi raja? Ha? Ha? Kapan? Kapan? Ini
pertanyaan filsafat politik yang meresahkan. Pernah kamu resah?’
“Ngapain resah Mbah?”
“Kamu rakyat apa bukan? Dasar otak bebal hati beku macam batu. Kamu tahu batu?”
“Tahu Mbah. Batu bata, batu karang, batu kapur, batu apung. Tapi yang enak gula batu
Mbah.”
“Gula batu nenek moyang kau? Duduk. Dengerin Simbah.” Dia duduk dengan resah.
Kelihatannya takut pada Simbah. ”Dengar. Mana kupingmu?”
“Ini Mbah…” dia menunjukkan kupingnya. Simbah menjewernya dengan gemas. “Aduh
Mbah, ampun, ampun Mbah.”
“Dengar. Di negeri ini, selembar daun kering masih lebih berharga dari rakyat. He… he…
he…. Betapa getir kehidupan negeri ini. Betapa nista penggede-penggede kita. Ini ironi
politik. Sungguh ironis.”
Dia membayangkan rakyat sungguh sengsara. Dan, kemanusiaan betapa sia-sianya. Dalam
benaknya, jutaan rakyat yang sengsara itu bertanya. Suara mereka bergulung-gulung seperti
28
bunyi lebah di gua yang dalam. “Kapan rakyat menjadi raja. Kapan rakyat menjadi raja.
Kapan rakyat menjadi raja. Kapan, kapan, kapan…Mengapa kita lupa memperjuangkannya?”
“Kapan rakyat makan enak? Kapan rakyat sehat-sehat? Kapan rakyat boleh pinjam uang di
bank? Kapan rakyat punya rumah? Kapan rakyat kebagian pekerjaan? Kapan rakyat didatangi
keadilan? Kapan rakyat berhenti jadi TKI? Kapan pemimpin berhenti menipu diri? Tatanan
hidup kita sudah rusak.” Soko guru kehidupan kita doyong, miring, bahkan ambruk. Tak
terkecuali soko guru kehidupan di bidang rohani.
Lalu kapan datangnya Ratu Adil, yang bakal mengatur lakon Rakyat Menjadi Raja? Kapan,
kapan, kapan? Mungkin ini tak akan pernah terjadi kalau para pemimpin rohani masih tetap
sibuk berjualan ayat-ayat suci demi memperkaya diri sendiri. Kapan ulama berhenti menjadi
ulama usu’, yang sibuk menghias tahta dan mahkotanya sendiri? Dengan kata lain, kapan
ulama bisa belajar dari khutbah-khutbah mereka sendiri, tentang zuhud, asketisme, dan
tentang kesederhanaan yang tak kalah mentereng dibanding kemegahan duniawi yang mereka
tahu hanya fana belaka?
***
Kapan rakyat menjadi raja. Ini pertanyaan filsafat politik. Kita telah ditipu para pemimpin.
Semua setuju kita mendirikan negara republik, dan demokrasi menjadi ruh utamanya. Tapi,
para pemimpin durjana itu diam-diam mengubah republik kita menjadi kerajaan. Kurang ajar.
Raja-raja Jawa, yang kekurangan harga diri, yang hidup dalam sindrom Mataram, berkuasa di
republik ini, merampok kedaulatanku, kedaulatan Yu Senik, Yu Parni, Yu Siti, dan Kang
Kamin, dan kawan-kawannya. Tahta kita dirampok terang-terangan di siang bolong.
Kapan rakyat menjadi raja? Kapan Satrio Piningit itu dimunculkan? Apa kerjanya para dewa
kalau momentum penting itu ditutup sepanjang abad? Apa kerjanya Mbah Semar kalau rakyat
dibiarkan lapar? Penguasa menikam kita sambil tersenyum, gaya jenderal Jawa, yang punya
dendam dengan kemiskinan masa lalunya. Semua bicara Pancasila, dengan ketuhanan yang
disembunyikan di balik ukiran Jepara di kamar kerjanya. Keadilan ditunda tunda.
Kemanusiaan dibiarkan tersia-sia. Kedaulatan kita dirampok. Kita ditipu mentah-mentah.
Lalu, kita ber-triwikrama. Kita marah besar. Terjadilah goro-goro. Apa tanda sebuah goro-
goro? “Eka bumi, dwi sawah, tri gunung, catur samodra, panca taru, sat pangonan, sapta
pandita, asta tawang, nawa dewa, dasa ratu…” Bumi gonjang-ganjing. Kaum munafik
mengintip dari dalam kegelapan, mencari siapa yang kelihatan paling reformis, untuk
dijadikan kawan. Dan dia pun jadi reformis palsu tanpa malu-malu.
Dulu mereka ikut kejam menikami rakyat. Sekarang mereka menikam pemimpin mereka
sendiri. Lalu, berteriak reformasi, reformasi, dan reformasi setiap hari. Mereka menjadi
kawan para intelektual. Mereka pun bergabung dengan para aktivis. Sering pula mereka hadir
di dalam seminar-seminar, sarasehan, dan majelis-majelis di mana nasib rakyat dibicarakan.
Nasib rakyat dibicarakan? Ini mengulang diskursus birokrasi bertahun-tahun yang lalu: yang
hanya memproduksi kata-kata.
29
Nasib tak bisa sekadar dibicarakan. Nasib harus diubah dan diubah dengan kerja, dengan
tindakan, dalam program yang jelas. Ini momentum ketika rakyat sudah bisa menjadi raja?
Ternyata bukan. Momentum itu disabot orang.
Dan, kita mencatat, reformasi hanya berhasil memindahkan kursi, dan menemukan sepotong
ungkapan yang dianggap seperti mantra pembebasan: reformasi birokrasi. Isinya pidato demi
pidato yang membikin bising. Dan, pidato hanya memproduksi kata-kata yang tak lagi punya
makna. Reformasi birokrasi kehilangan maknanya di ruang kerja menteri, di ruang rapat
departemen, dan di istana maupun di bina graha.
Tapi, birokrasi masih juga percaya pada kata-kata. Mungkin karena orang-orang di dalamnya
tak punya kompetensi lain selain berkata-kata. Tak pernah di birokrasi lahir kesadaran untuk
menghemat kata. Apalagi menghemat anggaran. Mereka tak bisa belajar dari dunia teater
seperti dilakukan Rendra dengan teater minikata. Jangan terlalu banyak kata-kata.
