2. 2
Bab. 1.
Pendahuluan
Forum kerjasama ekonomi APEC adalah forum kerjasama yang bersifat
terbuka, informal, tidak mengikat dan tetap berada di dalam koridor disiplin
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan berbagai
perjanjian internasional. Keanggotaan APEC meliputi 21 ekonomi. Disebut
Ekonomi, karena Hongkong, sebagai salah satu anggotanya bukan merupakan
sebuah negara, melainkan bagian dari China. Anggota APEC ini terdiri dari
Amerika Serikat, Kanada, Australia, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Republik
Rakyat China, Malaysia, Papua, Brunei, Singapura, Filipina, Taiwan, Thailand,
Vietnam, Rusia, dan Cili dan Peru. Semestinya APEC sudah siap menelorkan
hasil-hasil kongkrit dalam mewujudkan liberalisasi dan fasilitasi perdagangan
dan investasi. Namun dalam kenyataannya APEC masih menjadi macan kertas.
APEC masih lebih banyak menghasilkan pernyataan-pernyataan retorika, serta
konsep-konsep kerjasama liberalisasi yang di lapangan belum sepenuhnya
secara kongkrit dilaksanakan.
Kerjasama ekonomi negara-negara Asia Pasifik (APEC) ini sudah cukup
lama dicanangkan. Sebagaimana diketahui, Pada 1993, untuk pertama
kalinya para pemimpin APEC bertemu secara formal di Blake Island,
Amerika Serikat (AS) dan berhasil membuahkan visi APEC, yakni
“menciptakan stabilitas keamanan dan kemakmuran bagi warga kita (negara
anggota)”. Setahun berikutnya, tepatnya pada 1994, para pemimpin negara
APEC kembali berkumpul. Kali ini di kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Pertemuan penting dan bersejarah ini ternyata berhasil menetapkan tujuan
3. 3
APEC (Bogor Goals). Namun setelah sekian lama dicanangkan, perjalanan
implementasi kerjasama APEC, malah terkesan kian menjauh dari tujuan
awalnya, sehingga kedepan prospek kerjasamanya patut dipertanyakan.
Kronologis
Tujuan pada dasarnya merupakan deskripsi yang lebih jelas dari sebuah
visi yang masih merupakan pernyataan ideal dari sebuah harapan yang
didambakan dan ingin diwujudkan. Begitu sangat idealnya sebuah visi dan
tingginya harapan yang diembannya, hingga terkadang sebuah visi terkesan
seperti impian di awang-awang. Tujuan lebih kongkrit, lebih membumi, lebih
jelas arahnya dan lebih dapat diukur. Tujuan APEC, atau yang lebih dikenal
sebagai Bogor Goals itu, pada intinya menyatakan APEC akan mewujudkan
“perdagangan dan aliran investasi yang bebas dan terbuka di Asia Pasifik
pada 2010 (untuk anggota APEC yang tergolong negara maju) dan pada 2020
untuk anggota APEC yang masih tergolong negara berkembang” Pernyataan
Bogor Goal ini sangat jelas sehingga langkah berikut yang harus dilakukan
adalah menyusun rencana strategis (Strategic Plan) dan rencana aksi (Plan of
Action/POA) yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut serta
mengimplementasikannya dengan serius, konsisten dan konsekuen.
Namun implementasi kerjasama APEC dalam rangka mewujudkan Bogor
Goal itu nyatanya berjalan sangat lamban. Banyak pihak mengharapkan
APEC segera melaksanakan kerjasama yang lebih kongkrit, dan lebih serius,
ketimbang sekedar membuat pertemuan (konferensi), mengeluarkan
deklarasi dan rencana aksi yang implementasinya lamban dan tersendat-
sendat. Perkembangan pembahasan liberalisasi perdagangan dan
investasi dalam forum-forum APEC, bila diikuti kronologinya dari tahun ke
tahun, memang terasa semakin memudar bahkan tidak terarah dan
4. 4
membuat stake holder (pihak-pihak yang merasa peduli dan berkepentingan
pada implementasi kerjasama APEC secara kongkrit), menjadi frustasi.
Kecenderungan yang nyaris memudar seperti kehilangan arah itu tampak
jelas bila kita mempelajari kronologis pertemuan APEC dan hasil-hasil yang
dicapainya.
Tahun 1989, forum APEC secara informal mulai diadakan di Canberra,
Australia, yang dihadiri oleh pejabat setingkat menteri mewakili 12 negara di
Asia Pasifik, yakni Thailand, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, Jepang, Korea Selatan (Korsel), Kanada, Australia,
Selandia Baru dan Amerika Serikat (AS). Pertemuan informal ini terus
berlangsung hingga tahun 1992 yang menghasilkan kesepakatan
diselanggarakannya pertemuan formal para kepala negara APEC pada 1993.
Anggota forum APEC ini juga bertambah dengan masuknya China,
Hongkong dan Taiwan pada 1991.
Tahun 1993, pertemuan puncak APEC secara formal untuk pertama
kalinya diselenggarakan di Blake Island, AS, dan berhasil menelorkan visi
APEC yakni “menciptakan stabilitas, keamanan dan kemakmuran bagi
warga kita (negara anggota APEC)” Pada tahun itu juga anggota APEC
bertambah dengan bergabungnya Meksiko dan Papua Nuigini.
Tahun 1994, diadakan pertemuan tingkat tinggi APEC di Bogor,
Indonesia, yang berhasil mendeklarasikan tujuan APEC yang dikenal sebagai
Bogor goals, yang pada intinya menyatakan “APEC akan mewujudkan
“perdagangan dan aliran investasi yang bebas dan terbuka di Asia Pasifik
pada 2010 untuk anggota APEC yang tergolong negara maju dan pada 2020
untuk anggota APEC yang masih tergolong negara berkembang” Pada tahun
yang sama Cile masuk menjadi anggota baru APEC.
5. 5
Tahun 1995, diadakan pertemuan APEC di Osaka, Jepang, yang
menghasilkan Agenda Aksi Osaka (Osaka Action Agenda). Agenda ini
melengkapi Bogors Goals dengan kerangka liberalisasi perdagangan dan
investasi yang didalamnya termasuk pemberian kemudahan berbisnis dan
aktivitas sektoral. Kerangka ini dilengkapi dengan pembentukan forum
dialog tentang kebijakan dan kerjasama teknis dan ekonomi yang diperlukan
dalam rangka mewujudkan Bogor Goals.
