Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Ahlussunah Wal Jama'ah adalah aliran Islam yang mengikuti ajaran Al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan ijma' para sahabat.
2. Ahlussunah Wal Jama'ah muncul untuk menengahi berbagai perbedaan pendapat yang muncul di kalangan umat Islam.
3. Prinsip-prinsip Ahlussunah Wal Jama'ah adalah tawasud, tasamuh, dan tawazun.
1. 1. AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama terakhir yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW dalam sejarah
perkembangannya pada zaman Rosulullah SAW. Relatif tidak mengalami goncangan dan
pertentangan, hal ini disebabkan segala persoalan, perbedaan pandangan terhadap suatu
masalah, dapat langsung dinyatakan kepada nabi dan para sahabat pun dengan rela
menerima keputusan nabi.
Setelah Rosulullah SAW wafat, bibit-bibit perbedaan pendapat itu mulai nampak, terjadi
tarik menarik yang cukup kuat antara kaum muhajirin dan ansor tentang siapa yang
sebenarnya berhak menjadi pengganti beliau selaku kepala negara (bukan pengganti nabi
atau rosul) sehingga pemakaman nabi menjadi persoalan kedua bagi mereka.
Akan tetapi sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar ‘Assyidiq yang disetujui masyarakat
muslim menjadi kholifah menyusul kemudian Umar bin Khottob, Usman bin Affan ndan
Ali bin Abi Tholib. Pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khottob
perbedaan faham yang menjurus pada sparatisme (penolakan kepada pemerintah yang
sah) relative dapat diminimalisir. Dan agak aneh kiranya bahwa persoalan yang pertama-
tama timbul munculnya perbedaan faham itu justru permasalahan politik. Ahli sejarah
menggambarkan bahwa kholifah ketiga Usman bin Affan sebagai seorang yang lemah
dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya (kroninya) yang kaya dan berpengaruh.
Ia mengangkatnya menjadi gubenur-gubenur di daerah menggantikan gubenur-gubenur
yang diangkat oleh Umar bin Khottob yang terkenal sebagai orang yang kuat dan tidak
memikirkan keluarga.
Perasaan tidak puas bermunculan dan menangguk di air keruh untuk menggoyang
pemerintahan Usman. Perkembangan selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman
oleh pemuka-pemuka pemberontak.
Setelah Usman lengser, Ali bin Abi Tholib sebagai calon kuat menjadi kholifah keempat
tetapi ia segera mendapat tantangan dan goyangan dari pesaing-pesaing beratnya yang
ingin pula menjadi kholifah, terutama Tholhah Zubair yang mendapat sokongan dari
Aisyah. Tantangan dari Tholhah dan Aisyah dapat dipatahkan oleh Ali bin Abi Tholib
dalam pertempuran yang terjadi di irak 656 M.
Tantangan kedua dari Muawiyah gubenur damaskus (keluarga Usman) ia mengajukan
tuntutan kepada Ali agar mengusut dan menghukum pembunuh Usman bahkan ia
menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan itu. Peperangan diantara keduanya tidak
dapat dihindarkan, terjadi di Syifin (perang syiffin). Tentara Ali dapat mendesak tentara
Muawiyah dan hamper dapat mengalahkannya. Amr bin Ash (tangan kanan Muawiyah)
dengan mengangkat Al Qur’an di atas pedang meminta berdamai (jeda kemanusiaan)
untuk melakukan serangkaian dialog dan perundingan bertemulah dua delegasi dalam
satu meja perundingan, pihak Ali diwakili oleh Musa Al Asy’ari dan pihak Muawiyah
diwakili oleh Amr bin Ash. Disinilah kelicikan Amr bin Ash mengalahkan perasaan
taqwa Abu Musa Al Asy’ari. Sejarah mencatat keduanya terjadi pemufakatan penjatuhan
kedua pemuka yang bertentangan setelah Abu Musa mengemukakan kejatuhan Ali di
forum, Amr bin Ash belok ara dan hanya menyetujui penjatuhan Ali dan menolak
penjatuhan Muawiyah.
Berawal dari persoalan politik inilah muncul perbedaan faham yang amat tajam:
1. Timbul persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, siapa yang keluar dari
2. islam dan siapa yang tetap dalam islam, dan bagaimana status islam yang berdosa.
2. Muncul faham syi’ah (golongan pro Ali), khowarij (golongan yang memusuhi Ali,
murji’ah (golongan penengah yang tidak mau terlibat politik) selanjutnya muncul
Kodariyah, jabariyah, Mu’tazilah, Ahmadiyah, dan Ahlussunah Wal Jama’ah.
3. Sedangkan Ahlussunah Waljama’ah baru popular pada abad ketiga hijriyah. Hal yang
menjadi pemicu lahirnya Ahlussunah Wal Jama’ahsebagai gerakan dalam komunitas
islam adalah terjadi pertengkaran, penyelewengan atau penyimpangan yang serius
dikalangan umat islam dalam bidang Aqidah, Syari’ah maupun politik dan filsafat.