Tapi, birokrasi semakin memperbanyak kata, dengan mengurangi kerja. Tiap pihak
membisikkan untuk diri mereka sendiri: kurangi kerja. Perbanyak kata-kata. Dan, kata-kata
pun merajalela dalam pidato, dalam upacara, dalam rapat, bahkan juga dalam ibadah demi
ibadah yang mereka lakukan. Hidup hanyalah kata-kata.
***
Simbah sudah lelah. Punggungnya terasa pegal-pegal. Dia menggeletak sebentar di lantai
ruang kerjanya. Dalam tidurnya yang nyenyak karena kelelahan, Simbah bermimpi, orang-
orang berkumpul di halaman Istana Presiden. Mereka bertanya. Mereka menuntut. Suara
mereka bising seperti dengung ribuan lebah di gua yang dalam. Kapan rakyat menjadi raja….
Kapan rakyat menjadi raja…. Kapan rakyat menjadi raja….
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
30
Harapanku
05-10-2015
Alkisah, di sebuah desa miskin ada satu sekolah dasar. Hanya sedikit muridnya karena
kebanyakan anak-anak di desa itu membantu orangtuanya mencari nafkah.
Hari itu, satu-satunya guru yang ada di sekolah sedang memberi pelajaran menulis. Setelah
menjelaskan cara-cara menulis yang baik, sang guru memberikan pekerjaan rumah. ”Anak-
anak, pekerjaan rumahnya adalah menulis tentang cita-cita kalian. Besok, tulisan kalian akan
dibaca di depan kelas satu per satu.” Keesokan paginya, murid-murid maju ke depan kelas
dan membacakan tulisannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka bercita-cita menjadi
guru, petani, atau pegawai pemerintah.
Sang guru manggut-manggut tanda setuju. Lalu, tiba giliran seorang murid yang paling muda
usianya. Bajunya tambal sulam, tubuhnya kurus kecil, tapi suaranya sangat lantang. ”Kalau
besar, aku ingin punya rumah besar di atas bukit. Ada pohon cemara dan pohon palemnya.
Ada taman bunga dan kebun buahnya. Saya ingin jadi orang kaya...”
Mendengar suara lantang si murid kecil itu, kontan seisi kelas tertawa terpingkal-pingkal.
”Dasar pemimpi...!” Ejek murid yang lain. Teman-teman lainnya cekikikan dan mencemooh
cita-cita si murid kecil. Melihat kegaduhan itu, sang guru bukannya memuji impian besar di
murid, malah menganggap biang kerok kegaduhan itu adalah si murid kecil yang dianggap
memiliki impian yang mustahil. Tegurnya, ”Itu mimpi, bukan cita-cita! Contohlah teman-
temanmu yang lain. Buat tulisan yang baru.”
”Tidak. Ini cita-citaku,” jawabnya bersikeras. ”Kamu hidup di desa kecil. Keluargamu juga
keluarga miskin. Bagaimana kamu akan mewujudkan cita-cita seperti itu? Coba buat tulisan
yang lebih masuk akal,” kata sang guru mulai tidak sabar. ”Aku tidak mau cita-cita yang lain.
Ini cita-citaku,” si murid kecil ini ngotot. ”Jika kamu tidak memperbaiki tulisanmu itu,
nilaimu akan jelek,” sang guru mengingatkan. Namun, walau dipermalukan seperti itu, murid
tersebut tetap tidak mau mengubah sikapnya.
Tiga puluh tahun kemudian, sang guru ternyata masih tetap mengajar di sekolah dasar itu.
Suatu hari, ia mengajak murid-muridnya belajar sambil berwisata di kebun buah di atas bukit
yang sangat terkenal. Kebun buah itu berada di desa tetangga, tidak jauh dari desa tempat
mereka tinggal.
Sesampai di kebun buah yang luas dan indah itu, sang guru dan murid-muridnya berdecak
kagum. Kebun buah itu ternyata dilengkapi dengan sebuah taman bunga yang luas dan sangat
asri. Yang lebih mengagumkan, di dekatnya terdapat sebuah rumah besar bak istana yang
31
tinggi, kokoh, megah, dan sangat indah arsitekturnya.
”Orang yang membangun istana ini pastilah orang yang sangat hebat. Mengapa baru sekarang
aku tahu ada tempat seindah ini?” gumam sang guru terkagum-kagum. Tiba-tiba terdengar
jawaban. ”Bukan orang hebat yang membangun rumah ini, hanya seorang murid bandel yang
punya sebuah cita-cita besar. Mari masuk ke dalam rumah. Kita nikmati teh terbaik di negeri
ini,” ujar si pemilik rumah itu, yang datang menyambut dengan ramah.
Mendengar ucapan itu, mendadak sang guru terpana dan teringat siapa yang berdiri di
depannya. Dia adalah si murid kecil keras kepala itu dan sekarang telah menjelma menjadi
pengusaha yang sangat sukses. Matanya berkaca-kaca, merasa bersyukur sekaligus menahan
malu karena pada masa lalu dirinya melecehkan cita-cita anak itu.
The Cup of Wisdom
Sering kali terjadi, penghambat kesuksesan seseorang bukan disebabkan oleh kekurangan-
kekurangan yang dimilikinya. Tetapi, lebih karena tidak adanya cita-cita yang diyakini
dengan kuat serta diperjuangkan dengan sikap pantang menyerah.
Tidak semua orang yang berhasil sebelumnya telah memiliki segala-galanya. Justru
sebaliknya. Kisah-kisah keberhasilan yang spektakuler di dunia ini diwarnai oleh orang-orang
yang sebelumnya lahir dari keluarga sederhana atau miskin, masa kecilnya penuh
penderitaan, dipenuhi berbagai persoalan pelik sepanjang sejarah hidupnya, menemui begitu
banyak hambatan, tetapi akhirnya mereka berhasil mengalahkan semua rintangan itu dan
meraih kesuksesan puncak.
Cemoohan atau kesangsian orang lain terhadap cita-cita yang besar sebenarnya pasti selalu
kita hadapi. Tetapi orang-orang besar selalu memiliki kekayaan mental yang mengagumkan,
sehingga mereka tidak pernah berhenti hanya karena ejekan atau kesangsian orang banyak
atas cita-cita besarnya. Sebab, bagi orang yang bermental kaya, ejekan dan cemoohan adalah
cambuk dan pemacu mereka untuk berusaha lebih keras lagi.
Maka apabila ada orang yang mengejek atau mencemooh cita-cita kita, jangan pernah
berkecil hati. Hanya satu jawabannya, kuatkan tekad dan semangat! Berjuang sekuat tenaga
dan buktikan bahwa kita berhak dan mampu untuk mendapatkan yang terbaik bagi hidup kita.