Tahun 1997, pertemuan APEC diadakan di Vancouver, Kanada,
menghasilkan kesepakatan sektor-sektor yang bisa diliberalisasikan secara
dini (early voluntary sectoral liberation/EVSL), terutama yang menyangkut
15 sektor usaha (produk makanan, mainan anak-anak, kehutanan, perikanan,
oil seeds, produk kimia, pupuk, karet dan produk karet, barang perhiasan,
otomotif, peralatan medis, jasa dan produk yang berkaitan dengan
pelestarian lingkungan hidup, jasa dan produk terkait dengan energi,
telekomunikasi, dan penerbangan sipil. Selain itu juga disepakati bahwa
setiap tahunnya, setiap negara anggota akan memperbaharui sektor-sektor
yang bisa dibebaskan secara dini.
Tahun 1998, diadakan pertemuan APEC di Kuala Lumpur, Malaysia
menghasilkan kesepakatan sembilan sektor pertama dari 15 sektor yang
diliberalisasikan secara dini. Dengan demikian, produk 9 sektor tersebut
diharapkan dapat diperdagangkan secara bebas dengan hambatan tarif dan
non tarif yang lebih rendah dari sebelumnya. Hal ini juga diberlakukan bagi
negara non APEC sepanjang merupakan anggota Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization/WTO) tanpa kewajiban bagi negara
tersebut untuk melakukan asas resiprokal (memberikan balasan/kompensasi
yang setimpal). Pada tahun itu juga, tiga anggota baru bergabung, yakni
6. 6
Peru, Rusia dan Vietnam. Dengan demikian, jumlah negara anggota APEC
menjadi 21 negara.
Tahun 1999, pertemuan para petinggi APEC di Auckland, Selandia Baru
mendeklarasikan kesediaan APEC menjalankan perdagangan tanpa kertas
(paperless trading) yang berlaku pada 2005 untuk negara maju dan 2010
untuk negara berkembang anggota APEC. Selain menyepakati penggunaan
peralatan elektroknik untuk memperlancar transaksi bisnis, juga disepakati
pengintegrasian peran wanita di dalam berbagai kegiatan APEC.
Tahun 2000, pertemuan APEC yang diselenggarakan di Bandar Sri
Begawan, Brunei, menghasilkan kesepakatan untuk mengembangkan sistem
elektronik dalam transaksi perdagangan, serta kesepakatan untuk membuat
Rencana Aksi Individu (Individual Action Plan/IAP). Pada pertemuan ini
juga negara APEC sepakat untuk bersiap menghadapi perkembangan
ekonomi bisnis baru (bisnis via internet). Pada masa itu pengelolaan situs
internet komersial (dotcom) memang sedang marak-maraknya bermunculan
di manca negara, sehingga perhatian pemimpin APEC turut tersedot ke arah
ini. Melalui pengembangan kerjasama e-commerce ini diharapkan pada 2005
APEC mengalami peningkatan dalam akses internet sebanyak tiga kali lipat
dibanding tahun 2000. Namun kenyataannya kini kita ketahui e-commerce
dan perusahaan pengelola situs komersial di internet (perusahaan dotcom)
banyak yang merugi, bahkan bangkrut, saham-sahamnya berguguran,
sehingga dotcom tidak lagi menjadi bisnis yang menarik dan prospektif
dalam blantika bisnis internasional.
Tahun 2001 pertemuan APEC di Shanghai, China, berupaya
mengembalikan perhatian petinggi APEC ke arah pencapaian visi dan tujuan
semula dari APEC. Maka, lahirlah kesepakatan Shanghai (Shanghai Accord)
7. 7
yang intinya mencakup perluasan visi APEC, dan memperjelas peta jalan
(road map) menuju Bogor Goals guna memperkuat mekanisme pelaksanaan
di lapangan dalam rangka pencapaian tujuan awal APEC ini, yakni
meliberalisasikan aliran perdagangan dan investasi. Selain itu juga
disepakati penggunaan sistem elektronik untuk memperkuat struktur pasar
dan kelembagaan di APEC, serta menunjang kelancaran transaksi online.
Pada pertemuan ini pembahasan masalah terorisme mulai mencuat
kepermukaan dan dihasilkan kesepakatan tentang cara APEC menghadapi
terorisme.
Tahun 2002. pertemuan APEC di Los Cabos, Meksiko, menyepakati
Rencana Aksi untuk Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation Action
Plan/TFAP), kebijakan perdagangan dan ekonomi digital, serta pernyataan
kedua menyangkut cara APEC menghadapi terorisme, bersamaan dengan
implementasi konsep Perdagangan yang Aman di Kawasan APEC (Secure
Trade in APEC Region/STAR).
Tahun 2003 pertemuan APEC diselenggarakan di Bangkok, Thailand dan
berhasil membuahkan kesepakatan menyangkut pemberdayaan Agenda
Pembangunan Doha (hasil sidang WTO di Doha), yang memberikan akses
yang lebih besar bagi negara berkembang di dalam perdagangan
internasional. Tujuannya untuk mengurangi kemiskinan di negara
berkembang lewat upaya peningkatan perdagangan internasional yang fair.
Selain itu diangkat kembali hasrat untuk mencapai Bogor Goals, dan sistem
perdagangan multilateral yang sesuai dengan kaidah WTO. Selain itu,
kontraterorisme diakui sebagai kelengkapan dari upaya APEC mencapai
Bogor Goals.
8. 8
Namun sayangnya secara umum bisa dikatakan deklarasi APEC
akhirnya hanya menghasilkan kenihilan belaka, sehingga mendorong para
tokoh bisnis APEC yang tergabung dalam sebuah organisasi yang dikenal
sebagai APEC Business Advisory Council (ABAC), meminta para pemimpin
APEC untuk segera membentuk kawasan perdagangan bebas Asia Pasifik
(Asia Pacific Free Trade Area/APFTA).
9. 9
Bab.2.
Lingkup Kerjasama APEC
APEC memiliki visi tersendiri. Pada KTT APEC yang diselenggarakan
pada tahun 1993 di Seattle, AS, visi APEC ditetapkan sebagai berikut:
“mewujudkan komunitas ekonomi Asia Pasifik yang didasarkan atas semangat
keterbukaan dan kemitraan, serta upaya kerjasama untuk menghadapi
tantangan perubahan, pertukaran barang, jasa dan investasi secara bebas,
pertumbuhan ekonomi yang luas, serta standar kehidupan dan pendidikan yang
lebih tinggi, serta pertumbuhan yang berkesinambungan memperhatikan aspek-
aspek lingkungan“.