B. Pengertian dan dalil Ahlussunah Wal Jama’ah
Gambaran yang dipaparkan diatas sebenarnya sudah diprediksi (diperkirakan) Oleh nabi
Muhammad SAW bahwa pada suatu saat umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan
yang selamat dari kesesatan adalah Ahlussunah Wal Jama’ah tersebut dalam kitab
Thobroni bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya : Dan akan berfirqoh umatku sebanyak 73 firqoh, semuanya masuk neraka
kecuali satu, sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini lalu bertanya “siapakah yang
satu itu ya Rosulalloh” nabi menjawab “yang satu ialah orang yang berpegang (berjihat)
sebagai peganganku (I’tiqotku) dan pegangan sahabat-sahabatku.
(H.R. Imam Turmudzi)
Ahlussunah Wal Jama’ahmenurut bahasa:
1. Ahlun ( )
Berarti kalompok, keluarga, golongan
2. Sunnah ( )
Berarti ajaran nabi meliputi perkataan ( ), perbuatan ( ), Ketetapan ( ) nabi Muhammad
SAW.
3. Al jama’ah ( )
Berarti golongan mayoritas (umumnya umat islam)
Ahlussunah Wal Jama’ah menurut istilah artinya ajaran islam yang mutni sebagaimana
yang diajarkan oleh Rosululloh SAW. Bersama para sahabat-sahabatnya pada zaman itu.
Dari pengertian diatas diambil kesimpulanbahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah
golongan pengikut ajaran islam yang selalu berpegang teguh pada :
1. Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
2. Sunnah para sahabat khususnya khulafaurrosyidin.
3. ijma’ (kesepakatan para ‘ulama’ terutama masalah khilafiyah memilah pendapat
asawadul ‘adhom) dan mengikuti madzab imam mujtahidin, terutama madzab empat
(Hanafi, Maliki, Hambali, Syafi’i).
C. Prinsip-Prinsip yang Dikembangkan Aswaja
Pada masa nabi perbedaan pendapat sudah terjadi, sayid Al Qur’an menceritakan ada dua
orang yang tidak memperoleh air wudhu dalam bepergian lalu keduanya bertayamum
untuk melakukan sholat dalam perjalanan mereka menemukan air, sedang yang lain
tidak. Kejadian ini dilaporkan kepada nabi Muhammad SAW, beliau bagimu dan bagi
yang mengulangi sholatnya “baginya pahala dua kali”.
Demikian sikap nabi dalam menghadapi perbedaan pendapat bijaksana dan toleran selam
3. tidak menyimpang dari nash yang ada sikap tasamuh (toleran) ini dikembangkan para
sahabat setelah nabi wafat, demikian juga para imam mujtahidin juga mewarisi semangat
tasamuh dan meluaskannya ditengah ketajaman ihtilaf. Contohnya Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi’i bersedia sholat dibelakang imam di madinah yang tidak membaca
basmallah, baik siri maupun jahr (tersembunyi maupun tampak) padahal kedua imam itu
mengharuskan penbacaan basmallah pada Al Fatihah.
Sikap tasamuh terhadap perbedaan pendapat diaktualisasikan oleh nahdlotul ‘ulama’
dalam sikap kemasyarakatannya. Dalam bukunya khittoh nahdliyah kyai Haji Ahmad
Shiddiq merumuskan sikap dasar atau karakter Ahlussunah Wal Jama’ah yaitu:
1. Tawasud (garis tengah) dan I’tidal (garis lurus)
Sikap tengah yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku
adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap ini NU sulalu menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan berlaku serta bertindak lurus dan dengan selalu
membangun dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatoruf / ekstrim
(keras)
2. Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan baik masalah keagamaan, terutama hal-hal
yang bersifatfuru’iyah atau masalah khilafiyah serta dalam masalah kemasyarakatan dan
kebudayaan.
3. Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhitmad menyelaraskan berhikmah terhadap Allah SWT,
hikmah kepada sesame manusia serta kepada lingkungan hidupnya, menyelaraskan
kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat dan
menolak setiap hal yang dapat merugikan dalam kehidupan kini dan esok.
Dengan demikian system bermadzab yang dianut oleh Nahdlotul ‘Ulama’ telah
membentuk kepribadian sebagai organisasi yang berprinsip :
a. Prinsip penggunaan Al Qur’an dan sunnah secara luas dalam upaya memahami dan
mengamalkan ajaran agama.
b. Prisip selalu berpijak kepada kebenaran sesuai dengan prinsip-prinsip Rosulullah
SAW, para sahabat, dan salafus sholihin (khususnya madzab empat).
c. Prinsip keberlangsungan ijtihad sebagaimana di syaratkan oleh konsep Al Qur’an,
sunnah, ijtihadnya muadz bin jabal dan ungkapan klasik Ahlussunah Wal Jama’ah.
Artinya : memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.
d. Prinsip toleransi dalam perbedaan pendapat dalam arti yang umum.