Salam sukses luar biasa!
ANDRIE WONGSO
Andriewongso.com
32
Bumi, Manusia, dan Bencana Kabut Asap
Koran SINDO
7 Oktober 2015
Untuk kesekian kalinya kabut asap pekat yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan
menyelimuti wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan. Akibat dari kabut asap ini adalah
aktivitas normal warga menjadi terganggu. Namun, lebih dari itu, kabut asap ini
membahayakan kesehatan warga.
Untuk kesekian kalinya pula kabut asap terkirim ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
Kabut asap ini pun mengganggu aktivitas dan membahayakan kesehatan warga di Singapura
dan Malaysia. Tak pelak, kecaman pun datang dari pemerintah dua negara tetangga tersebut.
Kabut asap telah menjadi bencana bagi Indonesia. Dengan cakupan bencananya yang besar di
dua pulau besar, kabut asap telah menjadi bencana nasional. Ini terbukti dari
diperintahkannya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) oleh Jokowi untuk
menangani kebakaran hutan dan lahan dan mengatasi kabut asap. Jokowi memberikan
perintah kepada BNPB dan beberapa kementerian terkait pada 4 September 2015. Alih-alih
makin teratasi, beberapa hari terakhir bencana kabut asap justru makin parah terjadi.
Bumi dan Bencana
Bencana kabut asap yang sedang kita alami mengingatkan saya pada buku yang ditulis oleh
antropolog Anthony Oliver-Smith dan Susanna Hoffman yang berjudul The Angry Earth
(Bumi yang Marah). Buku yang terbit pada 1999 ini pada dasarnya menyatakan bahwa bumi
tampak marah di mata manusia saat terjadi bencana. Namun, sesungguhnya bumi tidak marah
kepada manusia. Manusialah yang memersepsikan bumi yang marah kepada manusia.
Manusia sendirilah yang membuat bumi yang marah seolah benar adanya.
Lebih dari itu, bumi yang marah sebenarnya pun dikonstruksi sendiri oleh manusia. Bencana
sejatinya terjadi bukan karena bumi yang sedang marah kepada manusia, tetapi diakibatkan
oleh kecenderungan manusia (human propensity) untuk mengambil risiko yang
menyebabkannya rentan terhadap bencana.
Pada kenyataannya manusia seringkali mengabaikan risiko bencana (disaster risk). Hanya
pada saat manusia mengambil risiko atau bahkan mengabaikan risiko inilah kemudian bumi
menjadi tampak marah bagi manusia. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai bencana
sebenarnya adalah dampak bencana, bukan bencana itu sendiri.
Sebagai contoh, gempa bumi adalah peristiwa alam yang berubah menjadi peristiwa bencana
33
saat kita mendapati dampaknya yang merusak dan menimbulkan korban. Dampak itu timbul
akibat manusia yang bukan semata mengambil risiko— misalnya dengan tinggal di kawasan
rawan gempa bumi, tapi lebih dari itu, malah memperbesar risiko dengan tidak melakukan
upaya-upaya mitigasi.
Dalam bencana gempa bumi, bukan gempa bumi per se yang melukai atau membunuh
manusia. Yang bisa melukai atau membunuh manusia sesungguhnya adalah runtuhnya
bangunan buatan manusia akibat abainya manusia terhadap risiko dari guncangan (tremor)
gempa bumi yang bisa melebihi daya tahan bangunan.
Dalam bencana kabut asap jelas sekali terlihat bahwa kita manusialah yang menyebabkannya.
Kitalah yang abai terhadap apa yang mungkin terjadi dengan dibakarnya hutan dan lahan, apa
pun motif dilakukannya pembakaran. Selagi kita tahu atau pernah mendengar pepatah ”kecil
jadi kawan, besar jadi lawan”, kitalah yang abai terhadap risiko melakukan pembakaran hutan
dan lahan di tengah musim kemarau yang panjang.
Akhirnya kita jugalah yang saat ini menuai bumi yang kita bakar. Bumi seakan sedang
membalas tindakan kita membakar apa yang dimiliki bumi. Kita tidak pernah belajar dari
pembakaran-pembakaran dan bencana-bencana kabut asap tahun-tahun sebelumnya. Alhasil,
bumi pun seakan tak jera untuk marah dan membalas kita sampai kemudian--entah kapan--
kita benar-benar menyadari risiko dari membakar hutan dan lahan secara sewenang-wenang
karena keserakahan manusiawi kita.
Bencana kabut asap yang sedang kita tuai sekarang adalah bukti gamblang bukan hanya
abainya kita terhadap risiko, melainkan lebih dari itu yaitu pongahnya kita terhadap bumi.
Seperti yang dikatakan Oliver-Smith (1999) hubungan antara manusia dan bumi pada
prinsipnya bersifat mutual. Bencana lewat dampak bencananya menandakan ada
ketidakseimbangan (imbalance) dalam mutualitas (mutuality) hubungan antara manusia dan
bumi.
Ketidakseimbangan ini terutama disebabkan oleh kegagalan manusia untuk bisa beradaptasi
secara bijak dengan bumi yang dipijaknya. Bencana kabut asap adalah akibat manusia yang
tidak mau hidup secara harmonis dengan bumi. Alih-alih merawat bumi, yang dilakukan oleh
manusia justru membakar apa yang tumbuh di atas bumi tanpa kendali.
Perlindungan Kultural
Bencana datang karena manusia mengabaikan risiko dan tak peduli untuk menjaga hubungan
yang mutual dengan bumi atau alam. Hal ini terjadi akibat, meminjam apa yang dikemukakan
oleh sosiolog Lowell Carr (1932), telah runtuhnya perlindungan kultural (the collapse of the
cultural protection) di dalam masyarakat.
Bencana kabut asap di satu sisi adalah akibat langsung dari pembakaran hutan dan lahan.
Namun, di sisi lain, pembakaran secara tak bertanggung jawab dari tahun ke tahun
34
menunjukkan bahwa baik mekanisme maupun mereka yang ambil bagian di dalam
mekanisme pencegahan pembakaran tidak efektif bekerja, apabila tidak ingin disebut gagal.
Karena bencana kabut asap telah berulang kali terjadi, mungkin saja mereka yang seharusnya
mencegah pembakaran justru ikut andil, baik secara langsung ataupun tidak langsung--
mendiamkan atau pura-pura tidak tahu.