Untuk mewujudkan visi kerjasama ekonomi ini, maka pada KTT APEC
1994 yang diselenggarakan di Bogor, Indonesia, ditentukanlah tujuan dari APEC,
yakni :
1. Menciptakan sistem perdagangan dan investasi yang bebas, terbuka dan
adil di kawasan Asia Pasifik pada 2010 untuk ekonomi maju, dan 2020
untuk ekonomi berkembang.
2. Memimpin dan memperkuat sistem perdagangan multilateral yang
terbuka, meningkatkan liberalisasi perdagangan dan jasa, serta
mengintensifkan pembentukan kerjasama ekonomi di kawasan Asia
Pasifik.
3. Mempercepat proses liberalisasi melalui penurunan hambatan
perdagangan dan investasi yang lebih jauh, meningkatkan arus barang,
jasa dan modal secara bebas dan konsisten dengan WTO.
10. 10
Upaya mewujudkan Bogor Goals dilaksanakan dengan menyepakati
pedoman kerjasama APEC yang dikenal sebagai “Agenda Aksi Osaka” yang
memuat tiga pilar kerjasama ekonomi APEC, prinsip umum kerjasama,
instrumen pokok kerjasama dan bidang-bidang kerjasama APEC. Adapun tiga
pilar kerjasama APEC ini meliputi :
1. Liberalisasi
2. Fasilitasi perdagangan
3. Pengembangan kerjasama ekonomi dan teknik (Ecotech)
Sedang prinsip umum kerjasama APEC mencakup prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1. Bersifat menyeluruh (comprehensiveness).
Kerjasama dalam APEC mencakup upaya menghapus semua hambatan di
dalam sistem perdagangan dan arus investasi, secara menyeluruh agar
menjadi bebas dan terbuka.
2. Konsiten terhadap ketentuan WTO (WTO-consistency).
Upaya melakukan liberalisasi dan fasilitasi harus dilaksanakan secara
konsisten dengan ketentuan GATT/WTO, sehingga tidak terjadi benturan
antar liberalisasi APEC dengan ketentuan GATT/WTO.
3. Kesebandingan (comparability).
Dalam kerjasama APEC harus diupayakan terwujudnya kesebandingan
langkah liberalisasi dan fasilitasi yang ditempuh para anggota APEC.
11. 11
4. Tidak memihak (non-discrimination).
Berdasarkan prinsip ini, setiap anggota berhak memperoleh perlakukan
yang sama. Hasil liberalisasi dan fasilitasi harus dapat dimanfaatkan oleh
semua anggota tanpa pengecualian.
5. Transparan (transparency).
Setiap anggota harus bersikap terbuka dengan memberikan informasi
seluasnya kepada sesama anggota lainnya (bila diperlukan) menyangkut
peraturan dan kebijakan yang berlaku dinegaranya. Prinsip ini
dimaksudkan agar peraturan dan kebijakan perdagangan dan investasi di
kalangan anggota APEC menjadi transparan sehingga terwujud kepastian
berusaha di kawasan Asia pasifik.
6. Standstill.
Prinsip ini menekankan anggota untuk menahan diri untuk tidak
menambah peraturan dan kebijakan pemerintah yang dapat menambah
tinggi tingkat proteksi di negara yang bersangkutan.
7. Simultaneous start, continous process and differentiated time table.
Proses liberalisasi harus dilaksanakan segera dan secara simultan diantara
anggota APEC, serta terus berlangsung secara berkesinambungan, dengan
memperhatikan tingkat kemajuan ekonomi/pembangunan dari masing-
masing anggota.
8. Fleksibel (flexibility).
12. 12
Dalam menerapkan kerjasama, fleksibilitas dimungkinkan untuk
mengatasi isu yang mungkin muncul akibat perbedaan tingkat kemajuan
ekonomi/pembangunan masing-masing anggota.
9. Kerjasama (cooperation).
Prinsip ini menegaskan implementasi kerjasama ekonomi dan teknik yang
mendukung liberalisasi dan fasilitasi dalam APEC akan ditempuh secara
aktif.
Dalam mewujudkan kerjasama diantara sesama anggota APEC jelas
diperlukan adanya instrumen kerjasama. Adapun instrumen kerjasama APEC
ini meliputi:
1) Rencana aksi kolektif (Collective Action Plans/CAPs). CAPs bersifat
kolektif, dapat direview, dilaksanakan, terus dikembangkan dengan
cakupan meliputi 15 bidang kerjasama Agenda Aksi Osaka (OAA).
2) Rencana aksi individu (Individual Action Plans/IAPs). IAPs memuat
rencana aksi spesifik dari 15 bidang kerjasama OAA yang bersifat
unilateral, sukarela (voluntary) dan dibuat setiap tahun.
Adapun bidang-bidang kerjasama spesifik yang dilaksanakan dalam APEC
meliputi : kebijaksanaan tariff, non tariff, perdagangan jasa, investasi, standard
dan kesesuaian, prosedur kepabeanan, hak kekayaan intelektual, kebijaksanaan
persaingan, deregulasi, pengadaan pemerintah, mediasi sengketa, mobilitas
pelaku usaha, ketentuan asal barang, pelaksanaan putaran Uruguay, serta
pengumpulan dan analisis informasi.
13. 13
Berdasarkan Agenda Osaka, hal-hal yang akan dilakukan untuk
melaksanakan liberalisasi dan fasilitasi meliputi aspek dan langkah terkait
berikut ini :
1) Kebijakasanaan tariff : melakukan penurunan tarif secara progresif dan
menjaga transparansi sistem tarif dalam ekonomi APEC
2) Kebijaksanaan non tariff : mengurangi hambatan kebijaksanaan non tariff
secara progresif dengan tetap menjaga transparansi sistem non tariff ini.
3) Perdagangan jasa : melakukan pengurangan atas hambatan akses pasar
bagi perdagangan jasa secara progresif.
4) Investasi : mewujudkan penanaman modal bebas hambatan dan terbuka
dengan cara meliberalisasi regim penanaman modal dan pemberian
kemudahan berinvestasi serta pemberian bantuan dan kerjasama teknis.
5) Standar dan kesesuaian. Hal ini mencakup dua hal yakni :
a) Menetapkan transparansi penilaian standar dan kesesuaian APEC,
menyesuaikan standar secara sukarela (voluntary) dan penyesuaian
terhadap standar internasional.
b) Menuju kesaling-pengakuan standard dan kesesuaian APEC,
peningkatan kerjasama dan pengembangan infrastruktur melalui
pengembangan kerjasama teknik.
