2. Paradigma Pemikiran Salafi
Kecenderungan sikap umat Islam pada umumnya ketika
melihat mulai merosotnya komitmen penguasa muslim
(rezim Umayyah) adalah diam, bisa karena ketidak
berdayaan, dan bisa karena menghindari pertikaian yang
menjurus pada peperangan. Bahkan kemudian
kebanyakan umat berusaha untuk lebih akomodatif
terhadap pola yang dikembangkan penguasa rezim
tersebut.
Merekalah yang kemudian dikenal sebagai mayoritas
Ahlussunnah yang moderat dan akomodatif terhadap
kecenderungan pemikiran manusia yang berubah dan
berkembang.
3. Melihat kecenderungan pemikiran mayoritas sunni yang
pluralistik dalam fiqih, akomodatif terhadap tradisi
(budaya) setempat, dan terhadap segala model pemikiran
yang berasal dari manapun terutama dari filsafat
hellenistik, yang ini sebenarnya menandakan sebuah
dinamika umat menghadapi perubahan karena
persinggungannya dengan peradaban yang lebih mapan,
maka ada diantara sebagian kaum sunni (salaf) berusaha
melakukan self-kritik berdasar paradigma ortodoksinya
untuk melakukan pemurnian ajaran dengan berusaha
menolak segala bentuk praktek keagamaan yang dianggap
menyimpang (bid’ah) dari praktek keagamaan yang
dicontohkan Rasulullah saw.
4. Membangun Doktrin Eksklusif
Kalau Khawarij merupakan cerminan dari sikap politik
yang berbasis tradisi baduwi, maka salafi yang kemudian
dilanjutkan oleh Wahabi merupakan cerminan dari sikap
puritanisme yang berbasis pula pada tradisi baduwi. Ia
memisahkan diri dari mayoritas umat yang sunni berdasar
keprihatinan melihat maraknya penyimpangan praktek
keagamaan (ritual) umat.
Untuk ukuran zaman itu dan dalam konteks tradisi arab
dan kewilayahan barangkali memang dibutuhkan dan
merupakan sikap awal yang efektif dlm mempertahankan
kemurnian ajaran yang kemudian dijadikan ruh (spirit)
pejuangan melawan ancaman dari luar.
5. Dengan spirit paham kemurnian ajaran, mereka
membangun doktrin yang relatif eksklusif dibanding
dengan doktrin yang dikembangkan kaum mayoritas
sunni yang dipandegani oleh pemikiran Al- Asy’ari
dibidang teologi, dan pemikiran Imam Syafi’i dan
madzhab sunni yang lain dibidang fiqih, serta pemikiran
Imam Ghozali di bidang tasawuf.
Dengan berbasis pemikiran Imam Ahmad bin hambal
yang tekstual dan menolak metode ta’wil, dalam arti apa
yang telah ditetapkan Al-qur’an dan dijelaskan oleh al-
hadits harus diterima dan tak boleh ditolak, adalah
merupakan dasar doktrinnya, sedang akal tidak lebih
berfungsi sebagai saksi dan pembenar saja.
6. Sang Tokoh Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Minhaj as-sunnah
dengan tegas menolak metode rasional Mu’tazilah yang
menetapkan adanya harmoni (kesesuaian) naql
(transferensi) dengan ‘aql (nalar). Apabila terjadi
kontroversi antara keduanya, maka yang digunakan
adalah nalar dengan melakukan interpretasi alegoris
(ta’wil) terhadap naql (transferensi). Ibnu Taimiyyah
menawarkan metode alternatif, yaitu harmonitas rasional
yang jelas dengan periwayatan yang valid. Maka, jika
terjadi kontraversi diantara nalar dan naql, ia
menyerahkan (penyelesaian) pada naql karena yang
mengetahuinya hanyalah Allah semata.
7. Epistemologi Ibnu Taimiyyah tidak mengizinkan
terlalu banyak intelektualisasi, termasuk menolak
interpretasi (ta’wil), sebab baginya dasar ilmu
pengetahuan manusia terutama ialah fitrahnya.
Dengan fitrah-nya itu manusia mengetahui tentang
baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.
Fitrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang
menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati
kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama
yang disebut sebagai fitrah yang diturunkan, maka
metodologi kaum kalam baginya adalah sesat.
8. Tiga Pokok Ajaran Salaf
1. Keesaan dzat dan sifat Allah, Salaf menegaskan
bahwa sifat-sifat, nama-nama, perbuatan dan keadaan
Allah adalah seperti yang tersebut dalam Al-qur’an
dan hadis dmaknai sebagaimana arti lahiriyahnya
(tapi menghindari penafsiran secara indrawi) dengan
batasan, keadaan-Nya berbeda dengan makhluk-Nya
(mukhalafatu lil khawaditsi ), karena Tuhan itu suci
dari sesuatu yang ada pada makhluknya. Dengan arti
lain, bahwa pemahaman yang digunakan ialah
diantara “ta’thil” (peniadaan sifat) sama sekali dan
“tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan makhluknya).