Untuk mencegah bencana kabut asap terulang kembali pada tahun-tahun yang akan datang,
mau tak mau kita harus membangun ”tembok” perlindungan kultural yang dapat efektif
mencegah pembakaran hutan dan lahan secara semena-mena. Ada banyak aspek di dalam
perlindungan kultural yang harus dibangun atau diperkuat. Satu aspek yang penting adalah
kepemimpinan. Mencegah bencana kabut asap memerlukan kepemimpinan--lokal hingga
nasional--yang proaktif, bukan yang reaktif dalam mengupayakan pencegahan kebakaran
hutan dan lahan.
Kepemimpinan yang proaktif ini ditandai dari inisiatif-inisiatifnya yang bisa menciptakan
perubahan mental dari ”reactive mental” menjadi ”preventive mental”, terutama pada
aparatus yang bertanggung jawab dan terkait dalam pencegahan berulangnya bencana kabut
asap. Mudah-mudahan kepemimpinan seperti itu nyata adanya.
DICKY PELUPESSY
Dosen UI; Mahasiswa Doktoral di Victoria University, Australia; Mantan Wakil Ketua
Platform Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB)
35
Birokrasi Kampus Harus Direformasi
Koran SINDO
8 Oktober 2015
Beberapa waktu lalu dunia pendidikan tinggi (PT) kembali ”dikejutkan” dengan aksi
pemecatan salah satu dosen UIN Sunan Kalijaga oleh Kemenag.
Pemecatan tersebut hanya disebabkan faktor ”sepele”, kelengkapan administrasi. Ini
berkaitan dengan masalah surat-surat serta status dosen yang bersangkutan ketika
melaksanakan studi lanjut S-3 di Australia. Ribut masalah administrasi sebenarnya bukan
hanya dialami oleh Achmad Uzair Fauzan (AUF), dosen UIN yang dipecat Kemenag
tersebut.
Saya sebagai dosen bukan hendak membela yang bersangkutan, namun dalam tulisan ini saya
hendak membeberkan bagaimana ”keribetan” menjadi dosen di Indonesia. Kasus yang
menimpa AUF salah satu kasus yang mencuat ke media. Entah disengaja diangkat ke media
oleh yang bersangkutan atau karena hal lain. Ini (masalah administrasi) sebenarnya masalah
klasik.
***
Dari segi yuridis, dosen memiliki tiga fungsi utama yang disebut Tridharma Pendidikan
Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat. Di luar tiga tugas tersebut,
dosen masih memiliki kewajiban melaksanakan aktivitas penunjang Tridharma PT.
Tiga tugas tersebut sebenarnya sangat simpel. Dalam kondisi normal, semua dosen pasti
dapat memenuhi kewajiban melaksanakan tugas sebanyak (minimal) 12 SKS yang terdiri atas
empat komponen tersebut. Bila 12 SKS telah terpenuhi, dosen berhak mendapatkan
tunjangan sertifikasi. Sangat simpel.
Namun, masalah besar yang menimpa dunia perdosenan adalah pemerintah, melalui Dikti
dan Kemenag, sangat mengagungkan keberadaan dokumen administrasi sebagai bukti bahwa
seorang dosen telah melaksanakan tugas-tugasnya. Sebagai bukti telah mengajar, dosen harus
memfotokopi semua daftar hadir perkuliahan, baik daftar hadir dosen maupun mahasiswa,
serta dokumen SK mengajar dari atasan.
Untuk bukti penelitian, dosen harus menunjukkan bukti berupa SK atau surat kontrak
penelitian dengan pihak penyedia dana. Dalam hal ini, dosen yang melakukan penelitian
dengan dana mandiri akan menghadapi masalah besar karena seringkali penelitian dengan
36
biaya mandiri dianggap tidak berkualitas. Sebagai bukti pelaksanaan program pengabdian
masyarakat, dosen juga harus menunjukkan SK dan dokumen pelengkap lainnya.
Memang, segala bentuk pelaksanaan tugas harus ada bukti hitam di atas putih. Namun, ini
sangat menyesatkan ketika dokumen tersebut justru menjadi dewa penolong bagi dosen.
Maka yang terjadi adalah, dosen memiliki lima tugas pokok. Selain Tridharma PT dan
pendukungnya, dosen juga memiliki tugas pokok sebagai kolektor SK dan dokumen lain.
Alhasil, ketika dosen mengajukan kenaikan pangkat, ia harus mengumpulkan banyak
dokumen, dan seringkali tebal dokumen bisa mencapai 30 sampai 50 cm, dan semuanya
berbentuk kertas. Semua berkas dikirim ke Dikti untuk dievaluasi. Dosen yang beruntung
akan cepat mendapatkan keputusan hasil penilaian dan dosen yang kurang beruntung ada
kemungkinan dokumen-dokumen tersebut akan hilang di Dikti. Kembali, dosen yang
seharusnya telah berhak mendapatkan kenaikan tunjangan harus kehilangan hak-haknya
hanya karena Dikti terlambat mengevaluasi dokumen.
***
Tugas dosen akhirnya tidak beda dengan tenaga administrasi. Asal ada dokumen penunjang,
dosen telah layak disebut dosen profesional dan berhak mendapat tunjangan sertifikasi. Untuk
itu, menjadi dosen di Indonesia memang tergolong mudah dan simpel, yang penting mereka
memiliki surat-surat lengkap. Dikti tidak ingin berpusing ria dengan menilai kualitas dosen
dari sisi ”de facto”. Masalah seorang dosen mengajar dengan baik atau tidak, dosen kreatif
dalam pembelajaran atau tidak, termasuk aspek kedisiplinan juga, bukan urusan Dikti.
Mereka hanya memerlukan bukti hitam di atas putih.
Sama halnya ketika dosen menyusun publikasi di jurnal ilmiah, banyak dosen hanya
”numpang nama”. Sebuah artikel ditulis ”keroyokan”, namun dalam kenyataannya artikel
tersebut hanya ditulis satu atau dua orang saja, yang lain ”hanya nunut”. Dosen-dosen modal
nunut itu pun mudah mengajukan kenaikan pangkat PNS.
Sebenarnya berita horor kasus AUF juga dialami banyak dosen yang mendapatkan tugas
belajar ke luar negeri. Beberapa dosen gagal atau mengalami hambatan ketika akan berangkat
ke luar negeri karena terganjal masalah birokrasi kampus maupun birokrasi di Dikti. Ini juga
menyangkut masalah administrasi berkaitan dengan status kepegawaian dan masalah
dokumen perbeasiswaan.