6) Prosedur kepabeanan ; melakukan penyederhanaan dan harmonisasi
prosedur kepabeanan
7) Hak kekayaan intelektual (HKI) : melindungi HKI secara efektif melalui
perundang-undangan, pengadministrasian dan pelaksanaan.
14. 14
8) Kebijaksanaan persaingan : menghilangkan distorsi perdagangan dan
penanaman modal yang ditimbulkan oleh pengaturan atau regulasi,
mencapai transparansi dalam sistem pengaturan perdagangan dan
investasi.
9) Kebijaksanaan deregulasi : menghilangkan hambatan perdagangan dan
investasi yang diakibatan oleh peraturan dan perundang-undangan
domestik, yang menghambat kelancaran arus perdagangan dan investasi
yang mestinya bebas dan terbuka.
10) Ketentuan asal barang : menyesuaikan dengan aturan internasional,
melaksanakan ketentuan asal barang secara impartial dan transparan.
11) Mediasi perselisihan (senketa dagang): Upaya melakukan mediasi
perselisihan diantara anggota APEC mencakup langkah-langkah berikut :
a) Mendorong para anggota menyelesaikan persengketaan
berdasarkan prinsip kerjasama sesegera mungkin, menghindari
munculnya konfrontasi berdasarkan hak dan kewajiban sesuai
dengan perjanjian WTO dan perjanjian internasional lainnya.
b) Memfasilitasi dan mendorong penggunaan prosedur resolusi
secara efektif untuk menghindari perselisihan, baik antara
kalangan pengusaha swasta, maupun antar pemerintah dengan
swasta.
c) Meningkatkan transparansi peraturan dan perundangan diantara
anggota guna menghindari terjadinya perselisihan akibat
minimnya informasi.
15. 15
12) Mobilitas Pelaku bisnis : meningkatkan mobilitas para pengusaha dalam
menjalankan bisnis mereka di kawasan Asia Pasifik.
13) Pelaksanaan Putaran Uruguay (Uruguay Round): tiap anggota
melaksanakan secara penuh hasil Putaran Uruguay dalam waktu yang
telah disepakati.
14) Pengumpulan dan analisis informasi : Untuk ini akan diciptakan suatu
bentuk kerjasama khusus di bidang pengumpulan dan analisis data dan
informasi.
Kelembagaan APEC
Secara kelembagaan APEC didukung sepenuhnya oleh enam unit organisasi
dan sub komisi dibawah koordinasi Senior Officials Meeting (SOM). Enam unit
organisasi ini beraktivitas sesuai dengan jadwal pertemuan/meeting berikut
dibawah ini :
1) APEC Economic Leader’s meeting (AELM). Ini merupakan pertemuan
tahunan yang dihadiri para menteri ekonomi APEC untuk menentukan
arah kerjasama ekonomi APEC.
2) APEC Ministrial Meeting (AMM). Pertemuan ini dihadiri para Menteri
Luar negeri dan Menteri Perdagangan dan Menteri Ekonomi terkait untuk
membahas dan memutuskan pelaksanaan suatu program kerjasama
APEC.
3) APEC Sectoral Ministrial Meeting. Ini merupakan pertemuan Menteri
yang membidangi sektor-sektor tertentu, seperti pendidikan, energi,
keuangan, pembinaan tenaga kerja/sumber daya manusia, ilmu
16. 16
pengetahuan dan teknologi, usaha kecil dan menengah, industri
telekomunikasi dan informasi, perdagangan dan perhubungan.
4) Sekretariat APEC. Unit organisasi permanen ini dibentuk untuk
mendukung kegiatan komisi dan kelompok kerja (working group) serta
berperan penting dalam pelaksanaan program APEC serta memberikan
jasa pelayanan infromasi tentang APEC, melalui situs internet
http://www.apecsec.org.sg, dengan alamat e-mail :
Info@mail.apecsec.org.sg.
5) APEC Business Advisory Council (ABAC). Ini merupakan lembaga
khusus sektor bisnis atau kalangan pengusaha swasta yang berperan
memberikan masukan dan usulan kepada para pemimpin APEC
mengenai hal-hal terkait dengan agenda liberalisasi dan fasilitasi
perdagangan dan investasi.
6) Senior Official Meeting (SOM). SOM Bertugas mempersiapkan pertemuan
tingkat menteri APEC berdasarkan rekomendasi dari menteri terkait,
guna membahas implementasi kebijakan AELM di bidang liberalisasi
perdagangan dan investasi (tarif dan non tarif, barang dan jasa), Rencana
Aksi Kolektif, Rencana Aksi Individu, dan hasil kesepakatan sub-komisi.
17. 17
Bab. 3.
APEC Menjauh Dari Tujuan
AS merupakan negara adi kuasa, pemilik ekonomi dan pasar terbesar di
dunia, yang diharapkan menjadi lokomotif utama bagi derap kemajuan
ekonomi Asia Pasifik. Namun belakangan forum APEC lebih banyak
dimanfaatkan dan diarahkan oleh AS sebagai ajang untuk menggalang
aliansi menghadapi ancaman terorisme global. Pembahasan aspek ekonomi
dan liberalisasi perdagangan dan investasi yang menjadi tujuan utama APEC,
seolah dimarjinalkan sehingga perkembangannya menjadi lamban. Tak
heran jika lambatnya proses liberalisasi telah membuat sejumlah negara
anggota APEC menjadi seperti frustasi dan mengambil langkah sendiri-
sendiri, membentuk kesepakatan mewujudkan kawasan perdagangan bebas
secara bilateral, dengan negara tertentu sesama anggota APEC, ketimbang
mewujudkannya secara keseluruhan kawasan.
Shujiro Urata, mahaguru ekonomi dari Universitas Waseda, Tokyo,
Jepang, mengungkapkan hal yang senada. Menurut hasil pengamatan Prof.