9. 2. Keesaan penciptaan oleh Allah, bermakna bahwa segala
sesuatu yang diciptakan allah itu merupakan karya Allah
mutlak, tanpa sekutu dalam penciptaannya, tiada yang
merecoki kekuasaannya, segala sesuatu datang dari pada-
Nya, dan segala sesuatu kembali kepada-Nya. Dari kajian
ini, maka timbul persoalan baru apakah perbuatan
manusia itu “jabbar” (determinasi) yang merupakan
produk naql dan menolak atas praksis akal, atau “ikhtiari”
(liberasi) yang merupakan produk akal dan interpretasi
alegotis-metaforis terhadap naql (wahyu). Mereka
mengambil sikap dan pemahaman antara paham
mu’tazilah dan asy’ariyah .
10. 3. Keesaan ibadah kepada Allah, dimaksudkan adalah
bahwa ibadah tidak dihadapkan serta dilaksanakan
kecuali kepada Allah, dengan secara ketat mengikuti
ketentuan syara’ dan tidak didorong oleh tujuan lain,
kecuali untuk dan sebagai sikap taat serta pernyataan
syukur kepada-Nya. Kajian ibadah tidak dimasudkan
untuk melihat sah-batalnya dan tidak pula dalam
tinjauan rukun dan syaratnya, tetapi yang
dikehendaki adalah ada tidaknya jiwa tauhid didalam
ibadah (ritual) itu.
11. Konsekwensi dimasukkan ibadah dalam
kajian teologi kaum salaf melahirkan
tindakan praksis yaitu: pelaragan
mengangkat manusia (hidup atau mati)
sebagai perantara (wasilah) kepada Tuhan,
larangan memberi nazar kepada kuburan
atau penghuninya atau penjaganya, dan
larangan ziarah kubur orang saleh dan para
nabi.
12. Ajaran Puritan Wahabiyah
Kaum wahabi atau mereka lebih suka disebut kaum
muwahhidin adalah penerus paham salaf versi
madzhab Ahmad bin Hambal, yang sebelumnya telah
dipopulerkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Dasar keprihatinan yang mendorong lahirnya aliran ini
kalau dilihat dari pokok ajaranya adalah upaya pemurnian
kembali ajaran Islam sebagaimana mestinya yang
diajarkan Rasulullah dengan jargon menegakkan sunnah
dan memberantas bid’ah dan khurafat yang menimpa
kaum muslimin yang diindikasikan sebagai sebab
terjadinya kemunduran umat Islam.
13. Prinsip doktrinnya meliputi :
1. Penyembahan kepada selain Allah adalah salah, dan
bagi pelakunya wajib dibunuh.
2. Pencarian pengampunan Tuhan dengan
mengunjungi makam orang saleh adalah musyrik.
3. Penyebutan kata penghormatan dalam salat
terhadap nama nabi (misal kata: sayyidina) adalah
musyrik.
4. Mempelajari dan mengajarkan suatu ilmu yang
tidak bersumber pada al-qur’an dan sunnah atau
hanya bersumber akal semata adalah kufur .
14. 5. Menafsiri al-qur’an melalui cara pena’wilan adalah
kufur karena mengingkari kadar dalam semua
perbuatan.
6. Dilarang memakai buah tasybih dalam berdzikir
dan berdoa (wiridan), cukup menghitung dengan
menggunakan keratan jari saja.
7. Sumber syari’at dalam soal halal dan haram hanya
al-qur’an dan as-sunnah. Perkataan mutakallimin dan
fuqaha’ tidak menjadi pegangan.
8. Pintu ijtihad terbuka bagi siapapun asal memenuhi
syarat sebagai mujtahid.
15. Sedang tradisi umat yang masuk lingkup bid’ah
antara lain:
1.Berkumpul dalam merayakan maulid Nabi,
berdzikir (wiridan) bersama, berdoa melalui tawassul,
dan buku yang mengajarkan tawasulat harus
dirampas dan dibakar karena dianggap sumber
kesesatan.
2. Kehidupan serta kebiasaan sehari-hari yang tidak
terdapat dimasa Nabi adalah bid’ah dan harus
diberantas sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Seperti merokok, minum kopi dan sebagainya.
16. Kritik Atas Paham Wahabi
Mengingat dasar keprihatinan doktrinnya yang
purifikatif itu, maka nilai positif yang diperoleh umat
Islam hanya sebatas normatif dan biasanya tidak
tahan menghadapi perubahan karena pahamnya yang
kurang akomodatif dan cenderung eksklusif.
Disamping itu karena doktrin wahabi ini
mengedepankan kemurnian ajaran, maka dalam
kiprah dakwahnya mengakibatkan munculnya potensi
konflik internal umat, yang menurut istilah Kang
Jalaluddin Rakhmat akibat dari selalu mendahulukan
fiqih daripada akhlak.