Kita semua tahu ada dua kata sakti ketika mengurus dokumen di Indonesia: “lama” dan
“berbelit-belit”. Ini juga yang menjadi penghambat sebagian besar dosen yang ingin
menempuh studi. Banyak di antaranya yang harus terlambat mengikuti proses perkuliahan.
Ditambah lagi, pengurusan dokumen harus dilakukan secara manual, bukan online, kemudian
dokumen yang dibutuhkan cukup dikirim lewat e-mail atau pos. Semua dosen yang berurusan
dengan Dikti harus datang ke Jakarta meski hanya untuk mengambil selembar surat. Saya
37
tidak bisa membayangkan bagaimana dengan dosen yang tinggal di luar Pulau Jawa, berapa
banyak rupiah yang mereka keluarkan hanya demi mendapatkan selembar ”surat sakti”.
Saya membayangkan ketika dosen bisa fokus pada tugas pokoknya tanpa sibuk mengurus
masalah administrasi. Kasus AUF sebenarnya dapat diatasi dengan mudah ketika para
birokrat tidak mempersoalkan masalah administrasi sebagai pertimbangan utama. Bila perlu,
pemerintah harus mengubah aturan tertulisnya.
***
Satu hal yang harus diingat, mendapatkan beasiswa bukanlah perkara mudah. Ratusan ribu
dosen harus bersaing untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Kesempatan mendapatkan
beasiswa tidak akan datang dua kali. Untuk itu, dalam kasus ini, AUF telah mengambil
keputusan tepat: menempuh studi lanjut meski tanpa berbekal surat tugas rektor (atau
dokumen lain). Ia melaksanakan studi lanjut untuk kemajuan lembaganya, bukan untuk
kepentingan pribadi.
Ketika secara de facto seorang dosen telah ”telanjur” berada di luar negeri untuk menempuh
studi, pengurusan dokumen sebenarnya bisa dilakukan oleh staf administrasi. Dokumen bisa
diurus ”belakangan”. Bila perlu, permohonan izin belajar cukup dilakukan secara online
melalui e-mail atau perangkat lain ke dekan atau rektor, dan bukti e-mail tersebut dianggap
sah. Masalahnya, apakah birokrat UIN memiliki itikad baik atau tidak, atau mereka kemudian
tetap mengambil langkah ”kolot” dengan berpegang teguh pada aturan secara kaku dan
tunduk pada aturan Kemenag?
Secara logika, ketika dosen berhasil menempuh studi di usia muda, berarti ia akan memiliki
masa pengabdian yang lebih panjang dengan ilmu yang diperolehnya. Dosen yang berhasil
menyelesaikan pendidikan doktor di usia 30 tahun misalnya, ia dapat mengaplikasikan
ilmunya selama 30 tahun (asumsi ia pensiun di usia 60 tahun).
Lalu, bila seorang dosen dihambat ketika ingin menempuh studi dan baru selesai S-3 di usia
40 tahun, ia hanya memiliki waktu 20 tahun untuk mengaplikasikan ilmunya. Sangat
disayangkan, pemerintah membuang waktu 10 tahun.
Sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi birokrasi yang berkaitan dengan masalah tata
administrasi. Era serba-online seharusnya menjadi faktor yang memudahkan masalah ini. Era
online, tapi birokrasi masih manual hanyalah omong kosong. Pemerintah harus fokus pada
masalah substansi, bukan administrasi.
NANANG MARTONO
Dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed); Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan,
Universite de Lyon 2, Prancis
38
Manusia Terbebaskan
09-10-2015
Mengingat dalam kehidupan ini banyak dijumpai jebakan, ranjau, tipuan dan godaan yang tak
mudah dielakkan, pertanyaannya adalah: siapa orang yang merdeka dan terbebaskan itu? Who
is the liberated man?
Pertanyaan ini penting direnungkan bagi mereka yang ingin membangun kehidupan yang
otentik dan bermakna di tengah membeludaknya beraneka ragam informasi yang membuat
kita serasa dikurung dan dipaksa membuat keputusan tanpa didasari renungan dalam-dalam.
Hidup serasa kehilangan kemerdekaan dan kemandirian.
Saya sendiri pernah secara sadar membuat keputusan untuk tidak membuka Twitter,
Facebook, dan mengurangi menonton televisi serta tidak membaca surat kabar sampai waktu
tertentu karena ingin merasakan ketenangan dan keheningan, terbebaskan dari luapan
informasi tanpa seleksi. Ada kalanya media sosial tampil bagaikan agen terorisme yang
merampas ketenangan. Dengan kata lain, saya ingin terbebaskan dari hegemoni media massa
yang tidak mencerahkan.
Bagi kalangan remaja, peredaran narkoba sudah kelewat batas. Serangan bandar narkoba
sudah sangat akut, membunuh masa depan anak-anak bangsa. Begitu pun fenomena rokok.
Akibatnya kualitas angkatan kerja kita tidak kompetitif baik dari skill maupun kesehatan.
Anehnya, mereka yang mengonsumsi merasa bergabung ke dalam komunitas orang bebas,
free man, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Mereka telah terampas kemerdekaannya,
terjerembap ke dalam ranjau dan penjara kehidupan yang menyengsarakan, tak ubahnya
melakukan tindakan bunuh diri secara perlahan.
Jadi, untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan sungguh tidak mudah. Seseorang justru harus
memenangkan perjuangan agar tidak jatuh ke dalam jeratan gaya hidup yang merendahkan
dan merusak martabat kemanusiaannya. Cara pandang ini sesungguhnya sejalan dengan
ajaran agama yang merupakan kekuatan pembebasan (liberating force), bukannya beban bagi
manusia.
Karena agama yang benar datang dari Tuhan yang Mahabenar, maka jika ajaran agama
dipahami dan dijalani dengan benar pasti akan mendatangkan kemenangan hidup berupa
kebaikan dan kemuliaan. Karena agama anti-kebodohan, kemalasan dan kemiskinan,
sesungguhnya ajaran dasar agama adalah sebagai kekuatan pembebas, kekuatan moral, sosial
dan intelektual untuk membangun peradaban luhur yang terbebaskan dari kemiskinan,
kebodohan dan peperangan.
39
Dengan kalimat lain, orang yang terbebaskan adalah mereka yang tumbuh menjadi pribadi-
pribadi yang sehat lahir-batin, pribadi yang produktif dan bermakna. Pribadi yang bisa
mengaktualkan potensinya sehingga bisa memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi diri
dan orang lain.