Shujiro, semakin banyak negara anggota APEC berpikir bahwa cara
liberalisasi terbaik adalah membentuk kawasan perdagangan bebas lewat
pembuatan kesepakatan/perjanjian bilateral atau lingkup regional yang lebih
kecil, ketimbang seluas APEC yang mencakup 21 negara. Sebagai hasilnya,
terjadilah pengembangbiakan kesepakatan pembentukan kawasan
perdagangan bebas, yang membawa APEC ke dalam pembentukan rezim
perdagangan yang beraneka ragam, dalam satu kawasan yang semula
diharapkan memiliki kesamaan dalam liberalisasi, sehingga tidak sesuai lagi
dengan semangat liberalisasi dan investasi sebagiamana yang dikandung
18. 18
dalam Bogor Goal. Menurut Shujiro, setengah dari anggota APEC telah
menandatangani setidaknya satu perjanjian perdagangan bilateral dengan
mitra terpilihnya. Bayangkan saja, dari 184 perjanjian regional dan bilateral di
manca negara (baik yang sudah terbentuk maupun yang sedang dalam
proses negosiasi), sekitar 79 diantaranya melibatkan anggota APEC.
Keinginan anggota APEC untuk membentuk kawasan perdagangan bebas
secara bilateral juga tampaknya berjalan tidak terlampau serius. Menurut
Roberto Romulo, Ketua Dewan Penasehat Bisnis APEC, atau APEC Business
Advisory Council (ABAC), yang juga mantan Menteri Luar Negeri Filipina
itu, pembentukan kawasan perdagangan bebas AS-Australia (AS-Australia
FTA), misalnya, memiliki periode masa transisi (hingga tercapai liberalisasi
penuh) selama 18 tahun dari sekarang. Dengan demikian AS-Australia FTA
baru akan terwujud sepenuhnya pada 2022. Menurut Romulo yang kini
berpfofesi sebagai konsultan bisnis internasional itu, tengat waktu yang
diperlukan untuk mewujudkan FTA bilateral ini saja sudah melampaui batas
tengat waktu yang disepakati dalam Bogor Goal, dimana dinyatakan negara-
negara maju anggota APEC akan membentuk kawasan perdagangan bebas
pada 2010, sementara negara-negara berkembangnya pada 2020. Berapa
lama waktu yang diperlukan (secara kongkritnya) untuk mewujudkan
perdagangan bebas APEC secara keseluruhan ?
FTA bilateral AS-Singapura, jika diamati secara rinci dari item-item
product yang dimasukkan dalam program liberalisasi, juga terkesan kurang
serius dan kurang memberikan manfaat yang signifikan bagi pengembangan
perdagangan bilateral kedua negara. Bagi Singapura, kerjasama dengan AS
tampaknya lebih ditekankan pada peningkatan kerjasama di bidang
keamanan, Ini dilakukan Singapura mengingat negeri kota itu sangat
memerlukan kehadiran kekuatan militer AS di kawasan Asia Tenggara untuk
19. 19
menghadapi ancaman terorisme internasional. Sebagaimana diketahui
Singapura merupakan salah satu target teroris Al Qaedah. Jaringan teroris
tersebut di Asia Tenggara diberitakan bermaksud meledakkan pelabuhan
udara dan pelabuhan laut kota dagang ini (dimana terdapat pangkalan
militer AS). Namun rencana teroris ini tidak kesampaian, karena jaringannya
sempat terbongkar lebih awal dan sejumlah aktivisnya di tahan oleh pihak
keamanan Singapura.
Menarik pula untuk disimak hasil studi dua analis ekonomi dari lembaga
Research Analyst at The Asia Pacific Foundation of Canada, yakni : David
Macduff dan Yuen Pao Woo yang dituangkan dalam makalahnya yang
berjudul “APEC as Pasific OECD Revesited” Menurut hasil observasi dan
analisa kedua analis ini, APEC kini berkembang nyaris menjadi lebih mirip
sebagai Organisasi Kerjasama Ekonomi Negara-negara Maju (OECD) yang
berkantor pusat di Paris, ketimbang sebagai suatu organisasi negara-negara
yang ingin melakukan liberalisasi perdagangan dan investasi guna
membentuk suatu kawasan perdagangan bebas, bahkan suatu komunitas
bersama di kawasan Asia Pasifik. Ini berarti APEC sudah berkembang
menjadi sama dengan OECD yang hanya membuat pertemuan berkala
untuk saling tukar menukar informasi dan masukan untuk kemajuan
pembangunan.
Padahal, menurut Macduff dan Yuen, jelas APEC dan OECD memiliki
tujuan yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Bogor APEC
bertujuan menciptakan perdagangan bebas diantara anggota-angotanya. Ini
berarti diperlukan upaya yang lebih serius untuk membuat forum APEC
bukan hanya sekedar ajang perkumpulan atau pertukaran informasi. Karena
struktur APEC masih dibiarkan mengambang seperti OECD, tak heran jika
semakin banyak pihak terkait yang makin frustasi melihat kelambanan gerak
20. 20
APEC dalam mewujudkan liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan
tersebut. Oleh karena itu, Macduff dan Yuen mengusulkan agar merubah
struktur lembaga APEC menjadi lembaga yang memiliki potensi untuk
“memaksa” anggotanya mempercepat liberalisasi.
21. 21
Bab. 4.
Upaya Perundingan Chili
Kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC), jika jadi terwujud sesuai dengan
rencana pembentukannya, bisa menjadi suatu kerjasama ekonomi yang paling
besar di dunia. Bayangkan saja, APEC memiliki populasi penduduk sebanyak
2,561 miliar jiwa, dengan total produk domestik bruto (PDB) senilai 19,293 triliun
dolar AS atau sekitar 60 % dari total PDB dunia. Perdagangan di kawasan ini
mencapai 47 % dari total perdagangan dunia dengan realisasi impor-ekspor
diantara sesama anggota APEC (intra-trade APEC) mencapai nilai tak kurang
dari 6 triliun dolar AS. Namun sayangnya, implementasi kerjasama APEC masih
belum optimal, bahkan dapat dikatakan kian menjauh dari tujuan pembentukan
awalnya, yang juga disebut sebagai Bogor Goals, yakni menciptakan kerjasama
ekonomi dan liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik.
Wujud kongkritnya, atau lazimnya, negara-negara anggota organisasi kerjasama
ekonomi yang memiliki tujuan semacam itu akan membentuk suatu kawasan
perdagangan bebas (free trade area/FTA).
Dalam beberapa tahun terkahir ini, topik pembahasan yang berlangsung
dalam berbagai pertemuan APEC, semakin menyimpang dari tujuan
pembentukannya, terdistorsi oleh kepentingan individual anggotanya. Apalagi
anggota APEC seperti kehilangan gairah mewujudkan kerjasama ekonominya
tatkala Asia terlanda krisis moneter. Semangat menciptakan liberalisasi di APEC
tampaknya seperti semakin kehilangan gairah setelah Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) juga gagal mewujudkan upaya liberalisasi perdagangan dalam
konteks global. Yang marak berkembang justru liberalisasi perdagangan dalam
konteks regionalisasi perdagangan. Dengan demikian terjadi sekat-sekat dan
22. 22
segmentasi di dalam liberalisasi perdagangan dunia. Tidak terintegrasi secara
penuh dan menyeluruh.