Artinya : Barang siapa yang berpendapat (berijtihad) dan benar, maka (dianggap benar)
dan mendapat dua pahala, tapi bagi yang salah (dianggap salah) dan mendapat satu
pahala (penghargaan).
Memahami penjelasan diatas dapat disimpulkan, untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan aswaja, Nahdlotul ‘Ulama’ berpegang teguh pada
system bermadzab :
4. a. Dalam bidang aqidah mengikuti madzab yang dipelopori imam abu hasan al asy’ari
dan abu mansur al mnaturidzi.
b. Dalam bidang fiqih mengikuti salah satu madzab empat (Syafi’I, Maliki, Hanafi,
Hambali).
c. Dalam bidang akhlak / tasawuf mengikuti madzab imam junaidi al baghdawi dan imam
ghozali.
D. Sejarah Kelahiran Aswaja dan Kelahiran Di Indonesia
Sejarah kelahiran aswaja di Indonesia tidak bisa dilepaskan sejarah kedatangan di
Indonesia. Secara histories islam datang ke Indonesia pada abad ke tujuh. Hal ini dapat
dibuktikan dengan munculnya makam-makam di daerah barat di Nangroe Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Bani Umayah. Serta kabar dari cina mengenai
kedatangan Ta-Cheh di daerah Kalingga (Holing) pada masa pemerintahan Szima.
Kedatangan aswaja sendiri dari perspektif histories dapt dibuktikan dengan adanya bukti-
bukti sejarah yang ada, mulai adanya kabar dari Ibnu Batuta mengenai islam yang ada di
Indonesia, nama-nama raja Samudra Pasai yang cenderung sesuai dengan nama raja yang
beraliran Syafi’I di timur tengah serta ditemukannya makam Siti Fatimah binti Maimun
Leran Gresik, pada abad XI ditambah pula dengan cerita dari raja-raja / babad / tanah
pada raja-raja Sunda (Banten) yang cenderung beraliran Syafi’i.
Kecenderungan aswaja yang beraliran syafi’i. hal ini apabilaperhatian lebih kapada
setting kedatangan islam di Indonesia yang ternyata islam dating kebanyakan berasal dari
daerah hadramaut dan yaman, bukan berasal dari Persia yang cenderung bermadzab
Hanafi.
Sebagaimana dimaklumi islam dikembangkan di Indonesia oleh para pedagang. Sambil
berdagang para mubaligh ini menyelenggarakan pesantren-pesantren untuk membentuk
kader-kader ‘ulama’-‘ulama’ yang sangat beperan dalam pengembangan islam pada masa
berikutnya. Dan salah satu tradisi dalam proses pengajaran agama islam di pesantren
adalah tradisi pengajaran melalui kajia-kajian kitab0kitab klasik “Kitab kuning”.
Kandungan dari kitab-kitab di pesantren di indinesia khususnya di jawa adalah kitab fiqih
dari madzab syafi’i. dengan pola pengajaran kitab fiqih inilah madzab sangat kuat
pengaruhnya di Indonesia.
Di jawa berdasarkan bukti sejarah para penyebar dan pembawa islam khususnya daerah
pesisir itara adalah para mubaligh yang diberi gelar para wali, yang sangat popular
disebut wali songo. Sesuai dengan faham islam yang dianutnya yaitu faham Ahlussunah
Wal Jama’ah para wali dalam misi dan dakwahnya selalu menerapkan prinsip
tawasud,taamuh,I’tidal. Karakteristik ini tercermin dalam segala bidang baik aqidah,
syari’at,akhlak,tasamuh, dan mu’amalah diantara sesama manusia. Dengan prinsip-
prinsip ini cara islamisasi di Indonesia ditempuh melalui cabang seni budaya seperti
pertunjukan wayang gamelan dan seni ukir. Adapt istiadat dan kebiasaan yang telah
berakar dalam masyarakat juga dijadikan salah satu media dakwah. Kebiasaan sendiri dan
keselamatan untuk orang-orang yang telah meninggal dunia tetap dilestarikan dengan
warna keislaman. Mereka mengajarkan agama islam dengan lemah lembut. Tanpa
kekerasan menggunakan bahasa dan budaya yang telah dimiliki oleh masyarakat.
Keramah tamahan dalam berdakwah inilah yang menyentuh nurani bangsa dan
mempertanda bahwa islam adalah agama perdamaian, membawa persahabatan sesame
umat semesta alam. Keramah tamahan inilah yang diwariskan para ‘ulama’ aswaja untuk
diteladani dalam mengajarkan agama islam. Demikian pula NU dalam anggaran dasar
5. secara eksplisir dirumuskan bahwa tujuan NU adalah mengembangkan serta melestarikan
ajaran islam Ahlussunah Wal Jama’ah.
6. secara eksplisir dirumuskan bahwa tujuan NU adalah mengembangkan serta melestarikan
ajaran islam Ahlussunah Wal Jama’ah.