Dalam pandangan mazhab naturalis murni, untuk menjadi pribadi yang baik dan prima
seseorang cukup mengikuti dan mengembangkan potensinya secara optimal sesuai hukum
alam. Alam tak ubahnya ibu kandung yang mengasuh dan membesarkan manusia dengan
penuh kasih. Dengarkan pesan alam. Cintai alam, alam akan mencintaimu dan
melindungimu. Bagi orang beriman, apa yang disebut hukum alam itu sesungguhnya juga
hukum Tuhan karena Tuhan yang menciptakannya.
Tidak cukup hukum alam, di sana juga ada hukum dan ajaran agama yang dibawa oleh para
rasul-Nya demi kebaikan dan keselamatan manusia. Ajaran para rasul Tuhan menyatakan
sesungguhnya manusia tidak memiliki kebebasan mutlak. Apa yang manusia miliki
hakikatnya anugerah dan pinjaman Tuhan. Oleh karena itu, manusia diminta menggunakan
anugerah hidup sesuai petunjuk Tuhan sebagai pemiliknya.
Setiap hendak melakukan sesuatu, seorang beriman mesti minta izin dan pertolongan Tuhan
mengingat sejatinya manusia tidak memiliki kekuatan dan kontrol kehidupannya secara
mutlak. Dalam Islam, semua tindakan hendaknya dimulai dengan:
Bismillahirrahmanirrahim. Ini merupakan kepasrahan bercampur doa, semoga yang
dilakukan mendapat izin, berkah dan pertolongan Tuhan sang pemilik hidup. Jadi, dengan
selalu berpegang ada tali Allah maka manusia akan terbebaskan atau terselamatkan.
Manusia yang terbebaskan tidak berarti lari menjauhi dunia, lalu bermeditasi menyembah
Tuhannya karena konsep pembebasan mengandung pesan dan agenda perjuangan hidup
untuk berkarya membangun peradaban. Jadi, mereka yang terbebaskan adalah mereka yang
berhasil menghalau berbagai ranjau dan jebakan hidup yang menghalangi dirinya untuk
tumbuh menjadi insan kamil. Manusia yang berhasil meraih kesempurnaannya sesuai dengan
potensi yang telah dianugerahkan Tuhan padanya.
Kita menjadi sedih dan kasihan ketika melihat sekian banyak pejabat tinggi negara yang
dianugerahi Tuhan untuk bisa berbuat banyak membantu dan melayani sesama hamba Tuhan
yang kurang beruntung, namun malah disia-siakan kesempatan itu. Jabatan itu malah
disalahgunakan hanya untuk mengumpulkan kekayaan haram dan memikirkan diri dan
kelompoknya. Mereka ini bukannya masuk kelompok manusia yang terbebaskan, namun
terpenjara oleh pikiran dan tindakannya yang picik.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
40
Kedaulatan Komunikasi
10-10-2015
Perbincangan soal kedaulatan komunikasi dalam konteks dinamika Indonesia menjadi fokus
perhatian para ilmuwan dan sarjana ilmu komunikasi yang menggelar Konferensi Nasional
Komunikasi (KNK) di Solo 11-13 Oktober.
Perhatian utama Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI) pada isu kedaulatan komunikasi ini
sangat relevan dengan konteks dinamis dan strategis Indonesia di tengah beragam persoalan
domestik, kawasan, dan global saat ini. Komunikasi menjadi kunci dalam merespons dan
mengurai beragam persoalan hulu hingga hilir dalam kinerja sistem politik kita. Tata kelola
bidang informasi, pengaturan media massa, problematika dunia siber kerap terhubung dengan
ragam persoalan politik, ekonomi, pertahanan, bahkan kewibawaan rezim kekuasaan.
Mengelola Informasi
Pemerintahan Jokowi-JK sudah berjalan hampir satu tahun. Salah satu kelemahan yang kerap
terasa adalah pengelolaan informasi yang kedodoran. Contohnya silang sengketa antarmenteri
di Kabinet Kerja, pernyataan yang kerap berbeda antara Joko Widodo dan Jusuf Kalla,
koordinasi dalam implementasi kebijakan, dan beragam pergerakan liar opini publik yang
tidak tertangani secara memadai. Hal ini berimplikasi pada lemahnya impresi dan resonansi
kepemimpinan Jokowi di fase awal take off Kabinet Kerja.
Kasus aktual adalah lemahnya pengelolaan informasi seputar penanganan asap dan
pembakaran hutan. Informasi yang mengalir dari Jokowi masih dominan bercita rasa
personal, belum ajek secara sistemik dan komprehensif menggerakkan sistem pengelolaan
informasi pemerintahan.
Tentu tersedia ruang bagi Jokowi-JK untuk memperbaikinya sesegara mungkin. Tak hanya
pengelolaan informasi dalam konteks urusan domestik, melainkan juga perhatian untuk
memosisikan Indonesia di tengah pola hubungan kawasan dengan bangsa-bangsa lain di
kawasan dan dunia internasional.
Salah satu yang harus menjadi perhatian utama saat kita memperbincangkan kedaulatan
komunikasi adalah persoalan pengamanan informasi bersifat privasi di dunia siber. Secara
praktik, privasi dapat dibagi ke dalam tiga tipe. Ada personal privacy yakni privasi yang
melibatkan atribut-atribut personal; informational privacy berupa informasi personal,
finansial, medis, dan internet; serta institutional privacy atau privasi yang dikehendaki
institusi dan organisasi. Tiga privasi ini berlimpah setiap hari dan seringkali tak tertangani
dengan baik.
41
Lebih riskan lagi, saat data center informasi justru berpotensi dikendalikan oleh sekelompok
orang atau lembaga di luar Indonesia. Contohnya informasi yang setiap saat lalu lintasnya
menggunakan teknologi komunikasi. Apakah seluruh provider jasa layanan telekomunikasi
benar-benar melindungi informasi privasi yang dimiliki para konsumennya?
Pun demikian dengan beragam informasi pemerintahan kita. Kedaulatan komunikasi masih
meragukan, saat kita memiliki sejumlah ketergantungan pada teknologi informasi yang dibeli
di luar negeri, terutama yang berkaitan dengan data center dan pengamanan siber. Sudah
lama dikhawatirkan ada modus backdoor atau alat sadap yang disusupkan ke dalam setiap
peralatan maupun software bila kita membeli dari negara lain. Karena itu, perlu ada upaya
serius dari pemerintah untuk membangun sistem pertahanan siber terutama untuk melindungi
kedaulatan komunikasi dari potensi eksploitasi informasi yang bersifat privasi, terutama yang
menyangkut informasi pertahanan dan keamanan negara.