Perkembangan forum APEC menjadi semakin tidak terarah ketika
Amerika Serikat menjadi korban serangan kelompok teroris Al Qaedah
pimpinan Osama bin Laden yang berhasil membajak pesawat komersial AS dan
merontokkan gedung World Trade Center (WTC) dengan cara menabrakkan
pesawat bajakan ke gedung tersebut, sehingga memakan korban jiwa yang tidak
sedikit. Pemerintah AS yang merasa kecolongan sangat berang atas terjadinya
peristiwa yang mengenaskan ini dan mengajak semua sekutunya di manca
negara untuk memerangi ancaman terorisme global.
AS pun menggunakan beragam forum dunia untuk melaksanakan
kampanye anti terorismenya, termasuk juga forum APEC. Akibatnya,
pertemuan APEC menjadi seperti didominasi AS yang gencar melontarkan isu
memerangi terorisme globalnya. Padahal, oleh anggota APEC, AS sebenarnya
justru diharapkan berperan menjadi motor memajukan pertumbuhan ekonomi
di kawasan Asia Pasifik. Namun selama pemerintahan AS berada dibawah
kendali Presiden George W. Bush, isu terorisme tampaknya akan tetap menjadi
topik utama, sementara isu ekonomi menjadi nomor dua. Hal yang sama bahkan
juga terjadi didalam perekonomian AS sendiri.
Perang menghadapi terorisme terus dilakukan Bush. Usai menginvasi
Irak yang dituding menyimpan senjata pemusnah massal, dan berhasil
menjungkalkan Sadham Husein, Bush mengarahkan target perhatiannya kepada
Korea Utara dan Iran yang juga dituding sebagai posos kejahatan pendukung
terorisme global dan menjalankan program pengayaan nuklir yang dapat
dimanfaatkan untuk membuat senjata nuklir. Senjata nuklir merupakan senjata
23. 23
pamungkas yang ditakuti Bush karena bisa dipakai teroris untuk menyerang
sasarannya dengan memakan korban yang lebih luas.
Dalam pertemuan tingkat tinggi APEC di Santiago, Cile 2004, kehadiran
Bush tetap dengan mengusung isu terorisme. Bush yang kedatangannya
disambut demonstrasi massa yang menentang invasi AS ke Irak menyatakan
harapannya untuk bisa menghidupkan kembali APEC. Namun dalam
kenyataannya di forum APEC Cile itu, Bush tetap lebih mengutamakan
pembahasan isu terorisme, ketimbang mewujudkan kerjasama ekonomi dan
liberalisasi perdagangan dan investasi secara kongkrit.
Upaya untuk mengembalikan APEC yang beranggotakan 21 ekonomi itu
(disebut demikian karena ada anggotanya seperti Hongkong yang bukan suatu
negara berdaulat melainkan bagian dari China), kearah tujuan awal
pembentukannya, memang sudah dilakukan. Terakhir diupayakan dalam
pertemuan APEC yang berlangsung di Cile, menjelang akhir tahun 2004 lalu.
Pihak Cile yang sekaligus berperan sebagai tuan rumah perhelatan internasional
terbesar yang pernah diselenggarakan di Amerika Selatan itu. Sebagaimana
dikatakan oleh Ketua Senior Official Meeting (SOM) yang juga petingggi Deplu
Cile, Ricardo Weber, lebih menekankan maksud pertemuan ini pada
pembahasan isu perdagangan dan investasi. Cile ingin mencoba memfokuskan
kembali APEC pada tujuan APEC yang sesuai isi deklarasi Bogor, yakni
menciptakan kawasan perdagangan bebas Asia Pasifik pada 2020 untuk
kelompok negara berkembang anggota APEC dan dan pada 2010 khusus untuk
negara maju yang menjadi angggota APEC.
Weber yakin bahwa anggota APEC kali ini akan serius membahas isu ini
dalam rangka membalikkan APEC ke jalur utamanya. Namun pada
kenyataannya, harapan tuan rumah yang ingin menjadikan APEC sebagai
24. 24
kawasan yang terus berkembang dinamis dalam konteks liberalisasi
perdagangan dan investasi itu, tidak sepenuhnya kesampaian. Topik APEC
berkembang menjadi topic gado-gado. Ada yang memang menyangkut
pembahasan perdagangan dan investasi, namun selain itu muncul pembahasan
masalah kesehatan berkaitan dengan ancaman flu burung, SARS, isu korupsi,
pemerintahan yang bersih, keamanan pelayaran dan bahkan yang paling
menyita perhatian adalah topik mengatasi terorisme global.
China lebih menekankan upaya agar usulannya berhasil yakni APEC
menyelenggarakan simposium hak intelektual dengan partisipasi aktif dari
anggota APEC, ketimbang memperjuangkan topik liberalisasi perdagangan dan
investasi. Rusia cenderung ikut arus memerangi terorisme global bersama AS
dan negara anggota APEC lainnya. Rusia yang sudah terlibat dalam
penanggulangan terorisme global, karena di dalam negerinya sendiri, korban
terorisme terus berjatuhan, ingin lebih meningkatkan kerjasama internasional
memerangi terorisme dan berkeinginan menjadikan isu teroirisme sebagai topik
bahasan penting pada forum APEC di Cile. Padahal forum APEC adalah forum
ekonomi, bukan forum politik dan keamanan global.
Dikalangan anggota APEC yang juga anggota ASEAN, yang paling
getol menyuarakan perang terhadap terorisme dalam KTT APEC di Cile ini
adalah Filipina. Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo, yang didalam
negerinya terus menerus berhadapan dengan gerakan separatisme dan teroris
yang gemar menyandera warga negara asing dan berbasis di Filipina Selatan itu,
menyatakan perang terhadap terorisme dan akan menjadikan isu terorisme
sebagai topik bahasan utama dalam pertemuan APEC di Cile. Arroyo bahkan
menyatakan sangat bangga Filipna ditunjuk sebagai Ketua Satuan Tugas
Melawan Terosrisme di dalam APEC. Menurut Arroyo penujukkan ini
membuktikan kepercayaan dunia internasional atas keteguhan Filipina dalam
25. 25
memerangi terorisme. Sebaliknya, Malaysia yang sejak awal mencurigai AS dan
Australia akan menjadikan pertemuan APEC sebagai ajang mencari dukungan
bagi pelaksanaan program melawan terorisme mereka, menginginkan
pertemuan APEC lebih kepada pembahasan masalah ekonomi dan liberalisasi
perdagangan dan investasi.