Ada tantangan nyata di depan mata kita yakni soal zona perang informasi global yang bersifat
asimetris (zone of asymmetric warfare). Perang yang tak lagi berbasis gerakan militer
sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi
informasi. Misalnya di penghujung 2013, Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat
Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan
Australia.
Ironis memang, karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pastinya
memiliki banyak persinggungan kepentingan. Laporan yang dipublikasikan harian Australia,
Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10/2013) menyebutkan negara-negara di Asia
Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala
global. Tentunya dunia terperangah!
Harian ternama Inggris, The Guardian, juga melaporkan Badan Keamanan Nasional AS
(NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada 2006, termasuk Kanselir
Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. Bocornya dokumen intelijen dari
whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata
banyak pihak bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Belum lagi tantangan perang
siber.
Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake
dalam bukunya, Cyber War (2010), sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai
bagi keamanan nasional. Metode seperti ini misalnya yang dipilih oleh Wikileaks yang
membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan
informasi. Beberapa informasi yang dibocorkan Wikileaks juga pernah menohok kehormatan
SBY dan pemerintahan Indonesia. Ke depan harus ada kesiapan pemerintah dalam mengelola
komunikasi di tengah zona perang informasi global semacam ini.
Kedaulatan Media
42
Hal lain yang harus diperhatikan adalah kedaulatan komunikasi di media massa. Dalam
beberapa kesempatan penulis selalu mengingatkan fenomena sebaran informasi yang
mengalir dari global ke lokal masing-masing negara. Perang informasi juga kerap mengalir
melalui media massa.
Strategi pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti televisi, radio,
majalah, koran, maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Tak dinafikan,
praktik politik informasi melalui news framing (pengemasan pesan) kerapkali sukses
menonjolkan isu pada khalayak dan isu tersebut menjadi penting sehingga memengaruhi
persepsi personal maupun opini publik yang berkembang di masyarakat.
Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand
reality atau realitas buatan sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan
politik yang dikemas menjadi seolah-olah ”kepribadian” masing-masing media. Fenomena
inilah yang oleh C Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai
penyajian dunia ”pulasan”.
Banyak media yang ”nyaman” menjadi agen propaganda kekuatan dominan baik di
negaranya maupun di dunia. Dalam skala global misalnya, dinamika informasi kerap
dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui kantor-kantor berita besar yang menjadi
penyedia banyak informasi antarnegara. Arus informasi internasional mengalir deras dari
negara-negara maju ke negara berkembang. Dengan begitu, muncul ketergantungan media-
media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju.
Sebanyak 60% hingga 70% berita media di seantero dunia bersumber dari Associated Press
(AP), United Press International (UPI), Reuters, dan Agence France Presse (AFP). Kantor
berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik
Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147
negara. Tentu, salah satu perang informasi asimetris bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita
yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda.
Kedaulatan media sangat penting untuk menghindari watak hegemonik kekuatan-kekuatan
dominatif di dunia. Semoga isu-isu soal kedaulatan komunikasi di beragam bidang menjadi
bahasan serius para ilmuwan komunikasi di Konferensi Nasional Komunikasi ISKI 2015.
Selamat berkonferensi!
DR. GUN GUN HERYANTO
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi
(ISKI)
43
Hukum Efek II
11-10-2015
Pernah melihat anjing kelaparan yang diberi makan oleh majikannya? Dia meloncat-loncat
kegirangan sambil air liurnya bercucuran.
Ini terjadi pada setiap anjing di mana pun dan kapan pun. Tidak ada yang aneh dalam gejala
ini. Tetapi pada suatu saat di Rusia ada seorang peneliti ilmu faal, bernama Ivan Petrovich
Pavlov (1849-1936) tertarik untuk meneliti gejala yang tidak ada anehnya ini. Maka dia bawa
seekor anjing ke laboratoriumnya dan dia pasangkan suatu alat tertentu untuk mengukur air
liur si anjing.
Pertama sekali dia namakan makanan yang menimbulkan selera anjing dengan nama
unconditioned stimulus (US) alias rangsangan tanpa syarat dan air liur yang bercucuran
menyertai makanan itu disebutnya unconditioned response (UR) atau reaksi tak bersyarat,
karena kedua hal itu terjadi tanpa syarat apa pun.
Kemudian dia bunyikan bel setiap kali sebelum makanan disajikan. Awalnya anjing tidak
bereaksi apa pun ketika bel berbunyi, tetapi liur melimpah ketika makanan tersaji. Tetapi
setelah berkali-kali secara konsisten bel dibunyikan setiap kali sebelum makanan tersaji,
lama-kelamaan anjing sudah berliur duluan, padahal makanan sama sekali belum muncul.
Liur terhadap bunyi bel itu disebut oleh Pavlov sebagai conditioned response (CR) atau
reaksi bersyarat, dan bel itu sendiri disebut conditioned stimulus (CS) alias rangsang
bersyarat. Disebut bersyarat karena hanya anjing-anjing yang sudah memenuhi syarat yang
bisa bereaksi seperti itu. Syaratnya adalah anjing-anjing itu sudah melewati proses tertentu
yang oleh Pavlov dinamai proses conditioning.
Proses conditioning itulah yang terjadi pada Blacky, anjing milik Bu Sastro. Setiap kali
terdengar suara motor ojek, Blacky sudah meloncat-loncat kegirangan sambil air liurnya
tumpah ke mana-mana karena ia sudah mengantisipasi tulang yang akan dibawakan Bu
Sastro yang pulang naik ojek itu. Antisipasi itu adalah hasil belajar (conditioning) yang
terjadi pada Blacky.
Penelitian Pavlov ini kemudian menarik perhatian banyak peneliti lain, termasuk Edward Lee
Thorndike (1879-1949), seorang psikolog Amerika. Dia kemudian mengamati bagaimana
efek proses conditioning ini. Ternyata, jika sebuah CS tertentu selalu diikuti dengan US yang
positif (disebut ganjaran atau reward, misalnya makanan), maka CR makin lama makin
diperkuat. Sebaliknya kalau CS selalu diikuti oleh US yang negatif (misalnya bel diikuti
44
kejutan listrik) maka anjing itu justru akan menghindari US yang bersifat punishment itu.
Oleh Thorndike, kesimpulan ini disebutnya sebagai Hukum Efek.
Kemudian John B Watson (1878-1858), seorang murid Thorndike, mengukuhkan Hukum
Efek ini sebagai dasar dari aliran psikologinya (yang khas Amerika) yaitu
behaviorisme. Behaviorisme percaya bahwa semua perilaku, kepribadian manusia, bahkan
moral dan kebudayaan, dasarnya adalah hukum efek. Seseorang menjadi penakut, misalnya,
karena sejak kecil ia selalu ditakut-takuti, sedangkan seorang yang selalu dibanggakan oleh
orang tuanya akan menjadi orang yang percaya diri. Demikian pula bahasa, yang menurut
Watson adalah hasil conditioning sejak masa kecil.
Karena itu, menurut Watson, nilai dan moral (termasuk agama) adalah juga hasil conditioning
sejak masa kecil masing-masing. Hukum rajam, misalnya, biasa-biasa saja di Arab Saudi
sana, tetapi jangan harap terjadi di Indonesia karena memang di Indonesia tidak pernah ada
sejarah hukum rajam.
Jadi, menurut hukum efek, conditioning dulu yang terjadi, dan kebiasaan yang berkembang
akan diinternalisasikan dan akan dilanjutkan sebagai perilaku walaupun rangsang tak
berkondisinya sudah tidak ada lagi. Dalam kasus Blacky, anjing itu akan tetap saja meloncat-
loncat sambil berliur-liur walaupun majikannya tidak membawa tulang, bahkan kalau itu
bukan bunyi ojek majikannya, melainkan ojek lain yang membawa tetangga.
***
Di sisi lain, kebanyakan orang awam justru percaya bahwa norma atau moral dulu yang harus
ditanamkan kepada anak, sehingga kelak jika dewasa otomatis dia akan berperilaku normatif.
Seorang anak, misalnya diajari oleh orang tuanya bahwa anak yang baik adalah anak yang
rajin belajar dan rajin salat. Maka anak itu dipaksa belajar atau dipaksa salat. Kalau perlu
dihukum (dimarahi, dicubit, atau dikunci di kamar mandi). Makin anak menangis makin
keras hukumannya.
Si ibu mengira bahwa itulah cara terbaik untuk membina moral anak. Tetapi dari kacamata
hukum efek justru belajar atau salat itu diasosiasikan dengan hukuman, bukan ganjaran.
Akibatnya terjadi proses conditioning yang negatif. Anak makin malas belajar dan salat.
Begitu juga dalam revolusi mental. Bangsa ini memerlukan perubahan mental sehingga
semua orang lebih tertib, disiplin, tidak mengamalkan jam karet, melayani dengan sebaik-
baiknya, saling menghargai, jujur, anti-korupsi, dan sebagainya. Menurut Hukum Efek akan
sia-sia saja kalau metodenya dari mental (pelajaran budi pekerti, pelatihan Pancasila, atau
pendidikan agama) ke perilaku. Metode ini akan menghasilkan orang-orang yang normatif
(bicara baik), tetapi kelakuan tetap saja nol (tetap saja korupsi, malas bekerja, maksiat, dsb).
Revolusi mental harus dimulai dari periferi (pinggir), dengan memaksakan perilaku yang
45
benar dengan berbagai instrumen (termasuk penegakan hukum). Intinya, biasakan yang
benar, bukan membenarkan yang sudah biasa. Sukses PT KAI adalah contoh konkret sebuah
revolusi mental yang berhasil tanpa melalui proses mental itu sendiri. Cukup melalui proses
conditioning saja.
Semua kebiasaan jelek (penumpang di atap kereta api, penumpang tidak membayar, tidak
mau antre, PKL naik ke gerbong dll.) lenyap hanya dalam waktu 1-2 tahun. Semua yang
sekolah atau tidak sekolah, yang salat atau tidak salat, pokoknya berperilaku tertib dan
disiplin sesuai aturan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
46
Derita Tanpa Luka
Koran SINDO
12 Oktober 2015
Sepakat! Tragedi bocah tewas dan dicampakkan di dalam kardus di sebuah gang di Jakarta itu
sangat memilukan hati. Sedih bercampur marah menggumpal satu.
Namun, ketika masyarakat luas menaruh perhatian mendalam ke kasus anak di Kalideres itu,
mengapa banyak orang pada saat yang sama terkesan abai terhadap penderitaan anak-anak di
Riau, Jambi, dan Kalimantan yang tengah pelan-pelan menyongsong ajal? Ini masalah asap,
Tuan dan Puan sekalian! Lapar kau bisa tahan. Mengantuk bisa pula kau lawan. Tapi ketika
paru-paru sudah tak mampu lagi mencari udara bersih, jangan harap hidup kalian akan
panjang!
Dan baca baik-baik, simak lamat-lamat: aku pampangkan kepada Tuan dan Puan nama
Gibran Doktora Desyra dan sekian banyak anak-anak lainnya yang seakan kalian biarkan
mati menghirup gas beracun di dalam kurungan. Gibran dan lainnya memang tidak berdarah-
darah. Tak ada luka badan yang menganga terlihat oleh mata. Tak juga tampak lebam dan
patah-patah tulang. Tapi mereka, yang ribuan bahkan jutaan jumlahnya, juga menderita.
Mereka tersiksa.
Orang tua anak-anak malang itu pun bisa berbuat apa? Meladang, khawatir nyawa hilang.
Menjala di laut, maut menyambut. Menakik getah, napas bukan main payah. Meminta-minta
pun tak berguna, karena tidak ada orang kaya sekalipun yang sanggup menyedekahkan udara.
Paling-paling bapak-emak hanya mampu mengungsikan anak-anak ke keluarga di lain pulau.
Tengok, akibat asap, anggota keluarga tak pelak hidup berserak. Tak dapat akal; jerebu yang
melanda Indonesia saban tahun, dan situasi tahun ini adalah yang terburuk, harus diakui telah
menjadi bencana lingkungan berskala nasional.
***
Gibran dan lainnya yang juga teracuni jerebu berada di titik simpul dari dua unsur dalam
bencana lingkungan di Indonesia. Pertama, mereka masih berusia kanak-kanak. Kedua, akibat
jerebu, anak-anak itu kini mengidap penyakit yang mengancam nyawa.
Dengan kondisi ”sesempurna” itu Gibran dan teman-teman sebayanya adalah korban
kegagalan Tuan dan Puan dalam melindungi salah satu kelompok yang paling rentan menjadi
korban dalam situasi bencana, sebagaimana isi Sendai Framework for Disaster Risk
Reduction 2015-2030.