Tak dapat dihindarkan, forum APEC seolah terbelah menjadi dua kubu.
Kelompok pendukung AS yang antiterorisme di satu pihak, dengan kelompok
yang ingin mengembalikan forum APEC ke tujuan awalnya yakni kerjasama
ekonomi dan liberalisasi perdagangan dan investasi. Kelompok pendukung
Bush berpandangan, pengembangan kerjasama ekonomi dan perdagangan tidak
dapat dilaksanakan jika berada dibawah bayangan ancaman terorisme dan
bahaya nuklir. Bukankah stabilitas ekonomi membutuhkan stabilitas keamanan.
Sebaliknya, kelompok pendukung liberalisasi dan kerjasama ekonomi
menyatakan isu teroisme dan nuklir tidak sepantasnya dibahas secara luas dan
mendetail di forum APEC, karena forum APEC adalah forum ekonomi bukan
forum politik dan keamanan. Dikhawatirkan konsentrasi perhatian yang
berlebihan terhadap isu terorisme dan isu lain akan membuat pembahasan
liberalisasi dan kerjasama ekonomi menjadi terbelakang. Bukan prioritas.
Sementara itu kalangan bisnis Asia Pasifik, diwakili oleh Asia Pasific
Business Adivisory Council (ABAC), yang sudah gerah melihat kelambanan
petinggi APEC dalam mewujudkan liberalisasi perdagangan di kawasan itu,
mengusulkan pembentukan kawasan perdagangan bebas Asia Pasifik. Usulan
ABAC ini disampaikan kepada para pemimpin APEC dengan maksud
mendorong timbulnya semangat APEC agar kembali berupaya mewujudkan
tujuan APEC, yakni melaksanakan liberalisasi perdagangan dan investasi.
Beberapa anggota APEC mendukung usulan ABAC. Perdana Menteri Selandia
Baru, Helen Clark, misalnya, menyatakan negaranya akan berada di jajaran
26. 26
terdepan dalam mempromosikan penciptaan kesepakatan pembentukan
kawasan perdagangan bebas di Asia Pasifik secepatnya, sebagaimana yang
diharapkan kalangan pebisnis, yang aspirasinya disalurkan lewat ABAC itu.
Ketua ABAC Filipina, Roberto Romulo menyatakan APEC sudah tidak
bergairah dan kehilangan arah sehingga semakin tidak disiplin dan tidak
konsisten dalam mewujudkan tujuan utamanya yakni liberalisasi perdagangan
dan investasi. Oleh karena itu pihak ABAC menyerukan agar APEC segera
membuat ksepakatan pembentukan kawasan perdagangan bebas Asia Pasifik
(Asia Pasific free trade area/APFTA) yang bertujuan agar anggota APEC
semakin bergairah dan dipaksa untuk disiplin dalam meliberalisasikan
perdagangan investasi dengan mengeliminasi hambatan-hambatan perdagangan
yang masih ada dalam rangka mencapai tujuan awal pembentukan APEC.
Namun usulan ABAC ini tampaknya tidak disokong oleh para Menteri
anggota APEC lainnya. Hal ini tampak pada pernyataan Ricardo Weber, yang
juga Ketua Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi (SOM) APEC itu. Menurut Weber
yang semula jor-joran memperjuangkan topik liberalisasi perdagangan dan
investasi itu. Weber menyatakan, pembentukan kawasan perdagangan bebas
Asia Pasifik (Asia Pasific free trade area/APFTA) adalah sesuatu yang tidak
mungkin diputuskan dalam petemuan APEC 2004.
Penertiban FTA
Kendati topik bahasan pertemuan APEC di Cili menjadi seperti gado-
gado dan hasil pertemuannya menjadi mengambang, tidak kongkrit dan
terfokus pada liberalisasi perdagangan dan investasi, namun ada hal yang positif
yang dihasilkan dalam pertemuan APEC di Cile. Sebagaimana diketahui,
sebelum KTT APEC diselenggarakan, dilangsungkan pertemuan tingkat menteri
27. 27
APEC yang telah menghasilkan sejumlah kesepakatan. Para menteri sepakat
untuk mengutuk terorisme yang dinilai merupakan ancaman bagi kemakmuran
kawasan Asia Pasifik. Para menteri juga sepakat untuk mendukung kesepakatan
liberalisasi perdagangan bebas berdasarkan kerangka Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO).
Yang menarik dari kesepakatan para Menteri APEC ini adalah
ditelorkannya kesepakatan untuk menertibkan pertumbuhan kawasan
perdagangan bebas (free trade area/FTA) di wilayah Asia Pasifik. Dalam talian
ini disepakati penyusunan pedoman (guidelines) tentang pembentukan dan
implementasi praktek FTA terbaik. FTA yang sudah terlanjur terbentuk dapat
terus dipertahankan, namun hendaknya dilaksanakan secara transparan dengan
implementasi praktek terbaik, sehingga kemungkinan munculnya ekses negatif
menjadi seminimal mungkin.
Banyak negara anggota APEC yang sudah membuat FTA dengan negara
yang menjadi anggota APEC atau non APEC. Eksesnya, ternyata banyak
peraturan dalam lingkup FTA itu yang tidak diketahui dan dipahami dengan
jelas oleh negara-negara di luar FTA tersebut. Padahal APEC adalah organisasi
yang mengutamakan transparansi dalam membina hubungan kerjasama
diantara sesama negara anggota APEC. Bila FTA dilaksanakan secara transparan
dan tidak diskriminatif, bukan tidak mungkin anggota APEC lainnya bisa
meminta turut bergabung ke dalam FTA yang sudah ada itu, kalau memang
sudah memahami betul isi kesepakatannya serta manfaat ekonomisnya,
sehingga FTA tersebut tidak bersifat ekslusif.
Dalam kasus FTA bilateral Thailand-Australia, misalnya, Indonesia
sebagai anggota APEC, tidak mengetahui berapa besar tariff yang dikenakan
Thailand atas produk Australia, atau sebaliknya. Hal serupa juga terjadi dengan
28. 28
FTA di kalangan negara anggota APEC lainnya. Semestinya semua negara
anggota APEC tahu bagaimana bentuk peraturan dan pemberlakukan tariff
diantara negara-negara yang terlibat dalam pembentukan FTA itu, sehingga
dapat juga memanfaatkannya dengan turut bergabung ke dalam FTA tersebut.
Sejumlah ekonom pemerhati pengembangan kerjasama ekonomi di
kawasan Asia Pasifik merisaukan pertumbuhan FTA yang berlangsung kian
marak di kawasan ini. Mereka menyatakan kemunculan FTA di kawasan yang
terus berkembang ini jumlahnya sudah mencapai 40 FTA. Selain itu ada
sebanyak 40 FTA lainnya yang sedang dalam tahap perundingan. Jumlah FTA
yang sedemikian banyak ini, dirasakan sudah berada pada level yang
mengganggu. Mengapa dikatakan sudah mengganggu ? Pasalnya, keberadaan
FTA itu mengakibatkan munculnya banyak peraturan perdagangan yang
tumpang tindih (conflicting rules), dan pada gilirannya membuat peraturan
perdagangan di APEC secara umum menjadi tampak rumit, kalau tak dapat
dikatakan semrawut.
Sebagai gambaran, antara Australia dan Thailand saja terdapat FTA
bilateral yang membuat kedua negara saling memberikan kemudahan dan
perhatian, ketimbang kepada negara lain yang berada diluar FTA mereka. FTA
bilateral ini akan menimbulkan aturan perdagangan yang berbeda (spesifik)
yang hanya berlaku bagi mereka saja. Demikian pula FTA bilateral Singapura
(negara anggota ASEAN yang paling bersemangat membentuk bilateral), dengan
Jepang dan AS, akan mengutamakan kepentingan Singapura dengan mitra FTA
bilateralnya. Kecenderungan semacam ini, menurut ekonom Korsel yang juga
ketua Pasific Economic Cooperation Counsil (PECC), Profesor Kim Kih-wan
akan menjauhkan APEC dari perwujudan keharmonisan dalam perdagangan
dan investasi.
29. 29
Bab. 5.
Penutup
Kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC), jika jadi terwujud sesuai dengan
rencana pembentukannya, bisa menjadi suatu kerjasama ekonomi yang paling
besar di dunia. Bayangkan saja, APEC memiliki populasi penduduk sebanyak
2,561 miliar jiwa, dengan total produk domestik bruto (PDB) senilai 19,293 triliun
dolar AS atau sekitar 60 % dari total PDB dunia. Perdagangan di kawasan ini
mencapai 47 % dari total perdagangan dunia dengan realisasi impor-ekspor
diantara sesama anggota APEC (intra-trade APEC) mencapai nilai tak kurang
dari 6 triliun dolar AS. Namun sayangnya, implementasi kerjasama APEC masih
belum optimal, bahkan dapat dikatakan kian menjauh dari tujuan pembentukan
awalnya, yang juga disebut sebagai Bogor Goals, yakni menciptakan kerjasama
ekonomi dan liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik.
Wujud kongkritnya, atau lazimnya, negara-negara anggota organisasi kerjasama
ekonomi yang memiliki tujuan semacam itu akan membentuk suatu kawasan
perdagangan bebas (free trade area/FTA).
Upaya untuk mengembalikan APEC kepada pencapaian tujuan
pembentukannya perlu terus dilanjutkan. Kendati isu-isu yang lebih besar dan
hangat, khususnya isu memerangi terorisme kemungkinan masih akan terus
muncul dalam forum APEC berikutnya. Pertemuan APEC di Cile memang
menghasilkan kesepahaman perlunya mendorong liberalisasi perdagangan
dunia lewat WTO, namun tidak secara spesifik menyatakan kapan dimulainya
program liberalisasi perdagangan atau lebih tegas lagi pembentukan kawasan
perdagangan bebas Asia Fasifik. Padahal, targetnya sudah ditetapkan dalam
30. 30
deklarasi Bogor. Perjuangan memang masih panjang. Yang penting upaya
mewujudkan Bogor Goals harus tetap diteruskan.
Prospek kerjasama APEC kedepan tampaknya memang masih kelabu.
Implementasi kerjasama APEC secara kongkrit harus diakui berjalan sangat
lamban. Negara maju yang diharapkan sebagai lokomotif pertumbuhan kawasan
APEC, seperti AS, Jepang dan Australia, tampaknya begitu kurang bersemangat
untuk mewujudkan Bogor Goals sesuai dengan tengat waktu yang telah
disepakati bersama, bahkan terkesan seperti kian menyimpang dari tujuannya.
Belakangan forum APEC lebih banyak dimanfaatkan oleh AS sebagai ajang
untuk menggalang aliansi menghadapi ancaman terorisme global, sementara
Jepang cenderung kurang bergairah menciptakan liberalisasi perdagangan
dalam konteks APEC. Jepang lebih bersemangat membangun FTA dalam
konteks yang lebih kecil seperti ASEAN-Jepang FTA, sementaraAustralia
cenderung bersikap tetap menjadi “follower” AS yang setia di kawasan Timur.
Oleh karena itu, diperlukan penggalangan kerjasama diantara anggota
ASEAN untuk secara lebih aktif berperan sebagai insiator, fasilitator dan
dinamisator bagi terbentuknya gerakan dalam APEC guna mempercepat
pencapaian Bogor Goals dengan upaya kongkrit yang lebih serius dan
konsekuen. Bukan sekedar menghasilkan deklarasi. ASEAN tidak dapat
berpangku tangan dan hanya mengikuti arus utama atau mengikuti irama
gendang yang dimainkan AS, Australia dan Jepang. ASEAN harus mengambil
inisiatif dan partisipasi lebih aktif ke arah perwujudan Bogor goals.
Kalau melihat paparan diatas, semestinya APEC sudah siap menelorkan
hasil-hasil kongkrit dalam menciptakan liberalisasi dan fasilitasi perdagangan
dan investasi. Namun dalam kenyataannya APEC tampaknya masih menjadi
macan kertas. Hasil konferensi APEC masih lebih banyak menghasilkan
31. 31
pernyataan-pernyataan retorika, serta konsep-konsep kerjasama liberalisasi yang
belum sepenuhnya secara kongkrit dilaksanakan. Bahkan belakangan
perkembangan APEC cenderung semakin menjauh dari tujuan awal
pembentukannya (Bogos Goals). Kita berharap para pemimpin APEC segera
meluruskan kembali langkah APEC agar kembali ke tujuan semula menciptakan
kerjasama ekonomi serta liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia
Pasifik.
-00o-